• Tidak ada hasil yang ditemukan

diktat seni tembang 2

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "diktat seni tembang 2"

Copied!
90
0
0

Teks penuh

(1)

Diktat

SENI

TEMBANG II

DR. PURWADI, M.HUM

PENDIDIKAN BAHASA DAERAH FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA Telp: 0274-550843-12; Email: purwadi@uny.ac.id

(2)

KATA PENGANTAR

Diktat ini disusun untuk memperlancar proses belajar mengajar Mata

Kulian Seni Tembang II di Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah, Fakultas Bahasa

dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta.

Materi perkuliahan meliputi tembang macapat, tembang tengahan dan

tembang gedhe. Dengan demikian perkuliahan Seni Tembang II ini merupakan

kelanjutan dari perkuliahan Seni Tembang I. Untuk pendalaman proses belajar

mengajar dilengkapi pula uraian tentang seluk beluk seni tembang.

Mudah-mudahan penyusunan diktat ini dapat memenuhi harapan, sehingga

seni tembang dapat berkembang. Diktat seni tembang yang sederhana ini memang

diperlukan sebagai sarana pembelajaran.

Yogyakarta, 10 Maret 2011

(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI... iii

BAB I PENGAJARAN SENI TEMBANG ... 1

BAB II TATA WIRAMA TEMBANG ... 15

BAB III SIMBOLISME DALAM TEMBANG ... 24

BAB IV TEMBANG DHANDHANGGULA ... 32

BAB V TEMBANG ASMARADANA ... 44

BAB VI TEMBANG SINOM ... 49

BAB VII TEMBANG KINANTHI ... 59

BAB VIII TEMBANG DURMA ... 62

BAB IX TEMBANG TENGAHAN ... 65

BAB X TEMBANG GEDHE ... 70

DAFTAR PUSTAKA ... 79

LAMPIRAN 1. SILABUS ... 80

LAMPIRAN 2. RPP ... 83

(4)

BAB I

PENGAJARAN SENI TEMBANG

Fungsi Tembang

Seni tembang dalam budaya Jawa mengandung unsur estetis, etis dan

historis. Untuk unsur estetis atau keindahan seni tembang sesuai dengan

prinsip-prinsip dasar kesenian pada umumnya, yaitu dulce et utile yang berarti

menyenangkan dan berguna. Fungsi rekreatif tembang mampu menghibur hati

yang sedang sedih, pikiran yang kalut dan suasana yang tegang. Fungsi utilitaris

tembang yang berkaitan dengan aspek kegunaan dapat dilihat dari praktek ritual

dalam masyarakat Jawa.

Adanya acara rutin macapatan, panembrama, ura-ura, gegendhingan,

sesendhonan dan kehidupan menunjukkan bahwa seni tembang tetap diuri-uri

murih lestari. Masyarakat Jawa dalam pergaulan sangat memperhatikan unsur etis

atau kesusilaan. Istilah kesusilaan ini sering disebut dengan tata krama,

unggah-unggah, budi pekerti, wulangan, wejangan, wedharan, sopan santun, pernatan

dan duga prayoga. Begitu pentingnya unsur etis atau susila ini banyak sekali

kitab-kitab Jawa yang mengulas secara jelas, tuntas dan tegas. Misalnya Serat

Wulangreh, Serat Whedhatama, Serat Tripama, Serat Sanasunu, Serat

Panitisastra, Serat Kalatidha dan Serat Sabdajati. Karya para Pujangga ini

disebut sastrapiwulang yang ditulis dalam bentuk tembang.

Unsur historis tembang terdapat dalam sastra babad. Penulisan sejarah

(5)

apresiatif terhadap kehidupan masa lampau. Kesadaran sejarah ini dilandasi oleh

pemikiran bahwa masa lampau, masa kini dan masa depan merupakan satu

kesinambungan yang tak terpisahkan. Sastra babad yang diungkapkan dalam

bentuk tembang itu bisa dijadikan referensi bagi generasi penerus sebagai kaca

benggala atau cermin kehidupan.

Pengajaran gendhing itu tidak saja perlu untuk memperoleh pengetahuan

dan kepandaian hal gendhing, namun perlu juga bagi tumbuhnya rasa kebatinan,

karena selalu menuntun ke arah rasa kewiramaan (perasaan ritmis), seperti: rasa

runtut, patut, titi, pratitis, tetep, tatag, antep, mantep, harmonis, patut, teliti, tepat,

tetap tak gentar, bersungguh-sungguh, setia dan sebagainya, begitu pula

menghidup-hidupkan rasa keindahan (perasaan estetis), seperti rasa edi, peni,

resik, endah, alus, luhur, bening, sangat baik, berharga, bersih, indah, halus, luhur,

jernih dan sebagainya; selain itu juga menguatkan serta memurnikan rasa

kesusilaan, seperti: perasaan alus, suci, lebet, santosa, jejer, gadah prabawa,

mandiri, budi pekerti, raos gesang bebrajan (Marwoto, 1981). Halus, suci, dalam,

sentosa, teguh, berwibawa, dapat berdiri sendiri, budi pekerti, hidup bersama dan

sebagainya.

Di Jawa para pendeta dan wali sama memperhatikan kesenian gendhing,

bahkan banyak yang turut memperbaharui bentuk gendhing serta kidung seperti

Sunan Kali Jaga, Sunan Giri, Sri Sultan Agung, dan sebagainya. Demikian pula di

dunia Barat para pemimpin agama serta para paus dan pendeta semuanya

mempergunakan daya pengaruh gendhing untuk pembuka rasa kebatinan dan

keagamaan, pun juga sebagai pengasah budi atau pembentukan watak yang

(6)

Pada jaman sekarang para ahli kebudayaan perlu sekali memperhatikan

pengajaran gendhing bagi pemuda, tidak saja karena hal tersebut di muka, tetapi

juga karena sifatnya gendhing Jawa itu sungguh indah serta luhur, patut jadi

kekayaan bangsa yang tiada taranya. Kecuali demikian, rasa memiliki kebudayaan

indah–luhur itu dapat menimbulkan kebanggaan serta kemurnian rasa kebangsaan.

Oleh karena itu piranti-piranti seni perlu juga diketahui.

Wirama Gendhing

Wirama gendhing terjadi karena suara tuntunan kendang, dalam tarian

menurut tuntunan keprak seperti tersebut di bawah: Lambat cepatnya laku

disebabkan oleh lambat atau mendesaknya pukulan kendang; Dalam dangkalnya

suara disebabkan oleh suara dang atau dung. Tertib serta teraturnya getar dan

gerak selalu mengikuti suara kendang yang berbunyi tek.

Jadi bunyi kendang itu, selain dapat lambat atau cepat, ada 5 macam:

dang, dung, pak, tong serta tek; yang lain-lain hanya merupakan prenlian belaka

delang, delung, sut, gembleb, dan sebagainya. Tertib serta teraturnya laku dijaga

pula oleh pukulan saron, ketuk, kempul, kenong serta gong, yang masing-masing

dapat diumpamakan titik lampah, titik pedotan, titik pada lingsa, titik pada dirga

serta titik pada, seperti halnya dalam menulis sekar (lagu). Selain itu bunyi

kempul menimbulkan rasa naik, ringan, dangkal, sehingga membawa

kegembiraan; adapun bunyi kenong menimbulkan rasa menurun, dalam, berisi,

hingga mendatangkan rasa tenteram atau tidak tergesa-gesa bunyi gong jelas

(7)

gendhing itu dijelaskan oleh pukulan saron, serta terbagi dalam 2 bagian pokok:

lampah lamba = pukulan yang memperdengarkan bunyi gendhing yang pokok;

lampah dados (ngracik) = melipatgandakan lampah lamba, yang menyebabkan

bunyi lagu terdengar jelas.

Dalam lampah lamba tiap satu kenong mengandung 8 pukulan saron

untuk gendhing alit (gendhing kecil) dan gendhing madya (gendhing tengahan);

adapun gendhing ageng (gendhing besar) berisi 16 pukulan (dalam gendhing

ketuk 4) atau 32 pukulan (dalam gendhing ketuk 8). Adapun dalam lampah dados

jumlah pukulan saron tadi lalu lipat dua.

Dalam satu gongan biasa disebut satu wilet, gendhing itu dapat berisi 2

kenongan, dapat pula berisi 4 kenongan. Tiap satu kenongan dalam gendhing alit

berisi kempul, jatuh pada bilangan pukulan saron yang ke-4, gendhing madya dan

besar tidak memakai kempul. Pukulan ketuk jatuh pada bilangan 2 dan 6 pada

gendhing alit atau madya yang berwirama lama (8 pukulan); dalam wirama dados

(16 pukulan) ketuk jatuh pada bilangan 4 dan 12.

Parikan punika : lagon kalih gatra, molung wanda. Saben sagatra

kapedhot: 4 – 4. Gatra ingkang kapisan boten wonten tegesipun. Gatra ingkang

kaping kalih wonten tegesipun. Panatanipun: Wanda pungkasaning pedhotanipun

gatra ingkang kapisan, kecapipun kedah sami kaliyan wanda ingkang

pungkasanipun/pedhotanipun gatra ingkang kaping kalih, kados ta :

(8)

4. Ijo-ijo godhong jati, Arep tinjo, dioncati. 5. Cao wutah, mowat-mawut,

botoh kalah, anjalebut.

Terkadhang gatra kalih wau dipun rangkepi malih sagatra wolung wanda

kadosta :

Awan nglinting, bengi nglinting, sing dilinting rokok dika, Awan gonjing, bengi gonjing, gonjing mikir upajiwa.

Parikan punika ingkang kathah namung prenesan (kangge njemoni).

Mila suraosipun kathah ingkang saru-saru utawi lekoh-lekoh. Ingkang kerep

ngangge parikan punika limrahipun tiyang-tiyang ingkang sami njambut damel

bau-suku (awrat, kasar), kadosta: tiyang nggrobag, tiyang nggered slender,

keseran lan sapiturutipun (Sudibyo Aris, 1982). Prelunipun kangge slamuran. Yen

kangge wonten ing gendhing, dipunangge tembangipun tledek, saur-sauran

kaliyan badut, upami : ijo-ijo, grompol lan sapiturutipun.

Senggakan

Adapun pada gendhing ageng yang berisi ketuk 4, pukulan ketuk jatuh

pada bilangan 2-6-10 dan 14 bila wiramanya lamba (16 pukulan); dalam wirama

dados (32 pukulan), jatuh pada bilangan 4-12-20-28. Pada gendhing ageng ketuk

8, ketuk tadi jatuh pada bilangan 2-6-10-14-18-22-26-30 dalam wirama lamba,

dan bila wiramanya dados jatuh pada bilangan 4-12-20-28-36-44-52 dan 60.

Berdasarkan wiramanya, seperti tersebut pada di atas, gendhing itu dibagi

dalam 3 jenis, yaitu: Gendhing alit, 8 pukulan lamba atau 16 kalau ngracik

(9)

ketawang, ladrang, gangsaran, sabrangan, tropongan, bibaran dan sebagainya.

Ketawang berisi 2 kenongan, sedang lainnya 4 kenongan; kempul yang pertama

dalam wirama lamba (yang seseg atau cepat) tidak dipukul (wela), kecuali

“ketawang” (karena ketawang itu wiramanya lambat).

Ada lagi gendhing-gendhing yang termasuk gendhing alit, seperti: sampak

(playon, srepegan), yang mempunyai aturan (tidak tetap) mengenai jatuhnya

ketuk, kempul, kenong dan gong, deikian pula halnya dengan dolanan, prenesan

dan sebagainya. Gendhing madya (tengahan) dalam tiap satu kenongnya berisi 16

pukulan seperti gendhing alit yang ngracik, hanya saja antara 2 ketuk tidak ada

kempulnya; apalagi wiramanya lebih antal (lambat) daripada gendhing alit dan

biasanya disebut gendhing ketuk kalih (gendhing ketuk dua). Adapun gendhing

madya seperti halnya dengan gendhing ageng mempunyai bagian muka, yang

disebut gendhingnya (di Surakarta disebut merong), sedang bagian belakang

dipukul sebagai pengganti gendhing, disebut ndawuh (di Surakarta minggah).

Adapun dawahing gendhing lalu rangkap wiramanya; gendhing ketuk kalih lalu

menjadi ketuk sekawan (ketuk empat) atau kadang-kadang dapat juga menjadi

gendhing ladrangan dengan kempul.

Gendhing ketuk kalih (tengahan, madya) ialah misalnya: candra,

gandrung-gandrung, sarayuda, lahela dan sebagainya. Gendhing ageng: tiap satu

kenong, berisi ketuk 4 atau ketuk 8 (yaitu 16 atau 32 pukulan lamba serta 32 atau

64 pukulan dados); bila sudah ndawah lalu menjadi gendhing ketuk 8 atau ketuk

16 (pukulan 64 atau 128). Gendhing ageng, ialah misalnya: gendhing mawar,

(10)

tetep akan tetapi dapat pula ndawah menjadi gendhing alit lainnya menurut

kehendak penuntunnya; yang demikian itulah termasuk tanduk prenes. Untuk

menentukan wirama gendhing cukuplah dengan menyebutkan jumlah ketuk atau

kendangnnya; misalnya: gendhing ketuk kalih kendangan candra, demikian lalu

jelaslah wiramanya (Waridi, 2004).

Senggakan memper parikan. Wilanganipun boten temtu, namung pados

mathukipun kaliyan gendhing ingkang dipun gerongi. Kanggenipun namung

kangge nyenggaki gendhing, inggih punika selanan ingkang atawisipun gerongan

utawi pada bakuning gendhing. Prelunipun namung kangge samben sadangunipun

ngentosi gerongan candhakipun. Wilanganipun wonten ingkang 12, kapedhot : 4 –

8, kadosta :

1. Klenthing miring, krambil bolong sisa bajing, milang-miling, golek tandhing lencir kuning. 2. Kanthong sutra, kumlewer neng sabuk wala,

Sun dudute, manawa condhong karepe. 3. Putra-putri putrane Petruk patrolan,

Gareng mati, matine tiban bedudan.

Ingkang wilanganipun sanes malih, kadosta :

1. Ri, ri, ri, Purwosari keh sepure,

2. Emoh konjak emoh anggur, takpilih sing gede duwur.

3. Empek-empek andhong-andhong, mbukak dengkek kleru plompong. 4. Babal bunder manglung kali.

5. Duwa lo lo lowe

Pandhapukanipun namung kaotak-atik murih sagedipun ceples kaliyan

(11)

Pedhotan

Salah satu piranti dalam tembang macapat adalah pedhotan. Menurut

Wiryah Sastrowiryono (1988), pedhotan dijelaskan sebagai berikut: Pangetokipun

gatra dados kalih perangan, tigang perangan utawi langkung, inggih punika

ingkang nedahaken andheging napas. Dhawahing pedhotan kedah trep

tembungipun, dados sampun ngantos wonten tembung kapedhot dados kalih,

sepalih tumut ngajeng, sepalihipun tumut wingking. Makaten ugi ukara inggih

boten piyoga kapedhot, yen : sapalih tumut sekar inginggil, sepalihipun tumut

sekar ing andhap. Dene waton pamedhotipun wau makaten : yen cacahing wanda

ing dalem sagatra wonten :

5, pamedhotipun : 3 – 2, utawi : 2 – 3 .

6, pamedhotipun : 4 – 2, utawi : 2 – 4 utawi : 3 – 3 7, pamedhotipun : 4 – 3, utawi : 3 – 4 utawi : 2 – 3 – 2 . 8, pamedhotipun : 4 – 4, utawi : 3 – 2 – 2 utawi : 3 – 2 – 3 . 9, pamedhotipun : 4, salangkungipun mirid ingkang 5 wanda.

Langkungipun saking 9 wanda : 4, salajengipun mirid tirahanipun.

Tumrapipun sandi asma, pamedhotipun ajeg :

6 wanda, kapedhot : 2 – 4. 7 wanda, kapedhot : 3 – 4. 8 wanda, kapedhot : 4 – 4.

Langkungipun saking 8 wanda, kapedhot 4, salajengipun mirid tirahanipun.

Tiyang nyekaraken, bilih saged anglenggahi dateng patokan kalih prakawis,

gurulagu tuwin guruwicalan, nama sampun saged tumindak. Nanging manawi

ukaranipun dereng manut ing pedotan, sekaranipun nama taksih kirang sakeca,

awit pedotan punika ingkang nedahaken andeging napas. Dados saupami

(12)

nanging kital ing pamaos, mila raosing sekaran lajeng kirang sakeca (Nanang

Windradi, 2002).

Sayektosipun manawi dipun petani, sanadyan sekaranipun para

linangkung inggih wonten ingkang boten netepi patokaning pedotan. Bok manawi

ingkang makaten wau namung caking boten anggalih dateng patokan kemawon,

nanging sampun kulina tuwin keraos dateng gregeting sekaran, mila sekaranipun

inggih sae kemawon. Namung menggah tiyang nyekaraken, salugunipun manawi

ngantos katah, asring wonten ingkang cewet.

Ananging menggah ing tiyang ingkang sampun kulina, sadawah-dawahing

sekaranipun tamtu katali ingkang nglenggahi pedotan, awit pandameling ukara ing

sekar sampun atul, ewa samanten menggah ing pedotanipun, punika manawi

namung dipun waos kangge maos serat, cakipun sakeca kemawon, kajawi manawi

kangge anggerong, punika tamtu keraos kital, awit sakecaning gerongan punika

manawi pedotanipun manut kados caraning pedotan ing sandiasma. Dene

peranganing pedotan wau kados ingandap punika:

Padalingsa ingkang cacahing wanda 5, kenging kapedot 3.2 utawi 2.3

Padalingsa ingkang cacahing wanda 6, kenging kapedot 4.2 utawi 3.3

utawi 2.4. Padalingsa ingkang cacahing wanda 7, kenging kapedot 4.3 utawi 3.4

utawi 2.3.2. Padalingsa ingkang cacahing wanda 8, kenging kapedot 4.4 utawi

3.3.2 utawi 3.2.3. Padalingsa ingkang cacahing wanda 9, kenging kapedot 4,

salajengipun kenging mirit kados ing pedotan wanda 5. Langkungipun saking 9,

sasampunipun dipun pedot 4 rumiyin, salajengipun inggih dipun pedot miturut

(13)

tumrap tiyang ingkang bade nyekaraken saged milih ing sasakecanipun, tuwin

menggah cacahing wanda inggih boten angangelaken ukara.

Namung tumrap sekar ingkang mawi sandiasma, pamedotipun ragi geseh,

kedah ajeg, manawi: Padalingsa ingkang cacahing wanda 6, pedotanipun 2.4.

Ingkang cacahing wanda 7, pedotanipun 3.4. Ingkang cacahing wanda 8,

pedotanipun 4.4. Langkungipun saking 8, pamedotipun 4 rumijn, salajengipun

kados inginggil.

Mirit kawontenanipun serat-serat kina, anggitanipun para pujangga utawi

para saged, kiranging sregipun pedotan namung sakedik sanget, dados sadaya

sampun meh anglenggahi patokan. Mila tumrap ingkang sami (bade sinau

nyekaraken, sanadyan dereng nama saged, tamtu inggih lajeng mangertos utawi

saged neniteni tuwin salajengipun saged angewahi kados pundi menggah leresing

pedoten, pepiritanipun mendet saking patokan ingkang kasebut inginggil

(Purwadi, 1995).

Sarehning patokan nyekaraken ing bab pedotan punika saweg pinanggih

wonten ing jaman sapunika, dados sampun sami anggalih bilih serat-serat kina

ingkang sinawung ing sekar punika awon, awit awon saening sekaran ingkang

netepi pedotan punika pancen dereng kamanah, dados panitikipun namung wonten

ing awon saening ukara. Awon saening ukara wan caged nitik saking enem

sepuhing serat. Dene pepiritanipun kados ingandap punika: Bebukanipun serat

Panji Angreni ingkang sampun umur 150 taun langkung. Kinanti. Dan

purwakaning angapus, mwang anreh gita tan saking, pratameng Kawi grendaka,

(14)

Sekaran inginggil punika ukaranipun kaken, Kawinipun boten kulina

kesrambah, pedotanipan boten netepii patokan, dados ingkang kecakup namung

gurulagu tuwin guruwicalanipun. Tumrapipun ing jaman sapunika sampun boten

wonten pepilihanipun. Nanging titiking serat kina katingal sanget. Punika

nandakaken hilih kawontenanipun kala jaman samanten inggih beda sanget

kaliyan jaman sapunika, mila wileting ukara, peprenesan tuwin sanes-sanesipun

tumraping jaman sapunika inggih boten amranani. Bebukanipun serat Wulangreh,

anggitandalem Ingkang Sinuhun Paku Buwana kaping IV. Dhandhanggula.

Pamedare wasitaning ati, cumantaka aniru pujangga, dahat muda ing batine,

nanging peksa ginunggung, datan weruh akeh ngesemi, ameksa angrumpaka, basa

kang kelantur, tutur kang ketula-tula, tinalaten rinuruh kalawan ririh, mrih

padanging sasmita.

Sekaran punika prasadja sanget, meh boten wonten Kawinipun,

pedotanipun sampun leres sadaya. Mirit sekaran punika, dados menggah ing

tiyang nyekaraken, sanadyan namung ngangge ukara limrah ugi sakeca, angger

(15)

Sekaran inginggil punika sampim ngangge iketan ukara Jawi ing jaman

sapunika, pedotanipun namung lepat satunggal, ing padalingsa kaping kalih.

Ukaranipun sarwa prasaja, tuwin salajengipun ingkang kawrat ing serat Lokapala

wau sae, greget-sautipun anenangi manah. Dene lepatipun pedotan wan namung

jalaran kepeksa ngangge tembung ingkang gangsal wanda. Bebukanipun serat

Rama, karanganipun R.Ng. Yasadipura.

Bebukanipun serat Cemporet, karanganipun Raden Ngabei Ranggawarsita.

Dhandhanggula

Sekaran inginggil punika sampun boten wonten kuciwanipun, luwesing

(16)

Keadaan pengetahuan gendhing Jawa dewasa ini belum sesuai dengan

keadaan jaman serta alam kesarjanaan: cara-cara pengajaran berdasarkan patokan

yang ilmiah. Pendapat-pendapat serta cara-cara pengajaran tadi kadang-kadang

saling bertentangan, sebab masing-masing memakai dasar sendiri-sendiri yang

hanya bersandarkan rasa serta perkiraan belaka, lagi sering berpegang pada

ketakhayulan (Soerasa, 1983). Hal demikian itu membingungkan mereka yang

hendak belajar, hingga akhirnya menyebabkan mundurnya kesenian gendhing

Jawa.

Pengetahuan gendhing yang berdasarkan kesarjanaan, tidak saja akan

menggampangkan pengajaran, namun juga akan dapat mengokohkan kedudukan

gendhing Jawa serta menghidupkannya, sebab akan dapat melenyapkan sebarang

ikatan yang serta membelit dan merintangi langkah (kebiasaan yang

berulang-ulang seperti mesin, kebekuan); kemerdekaan gendhing Jawa akhirnya akan dapat

memperbaiki, memajukan serta menambah keluhuran kebudayaan bangsa.

Segala cara serta jalannya pengajaran (sistem dan metode) harus bersifat

benar dan gampang (praktis). Untuk melengkapkan susunan pengetahuan serta

pengajaran gendhing Jawa, terlebih dahulu harus diketahui adanya tiga hal:

Betapa dalam serta luasnya kesenian gening Jawa; Isi dan bagian-bagiannya

gendhing Jawa, serta bagaimana hubungannya segala bagian tadi; Bagaimana cara

menyusun pelajaran, agar dapat mempersatukan bagian-bagian tadi sehingga

merupakan benda yang utuh kembali (Dewantara, 1968).

Traping ukara wonten ing sekar kaangkaha : Kados pandhapukipun

(17)

kabage dados sawatawis andheg, kangge unjal ambegan. Saben andheg wonten

ingkang langkung saking sagatra, utawi saukara. Pedhotan = dados peranganing

ukara ing sagatra-gatranipun. Andheg = dados ukara utawi dados peranganing

(18)

BAB II

TATA WIRAMA TEMBANG

Jenis Wirama

Gendhing ialah wirama dalam bentuk suara atau wirama yang dapat

didengar. Wirama disini jatuh di atas, karena kedudukannya ialah sebagai jiwanya

gendhing; dalam pada itu, suara itu buka lain daripada raganya (badannya)

gendhing. Dalam segala jenis gendhing selalu dapat dibuktikan, bahwa

buruk-baiknya gendhing itu pada umumnya tergantung daripada buruk-buruk-baiknya wirama.

Gendhing Gangsaran, Kodok ngorek, Munggang dan sebagainya,

sekalipun hanya berwujud satu -, dua- dan tiga suara, namun dapat menimbulkan

perasaan yang mengesan serta kenikmatan karena wiramanya. Oleh bangsa asing

gendhing Jawa itu sering dikatakan eentoning, membosankan, karena mereka

tidak dapat turut merasakan wiramanya.

Wirama iti ialah segala getaran dan gerak yang teratur serta harmonis,

cepat lambatnya laku, dalam dangkalnya ungkapan suara, berat ringannya greget

(kegairahan) dan graita (pengertian), yang semuanya selalu silih berganti, hingga

akhirnya menjadikan hidupnya suasana, lagipula menimbulkan rasa yang

mengesan. Urutan tertib daripada tekanan berat dan ringan dengan pengaruh yang

menjiwai.

Wirama adalah tanda dari segala yang hidup; teraturnya kodrat alam,

pergantian siang dan malam, perputaran dunia, jalannya matahari, bintang dan

(19)

memakai wirama yang jelas, ialah teratur, tertib, harmonis, patut dan sebagainya

(ketertiban, simetri). Suara gendhing ada dua macamnya, yaitu dapat diwujudkan

dengan suara manusia, lalu disebut sekar (tembang, lagu), dapat juga disuarakan

dengan alat yang dinamakan gangsa (gamelan), yang biasa lalu disebut gendhing.

Kedua-duanya tetap dinamakan lagu (Soetrisno, 2004).

Di dalam gendhing Jawa wirama itu terbagi atas beberapa macam, yang

dapat diringkaskan dalam 3 bagian: a. gendhing ageng (gendhing besar), b.

gendhing madya (gendhing tengahan), c. gendhing alit (gendhing kecil); jadi sama

dengan pembagian gendhing suara (vokal); sekar ageng (kawi), sekar madya

(tengahan, dagelan) dan sekar alit (macapat). Ketiga macam gendhing dan sekar

tadi memiliki watak sendiri-sendiri: a. lebet, antep, kendo (dalam, berat, lambat),

b. cekapan (sedang), c. enteng, cetek lan kenceng (ringan, dangkal, cepat).

Lagu suara (gendhing vokal) itu dalam kesenian Jawa selalu

mempergunakan irama bebas (tidak senantiasa tetap lakunya); akan tetapi

gendhing gangsa (gendhing instrumental) itu hampir semuanya memakai irama

tetap (kecuali lagon) dan ada-ada, karena gamelan harus mengikuti suara ki

dalang). Sekar gendhing itu ialah gendhing suara yang harus diperdengarkan

berbarengan dengan gamelan; maka dipakailah irama tetap. Sekar gendhing itu

ialah gendhing yang digubah menjadi tembang (nyanyian), seperti: kinanti-kinanti

puspawarna, subakastawa, tarupala, dan sebagainya atau tembang yang dilagukan

dengan irama tetap serta dijadikan gendhing, seperti: gendhing pocung, megatruh,

mijil, bremara wilasita, manggalagita, serta gendhing-gendhing ladrang, ketawang

dan lain-lain yang memakai nama sekar macapat, sekar tengahan, atau sekar

(20)

Titi Laras

Laras atau pathet itu keduanya merupakan tali pengikat suara gendhing

atau sekar yang dapat menyebabkan teraturnya, apalagi pantas serta tidak kakunya

segala lagu. Laras adalah urut-urutan suara mulai yang paling rendah sampai yang

tertinggi, yang tetap serta teratur swarantaranya (jarak antara satu-satunya suara).

“Laras” itu dipergunakan pula untuk menamakan satu-satunya suara, yang sudah

termasuk dalam urut-urutan suara yang telah teratur tadi. Umpamanya: laras

selendro dan pelog; laras salendro itu berisi laras barang, laras jangga, laras dada

(tengah), laras gangsal serta laras enem.

Pathet itu rakitan suara, yang merupakan bagian (pepetan atau pitetan)

dari satu-satunya laras sebagai daerah bergeraknya lagu agar enak didengar, tidak

terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah, hingga akhirnya dapat berkesan serta

menimbulkan perasaan tertentu, gembira, sedih, marah, tenteram, dan sebagainya.

Yen ngrakit sekar Macapat, pangrakitipun basa/basa kawi :

 Yen krama, krama kemawon.

 Yen ngoko, ngoko kemawon.

 Ugi kenging : krama sumela ing ngoko, utawi ngoko sumela ing krama.

Nanging kedah angengeti dateng unggah-ungguhing basa. Srananipun

kedah njajah utawi kerep maos buku-buku sekar.

 Panganggenipun basa Ngamanca kenging dipun-wetahaken kemawon,

kenging nrajang pedhotan, sampun ngantos pedhot wonten ing pada.

 Kenging ngringkes utawi ngulur tembung, upami :

(21)

mring, dados : maring di, dados : adi

sing, dados : saking pama, dados : upama prang, dados : perang kula, dados : kawula de, dados : dene tandha, dados : pratandha tan, dados : datan

jwa, dados : aywa, lan sapiturutipun.

Panganggenipun basa kawi : prayoginipun mawi basa Kawi ingkang

limrah, inggih punika basa Kawi ingkang kerep kangge ing serat-serat waosan.

Basa Kawi kaangkaha namung sumela kemawon, sampun ngantos kekatahen.

Laras, laras menika swara ingkang ajeg kedheripun lan tetep inggilpun (Sri

Widodo, 1995).

Menurut Sardjijo (1991), irama, Wirama atau Birama itu selalu terjalin

dalam lagu, gending dan tembang. Di muka telah disebutkan bahwa lagu itu

terdiri dari unsur-unsur: nada, harmoni dan w irama. Yang termasuk dalam nada

ialah: 1) melodi, besar kecil nada; 2) ritme panjang pendek nada; 3) keras lunak

nada (suara); 4) warna nada; Harmoni adalah keserasian paduan suara bersama.

Sedangkan irama (wirama) yang tidak lepas dari nada dan suara tersebut

mempunyai unsur-unsur; 1) ritme, 2) metrum, 3) gerak nada dan 4) tempo.

Seni Suara Jawa mempunyai dua jenis irama ialah: Irama bebas, dalam

bahasa Jawa disebut wirama mardika; Irama teratur, dalam bahasa Jawa disebut

wirama tumata; Irama Bebas atau Wirama Mardika. Banyak tembang dan lagu

Jawa yang dinyanyikan dengan irama bebas. Walaupun dikatakan dilagukan

dengan irama bebas, mesti terdengar dan terasa adanya keterlibatan langsung

adanya: panjang pendek suara, keras lunak suara, besar kecil nada, cepat lambat

(22)

dan tembang yang termasuk dalam kawasan irama bebas ialah: Tembang Macapat

(Sekar Alit), Sekar Tengahan (Tembang Dhagel), Sekar Ageng (Tembang Gedhe),

Lagon Sulukan, Sindhenan dan sebagainya.

Irama Teratur atau Wirama Tumata. Variasi panjang pendek suara (nada),

keras lunak suara, cepat lambat suara dan sebagainya itu diatur dalam tata irama

dan digambarkan dengan titik irama beserta tanda-tanda kelengkapannya, seperti

garis ritme, garis matra, tanda respirasi, lengkung ligatura dan sebagainya.

Gangsa

Gangsa (gamelan) ialah alat pemukul guna memperdengarkan gendhing;

bagian-bagiannya bermacam-macam serta dapat dibagi menjadi 4 jenis, ialah

alat-alat:

a. pencipta wirama: kendang serta keprak;

b. pencipta suara: rebab, gender (barung dan penerus), gambang, suling, clempung serta saron peking;

c. pemelihara wirama: ketuk, kempul, kenong, gong kempyong, ketipung, kecer, kemanak, bende, dan beri;

d. pemelihara suara: bonang penembung, gender penembung (slentem), saron demung serta saron biasa.

c. Wonten ingkang namung waton sami kecapipun kemawon. d. Wonten ingkang sami kecapipun ngalih.

Guritan punika ingkang limrah kangge dolanan lare. Wonten ugi

(23)

Tuladha-tuladha guritan :

(24)

Wangsalan punik memper cangkriman, nanging batanganipun

(tebusanipun) dipunciriyosaken pisan. Limrahipun, pandhapukipun punika dados

kalih gatra, ngalih welas wanda. Gatra kapisan amot cangkriman (wangsalan)

kalih. Jawabippun kawrat wonten ing gatra kaping kalih, awujud tembung wetah

utawi wancahanipun kemawon. Wangsalan punika suraosipun ingkang limrah

wedharing piwulang utawi wedharing raos gandrung.

Tuladha :

Ancur kaca, peksi langking mangsa sawa. Rasakena, yen lagi nandang deduka.

Katrangan : Ing gatra kapisan cangkrimanipun kalih, inggih punika :

a. Ancur kaca = raos (toja raos).

b. Peksi langking mangsa sewu = dhandhang.

Tembung rasa kaliyan dhandhang (utawi wancahanipun) kawrat wonten ing gatra

ingkang kaping kalih.

Gatra kaping kalih ingriku mungal :

“Rasakena, yen lagi nandang deduka.

Rasakena mendet tembung rasa.

Nandang, saking tembung dhandhang dipun wancah : ndang.

1. Kasut kayu wulu cumbuning Pandawa, (gamparan) Paran baja, prije margane kapangja. (Semar)

2. Kolik priya, priyagung anjani putra, (tuhu; Anoman) Satuhune, wong anom betah ing lapa.

3. Uler kambang kang sela panglawed ganda; (lintah-pipisan) Betahena tumekan pati pisan.

(25)

Jirak pindha mungwing wana,

Wangsalan ingkang sampun limrah kangge ing serat-serat sanesipun

serat sekar utawi kangge gineman, jawabipun sampun boten susah

dipun-2. Nek terus ora ana udan, lah rak kebombang temenan tandurku, = kapiran. Kebombang punika wangsalanipun tiyang tani : kebo abang-sapi. 3. Lo, Mas, njanur gunung, esuk-esuk kok wis mrene !

Janur gunung = januring klapa gunung –januring aren- kadingaren.

Terkadhang wangsalan ingkang sampun kangge gineman punika

jawabipun inggih dipun criosaken pisan, kadosta:

 Kalung parut, apa kuwat?

 Balung pakel, alok-alok hose.

 Rehning aku wis rumangsa luput, ija jenang sela apuranen.

 Kawis pita wis begjane.

 Roning mlinjo, sampun sayah nyuwun ngaso.

Dhalang yen sasmita dateng niyaga, aken ngungalaken gendhing,

namung dipun srampat ngangge wangsalan kemawon, kadosta :

(26)

Katrangan : yuda kenaka : peranganing kuku, kukur-kukur; nedha gendhing Pangkur.

2. Solahing danawa, pinda jangkrik mambu kili. Nedha gendhing : Jangkrik genggong

3. Piyak ngarsa tangkeb ing wuri. Nedha gendhing : Ayak-ayak

4. Tansah mangu-mangu denira arsa mungga ing satinggil. Neda gendhing : Ladrang mangu.

5. Kaya gadhung pepuletan wedale putri kekalih. Nedha gendhing : Sekar gadhung.

Ing serat-serat sekar, ukara sasmita wiwiting sekar, utawi santuning

sekar, ingkang kathah inggih asring dipun srampad ngangge wangsalan, kadosta :

1. Sumping sekar roning kamal

Roning kamal = godhong asem, sinom; sekar sinom. 2. Mrih sarkara kang makirtya nguni.

Sarkara =gendis; sekar dhandhanggula 3. Lir mas kentiring ranu.

Kentiring ranu = keli, kumambang; sekar; maskumambang. 4. Kadya gegandhengan asta.

Kanten asta; sekar kinanthi. 5. Ing wuri tan winirasa.

(27)

BAB III

SIMBOLISME DALAM TEMBANG

Purwakanthi

Dalam seni tembang banyak sekali ditemukan jenis-jenis purwakanthi.

Kesusastraan yang padat berisi dan diolah dengan bahasa indah disebut geguritan

atau puisi (Jati Rahayu, 2002). Keindahan bahasa puisi Jawa terletak pada tiga

macam yaitu: Wilet yaitu kelak-kelok suara agar ajeg, beruntun dan memiliki

makna yang tinggi. Wirama yaitu panjang pendek, keras liat dan tinggi rendah

jatuhnya suara. Yang tidak kalah penting yaitu Purwakanti atau dhong dhinging

suara. Adapun purwakanti itu dibagi menjadi tiga macam, yaitu: Purwakanti Guru

Swara Yaitu runtutnya suara. Cara memberi gambaran tentang sifatnya gendhing

dengan jalan menyebut kendangannya serta jumlah ketuk, begitu pula laras serta

pathetnya, boleh dikata sudah tepat sekali, sebab sungguh dapat menggampangkan

gambaran kita serta sekaligus menetapkan kebenaran daripada keternagan, bahwa

gendhing itu ialah sifatnya wirama dalam bentuk suara. Contohnya: Pandelori

(sebetulnya Bandil-ori), ketuk kalih, kendangan gandrung-gandrung kendang

kalih laras pelog pathet barang; demikian sifatnya gendhing Bandil-ori menjadi

jelas dengan sendirinya.

Ingkang dipun wastani Purwakanthi punika : ungel-ungelan utawi ukara

(wujud) tembung sawatawis ingkang kecapipun, utawi swaranipun sami.

(28)

swaranipun. Kanggenipun ingkang kathah wonten ing serat-serat sekar. Ing

pagineman ugi wonten, limrahipun ingkang suraos pitutur.

Purwakanthi punila wonten warni tiga :

pangrakitipin awewaton aksar swara (aksara gesang). Upami :

(29)

Bobot, bibit, bebet.

Watak wantuning wanita utama yaiku wani nata lan kudu tata, titi, titis, tatas, tlaten, tumemen lan bekti ngati-ati.

 Purwakanthi laku (lampah): inggih punika purwakanthi ingkang wujidipun

saking ukara camboran, wiwitanipun ukara kaping kalih sami kaliyan

pungkasanipun ukara kapisan.

Upami :

Kulik priya, priya-gung anjani putra.

Aja wani marang wong tuwa, wong tuwa ala-ala malati. Asung bekti, bektine kawula marang gusti.

Bayem arda, ardane ngrasuk busana.

(30)

Purwakanthi ingkang sami swaranipun, upami :

 Ati bengkong oleh oncong. (swara ong)

 Meneng-meneng ngandut jreneng. (swara : eng)

 Ora gombak ora kuncung, anggepe kaya tumenggung. (swara : ung)

 Lambe satumang, kari samerang. (swara : ang)

Ungel-ungelane utawi paribasan ingkang ngangge purwakanthi, upami :

 Wong mono kudu sing gemi, nastiti, ngati-ati.

 Wong milih jodo iku kudu ngelingi : bibit, bebet, bobot.  Sing teteg bae ngger atimu, sapa was, tiwas.

 Garing-garing anggere garang.

Tembung-tembung ingkang suraos sanget, katranganing tembung

kawontenan inggih kathah ingkang ngangge purwakanthi, kadosta : Ajur-mumur;

abang mbranang; kuning mbiring; kuning njengkining; ireng tunteng; cilik

mentik; cilik ongkak-angkik; padang njingglang; remuk bubuk; mung loro selo;

mung telu selu. Parikan utawi guritan punika sadaja mesti mawi purwakanthi.

Wonten malih purwakanthi: basa utawi purwakanthi wewilutan, inggih punika:

tembung pungkasaning gatra, sairib kaljan wiwitaning gatra candhakipun,

terkadhang namung sami aksaranipun satunggal upami :

(31)
(32)

Sih wigunaning karya Akarya wulangun

Wulanguning tama-harja

Harjeng deya sinemangkara sukmuji Pangesti maweng sastra

Adapun menurut Sardjijo (1991), sasmita tembang adalah sebagai berikut:

Buku-buku karangan para pujangga banyak yang memuat isyarat atau sasmita

berupa kata (perkataan) atau kelompok kata yang menunjukkan nama tembang

dalam pupuh itu atau nama tembang pupuh berikutnya secara tersamar. Pada

umumnya isyarat atau sasmita tembang itu berada pada awal pada (bait) pupuh I

dan pada gatra akhir pupuh-akhir sebagai petunjuk nama tembang pupuh

berikutnya. Contoh:

(1) Ana crita surasane becik, memanise kena kanggo wulang, tur carita satemene; ... (Sapu Ilang Suhe, Hardjowirogo), dalam pupuh I, pada I, gatra ke 2; nama pupuh itu tembang Dhandhanggula.

(2) Karsanipun ngantia meng prajaningsun, sami anenedha, ing Dewa amrih basuki, sutanira kang karya rarasing driya. (Panji jayeng tilam ranggawarsitan). Pupuh berikutnya adalah pupuh tembang mijil. (rarasing driya = rarasati).

Perkataan yang biasanya digunakan sebagai isyarat nama tembang itu

adlah sebagai berikut:

Pucung : pinucung, mucung, kluwak atau kata yang bersuku kata akhir ”cung”.

Maskumambang : kambang, kentir, imbul ing ranu, kumambang. Gambuh : tambuh, tumambuh, embuh, jumbuh, kambuh. Megatruh : pegat, megat, duduk, truh, dudukwuluh

Wirangrong: wirang, mirong, dsb. Balabak : klelep, kabalabak, dsb.

Kinanthi : kanthi, kekanthen, gandheng, dsb. Mijil : wijiling, wiyos, wiraos, wetu, rarasati.

(33)

Jurudemung : mas juru, mung, jurudemung. Girisa : miris, giris.

Sinom : anom, taruna, srinata, roning kamal, pangrawit, weni, logondhang, dsb.

Dhangdhanggula : manis, legi, sarkara, hartati, madu, dhandhang, gula-drawa, kilang dsb.

Candrasengkala

Dalam tembang juga sering digunakan sengkalan untuk menandai angka

tahun. Masing-masing angka ditandai dengan kata-kata khusus. Misalnya dalam

tembang Dhandhanggula berikut ini:

1. Tunggal gusti sujanma semedi, badan nabi maha buda, nijata luwih pamase; wong buweng rat lek iku, surya candra kartika bumi; wiji urip ron eka, prabu kenja nekung, raja putra sasadara, paksi dara tyas wungkul sudira budi, wani hyang jagad nata.

2. Asta kalih ro nembah ngabekti, netra kembar myat mandheg najana, swiwi lar sikara banteng; peksa apasang sungu, ati-ati talingan dresti; carana tangan karna, bau suku caksuh; mata paningal locana, amanebah karana ngrengga panganten dwi, kanthi buja-bujana.

3. Bahni tiga ujwa lan kaeksi, katon murub dahana pajudan, katingalan kaya benter; nala uninga kawruh, lir wrin weda naut-nauti; teken siking pawaka, kukus api apju, brama rana rananggana, utawaka uta ujel kobar hagni, wignja guna trijata.

4. Catur warna wahana pat warih, wau dadi dadya keblat papat, toya suci hudaka we, who nadi jladri sindu, joga gawe tlega her wening; udan bun tirta marta, karya sumber sumur; masuh marna karti karta, jalanidi samodra udaya tasik, tawa segara wedang.

5. Pandhawa lima wisikan gati, indri-indriya warastra wrayang, astra lungit sara sare; guling raksasa diyu, buta galak wil yaksa yaksi, saya wisaya bana; jemparing cakra hru; tata nata bayu bajra, samirana pawana maruta angin, panca marga margana.

6. Rasa nenem rinaras hartati, lona tikna madu sarkara, amla kayasa karaseng; hoyag obah nem kayu, wreksa glinggang prabatang ojig; sad anggas-anggang-anggang, mangsa naya retu, wayang winayang anggana, ilat kilat lidhah lindhu carem manis, tahen osik karengnya. 7. Sapta prawata acala giri, hardi gora prabata imawan, pandhita pitu

kaswareng; resi sagota wiku, yogi swara dwija suyati; wulang-weling wasita, tunggang turangga gung; swa aswa titihan kudha, ajar arga sabda nabda angsa munio, suka biksu biksuka.

(34)

9. Bolong nawa dwara pintu kori, bedah lawang wiwara gapura, song wilasita angleng; trusta trusti trus butul, dewa sanga jawata manjing; arum ganda kusuma, muka rudra masuk; rago angrong guwa menga, babahan leng ambuka gatra anggangsir, nanda wangi wadane.

(35)

BAB IV

TEMBANG DHANDHANGGULA

Dbandhanggula yang berasal dari kata dhandhang dan gula yang berarti

pengharapan akan yang manis. Adapun guru lagu dan guru wilangan tembang

dhandhanggula adalah sebagai berikut:

Dhandhanggula Lik Suling

(36)
(37)

Pu- dak a- mrik su- mer- bak

2 2 1 6 1 . 2 . 6 1 6 . 1 6 5 . 0 Kongas se- kar ga- dung

Selingan: //: 5 5 . / 5 1 6 5 / . : // Utawi: lagon Dolanan Jamuran .

(38)

3 3 3 3 3 . 3 2 3 . 5 . 0 Nga-turi ndjeng pan- du- ka

2 1 1 1 . 1 6 6 . 1 . 0 Ki- nen mbengkas sa- tru

. . . . . . . 1 1 1 1 1 1 . 1 . 2 1 . 0 Yen Su- ba- li sa- ged pe- djah

. . . . . . . . . 6 5 . 53 5 . 5 61 2 2 2 2 . 21 2 . 3 . 0 Ra- tu hamba nyaosaken pa- ti u- rip

(39)
(40)
(41)
(42)
(43)
(44)
(45)
(46)
(47)

BAB V

TEMBANG ASMARADANA

Kata Asmaradana yang berasal dari: asmara + dana dan berarti cinta +

memberi = senang membeni. Adapun guru wilangan dan guru lagunya adalah

(48)
(49)
(50)
(51)
(52)

BAB VI

TEMBANG SINOM

Kata sinom atau pupus berarti daun muda. Hal ini melambangkan seorang

anak yang sudah mulai berkembang. Dapat diupamakan sebagai daun yang Boten purun cidreng prang atarung dhadha. (12 a)

(53)
(54)
(55)
(56)
(57)

Lir cocak den- i- ra pe- ling,

1 2 2 2 2 . 2 1 2 . 3 . 0 Te- ka da- tan gi- na- lih,

1 1 1 1 1 1 . 1 . 2 3 2 . 0 Ka- dos pun-di ka- ka- Pra- bu,

3 5 5 5 5 . 6 . 5 3 2 . 1 . 0 Ing karsa jengan- di- ka,

6 1 1 1 1 1 . 2 3 1 . 2 . 1 6 . 0 E - yang Be- ga- wan Su- ma- li,

2 3 3 3 . 2 2 2 2 2 2 3 1 6 1 . 2 . 0 Pra- mi – la- nya dha-wuh- a- ken pa- ngan- di- ka.

Sinom Grandhil

. . . . . . . .

7 2 2 2 2 2 . 2 7 2 . 3 . 2 7 . 0 Sa – yek- ti ing ki- na- ki- na

. . . . . . .

7 2 2 2 2 2 . 3 . 2 7 . 6 . 0 Wonten pra-lam-bang nar- pa- ti,

. .

6 7 2 7 2 . 3 . 6 7 . 2 7 2 . 3 . 27 . 0 Lampaning pa- ra- na- ren- dra,

(58)

I a- dos pa - du- ka ka- ka ji 2 3 3 3 3 . 2 7 2 . 3 . 0 Yen ma- ka- ten Sang de- wi,

5 6 6 6 . 6 5 3 . 5 6 7 . 5 . 76 . 5 3 . 2 . 0 Yo – gya ji- na- os na wang- sul,

6 7 2 . 3 6 3 . 5 6 7 . 2 7 2 . 3 . 2 7 . 0 Dhu –ma teng Pra-bu Ra- ma,

6 6 6 6 . 6 7 5 . 6 . 2 . 3 2 7 . 6 . 0 I- ki ba- ji mi- tu- tur- I,

2 3 3 3 . 3 5 6 6 . 65 3.567. 5.65 3.2.0 A- ja ngucap mun-dak njejem- ber- I ja- gad.

(59)
(60)
(61)
(62)
(63)

TEMBANG KINANTHI

Kata kinanthi yang berasal dari kanthi diberi sisipan ini, menjadi kinanthi,

artinya : dikanthi, digandheng, disertai, ditemani. Adapun guru lagu dan guru

(64)

Kinanti Dadya Tapa

(65)
(66)

TEMBANG DURMA

Tembang durma umumnya digunakan untuk situasi yang sedang tegang,

sereng, dan berani. Adapun guru lagu dan guru wilangannya sebagai berikut:

Durma Reksasapati

(67)

Durma Swara Gora

(68)
(69)

BAB IX

bahasa Jawa Tengahan, timbul pula tembang baru yang berbeda dengan aturan

Kakawin, yang disebut Tembang Tengahan. Syair Tembang Tengahan tatkala itu

tentunya dengan bahasa Jawa Tengahan. Dilihat dari aturan-aturan bentuk

tembangnya tidak berbeda sama sekali dengan aturan bentuk Tembang

Alit/Macapat. Oleh karena itu, Poerbatjaraka mengatakan bahwa sekar tengahan

punika sajatosipun boten wonten (Poerbatjaraka, 1952). Konvensi tembang

Tengahan meliputi tembang Balabak, Jurudemung, Girisa, Wirangrong. Contoh :

(70)

Padmosoekotjo mengatakan bahwa tembang Kawi (Gedhe) mawa

paugeran guru laku lan guru wilangan; tembang Tengahan lan tembang Macapat

mawa paugeran guru gatra, guru wilangan lan guru lagu. Dadi paugerane

tembang Tengahan karo Macapat padha bae, mung bae tembang Tengahan tuwuh

luwih dhisik.

Jalaran saka iku sok ditembungake mangkene: tembang tengahan iku

tembang Macapat kang luwih dhisik, tembang Macapat iku tembang Tengahan

kan uwih kari (Harsono Kodrat, 1982). Tembang Tengahan yang banyak terdapat

dalam pustaka Jawa dan telah digolongkan dalam tembang Macapat ialah:

Balabak, Wirangrong, Jurudemung, Dhudhukwuluh dan Gambuh. Yang jarang di

temui dalam buku-buku Jawa antara lain: Puthutgelut, Lonthang, Kenya Kedhiri,

Palugon dan lain-lainnya. Lagu Tembang Tengahan pun menggunakan laras

Slendro dan Pelog beserta pathet-pathetnya sejumlah nama tembang yang ada.

(71)

Jurudemung

(72)

Kusuma Wirangrong

(73)
(74)

BAB X

TEMBANG GEDHE

Tembang Gedhe, contohnya : Citramengeng, Mintajiwa, Kusumastuti,

Pamularsih, Sikarini, Madayanti. Bentuk tembang gedhe atau ”sekar ageng”

hampir mirip dengan kakawin. Ciri-cirinya yaitu : Jumlah suku kata tiap satu baris

tetap. Tiap baitada empat larik. Nama-nama tembang gedhe :

(75)

Sekar ageng/Kawi punika cacahipun langkung kathah sanget tinimbang sekar

Macapat. Kanggenipun ingkang kerep namung kangge mbukani, mbawani

gendhing. Pandhapukipun:

 Boten ngengeti dhawahing swara.

 Wonten 4 (sekawan) pada pala.

 Sapada-padanipun terkadhang taksih dipun pedhot-pedhot dados

sawatawis gatra.

 Cacahing wandanipun ing sapada-padanipun sami. Cacahing wanda

punika dipun wastani Lampah.

Dados umpami sekar ageng Banjaran sari, lampah 19 pedhotan (6, 6, 7) x

4; tegesipun: sedaja wonten 4 pada. Saben sapada wonten 3 gatra.

Sagatra-gatranipun isi: 6 wanda, 6 wanda, 7 wanda. Gunggung 76 wanda. 4 wanda wau,

guru wilanganipun sapada-padanipun sami. Dene dhawahing swara (guru lagu)

boten dipun engeti (Kodiron, 1976). Guru wilangan utawi lampahipun wonten

ingkang : 6-8-9-10-11-12-13-14-15-16-17-18-19-20-21-22-23-24-27 sarta 28.

(76)
(77)
(78)
(79)
(80)
(81)
(82)
(83)

DAFTAR PUSTAKA

Diyono, 1996. Kempalan Gendhing-gendhing Pahargyan. Surakarta : Cendrawasih.

______, 1992. Tuntunan Sekar Macapat. Solo : Cendrawasih.

Hardjasoebrata, 1985. Pedhotan Tembang Macapat, Javanologi, Yogyakarta. Hardjowirogo, 1958. Pathokaning Nyekaraken. Jakarta : Balai Pustaka.

Harsono Kodrat, 1982. Gendhing-gendhing Karawitan Jawa. Jakarta : Balai Pustaka.

Ki Hadjar Dewantara, 1968. Dasar Pengetahuan Gendhing Jawa, Taman Siswa, Yogyakarta

Kodiron, 1976. Marsudi Karawitan Jawi. Pelajar : Surakarta. Marwoto, 1981. Turunan Karawitan. Solo : Putrajaya.

Nanang Windradi, 2002. Suluk Kawruh Pedhalangan lan Macapat. Solo : Cendrawasih.

Padmosoekotjo, 1960. Ngengrengan Kasusastran Jawa. Yogyakarta : Hien Hoo Bing.

Purwadi, 1995. Sekar Mekar. Solo : Cendrawasih.

Sardjijo, 1991. Apresiasi Seni Tembang. Yogyakarta : FPBS IKIP Yogyakarta. Soekiman, 1984. Gamelan Dramatari dan Komedi Jawa. Jakarta : Depdikbud. Soerasa, 1983. Gamelan. Jakarta : Depdikud.

Soetrisno, 2004. Syair Tembang dalam Wayang Purwa. Yogyakarta : Aditya Presindo.

Sri Widodo, 1995. Gendhing-gendhing Dolanan. Solo : Cendrawasih.

_________, 2000. Lelagon Langgam, Kroncong, Dhangdhut. Solo : Cendrawasih. Subalidinata, 1974. Kesusastraan Jawa. Yogyakarta : Nusatama.

Sudibyo Aris, 1982. Mengenal Kesenian Tradisional. Jakarta : Depdikbud. Waridi, 2004. Seni Pertunjukan Wayang. Solo : Einika.

Warih Jati Rahayu, 2002. Puspa Sumekar. Yogyakarta : Grafika Indah. Wasista Suryadiningrat, 1971. Gamelan Dance and Wayang in Jogjakarta.

Yogyakarta : Gamapress.

(84)

LAMPIRAN 1. SILABUS

SILABUS

MATA KULIAH : SENI TEMBANG II

SIL/FBS-PBD/240 Revisi : 00 10 Maret 2011 Hal

1. Fakultas / Program Studi : FBS / Pendidikan Bahasa Jawa

2. Mata Kuliah & Kode : Kode : PBD 240 3. Jumlah SKS : Teori : - SKS Praktik : 2 SKS

: Sem : Ganjil (l) Waktu : 16 pertemuan 4. Mata kuliah Prasyarat & Kode : ...

5. Dosen : Dr. Purwadi

I. DESKRIPSI MATA KULIAH

Mahasiswa memiliki kemampuan dan ketrampilan yang lebih baik tentang jenis-jenis tembang Jawa yang meliputi : penggunaan olah vokal, sebagian tembang macapat, tembang tengahan dan tembang gedhe. Pengetahuan tentang seluk beluk seni tembang Jawa ini akan memberi bekal mahasiswa menjadi ahli secara teoritis dan trampil secara praktis, sebagai pelaku dan pengembang budaya Jawa.

II. STANDARISASI KOMPETENSI MATA KULIAH

Mahasiswa mampu dan terampil melagukan sebagian tembang macapat, tembang tengahan dan tembang gedhe. Dengan penguasaan dasar-dasar lagu tersebut maka mahasiswa akan menjadi pecinta dan pengembang seni tembang dalam kehidupan sehari-hari.

III. POKOK BAHASAN DAN RINCIAN POKOK BAHASAN

Minggu ke Pokok Bahasan Rincian Pokok Bahasan Waktu I Pengenalan

(85)

Dhandhanggula dengan tembang Dhandhanggula

Biman Putra, 2002. Suka-suka Campursari. Surakarta : Cendrawasih.

Diyono, 1996. Kempalan Gendhing-gendhing Pahargyan. Surakarta: Cendrawasih.

______, 1992. Tuntunan Sekar Macapat. Solo : Cendrawasih.

Hardjasoebrata, 1985. Pedhotan Tembang Macapat, Javanologi, Yogyakarta. Hardjowirogo, 1958. Pathokaning Nyekaraken. Jakarta : Balai Pustaka.

Harsono Kodrat, 1982. Gendhing-gendhing Karawitan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.

Ki Hadjar Dewantara, 1968. Dasar Pengetahuan Gendhing Jawa, Taman Siswa, Yogyakarta

Kodiron, 1976. Marsudi Karawitan Jawi. Pelajar : Surakarta. Marwoto, 1981. Turunan Karawitan. Solo : Putrajaya.

Nanang Windradi, 2002. Suluk Kawruh Pedhalangan lan Macapat. Solo: Cendrawasih.

Sardjijo, 1991. Apresiasi Seni Tembang. Yogyakarta : FPBS IKIP Yogyakarta. Soekiman, 1984. Gamelan Dramatari dan Komedi Jawa. Jakarta : Depdikbud. Soerasa, 1983. Gamelan. Jakarta : Depdikud.

B. Anjuran :

(86)

Presindo.

Sri Widodo, 1995. Gendhing-gendhing Dolanan. Solo : Cendrawasih.

_________, 2000. Lelagon Langgam, Kroncong, Dhangdhut. Solo : Cendrawasih.

Sudibyo Aris, 1982. Mengenal Kesenian Tradisional. Jakarta : Depdikbud. Waridi, 2004. Seni Pertunjukan Wayang. Solo : Einika.

Warih Jati Rahayu, 2002. Puspa Sumekar. Yogyakarta : Grafika Indah.

Wasista Suryadiningrat, 1971. Gamelan Dance and Wayang in Jogjakarta.

Yogyakarta : Gamapress.

Wiryah Sastrowiryono, 1988. Bawa Sekar. Yogyakarta : SMKI.

V. EVALUASI

No Komponen Evaluasi Bobot (%)

- Teknik yang dipakai dalam evaluasi berupa ujian

tulis. Nilai akhir diperoleh dari perhitungan sebagai berikut.

NA = T + S + 2A 4

100 %

Jumlah 100%

Yogyakarta, 10 Maret 2011

Dosen

(87)

LAMPIRAN 2.

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)

MATA KULIAH : SENI TEMBANG II

RPP/FBS-PBD/240 Revisi : 00 10 Maret 2011 Hal.

1. Fakultas / Program Studi : FBS / Pendidikan Bahasa Jawa

2. Mata Kuliah & Kode : Seni Tembang II Kode : PBD 240 3. Jumlah SKS : Teori : - SKS Praktik : 2 SKS

: Sem : Gasal () Waktu : 16 pertemuan 4. Standar Kompetensi : Mahasiswa diharapkan akan lebih mampu dan terampil melagukan jenis-jenis tembang macapat, tembang tengahan dan gedhe. Dengan penguasaan seluk beluk lagu tersebut maka mahasiswa akan menjadi pecinta dan pengembang seni tembang.

5. Kompetensi Dasar : a. Mahasiswa akan lebih mengetahui pengetahuan dasar seni tembang Jawa. b. Pengetahuan itu akan memberi bekal pada

mahasiswa untuk menjadi ahli tembang Jawa secara teoritis dan trampil secara praktis.

6. Indikator Ketercapaian :Setelah mengikuti program perkuliahan ini mahasiswa mampu mengetahui jenis-jenis tembang macapat, tengahan dan gedhe.

7. Materi Pokok/Penggalan Materi : musik gender beserta dengan buku petunjuk bermain seni karawitan

8. Kegiatan Perkuliahan :

Tatap Muka

(88)

menit LATIHAN OLAH

VOKAL Latihan dasar olah vokal dengan disertai contoh tembang macapat,

Biman Putra, 2002. Suka-suka Campursari. Surakarta : Cendrawasih. Diyono, 1996. Kempalan Gendhing-gendhing Pahargyan. Surakarta :

Cendrawasih.

______, 1992. Tuntunan Sekar Macapat. Solo : Cendrawasih.

Hardjasoebrata, 1985. Pedhotan Tembang Macapat, Javanologi, Yogyakarta. Hardjowirogo, 1958. Pathokaning Nyekaraken. Jakarta : Balai Pustaka. Harsono Kodrat, 1982. Gendhing-gendhing Karawitan Jawa. Jakarta : Balai

(89)

Ki Hadjar Dewantara, 1968. Dasar Pengetahuan Gendhing Jawa, Taman Siswa, Yogyakarta

Kodiron, 1976. Marsudi Karawitan Jawi. Pelajar : Surakarta. Marwoto, 1981. Turunan Karawitan. Solo : Putrajaya.

Nanang Windradi, 2002. Suluk Kawruh Pedhalangan lan Macapat. Solo : Cendrawasih.

Sardjijo, 1991. Apresiasi Seni Tembang. Yogyakarta : FPBS IKIP Yogyakarta. Soekiman, 1984. Gamelan Dramatari dan Komedi Jawa. Jakarta : Depdikbud. Soerasa, 1983. Gamelan. Jakarta : Depdikud.

Soetrisno, 2004. Syair Tembang dalam Wayang Purwa. Yogyakarta : Aditya Presindo.

Sri Widodo, 1995. Gendhing-gendhing Dolanan. Solo : Cendrawasih.

_________, 2000. Lelagon Langgam, Kroncong, Dhangdhut. Solo : Cendrawasih. Sudibyo Aris, 1982. Mengenal Kesenian Tradisional. Jakarta : Depdikbud.

Waridi, 2004. Seni Pertunjukan Wayang. Solo : Einika.

Warih Jati Rahayu, 2002. Puspa Sumekar. Yogyakarta : Grafika Indah. Wasista Suryadiningrat, 1971. Gamelan Dance and Wayang in Jogjakarta.

Yogyakarta : Gamapress.

Wiryah Sastrowiryono, 1988. Bawa Sekar. Yogyakarta : SMKI.

Yogyakarta, 10 Maret 2011

Dosen

(90)

PENYUSUN

DR. PURWADI, M.HUM lahir di Grogol, Mojorembun, Rejoso, Nganjuk, Jawa Timur pada tanggal 16 September 1971. Pendidikan SD sampai SMA diselesaikan di tanah kelahirannya. Gelar sarjana diperoleh di Fakultas Sastra UGM yang ditempuh tahun 1990-1995. Kemudian melanjutkan studi pada Program Pascasarjana UGM tahun 1996-1998. Gelar Doktor di UGM diperoleh pada tahun 2001.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Metode penelitian kualitatif de- ngan teknik pengumpulan data gabungan dari wawancara, observasi, dan studi doku- men dilakukan untuk mempelajari keadaan Wayang Topeng Malangan

Perbedaan bahasa rupa Barat dan bahasa rupa tradisi tampak dalam relief di candi- candi, wayang kulit, wayang beber, wayang golek, lukisan Bali, gambar pada

Hasil penelitian menunjukkan bahwa meal experience yang terdiri dari variabel makanan dan minuman, kebersihan, suasana, dan harga berpengaruh positif signifikan,

Apabila kombinasi warna yang dipilih tepat, maka musuh akan hancur, dan mendapatkan skor, dan pada tahap tertentu, pemain akan menang, selama musuh tidak

The field survey was conducted using one set of thermal data logger installed in the selected house to record the air temperature and relative humidity of both indoor and

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya ada beberapa keywords dalam penelitian ini yang bisa diambil, diantaranya Minangkabau, kebudayaan, arsitektur, bentuk