• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

8 2.1 Kanker Serviks

Insidens kanker di Indoneisa masih belum dapat diketahui secara pasti, karena belum ada registrasi kanker berbasis populasi yang dilaksanakan (Depkes, 2010) Berdasarkan data Globocan 2002 sebagaimana dikutip oleh Depkes RI (2010), IARC didapatkan estimasi insidens kanker leher rahim sebesar 16 per 100.000 perempuan, dan diketahui dari Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) di Indonesia bahwa pada tahun 2007 kanker leher rahim berada pada urutan kedua setelah kanker payudara dimana terdapat pasien yang melakukan rawat jalan (11,78%) dan pasien rawat jalan (17,00%).

Pada tahun 2011, RSU Prof. Dr. Kandou Manado mencatat bahwa terdapat 112 kasus baru dari semua kasus kanker ginekologi, dimana 73,2% sudah dalam tahap stadium IIB-IVB (Soemardji et al. 2012). Departemen Kesehatan RI (2011) mengungkapkan bahwa dalam 5 tahun ini, penderita kanker serviks adalah wanita yang berusia 30-60 tahun, terbanyak antara 45-50 tahun. Periode laten dari fase prainvasif untuk menjadi invasif memakan waktu sekitar 10 tahun. Sebanyak 53% dari kanker in-situ terdapat pada wanita yang berusia <35 tahun.

Kanker serviks terjadi akibat adanya pertumbuhan sel yang tidak normal dan tidak terkendali di daerah serviks uterus atau leher rahim pada organ reporduksi wanita. Sebagian besar kanker serviks terjadi akibat adanya perkembangan sel yang tidak normal, namun sel-sel tersebut tidak langsung berubah menjadi kanker melainkan masuk ke tahap prakanker (American Cancer Society, 2014). Selanjutnya, jika lesi prakanker tidak diobati

(2)

maka dalam kurun waktu 3-17 tahun dapat berkembang menjadi kanker (Depkes RI, 2009)

Penyebab utama dari kanker serviks adalah infeksi HPV (Human Papillomavirus) yang berada di dalam tubuh manusia. Diketahui bahwa DNA HPV dapat ditemukan pada 99% kasus kanker serviks di seluruh dunia (Pradipta & Sungkar, 2007).

Dalam tahap prakanker sering kali tidak menampakkan gejala, namun pada saat lesi prakanker berkembang menjadi kanker terdapat beberapa tanda dan gejala seperti mengalami pendarahan diluar periode menstruasi, pendarahan selama atau setelah melakukan hubungan seksual, pendarahan setelah menopause, merasa tidak nyaman di daerah vagina, dan tidak nyaman atau terasa sakit ketika berhubungan seksual (Greer, 2013).

Setiap wanita berisiko terkena infeksi HPV, terlebih wanita yang sudah aktif melakukan hubungan seksual di usia <18 tahun, sering berganti-ganti pasangan seksual (Depkes RI, 2009). Selain dari adanya infeksi HPV terdapat beberapa faktor risiko penyebab kanker serviks, yaitu perilaku merokok, adanya infeksi HIV yang menyebabkan daya kekebalan tubuh menurun, adanya infeksi bakteri pada organ reproduksi, kurangnya konsumsi buah dan sayuran, obesitas, mengonsumsi pil KB dalam waktu yang panjang, dan mempunyai riwayat etiologi kanker di keluarga (American Cancer Society, 2014).

Kanker serviks merupakan salah satu kanker yang dapat dicegah. Adapun perilaku pencegahan kanker serviks adalah dengan tidak melakukan hubungan seksual yang memicu terjadinya infeksi HPV, menghindari faktor-faktor risiko penyebab kanker, melakukan skrining atau penapisan untuk mengetahui adanya infeksi HPV atau mengalami lesi prakanker, dan melakukan vaksinasi HPV (Depkes RI, 2009).

(3)

2.2 Vasksin HPV

Dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan, terciptalah sebuah penemuan baru yaitu vaksin HPV, yang merupakan vaksin ke dua yang dapat mencegah terjadinya kanker. American Cancer Society, 2014 mengungkapkan bahwa vaksin HPV dapat mencegah terjadinya infeksi HPV tipe 16 dan 18 yang merupakan 70% penyebab kanker serviks. Berdasarkan sebuah penelitian di Amerika menyebutkan bahwa vaksin HPV aman diberikan bagi perempuan yang berusia 9-25 tahun. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa tidak ada efek samping yang buruk yang ditimbulkan oleh vaksin (American Cancer Society, 2014).

Di Kanada, vaksin HPV telah digunakan sejak Juli 2006 sebagai upaya pencegahan primer terhadap kanker serviks, dan telah diwajibkan semua perempuan Kanada yang berusia 9-26 tahun untuk mendapatkan vaksin HPV (National Aboriginal

Health Organization, 2011). American Cancer Society (2014) merekomendasikan agar

vaksin HPV mulai diberikan pada anak perempuan yang berusia >9 tahun sampai 26 tahun. WHO (2009), merekomendasikan agar vaksin HPV diberikan pada remaja putri berusia dari 9-13 tahun yang belum pernah melakukan hubungan seksual. Sementara di Indonesia, vaksin HPV direkomendasikan bagi anak perempuan yang berusia >10 tahun (Depkes RI, 2013).

Vaksin HPV termasuk dalam salah satu jenis imunisasi pilihan yaitu imunisasi lain yang tidak termasuk dalam imunisasi wajib, namun penting diberikan pada bayi, anak, dan dewasa di Indonesia mengingat beban penyakit dari masing-masing penyakiit (Depkes RI, 2013). Dalam Permenkes No.42 tahun 2010 tentang penyelenggaraan imunisasi disebutkan bahwa vaksin HPV yang telah beredar di Indonesia dibuat dengan

(4)

teknologi rekombinan. Vaksin HPV berpotensi untuk mengurangi angka morbiditas dan mortalitas yang berhubungan dengan infeksi HPV. Terdapat dua jenis vaksin HPV, yaitu vaksin bivalen (tipe 16 dan18), dan vaksin quardrivalen (tipe 6, 11, 16,dan 18). Disebutkan pula bahwa vaksin HPV mempunyai efikasi 96-98% untuk mencegah kanker serviks yang disebabkan oleh HPV tipe 16 dan 18 (Depkes RI, 2013).

Food and Drugs Administration (2012), merekomendasikan agar pemberian

vaksin HPV dilakukan dalam 3 tahap. Dosis 0.5 ml diberikan secara intra muskular pada daerah deltoid. Vaksin HPV bivalen, jadwal 0,1 dan 6 bulan pada anak yang berusia >10 tahun, dan vaksin HPV quadrivalen jadwal 0,2 dan 6 bulan pada anak yang berusia >10 tahun (Depkes RI, 2013). Vaksin HPV hanya dapat mencegah infeksi HPV pada perempuan yang belum mengalami infeksi tersebut.

Sebuah penelitian mengatakan bahwa 99% partisipan mengalami perkembangan

antibody yang baik setelah pemberian vaksin yaitu pada perempuan berusia 9-15tahun

yang diberikan vaksin quardrivalen dan perempuan berusia 10-14 tahun yang diberikan vaksin bivalen (Hariri et al., 2011). Bentuk uji coba lainnya yang dilakukan oleh WHO pada tahun 2006 menunjukkan bahwa vaksin quardrivalen diberikan pada 20.000 wanita usia 16-26 tahun dan vaksin bivalen kepada 18.000 wanita menjunjukkan bahwa vaksin HPV dapat mencegah terjadinya infeksi HPV tipe 16/18 sebesar 92% dan 100% dapat mencegah terjadinya infeksi yang lebih parah (Cadman, 2012).

2.3 Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku

Pengetahuan atau knowledge adalah sebuah pemahaman terhadap sesuatu hal yang bersifat spontan tanpa mengetahui dasar dari pemahaman tersebut dimana pengetahuan

(5)

tersebut muncul karena adanya pengamatan untuk mengenali benda atau suatu kejadian yang belum pernah dilihat atau dirasakan sebelumnya (Suhartono, 2005 dalam Octavia, 2009). Sikap merupakan predisposisi yang dipelajari untuk merespon secara konsisten, baik positif maupun negatif terhadap suatu objek, namun belum berbentuk perilaku atau suatu tindakan (Ruslan, 2011). Menurut Watson sebagaimana dikutip oleh Budiman (2008) perilaku merupakan aktivitas seseorang yang dapat diamati, seperti berbicara, tertawa ataupun menangis.

Dalam sebuah penelitian di Turki, mengungkapkan bahwa terdapat pengaruh yang besar terhadap pengetahuan perempuan remaja di Turki dengan tingkat pendidikan dan kemampuan menggunakan media internet dalam mendapatkan informasi mengenai HPV dan vaksin HPV (Cetin et al., 2014). Dalam penelitian lainnya yang dilakukan oleh Samrotun et al. (2002) mengatakan bahwa terdapat hubungan antara pengetahuan wanita dewasa awal dengan sikap pencegahan kanker serviks. Pengetahuan dapat mendorong seseorang untuk berpikir yang melibatkan komponen emosi dan keyakinan, dimana selanjutnya sikap dapat memprediksi perilaku (Notoadmodjo, 2010)

Berdasarkan penelitian tentang sikap yang dilakukan oleh menyatakan bahwa sikap remaja perempuan terhadap vaksinasi HPV dipengaruhi oleh persepsi tentang vaksin HPV, pengetahuan individu mengenai kanker serviks dan vaksin HPV, serta ada/tidaknya dukungan dari keluarga atau orang terdekat (Rachmani et al., 2012). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Ruslan (2011), diketahui bahwa pengetahuan dapat mempengaruhi sikap yang selanjutnya berdampak pada perilaku seseorang.

Menurut Meliono sebagaimna dikutip oleh Octavia (2009), terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang yaitu: tingkat pendidikan, media

(6)

dalam memperoleh pengetahuan, dan paparan informasi. Menurut Yahaya (2006) sebagaimana dikutip oleh Ruslan (2011), sikap merupakan nilai kepercayaan yang mempengaruhi cara seseorang untuk bertindak atau meresponi sesuatu hal. Sikap dapat berupa sikap positif yaitu sikap terbuka dan cenderung ingin menerima sesuatu dan sikap negatif yaitu sikap yang tertutup dan cenderung ingin menolak sesuatu (Osman et al., 2007) Pernyataan yang sama juga disampaikan oleh (Notoadmodjo, 2010) sebagaimana dikutip dari Newcomb, bahwa fungsi sikap belum berupa tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi perilaku/tindakan.

Perilaku seseorang sangatlah kompleks dan mempunyai bentangan yang sangat luas, sehingga Benyamin Bloom membedakan menjadi 3 ranah perilaku yang dikembangkan lagi oleh Notoadmodjo (2010) yaitu: pengetahuan, sikap dan tindakan/praktik. Dengan demikian maka hubungan pengetahuan, sikap dan tindakan dapat dijelasakan melalui Gambar 1 (Notoadmodjo, 2010).

Dengan kata lain perilaku adalah wujud nyata dan implementasi yang dipengaruhi oleh pengetahuan dan sikap (Ruslan, 2011). Perilaku kesehatan adalah semua aktivitas atau kegiatan seseorang baik yang dapat diamati (observable) maupun yang tidak dapat diamati (unobservable) yang berkaitan dengan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan (Notoadmodjo, 2010).

(7)

Dari gambar di atas, diketahui bahwa proses stimulus (rangsangan) dapat mempengaruhi tindakan, sementara pengetahuan dan sikap merupakan reaksi tertutup yang juga akan mempengaruhi tindakan seseorang. Hal ini agak berbeda dengan teori yang dikemukakan oleh Skiner yang dikenal dengan teori S-O-R (stimulus-organisme-respons) bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar) yang kemudian rangsangan tersebut mempengaruhi seseorang (pengetahuan dan sikap) yang akan menentukan tindakan yang akan diambil orang tersebut (Notoadmodjo, 2010).

Beberapa teori lainnya yang telah dikembangkan oleh para ahli diantaranya adalah teori reason action (TRA). Teori ini dikembangkan oleh Fesbein dan Ajzen pada tahun 1980 dimana teori ini menekankan pentingnya peranan dari “intention” atau niat sebagai alasan atau faktor penentu perilaku. Niat ini ditentukan oleh sikap penilaian yang menyeluruh terhadap perilaku atau tindakan yang akan diambil, norma subjektif/kepercayaan terhadap pendapat orang lain apakah menyetujui atau tidak menyetujui tentang tindakan yang akan diambil tersebut, dan pengendalian perilaku yaitu

Stimulus Reaksi Tertutup (pengetahuan, sikap) Reaksi Terbuka (tindakan) Proses Stimulus

(8)

bagaimana persepsi terhadap konsekuensi atau akibat dari perilaku yang akan diambilnya (Notoadmodjo, 2010).

Selain itu, terdapat pula teori “Thoughs and feeling” yang dikemukakan oleh WHO (1984). Teori ini menganalisis empat alasan pokok yang menyebabkan seseorang berperilaku tertentu yaitu pengetahuan, kepercayaan, sikap, orang penting sebagai referensi dan sumber-sumber daya (Notoadmodjo, 2010). Teori ini juga menghubungkan pengetahuan, persepsi, sikap, kepercayaan-kepercayaan, dan penilaian seseorang terhadap objek dalam hal ini adalah objek kesehatan (Notoadmojdo, 2010).

Gambar

Gambar 2. 1 Hubungan Pengetahuan, Sikap dan Tindakan (Notoadmodjo, 2010)

Referensi

Dokumen terkait

Pada saat Peraturan Bupati ini mulai belaku, Peraturan Bupati Nomor 28 Tahun 2013 tentang Prosedur Tetap (Protap) Pelaksanaan Mekanisme Administarsi dan Koordinasi Serta

Namun, penggunaan laptop di kelas juga merupakan sumber gangguan efektivitas interaksi di kelas, karena pengguna laptop tidak sepenuh- nya dapat konsentrasi terlibat dalam

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang berjudul STRATEGI KOMUNIKASI KOMISI PENANGGULANGAN AIDS KABUPATEN BOYOLALI DALAM MELAKUKAN SOSIALISASI PENYAKIT

Selain itu, fumigasi di inkubator/setter sebaiknya tidak dilakukan pada hari ke-2 (24 jam) sampai hari ke-4 (96 jam) dari saat telur masuk ke mesin tetas. Untuk mendapatkan

Penelitian Pengelolaan Sungai Batanghari Kabupaten Dharmasraya Berdasarkan Daya Tampung Beban Pencemaran dengan Metode QUAL2Kw ini adalah menggunakan pendekatan

Penerapan metode Least Square Support Vector Regression (LS- SVR) sebagai controller nilai setting TCSC dan SVC untuk menjaga kestabilan tegangan saat kondisi sistem normal maupun

Berdasarkan latar belakang tersebut maka tujuan penelitian adalah mengetahui jenis, fungsi dan peran mekanisme sosial budaya atau kelembagaan spesifik yang ada pada masyarakat

Penurunan biaya yang justru lebih besar dibandingkan dengan peningkatan biaya disebabkan karena penelitian dilakukan setelah periode terjadinya krisis keuangan