• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERILAKU VERBAL GURU DALAM PEMBELAJARAN SASTRA INDONESIA DI KELAS XI SMA NEGERI 1 GIANYAR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERILAKU VERBAL GURU DALAM PEMBELAJARAN SASTRA INDONESIA DI KELAS XI SMA NEGERI 1 GIANYAR"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

PERILAKU VERBAL GURU

DALAM PEMBELAJARAN SASTRA INDONESIA

DI KELAS XI SMA NEGERI 1 GIANYAR

Ni Luh Komang Sri Majesty, I Made Sutama, Gede Gunatama

Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Fakultas Bahasa dan Seni

Universitas Pendidikan Ganesha

Singaraja, Indonesia

e-mail:

{komangsri@rocketmail.com

,

imadesutamaubd@gmail.com,

detama_fbs_21@yahoo.com}@undiksha.ac.id.

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan (1) bentuk perilaku verbal guru dalam pembelajaran sastra Indonesia di kelas, (2) fungsi perilaku verbal guru dalam pembelajaran sastra Indonesia di kelas, dan (3) jenis perilaku verbal guru dalam pembelajaran sastra Indonesia di kelas. Penelitian ini menggunakan rancangan deskriptif kualitatif. Subjek penelitian ini adalah guru mata pelajaran bahasa Indonesia yang mengajar di kelas XI SMA Negeri 1 Gianyar. Objek penelitian ini adalah perilaku verbal guru, meliputi bentuk, fungsi, dan jenis perilaku verbal dalam pembelajaran. Data dalam penelitian ini dikumpulkan melaui metode observasi dan wawancara dengan instrumen alat perekam dan catatan lapangan. Hasil penelitian ini adalah (1) bentuk perilaku verbal yang digunakan guru, yaitu deklaratif, interogatif (terbanyak), dan imperatif. (2) Fungsi tindak tutur yang muncul dalam tuturan guru adalah representative, direktif (terbanyak), ekspresif, komisif, dan deklarasi. (3) Jenis tuturan yang digunakan guru adalah jenis perilaku verbal langsung (lebih banyak) dan tidak langsung.

Kata kunci: perilaku verbal, guru, pembelajaran, sastra

Abstract

This study aimed at describing (1) the form of the verbal behavior of the teacher in the learning of Indonesian literature in the classroom, (2) the function of the verbal behavior of the teacher in the learning of Indonesian literature in the classroom, and (3) the types of the verbal behavior of the teacher in the learning of Indonesian literature in the classroom. This study used a descriptive qualitative design. The subject was the Indonesian literature teacher who taught XI class of SMA Negeri 1 Gianyar. The object of this study was the teacher’s verbal behavior including its form, function, and type of the verbal behavior in teaching and learning process. The data in this study were collected through observation and interview with a tape recorder and field note as the instruments. The results of this study were (1) the form of the verbal behavior used by teachers namely declarative, interrogative (at the most), and imperative. (2) The function of speech act occurred in the teacher’s speech was representative, directive (at the most), expressive, commissive, and declarations. (3) The types of speech used by teachers was the kind of direct (more) and indirect verbal behavior.

(2)

PENDAHULUAN

Dunia pendidikan adalah salah satu tempat kegiatan bertutur yang cukup intensif. Hal itu disebabkan oleh kegiatan utama dalam pendidikan adalah kegiatan belajar mengajar yang di dalamnya memuat berbagai macam bentuk tuturan. Salah satu tuturan yang paling sering digunakan pada saat kegiatan belajar mengajar berlangsung adalah bentuk tuturan verbal. Berdasarkan hal itu, baik buruknya perilaku verbal yang diproduksi pada saat pembelajaran akan sangat berpengaruh pada hasil pembelajaran itu. Wijana (1996:30) mengemukakan bahwa tindak tutur atau perilaku verbal dapat dibagi menjadi tiga, yaitu deklaratif, interogatif, dan imperatif. Perilaku verbal ini, biasanya terjadi pada saat guru menjelaskan dan atau murid menanggapi penjelasan atau masalah yang ada. Dalam pembelajaran, guru sangat memerlukan perilaku verbal ini sebagai media yang

sangat menunjang keberhasilan

pembelajaran. Berdasarkan hal itu, dapat dikatakan bahwa seorang guru diharapkan mampu menggunakan perilaku verbal

dengan efektif dalam melaksanakan

kegiatan belajar mengajar bersama

siswanya. Oleh karena itu, selain

mengetahui bentuk perilaku verbal yang

tepat, seorang guru juga harus

mengetahui fungsi perilaku verbal itu sendiri. Searle (dalam Leech, 1993)

mengemukakan bahwa berdasarkan

fungsinya, tindak tutur dapat dibedakan atas tindak tutur asertif, direktif, ekspresif, komisif, dan deklarasi.

Pengetahuan mengenai bentuk dan fungsi perilaku verbal ini akan sangat

membantu guru dalam melakukan

interaksi pembelajaran dengan siswa, khususnya guru mata pelajaran bahasa Indonesia. Dapat dikatakan demikian karena saat ini mulai ada pandangan pada beberapa siswa bahwa pelajaran bahasa

Indonesia adalah salah satu mata

pelajaran yang membosankan. Hal ini dikarenakan guru bersangkutan belum atau masih kurang dalam hal penggunaan perilaku verbal secara efektif dalam kegiatan pembelajarannya. Selain itu, masih banyak guru bahasa Indonesia yang kurang memperhatikan tuturannya

saat pembelajaran. Seharusnya, agar guru dapat membuat siswa tertarik dengan

pembelajarannya ia harus mampu

menggunakan jenis perilaku verbal yang tepat. Penggunaan jenis tindak tutur tidak langsung, misalnya. Penggunaan jenis tindak tutur tidak langsung ini akan membuat siswa bertanya-tanya dengan yang dikatakan gurunya. Oleh karena siswa belum dapat menangkap maksud yang disampaikan gurunya, siswa itu akan

lebih memperhatikan gurunya untuk

menangkap maksud yang disampaikan gurunya.

Selain tindak tutur tidak langsung masih banyak jenis tindak tutur lain yang dapat digunakan guru. Wijana (1996:30) menerangkan bahwa jenis tindak tutur dapat dibedakan menjadi tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung, serta tindak tutur literal dan tindak tutur tidak literal. Selain itu, pada bukunya yang berjudul “Analisis Wacana Pragmatik :

Kajian Teori dan Analisis”, Wijana dan

Rohmadi (2011:31-34) menyebutkan

bahwa apabila tindak tutur langsung dan tindak tutur tak langsung diinteraksikan dengan tindak tutur literal dan tak literal maka akan didapatkan tindak tutur - tindak tutur lain, seperti tindak tutur langsung literal, tindak tutur tidak langsung literal, tindak tutur langsung tidak literal, dan tindak tutur tak langsung tak literal. Melihat pentingnya perilaku verbal inilah peneliti tertarik untuk mengkaji perilaku verbal yang dilakukan guru baik dari segi bentuk,

fungsi, dan jenisnya. Untuk lebih

mengkhususnya lagi, penulis dalam

penelitian ini lebih menekankan pada perilaku verbal guru dalam pembelajaran sastra Indonesia yang merupakan salah satu bidang kajian bahasa Indonesia. Pembelajaran sastra Indonesia ini dipilih karena pada pembelajaran sastra, guru dituntut menggunakan tuturan yang lebih ekspresif dan variatif. Hal ini biasanya

dilakukan agar pembelajaran sastra

Indonesia itu menjadi lebih hidup dan tidak kaku.

Pembelajaran sastra Indonesia ini juga dipilih dikarenakan dalam mengajar sastra terdapat beberapa guru yang masih bingung dalam menggunakan bahasa

(3)

verbal yang komunikatif dan efisien selama pembelajaran sastranya. Hal ini dirasakan sendiri oleh penulis pada saat

pelaksanaan PPL-Real tahun 2013.

Selama pembelajaran, terlihat antara guru dan siswa belum terjadi suatu proses komunikasi yang efektif. Guru masih menggunakan beberapa bahasa yang kurang tepat sehingga siswa menjadi kurang paham tentang materi yang dijelaskan dan bahkan bosan dalam mengikuti pembelajaran. Padahal, hakikat komunikasi adalah proses pernyataan berupa pikiran atau perasaan seseorang kepada orang lain menggunakan bahasa atau lambang sebagai alat penyalurnya (Rudy, 2005:63). Istilah “komunikasi” (latin

:comunicatio) berasal dari kata

“communis” yang berarti “sama” (Effendy dalam Rudy, 2005:63). Kata “sama” memiliki maksud “sama makna”, yaitu jika

kita melakukan komunikasi dengan

seseorang, kita harus mengembangkan kesamaan makna (kesamaan persepsi) dengan orang yang sedang berkomunikasi dengan kita tentang objek-objek tertentu (Rudy, 2005:63). Oleh karena itu, demi tercapainya komunikasi yang baik antara pembicara/ penutur dan mitra tutur (dalam hal ini guru dan siswa), seorang penutur

harus mampu mengkomunikasikan

perasaan atau idenya kepada mitra tutur melalui perilaku verbal yang efektif dan efisien.

Oleh karena perilaku verbal ini

sangat penting dalam kegiatan

pembelajaran, belakangan ini beberapa peneliti lain mulai meneliti mengenai perilaku verbal ini, akan tetapi selalu dikaitkan dengan perilaku nonverbal. Beberapa penelitian itu di antaranya, “Perilaku Verbal dan Nonverbal Guru dalam Pengajaran Praktik Mendongeng di SD Negeri 3 Sembiran, karya Ni Nyoman Arika Winantini pada tahun 2011”, “Perilaku Verbal dan Nonverbal Guru dalam Pengajaran Berbicara Bahasa Indonesia di SMA Negeri 4 Singaraja, karya Ni Komang Dewi Lastrini pada tahun 2011”, dan “Tindak Tutur Guru dalam Pengajaran Bahasa Indonesia di SLB C Bina Karya Singaraja, karya Ni Luh Putu Susy Mirayanti pada tahun 2013”. Meskipun banyak penelitian mengenai

perilaku verbal ini telah terlaksana, penelitian mengenai perilaku verbal ini dirasakan masih perlu diadakan kembali. Hal itu dikarenakan penelitian yang sudah ada selalu mengaitkan perilaku verbal dengan nonverbal, sedangkan penulis lebih fokus kepada perilaku verbal saja karena penulis ingin mengetahui lebih jelas bentuk, fungsi, dan jenis perilaku verbal ini dalam pembelajaran. Perbedaan selanjutnya antara penelitian ini dan penelitian yang sudah ada adalah pada

ruang lingkupnya. Berbeda dengan

penelitian lain, penelitian ini begerak pada pembelajaran sastra Indonesia di SMA, hal itu dikarenakan dalam pembelajaran

sastra guru dituntut lebih banyak

menggunakan pilihan kata yang menarik namun efektif dalam pembelajaran itu. Perbedaan yang terakhir antara penelitian ini dan penelitian yang sudah ada terletak pada subjek penelitiannya.

Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan memperluas kajian perilaku verbal dalam komunikasi, khususnya dari segi bentuk, fungsi, dan jenisnya. Sedangkan bagi guru, melalui penelitian ini guru dapat mengetahui tentang perilaku verbal itu lebih dalam serta penerapannya sehingga

dapat dijadikan acuan dalam

pembelajaran agar perilaku verbal guru dan pembelajaran menjadi lebih efektif. Penelitian mengenai perilaku verbal guru dalam pembelajaran bahasa Indonesia ini

penulis terapkan pada guru mata

pelajaran bahasa dan sastra Indonesia di SMA Negeri 1 Gianyar. Pertimbangan pertama adalah karena SMA Negeri 1 Gianyar adalah salah satu sekolah favorit dan unggulan, sehingga secara tidak langsung guru yang berada di sekolah itu

sudah cukup berpengalaman dalam

bidang pendidikan. Pertimbangan

selanjutnya adalah guru di sekolah itu mengajar siswa yang sama mulai siswa itu pada tingkatan kelas X sampai dengan kelas XII sehingga ia sangat memahami

karakteristik siswanya sekaligus

pemahaman itu akan digunakan sebagai pemilihan perilaku verbal yang akan ia gunakan.

Pada penelitian ini, guru kelas XI adalah sebagai sumber pengambilan data perilaku verbal guru dalam pengajaran

(4)

sastra Indonesia yang dipilih penulis. Pertimbangan dipilihnya guru kelas XI adalah jika penelitian dilaksanakan pada

guru kelas X, guru belum terlalu

memahami karakter siswa sehingga

perilaku verbal yang digunakan terkesan lebih sedikit, hal ini biasanya dilakukan agar tidak terkesan melenceng dari pembelajaran. Hambatan yang sama juga akan ditemukan oleh penulis jika penulis melaksanakan penelitian pada guru kelas XII. Hal ini disebabkan siswa di sekolah ini jika telah menginjak kelas XII akan lebih cenderung diberikan latihan soal sehingga antara guru dan siswa (siswa kelas XII) akan mengalami komunikasi yang minim dalam pembelajaran, maka guru pun tidak

akan terlalu banyak menggunakan

perilaku verbal itu. Berdasarkan latar

belakang di atas, maka penulis

mengangkat judul “Perilaku Verbal Guru dalam Pembelajaran Sastra Indonesia di Kelas XI SMA Negeri 1 Gianyar” pada penelitian ini.

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, rumusan masalah yang dikaji dalam penelitian ini ada tiga, yaitu (1) bagaimanakah bentuk perilaku verbal guru dalam pembelajaran sastra Indonesia di kelas XI SMA Negeri 1 Gianyar?, (2) bagaimanakah fungsi perilaku verbal guru dalam pembelajaran sastra Indonesia di kelas XI SMA Negeri 1 Gianyar?, dan (3) bagaimanakah jenis perilaku verbal guru dalam pembelajaran sastra Indonesia di kelas XI SMA Negeri 1 Gianyar?. Oleh karena itu, tujuan pelaksanaan penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan bentuk perilaku verbal guru dalam pembelajaran sastra Indonesia di kelas XI SMA Negeri 1 Gianyar, (2) mendeskripsikan fungsi perilaku verbal guru dalam pembelajaran sastra Indonesia di kelas XI SMA Negeri 1 Gianyar, dan (3) mendeskripsikan jenis perilaku verbal guru dalam pembelajaran sastra Indonesia di kelas XI SMA Negeri 1 Gianyar.

METODE PENELITIAN

Rancangan penelitian yang

digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan deskriptif kualitatif. Penelitian ini diharapkan mampu menggambarkan bentuk, fungsi, dan jenis perilaku verbal

guru dalam pembelajaran sastra

Indonesia. Subjek penelitian ini adalah guru mata pelajaran bahasa Indonesia yang mengajar di kelas XI SMA Negeri 1 Gianyar, sedangkan objek penelitian ini adalah perilaku verbal guru yang meliputi bentuk, fungsi, dan jenis perilaku verbal guru dalam pembelajaran sastra Indonesia di kelas.

Metode pengumpulan data dalam

penelitian ini meliputi (1) metode

observasi, dan (2) metode wawancara. Metode observasi pada dasarnya dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu observasi dengan partisipasi (partisipatif)

dan observasi tanpa partisipasi

(nonpartisipatif) (Cf. Ardika dalam Suandi, 2008:39). Dalam penelitian ini, metode observasi nonpartisipatif adalah metode yang digunakan oleh penulis karena peneliti ingin melihat situasi pembelajaran alami yang dilakukan oleh guru dan siswa

tanpa ada intervensi dari peneliti.

Instrumen yang digunakan dalam metode

observasi adalah lembar observasi/

catatan lapangan. Pada saat pelaksanaan observasi, hasil observasi dicatat dalam lembar observasi/catatan lapangan yang disebut lembar deskriptif.

Catatan deskriptif yang telah

digunakan dalam observasi akan

disesuaikan hasilnya dengan hasil

perekaman yang telah dilakukan. Selain menggunakan catatan deskriptif, peneliti juga menambahkan catatan reflektif dalam penelitian. Catatan reflektif ini berguna untuk mencatat fenomena - fenomena

atau masalah yang muncul dalam

pembelajaran, atau kejadian yang menarik serta menonjol yang terjadi di lapangan. Metode observasi ini juga dibarengi dengan melakukan perekaman terhadap perilaku verbal yang dilakukan oleh guru selama pembelajaran untuk mencegah

kelalaian peneliti dalam mencatat

percakapan yang terjadi. Alat yang

digunakan dalam pengambilan data

berupa rekaman adalah handycam dan atau tape recorder.

Ketika melakukan observasi, peneliti mencatat hal-hal spesifik yang terjadi di

dalam kelas selama pembelajaran

berlangsung. Pencatatan ini dilakukan untuk melihat hal-hal yang tidak dapat

(5)

direkam oleh alat perekam. Hal-hal itu seperti, kondisi kelas, situasi tutur, ekspresi pembicara, dan juga konteks pembicaraan yang berlangsung. Jadi, data yang didapat dari metode ini adalah hal yang bersifat khusus dalam situasi

pembelajaran. Peneliti akan bisa

mendapatkan pemahaman yang tepat apabila melihat dan mengetahui secara langsung situasi ketika tuturan terjadi. Berdasarkan pemahaman inilah data

tuturan yang didapatkan dapat

diinterpretasikan dengan tepat sesuai dengan bentuk, fungsi, dan jenis perilaku verbal guru. Penginterpretasian yang tepat terhadap data tentu menunjang validitas dari penelitian yang dilakukan. Oleh karena itu, data observasi lapangan ini menjadi sebuah teknik yang penting.

Penelitian ini juga menggunakan metode wawancara dalam pengumpulan data. Metode wawancara yang digunakan adalah tidak terstruktur agar peneliti mendapatkan jawaban sesuai dengan

yang diinginkan dengan tidak

menggunakan pedoman pertanyaan. Cara ini, umumnya akan lebih efektif dalam memperoleh informasi yang inginkan oleh peneliti. Hal ini sesuai dengan pendapat

Suandi (2008:49) yang menyatakan

metode wawancara yang dilakukan lebih banyak berupa pengajuan pertanyaan konfirmasi secara tidak terstruktur. Metode

wawancara dalam penelitian ini

dipergunakan untuk memperjelas fungsi perilaku verbal yang dilakukan guru. Metode wawancara ini hanya akan dilakukan apabila sebuah kasus ketika observasi tidak dapat dipecahkan secara ilmiah dan memerlukan jawaban yang sebenarnya dari penutur itu sendiri.

Suandi (2008) menyatakan untuk

mendapatkan jawaban yang benar,

peneliti harus benar-benar menguasai pertanyaan yang akan diberikan kepada

responden sehingga tidak terlihat

canggung saat bertatap muka.

Selanjutnya, teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis deskriptif kualitatif. Data yang diperoleh dari hasil observasi dan wawancara dianalisis melalui langkah-langkah, sebagai berikut (1) reduksi data, (2) penyajian data, dan (3) penyimpulan.

Mereduksi data berarti memilih hal-hal

pokok, memfokuskan pada hal-hal

penting, mencari temannya serta polanya

dan membuang yang tidak perlu

(Sugiyono, 2006:38). Data berupa wacana

yang telah direkam kemudian

ditranskripkan ke dalam bentuk tulisan. Setelah itu, data yang valid dikumpulkan untuk diklasifikasikan.

Data yang sudah terkumpul,

kemudian diberi kode. Dalam hal ini, perilaku verbal yang dilakukann guru diberi kode 001/Dek/Repre/L/07/04/13. Kode ini dibaca percakapan nomor 1 (001); menggunakan bentuk deklaratif

(Dek); fungsi representatif (Repre);

strategi penyampaian atau jenis tuturan langsung (L); diambil pada tanggal 07 (07); bulan April (04); tahun 2013 (13). Dengan melakukan pengkodean, peneliti dapat melihat penyimpanan data awal. Penyimpanan ini diperlukan untuk melihat data bila sesekali diperlukan lagi untuk melengkapi data yang ada atau untuk konfirmasi. Dengan demikian, data dapat dianalis, diklasifikasikan lebih lanjut dan siap untuk dideskripsikan.

Setelah data digolongkan sesuai dengan rumusan masalah, selanjutnya data itu diolah dan dianalisis untuk memperoleh jawaban yang tepat yang sesuai dengan rumusan masalah. Dalam penyajian ini, data yang didapat akan dihubungkan dengan teori-teori yang relevan yang nantinya dapat menjawab permasalahan yang ingin dipecahkan. Pada tahap ini, data mengenai bentuk, fungsi, dan jenis perilaku verbal yang dikumpulkan akan dipaparkan dengan jenis wacana deskripsi yang sesuai dengan rancangan penelitian. Data hasil perekaman yang menjadi data utama akan dipaparkan kemudian diklasifikasikan ke dalam bentuk, fungsi, dan jenis perilaku verbal. Kemudian, data itu akan dianalisis untuk menentukan bentuk, fungsi, dan jenis perilaku verbal yang disampaikan oleh guru dan siswa saat pembelajaran berlangsung.

Tahap terakhir yang dilakukan

adalah penyimpulan. Penyimpulan perlu dilakukan karenakan penyimpulan dapat

diketahui keakuratan penelitian.

(6)

dapat menjawab semua permasalahan yang diangkat dalam penelitian. Data yang disimpulkan adalah data berupa bentuk, fungsi, dan jenis perilaku verbal yang dilakukan oleh guru dalam pembelajaran sastra Indonesia di kelas XI SMA Negeri 1 Gianyar. Secara khusus data itu meliputi (1) bentuk perilaku verbal yang dilakukan guru, (2) fungsi perilaku verbal yang dilakukan guru, dan (3) jenis perilaku

verbal yang dilakukan guru dalam

pembelajaran sastra Indonesia di kelas XI SMA Negeri 1 Gianyar. Hasil kegiatan itu berupa simpulan sementara. Oleh sebab itu, sebelum menyusun laporan penelitian, peneliti melakukan pengecekan kembali keseluruhan proses untuk mendapatkan

hasil analisis dan simpulan yang

meyakinkan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan peneliti mulai 21 April 2014 sampai dengan 5 Mei 2014, ada beberapa hal penting yang ditemukan peneliti.

Pertama, mengenai bentuk perilaku verbal

yang digunakan guru dalam pembelajaran sastra Indonesia. Kedua, mengenai fungsi perilaku verbal yang digunakan guru dalam pembelajaran sastra Inonesia.

Ketiga sekaligus menjadi yang terakhir

adalah mengenai jenis perilaku verbal

yang digunakan oleh guru dalam

pembelajaran sastra Indonesia.

Pertama, mengenai bentuk perilaku

verbal. Bentuk perilaku verbal yang digunakan guru dalam pembelajaran sastra Indonesia di kelas XI SMA Negeri 1 Gianyar ada tiga, yaitu tuturan deklaratif, tuturan interogatif, dan tuturan imperatif. Oleh karena itu, telah diketahui bahwa guru dalam pembelajaran sastra Indonesia ini menggunakan ketiga bentuk tuturan yang dikemukakan oleh Wijana (1996:30). Penggunaan ketiga bentuk tuturan itu

telah disesuaikan oleh guru dalam

pelaksaannya sesuai dengan situasi dan

kondisinya. Jumlah kemunculan dari

ketiga bentuk tuturan itupun berbeda-beda. Perilaku verbal berbentuk tuturan deklaratif muncul sebanyak 69 tuturan dari total 203 tuturan yang disampaikan guru yang jika dipersentasekan menjadi 33,99 %. Kemudian, bentuk tuturan interogatif

muncul sebanyak 86 tuturan dari total keseluruhan tuturan dengan persentase 42,36 %. Tarakhir, bentuk tuturan imperatif muncul sebanyak 48 tuturan dari total 203 tuturan dengan persentase sebesar 23,65 %

Pemaparan mengenai jumlah

kemunculan dan persentase masing –

masing bentuk tuturan itu menunjukkan

bahwa bentuk tuturan interogatif

merupakan bentuk tuturan yang paling sering muncul dalam pembelajaran, yaitu muncul sebanyak 86 tuturan. Berbeda dengan hal itu, bentuk tuturan imperatif hanya muncul sebanyak 45 tuturan, sehingga menjadi tuturan yang paling jarang digunakan oleh guru selama pembelajaran sastra Indonesia. Tuturan interogatif ini menjadi tuturan dengan frekuensi terbesar dikarenakan beberapa bentuk tuturan interogatif sering dipilih

untuk menyatakan permintaan atau

suruhan secara tidak langsung. Oleh karena bentuk tuturan interogatif ini sering digunakan sebagai tuturan yang berfungsi meminta atau menyuruh, frekuensi tuturan ini menjadi bertambah, sedangkan bentuk tuturan imperatif dalam pembelajaran sastra Indonesia ini menjadi lebih sedikit atau berkurang.

Penggunaan bentuk tuturan

interogatif ini dipilih agar permintaan atau suruhan yang diajukan guru kepada siswa

terkesan lebih sopan. Pemilihan

penggunaan bentuk tuturan interogatif untuk menjalankan maksud memerintah juga menjadikan suasana di kelas tidak kaku dan tegang. Selain itu, hal ini juga menimbulkan interaksi yang lebih positif antara guru dan siswa, atau dengan kata lain guru dan siswa menjadi lebih mudah menjalin keakraban. Penggunaan bentuk tuturan interogatif yang memiliki maksud tuturan imperatif (penggunaan bentuk tuturan yang tidak sesuai dengan maksud tuturan) pada kenyataannya tidak salah, melainkan untuk menyampaikan tuturan dengan suasana yang berbeda. Hal ini juga sesuai dengan yang disampaikan Wijana (1996:30) bahwa tindak tutur yang maksudnya dipahami dan diterima tidak sesuai dengan modus kalimat, contohnya maksud memerintah diutarakan dengan kalimat bermodus berita atau tanya agar

(7)

orang yang diperintah tidak merasa bahwa diperintah.

Selain digunakan untuk menjalankan fungsi memerintah (bentuk imperatif), bentuk tuturan interogatif lebih sering digunakan oleh guru dikarenakan situasi dan kondisi pembelajaran pada saat itu (dilaksanakannya penelitian). Penelitian ini dilaksanakan pada minggu – minggu akhir sebelum dilaksanakannya UKK, oleh karena itu, guru kembali menggali ingatan siswa dengan bertanya langsung kepada siswa menggunakan bentuk interogatif

mengenai pembelajaran yang telah

dilaksanakan. Hal ini dilakukan guru agar

siswa tidak hanya mengengingat

pembelajaran yang baru saja terlaksana, akan tetapi juga mengingat pembelajaran

terdahulu atau sebelumnya demi

mempersiapkan kesiapan siswa

menghadapi UKK.

Selain memaparkan mengenai

bentuk tuturan dalam perilaku verbal yang digunakan guru dalam pembelajaran sastra Indonesia, dalam hasil penelitian ini juga dikemukakan bahwa perilaku verbal yang digunakan guru dalam pembelajaran sastra Indonesia itu memiliki fungsi yang

berbeda – beda sesuai dengan

kebutuhannya. Fungsi tindak tutur yang muncul dalam tuturan guru selama pembelajaran sastra Indonesia di SMA Negeri 1 Gianyar ada lima, yaitu (1) representatif; (2) direktif; (3) ekspresif; (4) komisif; dan (5) deklarasi. Fungsi – fungsi tuturan ini melekat dalam setiap bentuk tuturan yang disampaikan guru baik dalam tuturan deklaratif, tuturan interogatif, maupun tuturan imperatif. Jadi, lima fungsi

yang dikemukakan Austin (dalam

Nababan, 1987:18) muncul dalam tuturan yang disampaikan oleh guru dalam pengajaran sastra Indonesia di SMA Negeri 1 Gianyar.

Kemunculan lima fungsi itu dari total 203 tuturan guru adalah 50 tuturan dengan fungsi representatif, di antaranya

melaporkan sebanyak 8 tuturan,

menyebutkan 10 tuturan, menunjukkan 17 tuturan, menyatakan 6 tuturan, menuntut 2 tuturan, dan menyimpulkan 7 tuturan.

Kedua, fungsi direktif muncul sebanyak

134 tuturan yang meliputi bertanya 65 tuturan, meminta 11 tuturan, menyuruh 45

tuturan, mendesak 2 tuturan, memaksa 3 tuturan, menyarankan 5 tuturan, dan memerintah 3 tuturan. Ketiga, fungsi ekspresif muncul sebanyak 14 tuturan, yakni mengkritik 4 tuturan, memuji 4 tuturan, menyalahkan hanya 1 tuturan, menyanjung 4 tuturan, dan mengeluh hanya muncul pada 1 tuturan. Keempat, fungsi komisif hanya muncul pada 1 tuturan, yaitu tuturan mengancam pada fungsi khususnya. Kelima, fungsi deklarasi muncul sebanyak 4 tuturan, yaitu 4 tuturan mengizinkan.

Persentase kemunculan masing –

masing fungsi ini dalam tuturan adalah 24,63 % untuk fungsi representatif, 66,01 % untuk fungsi direktif , 6,90 % untuk fungsi ekspresif, 0,49 % untuk fungsi komisif, dan 1,97 % untuk fungsi deklarasi. Berdasarkan pemaparan itu terlihat bahwa persentase kemunculan terbesar terdapat pada fungsi direktif , yaitu 66,01 % dengan jumlah tuturan sebanyak 134 tuturan. Hal ini dikarenakan fungsi direktif ini lebih sering melekat pada bentuk tuturan interogatif. Salah satu fungsi khusus dari fungsi direktif ini adalah fungsi bertanya dan fungsi inilah yang selalu melekat pada bentuk interogatif. Dalam pembahasan sebelumnya dikemukakan bahwa bentuk tuturan interogatif paling banyak muncul dalam pembelajaran, maka dari pada itu, fungsi direktif ini akan muncul paling banyak pula dalam tuturan guru selama proses pembelajaran.

Hal ini sesuai atau sama dengan

penelitian yang diungkapkan oleh

Winantini (2011) dan Mirayanti (2013). Winantini (2011) menyebutkan bahwa fungsi direktif adalah fungsi yang paling banyak muncul dalam pembelajaran, sedangkan fungsi ekspresif dan komisif adalah fungsi yang paling jarang muncul. Dalam penelitian Winantini disebutkan pula bahwa fungsi bertanya yang paling sering muncul dalam pembelajaran. Sama halnya dengan Mirayanti (2013) yang mengemukakan bahwa fungsi tuturan yang memiliki frekuensi tertinggi adalah direktif, sedangkan terendah adalah fungsi deklaratif.

Kemudian, selain memaparkan

mengenai bentuk dan fungsi tuturan, hasil penelitian yang dilakukan penulis ini juga

(8)

memaparkan mengenai jenis tuturan yang digunakan oleh guru dalam pembelajaran sastra Indonesia di kelas XI SMA Negeri 1 Gianyar. Berdasarkan hasil observasi di

lapangan, ditemukan bahwa selama

proses pembelajaran sastra Indonesia perilaku verbal yang digunakan guru dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu jenis

perilaku verbal langsung dan tidak

langsung. Oleh karena itu, dalam hal ini guru dapat dikatakan menggunakan kedua jenis tuturan yang dikemukakan oleh

Djajasudarma (2010:63). Ia

mengemukakan pendapat bahwa tindak tutur dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu langsung (direct speech acts) dan tidak langsung (indirect speech acts).

Jenis tuturan langsung dan tidak langsung yang digunakan guru dalam pembelajaran sastra Indonesia dalam hal ini diklasifikasikan lagi menjadi lima variasi yang masing-masing memiliki kemunculan yang berbeda - beda sesuai dengan

situasi pada saat pembelajaran

berlangsung. Klasifikasi ini didasarkan atas perealisasian jenis tuturan ini ke dalam bentuk tuturan deklaratif, tuturan interogatif, dan imperatif. Adapun variasi jenis tindak tutur itu adalah jenis tindak tutur langsung dalam bentuk tuturan deklaratif, tindak tutur langsung dalam bentuk interogatif, tindak tutur langsung dalam bentuk imperatif, tindak tutur tidak langsung dalam bentuk deklaratif, dan tindak tutur tidak langsung dalam bentuk interogatif.

Frekuensi kemunculan jenis - jenis tuturan ini (dituliskan dari frekuensi terbesar hingga frekuensi terkecil) adalah frekuensi terbesar terdapat pada jenis tindak tutur langsung dalam bentuk interogatif, tuturan ini muncul dalam 67 tuturan dengan persentase 33,00 %.

Kedua, jenis tindak tutur langsung dalam

bentuk tuturan deklaratif. Jenis tuturan ini muncul sebanyak 59 tuturan dengan persentase 29,06 %. Ketiga, jenis tindak tutur langsung dalam bentuk imperatif dengan jumlah tuturan sebanyak 48 tuturan dengan persentase 23,65 %.

Keempat, jenis tindak tutur tidak langsung

dalam bentuk interogatif dengan jumlah 19 tuturan dan persentase 9,36 %. Kelima, jenis tindak tutur tidak langsung dalam

bentuk deklaratif sejumlah 10 tuturan dengan persentase 4,93 %.

Berdasarkan pemaparan di atas diperoleh informasi bahwa jenis perilaku verbal langsung lebih sering muncul dari pada jenis perilaku verbal tidak langsung. Hal itu terlihat pada jumlah tuturan jenis perilaku verbal langsung sebanyak 174 tuturan dengan persentase 85,71 %. Sedangkan jenis perilaku verbal tak langsung sebanyak 29 tuturan dengan persentase 14,29 %. Jenis perilaku verbal

langsung lebih banyak muncul

dikarenakan guru ingin menyampaikan informasi secara cepat dan akurat kepada siswa selama proses pembelajaran sastra

Indonesia berlangsung. Apabila

menggunakan jenis tuturan tidak

langsung, siswa akan sedikit lebih lama untuk mengartikan maksud atau informasi yang ingin disampaikan oleh gurunya. Jenis tuturan langsung ini paling banyak

digunakan pada saat menjelaskan

informasi penting mengenai materi yang

kurang jelas dan pada saat guru

memanfaatkan waktu pembelajaran

secara efisien mengingat bahwa

pelakasanaan penelitian ini pada saat minggu – minggu terakhir menjelang UKK. Sedangkan, jenis tuturan tidak langsung digunakan hanya pada saat – saat tertentu saja, seperti memerintah siswa dengan kesan tidak memerintah.

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan

yang dipaparkan sebelumnya, dapat

disimpulkan beberapa hal mengenai

penelitian ini, di antaranya (1) bentuk perilaku verbal yang digunakan guru dalam pembelajaran sastra Indonesia di kelas XI SMA Negeri 1 Gianyar ada tiga, yaitu tuturan deklaratif, tuturan interogatif, dan tuturan imperatif. Kemudian, di antara ketiga bentuk tuturan itu, bentuk tuturan interogatif merupakan bentuk tuturan yang paling sering muncul dalam pembelajaran dan bentuk imperatif sebaliknya. (2) Fungsi tindak tutur yang muncul dalam tuturan guru selama pembelajaran sastra Indonesia di kelas XI SMA Negeri 1 Gianyar ada lima, yaitu representatif (melaporkan, menyebutkan, menunjukkan,

(9)

menyimpulkan), direktif (bertanya,

meminta, menyuruh, mendesak,

memaksa, menyarankan, dan

memerintah), ekspresif (mengkritik,

memuji, menyalahkan, menyanjung, dan mengeluh), komisif (mengancam), dan

deklarasi (mengizinkan). Persentase

kemunculan terbesar di antara kelima fungsi – fungsi itu adalah fungsi direktif , yaitu fungsi bertanya. (3) Jenis tuturan

yang digunakan oleh guru dalam

pembelajaran sastra Indonesia di kelas XI

SMA Negeri 1 Gianyar dapat

dikelompokkan menjadi dua, yaitu jenis

perilaku verbal langsung dan tidak

langsung. Jenis tuturan ini diklasifikasikan lagi menjadi lima variasi yang didasarkan atas perealisasiannya ke dalam bentuk tuturan deklaratif, tuturan interogatif, dan imperatif, yaitu jenis tindak tutur langsung dalam bentuk tuturan deklaratif, tindak tutur langsung dalam bentuk interogatif, tindak tutur langsung dalam bentuk imperatif, tindak tutur tidak langsung dalam bentuk deklaratif, dan tindak tutur tidak langsung dalam bentuk interogatif. Frekuensi kemunculan terbesar dari jenis - jenis tuturan ini adalah jenis tindak tutur langsung dalam bentuk interogatif. Oleh karena itu, jenis tuturan langsung lebih sering muncul dari pada tidak langsung.

Berdasarkan pemaparan mengenai hasil penelitian dan simpulan, adapun saran yang dapat disampaikan dalam penelitian ini adalah pertama, pada penelitian ini terlihat bahwa guru sudah dapat dikatakan ideal dalam penggunaan perilaku verbalnya, hal itu terlihat pada kesesuaian antara bentuk, fungsi, maupun jenis perilaku verbal yang ia gunakan dan pembelajarannya. Oleh karena itu, hal ini

perlu dipertahankan dan diterapkan

bahkan disempurnakan oleh guru. Hal ini dilakukan karena mengingat pentingnya

perilaku verbal dalam pembelajaran

khususnya sastra Indonesia. Kedua,

Penelitian ini difokuskan pada perilaku verbal guru dalam pembelajaran sastra Indonesia di SMA. Oleh karena itu, peneliti lain dapat melakukan penelitian mengenai perilaku verbal ini di jenjang sekolah lainnya, baik TK, SD, maupun SMP dan dapat menambahkan perilaku nonverbal guru, dan atau perilaku verbal dan

nonverbal guru dan siswa sebagai variabel penelitiannya. Selain itu, pada bagian jenis tuturan atau perilaku verbal, penelitian ini

masih terbatas pada jenis tuturan

langsung dan tidak langsung. Masih ada aspek yang belum diteliti, tuturan literal dan tidak literal, misalnya. Oleh karena itu, disarankan kepada peneliti lain untuk mengadakan penelitian lanjutan terkait perilaku verbal yang belum dikaji dalam penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Djajasudarma, T. Fatimah. 2010. Wacana : Pemahaman dan Hubungan Antar

Unsur. Bandung: Refika Aditama.

Lastrini, Ni Komang Dewi. 2011. Perilaku Verbal dan Nonverbal Guru dalam

Pengajaran Berbicara Bahasa

Indonesia di SMA N 4 Singaraja.

Skripsi. (tidak diterbitkan).

Singaraja : Universitas Pendidikan Ganesha.

Leech, Geoffry. 1993. Prinsip – prinsip

Pragmatik. Diterjemahkan oleh MDD

Oka. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia.

Mirayanti, Ni Luh Putu Susy. 2013. Tindak

Tutur Guru Dalam Pengajaran

Bahasa Indonesia di SLB C Bina Karya Singaraja. Skripsi. (tidak diterbitkan). Singaraja : Universitas Pendidikan Ganesha.

Nababan, P. W. J. 1987. Ilmu Pragmatik

(Teori dan Penerapannya). Jakarta :

Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan. Rudy, T. May. 2005. Komunikasi &

Hubungan Masyarakat Internasional.

Bandung : PT Refika Aditama. Suandi. 2008. Pengantar Metodologi

Penelitian Bahasa. Singaraja :

Universitas Pendidikan Ganesha. Sugiyono. 2007. Metodelogi Penelitian

Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D). Bandung :

Alfabeta.

Wijana, I Dewa Putu dan Muhammad Rohmadi. 2011. Analisis Wacana

Pragmatik : Kajian Teori dan

Analisis. Surakarta : YUMA

PUSTAKA.

Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar

(10)

Winantini, Ni Nyoman Arika. 2011. Perilaku Verbal dan Nonverbal Guru

dalam Pengajaran Praktik

Mendongeng di SD Negeri 3

Sembiran. Skripsi. (tidak diterbitkan). Singaraja : Universitas Pendidikan Ganesha.

Referensi

Dokumen terkait

Penyampaian laporan tersebut disertai hardcopy dan softcopy Rancangan Peraturan Daerah dan tanggapan atas Rancangan Peraturan Daerah sesuai dengan Surat Edaran

• Untuk mahasiswa yang sudah lulus mata kuliah pada kurikulum yang lama, maka disetarakan sebagaimana telah mengambil mata kuliah yang baru pada kurikulum 2020, dan tidak

Terapi ACT adalah suatu terapi yang menggunakan konsep penerimaan, kesadaran, dan penggunaan nilai-nilai pribadi untuk menghadapi stresor internal jangka panjang, yang

Urusan Pemerintahan : 1.20 Urusan Wajib Otonomi Daerah, Pemerintahan Umum, Adm KeuDa, Perangkat Daerah, Kepegawaian. Organisasi : 1.20.03

Pendidikan bisa saja berawal dari sebelum bayi lahir seperti yang dilakukan oleh banyak orang dengan memainkan musik dan membaca kepada bayi dalam kandungan dengan harapan ia

Gambar 3.9 Rangkaian ekivaen Pengujian Pengaruh Kenaikan Temperatur Terhadap Tegangan Tembus Udara pada Elektron Bola Terpolusi Asam ..... Gambar 4.1 Rangkaian Pengujian

In detail all the starting materials, equipment and all processing, packaging, sampling and testing instructions. Procedures: Also known as SOPs, give directions for

Taspen (Persero) KC Pekanbaru, dimana dengan adanya penerapan gaya kepemimpinan demokratis ini akan memacu semangat kerja pegawai untuk dapat bekerja lebih giat dengan