• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN. Penelitian Individu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN. Penelitian Individu"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN

Penelitian Individu

Aspek Kelembagaan dalam Penyerahan Urusan

Pemerintahan Bidang Pertanahan di Daerah Otonomi

Khusus Aceh dan Daerah Istimewa Yogyakarta

PUSAT PENELITIAN

BADAN KEAHLIAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

TAHUN 2016

Oleh:

(2)

RINGKASAN EKSEKUTIF

Penyelenggaraan tata pemerintahan Indonesia dilakukan secara terdesentralisasi sebagaimana disebutkan pada Pasal 18 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Sistem desentralisasi ini dijabarkan lebih lanjut dalam kebijakan otonomi daerah, sejak tahun 1945. Konstitusi juga mengamanatkan untuk memperhatikan kekhususan dan keberagaman daerah, termasuk untuk mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa sebagaimana ditentukan pada Pasal 18A ayat (1) dan Pasal 18B ayat (1) UUD NRI 1945. ekhususan dalam sistem otonomi daerah tersebut juga ditegaskan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah (Tap MPR No. IV/MPR/2000). Atas dasar itu, Pemerintah telah mengukuhkan 4 (empat) daerah dengan status khusus sebagai daerah khusus, daerah otonomi khusus, dan daerah istimewa yang memiliki kekhususan dalam menjalankan pemerintahannya, yaitu Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta (D.K.I. Jakarta), Aceh, Provinsi Papua, dan Daerah Istimewa Yogyakarta (D.I. Yogyakarta). Daerah otonomi khusus dan daerah istimewa tersebut diberikan kewenangan khusus dalam penyelenggaraan pemerintahannya, salah satunya bidang pertanahan. Kewenangan khusus bidang pertanahan di antaranya diberikan pada Aceh dan D.I. Yogyakarta, untuk mengelola pertanahan di daerahnya sesuai dengan karakteristik daerah tersebut. Implementasi dari kewenangan tersebut berbeda untuk masing-masing daerah otonomi khusus dan daerah istimewa. Kewenangan khusus bidang pertanahan untuk Aceh diberikan dengan berdasarkan pada UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU Pemerintahan Aceh). Pasal 253 UU Pemerintahan Aceh menegaskan tentang peralihan status Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Aceh dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota menjadi satuan perangkat daerah Aceh dan kabupaten/kota, yang dibatasi paling lambat awal tahun anggaran 2008. Peralihan status tersebut baru dapat diselesaikan pada tahun 2015 dengan diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2015 tentang Pengalihan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Aceh dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota menjadi Badan Pertanahan Aceh dan Kantor Pertanahan Aceh Kabupaten/Kota (Perpres No. 23 Tahun

(3)

2015). Dengan diberlakukannya Perpres No. 23 Tahun 2015 ini pada awal 2015, dimungkinkan timbul permasalahan hukum, baik dari aspek regulasi maupun aspek kelembagaan.

Kondisi dan permasalahan pertanahan di Aceh tersebut berbeda dengan yang terjadi di D.I. Yogyakarta. Berdasarkan UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY (UU Keistimewaan DIY), pertanahan merupakan salah satu urusan keistimewaan D.I. Yogyakarta. Namun sejak berlakunya UU Keistimewaan DIY pada tanggal 3 September 2012, masih menyisakan permasalahan yang berkaitan dengan pertanahan. Dalam penyelenggaraan kewenangan pertanahan, kasultanan dan kadipaten dinyatakan sebagai badan hukum dan subyek hak yang mempunyai hak milik atas tanah kasultanan dan tanah kadipaten. Dengan kewenangan tersebut, Sultan Kraton Ngayogyakarta dan Adipati Pakualam berwenang mengelola dan memanfaatkan tanah kasultanan (sultan

ground) dan tanah kadipaten (pakualam ground) untuk mengembangkan kebudayaan,

kepentingan sosial, dan kesejahteraan masyarakat. Kewenangan ini dilaksanakan melalui lembaga pertanahan di lingkungan kraton dan pakualaman, yaitu lembaga

paniti kismo. Ini berarti secara kelembagaan terdapat dua lembaga yang berwenang

untuk mengatur dan mengelola pertanahan di Yogyakarta, karena UU Keistimewaan DIY tidak mencabut peraturan perundang-undangan yang memberlakukan UUPA di DIY. Kedua lembaga tersebut adalah Badan Pertanahan Nasional melalui kantor wilayah dan kantor pertanahan, serta lembaga paniti kismo.

Adanya perbedaan dalam aspek lembaga yang menangani masalah pertanahan di daerah otonomi khusus Aceh dan daerah istimewa Yogyakarta menunjukkan perlunya dilakukan penelitian berkenaan aspek kelembagaan dalam urusan pemerintahan bidang pertanahan di daerah otonomi khusus Aceh dan daerah istimewa Yogyakarta, terutama yang berkaitan dengan sinkronisasi peraturan perundang-undangan dan implementasi penanganan permasalahan pertanahan oleh lembaga khusus tersebut.

I. Sinkronisasi Peraturan Perundang-Undangan di Bidang Pertanahan

Penyelenggaraan urusan pemeritahan bidang pertanahan di kedua daerah ini tidak boleh bertentangan dengan norma dasar bangsa Indonesia dalam UUD NRI Tahun 1945 yang mengatur pemerintahan daerah dan mengakui kekhususan dan keistimewaan daerah. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 18 ayat (2), Pasal 18A ayat (1) dan Pasal 18B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Selain itu penyelenggaraan

(4)

urusan pemerintahan bidang pertanahan juga tidak boleh bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945.

Landasan konstitusi tersebut digunakan sebagai dasar bagi penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang pertanahan yang diberikan sebagai kewenangan daerah otonomi khusus Aceh dan daerah istimewa Yogyakarta yang diatur lebih lanjut dalam beberapa peraturan perundang-undangan, antara lain UUD NRI Tahun 1945, UUPA, dan UU Pemda. Adapun dasar hukum pertanahan yang secara khusus berlaku di daerah otonomi Aceh, yaitu UU No. 44 Tahun 1999, UU No. 11 Tahun 2006, PP No. 3 Tahun 2015, dan Perpres No. 23 Tahun 2015. Dasar hukum pertanahan yang secara khusus berlaku di daerah istimewa Yogyakarta, yaitu UU No. 3 Tahun 1950, UU No. 13 Tahun 2012, Keppres No. 33 Tahun 1984, dan Perda DIY No. 3 Tahun 1984.

Namun secara implementasi, beberapa peraturan perundang-undangan tersebut menimbulkan permasalahan regulasi dalam urusan pemerintahan bidang pertanahan yang diberikan secara khusus pada daerah otonomi khusus Aceh dan secara istimewa pada daerah istimewa Yogyakarta. Permasalahan regulasi ini harus dilihat dari asas hukum yang berlaku untuk peraturan perundang-undangan. Pertanahan di kedua daerah ini berada dalam lingkungan hukum yang berbeda yaitu hukum pemerintahan daerah dan hukum agraria nasional. Selain itu, sinkronisasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pertanahan di daerah otonomi khusus Aceh dan daerah istimewa Yogyakarta perlu dilakukan karena dari beberapa peraturan perundang-undangan tersebut menunjukkan adanya pertentangan dalam normanya, antara lain: UU No. 5 Tahun 1960 dengan UU No. 23 Tahun 2014, Perpres No. 23 Tahun 2015 dengan UU No. 11 Tahun 2006 dan UU No. 23 Tahun 2014, dan UU No. 5 Tahun 1960 dengan UU No. 13 Tahun 2012.

Beberapa hal tersebut menunjukkan bahwa pelaksanaan kewenangan pertanahan yang diberikan pada daerah otonomi khusus Aceh dan D.I. Yogyakarta masih terjadi permasalahan regulasi. Hal ini dikarenakan kewenangan yang diberikan secara khusus dan istimewa ini merupakan lex spesialist terhadap UU Pemda namun pelaksanaannya juga harus didasarkan pada Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun dan UU No. 5 Tahun 1960. Kedua peraturan perundang-undangan tersebut harus diperhatikan oleh daerah otonomi khusus dan daerah istimewa dalam pelaksanaan kewenangan pertanahan, karena pertanahan merupakan salah satu unsur atau bagian dari agraria. Selain itu, berdasarkan pada asas hukum, maka pertama, seharusnya untuk menuju sistem hukum

(5)

naisonal yang modern khususnya hukum pertanahan perlu adanya sistemisasi yaitu dari peraturan adat yang lebih khusus dan peraturan yang rendah derajatnya untuk ditingkatkan kepada yang lebih umum dan tinggi derajatnya sehingga menjadi sistem hukum pertanahan nasional. kedua, dalam melaksanakan pendelegasian pengaturan yang diamanatkan UU Pemerintahan Aceh dan UU Keistimewaan DIY, pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus memperhatikan kedudukan suatu peraturan perundang-undangan dalam hierarki peraturan perundang-perundang-undangan, sifat, dan fungsi dari peraturan perundang-undangan yang akan dibentuk tersebut.

II. Implementasi Tugas dan Wewenang Kelembagaan Khusus Bidang Pertanahan

Urusan pemerintahan bidang pertanahan di daerah otonomi khusus Aceh dan daerah istimewa Yogyakarta mengamanatkan ada kelembagaan atau badan hukum sebagaimana diamanatkan oleh UU Pemerintahan Aceh dan UU Keistimewaan DIY. Kelembagaan khusus bidang pertanahan ini diatur dalam Pasal 253 UU No. 11 Tahun 2006 untuk daerah otonomi khusus Aceh, sedangkan untuk daerah istimewa Yogyakarta diatur dalam Pasal 32 dan Pasal 33 UU No. 13 Tahun 2012.

Berkaitan dengan kelembagaan pertanahan, UU No. 11 Tahun 2006 mengamanatkan Kantor Wilayah BPN Aceh dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota menjadi perangkat daerah Aceh dan perangkat daerah kabupaten/kota, yang pelaksanaannya diatur dalam peraturan presiden. Ketentuan ini baru terimplementasi secara normatif dengan diundangkannya Perpres No. 23 Tahun 2015 dan belum terlaksana secara empiris. Hal ini dikarenakan secara de facto belum terjadi pengalihan ke dalam bentuk BPA dan Kantor Pertanahan Aceh Kabupaten/Kota. Hal ini terjadi karena belum ada tindak lanjut dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk melaksanakan Perpres No. 23 Tahun 2015, belum terbentuk tim pengalihan yang bersifat lintas sektoral, pelaksanaan kewenangan masih sama dengan yang sebelumnya melalui Kanwil BPN. Kendala lain yang mempengaruhi pelaksanaan amanat Pasal 253 adalah substansi pengaturan Perpres No. 23 Tahun 2015 bertentangan dengan UU No. 11 Tahun 2006. Adanya kelembagaan BPA secara de jure menimbulkan adanya dualisme kelembagaan di Aceh.

Permasalahan kelembagaan ini berbeda dengan yang terjadi di D.I. Yogyakarta. Kelembagaan pertanahan di D.I. Yogyakarta terkesan rancu dan terjadi tumpang tindih kewenangan dengan adanya Panitikismo dan Penghageng Wahono Sarto Kriyo, Dinas

(6)

Pertanahan dan Tata Ruang DIY, serta Kantor Wilayah BPN DIY dan Kantor Pertanahan. Pasal 32 UU Keistimewaan DIY menentukan bahwa dalam penyelenggaraan kewenangan pertanahan, kasultanan dan kadipaten dinyatakan sebagai badan hukum yang merupakan subjek hak yang mempunyai hak milik atas tanah kasultanan dan kadipaten. Meskipun undang-undang ini mengakui kasultanan dan kadipaten sebagai badan hukum, namun badan hukum ini hanya sebatas pada subjek hukum yang bukan merupakan organ negara. Penyelenggaraan keistimewaan pertanahan di DIY dilaksanakan oleh Dinas Pertanahan dan Tata Ruang berdasarkan dekonsentrasi dan tugas pembantuan sebagaimana diatur pada Pasal 28 Perdais DIY No. 3 Tahun 2015. Pelaksanaan kelembagaan pertanahan di D.I. Yogyakarta masih melibatkan BPN sebagai instansi vertikal bidang pertanahan.

Atas dasar itu, pengalihan BPN ke BPA untuk melaksanakan urusan pemerintahan bidang pertanahan di Aceh perlu ditinjau ulang. Sebaiknya bidang pertanahan dikembalikan sesuai dengan UU No. 5 Tahun 1960 yang menjadi urusan pemerintahan bersifat sentralistik yang dilaksanakan di daerah melalui lembaga vertikal. Namun, BPA masih tetap berjalan dengan kewenangan yang terbatas untuk pertanahan yang didasarkan pada tanah adat di Aceh. Perlakuan ini berbeda untuk DIY, karena tidak ada amanat pengalihan BPN. Namun, untuk keistimewaan DIY ini perlu ditinjau ulang dengan keberadaan dan kedudukan badan hukum sebagai subjek hak milik atas tanah kasultanan dan tanah kadipaten. Badan hukum ini perlu diperjelas nomenklatur-nya apakah badan hukum privat atau badan hukum public dan bagaimana kedudukannya dalam pemerintahan di DIY, karena UU Keistimewaan DIY mengatur pertanahan khususnya yang berkaitan dengan tanah milik kasultanan dan tanah milik kadipaten dilaksanakan oleh pemerintah daerah DIY.

Hasil penelitian dan analisa menunjukkan bahwa kebijakan Indonesia kurang mengakomodasi political decentralisation perspective, tetapi lebih pada administrative

decentralisation perspective, termasuk dalam pemberian status khusus dan istimewa

kepada daerah otonomi khusus Aceh dan daerah istimewa Yogyakarta dalam bidang pertanahan. Pemberian kewenangan khusus pada urusan pemerintahan bidang pertanahan kepada kedua daerah tersebut menimbulkan kerancuan pengaturan dalam peraturan perundang-undangan, sehingga perlu dilakukan sinkronsiasi peraturan perundang-undangan. Selain itu, kelembagaan khusus bidang pertanahan belum sepenuhnya terimplementasi baik Badan Pertanahan Aceh di daerah otonomi khusus

(7)

Aceh maupun badan hukum warisan budaya untuk bidang pertanahan di daerah istimewa Yogyakarta. Hal ini dikarenakan Perpres No. 23 Tahun 2015 baru melaksanakan pengalihan dari Badan Pertanahan Nasional ke Badan Pertanahan Aceh secara de jure namun belum ada implementasi secara de facto. Untuk itu, pertama, pelaksanaaan asas desentralisasi asimetris di Indonesia perlu dikaji ulang, kedua, perlu dilakukan review dan/atau revisi terhadap UU Pemerintahan Aceh dan UU Keistimewaan DIY dengan memperhatikan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 dan hukum agraria nasional meskipun UU Pemerintahan Aceh dan UU Keistimewaan DIY berada pada lingkungan hukum pemerintahan daerah, dan ketiga, perlu dilakukan revisi terhadap Perpres No. 23 Tahun 2015.

Referensi

Dokumen terkait

Undang-Undang Republik Indonesia nomor 10 tahun 2009 bab 1 pasal 1 bagian ketentuan umum menjelaskan bahwa kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan

Permasalahan stres banyak menjadi hambatan dan keluahan kebanyakan orang, karena stres jika tidak diatasi dengan bijak dan tepat akan mengganggu setiap aktifitas

Yaitu pada design circuit untuk dapat diterapkan, simulasi akan dijalankan sesuai program arduino yang diinginkan, dan setelah mendapatkan hasil yang baik dengan

Kemampuan seorang pembelajar bahasa Inggris menggunakan kata kerja tersebut dalam struktur kalimat yang berterima sangat tergantung pada sejauh mana pengetahuan

Masing-masing P i hak harus melindungi , dalam wilayahnya , hak kekayaan intelektual Pihak lain sesuai dengan hukum nasional yang berlaku pada masing - masing

Hal tersebut dapat diketahui melalui hasil analisis foto dari kegiatan dialog maupun ceramah yang pernah dilakukan oleh PKUB (lihat Gambar 3.1 dan Gambar 3.2),

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.53/MENHUT-II/2006 tentang Lembaga Konservasi menjelaskan bahwa kebun binatang adalah suatu tempat atau wadah yang mempunyai fungsi utama