• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prosiding Seminar Nasional Dies Natalis Ke-47 Fakultas Kehutanan UGM. 2011

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Prosiding Seminar Nasional Dies Natalis Ke-47 Fakultas Kehutanan UGM. 2011"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

POTENSI HUTAN ALAM DAN AGROFORESTRI SEBAGAI CADANGAN KARBON DI KECAMATAN PRIGEN, KABUPATEN PASURUAN

(Potency of Natural Forest and Agroforestry as Stock of Carbon in Prigen sub-district, Pasuruan)

Rika Ratna Sari1), Kurniatun Hairiah2), Widianto2), Sareh Rudianto3), Fathur Rahman3)

1)

Alumni Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang 2)

Dosen Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang 3)

Yayasan Kaliandra Sejati, Kecamatan Prigen, Kabupaten Pasuruan

ABSTRACT

Community and farmer-managed forest on Java produces wood and non-wood products for both family use and market sale in a species-rich woody vegetation. Through internal regeneration it maintains a high biomass and carbon storage over time. Carbon storage in the secondary, community managed forest was compared to agroforestry systems in Prigen sub-district, Pasuruan district (East Java), in November 2009 to April 2010. The RaCSA (Rapid Carbon Stock Appraisal) method was used for assessment of aboveground biomasss and necromass, as well as belowground root biomass and soil organic matter. The time-averaged carbon stock was derived from the life cycle of the system. Six land use system (LUS) dominate the area: (1) Secondary forest, (2) Jackfruit-based agroforestry, (3) Bamboo-based agroforestry, compared to plantation (monoculture) of (4) pine (Pinus mercusii), (5) mahogany (Swietenia mahogany), and (6) Sengon (Paraserianthes falcataria). Results showed that secondary forest has the greatest C stock (121 Mg ha-1), followed by jackfruit-based agroforestry (86 Mg ha-1), and bamboo-based agroforestry (77 Mg ha-1). Carbon stocks in plantation system (4-9 years) were 79 Mg ha-1 in pine monoculture, about 48 Mg ha-1 in mahogany monoculture, and 47 Mg ha-1 in Paraserianthes monoculture. The highest time averaged carbon stock was expected for mahogany (170 Mg ha-1) with an annual carbon increment of about 8.8 Mg ha-1, pine (90 Mg ha-1) carbon increment of 4.2 Mg C ha-1 yr-1, and

Paraserianthes (50 Mg ha-1) with carbon increment 7.1 Mg C ha-1 yr-1. Based on 2002 land area data, 13% of the land (1744 ha) was shrub ( ‘belukar’), which potentially can be used to increase carbon stock by conversion into agroforestry or plantation systems. Within 15-25 years, carbon stock in Prigen sub-district can increase to about 110, 193 and 168 Mg ha-1, for agroforestry, plantation and mixed scenarios, respectively. Planting more mahogany in the plantation systems provides the highest carbon stock and store carbon for longer time compared to pinus and sengon. Further measurement need to be done in the private forest suren (Toona eminii) which recently increase deliberately in Prigen sub-district.

Keywords: Carbon stock, Secondary forest, Agroforestry.

PENDAHULUAN

Hutan merupakan suatu sistem penggunaan lahan yang dapat menyerap karbon di udara sehingga dapat menekan jumlah CO2 di atmosfir. Alih guna lahan melalui kegiatan

penebangan dan pembakaran hutan, konversi lahan, serta aktivitas lainnya meningkatkan

emisi gas rumah kaca (GRK). Upaya menanam pepohonan yang berumur panjang pada lahan agroforestri dapat mengurangi konsentrasi CO2 di udara dan juga mengurangi emisi CO2 dari lahan. Kabupaten Pasuruan memiliki luasan hutan cukup besar yaitu sebesar 48.849,13 ha, yang terdiri dari hutan negara sebesar 31.016,70 ha dan hutan rakyat sebesar 17.832,43 ha (http://pasuruankab.go.id/potensi.php). Kedua tutupan lahan tersebut sangat berpotensi sebagai penyerap karbon dan menyimpannya dalam waktu lama, sehingga dapat mengurangi emisi karbon ke atmosfer. Besarnya penyerapan karbon pada ekosistem daratan dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu : (1) vegetasi : komposisi jenis, struktur dan umur tanaman; (2) kondisi

(2)

tempat : variasi iklim, tanah, adanya gangguan alam (misalnya kebakaran hutan); (3) pengelolaan (misalnya konversi lahan hutan menjadi lahan Pertanian monokultur). Ketiga faktor tersebut saling berinteraksi dengan hasil yang ditentukan oleh kekuatan setiap faktor (Hairiah et al., 2007).

Berdasarkan IPCC (Intergovermental Panel of Climate Change) guide line (2006) diketahui bahwa pengurangan emisi GRK dari AFOLU (Agriculture, Forestry and Other Land Uses), dapat diduga dari besarnya cadangan karbon yang tersimpan dalam beberapa komponen yaitu: karbon di bagian hidup tanaman (di atas dan di dalam tanah), bagian mati (seresah dan nekromasa dari bagian berkayu) dan bahan organik tanah.

Hutan alami dengan diversitas dan kerapatan pohon yang tinggi, merupakan jenis tutupan lahan yang paling berpotensi sebagai penyerap dan penyimpan karbon di daratan. Menurut hasil penelitian Hairiah et al. (2010) di sub-DAS Kali Konto, Kabupaten Malang menunjukkan bahwa hutan memiliki cadangan karbon tertinggi (161 Mg ha-1) bila dibandingkan dengan jenis penggunaan lahan lainnya. Total cadangan karbon di agroforestri yang umumnya berbasis kopi hanya berkisar antara 99 hingga 111 Mg C ha-1 saja (60%-68% dari total cadangan karbon di hutan). Adanya alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian meningkatkan jumlah karbon hilang dari seluruh kawasan. Dalam kurun waktu 15 tahun (1990 – 2005), seluruh sub-DAS Kali Konto (seluas 23810.13 ha) telah kehilangan cadangan karbon sebesar 27750 Mg th-1 atau kehilangan karbon sekitar 1.48 Mg ha-1 th-1. Hutan kehilangan karbon tersimpan sekitar 1.09 Mg ha-1 th-1, perkebunan (sistem monokultur) sekitar 0.25 Mg ha-1 th-1. Sedang kehilangan karbon pada lahan agroforestri berbasis kopi relatif kecil yaitu sekitar 0.05 Mg ha-1 th-1. Peningkatan karbon melalui perluasan lahan pertanian monokultur di daerah tersebut rata-rata sebesar 0.03 Mg ha-1 th-1, jumlah tersebut jauh lebih rendah dari pada jumlah kehilangan karbon akibat alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian sebesar 1.48 Mg ha-1 th-1. Guna menekan besarnya ‘hutang karbon’ di suatu kawasan, maka diperlukan perencanaan pengembangan wilayah yang matang baik ditinjau dari jenis penggunaan lahan maupun pengelolaannya dalam jangka panjang.

Guna membantu pemerintah Indonesia dalam menghitung cadangan karbon (base line) yang ada di hutan alami maupun di penggunaan lahan lainnya, maka pengukuran karbon perlu segera dilakukan di beberapa wilayah yang berpotensi sebagai penyimpan karbon.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi potensi agroforestri dan perkebunan monokultur sebagai penyimpan karbon bila dibandingkan dengan hutan alami.

METODE

Pengukuran cadangan karbon dilakukan di Kecamatan Prigen, Kabupaten Pasuruan, pada bulan November 2009 hingga April 2010. Secara geografis kecamatan Prigen terletak pada 82o 9’ – 82o 11’ LS dan 122o 31’ – 123o 29’ BT dengan luas lebih dari 132 km2. Berdasarkan peta landuse dari Bakosurtanal (2002) sekitar 33 % dari total area di Kecamatan Prigen (13207 ha) masih tertutup hutan walaupun dalam kondisi yang telah terganggu, 48% tertutup hutan tanaman yakni sekitar 28% berupa kebun campuran (agroforestri) dan 20% berupa sistem monokultur atau perkebunan jenis pinus, mahoni, sengon dan suren (masih relatif muda), sekitar 15% dipergunakan untuk penggunaan lain seperti gedung-gedung pemukiman, padang rumput dan air tawar atau danau (Gambar 1). Curah hujan rata-rata 4267.5 mm th-1 dengan suhu udara rata-rata harian 21.9oC. Jenis tanah pada lokasi penelitian umumnya adalah Andisol, Entisol, dan Alfisol.

(3)

Estimasi cadangan karbon disetiap penggunaan lahan menggunakan metode RaCSA (Rapid Carbon Stock Appraisal) melalui pengukuran cadangan karbon pada setiap komponen penyusun lahan (IPCC 2006; Van Noordwijk, 2008; Hairiah et al., 2010). Kegiatan penelitian ini diawali dengan groundthruthing untuk mengecek kondisi lapanga,, dilanjutkan dengan penentuan titik plot pewakil untuk pengukuran cadangan karbon. Enam SPL utama yang dipilih yaitu: (1) hutan sekunder, (2) agroforestri nangka, (3) agroforestri bambu, (4) pinus monokultur, (5) mahoni monokultur, dan (6) sengon monokultur. Jumlah ulangan pengukuran yang dilakukan bervariasi antar jenis penggunaan lahan tergantung dari besarnya variasi pengelolaan yang ada di lapangan (jenis dan kerapatan populasi serta umur pohon). Pemilihan plot pengukuran didasarkan pada nilai basal area (BA, m2 ha-1) = (1/4 π dbh2) /(Luas plot), dimana dbh= diameter pohon setinggi 1.3 m. Bila BA < 0.8 dengan jenis pohon lebih dari 2 jenis, maka lahan diklasifikasikan sebagai agroforestri (campuran); bila nilai BA > 0.8 maka SPL tersebut cenderung monokultur dan diklasifikasikan sebagai perkebunan (Hairiah et al., 2006).

Gambar 1. Lokasi Kecamatan Prigen ditinjau dari peta Jawa Timur

Pendugaan cadangan karbon pohon

Pengukuran diawali dengan membuat plot pewakil berukuran 40 x 5 m (Hairiah et al., 2001b) dengan mengukur semua pohon yang termasuk di dalam plot. Untuk menduga biomasa pohon, dilakukan pengukuran diameter pohon setinggi 1.3 m dari atas tanah (diameter at breast height, dbh). Selanjutnya data yang diperoleh diintegrasikan ke dalam persamaan alometrik spesifik yang telah dikembangkan sebelumnya (Tabel 1). Biomasa akar pohon di lahan kering daerah tropis diduga menggunakan nilai terpasang (default value) nisbah tajuk : akar yaitu 4:1 (van Noordwijk et al., 1996; Houghton et al., 2001, Achard et

(4)

al., 2002; Mokanny et al., 2006; Ramankutty et al., 2007;). Tumbuhan bawah (understorey) merupakan semua tumbuhan yang diameternya kurang dari 5 cm. Contoh tumbuhan bawah dan seresah diambil dari 6 titik berukuran 0.5 x 0.5 m2 pada plot yang sama dengan pengukuran diameter pohon.

Tabel 1. Persamaan alometrik yang ada untuk menduga biomasa pohon (Hairiah et al., 2007)

Jenis pohon Pendugaan biomasa pohon,

kg/pohon Sumber

Pohon bercabang BK = 0.11 ρ D2.62 Katterings, 2001 Pohon tidak bercabang BK = π ρ H D2/40 Hairiah et al, 1999

Kopi dipangkas BK = 0.281 D2.06 Arifin, 2001

Pisang BK = 0.030 D2.13 Arifin, 2001

Bambu BK = 0.131 D2.28 Priyadarsini, 2000

Sengon BK = 0.0272 D2.831 Sugiharto, 2002

Pinus BK = 0.0417 D2.6576 Waterloo, 1995

Keterangan: BK = berat kering; D = diameter pohon, cm; H = tinggi pohon, cm; ρ = BJ kayu, g cm-3

Pendugaan cadangan karbon di lahan: di atas dan di dalam tanah

Pengukuran cadangan karbon per lahan merupakan penjumlahan dari kandungan karbon atas tanah (biomasa pohon tajuk dan akar, nekromasa, tumbuhan bawah dan seresah) dan dalam tanah (bahan organik tanah).

Nekromasa atau bagian tanaman yang telah mati (pohon mati tetapi masih tegak, tunggul, pohon tumbang, cabang dan ranting yang gugur) diukur diameter dan panjangnya pada plot yang sama, dan diduga beratnya berdasarkan perkalian volume kayu dengan berat jenis (BJ) kayu.

Cadangan karbon dalam tanah adalah karbon dalam bahan organik tanah (BOT). Contoh tanah terganggu diambil dari setiap SPL, dari 6 titik pada plot pewakil pada kedalaman 0-5 cm, 5-15 cm, dan 15-30 cm. Contoh tanah tersebut dicampur rata menurut kedalamannya dan dianalisis kandungan BOT (total C atau Corg) berdasarkan metoda oksidasi basah (Walkey dan Black), pH KCl (1:1), tekstur tanah (metoda pipet). Contoh tanah utuh ukuran 20x 20x10 cm3 diambil di dekat titik pengambilan contoh tanah terganggu, untuk penetapan bobot isi (BI) menggunakan metoda gravimetri. Semua analisis tanah dilakukan di laboratorium Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang.

Analisis Data

Data yang diperoleh di lapangan dan laboratorium diuji keragamannya menggunakan program SPSS 16.0. Bila ada perbedaan nyata (p<0.05) antar perlakuan, dilanjutkan dengan Uji Duncan. Untuk mengetahui hubungan antar variabel dilakukan uji korelasi yang dilanjutkan dengan uji regresi.

(5)

HASIL

Kerapatan populasi pohon

Keragaman plot pengukuran karbon ditunjukkan dengan kerapatan populasi pohon, jumlah dan kerapatan jenis (Tabel 3) . Kerapatan populasi pohon terendah dijumpai pada agroforestri nangka yaitu 967 pohon/ha, sedang populasi pohon tertinggi terdapat pada perkebunan sengon monokultur sebesar 1960 pohon ha-1. Kerapatan populasi pohon pada hutan sekunder di Kecamatan Prigen sekitar 50% lebih rendah dari pada kerapatan pohon hutan alami di sub DAS Kali Konto yaitu 2248 pohon ha-1 (Hairiah et al., 2010).

Tabel 3. Karakteristik vegetasi dari berbagai sistem penggunaan lahan yang dipilih SPL Kerapatan populasi (pohon/ha) Jumlah jenis pohon Total BA (a+b) BA Tan. dominan (a) BA Tan. selingan (b) BA tan.dominan/ BA tan. selingan --- m2 ha-1 --- Hutan Sekunder 1410 7 25.34 - - - Agroforestri Nangka 967 17 19.15 7.15 12.00 0.37 Agroforestri Bambu 1816 17 20.04 8.15 11.90 0.41 Pinus Monokultur (9 th) 1306 7 27.13 23.98 3.15 0.88 Mahoni Monokultur (8th) 1092 2 10.84 8.75 2.09 0.81 Sengon Monokultur (4 th) 1960 3 16.45 16.13 0.32 0.98 Keterangan: BA = basal area

Basal area (BA) rata-rata bervariasi antar SPL, BA tertinggi (27.1 m2 ha-1)dijumpai di perkebunan pinus. Sedangkan BA di hutan yaitu 25.3 m2 ha-1 lebih rapat dari pada di agroforestri atau perkebunan mahoni dan perkebunan sengon muda. Penghitungan rasio BA pohon dominan/pohon selingan pada lahan agroforestri dilakukan untuk membedakan antara agroforestri dan sistem monokultur (Hairiah et al., 2009). Bila rasio BA pohon dominan/selingan > 0.8, maka lahan tersebut dikelompokan sebagai perkebunan (monokultur). Pada lahan agroforestri nangka dan agroforestri bambu, rasio BA pohon dominan/selingan adalah 0.37 dan 0.41.

Berdasarkan nilai/manfaat pohon yang ada di hutan alami, diketahui bahwa sekitar 93% pohon yang ada adalah jenis penghasil kayu (timber) sisanya adalah tanaman non kayu (Gambar 2). Agroforestri nangka menunjukkan komposisi jenis pohon yang beragam, rata-rata sekitar 20% dari total pohon yang ditanam adalah jenis penghasil kayu, 55% penghasil buah, dan 25% jenis tanaman non-kayu seperti pisang (Musa spp.) dan pepaya (Carica papaya).

(6)

Gambar 2. Persentase jumlah pohon dari berbagai sistem penggunaan lahan

Berdasarkan hasil eksplorasi data Berat jenis (BJ) kayu yang diperoleh dari dari website World Agroforestry Centre (2007) (http://www.worldagroforestry. org.sea/index.asp), kayu berat paling banyak dijumpai di hutan sekunder (5.1 %) dan masih dapat dijumpai pada agroforestri nangka (2.8%), dan agroforestri bambu (1.4%) (Tabel 4). Sistem penggunaan lahan agroforestri didominasi oleh pohon-pohon berkayu ringan sampai sedang. Sedangkan perkebunan monokultur (pinus, mahoni, dan sengon) didominasi oleh pohon-pohon berkayu sedang antara 90% sampai 99%).

Berat jenis kayu tertinggi di hutan (0.86 g cm-3) terdapat pada pohon sonokeling (Dalbergia latifolia). Pada agroforestri nangka, berat jenis kayu tertinggi (0.78 g cm-3) terdapat pada pohon kaliandra (Calliandra haematocephala). Sedangkan berat jenis kayu tertinggi pada agroforestri bambu (0.82 g cm-3) terdapat pada pohon kecrutan (Canarium pseudopatentinervium).

Tabel 4. Berat Jenis Kayu pada berbagai sistem penggunaan lahan SPL

Kayu Kayu Kayu BJ kayu* BJ kayu* ringan sedang berat max. min.

---% per SPL--- ---g cm-3--- Hutan Sekunder 50.8 44.1 5.1 0.86 0.34 Agroforestri Nangka 35.6 61.6 2.8 0.78 0.03 Agroforestri Bambu 74.6 24.0 1.4 0.82 0.03 Pinus Monokultur (9 th) 9.9 90.1 0.0 0.75 0.03 Mahoni Monokultur (8 th) 9.9 90.1 0.0 0.74 0.03 Sengon Monokultur (4 th) 1.7 99.0 0.0 0.69 0.03 Keterangan : * Data dari World Agroforestry Centre

Biomasa dan Nekromasa

Berat kering (BK) tanaman yang terdapat dalam biomasa pohon, nekromasa, tumbuhan bawah (understorey), seresah, dan akar berbeda nyata (p<0.05) antar SPL. Pada semua SPL, BK tertinggi terdapat pada biomasa pohon berkisar antara 37 - 123 Mg ha-1 (Tabel 5). Berat nekromasa tertinggi terdapat pada hutan (29 Mg ha-1). Sedangkan berat nekromasa pada SPL lain berkisar antara 1–4 Mg ha-1. Berat kering seresah berkisar antara 7–13 Mg ha-1. Berat tumbuhan bawah berkisar antara 3-7 Mg ha-1.

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100% Hutan Sc. AF Nangka AF Bambu Pinus Mono Mahoni Mono Sengon Mono P er se n ta se j u m la h p o h o n

(7)

Tabel 5. Berat masa bagian hidup dan bagian mati tanaman pada berbagai sistem penggunaan lahan

SPL Berat Kering, Mg ha

-1

Pohon Akar Understorey Nekromasa Seresah

Hutan Sekunder 122.7 c 30.7 c 4.2 a 29.1 b 12.8 b Agroforestri nangka 101.0 bc 25.3 bc 6.9 b 4.0 a 6.6 a Agroforestri bambu 82.3 b 20.6 b 4.2 a 2.6 a 7.8 a Pinus monokultur 82.3 b 20.6 b 2.8 a 3.7 a 12.1 b Mahoni monokultur 36.6 a 9.15 a 4.0 a 2.9 a 10.1 ab Sengon monokultur 46.2 a 11.6 a 2.8 a 1.4 a 8.5 ab

Keterangan: huruf yang berbeda yang mendampingi setiap angka menunjukkan adanya perbedaan yang nyata secara statistik (p<0.05)

Total Cadangan Karbon

Cadangan karbon tertinggi di Kecamatan Prigen terdapat pada hutan sekunder (121 Mg ha-1). Agroforestri nangka dan agroforestri bambu menyimpan karbon sebesar 86 Mg ha-1 dan 77 Mg ha-1. Sedangkan pada perkebunan pinus, karbon yang tersimpan adalah 79 Mg ha-1. Cadangan karbon terendah terdapat pada perkebunan mahoni dan sengon monokultur sekitar 48 Mg ha-1 dan 47 Mg ha-1(Gambar 3).

Komponen penyimpan karbon diatas permukaaan tanah mengkontribusi karbon rata-rata sekitar 70% dari total cadangan karbon per lahan, sedangkan komponen di dalam tanah hanya kontribusi sekitar 30%. Hasil ini hampir sama dengan kondisi hutan alam di Tahura R. Soerjo dimana tanah (kedalaman 0-30 cm) mengkontribusi karbon sekitar 35% dari total cadangan karbon per lahan (Hairiah et al., 2010).

Gambar 3. Total cadangan karbon pada berbagai sistem penggunaan lahan -200 -150 -100 -50 0 50 100 150 200 C ad an gan C (Mg /h a)

Akar Tanah 0-30 Seresah Understorey Nekromasa Biomasa

Hutan AF, 11-35 th Perkebunan, 4-9 th

Degradasi, 187 Mg/ha Deforestasi, 227 Mg/ha Deforestasi, 250 Mg/ha

(8)

Cadangan karbon hutan di Kecamatan Prigen ini juga lebih rendah bila dibandingkan dengan cadangan karbon di hutan alam Tahura R. Soerjo (300 Mg ha-1) (Hairiah et al., 2010). Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh adanya perbedaan struktur, komponen penyusun, kerapatan populasi pohon dan adanya perbedaan umur pohon (Mutuo et al., 2004). Jika seandainya kondisi awal hutan seperti kondisi hutan alami di Tahura R. Soerjo maka telah terjadi degradasi hutan di Kecamatan Prigen sekitar 187 Mg C ha-1.

Adanya gangguan pada lahan hutan sekunder di Kecamatan Prigen bila dikonversi menjadi agroforestri menyebabkan kehilangan C sekitar 40 Mg ha-1. Tetapi bila hutan sekunder dikonversi menjadi sengon monokultur maka akan menyebabkan kehilangan C akan lebih besar lagi yaitu sekitar 70 Mg ha-1.

Cadangan karbon rata-rata per siklus tanam

Cadangan karbon rata-rata per siklus tanam (time averaged-C stock) dihitung dari rata-rata cadangan karbon tersimpan di seluruh plot pengukuran (Gambar 4). Data ini dibutuhkan untuk ekstrapolasi cadangan karbon ke tingkat lansekap. Pendugaan time averaged-C stock untuk pinus, mahoni, dan sengon dilakukan berdasarkan peningkatan jumlah cadangan karbon per tahun. Khusus untuk mahoni, time averaged-C stock diduga dari rata-rata cadangan karbon pohon muda (2 tahun) dan tua (50 tahun) karena pohon umur menengah (20-25 tahun) tidak dapat dijumpai di Kecamatan Prigen.

Pada bentang lahan (lansekap) yang ada, sistem agroforestri terdiri dari berbagai jenis pohon dengan umur yang lebih beragam sehingga time averaged-C stock dihitung dari cadangan karbon rata-rata dari berbagai umur lahan setelah penebangan hutan (Hairiah et al., 2009). Cadangan karbon rata-rata per siklus tanam untuk perkebunan pinus adalah 90 Mg ha-1 dengan penyerapan C 4.2 Mg ha-1 th-1, untuk mahoni adalah 170 Mg ha-1 dengan penyerapan C 8.8 Mg ha-1 th-1, untuk sengon adalah 50 Mg ha-1 dengan penyerapan C 7.1 Mg ha-1 th-1 (Tabel 6).

Tabel 6. Cadangan karbon dan time-averaged C stock masing-masing sistem penggunaan lahan LUS Umur lahan Umur max Cadangan C Time-averaged- C stock ---tahun---- ---Mg ha-1--- Hutan Sekunder >30 - 121.0 121.0 Agroforestri Nangka 11-34 40 85.9 84.4 Agroforestri Bambu 15-30 40 77.2 63.7 Pinus Monokultur (9 th) 9 30 79.1 89.6 Mahoni Monokultur (8 th) 8 50 48.1 170.0 Sengon Monokultur (4 th) 4 15 47.1 50.5

Time averaged-C stock pada lahan agroforestri nangka diduga dari persamaan Y= 44.912 x0.2106 dimana y adalah cadangan karbon, x= umur lahan setelah diusahakan (Gambar 5). Menurut informasi yang diperoleh dari pemilik lahan, umumnya pohon nangka harus diremajakan bila telah mencapai 40 tahun, maka umur paruhnya adalah 20 tahun. Dengan demikian time averaged-C stock yang diperoleh sekitar 84 Mg ha-1, peningkatan cadangan karbon rata-rata per tahun sekitar 0.8 - 1.0 Mg ha-1. Hasil ini relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan peningkatan karbon dari agroforestri berbasis karet di Jambi yaitu antara 1.5 hingga 3.5 Mg ha-1 th-1 (Tomich et al, 1998).

(9)

Gambar 4. Cadangan karbon pada berbagai umur pohon untuk menduga time averaged-C stock dari perkebunan pinus, mahoni dan sengon (Catatan: mahoni umur menengah 20-30 tahun tidak dijumpai di lokasi penelitian) dan cadangan karbon pada berbagai umur lahan agroforestri berbasis nangka

PEMBAHASAN

Dengan menggunakan data luasan tutupan lahan dari Gambar 1 dan data dari time averaged carbon stock masing-masing tutupan lahan (Tabel 4), maka dapat diduga besarnya karbon yang tersimpan di seluruh Kecamatan Prigen. Karbon yang tersimpan pada hutan dengan luas 2054 ha adalah 249 Gg tertinggi di Kecamatan Prigen, yaitu sekitar 36% dari total cadangan karbon yang ada (692 Gg). Hutan tanaman dengan luas 4940 ha meyimpan karbon sekitar 420 Gg atau 60% yang terdapat pada agroforestri seluas 3118 ha mampu menyimpan karbon sebanyak 231 Gg atau 33% dari total luasan, dan perkebunan seluas 1832 ha menyimpan karbon sebesar 189 Gg atau 27%. Jumlah ini jauh lebih besar dengan cadangan karbon pada tutupan lahan tanaman semusim seluas 2036 ha tetapi hanya dapat menyimpan karbon sekitar 3.0 Gg atau 0.5% saja. Di daerah ini terdapat lahan yang pemanfaatannya relatif rendah yaitu semak belukar seluas 1744 ha dengan cadangan karbon sekitar 19.2 Gg saja. Dengan demikian hutan merupakan tutupan lahan yang paling baik sebagai cadangan karbon.

(10)

Gambar 5. (A) Distribusi luas penggunaan lahan di Kecamatan Prigen, (B) Time averaged-C stock penggunaan lahan dan (C) Total cadangan karbon pada masing-masing penggunaan lahan di Kecamatan Prigen

Sebagai upaya meningkatkan serapan dan penyimpanan karbon di Kecamatan Prigen, ada 3 skenario yang dapat diusulkan adalah mengkonversi seluruh lahan belukar menjadi: agroforestri (Skenario 1); perkebunan (Skenario 2), 50% lahan belukar untuk agroforestri dan 50% lainnya untuk perkebunan (Skenario 3). Ketiga skenario tersebut dalam waktu 15-25 tahun mendatang akan meningkatkan cadangan karbon masing-masing 110, 193 dan 168 Gg (Gambar 6).

Bila ditinjau dari manfaat ekonomi maupun ekologi baik untuk jangka pendek maupun panjang, nampaknya skenario ketiga yang lebih menguntungkan bagi masyarakat. Namun demikian, perbaikan strategi pengelolaan lahan masih dapat dilakukan untuk meningkatkan cadangan karbon di daerah ini, yaitu dengan meningkatkan populasi dan diversitas pohon yang ditanam dalam sistem agroforestri. Sedang untuk lahan perkebunan, penanaman mahoni lebih menguntungkan bila dibandingkan dengan sengon atau pinus (Tabel 4). Jadi untuk tujuan mempertahankan cadangan karbon di suatu kawasan, maka pemilihan jenis pohon dari golongan kelas kayu berat dan berumur panjang, serta kerapatan populasi tinggi dapat dipakai sebagai dasar pertimbangan untuk pengembangan wilayah.

(11)

Gambar 6. Perbaikan cadangan karbon di Kecamatan Prigen melalui konversi lahan belukar menjadi agroforestri (skenario 1) menjadi perkebunan (skenario 2) atau campuran agroforestri dan perkebunan (skenario 3)

Di Kecamatan Prigen, akhir-akhir ini hutan rakyat dengan jenis pohon suren berkembang cukup pesat. Lahan-lahan tersebut berpotensi cukup besar sebagai penyumbang cadangan karbon di masa yang akan datang. Namun pada studi ini pengukuran belum bisa dilakukan karena suren yang ada di lapangan masih relatif muda (< 5 tahun). Untuk itu pengukuran rata-rata cadangan karbon per siklus tanam jenis suren perlu dilakukan, sehingga pendugaan peningkatan karbon di Kecamatan Prigen dapat diperbaiki.

KESIMPULAN

1. Cadangan karbon hutan sekunder di Kecamatan Prigen yaitu 121 Mg ha-1, diikuti oleh agroforestri sekitar 86 Mg ha-1,perkebunan pinus, mahoni dan sengon dengan umur pohon relatif muda 4 - 9 tahun sebesar 58 Mg ha-1.

2. Biomassa dan nekromassa di atas tanah menyumbang karbon sekitar 70% (20 – 100 Mg ha-1), sedangkan bahan organik tanah menyumbangkan karbon sekitar 30% saja (15 – 30 Mg ha-1).

3. Time averaged C stock pada sistem perkebunan mahoni, pinus dan sengon masing-masing adalah 170 Mg ha-1 dengan siklus tanam selama 50 tahun, 90 Mg ha-1 dengan siklus tanam selama 30 tahun, 50 Mg ha-1 dengan siklus tanam selama 15 tahun. Peningkatan cadangan karbon rata-rata per tahun berturut-turut adalah 8.8 Mg ha-1 th-1, 4.2 Mg ha-1 th-1, dan 7.1 Mg ha-1 th-1 untuk mahoni, pinus dan sengon.

4. Time averaged-C stock pada sistem agroforestri berbasis nangka atau bambu adalah sekitar 84 Mg ha-1, dengan peningkatan cadangan karbon rata-rata per tahun sekitar 0.8 - 1.0 Mg ha-1.

5. Total karbon yang tersimpan di Kecamatan Prigen adalah 692 Gg, di mana 36% dari total atau 249 Gg tersimpan pada hutan alam, 33% atau 231 Gg pada agroforestri, dan 27% atau 189 Gg pada perkebunan monokultur.

6. Apabila kondisi hutan saat ini tidak bisa dipertahankan, sehingga terjadi alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian tanaman semusim, akan terjadi kehilangan C sebesar 119 Mg ha-1, tetapi jika hutan dikonvesi menjadi pertanian berbasis pepohonan baik campuran maupun monokultur, kehilangan karbon rata-rata hanya 40 Mg ha-1.

(12)

SARAN

Untuk kajian perdagangan karbon, diperlukan perhitungan perubahan cadangan karbon per wilayah sebagai dasar pendugaan emisi karbon. Hal tersebut belum dilakukan dari studi ini, data perubahan luasan tutupan lahan per periode waktu belum tersedia. Diperlukan analisis spasial perubahan tutupan lahan selama beberapa dekade terakhir. Juga masih perlu dilakukan pengukuran rata-rata cadangan karbon per siklus tanam jenis suren yang berkembang cukup luas di Kecamatan Prigen, sehingga pendugaan peningkatan karbon di daerah tersebut dapat diperbaiki.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penelitian ini tidak akan terlaksana, tanpa ada pengertian masyarakat pemilik lahan di Kecamatan Prigen. Sebagian dari dana penelitian ini diperoleh dari the World Agroforestry Centre, ICRAF.

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous. 2009. Potensi Daerah. Pemerintah Kabupaten Pasuruan http://pasuruankab.go.id/potensi.php. Diakses pada tanggal 28 Desember 2009.

International Centre for Research in Agroforestry (ICRAF). 2007. Wood Density. http://www.worldagroforestry.org.sea/index.asp. Diakses pada tanggal 28 Desember 2009.

IPCC. 2006. IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories. Prepared by The National Greenhouse Gas Inventories Programme, Eggleston H.S., Buendia, L., Miwa, K., Ngara, T. and Tanabe, K. (eds.). Published by IGES Japan.

Hairiah, K. dan Rahayu, S. 2007. Pengukuran ‘karbon tersimpan di berbagai macam penggunaan lahan. Bogor. World Agroforestry Centre - ICRAF, SEA Regional Office, University of Brawijaya, Unibraw, Indonesia.

Hairiah, K., Sitompul, S.M., Van Noordwijk, M., and Palm, C. 2001b. Methods For Sampling Carbon Stocks above and below ground. ASB Lecture Note 4B. ICRAF, Bogor, Indonesia.

Hairiah, K., Rahayu, S., dan Berlian. 2006. Layanan Lingkungan Agroforestry Berbasis Kopi: Cadangan Karbon dalam Biomassa Pohon dan Bahan Organik Tanah (Studi kasus dari Sumberjaya, Lampung Barat). Agrivita 28: 298-309.

Hairiah, K., Kurniawan, S., Aini, F., Lestari, N., Lestari, I., Widianto, Prayoga, C., dan Zulkarnaen, T. 2009. Estimasi Karbon Tersimpan di Lahan-lahan Pertanian di DAS Konto, Jawa Timur. Laporan akhir RACSA.

Hairiah, K., Kurniawan, S., Aini, F., Lestari, N., Lestari, I., Widianto, dan Zulkarnaen, T. 2010. Metoda Pengukuran Karbon Pada Lahan Agroforestri. Makalah untuk dipresentasikan pada Seminar setengah hari “Methodologies for Forest Carbon Survey”, Jakarta, 25 maret 2010.

Hairiah, K., Hamid, A., Widianto, Kurniawan. S., Wicaksono, K.S., Sari, R.R., Lestariningsih, I.D., Lestari, N.D., 2010. Potensi kawasan Tahura R.Soerjo sebagai penambat dan penyimpan karbon.

Mokany, K., Raison, J.R., and Prokushkin, A.S. 2006. Critical analysis of root-shoot ratios in terrestrial biomes. Glob. Change Biol. 12: 84-96.

(13)

Mutuo, P.K., Cadisch, G., Albrecht, A., Palm, C.A., and Verchot, L. 2005. Potential of Agroforestry For Carbon Sequestration and Mitigation of Greenhouse Gas emissions From Soils in the Tropics. Nutrient cycling in Agroecosystems 71: 43-54.

Tomich, T.P., Van Noordwijk, M., Budidarsono, S., Gillison, A., Kusumanto, T., Murdiyarso, D., Stolle,F. and Fagi, A.M. 1998. Alternatives to Slash-and-Burn in Indonesia: Summary Report and Synthesis of Phase II. ICRAF South East Asia, Bogor, 139 pp.

Van Noordwijk, M., Cerri, C., Woomer, P.L., Nugroho, K. and Bernoux, M. 1997. Soil carbon dynamics in the humid tropical forest zone. Geoderma 79: 187-225.

Gambar

Gambar 1. Lokasi Kecamatan Prigen ditinjau dari peta Jawa Timur
Gambar 2. Persentase jumlah pohon dari berbagai sistem penggunaan lahan
Tabel 5. Berat masa bagian hidup dan bagian mati tanaman pada berbagai sistem penggunaan  lahan
Gambar 5. (A) Distribusi luas penggunaan lahan di Kecamatan Prigen, (B) Time averaged-C  stock  penggunaan  lahan  dan  (C)  Total  cadangan  karbon  pada  masing-masing  penggunaan lahan di Kecamatan Prigen
+2

Referensi

Dokumen terkait

“Tidak memahami kondisi keuangan Anda dengan baik saat akan pensiun dijamin tidak akan membuat Anda benar-benar mencapai tujuan yang diidamkan nanti,” ujar David

Dalam penelitian, perlengkapan instalasi listrik dikatakan layak apabila lasdop/isolasi ada dalam tiap sambungan kabel instalasi, tuas sakelar berfungsi dengan baik

5) Siap menghadapi keterlambatan penerapan yang tidak dialami di negara perusahaan induk.. MENYEDIAKAN PEMBAGIAN DATA Mengembangkan suatu model data global yang mendukung tujuan

Seorang remaja yang tinggal di Lapas mengalami berbagai macam perubahan terutama pada perubahan lingkungan secara mendadak dan mereka akan mengalami berbagai kesulitan

e) Disiplin sekolah Kedisiplinan sekolah erat hubungannya dengan kerajinan siswa dalam sekolah dan juga dalam belajar. Kedisiplinan sekolah mencakup kedisiplinan guru dalam

Faktor lingkungan dan prilaku yang berhubungan dengan kejadian malaria di Kecamatan Panyabungan adalah perilaku tidak menggunakan kelambu pada malam hari, tidak

Pengembangan desain taman tradisional Bali, juga bisa dilakukan dengan cara mengkombinasikan (hibrid) konsep filosofi taman tradisional Bali dengan konsep taman dan

[r]