• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. Penelitian Analisis Gaya Bahasa pada Album Musik Lethologica Karya Band Letto dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. Penelitian Analisis Gaya Bahasa pada Album Musik Lethologica Karya Band Letto dan"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

Penelitian “Analisis Gaya Bahasa pada Album Musik Lethologica Karya Band Letto dan Alternatif Penerapannya dalam Pembelajaran Gaya Bahasa Puisi di SMA Kelas X Semester I” berkaitan dengan landasan teori. Pada landasan teori ini dijelaskan tentang diksi, gaya bahasa, jenis-jenis gaya bahasa, sastra sebagai sarana pendidikan, dan pembelajaran gaya bahasa puisi di SMA kelas X semester I.

A. Diksi

Perbedaan pengarang, zaman, latar belakang sosial budaya, pendidikan dan agama, memberi warna terhadap pemilihan kata. Penyair dari Jawa dengan Bahasa Jawa biasanya kurang merasa puas menggunakan istilah Bahasa Indonesia untuk kata-kata khas Jawa yang kurang tepat dengan Bahasa Indonesia.

Menurut Keraf (2006: 21) adanya kenyataan seperti di atas, menjelaskan bahwa setiap orang tertuntut untuk menguasai banyak gagasan dan luas kosakata agar apa yang diungkapkan dalam kegiatan komunikasi bisa efektif dan dapat dipahami atau diterima oleh orang lain. Hal ini berarti semakin banyak kata yang dikuasai seseorang, semakin banyak pula ide atau gagasan yang dikuasainya dan yang sanggup diungkapkannya.

Penyair hendak mencurahkan perasaan dan isi pikirannya dengan setepat-tepatnya seperti apa yang dirasakan oleh batinnya. Selain itu, dalam mengekspresikannya digunakan pemilihan kata yang tepat, hal itu disebut dengan diksi.

Barfield (dalam Pradopo, 1997: 54) mengemukakan bahwa bila kata-kata dipilih dan disusun dengan cara yang sedemikian rupa hingga artinya menimbulkan atau dimaksudkan

(2)

untuk menimbulkan imaginasi estetik, maka hasilnya itu disebut diksi puitis. Jadi, diksi itu untuk mendapatkan kepuitisan, untuk mendapatkan nilai estetik.

Keraf (2006: 24) menurunkan tiga pengertian mengenai diksi yakni sebagai berikut: Pertama, pilihan kata atau diksi mencakup pengertian kata-kata mana yang dipilih untuk menyampaikan suatu gagasan, bagaimana membentuk pengelompokkan kata-kata yang tepat atau menggunakan ungkapan-ungkapan yang tepat, dan gaya mana yang paling baik digunakan dalam suatu situasi. Kedua, pilihan kata-kata atau diksi adalah kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna dari gagasan yang ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai (cocok) dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar. Ketiga, pilihan kata yang tepat dan sesuai hanya dimungkinkan oleh penguasaan sejumlah besar kosakata atau perbendaharaan kata atau kosakata suatu bahasa adalah keseluruhan kata yang dimiliki oleh bahasa.

Pemilihan kata mengacu pada pengertian penggunaan kata-kata tertentu yang sengaja dipilih dan digunakan oleh pengarang. Mengingat bahwa karya fiksi (sastra) adalah dunia dalam kata, komunikasi dilakukan dan ditafsirkan lewat kata-kata. Pemilihan kata-kata tentunya melalui pertimbangan-pertimbangan tertentu untuk mendapatkan efek yang dikehendaki (Nurgiyantoro, 1998: 290).

Masalah pemilihan kata menurut Champan (dalam Nurgiyantoro 1998: 290) dapat melalui pertimbangan-pertimbangan formal tertentu. Pertama, pertimbangan fonologis, misalnya kepentingan alitrasi, irama, dan efek bunyi tertentu. Kedua pertimbangan dari segi metode, bentuk, dan makna yang dipergunakan sebagai sarana mengkonsentrasikan gagasan. Dalam hal ini, faktor personal pengarang untuk memilih kata-kata yang paling menarik

(3)

perhatiannya berperan penting. Pengarang dapat saja memilih kata atau ungkapan tertentu sebagai siasat untuk mencapai efek yang diinginkan.

Persoalan diksi dan pilihan kata bukanlah persoalan yang sederhana. Ketepatan pemilihan kata atau diksi untuk mengungkapkan suatu gagasan diharapkan fungsi yang diperoleh akan sesuai tujuan yang ingin dicapai. Keraf (2002:23) mengungkapkan bahwa istilah diksi digunakan untuk menyatakan kata-kata yang dipakai untuk mengungkapkan suatu ide atau gagasan, yang meliputi persoalan, fraseologi, gaya bahasa dan ungkapan. Dengan demikian, persoalan diksi sebenarnya jauh lebih luas dari apa yang dipantulkan oleh jalinan kata-kata itu, karena tidak sekedar untuk memilih kata-kata mana yang dipilih untuk mengungkapkan suatu ide atau gagasan, tetapi menyangkut masalah frase, gaya bahasa dan ungkapan.

Beberapa penjelasan tentang pengertian diksi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa diksi adalah kata, kelompok kata, ungkapan, dan gaya yang diseleksi setepat-tepatnya sebagai sarana komunikasi penyalur gagasan, ide, opini ataupun perasaan serta pengalaman sehingga menimbulkan imajinasi estetik sesuai dengan situasi dan nilai rasa pendengar. Akan tetapi, memilih kata-kata yang mampu mengemban fungsi tersebut tidaklah mudah. Dalam memilih kata, pengarang harus benar-benar teliti dan cermat sehingga kata-kata yang dipilih tidak menimbulkan salah tafsir antar pembaca dan pendengar.

B. Gaya Bahasa

Gaya atau khususnya gaya bahasa dikenal dalam retorika dengan istilah style. Kata style diturunkan dari kata Latin stilus, yaitu semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin. Kelak pada waktu penekanan dititikberatkan pada keahlian untuk menulis indah, maka

(4)

style lalu berubah menjadi kemampuan dan keahlian untuk menulis atau mempergunakan kata-kata secara indah. Karena perkembangan itu, gaya bahasa atau style menjadi masalah atau bagian dari diksi atau pilihan kata yang mempersoalkan cocok tidaknya pemakaian kata, frasa atau klausa tertentu untuk menghadapi situasi tertentu. Sebab itu, persoalan gaya bahasa meliputi semua hirarki kebahasaan: pilihan kata secara individual, frasa, klausa, dan kalimat, bahkan mencakup pula sebuah wacana secara keseluruhan. Akhirnya style atau gaya bahasa dapat dibatasi sebagai cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis atau pemakai bahasa (Keraf, 2006: 112-113).

Pradopo (1997: 263) mengemukakan bahwa gaya bahasa merupakan sarana sastra yang turut menyumbangkan nilai kepuitisan atau estetika karya sastra, bahkan seringkali nilai seni suatu karya sastra ditentukan oleh gaya bahasanya.

Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa merupakan cara penggunaan bahasa secara khusus untuk mendapatkan fungsi tertentu. Dalam karya sastra yang efektif tentu ada fungsi estetik yang menyebabkan karya yang bersangkutan bernilai seni. Nilai seni dalam karya sastra disebabkan oleh adanya gaya bahasa dan fungsi lain yang menyebabkan karya sastra menjadi indah seperti adanya gaya bercerita atau pun penyusunan alurnya.

Slametmuljana (dalam Pradopo, 1997: 93) mengemukakan bahwa gaya bahasa ialah susunan perkataan yang terjadi karena perasaan yang timbul atau hidup dalam hati penulis, yang menimbulkan suatu perasaan tertentu dalam hati pembaca.

Hal ini seperti dikemukakan juga oleh Dick Hartoko dan Rahmanto (dalam Pradopo, 1997: 264) bahwa gaya bahasa adalah cara yang khas dipakai seseorang untuk mengungkapkan diri (gaya pribadi).

(5)

Begitu juga dikemukakan Abrams (dalam Pradopo, 1997: 266) bahwa gaya bahasa suatu karya sastra itu dapat dianalisis dalam hal diksi atau pilihan katanya, pola-pola ritmanya, komponen bunyi, ciri-ciri formal lain, dan tujuan-tujuan serta sarana retorisnya.

Dari uraian di atas, tampak bermacam-macam definisi mengenai pengertian gaya bahasa. Pada umumnya definisi tersebut menunjukkan persamaan, yaitu gaya bahasa itu cara bertutur untuk mendapatkan efek estetik dan efek kepuitisan. Gaya bahasa itu menghidupkan kalimat dan memberi gerak pada kalimat untuk menimbulkan reaksi tanggapan pikiran kepada pembaca.

Dalam mempergunakan bahasa untuk melantunkan gagasannya, penyair tentu saja memiliki pertimbangan di dalam mendayagunakan gaya bahasa. Dengan demikian, penyair mestinya mempunyai tujuan tertentu dalam hal itu. Ia mempergunakan gaya bahasa tertentu, bisa jadi merupakan suatu upaya guna menguatkan maksud yang disampaikannya. Kemampuan dalam mengolah dan mendayagunakan gaya bahasa menentukan berhasil tidaknya suatu karya sastra.

Dick Hartoko dan Rahmanto (dalam Pradopo, 1997: 266) berpendapat bahwa ada beberapa pandangan mengenai gaya bahasa sebagai suatu gejala dalam sastra yaitu sebagai berikut:

1. gaya hanya suatu perhiasan tambahan (pandangan dualistis).

2. gaya merupakan bagian integral dari sebuah karya yang merupakan manunggalnya isi dan bentuk (pandangan monistis).

3. secara linguistik gaya dapat dilacak sebagai suatu penyimpangan terhadap suatu bentuk penggunaan bahasa tertentu dan justru karena penyimpangan itu perhatian pembaca dibangkitkan (dualistis).

(6)

4. gaya sebagai variasi, tanpa adanya suatu norma tertentu. Variasi dapat terjadi dalam bentuk maupun isi (monistis) atau hanya dalam ungkapan saja (dualistis).

C. Jenis-jenis Gaya Bahasa

Gaya bahasa sebagai media komunikasi secara khusus, yaitu penggunaan bahasa secara bergaya dengan tujuan untuk ekspresivitas pengucapan menarik perhatian dan dipergunakan dalam percakapan sehari-hari atau dalam penulisan sebuah karya seni ekspresi termasuk lirik lagu. Gaya bahasa dalam lirik lagu cenderung ditentukan oleh pilihan kata dan jenis gaya bahasanya.

Mengingat banyaknya jenis gaya bahasa yang ada, berikut ini adalah penjelasan dari beberapa jenis gaya bahasa yang digunakan peneliti dalam menganalisis gaya bahasa pada lirik lagu dalam album musik Lethologica.

Tarigan (2009: 6) berpendapat bahwa gaya bahasa dikelompokkan atas empat kategori, yaitu gaya bahasa perbandingan, perulangan, pertautan, dan pertentangan.

1. Gaya Bahasa Perbandingan

Pradopo (1990: 62) berpendapat bahwa gaya bahasa perbandingan adalah bahasa kiasan yang menyamakan satu hal dengan yang lain dengan mempergunakan kata-kata pembanding, antara lain: bagai, sebagai, bak, seperti, semisal, seumpama, laksana, se-, dan kata-kata pembanding yang lain.

Adapun gaya bahasa perbandingan yang dipakai untuk menganalisis album musik Lethologica ini meliputi: personifikasi, metafora, simile, pleonasme, dan koreksio.

(7)

Personifikasi atau prosopopoeia adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat kemanusiaan. Personifikasi (penginsanan) merupakan suatu corak khusus dari metafora, yang mengiaskan benda-benda mati bertindak, berbuat, berbicara seperti manusia (Keraf 2006: 140).

Tarigan (2009: 17) mengemukakan bahwa personifikasi atau penginsanan adalah jenis majas yang melekatkan sifat-sifat insani kepada benda yang tidak bernyawa dan ide yang abstrak.

Dari dua pendapat di atas, peneliti dapat mengemukakan bahwa personifikasi adalah gaya bahasa yang melekatkan sifat-sifat manusia kepada benda yang akan digambarkan untuk memperjelas maksud.

b. Metafora

Metafora adalah menyamakan sesuatu hal dengan sesuatu hal lain tanpa menggunakan kata pembanding. Metafora itu melihat sesuatu dengan perantaraan benda yang lain (Baribin, 1990: 49).

Keraf (2006: 139) menambahkan bahwa metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung tetapi dalam bentuk yang lebih singkat. Metafora sebagai perbandingan langsung tidak mempergunakan kata seperti, bak, bagaikan, laksana dan sebagainya, sehingga pokok pertama langsung dihubungkan dengan pokok kedua.

Peneliti menyimpulka bahwa gaya bahasa metafora adalah gaya bahasa yang membandingkan benda satu dengan benda lain, karena adanya persamaan sifat keduanya agar lebih berkesan.

(8)

c. Perumpamaan

Persamaan atau simile adalah perbandingan yang bersifat eksplisit. Yang dimaksud dengan perbandingan yang bersifat eksplisit ialah bahwa ia langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain. Untuk itu, ia memerlukan upaya yang secara eksplisit menunjukkan kesamaan itu, yaitu kata-kata: seperti, sama, sebagai, bagaikan, laksana, dan sebagainya (Keraf, 2006: 138).

Tarigan (2009: 9) berpendapat bahwa perumpamaan adalah perbandingan dua hal yang pada hakikatnya berlainan dan sengaja kita anggap sama. Itulah sebabnya maka sering pula kata ‘perumpamaan’ disamakan saja dengan ‘persamaan’.

d. Pleonasme

Pleonasme adalah acuan yang mempergunakan kata-kata yang lebih banyak daripada yang diperlukan untuk menyatakan sama pikiran atau gagasan. Suatu acuan disebut pleonasme bila kata yang berlebihan itu dihilangkan, artinya tetap utuh (Keraf, 2006: 133).

Tarigan (2009: 28) berpendapat bahwa pleonasme adalah pemakaian kata yang mubazir (berlebihan), yang sebenarnya tidak perlu (seperti menurut sepanjang adat; saling tolong-menolong).

Peneliti menyimpulkan bahwa gaya bahasa pleonasme adalah gaya bahasa yang menggunakan keterangan yang tidak perlu, karena keterangan itu sudah terkandung dalam kata yang diterangkannya.

(9)

Koreksio atau epanortosis adalah suatu gaya yang dalam pernyataannya mula-mula ingin menegaskan sesuatu. Namun, kemudian memeriksa dan memperbaiki yang mana yang salah (Keraf, 2006: 135).

2. Gaya Bahasa Perulangan

Gaya bahasa perulangan adalah gaya bahasa yang mengulang kata demi kata entah itu diulang pada bagian depan, tengah, atau akhir, sebuah kalimat. Gaya bahasa perulangan ini meliputi: aliterasi, asonansi, simploke, dan repetisi.

a. Aliterasi dan Asonansi

Menurut Brooks (dalam Sayuti, 1985: 49) bahwa kombinasi vokal konsonan dalam puisi berfungsi melancarkan ucapan, mempermudah pengertian serta bertujuan untuk mempercepat irama. Hal inilah yang menyebabkan penyair dengan sengaja mempermudah aspek bunyi aliterasi dan asonansi dalam puisi karena memang menimbulkan efek keindahan tertentu.

Keraf (2006: 130) menyebutkan aliterasi adalah semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan konsonan yang sama. Sedangkan asonansi adalah semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan bunyi vokal yang sama. Biasanya digunakan dalam puisi untuk memperoleh efek penekanan atau sekedar keindahan.

b. Simploke

Simploke adalah gaya bahasa repetisi yang berupa perulangan awal dan akhir beberapa baris atau kalimat secara berturut-turut (Keraf, 2006: 128).

(10)

Repetisi adalah pengulangan bunyi, suku kata, kata atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai (Keraf, 2006: 127).

3. Gaya Bahasa Pertautan Asindeton

Asindeton adalah suatu gaya yang berupa acuan padat dan mampat di mana beberapa kata, frasa, atau klausa yang sederajat tidak dihubungkan dengan kata sambung. Bentuk-bentuk tersebut biasanya dipisahkan saja oleh tanda koma, seperti vini, vidi, vici, adalah ucapan Julius Caesar yang berarti ‘saya datang, saya lihat, saya menang’ (Keraf, 2006: 131).

4. Gaya Bahasa Pertentangan a. Hiperbola

Hiperbola adalah gaya bahasa yang cara penuturannya bertujuan menekankan maksud dengan sengaja melebih-lebihkan (Nurgiyantoro, 2002: 300).

Keraf (2006: 135) berpendapat bahwa hiperbola adalah semacam gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan, dengan membesar-besarkan sesuatu hal.

Begitu juga dikemukakan Tarigan (2009: 55) bahwa hiperbola adalah gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang berlebih-lebihan jumlahnya, ukurannya atau sifatnya dengan maksud memberi penekanan pada suatu pernyataan atau situasi

(11)

untuk memperhebat, meningkatkan kesan dan pengaruhnya. Gaya bahasa ini melibatkan kata-kata, frase, atau kalimat.

Dari ketiga pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa hiperbola adalah gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang berlebihan dari kenyataan.

b. Pun atau Paronomasia

Pun atau paronomasia adalah kiasan atau permainan kata dengan mempergunakan kemiripan bunyi, tetapi terdapat perbedaan besar dalam maknanya (Keraf, 2006: 145).

D. Sastra sebagai Sarana Pendidikan

Apabila karya-karya sastra dianggap tidak berguna, tidak bermanfaat lagi untuk menafsirkan dan memahami masalah-masalah dunia nyata, maka tentu saja pengajaran sastra tidak akan ada gunanya lagi untuk diadakan. Namun, jika dapat ditunjukkan bahwa sastra itu mempunyai relevansi dengan masalah-masalah dunia nyata, maka pengajaran sastra harus kita pandang sebagai sesuatu yang penting yang patut menduduki tempat yang selayaknya. Jika pengajaran sastra dilakukan dengan cara yang tepat, maka pengajaran sastra dapat juga memberikan sumbangan yang besar untuk memecahkan masalah-masalah nyata yang cukup sulit untuk dipecahkan di dalam masyarakat (Pradopo, 1997: 15).

Pengajaran sastra termasuk salah satu aspek pengajaran bahasa, di samping tata bahasa dan kemampuan bahasa. Ditinjau dari berbagai segi, pada dasarnya pengajaran sastra memiliki karakteristik yang tersendiri, artinya ia memang tidak selalu harus dikaitkan dengan

(12)

pengajaran bahasa. Pengajaran sastra selalu berkenaan dengan masalah kepekaan terhadap nilai keindahan dan nilai kehidupan.

Rahmanto (1997: 16-25) berpendapat bahwa pengajaran sastra dapat membantu pendidikan secara utuh apabila cakupannya meliputi 4 manfaat, yaitu: membantu keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta dan rasa, dan menunjang pembentukan watak.

l. Membantu keterampilan berbahasa

Mengikutsertakan pengajaran sastra dalam kurikulum berarti akan membantu siswa berlatih keterampilan membaca dengan membacakan puisi. Dalam pengajaran sastra, siswa dapat melatih keterampilan menyimak dengan mendengarkan suatu karya yang dibacakan oleh guru, teman atau lewat pita rekaman. Siswa dapat melatih keterampilan wicara dengan ikut berperan dalam suatu drama. Dan karena sastra menarik, siswa dapat mendiskusikan dan kemudian menuliskan hasil diskusinya sebagai latihan keterampilan menulis.

2. Meningkatkan pengetahuan budaya

Dapat merangsang siswa untuk memahami fakta-fakta dalam karya sastra, lama-kelamaan siswa itu akan sampai pada realisasi bahwa fakta-fakta itu sendiri tidak lebih penting dibandingkan dengan keterkaitannya satu sama lain sehingga dapat saling menopang dan memperjelas apa yang ingin disampaikan lewat karya sastra itu.

Sastra dapat merangsang siswa untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang relevan. Dengan demikian, mereka diharapkan sampai pada pemahaman masalah yang

(13)

sebenarnya baik dengan cara membaca suatu karya sastra maupun dengan cara membaca penelitian. Tugas pengajaran yang utama adalah memperkenalkan anak didiknya dengan sederet kemajuan yang dicapai manusia seluruh dunia, tanpa merusak kebanggaan atas kebudayaan yang mereka miliki sendiri.

3. Mengembangkan cipta dan rasa

Dalam melaksanakan pengajaran tidak boleh berhenti pada penguraian pengertian keterampilan ataupun pengetahuan. Setiap guru hendaknya selalu menyadari bahwa setiap siswa adalah seorang individu dengan kepribadiannya yang khas, kemampuan, masalah dan kadar perkembangannya masing-masing yang khusus. Oleh karena itu penting sekali kiranya memandang pengajaran sebagai proses pengembangan individu secara keseluruhan.

Dalam hal pengajaran sastra, kecakapan yang perlu dikembangkan adalah kecakapan yang bersifat indra; bersifat penalaran; bersifat afektif dan bersifat sosial; serta dapat ditambahkan lagi yang bersifat religius.

4. Menunjang pembentukan watak

Dalam nilai pengajaran sastra ada dua tuntutan yang dapat diungkapkan sehubungan dengan watak ini. Pertama, pengajaran sastra hendaknya mampu membina perasaan yang lebih tajam. Seseorang yang telah banyak mendalami berbagai karya sastra biasanya mempunyai perasaan yang lebih peka untuk menunjuk hal mana yang bernilai dan mana yang tak bernilai. Tuntutan kedua sehubungan dengan pembinaan watak ini adalah bahwa pengajaran sastra hendaknya dapat memberikan bantuan dalam usaha

(14)

mengembangkan berbagai kualitas kepribadian siswa yang antara lain meliputi: ketekunan, kepandaian, pengimajian, dan penciptaan.

Menurut Moody (dalam Sayuti, 1985: 195-198) dalam bentuknya yang paling sederhana, pengajaran sastra membekali para siswa dengan keterampilan mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Keterampilan mendengarkan diperoleh pada saat siswa mendengarkan pembacaan puisi atau berdeklamasi. Sebaliknya keterampilan berbicara diperoleh terutama pada saat siswa memperoleh giliran membaca puisi atau berdeklamasi. Keterampilan membaca berkaitan dengan kelancaran bacaan, ketepatan penempatan jeda, dan keserasian intonasi dengan isi kalimat. Keterampilan ini sangat penting, karena salah penempatan jeda dalam baris puisi akan menimbulkan salah tafsir atau makna yang berbeda. Selain itu pengajaran sastra juga banyak membantu menambah kosakata para siswa.

Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa karya sastra bersifat menyenangkan dan berguna atau dengan kata lain karya sastra bermanfaat, yaitu: a. membantu keterampilan berbahasa yang meliputi: keterampilan mendengarkan, berbicara, membaca, menulis, dan menambah kosakata; b. meningkatkan pengetahuan budaya; c. mengembangkan cipta dan rasa; d. menunjang pembentukan watak. Keberhasilan karya sastra adalah bila karya itu memberikan pengaruh positif dan pengetahuan kepada pembacanya.

E. Pembelajaran Gaya Bahasa Puisi di SMA Kelas X Semester I

Dalam KTSP terdapat Standar Kompetensi yaitu memahami puisi yang disampaikan secara langsung/ tidak langsung, dan Kompetensi Dasar yaitu mengidentifikasi unsur-unsur bentuk suatu puisi yang disampaikan secara langsung ataupun melalui rekaman.

(15)

Menurut Baribin (1990: 41-57) mengemukakan unsur pembentuk puisi antara lain: 1. Bunyi, termasuk juga rima, irama.

Dalam puisi bunyi bersifat estetik, merupakan unsur puisi untuk mendapatkan keindahan dan tenaga ekspresif. Bunyi di samping menjadi hiasan dalam puisi, juga mempunyai tugas yang lebih penting lagi, yaitu untuk memperdalam ucapan, menimbulkan rasa, menimbulkan bayangan angan yang jelas, menimbulkan suasana yang khusus.

Bunyi yang sama, yang berulang-ulang ditemukan dalam sajak disebut rima (sajak). Menurut tempatnya dalam puisi, rima dibedakan:

(a) Rima awal

Contoh: Beta bermenung Karena bingung

Beta berlutut

Hendak bersujud (b) Rima tengah

Contoh: Aku pengapa padiku ini Jika dilurut, pecah batangnya Aku pengapa hatiku ini Jika diturut datangnya (c) Rima akhir

Contoh: Aku lalai di hari pagi, Beta lengah di masa muda, Kini hidup meracun hati Miskin ilmu, miskin harta

Persamaan bunyi (rima) itu ada yang secara keseluruhan sama, dan ada sempurnanya persamaan bunyi itu, rima dapat dibedakan:

(16)

Contoh: Demikian rasa Datang semasa (b) Rima tidak sempurna

Contoh: Tuhanku

Dalam termangu

Aku masih menyebut nama Mu

Di samping itu terdapat pula persamaan bunyi pada konsonannya saja, persamaan bunyi itu disebut aliterasi. Sedang persamaan bunyi pada vokalnya saja disebut asonansi. Contoh aliterasi:

Kaulah Kandil kemerlap Contoh asonansi:

Segala cintaku hilang terbang

Bunyi yang berulang, pergantian yang teratur, dan variasi-variasi bunyi menimbulkan suatu gerak yang hidup, seprti gercik air yang mengalir turun tak putus-putus; gerak yang teratur itu disebut irama.

Irama dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu: (a) metrum, dan (b) ritme. Metrum adalah irama yang tetap, artinya pergantiannya sudah tetap menurut pola tertentu. Hal ini disebabkan oleh jumlah suku kata yang sudah tetap dan tekanan yang tetap, sehingga alun suara yang menaik dan menurun itu tetap saja.

Ritme adalah irama yang disebabkan oleh pertentangan atau pergantian bunyi tinggi-rendah secara teratur. Ritme merupakan unsur yang fundamental dalam puisi. Ritme ini sangat disadari oleh penyair, misalnya dengan mempertentangkan bunyi, membuat perulangan, menyingkat kata, memilih kata yang cocok bunyinya, dan sebagainya.

(17)

Dalam puisi timbulnya irama itu karena perulangan berturut-turut dan bervariasi, misalnya rima akhir, asonansi dan aliterasi. Begitu juga adanya paralelisme-paralelisme, ulangan-ulangan kata, ulangan-ulangan bait.

Dengan adanya irama, selain puisi terdengar merdu, mudah dibaca, juga hal ini menyebabkan aliran perasaan atau pun pikiran tak terputus dan terkonsentrasi sehingga menimbulkan bayangan (imaji-imaji) yang jelas dan hidup.

2. Kata, meliputi makna, diksi, pigura bahasa, dan citraan.

Y. Elema dalam dalil seni sastra mengatakan bahwa puisi mempunyai nilai seni, bila pengalaman jiwa yang menjadi dasarnya dapat dijelmakan ke dalam kata (Slametmuljana dalam Baribin, 1990: 46). Kata bagi penyair adalah alat untuk menjelmakan pengalamannya.

Penyair selalu berurusan dengan kata dan harus dapat memilih kata yang tepat. Pemilihan kata itu disebut diksi. Jadi diksi itu untuk mendapatkan kepuitisan dan mendapatkan nilai estetik.

Kata memiliki dua aspek arti, yakni (a) denotasi, dan (b) konotasi. Arti denotatif ialah arti yang tersurat, arti yang ditemukan dalam kamus. Arti denaotatif akan menunjuk pada satu benda atau satu hal. Misal: kembang: bunga. Arti konotatif adalah arti yang tersirat, arti yang ditambahkan atau disarankan apada arti yang tersurat itu. Misal: kembang desa: gadis.

Untuk mendapatkan kepuitikan, penyair memilih kata dan mengolah dengan berbagai cara. Salah satu cara untuk mendapatkan kepuitikan itu ialah menggunakan pigura bahasa (figurative language). Pigura bahasa ini menyebabkan sajak menjadi

(18)

menarik perhatian, menimbulkan ketegaran, hidup, dan terutama menimbulkan kejelasan gambaran angan.

Pigura bahasa itu bermacam-macam, tetapi memiliki suatu sifat yang umum, yakni mempertalikan sesuatu dengan cara menghubungkannya dengan sesuatu yang lain (Altenbarnd dalam Baribin, 1990: 48).

Pigura bahasa dapat dibedakan menjadi: simile, metafora, simile epik, alegori, personifikasi, metonimia, dan sinekdok.

Untuk mencapai kepuitikan, penyair menggunakan berbagai cara. Di samping pigura bahasa seperti di atas, juga digunakan gaya bahasa. Gaya bahasa ialah susunan perkataan yang terjadi karena perasaan yang timbul atau hidup dalam hati penulis (penyair) yang menimbulkan suatu perasaan tertentu dalam hati pembaca.

Gaya bahasa Pujangga Baru sesuai dengan konsepsi estetikanya yang menghendaki keseimbangan yang simetris dan juga aliran romantik yang penuh curahan perasaan, maka yang dominan digunakan ialah tautologi, pleonasme paralelisme, enumerasi, retorik repetisi. Tentu saja gaya bahasa yang lain juga digunakan, tetapi tidak dominan, tidak banyak atau sering. Pada angkatan ’45, sesuai dengan realisme dan ekspresionisme yang dianutnya, banyak menggunakan gaya bahasa yang bertujuan intensitas dan ekspresivitas, di antaranya hiperbola, litotes, teutologi, dan enaumerasi. Sedangkan sajak-sajak yang berisi pemikiran atau filsafat banyak mempergunakan gaya bahasa paradoks dan kiasmus.

Dalam puisi, penyair selalu mencari kata dan menemukan bahasa untuk menggambarkan angan-angan (pikiran) dengan setepat-tepatnya. Bahasa yang

(19)

melukiskan gambar-gambar pikiran dan penggambaran angan-angan atau pikiran itu disebut citraan (imagery). Gambar pikiran itu disebut citra atau imaji (image).

Gambaran-gambaran angan itu bermacam-macam, dihasilkan oleh indera penglihatan, pendengaran, perabaan, pencacapan, penciuman. Bahkan yang dihasilkan oleh indera penglihatan dan gerakan. Citraan yang dihasilkan oleh indera penglihatan disebut citra penglihatan (visual imagery), yang ditimbulkan oleh pendengaran disebut citra pendengaran (auditory imagery), dan sebagainya.

Citraan merupakan salah satu alat kepuitikan yang terutama. Dengan citraan, karya sastra (puisi) mencapai sifat-sifat konkret, khusus, mengharukan, dan sugestif. Sarana puitik yang lain, yang tak dapat diabaikan dalam puisi ialah simbol (lambang) simbol adalah sesuatu yang mengandung arti lebih daripada apa yang terdapat dalam fakta.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan keterangan di atas, Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat memutuskan bahwa PT KLMI telah memenuhi syarat permohonan pailit dan

Berdasarkan Tabel 4.1, maka pengujian reliabilitas dengan cronbach alpha terhadap 15 pernyataan yang telah dinilai jawabannya, maka dapat dilihat bahwa alpha untuk

Untuk menjawab permasalahan tersebut, penelitian ini bertujuan untuk memperoleh bukti empiris mengenai pengaruh kompleksitas audit, due professional care ,

Berdasarkan tabel pengukuran kinerja kegiatan, menurut Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Pasuruan dapat diketahui bahwa kinerja badan lingkungan hidup kabupaten

Berdasarkan kajian yang telah dilakukan terhadap metodologi penulisan hadith Syeikh Ali Ibn Abdul Rahman Al-Kelantani di dalam kitab hadith beliau yang berjudul

suatu lembaga yang pembentukan pertama dengan surat keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Barat Nomor 135 Tahun 1990 tanggal 26 Maret 1990 tentang susunan Organisasi

Semoga buku ini memberi manfaat yang besar bagi para mahasiswa, sejarawan dan pemerhati yang sedang mendalami sejarah bangsa Cina, terutama periode Klasik.. Konsep

Penelitian ini menguji pengaruh modal intelektual terhadap kinerja keuangan perusahaan. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah BUMN yang go public di Bursa Efek