• Tidak ada hasil yang ditemukan

VI. DILEMA DALAM TRANSFORMASI DESA KE NAGARI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "VI. DILEMA DALAM TRANSFORMASI DESA KE NAGARI"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

$&#

VI. DILEMA DALAM TRANSFORMASI

DESA KE NAGARI

Pengakuan kembali nagari sebagai pemerintahan terendah, membuat nagari berada pada kondisi yang dilematis. Nagari menerima intervensi pemerintah yang menempatkan nagari sebagai bagian dari birokrasi negara. Di sisi lain proses ini mengurangi otonomi nagari karena membuat nagari secara substansial berbentuk desa, dan mengurangi ciri utama dari pemerintahan nagari format lama, atau tradisi masyarakat Minang yaitu “kepemimpinan kolektif”.

Perubahan merupakan sebuah keniscayaan. Kuatnya tuntutan untuk menghidupkan kembali bentuk asli pemerintahan lokal di Sumatera Barat telah mendorong Pemerintah Provinsi untuk mengakomodasikan keinginan tersebut dengan menerbitkan berbagai peraturan daerah guna menghidupkan kembali pemerintahan nagari. Namun di sisi lain, terbukti bahwa untuk menghidupkan kembali pemerintahan nagari tidak mudah karena setiap perubahan berpotensi untuk memicu konflik yang dapat menjadi hambatan dalam pemerintahan nagari. 6.1 Transformasi Nagari: Perubahan yang Tidak Diharapkan

Perubahan sosial pada dasarnya merupakan sesuatu yang normal. Seperti yang diungkapkan oleh Lauer (2003), perubahan sosial adalah normal dan berkelanjutan, tetapi menurut arah yang berbeda diberbagai tingkat kehidupan sosial denga berbagai tingkat kecepatan. Masalahnya arah perubahan tidak selalu sesuai dengan dengan apa yang direncanakan atau diharapkan oleh para perencana perubahan (change agent). Kasus di Nagari IV Koto Palembayan ini membuktikan, bahwa transformasi desa ke nagari, selain menimbulkan perubahan yang diharapkan, ternyata juga menghasilkan perubahan yang tidak diharapkan (unintended change).

Perubahan sosial yang diharapkan dengan menghidupkan kembali bentuk asli dari sistem pemerinahan lokal yang terendah tampaknya juga berbuah perubahan yang tidak diharapkan. Terbentuknya lembaga-lembaga baru dalam nagari yang diharapkan menjadi wadah dan memberikan ruang kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan, dalam kenyataannya belum dapat bekerja secara optimal karena semua kegiatan masih berdasarkan program

(2)

$&$

dari atas meskipun telah menggunakan nama daerah seperti Goro Badunsanak (gotong royong bersaudara) yang dilakukan oleh LPMN.

Keinginan untuk mensinergikan kebijakan pemerintah dan aksi sosial berdasarkan adat istiadat di tingkat nagari tampaknya masih jauh dari kenyataan. Dalam kenyataannya, pemerintahan nagari belum menemukan format yang tepat bagaimana menjalankan pemerintahan yang dapat menggabungkan kedua hal tersebut. Euphoria atas kebijakan untuk menghidupkan kembali identitas masyarakat Minang dengan mengakui bentuk asli pemerintahan tradisonal mereka telah berubah menjadi kebingungan untuk mewujudkan bagaimana bentuk nagari yang sesungguhnya.

Pemerintah melalui berbagai peraturan masih tetap mengintervensi nagari. Dalam rentang waktu enam tahun (sejak tahun 2001 hingga 2007) Pemerintah Kabupaten Agam telah mengeluarkan dua peraturan yang menjadi dasar pelaksanaan pemerintahan nagari2 dan tidak tertutup kemungkinan peraturan yang sekarang akan kembali mengalami perubahan. Pergantian peraturan dalam waktu yang tidak lama itu seolah-olah memberi kesan bahwa pemerintah sedang menerapkan “trial and error” untuk mencari bentuk yang tepat. Di tingkat nagari sendiri, aparat pemerintahan nagari dengan sumber daya manusia yang sangat terbatas harus segera merespon setiap perubahan peraturan yang datang dari atas (pemerintah supra nagari).

Meskipun Undang-undang No. 32 tahun 2004 memungkinkan untuk munculnya bentuk sistem pemerintahan terendah sesuai dengan bentuk yang diinginkan masyarakat berdasarkan tradisi mereka, namun pemerintaha nagari saat ini meskipun telah berbeda di banding pemerintahan desa sebelum diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999, namun dari struktur pemerintahannya sama saja dengan pemerintahan desa sekarang (berdasarkan UU No. 22 tahun 1999). Dalam hal ini penyeragaman bentuk pemerintahan terendah tetap terjadi, sejauh ini yang dimungkinkan untuk berbeda adalah nama dan keterlibatan unsur adat saja. Rincian perbandingan desa dan nagari dapat dilihat pada Tabel 16 berikut ini:

2

Pemerintah Kabupaten Agam tahun 2001 mengeluarkan Perda No 31/2001 dan menggantinya dengan Perda No 12 dan 13 tahun 2007 yang mengatur tentang pelaksanan pemerintahan nagari

(3)

$&%

Tabel 16. Perbandingan Antara Desa dan Nagari

No Perbandingan Desa (sekarang) Nagari (sekarang) 1 Struktur Pemerintahan Terdiri dari: 1 BPD

2 Kepala Desa dan perangkat Desa

Terdiri dari: 1 Bamus Nagari

2 Wali Nagari dan perangkat Nagari

2 Sistem pemilihan

pemimpin

Pemilihan Kepala desa

Pemiihan wali nagari

3 Model

kepemimpinan

Legal-rasional Legal-rasional

4 Unsur legislatif Wakil masyarakat Wakil unsur dalam

masyarakat

5 Unsur adat Tidak ada Sebagai salah satu

unsur dalam Bamus (badan legislatif)

6 Sumber keuangan DAUD dan sumber

lainnya

DAUN dan sumber lainnya

Sumber: diolah dari data primer

Perbandingan desa dan nagari saat ini pada Tabel 16 dapat di jelaskan sebagai berikut ini:

1. Desa dipimpin oleh Kepala desa yang dipilih secara lansung oleh masyarakat desa. Hal ini sama seperti yang terjadi di Nagari IV Koto Palembayan. Wali nagari sebagai pemimpin nagari dipilih oleh penduduk nagari. Wali nagari tidak harus berasal dari kelompok genealogis bahkan saat ini yang menjadi wali nagari di Nagari IV Koto Palembayan berasal dari golongan individu. Jadi kedua pemimpin baik wali nagari maupun kepala desa, sama-sama bersifat legal-rasional dan berperan sebagai eksekutif.

2. Lembaga yang memainkan peran legislasi di desa bernama Badan Permusyawaratan Desa (BPD), pembentukannya ditetapkan melalui peraturan daerah kabupaten. Di Nagari IV Koto Palembayan, fungsi legislasi dijalankan oleh lembaga Bamus (sama dengan BPD). Perbedaan keduanya adalah, jika anggota BPD mewakili masyarakat (bukan mewakili kelompok/golongan tertentu) , maka anggota Bamus mewakili unsur yang ada dalam nagari yang telah ditetapkan yaitu unsur ninik mamak, cerdik pandai, alim ulama, bundo kandung dan pemuda. Berbeda

(4)

$&&

dengan desa, unsur adat memiliki wakilnya dalam struktur pemerintahan nagari.

3. Pembagian peran berdasarkan fungsi eksekutif dan legislatif ini tidak ada dalam struktur asli pemerintahan nagari. Kembali ke nagari masih dalam bentuk fisik saja, namun institusi-institusi asli belum lagi memainkan fungsi sebagaimana mestinya.

4. KAN sebagai lembaga yang mewadahi unsur tradisional, namun lembaga ini berada di luar pemerintahan nagari (non struktural), ini sekaligus memberikan gambaran bahwa tetap terjadi pemisahan urusan adat dan urusan kedinasan. Ini juga menunjukan pergeseran nagari yang awalnya merupakan kesatuan genealogis-teritorial menjadi hanya sebagai kesatuan territorial saja.

5. Sistem pembagian dana dari pusat, untuk desa bernama Dana Alokasi Umum Desa (DAUD) untuk nagari bernama Dana Alokasi Umum Nagari (DAUN).

Jumlah nagari di Kecamatan Palembayan saat ini ada enam nagari, jumlah ini tentu saja sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlah desa sebelumnya. Untuk nagari IV Koto Palembayan saja awalnya terdiri dari lima desa. Jika ditinjau dari dana pembangunan desa (bandes) dulu, kembali ke nagari tentu saja sangat merugikan. Hal ini seperti yang dikeluhkan oleh beberapa orang tineliti seperti yang dikatakan Sum.Kt.S dan Rus.St.M, bahwa jika ditinjau dari dana alokasi umum nagari (DAUN) yang diterima masih sedikit jika dibandingkan dengan dana Bandes. Meskipun jumlah nominal DAUN lebih besar namun itu jika dibagi untuk jorong yang ada (sebanyak 7 jorong) maka akan tidak memadai/sangat sedikit. Sementara dana Bandes walaupun jumlahnya lebih sedikit namun keenam desa yang terdapat di Nagari IV Koto Palembayan masing-masing mendapatkannya.

Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Warman (2008), Pemerintah pusat menerapkan sistem pembagian bantuan dana untuk penyelenggaraan pemerintahan desa melalui dana alokasi umum desa (DAUD) atau di Sumatera Barat disebut dengan dana alokasi umum nagari (DAUN). Penentuan besarnya dana yang akan diturunkan ke provinsi provinsi juga didasarkan kepada jumlah

(5)

$&'

pemerintahan desa (nagari), sehingga daerah yang pemerintahan desanya (nagari) sedikit akan ”rugi”. Persoalan ini kembali dirasakan oleh Pemda Sumatera Barat sejak kembali ke nagari. Pemda mengeluh minimnya DAUN yang bisa ditarik ke Sumatera Barat karena jumlah pemerintahan nagari sedikit, pada hal wilayah dan jumlah penduduk yang akan dibangun sangat luas. Kondisi ini pulalah yang mendorong Pemda Sumatera Barat merasa perlu merevisi bahkan mengganti Perda Nagari No. 9/2000, di samping juga menyesuaikan dengan penggantian UU No. 22 Tahun 1999 dengan UU No. 32 Tahun 2004.

6.2. Pola Dan Arah Perubahan

Perubahan sosial yang terjadi dalam pemerintahan nagari secara umum dapat disimpulkan berlangsung dengan mengikut pola siklus karena terdapat beberapa hal yang kembali berulang. Menurut Harper (1989), model siklus menggambarkan keadaan suatu sistem yang senantiasa berubah, namun dalam jangka waktu tertentu akan kembali pada keadaan semula (repetitif). Model ini dapat digunakan untuk menjelaskan dinamika perubahan sosial masyarakat dalam waktu tertentu, karena dalam jangka panjang, model ini juga menunjukan perubahan seperti garis lurus. Hal-hal yang mendukung pendapat tersebut adalah sebagai berikut:

1. Sebelum Belanda menguasai Sumatera Barat, sistem pemerintahan dalam nagari dikuasai oleh kelompok genealogis dengan tipe otoritas tradisional. 2. Intervensi Pemerintah Belanda ke dalam pemerintahan nagari tidak

dilakukan dengan cara menghapuskan nagari tapi dengan cara tetap mempertahankan kekuasaan kelompok genealogis namun melakukan reorganisasi dalam pemerintahan nagari sehingga pemimpin dalam nagari memainkan peran ganda, ke dalam untuk memimpin masyarakatnya dan ke luar sebagai perpanjangan tangan Belanda.

3. Setelah kemerdekaan pada masa Orde Lama, terjadi persaingan antara kelompok genealogis dengan kelompok individu dalam pemerintahan nagari, tipe kekuasaan perpaduan antara tradisional dan legal-rasional. Pemimpin dalam nagari (wali nagari) tetap memainkan peran ganda.

(6)

$&(

4. Zaman Orde Baru, penetrasi pemerintah sangat besar dalam pemerintahan nagari yang telah terpecah ke bentuk pemerintahan desa. Tipe kekuasaan adalah legal-rasional, kelompok genealogis tersingkir dan kekuasaan berada ditangan kelompok individu dengan sistem pemerintahan bersifat sentralistik.

5. Setelah dikeluarkannya UU No. 22/1999 pemerintahan nagari kembali dihidupkan. Kelompok genealogis berusaha untuk mendapatkan kembali kekuasaannya, intervensi pemerintah dalam pemerintahan nagari masih sangat besar, sejauh ini kelompok individu masih menguasai sistem pemerintahan nagari. Ada gerakan ke arah revitalisasi fungsi kelompok genealogis.

6. Badan Musyawarah Nagari yang ada saat ini bukanlah lembaga yang benar-benar baru, lembaga ini sebenarnya juga pernah dimunculkan pada tahun 1959, bedanya jika saat ini hanya berisi lima unsur masyarakat, dulunya anggota Bamus sebanyak 10 orang yang terdiri dari wakil golongan: adat, agama, front nasional, lembaga sosial desa, wanita tani atau nelayan, buruh, pemuda dan veteran atau angkatan 45. Dari kesepuluh golongan tersebut, saat ini hanya dipertahankan tiga yaitu golongan adat (ninik mamak, cadiak pandai dan alim ulama), golongan wanita (bundo kanduang) dan golongan pemuda.

Sepanjang sejarah nagari, telah terjadi pergumulan perebutan kekuasaan di tingkat nagari antara kelompok individu dan kelompok genealogis. Pada saat ini, perebutan tersebut untuk sementara dimenangkan oleh kelompok individu. Berdasarkan kajian yang dibuat oleh Kemal (2009), kelompok genealogis telah sejak lama memperjuangkan dominasi mereka (dalam pemerintahan nagari). Catatan yang mendukung hal tersebut antara lain adalah:

1. Pada tahun 1954 para niniak mamak, cerdik pandai dan alim ulama mengajukan tuntutan kepada pemerintah supaya mengeluarkan peraturan yang menyatakan bahwa anggota-anggota dari DPRN hanya berisi dari golongan orang nan ampek jinih. Ini menggambarkan bahwa kelompok individu tidak diinginkan untuk terlibat dalam pemerintahan nagari.

(7)

$&

2. Menuntut dimasukannya mata pelajaran mengenai adat istiadat Minangkabau untuk diadakan di sekolah-sekolah, tuntutan ini terjadi pada tahun 1957. Meskipun pada masa pemerintahan orde baru kurikulum ini sempat menghilang namun sejak zaman reformasi mata pelajaran adat istiadat Minangkabau kembali di ajarkan di bangku sekolah.

3. Tahun 1957, mengaktifkan kembali kerapatan-kerapatan adat.

4. Pada tahun 1957 juga ada gerakan untuk memobilisasi gerakan massa yang diikuti para penghulu, ninik mamak, cerdik pandai dan seluruh pemangku adat se-Sumatera Barat, yang bertempat di Bukittinggi. Tujuan dari gerakan ini adalah “untuk mengembalikan adat yang kawi, yang tak lekang oleh panas dan tidak lapuk oleh hujan”.

Saat ini perjuangan tersebut sedikit banyak telah membuahkan hasil. Pemerintah kembali merangkul tokoh-tokoh adat dan unsur-unsur tradisional. Telah terbuka pintu bagi kelompok genealogis untuk berperan melalui lembaga-lembaga kemasyarakatan yang ada dalam nagari. Aksi sosial inilah yang sebenarnya diharapkan tumbuh dan bersinergi dengan kebijakan pemerintah di tingkat nagari.

Sinergi tersebut saat ini memang belum terwujud secara optimal. Salah satu penyebabnya karena pemerintahan nagari saat ini masih dalam proses transisi antara keinginan untuk melepaskan diri dari bentuk nagari lama dan upaya untuk mengadopsi cara-cara baru berdasarkan aturan formal yang modern dalam mewujudkan bentuk nagari yang ideal. Menurut Warman K (2009), suatu sinergi dapat terjadi jika: (1) ada interaksi antar bagian-bagian terkait berbentuk kerjasama bukan kompetisi apalagi konflik; (2) terjadi penggabungan 2 (dua) bagian atau lebih; (3) ada tujuan tertentu yang hendak dicapai oleh bagian-bagian yang digabungkan itu; (4) penggabungan tersebut mampu menghasilkan lebih dari pada hasil kerja bagian-bagian secara terpisah.

Ke depan, kelompok individu diperkirakan akan tetap mendominasi organisasi pemerintahan nagari. Sebagai bagian dari sebuah birokrasi modern maka pemerintah nagari nantinya tentu akan diisi oleh orang-orang berdasarkan kompetensi tertentu bukan berdasarkan otoritas tradisional. Seperti yang dikatakan Webber (dalam Sztompka, 1994), kehidupan sosial dan organisasi

(8)

$&

sosial cenderung menuju rasionalisasi yang mengutamakan pertimbangan instrumental, menekanan efisiensi, menjauhkan diri dari emosi dan tradisi serta impersonalitas managemen. Hal ini dijelaskan pula oleh Nurhadiantomo (1986), bahwa birokrasi adalah suatu sistem untuk mengatur jalannya pemerintahan. Ciri yang menonjol dalam birokrasi adalah adanya hirarki jabatan-jabatan, pemisahan urusan pribadi dengan jabatan, yang diatur menurut perundang-undangan. Karena itu bentuk ideal dari birokrasi adalah objektif, rasional, netral dengan mekanisme kerja yang efisien dan efektif.

6.3 Potensi Konflik Dalam Pemerintahan Nagari

Kasus peralihan dari desa ke nagari menyebabkan perubahan baik perubahan struktur pemerintahan dan peraturan yang berlaku dalam masyarakat maupun perubahan kewenangan, fungsi dan tugas masing-masing lembaga dalam pemerintahan nagari. Perubahan-perubahan tersebut tidak selalu berjalan seperti yang diharapkan oleh para perencana perubahan, dalam hal ini pemerintah. Pemerintah pusat dan Pemda Propinsi Sumatera Barat berperan sebagai regulator yang mengeluarkan undang-undang dan peraturan yang mengatur pelaksanaan pemerintahan desa/nagari, sedangkan Pemda Kabupaten Agam selain sebagai regulator, juga sebagai inisiator yang menginisiasikan berubahan kepada nagari.

Pada saat pemerintahan nagari kembali dihidupkan, pemerintah mengeluarkan peraturan yang mengatur pembentukan lembaga-lembaga baru dalam nagari (agar dapat menjadi wadah bagi masyarakat guna berperan aktif untuk mewujudkan otonomi nagari), ternyata masih belum seperti yang diharapkan. Perubahan yang terjadi dalam nagari justru mengandung berbagai potensi konflik. Jika situasi tersebut tidak segera diantisipasi dan dikelola, maka akan menjadi hambatan dalam mewujudkan nagari yang otonom karena konflik dapat melemahkan struktur nagari. Berikut ini adalah berbagai kondisi yang mengandung potensi konflik dalam nagari.

6.3.1 Dualisme Kelembagaan Dalam Nagari.

Saat ini dalam pemerintahan nagari masih terdapat dualisme kelembagaan. Yaitu kelembagaan yang menangani urusan adat dan kelembagaan yang menngani urusan pemerintahan. Urusan adat menjadi tanggung jawab lembaga KAN dan urusan administrasi pemerintahan menjadi wewenang pemerintah nagari. KAN

(9)

$&!

berada di luar struktur pemerintahan. Kondisi ini tidak berbeda dengan pemerintahan desa yang memisahkan pemerintahan nagari dari unsur adat.

Seperti yang diungkapkan oleh Warman (2009), nagari yang pada masa pemerintahan desa hanya sebagai kesatuan masyarakat hukum kembali berkedudukan sebagai pemerintahan terendah. Perda No. 13 Tahun 1983 dicabut dan harta kekayaan nagari termasuk ulayat nagari dikembalikan penguasaannya kepada pemerintahan nagari, tetapi keberadaan KAN sebagai lembaga adat dalam nagari tetap dipertahankan bahkan diakui dan diatur dalam peraturan daerah. Jadi, kebijakan kembali ke nagari secara umum ingin menggabungkan kondisi nagari sebelum pelaksanaan pemerintahan desa dengan kondisi nagari pada masa pemerintahan desa. Oleh karena itu, dualisme kelembagaan yang terdapat pada masa pemerintahan desa belum sepenuhnya dapat dihapuskan dengan mengembalikannya kekondisi bernagari sebelum pelaksanaan pemerintahan desa.

Pada saat nagari dihapuskan dan diganti dengan pemerintahan desa, lembaga dalam nagari juga ikut mengalami perubahan. Dan ketika desa bertransformasi ke bentuk nagari, lembaga pemerintahan desa juga mengalami transformasi. Namun dalam kenyataannya secara substansial ada yang tidak berubah. Hal itu dapat dilihat pada gambar berikut ini.

Gambar 11. Transformasi lembaga pemerintahan nagari

Lembaga Pemerintah (formal)

Lembaga Adat (KAN) Desa

Bamus Nagari KAN = Pemimpin dari tiap – tiap suku/kaum

Wali Nagari Pemerintahan Nagari

K

elembagaan Pemerintahan Nagari

(10)

$&"

Dari desa ke nagari, lembaga adat dan pemerintahan tetap terpisah, ini bukanlah pemerintahan nagari yang pada dasarnya merupakan kesatuan teritorial genealogis. Keadaan ini tampaknya baru di sadari oleh kalangan akademisi, namun secara tidak lansung dari wawancara yang dilakukan baik kepada aparat pemerintahan di tingkat kabupaten, kecamatan hingga pemuka adat di Nagari IV Koto Palembayan, terungkap secara tidak lansung bahwa mereka menghendaki pemerintahan kembali ke kelompok genealogis. Mereka menyampaikan satu harapan bahwa kembali ke nagari adalah momentum untuk memfungsikan kembali ninik mamak (kelompok genealogis) dan menghidupkan kembali adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah.

Berdasarkan hasil wawancara dengan salah seorang pakar hukum adat dari Universitas Andalas, menyatakan bahwa dulunya pemerintahan nagari sama dengan pemerintahan adat dimana kekuasaan berada di tangan ninik mamak, pemerintahan dijalankan oleh satu lembaga yaitu Lembaga Kerapatan Nagari. Lembaga ini memainkan fungsi eksekutif, legislatif dan yudikatif sekaligus. Ini yang kemudian pada zaman desa dipisahkan adat dijalankan oleh lembaga KAN dan pemerintahan dijalankan oleh pemerintah desa dan perangkatnya. Pada saat ini KAN masih dipisahkan dari pemerintahan nagari. Jika ingin menghidupkan nagari seperti dulu seharusnya lembaga adat dan lembaga pemerintahan dilebur dalam satu kelembagaan artinya kembalikan pemerintahan ketangan KAN, jika lembaga KAN masih berada di luar struktur pemerintahan nagari, maka hal ini tidak jauh berbeda dengan masa pemerintahan desa yang hanya merupakan kesatuan teritorial saja.

Dualisme kelembagaan dalam nagari dapat berpotensi menimbulkan konflik jika keadaan ini tidak memberikan ruang yang cukup bagi kelompok genealogis untuk berpartisipasi dalam membangun nagari. Sesuai dengan pendapat Eko S (2007) yang menyatakan bahwa, sebagai unit pemerintahan otonom, setiap nagari adalah lembaga yang melaksanakan kekuasaan pemerintahan melalui Kerapatan Adat yang berfungsi sekaligus sebagai badan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Di dalam Kerapatan Adat berkumpul para ninik mamak yang mewakili kaumnya dan secara musyawarah mufakat melaksanakan pemilihan Wali Nagari, melakukan peradilan atas

(11)

$'#

anggotanya dan menetapkan peraturan demi kepentingan anak nagari. Suasana demokratis dan egaliter selalu mewarnai hubungan pemimpin dengan masyarakat, baik di dalam menyelenggarakan pemerintahan maupun dalam urusan hukum adat.

Namun demikian sejauh ini telah mulai ada gerakan untuk memfungsikan kembali ninik mamak atau kelompok genealogis dalam setiap program. Pemerintah Nagari IV Koto Palembayan telah mulai merangkul kembali kelompok genealogis ini dengan mengikutsertakan mereka di berbagai kegiatan. Ninik mamak kembali difungsikan sebagai wakil dari kaum atau suku. Namun tampaknya usaha ini masih akan memerlukan waktu yang panjang karena terkendala oleh sumberdaya manusia dari ninik mamak tersebut, sebagaimana yang diakui oleh salah seorang tokoh masyarakat yaitu Dt. AS yang mengatakan bahwa

“Terdapat sebagian ninik mamak yang tidak mengerti apa-apa bahkan kemenakannya lebih pintar dari mamaknya karena pendidikan formal yang ditempuhnya lebih tinggi dari si mamak, bagaimana ninik mamak ini akan mewakili mereka. Saya menganjurkan agar pemerintah nagari bekerja sama dengan KAN untuk merumuskan sebuah peraturan “pauh-pauh adat” yang memberikan pedoman bagi ninik mamak. Karena pada zaman desa dulu memang mereka sudah sangat tersingkirkan sehingga agak sulit untuk memfungsikannya kembali sebagaimana mestinya di samping itu hak dari ninik mamak ini tidak jelas”.

Kondisi ini berpotensi menimbulkan konflik antara wali nagari dengan para ninik mamak, terlebih lagi wali nagari IV Koto Palembayan yang sekarang bukan berasal dari kelompok genealogis. Jika hal ini terjadi, maka dengan menggunakan teori fungsionalisme konflik, konflik antara wali nagari dan kelompok genealogis ini, akan dapat melemahkan pemerintah nagari (negatif fungsional). Dalam kasus ini ninik mamak mempunyai potensi untuk menggagalkan setiap program pemerintah nagari (wali nagari) karena secara de facto ninik mamak adalah pemimpin di kaumnya yang meskipun posisinya tidak sekuat dulu, namun masih sangat dihargai oleh anggota kaumnya. Dengan kata lain, jika sebuah program tidak mendapat dukungan dari para nini mamak, maka mereka dapat menggunakan pengaruhnya untuk menghimbau anggota kaumnya supaya tidak mendukung program tersebut.

(12)

$'$

Meskipun dualisme kelembagaan dalam nagari adalah buah dari peraturan yang dibuat oleh pemerintah supra nagari, namun kemungkinan konflik antara wali nagari dengan para ninik mamak dapat dicegah apa bila wali nagari dapat bekerjasama atau berkoordinasi dengan ninik mamak dalam hal ini KAN, dalam pengambilan keputusan, terutama yang berkaitan dengan kewenangan wali nagari yang berkaitan dengan upaya mendukung kelangsungan adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Jika wali nagari dan KAN bisa bekerja sama dengan baik, maka ninik mamak dapat menggunakan pengaruhnya sebagai pemimpin kaum untuk menggerakan partisipasi warga untuk mendukung setiap kebijakan atau program pemerintah nagari. Ini dapat memperkuat pemerintahan nagari (positif fungsional).

6.3.2 Tumpang Tindih dan Ketidakjelasan Peran Lembaga-lembaga dalam Nagari.

Diawal pembentukan pemerintahan nagari, terdapat banyak lembaga baru yang dibentuk, namun dengan tugas dan fungsi yang tidak jelas. Sebagian besar lembaga tersebut hilang dengan sendirinya seperti lembaga MUNA. Lembaga yang masih tetap dipertahankan namun tidak berfungsi dengan baik yaitu LPMN, PPN. Adapun lembaga yang tugas dan fungsinya tumpang tindih adalah Bundo Kandung dan PKK. Kedua lembaga ini diisi oleh orang-orang yang sama. Kritik yang dilontarkan oleh Sjofyan Thalib tahun 2002 karena banyaknya lembaga baru dalam nagari sehingga menimbulkan tumpang tindih peran diantara lembaga tersebut, ternyata, meskipun hal ini telah dicoba untuk diperbaiki melalui perubahan peraturan dari Perda Kabupaten Agam No. 31/2001 menjadi Perda No 12/2007, tumpang tindih tugas dan fungsi masih tetap terjadi.

Lembaga-lembaga seperti PPN dan Linmas dan masih ada satu lembaga lain binaan polisi yaitu Lembaga Polmas (Polisi Masyarakat), ketiganya mempunyai tugas yang hampir sama yaitu bidang keamanan dan penertiban masyarakat dan juga sama-sama tidak berperan secara optimal sebagaimana yang diharapkan. Demikian juga halnya lembaga PKK dan Bundo Kanduang, kedua lembaga ini memiliki program yang sama saja dengan anggota yang juga sama. Sepertinya lembaga-lembaga yang ada tidak lagi tumbuh “sesuai dengan kebutuhan”, namun hanya memenuhi peraturan yang ada. Pemerintah supra nagari

(13)

$'%

tidak benar-benar memberikan ruang bagi nagari untuk membentuk sendiri lembaga yang mereka perlukan. Ini menunjukan masih besarnya intervensi pemerintah terhadap nagari.

Tumpang tindih tugas dan fungsi ini berpotensi menimbulkan konflik karena masing masing dapat melemparkan tanggung jawabnya. Misalnya jika salah seorang anggota masyarakat melanggar ketentuan dalam peraturan nagari siapa yang wajib menanganinya? Apakah anggota PPN, Polmas atau Linmas karena menurut peraturan ketiga lembaga itu mempunyai kewajiban untuk menangani pelanggaran peraturan oleh warga dalam nagari. Jika kemudian masing-masing anggota dari ketiga lembaga tersebut saling menyangka bahwa hal itu telah di tangani oleh salah seorang dari mereka, sehingga akhirnya tidak satupun yang bergerak, siap yang paling bertanggung jawab mengenai hal ini?

Potensi konflik akibat tumpang tindih tugas dan fungsi lembaga dalam nagari ini dapat memperlemah struktur (negatif fungsional) karena akan ada kemungkinan saling lempar tanggung jawab diantara unsur dalam nagari. Ini tentu saja harus segera dibenahi oleh pemerintah nagari. Langkah pertama pemerintah nagari sebaiknya mengeluarkan perna yang mengatur pembagian tugas yang jelas antara masing-masing lembaga selanjutnya mengadakan pertemuan rutin guna menanamkan pemahaman masing-masing unsur akan tugasnya berdasarkan peraturan. Jika masing masing pihak dapat mengerti dan mampu menjalankan fungsinya, maka ini akan memperkuat pemerintahan nagari (positif fungsional)

6.3.3 Perubahan Peraturan.

Reorganisasi lembaga-lembaga dalam nagari dilaksanakan seiring dengan perubahan-perubahan peraturan daerah yang berlaku. Saat proses penanaman pemahaman mengenai pemerintahan nagari saat ini kepada orang-orang yang terlibat dalam lembaga-lembaga nagari masih berjalan dan belum mencapai hasil yang seperti diharapkan karena masih terdapat simpang-siur pemahaman bagaimana sebaiknya pemerintahan nagari dilaksanakan, kembali perubahan peraturan terjadi. Ketika Perda Kabupaten Agam No. 31/2001 diterapkan, Nagari IV Koto Palembayan sebagai nagari pertama yang kembali dibentuk segera membuat lembaga-lembaga baru. Ketika lembaga-lembaga tersebut belum lagi bisa bekerja secara optimal karena daerah ini masih dalam proses transisi,

(14)

$'&

pemerintah kembali mengeluarkan perda yang menghendaki perubahan lembaga-lembaga dalam nagari.

Salah satu lembaga yang mengalami perubahan adalah lembaga BPRN menjadi Bamus. Pembentukan Bamus ini dilaksanakan secara tergesa-gesa oleh pemerintah nagari. Pada waktu pemilihan anggota Bamus Nagari IV Koto Palembayan, saat itu hanya dihadiri oleh 26 perserta rapat, termasuk perangkat nagari proses ini sebenarnya menimbulkan pro dan kontra, karena banyak yang tidak mengetahui proses pemilihan ini. Karena hanya melibatkan segelintir orang, maka pemilihan anggota Bamus ini menimbulkan ketidak puasan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam pemilihan anggota Bamus ini sebaiknya pemerintah nagari memberitahukan kepada setiap jorong agar mengirimkan wakil-wakilnya dari unsur yang telah ditetapkan yaitu niniak mamak, cadiak pandai, alim ulama, bundo kanduang dan pemuda, untuk diajukan menjadi anggota Bamus. Jadi meskipun anggota Bamus tidak merupakan wakil jorong tapi wakil dari unsur yang telah disebutkan tadi, namun karena pada tiap-tiap jorong kelima unsur ada, maka tentu pemerintah nagari harus mengikutsertakan mereka dalam proses pemilihan. Sementara yang terjadi, dengan alasan desakan dari atas (Pemerintah Kabupaten Agam) untuk segera membentuk Bamus Nagari, maka pemerintah nagari saat itu hanya mengundang tokoh-tokoh tertentu yang tempat tinggalnya berdekatan atau mudah dijumpai, bahkan pada saat pemilihan tersebut terdapat tokoh yang tidak hadir namun terpilih sebagai anggota Bamus.

Proses ini kemudian menuai protes dari berbagai pihak. Seperti Jorong Lambeh, adalah jorong yang sama sekali tidak mempunyai satupun tokoh yang hadir pada saat rapat pemilihan aggota Bamus. Meskipun mereka memprotes pemilihan tersebut, namun pihak pemerintah nagari waktu itu beralasan bahwa waktunya sangat mendesak untuk segera dibentuk Lembaga Bamus, sehingga undangan hanya disebarkan kebeberapa tokoh saja.

Perubahan lembaga dari BPRN ke Bamus menuai kekecewaan dari beberapa tokoh masyarakat. BPRN dianggap lebih baik, karena keanggotaan dalam BPRN diisi oleh wakil tiap-tiap jorong, sehingga masyarakat masing-masing jorong tahu jika ada aspirasi atau masalah yang akan disampaikan, mereka dapat menyampaikan melalui wakilnya yang ada di BPRN. Saat ini keanggotaan

(15)

$''

Bamus lebih sedikit karena hanya terdiri dari perwakilan unsur-unsur yang telah ditetapkan yaitu unsur ninik mamak, alim ulama, cadiak pandai, bundo kanduang dan pemuda semuanya berjumlah 9, sementara anggota DPRN dulu sebanyak 19 orang.

Penentuan jumlah anggota Bamus Nagari menurut Perda Kabupaten Agam No 12 tahun 2007 adalah sebagai berikut:

1. Untuk nagari berpenduduk sampai dengan 2000 jiwa sebanyak 5 orang 2. Untuk nagari berpenduduk 2001 – 4500 jiwa sebanyak 7 orang 3. Untuk nagari berpenduduk 4501 – 7000 jiwa sebanyak 9 orang 4. Untuk nagari berpenduduk 7001 atau lebih sebanyak 11 orang

Angggota-anggota Bamus yang bukan dari wakil tiap-tiap jorong, maka pemerintah nagari saat itu sebagai fasilitator pemilihan angota Bamus tidak merasa wajib memberitahukannya ke pada masing-masing jorong sehingga terkesan yang diundang untuk pemilihan anggota hanya tokoh-tokoh masyarakat disekitar Jorong Pasar saja (kantor nagari berada di Jorong Pasar Palembayan) meskipun undangan memang telah memenuhi syarat karena telah berisikan lima unsur yang ada dalam masyarakat.

Seperti penuturan salah seorang anggota Bamus Bapak Rus.St.M

“Ketika perangkat nagari memberikan undangan ke kantor camat untuk pemilihan anggota Bamus (kebetulan beliau juga bekerja di kantor camat) saya menanyakan mengapa saya dan Pak In (yang juga bekerja di kantor camat) selaku putra asli Nagari IV Koto Palembayan tidak diundang? Akhirnya sekretaris wali nagari waktu itu Pak Fred, membuat undangan tambahan untuk kami berdua. Ketika pemilihan dilansungkan di kantor nagari saya dikelompokan ke dalam unsur cadiak pandai namun tidak terpilih. Dari unsur pemuda sebenarnya yang terpilih adalah Saudara Sum.Kt.S, namun karena waktu itu umurnya belum memenuhi syarat akhirnya ditunjuklah saya sebagai wakil dari unsur pemuda. Karena kesibukan saya sebagai pegawai negeri rasanya saya akan mengundurkan diri saja karena tidak optimal bekerja sebagai anggota Bamus”.

Ketika hal ini dikonfirmasikan kepada salah seorang perangkat nagari yang pada waktu itu ikut menjadi salah seorang fasilitator pembentukan anggota Bamus, ia menjawab bahwa saat itu ada desakan dari pemerintah daerah kabupaten untuk segera membentuk lembaga Bamus sesuai dengan peraturan baru. Oleh karena itu karena wilayah Nagari IV Koto palembayan ini sangat luas dan sulit dijangkau, maka wali nagari saat itu berinisiatif untuk mengundang orang-orang yang mungkin dijumpai dan tempat tinggalnya di sekitar kantor wali

(16)

$'(

nagari saja. Alasannya yang penting adalah telah memenuhi syarat berupa lima unsur yaitu harus ada ninik mamak, cerdik pandai, alim ulama, bundo kanduang dan tokoh pemuda.

6.3.4 Ketidaksiapan Menerima Perubahan

Penerapan birokrasi modern hingga ketingkat nagari ini menimbulkan berbagai perubahan dalam struktur pemerintahan di tingkat nagari. Birokrasi modern menghendaki/menuntut adanya organisasi/lembaga tertentu yang sengaja dibentuk untuk melaksanakan tugas yang sebelumnya tidak dikenal oleh pemerintah nagari secara tradisional. Keberadaan organisasi atau lembaga ini memunculkan fungsi-fungsi baru dalam masyarakat. Birokrasi modern juga menuntut penyesuaian masyarakat dengan sistem yang formal, rasional, efisien dan bisa juga bersifat impersonal yang mana sifat-sifat ini sebelumnya tidak/kurang berkembang ditengah masyarakat yang tradisonal dengan pola-pola hubungan yang bersifat personal. Perubahan lain yang ditimbulkan adalah perubahan pada kriteria pemilihan pemimpin yang harus memenuhi syarat tertentu salah satunya syarat pendidikan formal hingga jenjang tertentu. Ini menggantikan kriteria pemimpin tradisional dalam masyarakat.

Perubahan berlansung lebih cepat dibanding perubahan kemampuan manajemen organisasi/lembaga untuk merespon perubahan tersebut. Pada lembaga KAN, para anggotanya yang terdiri dari ninik mamak Nan 80, sebagian mulai menyadari bahwa mereka harus berperan aktif, namun hal ini tidak terakomodir oleh KAN, ada beberapa hal yang menyebabkan hal tersebut terjadi: a. Keuangan KAN yang sangat minim. Saat ini sumber dana KAN hanya berasal

dari pemerintah yaitu sebesar 500.000/bulan. Pengurus KAN tidak pernah memberikan laporan pertanggungjawaban terhadap penggunaan dana ini. Tidak banyak program yang bisa dibuat oleh KAN dengan dana sebanyak itu, begitu juga dengan rapat-rapat sosialisasi kebijakan yang diambil oleh KAN sangat jarang (hampir tidak pernah dilakukan), akibatnya semua kebijakan yang mengatas namakan KAN hanya diambil oleh para pengurus KAN di nagari saja.

Seperti penuturan salah seorang anggota KAN yaitu Bapak Sa.Dt.P berikut ini:

(17)

$'

“Ketua KAN dan pengurusnya hanya sibuk di kantor nagari saja, tidak pernah turun ke bawah untuk melihat permasalahan yang ada. Lembaga pemerintah dan lembaga tradisional belum bisa berjalan seiringan karena lembaga pemerintah (pemerintah nagari) disokong oleh dana yang cukup, sementara lembaga tradisional (ninik mamak/KAN) belum menjalankan fungsinya dengan optimal karena kekurangan dana. Dana yang ada saja bahkan tidak cukup untuk dipakai rapat, bayangkan saja, jika ke 80 ninik mamak yang ada diundang rapat, berapa banyak biaya yang harus dikeluarkan minimal panitia harus menyediakan 80 bungkus nasi. Mungkin itu sebabnya KAN tidak pernah rapat untuk membahas permasalahan dalam nagari. Dulunya ninik mamak memiliki sumber keuangan sendiri yang berasal dari sawah pagadanga3, namun seiring dengan bertambah dan berkembangnya jumlah kemenakan maka sawah tersebut diolah oleh kemenakan saja sehingga saat ini ninik mamak tidak memiliki sumber penghasilan dari kaumnya dan lebih banyak mengurusi urusan keluarganya saja (keluarga inti).

b. Sumberdaya manusia yang terbatas. Tidak semua ninik mamak, karena keterbatasan SDM-nya memahami fungsinya sehingga terkesan saat ini KAN masing-masing jorong berjalan sendiri-sendiri.

Kebijakan untuk melibatkan ninik mamak di satu sisi bertujuan untuk memfungsikan kelompok genealogis, namun di sisi lain membuat beberapa urusan menjadi lebih panjang. Perubahan berjalan lebih cepat dibanding kesiapan untuk menerima perubahan. Dalam hal ini ninik mamak tidak siap (tidak mampu) untuk menjalankan fungsinya sebagai mana yang diharapkan. Hal ini bisa jadi karena ninik mamak yang sekarang berasal dari kaum muda (terdapat juga orang-orang yang sudah tua tapi jumlahnya sangat sedikit) yang mereka tidak begitu paham bagaimana peran ninik mamak dulunya. Hal ini bisa dimaklumi karena lebih dari 25 tahun (pada masa pemerintahan desa) ninik mamak ini telah dikesampingkan.

Begitu juga dengan kondisi lembaga-lembaga lain dalam nagari, mereka diisi oleh orang-orang yang tidak terbiasa dengan cara kerja organisasi modern, selain juga terbatasnya ketersediaan sumberdaya manusia dalam nagari. Sebenarnya hal ini sedikit demi sedikit dapat diatasi melalui program-program pelatihan serta sosialisasi baik oleh pemerintah nagari maupun supra nagari. Contohnya seperti pembinaan tertib administrasi yang dilakukan oleh aparat kecamatan kepada Pemerintah Nagari IV Koto Palembayan, hasilnya saat ini menurut salah seorang aparat kecamatan, admistrasi di Nagari IV Koto Palembayan ini sudah lebih baik dan telah mengikuti ketentuan. Tentu saja

3

sawah atau ladang yang diolah/dikerjakan oleh kemenakan dan sebagian hasilnya diserahkan kepada ninik mamak.

(18)

$'

ketersediaan biaya yang cukup menjadi penentu bagi keberhasilan program sosialisasi ini.

6.2. 5 Munculnya Sentimen Kesukuan

Sebagai mana diakui oleh aparat Pemerintahan Kabupaten Agam, salah satu dampak dari kembali kenagari adalah menguatnya rasa kesukuan (wawancara dengan Bapak Is dan Del. Hal ini berdampak pada timbulnya sentimen kesukuan. Hal ini berpotensi untuk menimbulkan konflik antara pendatang dan penduduk asli. Seperti pengakuan dari mantan kepala desa Pasar Palembayan, bahwa berdasarkan peraturan seharusnya kepala desa yang tertua dalam wilayah nagari tersebut lansung diangkat menjadi pejabat sementara wali nagari, kebetulan dialah yang tertua diantara kepala desa yang ada saat itu, namun karena ia merupakan pendatang, maka warga tidak menginginkannya menjadi wali nagari sementara. Begitu juga ketika wali nagari kedua tidak bisa lagi menjalankan tugasnya karena sakit, maka sesuai dengan ketentuan, sekretaris wali nagari lansung menjadi pejabat sementara wali nagari. Karena sekretaris wali nagari tersebut juga adalah seorang pendatang, maka bermunculanlah suara-suara sumbang yang menginginkannya segara mundur.

Konflik yang menyangkut sentimen kesukuan sejauh ini tidak berkembang menjadi konflik terbuka. Hal ini bisa jadi karena tidak banyak pendatang yang bekerja di kantor wali nagari atau yang bekerja mengurus kepentingan publik di samping itu jumlah pendatang juga tidak banyak. Selain itu juga terdapat kemungkinan bahwa konflik ini bersifat laten yang artinya jika suatu saat timbul sebab yang dapat menyulut pertikaian antara pendatang dan penduduk asli, maka sentimen kesukuan ini akan menjadi faktor pendorong munculnya konflik terbuka. Munculnya sentimen kesukuan, disebabkan karena kurangnya pemahaman masyarakat mengenai bentuk nagari saat ini. Ini dapat dipahami karena selain sosialisasi yang masih kurang, juga disebabkan bahwa secara psikologis kata “nagari” sendiri sebenarnya telah memiliki makna tersendiri yang telah disepakati. Ketika kata ini kembali digunakan maka orang-orang akan mengingatnya sebagai mana nagari asli dulu yaitu sebuah wilayah dengan sistem pemerintahan tertentu yang tidak memberikan ruang kepada pendatang untuk menjadi pemimpin. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam kehidupan bernagari penduduk asli memiliki status

(19)

$'!

sosial yang lebih tinggi dibanding pendatang karena mereka merasa nenek moyangnyalah yang dulu telah menemukan/membuka daerah tersebut, sementara pendatang adalah orang yang menumpang di tanah tersebut. Oleh sebab itu tidaklah mengherankan jika sebagian orang merasa “tidak senang” jika ada pendatang yang menjadi pemimpin dalam nagari.

6.3.6 Konflik Kepentingan

Perubahan struktur pemerintahan akibat transformasi dari desa ke nagari, berdampak pada perubahan politik lokal di tingkat nagari. Konflik kepentingan ini bisa melibatkan individu maupun kelompok yang terdiri dari individu-individu yang terikat oleh suatu kepentingan. Dijadikannya nagari sebagai kesatuan administrasi terendah telah membuat nagari menjadi arena politik perebutan kekuasaan. Perebutan diantara kelompok strategis (elit lokal) menurut Evers dan Tilman (1992), tidak hanya berbentuk harta benda melainkan juga kekuasaan, prestise, ilmu pengetahuan dan juga keagamaan. Untuk Nagari IV Koto Palembayan kekuasaan dan prestise menjadi motif utama yang diperebutkan.

Sebagai nagari pertama di Kabupaten Agam yang kembali dihidupkan, di sini terdapat berbagai konflik kepentingan. Pemerintah Kabupaten merasa perlu untuk memuluskan rencana ini sehingga bisa menjadi contoh bagi daerah lain. Sementara itu pihak Kecamatan juga tidak mau disalahkan jika proses kembali ke nagari yang pertama ini gagal. Oleh karena itu pihak kecamatan dalam mensosialisasikan rencana kembali ke nagari hanya mengundang tokoh-tokoh yang danggap sejalan dan dianggap dapat bekerja sama.

Berikut penuturan dari salah seorang tokoh masyarakat yaitu Bapak As, yang menjadi sekretaris pertama dalam pemerintahan nagari dan juga sekaligus anggota KAN:

“Nagari IV Koto Palembayan ini merupakan nagari pertama yang kembali dihidupkan di Kabupaten Agam. Proses pembentukan nagari terlalu tergesa-gesa (seolah-olah dipaksakan), pada hari penunjukan wali nagari sementara, lansung pula terbentuk lembaga MUNA, MAMAS, BPRN. Meskipun banyak suara– suara yang menyatakan ketidak puasan terhadap proses pembentukan nagari ada namun itu hanya sebatas di lapau (warung) saja sehingga tidak ada pengaruhnya terhadap pemerintah nagari. Yang mengherankan saya selaku sekretaris ditunjuk oleh ninik mamak bukannya oleh Wali Nagari, ini merupakan kejanggalan. Menurut Bapak As, tidak ada sosialisasi untuk kembali ke nagari, mungkin ada (dua kali)

(20)

$'"

tapi yang diundang hanyalah tokoh-tokoh tertentu. Jadi ada kesan Wali Nagari seolah-olah sudah terbentuk sebelum nagari terbentuk. Saya pernah diundang menghadiri rapat, pada saat itu para tokoh yang pernah diundang sebelumnya telah memegang perda No. 31 tahun 2001 sementara yang lain tidak tau, jadi mereka seolah-olah memaksakan, bahwa pembentukan nagari ini adalah sesuai dengan perda. Pada masa proses peralihan ini Ninik mamak seolah-olah menjadi perpanjangan tangan dari wali nagari (disuruh-suruh) pada hal menurut aturannya KAN sebenarnya adalah mitra bagi wali nagari. Sampai ketika saya menghadiri seminar yang diadakaan oleh LKAAM Sumbar di Padang. Ternyata nagari ideal yang mereka jelaskan tidak seperti yang diterapkan di IV Koto Palembayan. Maka saya kemudian menemui ketua LKAAM dan mengusulkan agar LKAAM Sumbar memberikan utusan guna mensosialisasikan bagaimana nagari yang sekarang seharusnya di jalankan di IV Koto Palembayan, karena menurut saya Nagari IV Koto Palembayan saat itu dijalankan semaunya saja oleh Wali Nagari yang pertama. Awalnya rencana ini mendapatkan respon positif dari wali nagari, namun terdapat suara-suara sumbang yang mengatakan seolah-olah saya menyuruh para ninik mamak untuk belajar adat lagi, sehingga pertemuan dengan LKAAM Sumbar dibatalkan. Oleh karena itu saya melihat bahwa Wali Nagari I sepertinya memerintah “semaunya saja” dan tidak mau mengetahui bagaimana seharusnya nagari itu dijalankan, oleh karena itu saya mengundurkan diri dari jabatan Sekretaris Wali Nagari. Menurut pendapat saya, seolah-olah dengan kembali ke nagari pemerintah nagari dapat berbuat semaunya saja”. Selain itu para ninik mamak dalam nagari juga merasa berkepentingan untuk menegakan kembali dominasi mereka dalam nagari sebagai mana nagari dulu dengan mendudukan salah satu wakil mereka dalam pemerintah nagari yaitu sebagai wali nagari, meskipun berdasarkan peraturan tidak harus seperti itu. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya Wali Nagari IV Koto Palembayan yang pertama merupakan seorang ninik mamak, meskipun seharusnya yang menjadi pejabat sementara wali nagari adalah kepala desa yang tertua. Potensi konflik karena rasa kesukuan ini bisa di kategorikan konflik yang tidak realistis karena beranjak dari hal-hal yang tidak rasional.

6.3.7 Sengketa Tapal Batas Antar Nagari

Pengakuan nagari menjadi wilayah administratif terendah menghendaki adanya batas-batas yang jelas antar nagari. Hal ini mengandung potensi konflik karena secara tradisional nagari mempunyai batas tidak tertulis yang hanya diturunkan dari generasi ke generasi melalui langgam tambo secara lisan. Ditambah lagi dengan adanya perda yang memberikan wewenang ke pada nagari

(21)

$(#

untuk mengatur kekayaan nagari (baik tanah, hutan, dan lain-lain) ini juga memicu sengketa tanah antara nagari.

Seperti yang terjadi antara Nagari IV Koto Palembayan kususnya ninik mamak Nan 14 di Jorong Koto Tinggi dengan Nagari III koto Silungkang khususnya dengan Ninik Mamak Nan 16. Pada masa pemerintahan desa semua sumber daya alam berada di bawah pengaturan pemerintah pusat. Sengketa merebak setelah adanya kajian menyatakan bahwa di lahan tersebut ternyata mengandung batu bara selain juga disana terdapat sarang burung walet. Dengan kembali ke nagari, maka pemerintah nagari mempunyai wewenang untuk melakukan kerjasama dengan pihak lain guna mengolah sumberdaya tersebut. Ninik Mamak Nan 14 di Jorong Koto Tinggi, Nagari IV Koto Palembayan mengklaim bahwa itu adalah tanah ulayat mereka, hal yang sama juga dilakukan oleh Ninik Mamak Nan 16 dari Nagari III Koto Silungkang.

Berikut ini sebagian langgam tambo yang menggambarkan batas kedua ulayat:

Langgam tambo dari Ninik Mamak Nan 16 Jorong Silungkang Nagari III Koto Palembayan:

Yang manjadi tapal batas jorong Silungkang Kanagarian III Koto Silungkang dengan Jorong Koto tinggi Kenagarian IV Koto Palembayan, mulai dari puncak dama rumpuik manurun ka anak aia Koto Tinggi manyubarang dan mandaki taruih ka Bancah Barutiang, di Bancah Barutiang saparo Silungkang dan saparo Koto Tinggi dan taruih manuju tulang Pamatang Panjang dan manuju bateh Agam jo Pasaman Timur di tapi Batang Sianok Karuah. Dihiliakan Batang Sianok karuah menuju patamuan Sianok Karuah Jo Batang alahan Panjang. (Mulai dari puncak Dama Rumpuik (nama sebuah bukit) terus ke anak sungai Koto Tinggi hingga ke seberang, terus mendaki ke Bancah Barutiang, di daerah ini separo daerah Silungkang dan separonya lagi daerah Koto Tinggi dan menuju batas daerah Agam dan Pasaman Timur yaitu di tepi Sungai Sianok Karuah. Hingga ke hilir sungai Siano Karuah sampai kepertemuan sungai Sianok Karuah dengan Sungai Alahan Panjang)

(22)

$($

Bandingkan dengan sebagian langgam tambo yang berasal dari Ninik Nan 14 Jorong Koto Tinggi Kenagarian IV Koto Palembayan:

Lantak supadan atau tapal batas ulayat Ninik Mamak Nan 14 Jorong Koto Tinggi dengan Jorong Silungkang Nagari III Koto Silungkang

Sebelah Selatan: dari Balai Kamih manuju ka Hulu Tambang tahantak ka Lubuak Gadang Hilia. Dari Lubuak Gadang Hilia taruih manuju kabatang Lubuak Gadang, di Hilia Batang Lubuak Gadang sampai ka patamuan Batang Lubuak Gadang jo anak aia Tambang Boco itulah nan manjadi batas ulayat Niniak Mamak Nan 14 jorong Koto Tinggi dengan ulayat Niniak Mamak Nan 16 jorong Tantaman.

Sebelah Barat: dari patamuan Batang aia Lubuak Gadang jo anak aia Tambang Boco, di hiliakan sampai ka Batang Masang itulah nan banamo Sungai Balik, nan manjadi batas ulayat Ninik mamak nan 14 joronh Koto Tinggi dengan ulayat Ninik Mamak Nan 16 jorong Silungkang. Dari patamuan Sungai Balik jo Batang Masang, dimudiakan sampai Batang Sianok jo Batang Aia Kumpulan, itulah nan banamo batang Masang. (Sebelah Selatan: dari Balai Kamih menuju ke hulu tambang hingga ke hilir Lubuak Gadang (nama sungai). Dari hilir Lubuak Gadang terus ke sungai Lubuak Gadang, di sebelah hilir sungai Lubuak Gadang sampai ke pertemuan antara sungai Lubuak Gadang dengan anak sungai Tambang Boco itulah yang menjadi batas ulayat Ninik Mamak Nan 14 jorong Koto Tinggi dengan jorong ulaya Ninik Mama Nan 16 jorong Tantaman (Nagari III Koto Silungkang))

(Sebelah Barat: dari pertemuan antara suangi Batang Gadang dengan anak sungai Tambang Boco, terus ke hilir sampai ke Batang Masang (nama sungai) itulah yang bernama Sungai Balik, yang menjadi batas ulayat Ninik Mamak Nan 16 jorong Silungkang (nagari III Koto Silungkang). Dari pertemuan antara Sungai Balik dengan Batang Masang, terus ke hulu sampai ke Batang Sianok (nama sungai) dengan Batang Aia Kumpulan (nama sungai), tempat itu bernama Batang masang (nama sungai))

Lahan yang disengketakan tersebut bernama Dama Rampah yang merupakan batas di sebelah Selatan Jorong Koto Tinggi. Saat ini lahan tersebut

(23)

$(%

secara administratif berada di wilayah Jorong Koto Tinggi. Dari keterangan di atas di ketahui bahwa Jorong Koto Tinggi mengakui bahwa batas ulayat mereka dengan Jorong Silungkang adalah Sungai Balik dan Batang Masang (nama sungai). Sementara menurut warga Silungkang kedua sungai tersebut masih termasuk ulayat mereka, batasnya adalah tempat yang bernama Bancah Baruntiang (bukit).

Menurut Ninik Mamak Nan 16 di Nagari III koto Silungkang, mereka mau berdamai jika tanah yang disengketakan tersebut dibagi dua. Hal ini tidak diterima oleh Ninik mamak Nan 14 dari Nagari IV Koto Palembayan karena mereka merasa benar bahwa keseluruhan lahan yang disengketakan itu adalah milik kaum mereka. Meskipun sengketa telah ditangani dengan melibatkan pemerintah Kecamatan dan KAN dari kedua nagari, sengketa tersebut sampai saat ini belum terselesaikan.

Berikut ini adalah kronologis sengketa tanah antara jorong Koto Tinggi di Nagari IV Koto Palembayan dengan Jorong Silungkang di Nagari III Koto Silungkang yang terdapat pada lampiran Surat Pernyataan yang dibuat oleh Dt.M (ketua adat Ninik Mamak Nan 14, Jorong Koto Tinggi)

a. Pada Hari Sabtu, 24 Mei 2008, masyarakat Jorong Silungkang sebanyak sekitar 100 orang sekitar jam 13.15 WIB memasuki wilayah Jorong Koto Tinggi dengan alasan survey lokasi di Rimbo Baluka Laweh dan Rimbo Padang Koto Tuo. Menurut mereka kedatangan tersebut dilatarbelakangi karena adanya informasi dari masyarakat Silungkang yang menyatakan bahwa masyarakat Jorong Koto Tinggi telah banyak yang menggarap hingga ke wilayah Silungkang. Namun dari hasil survey, melalui wali jorong Silungkang yaitu Romi Okta Fendra yang didampingi oleh Ninik Mamak Nan 16 Jorong Silungkang, Nagari III Koto Silungkang, ia mengatakan kepada wali jorong Koto Tinggi, bahwa lahan atau wilayah mereka tidak ada yang tergarap oleh masyarakat jorong Koto Tinggi. b. Pada tanggal 28 Mei 2008, sekitar 125 orang masyarakat Silungkang

menggarap lahan yang awalnya sudah dirintis oleh masyarakat Koto Tinggi. Setelah mendapat teguran, mereka menggeser lahannya sejauh 300 meter dari tempat tersebut. Selanjutnya tanggal 4 Juni 2008 diadakan

(24)

$(&

dialog antara perwakilan masyarakat Silungkang yaitu M.Dt.S dengan Wali Jorong Koto Tinggi beserta tokoh masyarakat dan menyepakati untuk sementara kedua belah pihak menghentikan kegiatan penggarapan lahan sampai ada penyelesaian mengenai tapal batas.

c. Meskipun telah sepakat untuk menghentikan penggarapan, namun masyarakat Jorong Silungkang masih terus menggarap lahan yang disengketakan tersebut. Setelah ditegur oleh bapak M.Dt.S (atas laporan warga Koto Tinggi), mereka menghentikan kegiatan tersebut.

d. Pada tanggal 14 Juni 2008, sebanyak 135 orang masyarakat Jorong Silungkang yang dikepalai oleh oleh Bapak Amirwan Dt Tan Bandaro memasuki jorong Koto Tinggi dan bermalam dilahan garapan masyarakat Jorong Koto Tinggi dan paginya tanggal 15 Juni 2008 melakukan penyisiran dan mengambil 4 unit chainsaw milik masyarakat Koto Tinggi yang sedang membuka lahan dengan alasan mereka telah melanggar kesepakatan.

e. Tanggal 17 Juni 2008 Bapak A.Dt.TB beserta rombongan yang terdiri dari Waka Polres Agam, Polsek Palembayan, Satpol PP dan wartawan kembali memasuki Jorong Koto Tinggi tanpa memberitahukan maksud kedatangan kepada Wali Jorong Koto Tinggi, dan kemudian meninggalkan tempat tanpa penjelasan apapun.

Sampai saat ini proses penyelesaian tapal batas antara kedua nagari tersebut terus diadakan dengan jalan musyawarah kedua KAN dan Muspika kecamatan Palembayan. Kedua nagari selanjutnya membentuk tim yang akan menyelesaikan konflik tersebut (lampiran 4).

Sejauh ini kedua tim telah mengadakan rapat musyawarah untuk mencari jalan keluar atas permasalahan tapal batas, salah satunya musyawarah yang diadakan pada tanggal 25 Agustus 2008. Meskipun tidak didapat kata sepakat untuk menentukan tapal batas, namun untuk sementara didapatkan kesepakatan sebagai berikut:

1. Diperbolehkan kepada kedua warga masyarakat kedua jorong tersebut di atas untuk memanen hasil kebun yang telah terlanjur diolah oleh penggarap selama

(25)

$('

ini, baik berupa tanaman muda, maupun tanaman tua, sebelum ada penyelesaian yang permanen.

2. Kepada masyarakat kedua jorong tersebut di atas, dilarang menebang pohon, apapun jenis pohon yang terdapat pada areal perbatasan kedua jorong tersebut sebelum ada keputusan yang permanen.

3. Diperbolehkan kepada warga masyarakat pada kedua jorong tersebut di atas, untuk menggarap lahan atau kebun yang sudah terlanjur digarap oleh masyarakat selama ini.

4. Kepada masyarakat pada kedua jorong tersebut di atas untuk dapat mengendalikan diri agar tidak terjadi tindakan kekerasan yang dapat memancing timbulnya konflik yang dapat merugikan masyarakat kedua belah pihak.

Karena konflik ini melibatkan dua nagari dalam satu kecamatan, maka camat mengambil peran untuk memfasilitasi kedua tim untuk kembali mengadakan perundingan oleh karena itu kedua tim diundang untuk mengadakan musyawarah pada tanggal 11 Desember 2008 yang bertempat di Aula UPT Pendidikan Kecamatan Palembayan. Selain dihadiri oleh kedua tim dari masing, masing nagari, musyawarah juga dihadiri oleh:

1. Ketua TU Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Agam 2. Muspika Kecamatan Palembayan

3. Ketua Lembaga Kerapatan Adat Alam Minagkabau Kec. Palembayan 4. Wali Nagari dari kedua nagari yang bertikai

5. Ketua KAN

Musyawarah tersebut menghasilkan kesimpulan sebagai berikut:

1. Kedua belah pihak belum dapat kata sepakat untuk menentkan tapal batas antara Jorong Koto Tinggi dengan Jorong Siluungkang

2. Kedua belah pihak sepakat sama-sama akan memusyawarahkan kembali dengan Ninik Mamak 16 di Silungkang dan Ninik Mamak 14 di Koto Tinggi. 3. Apabila didapat hasil musyawarah Ninik Mamak di jorong masing-masing

(26)

$((

4. Tim kecamatan baru dapat menghadirkan kembali kedua belah pihak setelah adanya laporan yang disampaikan oleh masing-masing jorong melalui tim nagari ke kecamatan.

Sebenarnya kedua belah pihak menghendaki agar camat mengambil keputusan atas sengketa ini yaitu tanah yang disengketakan tersebut masuk ke wilayah yang mana. Berdasarkan hasil wawancara dengan Camat Palembayan Bapak Za, S.H, beliau mengatakan:

“Posisi saya dalam sengketa ini hanya sebagai fasilitator yaitu memfasilitasi penyelesaian sengketa tersebut. Berdasarkan Perda Kabupaten Agam No 31/2007, sengketa mengenai sako dan pusako diselesaikan oleh ninik mamak (KAN) dari pihak-pihak yang bersengketa. Saya hanya bisa memutuskan batas-batas wilayah secara administratif saja”.

Karena kata sepakat mengenai tapal batas tidak dicapai, maka camat memberikan saran sebagai berikut:

a. Diharapkan ninik mamak yang ada pada masing-masing nagari/jorong dapat menyelesaikan batas ulayat jorong/nagari dengan pola badunsanak (bersaudara) artinya mencari kesepakatan untuk menentukan lokasi dan batas Administrasi Pemerintahan Nagari/Jorong dengan berpedoman kepada batas alam, lembah, sungai dan bukit.

b. Dengan adanya kesepakan menentukan batas administrasi maka batas-batas administrasi inilah yang akan dijadikan tanda/batas adanya anak kemenakan kedua jorong yang terdorong mengolah lahan, artinya apabila kemenakan yang melewati batas administrasi mengolah lahan maka akan dijadikan sebagai kemenakan dari kedua jorong dimaksud, baik dari Jorong Koto Tinggi maupun dari Jorong Silungkang (diselesaikan sesuai menurut adat yang berlaku di nagari)

c. Apabila musyawarah dan mufakat menemui jalan buntu maka permasalahan batas ulayat Jorong Koto Tinggi dengan Jorong Silungkang, maka akan dilimpahkan kepihak atasan.

Masing masing pihak yang bersengketa sebenarnya merasa kecewa dengan sikap yang diambil oleh camat. Hal ini bisa jadi karena mereka masih merasa bahwa camat adalah atasan wali nagari (seperti dulu camat adalah atasan kepala

(27)

$(

desa). Seperti yang diungkapkan oleh salah seorang anggota tim dari Jorong Koto Tinggi Bapak Nas.Dt. K:

“Saya kecewa dengan sikap pak camat ini harusnya atas permasalahan ini dia bisa mengambil sikap “ma mancuang putuih” (mengambil keputusan akhir) karena kedua tim telah menyampaikan argumentasinya masing-masing maka camat harusnya bisa menilai mana yang benar. Saya curiga dengan pak camat ini karena beberapa minggu yang lalu salah seorang warga Silungkang marah-marah dikantor camat dengan memukul meja dan mengeluarkan kata-kata kotor kepada pak camat namun beliau diam saja, setelah kejadian itu hari Sabtunya terdengar kabar kalau pak camat berada di Silungkang. Sepertinya ini sudah di skenariokan seolah-olah pihak Silungkang ingin memperlihatkan bahwa dengan camat saja mereka tidak takut bahkan berani memarah-marahinya apa lagi dengan orang koto tinggi yang bukan siapa-siapa. Saya dan warga lainnya sudah bersiap-siap 24 jam jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan (Pak Nas.Dt. K masuk ke kamarnya dan mengambil pedang sepanjang hampi 1 meter). Semua laki-laki di Koto Tinggi ini telah mempersiapkan ini (pedang). Namun saya masih berharap kalau sengketa ini dapat diselesaikan dengan damai. Kami memang tidak memiliki ayam jantan (orang kuat yang bisa diandalkan) di kampung Kami, tidak seperti orang Silungkang yang punya banyak uang dan ada yang bisa diandalkannya, namun kami tidak akan mengalah. Mentang-mentang kami bodoh, orang akan semaunya saja mengambil ulayat kami, kalau dibiarkan dengan apa anak kemenakan kami akan hidup/berladang”.

Kekecewaan yang sama juga disampaikan oleh Pak Su (warga Silungkang), ia mengatakan:

“Pak camat ini tidak bisa netral atau hanya sebagai fasilitator saja, sebagai atasan seharusnya ia bisa memutuskan lahan yang disengketakan tersebut masuk ke Jorong mana. Sebenarnya dulu orang Koto tinggi menumpang berladang di situ, saya juga pernah membuka ladang di situ dan masih ada bekas – bekasnya, sekarang orang Koto Tinggi menganggap itu tanah mereka, tentu kami tidak mau”.

Demikianlah konflik/potensi konflik yang ada di Nagari IV Koto Palembayan saat ini. Dengan menggunakan analisis fungsional konflik, maka semua potensi konflik yang ada bisa memperkuat pemerintahan nagari tetapi juga dapat melemahkan pemerintahan nagari, tergantung apakah konflik tersebut dapat disalurkan/diselesaikan atau tidak. Untuk kasus di nagari IV Koto Palembayan ini, konflik yang ada masih bersifat laten (potensial), namun mempunyai kecenderungan untuk melemahkan pemerintahan nagari (negatif fungsional). Ini di sebabkan oleh beberapa hal yaitu:

(28)

$(

1. Pemerintah nagari belum mempunyai rencana apa pun untuk mengelola sumber daya yang ada dalam nagari. Ini seharusnya menjadi tanggung jawab wali nagari dan Bamus Nagari serta koordinasi dengan KAN.

2. Program-program pemerintah nagari yang menyangkut urusan adat dan syarak kurang berjalan.

3. Lembaga Bamus tidak mendapatkan legitimasi dari masyarakat, sehingga walaupun lembaga ini berfungsi untuk menampung aspirasi masyarakat namun masyarakat enggan untuk menyampaikan aspirasinya kepada anggota Bamus.

4. Tidak semua ninik mamak mau terlibat atau dilibatkan dalam program pemerintah nagari. Keengganan ninik mamak terutama disebabkan karena mereka tidak diikutsertakan dalam pengambilan keputusan.

6.4 Faktor-faktor yang Peka Memicu Konflik

Meskipun konflik yang ada masih bersifat “laten” atau “potensial” namun ini tetap merupakan hal yang harus diantisipasi karena konflik laten hanya menunggu faktor-faktor pemicu untuk menjadi “manifest”. Faktor-faktor yang dapat mewujudkan konflik (isu-isu kritis) tersebut adalah:

1. Perbedaan distribusi otoritas, sesuai dengan pendapat Dahrenhorf bahwa, tidak meratanya distribusi otoritas di tengah masyarakat “selalu menjadi faktor yang menentukan konflik sosial”. Ini akan menjadi pemicu konflik antara ninik mamak yang secara tradisional merupakan pemimpin dalam masyarakat dengan wali nagari yang saat ini memiliki otoritas/kewenangan yang sangat luas. Hal yang sama diungkapkan oleh Fisher S et al. (2001) suatu konflik sering berpusat pada usaha untuk memperoleh kekuasaan yang lebih besar, atau kehawatiran akan kehilangan kekuasaan.

2. Perbedaan persepsi, terdapatnya perbedaan pemahaman diantara tokoh-tokoh masyarakat terhadap kebijakan kembali kenagari bisa menjadi pemicu timbulnya konflik. Ini seperti yang terjadi pada sebagian ninik mamak yang masih berfikir akan model nagari tempo dulu, sementara keadaan telah berubah. Nagari tidak lagi dijalankan oleh peraturan adat namun oleh peraturan formal. Perbedaan persepsi juga menyebabkan sosialisasi berbagai

(29)

$(!

peraturan dan penanaman pemahaman mengenai bentuk nagari sekarang, memerlukan waktu yang tidak singkat.

3. Adanya inkompatibilitas harapan/kepentingan, seperti yang diungkapkan oleh Dharmawan (2007) ada sejumlah prasyarat yang memungkinkan konflik sosial dapat berlangsung, salah satu diantaranya adalah “inkompatibilitas harapan/kepentingan yang bersangkut paut dengan sebuah obyek-perhatian. Nagari telah menjadi ajang dimana berbagai kepentingan bertarung. Pemerintah kabupaten berkepentingan untuk mensukseskan pelaksaan kembali kenagari, ninik mamak juga berkepentingan untuk mendapatkan kembali otoritas mereka di samping itu pemerintah nagari sendiri berkepentingan untuk melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan nagari sesuai peraturan. Dalam kenyataannya kelompok ninik mamak tidak mendapatkan ruang/peranan sebesar yang mereka harapkan dalam pemerintahan nagari sehingga hal ini dapat memicu konflik antara sebagian ninik mamak dengan pemerintah nagari.

4. Khusus untuk konflik tapal batas, faktor penyebab yang membuatnya mewujud (manifest) adalah isu “claim dan reclaiming” terhadap penguasaan sumberdaya alam. Hal ini sesuai dengan pendapat Dharmawan (2007) yang menyatakan bahwa isu-isu kritikal yang membingkai konflik sosial yang seringkali dijumpai dalam sistem sosial salah satunya adalah konflik sumberdaya alam dan lingkungan yaitu konflik sosial yang berpusat pada isu “claim dan reclaiming” penguasaan sumberdaya alam (tanah atau air) sebagai pokok sengketa terpenting.

Keempat faktor di atas merupakan faktor-faktor yang peka (sensitif) yang dapat memicu konflik laten menjadi manifest. Jika dicermati maka potensi konflik yang ada masih dapat dikategorikan “konflik realistis” karena alasan munculnya konflik masih bersifat rasional, yaitu kekecewaan karena kurang dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan dan juga karena ketidakpahaman akan kondisi yang sebenarnya. Karena bersifat realistis, maka penyelesaian konflik melalui jalur musyawarah masih dimungkinkan. Bahasan mengenai penyelesaian konflik lebih lanjut akan diulas pada bagian “Katup Penyelamat” dan “Managemen Konflik”

(30)

$("

6.5 Katup Penyelamat

Konflik bersifat endemik dalam masyarakat, ia akan selalu ada, jika konflik tidak muncul kepermukaan (manifest), maka ia akan bersifat laten. Isu-isu kritis yang sebelumnya telah disebutkan di atas dapat menyebabkan konflik yang awalnya bersifat laten menjadi konflik terbuka. Namun demikian biasanya selalu ada cara sehingga konflik tidak berlarut-larut dan bahkan bisa diarahkan menjadi sesuatu yang bersifat membangun. Dalam masyarakat sendiri biasanya terdapat wadah yang dapat digunakan atau mekanisme yang dapat digunakan untuk menyalurkan atau menyelesaikan konflik, wadah ini dinamakan “katup penyelamat”.

Di Nagari IV Koto Palembayan sendiri terdapat beberapa wadah yang sayangnya belum digunakan/difungsikan secara optimal oleh pemerintah nagari. Pertama kegiatan “kembali ke surau” yang telah diatur oleh pemerintah nagari melalui Peraturan Nagari. Saat ini pemerintah nagari telah mulai menggiatkan kembali pertemuan rutin yang diadakan di surau-surau (langgar) sekali sebulan di setiap jorong/dusun melalui kegiatan “kembali ke surau”. Kegiatan ini bisa dijadikan sebagai wadah untuk membicarakan permasalahan yang ada. Pertemuan ini juga dapat dijadikan sebagai ajang bagi pemerintah nagari untuk mensosialisasikan berbagai peraturan baik peraturan daerah kabupaten maupun peraturan nagari.

Melalui pertemuan rutin tersebut pemerintah nagari dapat lebih memberdayakan para wali jorong (sebagai perangkat nagari) untuk memberikan penjelasan mengenai bentuk nagari yang sekarang. Semua lembaga yang ada dalam nagari dibentuk berdasarkan peraturan, baik peraturan daerah maupun peraturan nagari. Dalam peraturan disebutkan dengan jelas tugas dan wewenang masing-masing pihak. Untuk itu guna menghindari kesalah pahaman mengenai wewenang masing-masing pihak, maka pihak-pihak yang terlibat dalam setiap lembaga di nagari dapat merujuk kepada peraturan yang ada. Saat ini masalahnya tidak semua pihak paham akan peraturan. Oleh sebab itu pemerintah nagari perlu menyusun sebuah rencana guna mensosialisasikan peraturan yang berlaku dalam nagari tersebut.

(31)

$ #

Kedua, kerapatan adat, Nagari IV Koto Palembayan awalnya terdiri dari empat nagari otonom, kerapatan pada tiap-tiap nagari asal masih tetap dipertahankan yaitu “Kerapatan Niniak Mamak Nan 14 di Koto Tinggi”, “Kerapatan Niniak Mamak Nan 19” mencakup Jorong Piladang dan Lambeh, “Kerapatan Niniak Mamak Nan 30” mencakup Jorong Pasar Palembayan dan Palambayan Tangah serta “Kerapatan Niniak Nan 17” mencakup jorong Bamban dan Lubuak Gadang. Masing-masing kerapatan memiliki susunan pengurus yang dipimpin oleh seorang ketua adat dan dibantu oleh sekretaris dan bendahara.

Saat ini kerapatan tersebut kurang berfungsi, melainkan hanya melengkapi susunan organisasi KAN di tingkat nagari. Aparat pemerintah nagari dapat menggunakan kerapatan ini sebagai wadah untuk mensosialisasikan bentuk nagari saat ini kepada para niniak mamak dan juga menjelaskan peran apa yang diharapkan dari para ninik mamak tersebut dalam kehidupan bernagari saat ini (sesuai dengan peraturan yang ada). Kerapatan ini juga dapat digunakan untuk mengintensifkan komunikasi dalam tubuh KAN sendiri karena masing-masing kerapatan memiliki wakilnya yang duduk sebagai pengurus inti KAN.

Ketiga adalah rape kaum (rapat kaum). Rapat kaum merupakan satu cara dimana para ninik mamak duduk bersama bermusyawarah untuk membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan urusan kaum mereka. Kurangnya komunikasi intern dalam lembaga KAN dan Bamus berpotensi menimbulkan konflik terbuka. Saat ini hal tersebut telah berpengaruh kepada kinerja KAN dan Bamus, meskipun lebih baik jika dibandingkan dengan masa pemerintahan desa, namun fungsi KAN sangat jauh dari harapan. KAN belum bisa berfungsi secara optimal karena jalur komunikasi dalam tubuh KAN yang tidak lancar. Dengan kata lain setiap ninik mamak di nagari IV Koto Palembayan masih berjalan sendiri-sendiri. Namun sejauh ini potensi konflik tersebut tidak membahayakan keutuhan nagari (tidak menimbulkan perpecahan) jadi didiamkan saja. Untuk mengatasi ini, maka lembaga KAN perlu mengintensifkan komunikasi diantara anggota mereka dengan cara menghidupkan kembali rape kaum (rapat kaum) secara berkala.

Ketiga wadah di atas biasanya hanya dihadiri oleh kaum laki-laki, sementara bagi kaum perempuan juga harus dilibatkan, dengan memanfaatkan wadah lain seperti: wirid/pengajian rutin yang telah diwajibkan pada

Gambar

Tabel 16. Perbandingan Antara Desa dan Nagari
Gambar 11. Transformasi lembaga pemerintahan nagari

Referensi

Dokumen terkait

Permasalahan dalam penelitian ini adalah bahwa makna suatu pengalaman remaja dalam melakukan aktivitas “OOTD” di Instagram menghantarkan pada identitas remaja yang berbeda-beda

Definisi sistem informasi penggajian menurut Krismiaji (2005: 25), sistem informasi penggajian adalah serangkaian aktivitas bisnis dan kegiatan pengolahan data yang

Hasilnya berupa daftar (list) posko dengan alamatnya. Hal ini sangat kurang efisien, jika yang bertanya adalah para relawan yang berasal dari luar daerah tersebut, karena

Kondisi Akhir Jika perintah sesuai maka sistem akan menampilkan apa yang di inginkan Mengakses Menu Transaksi Input Data Penjualan Data Pembayaran Lihat Data

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (2012-sekarang).. Riwayat Pelatihan :

•Didalam uji coba ini OpenCV dapat mendeteksi Posisi tangan sehingga Simulasi Robot 3D dapat dikontrol dengan deteksi citra tangan. •Pengontrolan dilakukan secara Real Time dalam

Pada tahun 2005 Kepala Sekolah SDN Benua Anyar 8 Banjarmasin memberikan kebijakan untuk mempublikasikan SDN Benua Anyar 8 ini sebagai sekolah inklusif, menerima segala