Rona Lingkungan Hidup
3.4.2. Status Gizi Masyarakat
Status Gizi merupakan salah satu indikator untuk mengukur derajat kesehatan masyarakat dalam upaya pencapaian Indonesia sehat 2010. Status gizi masyarakat dalam hal ini adalah adanya tingkat kecukupan gizi atau energi protein pada balita.
Kesehatan balita merupakan salah satu indikator penting untuk melihat rawan tidaknya kesehatan masyarakat, maka Dinas Kesehatan setempat melalui Puskesmas yang ada terus melakukan program perbaikan gizi. Beberapa jenis program tersebut adalah upaya peningkatan penyuluhan para kader gizi kepada ibu‐ibu balita tentang konsumsi gizi dan upaya peningkatan Program Pemberian Makanan Tambahan (PMT) kepada balita.
Data bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) dan Status giji balita di Kecamatan Batui dapat dilihat pada Tabel.3.37 dan Tabel 3.38
Tabel.3.37. Persentasi Kelahiran Bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBBLR) di Puskemas Batui
Tahun Jumlah Bayi yang Lahir Bayi Berat Badan Lahir Rendah (BBBLR) Persentase Prevalensi*
2007 206 3 100 65.49 2008 206 ‐ 0 65.49 2009 209 ‐ 0 64.55 Sumber : Data Binkenmas Kecamatan Batui * Jumlah penduduk (13490 jiwa) / jumlah bayi yang lahir Tabel 3.38. Persentase Rata‐rata Status Gizi Balita di Kecamatan Batui
No Status Gizi Balita Frekuensi Persentase Prevalensi*
1 Di atas garis merah (berat badan bagus) 49 52,68 275.31 2 Normal (gizi cukup) 42 45,16 321.19 3 Di bawah garis merah (kurang gizi) 2 2,15 6745.00 Jumlah 93 100,00 7341.50 Sumber : Data Primer, 2007 (AMDAL PPGM, 2008) * Jumlah penduduk (13490 jiwa) / frekuensi
3.4.3. Kondisi Lingkungan
Lingkungan yang sehat adalah satu bagian dari fungsi kesehatan yang dilaksanakan oleh satuan kerja Puskesmas Batui. Kondisi lingkungan masyarakat yang diduga dapat berpengaruh terhadap proses penyebaran penyakit antara lain adalah kondisi bangunan tempat tinggal dan kondisi sanitasi.Data sarana sanitasi dasar pengelolaan kesehatan lingkungan Kecamatan Batui tahun 2009, dapat dilihat pada Tabel. 3.39 s.d Tabel. 3.43
Tabel 3.39. Persentase Sumber Air Minum yang Digunakan Masyarakat
No Sumber Air Minum Persentase Prevalensi
1 Sumur gali 70 1.43 2 Air hujan, sungai 25 4.00 3 Pipa desa 3 33.33 4 Lainnya 2 50.00 Jumlah 100,00 88.76 Sumber : Profil Kesehatan Puskesmas Batui, Tahun 2009
Rona Lingkungan Hidup
Peningkatan Kapasitas Produksi Gas Matindok (45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD)
III‐38 Tabel 3.40. Persentase Kepemilikan Jamban yang dimiliki Masyarakat
No Sumber Air Minum Persentase Prevalensi
1 Leher angsa 65 1.54 2 Plengsengan 3 33.33 3 MCK 3 33.33 4 Cemplungan 1 100.00 5 lainnya 28 3.57 Jumlah 100,00 171.78 Sumber : Profil Kesehatan Puskesmas Batui, Tahun 2009 Tabel 3.41. Persentase Sarana Pembuangan Air limbah yang dimiliki Masyarakat
No Sumber Air Minum Persentase Prevalensi
1 Memenuhi syarat 72 1.39 2 Tidak memenui syarat 24 4.17 3 Tidak ada sarana pembuangan air libah 4 25.00 Jumlah 100,00 30.56 Sumber : Profil Kesehatan Puskesmas Batui, Tahun 2009 V Tabel 3.42. Persentase Kondisi Lingkungan Ternak Masyarakat
No Sumber Air Minum Persentase Prevalensi
1 Terpisah 49 2.04
2 Tidak terpisah 32 3.13
3 Tidak ada ternak 19 5.26
Jumlah 100,00 10.43
Tabel 3.43. Persentase Kondisi Kesehatan Pekarangan Masyarakat
No Sumber Air Minum Persentase Prevalensi`
1 Pekarangan bersih 63 1.59
2 Pekarangan kotor 73 1.37
Jumlah 100,00 2.96
Sumber : Profil Kesehatan Puskesmas Batui, Tahun 2009
Gambaran tentang keadaan tandon tinja (jamban) keluarga khususnya dilihat dari jaraknya dengan sumur yang merupakan sumber pemenuhan kebutuhan air sehari‐hari dalam keluarga, disajikan pada Tabel 3.44.
Tabel 3.44. Rata‐rata Jarak Tandon Tinja (Jamban) dengan Sumur Keluarga
No Jarak Tandon Tinja – Sumur Jumlah Persentase
1 Kurang dari 7 m 10 5,74 2 7,1 – 10 m 37 21,26 3 Lebih dari 10 m 127 72,98 Jumlah 174 100,00 Sumber : Data Primer, 2007 (AMDAL PPGM, 2008)
PT. Pertamina EP PPGM
BAB IV
RUANG LINGKUP
DAN METODE STUDI
Ruang Lingkup dan Metode Studi
Peningkatan Kapasitas Produksi Gas Matindok (45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD) IV‐1
BAB IV
RUANG LINGKUP DAN METODE STUDI
4.1. Lingkup Rencana Kegiatan
Rencana produksi gas di Block Station Matindok semula sebesar 45 MMSCFD, telah dilingkup dalam dokumen AMDAL Proyek Pengembangan Gas Matindok dengan surat kelayakan lingkungan Nomor 863 Tahun 2008. Produksi gas sebesar 45 MMSCFD di Block Station Matindok belum beroperasi. Secara umum fasilitas produksi yang akan digunakan untuk menyokong produksi gas sebesar 45 MMSCFD tersebut adalah gas plant, trunkline, flowlines, wells, dan fasilitas lainnya.
Peningkatan produksi gas sebesar 20 MMSCFD hingga produksi gas total menjadi 65 MMSCFD, tidak diperlukan penambahan peralatan dan bahan. Jenis, jumlah, kapasitas peralatan yang digunakan pada produksi gas 65 MMSCFD ini pada prinsipnya sama seperti pada produksi gas 45 MMSCFD.
Mengingat kegiatan operasi untuk memproduksi gas sebesar 45 MMSCFD belum dilakukan, maka belum tersedia data yang terkait dengan pemantauan lingkungan, seperti yang direkomendasi dalam dokumen AMDAL sebelumnya (2008). Oleh karena itu, data kualitas lingkungan yang dibahas dalam dokumen ini mengacu pada hasil pengamatan lapang yang dilakukan pada Bulan Februari 2011 dan dokumen AMDAL (2008) serta dokumen RKL‐RPL Tambahan (2010). Pendekatan studi yang diadopsi dalam kajian RKL‐RPL Tambahan Peningkatan Produksi Gas Matindok (45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD) disajikan pada Gambar 4.1. Gambar 4.1. Pendekatan Studi RKL‐RPL Tambahan Peningkatan Produksi Gas Matindok (45 MMSCFD Menjadi 65 MMSCFD) Rencana Produksi 45 MMSCFD
Rencana Peningkatan Produksi Menjadi 65 MMSCFD
Dampak yang Muncul Terhadap Komponen Lingkungan
Rencana Pengelolaan & Pemantauan Lingkungan (RKL ‐ RPL)
1. Amdal Proyek Pengambangan Gas Matindok (2008) 2. RKL‐RPL Tambahan Perubahan Jalur Pemipaan Gas
Melalui Suaka Margasatwa Bakiriang
RKL‐RPL Tambahan Peningkatan Produksi Gas Matindok (45 MMSCFD Menjadi 65 MMSCFD) Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah
Implementasi RKL‐RPL Tambahan Peningkatan Produksi Gas Matindok (45 MMSCFD Menjadi 65 MMSCFD)
Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah Dokumen Lingkungan Pendukung Rencana Kegiatan di Blok Station Matindok
Ruang Lingkup dan Metode Studi
Uraian pendekatan studi (Gambar 4.1) yang diterapkan dalam kajian RKL‐RPL Tambahan Peningkatan Gas Matindok ini adalah :
Uraian deskripsi kegiatan dikompilasi dari deskripsi kegiatan pada dokumen AMDAL Proyek Pengembangan Gas Matindok (2008), uraian deskripsi kegiatan pada RKL‐RPL Tambahan Perubahan Jalur Pemipaan pada Suaka Margasatwa Bakiriang (2010), dan pasokan data untuk menunjang peningkatan produksi menjadi 65 MMSCFD oleh Pertamina EP.
Deskripsi kegiatan dikelompokan menjadi beberapa tahapan yakni: pra‐konstruksi, tahap konstruksi, operasi, dan pasca operasi. Uraian tahapan kegiatan tersebut akan dibatasi hanya pada kegiatan yang terkait langsung dengan peningkatan produksi gas dari 45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD. Uraian secara terperinci keempat tahapan kegiatan tersebut sebenarnya telah dijelaskan pada kedua dokumen lingkungan sebelumnya.
Uraian rona lingkungan hidup dikompilasi berdasarkan observasi di lapangan, rona lingkungan hidup yang dibahas dalam AMDAL PPGM (2008), rona lingkungan hidup pada RKL‐RPL Tambahan Perubahan Jalur Pemipaan pada Suaka Margasatwa Bakiriang (2010). Identifikasi, prakiraan dan evaluasi dampak penting mengacu pada kaidah yang berlaku yaitu metode perhitungan matematis, dan penilaian ahli (profesional judgement), perbandingan nilai kualitas lingkungan dengan baku mutu, keterkaitan (linkage) antar komponen lingkungan, serta pendekatan holistik.
RKL‐RPL Tambahan ini didasarkan pada penambahan volume produksi gas dari 45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD. Oleh karena itu, setelah dilakukan telaahan dampak penting melalui proses pelingkupan, prakiraan dampak, dan evaluasi dampak, tidak menutup kemungkinan ternyata komponen lingkungan yang terkena dampak sama dengan yang ditimbulkan pada produksi gas 45 MMSCFD, atau intensitasnya berbeda, maka langkah‐langkah yang ditempuh dalam pengelolaan dan pemantauan pun akan serupa dengan dokumen lingkungan sebelumnya, atau mengalami modifikasi.
4.2. Pelingkupan
Bahan rujukan yang dijadikan acuan dalam proses pelingkupan ini adalah PerMenLH No. 8 tahun 2006 tentang Panduan Penyusunan AMDAL. Selain itu, “Panduan Pelingkupan dalam AMDAL” (2007) yang dipublikasi oleh Deputi Bidang Tata Lingkungan, Kementerian Negara Lingkungan (KLH) dengan dukungan Danish International Development Agency (Danida) melalui Environmental Sector Programme Phase 1 juga dikutip sebagai referensi.
Pelingkupan merupakan suatu proses awal dalam penyusunan dokumen lingkungan yang digunakan untuk menentukan lingkup permasalahan, mengidentifikasi dampak penting hipotetik yang terkait dengan rencana kegiatan, menentukan batas wilayah studi, menentukan lama dampak berlangsung dengan adanya kegiatan, dan menentukan metode prakiraan dampak yang akan diterapkan dalam mengevaluasi dampak penting hipotetik. Pelingkupan dampak penting hipotetik dilakukan melalui tiga tahap yaitu: identifikasi dampak potensial, evaluasi dampak potensial, dan prioritas dampak penting hipotetik.
Pada proses pelingkupan RKL‐RPL Tambahan Peningkatan Produksi Gas Matindok (45 MMSCFD Menjadi 65 MMSCFD) dicermati beberapa hal yang dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan dampak potensial, dampak penting hipotetik, dan prioritas dampak penting hipotetik, yakni: deskripsi kegiatan, rona lingkungan hidup, kegiatan lain di sekitarnya, dan saran serta tanggapan masyarakat terhadap kegiatan.
Ruang Lingkup dan Metode Studi
Peningkatan Kapasitas Produksi Gas Matindok (45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD) IV‐3 Deskripsi kegiatan yang dijabarkan dalam Bab II merupakan deskripsi kegiatan pada produksi gas 45 MMSCFD dan pada produksi gas 65 MMSCFD. Rona lingkungan yang dijabarkan pada Bab III merupakan hasil pengamatan langsung di lapang dan data yang diekstrak dari dua buah dokumen lingkungan sebelumnya. Pada bagian ini dibahas karakteristik komponen geofisik‐kimia (iklim, kualitas udara, geologi, tanah, dan kualitas air), komponen biologi (vegetasi dan satwa liar), dan komponen sosekbud serta kesehatan masyarakat (kependudukan, sosial ekonomi, pendidikan, kesehatan masyarakat, dan persepsi masyarakat terhadap perusahaan). Di sekitar Block Station Matindok tidak terdapat kegiatan industri. Pemukiman penduduk terdekat adalah Desa Nonong, sekitar 1,2 km di sebelah tenggara Block Station Matindok.
Kegiatan peningkatan produksi gas dari 45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD dilakukan sepenuhnya di Block Station Matindok dengan memanfaatkan peralatan dan bahan yang sama untuk memproduksi gas 45 MMSCFD.
a. Identifikasi Dampak Potensial
Identifikasi dampak potensial dilakukan dengan mempertimbangkan hasil pengamatan langsung di lapangan dan studi pustaka dokumen AMDAL Proyek Pengembangan Gas Matindok (2008), RKL‐RPL Tambahan Perubahan Jalur Pemipaan Gas Melalui Suaka Margasatwa Bakiriang (2010). Matrik identifikasi dampak potensial disajikan pada Tabel 4.1. Kegiatan lain di sekitar dan saran serta masukan masyarakat yang diperoleh pada saat dilakukan wawancara juga menjadi pertimbangan dalam menentukan dampak potensial. Metode yang ditempuh dalam menentukan dampak potensial ini adalah: diskusi antar tenaga ahli, studi pustaka, dan observasi lapang.
Pada proses identifikasi dampak potensial diperoleh 6 dampak potensial yakni: penurunan kualitas udara, peningkatan kebisingan, penurunan kualitas air, peningkatan pendapatan masyarakat, gangguan kesehatan masyarakat, dan persepsi masyarakat.
Tabel 4.1. Matrik Dampak Potensial
Komponen Lingkungan Pra Konstruksi Konstruksi Rencana Kegiatan Operasi Pasca Operasi A. Aspek FisikKimia 1. Penurunan Kualitas Udara v 2. Peningkatan Kebisingan v 3. Penurunan Kualitas Air v B. Aspek SosekbudKesmas 1. Peningkatan Pendapatan Masyarakat v v 2. Gangguan Kesehatan Masyarakat v 3. Persepsi Masyarakat v v Keterangan: V = Diprakirakan terkena dampak Penurunan Kualitas Udara: Untuk meningkatkan produksi gas dari 45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD dibutuhkan peningkatan fuel gas (3 MMSCFD menjadi 5 MMSCFD) untuk menggerakkan berbagai peralatan. Gas yang dibakar di flare juga terjadi peningkatan dari 0,4 MMSCFD menjadi 0,65 MMSCFD. Peningkatan konsumsi fuel gas dan juga peningkatan pembakaran gas di flare diprakirakan akan meningkatkan jumlah emisi, yang selanjutnya mungkin berpengaruh terhadap kualitas udara ambien di sekitarnya.
Peningkatan Kebisingan: Dengan adanya peningkatan produksi gas menjadi 65 MMSCFD, diprakirakan akan terjadi peningkatan kerja mesin, sehingga akan meningkatkan kebisingan di sekitar lokasi Block Station Matindok.
Ruang Lingkup dan Metode Studi
Penurunan Kualitas Air: Peningkatan produksi gas dari 45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD tidak akan meningkatkan volume air terproduksi. Volume air terproduksi yang dihasilkan pada 45 MMSCFD dan 65 MMSCFD yaitu sama sebesar 1.300 BWPD. Setelah melalui proses pengolahan agar kualitas air terproduksi memenuhi baku mutu, maka hasil olahan air terproduksi tersebut akan dibuang ke badan air di sekitarnya.
Penampungan air terproduksi yang belum diolah di dalam tangki penampungan berpotensi mencemari air permukaan seperti sungai dan sumur dangkal, jika air terproduksi tersebut tidak dikelola dengan baik. Pembuangan secara terus‐menerus air terproduksi yang telah diolah ke badan air akan menimbulkan dampak terhadap kualitas badan air penerima dan biota air yang hidup di dalamnya.
Sumber dampak lainnya terhadap kualitas air adalah kegiatan pemeliharaan fasilitas produksi berupa pemeliharaan tangki penampung air terproduksi. Kegiatan pemeliharaan ini berpotensi meningkatkan volume sludge akibat bertambahnya produksi gas.
Peningkatan Pendapatan Masyarakat: Peningkatan produksi gas dari 45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD diperlukan lahan untuk Block Station Matindok + 20 ha. Lahan yang sudah dibebaskan untuk Block Station dengan kapasitas produksi 45 MMSCFD adalah seluas sekitar 15 Ha. Konsekuensinya, dibutuhkan tambahan lahan + 5 ha. Penambahan lahan ini memerlukan pembebasan lahan dan tanam tumbuh. Oleh karena itu, berpotensi menimbulkan dampak pada peningkatan pendapatan masyarakat yang memiliki lahan.
Gangguan Kesehatan Masyarakat: Merupakan dampak turunan dari penurunan kualitas udara dan penurunan kualitas air, sekiranya kedua komponen lingkungan tersebut tidak dikelola dengan seksama. Dengan adanya peningkatan produksi diprakirakan dampak terhadap penurunan kesehatan masyarakat akan lebih banyak, walaupun lokasi pemukiman terdekat berjarak sekitar 1,2 km.
Persepsi masyarakat: Merupakan dampak turunan dari penurunan kualitas udara (dampak primer), penurunan kualitas air (dampak primer), peningkatan pendapatan masyarakat (dampak primer), dan gangguan kesehatan masyarakat (dampak sekunder) yang bermuara pada terbentuknya baik persepsi positif maupun negatif masyarakat terhadap peningkatan produksi menjadi 65 MMSCFD.
b. Evaluasi Dampak Potensial
Evaluasi dampak potensial dimaksudkan untuk meniadakan dampak yang dianggap tidak relevan atau tidak penting. Pada evaluasi dampak potensial, komponen lingkungan yang menjadi dampak potensial bisa menjadi berlanjut sebagai dampak penting hipotetik atau hilang. Bisa juga dampak potensial tersebut berlanjut menjadi dampak penting hipotetik, namun sumber dampaknya berkurang.
Metode yang diterapkan dalam proses evaluasi dampak potensial ini berupa diskusi antar tenaga ahli yang lebih intensif. Adapun kriteria yang dipakai dalam proses evaluasi dampak penting potensial ini adalah:
1. Apakah beban terhadap komponen lingkungan tertentu sudah tinggi? Hal ini dapat ditentukan dari analisis data sekunder.
2. Apakah komponen lingkungan tersebut memegang peranan penting dalam kehidupan sehari‐hari masyarakat (keterkaitan dengan sosial ekonomi masyarakat) dan terhadap komponen lingkungan lainnya (keterkaitan ekologis). Hal ini bisa tampak dari analisis data sekunder.
Ruang Lingkup dan Metode Studi
Peningkatan Kapasitas Produksi Gas Matindok (45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD) IV‐5 3. Apakah ada kekhawatiran masyarakat yang tinggi terhadap komponen lingkungan
tersebut? Hal ini bisa diidentifikasi dari hasil analisis data sekunder dan wawancara singkat.
4. Apakah ada aturan atau kebijakan yang dilanggar oleh dampak tersebut? Hal ini dapat ditelaah dari adanya peraturan seperti baku mutu yang terkait dengan komponen lingkungan yang terkena dampak.
Setiap komponen lingkungan yang menjadi dampak potensial ditapis dengan keempat pertanyaan tersebut. Jika salah satu pertanyaan dijawab ya, maka dampak potensial tersebut akan berlanjut menjadi dampak penting hipotetik.
Penurunan kualitas udara: Penurunan kualitas udara ambien akibat peningkatan kandungan CO, NO2, dan SO2 pada udara emisi. Untuk meningkatkan produksi gas dari 45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD dibutuhkan peningkatan fuel gas (3 MMSCFD menjadi 5 MMSCFD) untuk menggerakkan berbagai peralatan (turbin, heater, dan generator). Gas yang dibakar di flare juga terjadi peningkatan dari 0,4 MMSCFD menjadi 0,65 MMSCFD. Peningkatan konsumsi fuel gas dan peningkatan pembakaran gas di flare diprakirakan akan meningkatkan jumlah emisi yang dikeluarkan oleh mesin‐mesin pembangkit energi yang melepaskan emisi, flare, dan emisi fugitive yang kemungkinan berasal dari leakage (kebocoran). Oleh karena itu penurunan kualitas udara menjadi dampak penting hipotetik. Peningkatan kebisingan akibat peningkatan kinerja mesin: Melalui penelaahan lebih lanjut ternyata peningkatan kebisingan yang pada awalnya merupakan dampak potensial, karena dugaan adanya peningkatan kerja mesin‐mesin produksi, tidak menjadi dampak penting hipotetik. Hal ini mengingat jarak permukiman terdekat dengan lokasi rencana kegiatan adalah sekitar 1,2 km yang berada di sebelah tenggara dari Block Station Matindok. Dampak terhadap kebisingan akibat pengoperasian fasilitas produksi, juga tidak berlanjut menjadi dampak penting hipotetik. Kajian tereliminasinya dampak potensial kebisingan tersebut dijelaskan secara rinci pada uraian berikut.
Peningkatan kebisingan akibat pengoperasian mesin dan peralatan yang terkait dalam peningkatan produksi gas dari 45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD, ditentukan berdasarkan agregasi tingkat kebisingan keseluruhan dari semua peralatan yang menjadi sumber bising. Perubahan tingkat kebisingan dalam ruang udara ambien karena menjauhi sumber bising dihitung dengan menggunakan persamaan penurunan kebisingan (noise attenuation) sebagai berikut (Canter, 1996; Kiely, 1998): 1 r 2 r log * 20 1 LP 2 LP = − Keterangan: LP1 = Tingkat kebisingan pada jarak r1 (dBA) LP2 = Tingkat kebisingan pada jarak r2 (dBA) r1 = Jarak pengukuran ke‐1 dari sumber kebisingan (m) r2 = Jarak pengukuran ke‐2 dari sumber kebisingan (m)
Bila masing‐masing sumber bising yang berasal dari mesin‐mesin produksi menghasilkan tingkat kebisingan sebesar 90 dBA, maka tingkat kebisingan akhir secara keseluruhan (Davis and Cornwell, 1998) yang dihasilkan adalah sebesar 96,9 dBA (Gambar 4.2). Jika tingkat kebisingan secara keseluruhan dari sumbernya sebesar 96,9 dBA, maka perubahan tingkat kebisingan menjauhi sumber dengan mengikuti persamaan di atas (Gambar 4.3).
Ruang Lingkup dan Metode Studi
Pada Gambar 4.3 tersebut tampak bahwa tingkat kebisingan telah mencapai baku mutu kawasan industri yakni 70 dBA pada jarak sekitar 220 meter dari sumbernya, dan baku mutu kebisingan pemukiman yakni 55 dBA pada jarak sekitar 1.100 m. Baku mutu tingkat kebisingan daerah industri sebesar (70 dBA) dan pemukiman (55 dBA) tersebut mengacu pada Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 48 Tahun 1996 tentang Baku Tingkat Kebisingan.
Kegiatan operasi produksi yang menimbulkan kebisingan berlangsung cukup lama (> 10 tahun). Berdasarkan data akumulasi kebisingan, jika diasumsikan semua sumber dampak bising beroperasi secara bersamaan, maka kebisingan akan melampaui baku mutu daerah industri sesuai KepMenLH Nomor 48 tahun 1996 (70 dBA) hingga jarak 220 m dari sumber bunyi, sehingga luas sebaran dampak relatif kecil.
Pemukiman terdekat (Desa Nonong) terletak cukup jauh sekitar ± 1,2 km dari Block Station Matindok. Bagi karyawan yang bekerja di area proses Block Station Matindok, nilai tingkat kebisingan ini juga masih memenuhi baku mutu persyaratan kesehatan lingkungan kerja perkantoran dan atau industri sesuai KepMenKes Nomor 261 Tahun 1998 (85 dBA). Gambar 4.3. Perubahan Tingkat Kebisingan Menjauhi Sumber Bising di Block Station Matindok Gambar 4.2. Tingkat Kebisingan Agregasi dari Lima Mesin dan Peralatan di Block Station Matindok
Ruang Lingkup dan Metode Studi
Peningkatan Kapasitas Produksi Gas Matindok (45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD) IV‐7 Penurunan kualitas air akibat pengoperasian fasilitas produksi: Peningkatan produksi gas dari 45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD tidak akan meningkatkan volume air terproduksi. Volume air terproduksi yang dihasilkan pada 45 MMSCFD dan 65 MMSCFD yaitu sama sebesar 1.300 BWPD.
Setelah melalui proses pengolahan agar kualitas air terproduksi memenuhi baku mutu, maka hasil olahan air terproduksi tersebut akan dibuang ke badan air di sekitarnya. Mengingat volume air terproduksi yang dihasilkan sama, maka kemungkinan terjadinya penurunan kualitas air adalah sama baik pada saat produksi 45 MMSCFD maupun 65 MMSCFD. Maka dari itu, sumber dampak kualitas air akibat air terproduksi pada kajian ini tidak berlanjut menjadi dampak penting hipotetik, karena telah dikaji pada dokumen AMDAL sebelumnya. Penurunan kualitas air akibat pemeliharaan fasilitas produksi: Mengingat kegiatan di Block Station Matindok hanya memproduksi gas dengan hasil sampingan berupa kondensat, maka diprakirakan pembentukan sludge relatif sedikit, sehingga pemeliharaan tangki penampung air terproduksi hanya akan dilakukan secara berkala setiap sekitar 4 ‐ 5 tahun atau apabila berdasarkan hasil inspeksi dinyatakan bahwa perawatan tangki perlu dilakukan. Sludge dikeluarkan dari tangki timbun untuk selanjutnya dikelola sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun jo Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. Sludge yang dihasilkan akan dikirim ke perusahaan yang telah memiliki ijin penanganan limbah B3. Penanganan sementara terhadap sludge mengacu pada Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor 01/ BAPEDAL/9/1995, 02/BAPEDAL/9/1995, 03/BAPEDAL/9/1995, dan 05/BAPEDAL/9/1995. Oleh karena itu, kegiatan pemeliharaan fasilitas produksi tidak menimbulkan dampak penting hipotetik terhadap kualitas air.
Peningkatan pendapatan masyarakat akibat proses pembebasan lahan dan kompensasi tanam tumbuh: Lahan yang diperlukan untuk Block Station Matindok adalah + 20 ha. Lahan yang telah dibebaskan adalah + 15 ha. Penambahan lahan adalah + 5 ha. Penambahan lahan ini memerlukan pembebasan lahan dan tanam tumbuh. Lahan yang akan dibebaskan dan diberikan kompensasi tanam tumbuh adalah lahan kebun milik masyarakat. Namun demikian, proses pembebasan lahan ini hanya berlangsung sekali pada tahap pra konstruksi, sehingga dampak kegiatan terhadap peningkatan pendapatan masyarakat hanya sesaat, tidak kontinyu, dan relatif tidak besar kuantitasnya. Selain itu, proses pembebasan lahan (+ 15 Ha) telah dilakukan dengan baik, sehingga proses pembebasan lahan tambahan seluas + 5 Ha akan dilakukan sesuai dengan prosedur pembebasan sebelumnya, sehingga diprakirakan akan juga dapat berjalan dengan lancar.
Berdasarkan hal di atas, maka peningkatan pendapatan masyarakat yang berasal dari proses pembebasan lahan dan kompensasi tanam tumbuh bukan merupakan dampak penting hipotetik.
Dengan tereliminasinya peningkatan kebisingan, penurunan kualitas air, serta peningkatan pendapatan, maka dampak penting hipotetik pada studi RKL‐RPL Tambahan ini yaitu:
Penurunan kualitas udara ambien akibat peningkatan kandungan CO, NO2, dan SO2 pada udara emisi.
Untuk meningkatkan produksi gas dari 45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD dibutuhkan peningkatan fuel gas (3 MMSCFD menjadi 5 MMSCFD) untuk menggerakkan berbagai peralatan (turbin, heater, dan generator).
Ruang Lingkup dan Metode Studi
Gas yang dibakar di flare juga terjadi peningkatan dari 0,4 MMSCFD menjadi 0,65 MMSCFD. Peningkatan konsumsi fuel gas dan peningkatan pembakaran gas di flare diprakirakan akan meningkatkan jumlah emisi yang dikeluarkan oleh mesin‐mesin pembangkit energi yang melepaskan emisi, flare, dan emisi fugitive yang kemungkinan berasal dari leakage (kebocoran).
Gangguan terhadap kesehatan masyarakat merupakan dampak sekunder akibat penurunan kualitas udara. Hal ini karena emisi yang dikeluarkan terus menerus dari Block Station Matindok.
Persepsi masyarakat merupakan dampak turunan dari penurunan kualitas udara (dampak primer), dan gangguan kesehatan masyarakat (dampak sekunder). Persepsi masyarakat terhadap perusahaan bisa berupa persepsi positif atau persepsi negatif, tergantung pada dampak primer dan sekunder yang menjadi sumber dampak persepsi ini.
Tiga dampak penting hipotetik pada studi RKL‐RPL Tambahan ini juga menjadi dampak penting hipotetik pada dokumen AMDAL Tahun 2008 (Tabel 4.4).
c. Prioritas Dampak
Penentuan prioritas dampak penting hipotetik tidak mengurangi atau mengubah nama komponen lingkungan yang menjadi dampak penting hipotetik. Hal yang dilakukan adalah menyusun dampak penting tersebut berdasarkan prioritasnya.
Dampak penting hipotetik ditentukan prioritasnya dengan tujuan untuk mengurutkan dampak penting berdasarkan prioritasnya. Pendekatan yang dilakukan dalam menentukan prioritas dampak adalah dengan menggunakan metode yang memprakirakan besarnya peluang terjadinya dampak (probability) dan besarnya akibat atau konsekuensi (consequences) (Tabel 4.2). Proses pemberian skala prioritas dampak pada tahap operasi disajikan pada Tabel 4.3. Tabel 4.2. Prioritas Dampak Berdasarkan Probabilitas dan Konsekuensi Peluang Kejadian/Akibat Besarnya Akibat (Konsekuensi) Insidental (1) Kecil (2) Menengah (3) Besarnya Peluang Kejadian Kemungkinan Sedang (3) 3 6 9 Kemungkinan Kecil (2) 2 4 6 Jarang Sekali (1) 1 2 3 Tabel 4.3. Proses Pemberian Skala Prioritas Dampak pada Tahap Operasi
Dampak Penting Hipotetik Skala Prioritas 1 Penilaian 2 3
Penurunan Kualitas Udara PeluangKonsekuensi
Total Skala = 6 (2x3) Terganggunya Kesehatan Masyarakat Peluang Konsekuensi Total Skala = 4 (2x2)
Persepsi Masyarakat PeluangKonsekuensi
Total Skala = 2 (2x1)
Berdasarkan penentuan skala prioritas, maka diperoleh prioritas dampak penting hipotetik berikut ini yang disusun berdasarkan tahapan kegiatan.
Ruang Lingkup dan Metode Studi
Peningkatan Kapasitas Produksi Gas Matindok (45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD) IV‐9 Prioritas dampak penting hipotetik pada RKL‐RPL Tambahan ini adalah: 1) Penurunan kualitas udara (akibat peningkatan kandungan CO, NO2, dan SO2 pada udara emisi yang secara terus menerus di lepas ke ruang udara ambien, 2) Gangguan terhadap kesehatan masyarakat berupa dampak turunan akibat penurunan kualitas udara ambien, dan 3) Persepsi masyarakat yang merupakan dampak turunan dari penurunan kualitas udara (dampak primer), dan gangguan kesehatan masyarakat (dampak sekunder).
Bagan alir proses pelingkupan disampaikan pada Gambar 4.4. Perbandingan dampak potensial, dampak penting hipotetik, dan prioritas dampak penting hipotetik antara AMDAL (2008) dan RKL‐RPL tambahan peningkatan produksi gas Matindok (45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD) disampaikan pada Tabel 4.4.
Tabel 4.4. Perbandingan Dampak Potensial, Dampak Penting Hipotetik, dan Prioritas Dampak Penting Hipotetik antara AMDAL (2008) dan RKL‐RPL Tambahan Peningkatan Produksi Gas Matindok (45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD) AMDAL PPGM (2008) RKLRPL Tambahan (2011) DAMPAK POTENSIAL FisikaKimiaGeologi: 1) Perubahan iklim mikro, 2) Penurunan kualitas udara ambien (debu dan gas), 3) Terjadi kebisingan, 4) Perubahan sifat tanah, 5) Terjadi erosi tanah, 6) Gangguan sistem irigasi dan drainase, 7) Penurunan debit air sungai, 8) Penurunan kualitas air permukaan, 9) Penurunan kualitas air laut, 10) Penurunan kuantitas air tanah, 11) Penurunan kelancaran lalu lintas, 12) Penurunan keselamatan berlalulintas, 13) Kerusakan jalan dan jembatan. FisikaKimiaGeologi: 1) Penurunan kualitas udara, 2) Peningkatan kebisingan, 3) Penurunan kualitas air. Biologi: 1) Gangguan vegetasi, 2) Gangguan satwa, 3) Gangguan biota air tawar, 4) Gangguan biota air laut, 5) Peningkatan keanekaragaman dan kerapatan vegetasi, 6) Peningkatan keanekaragaman dan kelimpahan satwa. Biologi: ‐ Sosekbud: 1) Perubahan kependudukan, 2) Perubahan pola kepemilikan lahan, 3) Peningkatan pendapatan masyarakat, 4) Adanya kesempatan berusaha, 5) Gangguan proses sosial, 6) Perubahan sikap dan persepsi masyarakat. Sosekbud: Persepsi Masyarakat Kesehatan Masyarakat: 1) Penurunan kualitas sanitasi
lingkungan, 2) Penurunan tingkat kesehatan masyarakat. Kesehatan Masyarakat: Gangguan Kesehatan Masyarakat DAMPAK PENTING HIPOTETIK FisikaKimiaGeologi: 1) Penurunan kualitas udara ambien (debu dan gas),2) Terjadi kebisingan, 3) Terjadi erosi tanah, 4) Penurunan kualitas air permukaan, 5) Gangguan sistem irigasi dan drainase, 6) Penurunan kualitas air laut, 7) Penurunan kelancaran lalu lintas, 8) Penurunan keselamatan berlalulintas, 9) Kerusakan jalan dan jembatan. FisikaKimiaGeologi: Penurunan kualitas udara Biologi: 1) Gangguan vegetasi, 2) Gangguan satwa, 3) Gangguan biota air tawar, 4) Gangguan biota air laut, 5) Peningkatan keanekaragaman dan kerapatan vegetasi, 6) Peningkatan keanekaragaman dan kelimpahan satwa. Biologi: ‐
Ruang Lingkup dan Metode Studi AMDAL PPGM (2008) RKLRPL Tambahan (2011) Sosial, Ekonomi, Budaya: 1) Perubahan kependudukan, 2) Perubahan pola kepemilikan lahan, 3) Peningkatan pendapatan masyarakat, 4) Adanya kesempatan berusaha, 5) Gangguan proses sosial, 6) Perubahan sikap dan persepsi masyarakat. Sosial, Ekonomi, Budaya: Persepsi Masyarakat Kesehatan Masyarakat: 1) Penurunan kualitas sanitasi
lingkungan, 2) Penurunan tingkat kesehatan masyarakat. Kesehatan Masyarakat: Gangguan Kesehatan Masyarakat PRIORITAS DAMPAK PENTING HIPOTETIK Pra Konstruksi: 1) Perubahan pola kepemilikan lahan 2) Gangguan proses sosial 3) Perubahan sikap dan persepsi masyarakat Konstruksi: 1) Perubahan Kualitas udara ambien (debu dan gas) 2) Terjadi kebisingan 3) Terjadi erosi tanah 4) Gangguan sistem irigasi dan drainase 5) Gangguan kelancaran lalulintas 6) Gangguan keselamatan berlalulintas 7) Kerusakan jalan dan jembatan 8) Penurunan kualitas air permukaan 9) Penurunan kualitas air laut 10) Gangguan vegetasi 11) Gangguan satwa 12) Gangguan biota air tawar 13) Gangguan biota air laut 14) Peningkatan pendapatan masyarakat 15) Adanya kesempatan berusaha 16) Gangguan proses sosial 17) Perubahan sikap dan persepsi masyarakat 18) Penurunan kualitas sanitasi lingkungan Operasi: 1) Penurunan kualitas udara ambien (debu dan gas) 2) Peningkatan kebisingan 3) Penurunan kualitas air permukaan 4) Penurunan kualitas air laut 5) Gangguan keselamatan berlalulintas 6) Kerusakan jalan dan jembatan 7) Gangguan biota air tawar 8) Perubahan kependudukan 9) Peningkatan pendapatan masyarakat 10) Adanya kesempatan berusaha 11) Gangguan proses sosial 12) Munculnya pelapisan sosial 13) Perubahan sikap dan persepsi masyarakat 14) Penurunan kualitas sanitasi lingkungan 15) Penurunan tingkat kesehatan masyarakat Pasca Operasi: 1) Peningkatan kualitas udara ambien 2) Penurunan kebisingan 3) Peningkatan kualitas air permukaan 4) Peningkatan kualitas air laut 5) Keselamatan berlalulintas 6) Kerusakan jalan dan jembatan 7) Peningkatan keanekaragaman dan kerapatan vegetasi 8) Peningkatan keanekaragaman dan kelimpahan satwa 9) Penurunan pendapatan masyarakat 10) Penurunan kesempatan berusaha 11) Perubahan sikap dan persepsi masyarakat Tahap Operasi: 1) Penurunan kualitas udara, 2) Gangguan Kesehatan Masyarakat, 3) Persepsi Masyarakat
Ruang Lingkup dan Metode Studi Peningkatan Kapasitas Produksi Gas Matindok (45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD) IV‐11
4.3. Lingkup Wilayah Studi
Penetapan lingkup wilayah studi dimaksudkan untuk membatasi luas wilayah studi dokumen RKL‐RPL Tambahan ini.a. Batas Proyek
Batas tapak proyek adalah ruang dimana suatu rencana kegiatan akan dilakukan. Batas proyek studi RKL‐RPL Tambahan yaitu luas Block Station Matindok ( + 20 Ha). Penentuan batas proyek dalam studi ini hanya didasarkan pada kegiatan yang akan dikembangkan di Block Station Matindok yaitu peningkatan produksi gas dari 45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD.
b. Batas Ekologis
Batas ekologis didasarkan kepada sebaran kualitas udara emisi dalam ruang udara ambien yang diakibatkan oleh peningkatan produksi gas. Sebaran tersebut mengikuti arah angin dominan yaitu dari arah barat. Dengan asumsi kecepatan angin rata‐rata 2,7 m/detik, maka sebaran emisi berjarak sekitar 1 km ke arah barat.
c. Batas Sosial
Batas sosial adalah ruang di sekitar rencana kegiatan yang merupakan tempat berlangsungnya berbagai interaksi sosial yang mengandung norma dan nilai tertentu yang sudah mapan, termasuk sistem dan struktur sosial, sesuai dengan proses dinamika sosial suatu kelompok masyarakat, yang diprakirakan akan mengalami perubahan mendasar akibat suatu rencana kegiatan.
Batas sosial ditekankan dengan memperhatikan batas kedekatan dengan permukiman yang berpeluang terjadinya interaksi sosial antara pekerja di Block Station Matindok dengan masyarakat di desa terdekat. Oleh karena itu, batas sosial adalah desa yang berdekatan dengan Block Station Matindok yaitu Desa Nonong berjarak sekitar 1,2 km dari Block Station Matindok.
d. Batas Administrasi
Batas administrasi adalah ruang dimana masyarakat dapat secara leluasa melakukan kegiatan sosial ekonomi dan sosial budaya sesuai dengan peraturan perundang‐undangan yang berlaku di dalam ruang tersebut.
Secara administratif, lokasi kegiatan peningkatan produksi gas dari 45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD ini masuk ke dalam Desa Nonong (Kecamatan Batui).
e. Batas Wilayah Studi
Batas wilayah studi RKL‐RPL Tambahan ini merupakan resultan dari batas proyek, batas ekologis, batas sosial, dan batas administratif pemerintahan yang secara lengkap disampaikan pada Gambar 4.5.
Dibandingkan dengan batas wilayah studi AMDAL Pengembangan Produksi Gas Matindok, Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah (2008), maka batas wilayah studi RKL‐RPL Tambahan ini lebih sempit dan berada di dalam batas wilayah studi AMDAL (2008).
Ruang Lingkup dan Metode Studi
4.4. Batas Waktu Kajian
Batas waktu kajian dalam memprakirakan dan juga mengevaluasi dampak penting hipotetik yang dikemukakan dalam dokumen ini diprakirakan berlangsung selama proses produksi (20 tahun). Pertimbangan ini didasarkan pada durasi produksi gas sebesar 65 MMSCFD.Lamanya dampak berlangsung ini tak akan mengalami perubahan selama tidak terjadi perubahan rona lingkungan (antara lain: munculnya permukiman, pabrik atau perusahaan non migas, perusahaan migas, pertambangan, pertanian, perkebunan, dan sebagainya), tidak ada perubahan proses, bahan baku, dan bahan tambahan lainnya yang signifikan yang mengakibatkan dampak yang ditimbulkannya juga berbeda secara signifikan, serta tidak ada kegiatan lain yang signifikan di dalam batas wilayah studi.
Selama volume gas yang digunakan untuk menjalankan mesin‐mesin produksi tidak melebihi asumsi yang dipakai pada prakiraan dampak yakni 5 MMSCFD, dan pembakaran di flare 0,65 MMSCFD, maka durasi dan dinamika dampak yang ditimbulkan dari emisi gas buang terhadap kualitas udara ambien di sekitarnya akan terus berlangsung selama proses produksi.
Lamanya dampak berlangsung untuk aspek gangguan kesehatan masyarakat dan persepsi masyarakat adalah selama tidak ada desa dan atau pemukiman yang lokasinya berdekatan dengan Block Station Matindok. Desa terdekat yaitu Desa Nonong berjarak 1,2 km ke arah tenggara dari Block Station Matindok.
Ruang Lingkup dan Metode Studi Peningkatan Kapasitas Produksi Gas Matindok (45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD) IV‐13 Gambar 4.4. Bagan Alir Proses Pelingkupan Dampak Potensial FisikKimia, Geologi: • Penurunan kualitas udara • Peningkatan kebisingan • Penurunan kualitas air Sosekbud: • Peningkatan Pendapatan Masyarakat • Persepsi Masyarakat Kesehatan Masyarakat: • Gangguan kesehatan masyarakat Dampak Penting Hipotetik GeofisikKimia, • Penurunan kualitas udara akibat peningkatan emisi gas CO, NO2, dan SO2 Sosekbud: • Persepsi masyarakat (dampak turunan) Kesehatan Masyarakat:
• Gangguan kesehatan masyarakat (dampak turunan) Prioritas Dampak Penting Hipotetik • Penurunan kualitas udara • Gangguan kesehatan masyarakat • Persepsi masyarakat EVALU A SI DA MPAK POT ENS IA L ID EN T IF IK A SI DA MPA K PO T E N SI A L Kondisi Rona Lingkungan • Komponen Fisika‐ Kimia, Geologi • Komponen Sosekbud • Komponen Kesmas Rencana Kegiatan Tahap Pra Konstruksi Tahap Konstruksi Tahap Operasi Tahap Pasca Operasi Studi Pustaka,
Metode Matriks Diskusi, Penilaian Pakar, Studi Pustaka, Data Pengamatan Lapang PR IOR IT A S DA MPA K P EN T IN GH IPO T ETIK Wawancara dengan Masyarakat (Kep.Ka BAPEDAL No. 08/2000) Kegiatan Lain di Sekitar Lokasi Rencana Kegiatan
Ruang Lingkup dan Metode Studi Gambar 4.5. Batas Wilayah Studi RKL‐RPL Tambahan Peningkatan Produksi Gas (2011) dan AMDAL PPGM (2008) Batas Proyek Batas Ekologis Batas Sosial dan Administrasi Batas Wilayah Studi Baru (RKL RPL Tambahan) Batas Wilayah Studi Lama (AMDAL) RKL RPL Tambahan Peningkatan Kapasitas Gas Matindok (45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD) Kabupaten Banggai, Prov. Sulawesi Tengah BATAS WILAYAH STUDI
Ruang Lingkup dan Metode Studi Peningkatan Kapasitas Produksi Gas Matindok (45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD) Proyek Pengembangan Gas Matindok (PPGM), Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah IV‐15
4.5. Metode Studi
4.5.1. Metode Pengumpulan dan Analisis Data
Data yang disajikan dalam dokumen ini bersumber dari pengamatan langsung di Block Station Matindok dan beberapa pustaka. Data komponen lingkungan yang diamati mencakup aspek kualitas udara, geologi, kualitas air, kualitas tanah, vegetasi dan satwa liar, plankton dan benthos, sosial‐ekonomi‐budaya, dan kesehatan masyarakat. Peta lokasi pengambilan sampel disampaikan pada Lampiran 3. Adapun pustaka yang diacu adalah:
1. AMDAL Pengembangan Produksi Gas Matindok. Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah (2008)
2. RKL‐RPL Tambahan Pemindahan Jalur Pipa Melalui Suaka Margasatwa Bakiriang (2010). Lokasi pengamatan komponen lingkungan dan pertimbangannya disajikan pada Tabel 4.5. Tabel 4.5. Lokasi Pengamatan Beberapa Komponen Lingkungan dan Alasannya.
No Lingkungan Komponen Lokasi Pengambilan Sampel Pertimbangan Lokasi Pengambilan Sampel 1 Kualitas Udara Sumur Matindok #2 Mewakili udara ambien dekat sumur.
Block Station Mewakili udara ambien dekat Block Station Matindok. Pemukiman (simpang menuju Block Station Matindok) Mewakili udara ambien dekat pemukiman. Jalan akses menuju ke Block Station (di sekitar dam) Mewakili udara ambien di jalan akses menuju Block Station Matindok. Hutan (di tepi Sungai Kayowa bagian hulu) Mewakili udara ambien di hutan. 2 Kualitas Air
Sungai Sungai Kayowa Hulu Mewakili kualitas air yang kemungkinan bisa terpengaruh oleh aktivitas sumur. Sungai Kayowa Hilir Mewakili kualitas air yang kemungkinan terpengaruh oleh aktivitas sumur dan Block Station Matindok. Saluran irigasi Mewakali kualitas air di sekitar jalan akses menuju Block Station Matindok. 3 Kualitas Air
Sumur Pemukiman (simpang menuju Block Station Matindok)
Mewakili kualitas air sumur penduduk.
Sumur di sekitar saluran
irigasi Mewakili kualitas air sumur penduduk di sekitar jalan akses menuju Block Station Matindok.
4 Kualitas Tanah Block Station Matindok Mewakili kondisi tanah pada calon lokasi pemrosesan gas.
5 Vegetasi dan
Satwa Liar Block Station Matindok Mewakili calon lokasi pemrosesan gas yang ada semak belukar dan tanah lapang. Hutan (di tepi Sungai
Kayowa bagian hulu) Mewakili vegatasi dan satwa liar di sekitar hutan. Sumur Matindok #2 Mewakili vegetasi dan satwa liar dekat
sumur. 6 Sosekbud dan
Kesmas Desa NonongDesa Kayowa Mewakili masyarakat di Desa Nonong Mewakili masyarakat di Desa Kayowa Desa Masing Mewakili masyarakat di Desa Masing
Ruang Lingkup dan Metode Studi
A. Kualitas Udara
Pengumpulan Data Pengumpulan data kualitas udara ambien di lapangan dilakukan dengan mengambil sampel udara di lokasi studi, kemudian menganalisisnya di laboratorium.Sampling kualitas udara ambien dilakukan pada 5 titik (UL‐01 s.d. UL‐05) dengan keterwakilan yaitu UL‐01: area proyek, UL‐02: permukiman, UL‐03: akses mobilisasi, UL‐04: hutan, UL‐05: Matindok‐2.
Sampel udara ambien dikumpulkan secara langsung dari lapangan dengan cara mengisap udara ambien dengan menggunakan pompa vakum (vacuum pump) dan kemudian melewatkannya pada bahan penyerap (absorber) dalam impinger.
Durasi pengambilan sampel dicatat bersama‐sama dengan laju alirnya untuk mengetahui jumlah total udara ambien yang diambil.
Sampel udara ambien yang terserap ini kemudian dianalisis di laboratorium. Metode, parameter, dan peralatan yang diperlukan untuk analisis kualitas udara ambien disajikan pada Tabel 4.6.
Tabel 4.6. Metode dan Peralatan Analisis Kualitas Udara Ambien
Parameter Metode Analisis Peralatan Baku Mutu
SO2 Pararosanilin Spektrofotometer 365 µg/Nm3
CO NDIR NDIR Analyzer 10.000 µg/Nm3
NO2 Saltzman Spektrofotometer 150 µg/Nm3
O3 Chemiluminescent Spektrofotometer 235 µg/Nm3
PM10 Gravimetrik Hi‐Vol Sampler 150 µg/Nm3
TSP Gravimetrik Dust Sampler 230 µg/Nm3
Pb Gravimetrik Hi‐Vol Sampler 2 µg/Nm3
Debu jatuh Gravimetrik Cannister 10 ton/km20 ton/km2/bulan (Pemukiman)2/bulan (Industri) Keterangan: Baku Mutu berdasarkan PP No. 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara
Analisis Data
Data dibandingkan dengan baku mutu yang terkait dengan kualitas udara ambien yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.
B. Tingkat Kebisingan
Pengumpulan Data
Data tingkat kebisingan lokasi studi dikumpulkan secara langsung di lapangan dengan mencatat tingkat kebisingan di setiap lokasi sampling menggunakan alat sound level meter. Data tingkat kebisingan dicatat setiap lima (5) detik dalam waktu sepuluh (10) menit untuk setiap titik pengamatan. Catatan data ini kemudian dianalisis secara statistik guna memperoleh nilai rata‐rata tingkat kebisingan di suatu lokasi. Titik lokasi dan jumlah sampel kebisingan pada prinsipnya disesuaikan dengan pengambilan sampel kualitas udara ambien termasuk dari hasil pemantauan. Analisis Data Baku mutu tingkat kebisingan yang dipakai sebagai acuan adalah Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 48 Tahun 1996 tentang Baku Tingkat Kebisingan.
Ruang Lingkup dan Metode Studi Peningkatan Kapasitas Produksi Gas Matindok (45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD) Proyek Pengembangan Gas Matindok (PPGM), Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah IV‐17
C. Kualitas Air
Pengumpulan DataData untuk parameter kualitas air yang dikumpulkan bersumber dari data pengambilan sampel secara langsung pada sumber air (sungai maupun sumur). Selain itu, juga dilakukan penyajian hasil analisis dari kualitas air sungai pada pengamatan yang lalu (AMDAL PPGM tahun 2008).
Lokasi pengambilan sampel terdiri dari 3 titik yaitu air sungai (Sungai Kayowa hulu dan hilir dari Block Station Matindok), air irigasi, dan air sumur penduduk.
Beberapa parameter kualitas air yang cepat berubah sifatnya karena bertambahnya waktu dianalisis di lapangan (in situ), sedangkan parameter kualitas air lainnya dianalisis di laboratorium. Metode yang digunakan untuk menganalisis sampel disajikan pada Tabel 4.7. Tabel 4.7. Metode Analisis Parameter Kualitas Air Permukaan
Parameter Satuan Alat Analisis* Metoda dan Sungai Sumur Keterangan
Sifat Fisik
Suhu Air °C Pemuaian, Termometer v v In situ
Muatan Padatan Tersuspensi
(TSS) mg/l Gravimetrik, Timbangan Analitik v v Lab. Induk
Muatan Padatan Terlarut (TDS) mg/l Gravimetrik, Timbangan Analitik v v Lab. Induk Sifat Kimia
pH ‐ Elektroda Hidrogen, pH Meter v v In situ
Klorida mg/l Titrimetrik, Peralatan Titrasi v v Lab. Induk
Oksigen Terlarut (DO) mg/l Winkler dengan modifikasi Azide, Peralatan Titrasi v ‐ In situ Kebutuhan Oksigen Biologi
(BOD5) mg/l Winkler dengan modifikasi Azide, inkubasi, Peralatan Titrasi v v In situ & Lab. Lapangan Kebutuhan Oksigen Kimia (COD) mg/l Brusin, Spektrofotometer v v Lab. Induk Minyak dan lemak mg/l Ekstraksi Freon, Spektrofotometer v v Lab. Induk
Nitrit (NO2‐N) mg/l Nessler, Spektrofotometer v v Lab. Induk
Ammonia (NH3‐N) mg/l Stanus Klorida v v Lab. Induk
Total Fospat‐P mg/l Spektrofotometrik v v Lab. Induk
Besi (Fe) mg/l Spektrofotometrik v v Lab. Induk
Sulfida (H2S) mg/l Argentometrik, Peralatan Titrasi v v Lab. Induk
Fenol**) mg/l GLC, Spektrofotometer v v Lab. Induk
Nikel (Ni) mg/l Spektrofometrik, AAS v v Lab. Induk
Air Raksa (Hg) µg/l Spektrofotometrik, AAS v v Lab. Induk
Tembaga (Cu) mg/l Spektrofotometrik, AAS v v Lab. Induk
Seng (Zn) mg/l Spektrofotometrik, AAS v v Lab. Induk
Timah Hitam (Pb) mg/l Spektrofotometrik, AAS v v Lab. Induk
Kadmium (Cd) mg/l Spektrofotometrik, AAS v v Lab. Induk
Deterjen (MBAS) mg/l Spektrofotometrik, Spektrofotometer Lab. Induk Mikrobiologi
Fecal Coliform/ Koliform Tinja 100 ml MPN/ Botol steril tabung ganda, inkubator v v Lab. Induk Total Coliform 100 ml MPN/ Botol steril tabung ganda, inkubator v v Lab. Induk Catatan : *Standard Methods for Examination of Water and Waste Water, American Public Health Association, APHA (1987) V = dilakukan pengukuran, ‐ = Tidak dilakukan pengukuran, Pada lokasi sumur tidak dilakukan pengambilan biota Analisis Data
Data kualitas air permukaan dibandingkan dengan nilai Baku Mutu pada PP Nomor 82 Tahun 2001 Lampiran II (kualitas air sungai/anak sungai). Data kualitas air sumur dibandingkan dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 416 Tahun 1990 Tentang Syarat‐Syarat dan Pengawasan Kualitas Air (Lampiran II. Daftar Persyaratan Kualitas Air Bersih).
Ruang Lingkup dan Metode Studi
D. Kualitas Tanah
Pengumpulan Data
Sampel tanah diambil secara langsung pada saat survei lapang. Sampel tanah yang telah diambil dari lapang kemudian dianalisis di laboratorium untuk mengetahui beberapa sifat fisika dan kimia tanah yang berkaitan dengan pengaruh dan rencana kegiatan. Pengambilan sampel tanah dilakukan sesuai dengan prosedur pengambilan contoh tanah utuh dengan ring sampel dan contoh tanah terganggu dengan cangkul atau sekop. Sampel tanah yang diambil berbobot sekitar 1 kg yang dimasukkan ke dalam kantong plastik.
Contoh tanah utuh dianalisis di laboratorium untuk penetapan sifat fisika tanah yaitu tekstur (fraksi pasir, debu, liat), bobot isi tanah (BI), dan permeabilitas. Struktur dan konsistensi tanah diamati secara langsung di lapang. Analisis contoh tanah terganggu dilakukan untuk penetapan sifat kimia tanah yaitu pH, C‐organik, N‐total, P‐tersedia, Kapasitas Tukar Kation (KTK), basa‐basa (K, Na, Ca, Mg) dan kejenuhan basa, dan Aluminium dapat ditukar.
Metode yang digunakan pada penetapan dan analisis laboratorium sampel tanah disajikan pada Tabel 4.8.
Tabel 4.8. Metode Analisis Parameter Kualitas Tanah
No Sifatsifat Tanah Metode dan Alat
Sifat Fisik 1 Bobot isi (g/cc) Gravimetrik 2 Permeabilitas (cm/jam) Lambe (1957) 3 Tekstur (% pasir, pasir halus, debu , liat) Pipet Sifat Kimia 1 pH‐H2O dan pH‐KCl Elektroda gelas 2 C‐organik (%) Walkley dan Black 3 N‐total (%) Kjeldahl 4 C/N Perhitungan 5 P‐tersedia (ppm) Bray‐1
6 K‐, Na‐, Ca‐, Mg‐ dapat ditukar (me/100g) Ekstaksi NNH4OAc pH 7.0, fotometer nyala, AAS
7 KTK (me/100g) Ekstaksi NNH4OAc pH 7.0, titrasi HCl
8 KB (%) Perhitungan
9 Al‐dd Ekstraksi HCl 25%
Analisis Data
Data yang telah dikumpulkan dianalisis atau diintrepretasikan sesuai dengan data yang ada dan arahan prakiraan dampak dari rencana kegiatan. Data hasil analisis sifat kimia dari sampel tanah diintrepretasikan untuk menggambarkan atau mengetahui kondisi kesuburan tanah terutama pada lokasi kegiatan.
Tingkat kesuburan tanah dapat ditentukan dari beberapa parameter kimia tanah. Hasil analisis sampel beberapa parameter kimia tanah diintrepretasikan dan dibandingkan sesuai dengan Kriteria Penilaian Data Analisis Sifat Kimia Tanah (PPT, 1983). Sedangkan hasil analisis sampel beberapa sifat fisik tanah diintrepretasikan dengan Kriteria Penilaian Beberapa Parameter Sifat Fisika Tanah.
Ruang Lingkup dan Metode Studi Peningkatan Kapasitas Produksi Gas Matindok (45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD) Proyek Pengembangan Gas Matindok (PPGM), Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah IV‐19
E. Vegetasi dan Satwa Liar
Pengumpulan Data Pengamatan berdasarkan atas keterwakilan vegetasi seperti hutan, perkebunan, persawahan, dan pekarangan. Dasar pengambilan sampel adalah hilangnya flora di sekitar kawasan tersebut apabila rencana kegiatan telah berlangsung. Pengamatan terhadap tanaman budidaya dilakukan dengan inventarisasi, pengamatan langsung, dan wawancara tentang jenis tanaman yang dibudidayakan masyarakat di sekitar wilayah studi.Observasi satwaliar dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Pengamatan langsung dilakukan dengan point count technique, sedangkan pengamatan tidak langsung dilakukan dengan pengamatan footprint dan tanda‐tanda yang lain (kotoran/feces dll), juga wawancara dengan masyarakat. Pada pengamatan point count technique, species dan jumlahnya ditentukan dari species yang dapat dilihat dan atau didengar pada satu interval waktu tertentu. Parameter yang diamati adalah spesies, jumlah individu, dan status spesies. Selain itu juga dipertimbangkan aspek pengelolaan dan pemantauan spesies tersebut.
Analisis Data
Jenis data yang dicatat dalam pengamatan vegetasi meliputi jumlah jenis. Data yang terkumpul kemudian dianalisis secara deskriptif sehingga dapat disimpulkan kualitas lingkungan flora di lokasi kegiatan dan sekitarnya. Demikian halnya dengan status kelangkaan atau konservasinya berdasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999, CITES (Convention for International Trade on Endangered Species), dan Redlist IUCN. Data satwa kemudian dilakukan analisis yang ditujukan untuk memberikan gambaran mengenai mengenai jenis dan jumlah jenis. Data yang terkumpul kemudian digunakan untuk mengidentifikasi fauna yang memiliki status dilindungi pemerintah Indonesia (PP No. 7/1999 serta berbagai peraturan dan undang‐undang lainnya yang relevan) atau yang dianggap terancam punah dalam daftar Redlist Data Book IUCN dan CITES.
F. Plankton dan Benthos
Pengumpulan Data Sampel plankton (phytoplankton dan zooplankton) diperoleh dengan cara menyaring 30‐ 50 liter air permukaan menggunakan plankton net. Pada sampel plankton yang diperoleh diberi lugol dan kemudian dianalisis di laboratorium. Sampel benthos diperoleh dari sedimen yang diambil di dasar air menggunakan alat Petersen Grab. Sampel kemudian dimasukkan dalam kantong plastik dan dipelihara menggunakan larutan formalin 4%, selanjutnya sampel dianalisis di laboratorium.Analisis Data
Analisa data plankton (fitoplankton dan zooplankton) dilakukan untuk mendapatkan parameter struktur komunitasnya seperti kelimpahan, indeks keanekaragaman, indeks dominasi, dan indeks keseragaman. Data struktur komunitas plankton dianalisis secara relatif inter lokasi (perairan) dan nilai‐nilai indeks struktur komunitasnya dibandingkan. Analisis data benthos dilaksanakan untuk mendapatkan beberapa parameter tentang struktur komunitasnya seperti kelimpahan, Indeks keanekaragaman, indeks dominasi, dan indeks keseragaman. Data yang telah dianalisis dibandingkan dengan kriteria nilai indeks untuk komunitas benthos atau indeks relatif.
Ruang Lingkup dan Metode Studi
G. Geologi
Pengumpulan Data Pengumpulan data geologi dan kegempaan dilakukan dengan cara penelaahan data sekunder berupa peta topografi, peta geologi, dan laporan‐laporan hasil penelitian terdahulu. Untuk melengkapi dan penyempurnaan data sekunder tersebut, dilakukan pengamatan langsung di lapangan. Untuk itu dikaji kondisi morfologi wilayah studi dan sekitarnya. Komponen yang diamati meliputi, bentuk dan karakteristik bentang alam, disamping itu dikaji juga jenis batuan dan struktur geologi khususnya karakteristik batuan, lokasi bahan galian mata air dan sebagainya.Pengamatan aspek fisiografi dilakukan pada seluruh wilayah studi dan sekitarnya yang diprakirakan akan terkait dengan rencana kegiatan. Lingkup kajian fisiografi dan geologi secara lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 4.9.
Tabel 4.9. Lingkup Kajian Geologi dan Fisiografi
Parameter Metode yang Digunakan
Morfologi lahan Data sekunder peta topografi, disempurnakan dengan pengamatan lapangan Struktur geologi dan jenis batuan Data sekunder peta geologi, disempurnakan dengan pengamatan lapangan Hidrogeologi Data sekunder peta hidrogeologi, disempurnakan dengan pengamatan lapangan Bahan galian Data sekunder dari laporan yang sudah ada, disempurnakan dengan pengamatan lapangan Analisis Data
Data fisiografi (topografi, morfologi dan geologi) yang telah terkumpul selanjutnya dianalisis secara deskriptif. Analisis data fisiografi dan geologi meliputi lereng, bentang alam atau morfologi, dan geologi. Parameter ini ditelaah dengan metode analisis peta topografi dan bentuk bentang alam dengan cara sederhana atau konvensional.
H. Sosial, Ekonomi, Budaya dan Kesehatan Masyarakat
Pengumpulan Data
Data diperoleh melalui sumber primer dan sekunder. Data primer ditangkap melalui metode survei dan wawancara mendalam yang dilengkapi dengan observasi. Adapun data sekunder diperoleh melalui pengumpulan desa dan kecamatan atau institusi yang terkait. pengumpulan data mengacu pada Keputusan Kepala BAPEDAL No. 124/1997. Jenis data yang dikumpulkan meliputi: Profil kependudukan di wilayah studi dan Struktur mata pencaharian penduduk Beban tanggungan, jumlah usia produktif Peluang bekerja dan berusaha, dinamika pola usaha Prasarana dan sarana transportasi Komunitas masyarakat adat/lokal, sistem nilai dan norma dikalangan masyarakat Pola kepemilikan lahan
Potensi kerjasama, persaingan dan konflik dikalangan komunitas masyarakat adat/lokal, dan antara masyarakat adat/lokal dengan masyarakat pendatang.
Ruang Lingkup dan Metode Studi Peningkatan Kapasitas Produksi Gas Matindok (45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD) Proyek Pengembangan Gas Matindok (PPGM), Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah IV‐21 Analisis Data Data kuantitatif dan kualitatif yang terkumpul diolah dan dianalisis. Data kuantitatif diolah dengan menggunakan kaidah‐kaidah statistika atau ditelaah melalui tabulasi silang dua atau tiga variabel. Sedangkan data kualitatif diolah dengan analisis induktif dan analisis isi. Metode analisis untuk aspek kesehatan masyarakat mengacu pada Keputusan Kepala BAPEDAL No. 124/1997.
4.5.2. Metode Prakiraan Dampak
Metode prakiraan dampak diperlukan untuk menguji hipotesis tentang adanya dampak penting. Dengan menggunakan perhitungan matematis, sebaran dampak terkadang dapat dikuantifikasi. Akan tetapi tak semua dampak dapat ditentukan besarannya. Dampak terhadap sosekbud biasanya ditentukan dengan pendekatan penilaian ahli (professional judgement). Metode prakiraan dampak untuk penurunan kualitas udara, terganggunya kesehatan masyarakat, dan persepsi masyarakat dikemukakan pada uraian berikut.
1. Metode Perhitungan Matematis, untuk prakiraan dampak terhadap kualitas udara
Untuk kualitas udara dilakukan permodelan sebaran kualitas udara emisi dalam ruang udara ambien, sehingga dapat diketahui dalam radius berapa jauh kualitas udara telah memenuhi baku mutu. Rumus Gaussian adalah: Model persamaan dispersi gas menurut Gauss (Peavy et al., 1985; de Nevers, 1995; Kiely, 1998; LaGrega et al., 2001): ⎪⎭ ⎪ ⎬ ⎫ ⎪⎩ ⎪ ⎨ ⎧ ⎥ ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎢ ⎣ ⎡ ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ + − + ⎥ ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎢ ⎣ ⎡ ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ − − ⎥ ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎢ ⎣ ⎡ ⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ − = 2 2 2 ) , , ( 2 1 exp 2 1 exp 2 1 exp 2 y z y z z z y x H z H z y U Q C σ σ σ σ πσ
Konsentrasi polutan di permukaan tanah (ground level concentration) dengan tinggi plume H, y=0, z=0, maka persamaan diatas menjadi sebagai berikut: ⎥ ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎢ ⎣ ⎡ ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ − = 2 ) , , ( 2 1 exp z z y z y x H U Q C
σ
σ
πσ
Keterangan: C(x,y,z) = Konsentrasi gas pada suatu tempat berkoordinat (x,y,z) [g/m3] Q = Laju emisi stack [g/s] σy ; σz = Koefisien dispersi sesuai dengan kurva Pasquill‐Gifford [m] U = Kecepatan angin [m/s] y = Jarak pada arah sumbu y dari centerline [m] z = Jarak vertikal pada arah sumbu z dari centerline [m] H = Tinggi plume dari permukaan tanah [m]2. Metode penilaian ahli (professional judgement), digunakan dalam memprakirakan dampak terhadap gangguan kesehatan masyarakat dan persepsi masyarakat terhadap kegiatan peningkatan produksi gas menjadi 65 MMSCFD.