• Tidak ada hasil yang ditemukan

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "5. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Identifikasi Sektor-Sektor Unggulan di Provinsi Sumatera Selatan

Struktur ekonomi suatu daerah sangat ditentukan oleh besarnya peranan sektor-sektor perekonomian dalam memproduksi barang dan jasa. Struktur yang terbentuk dari nilai tambah yang diciptakan oleh masing-masing sektor yang menggambarkan ketergantungan suatu daerah terhadap kemampuan berproduksi dari masing-masing sektor. Secara umum, sektor-sektor perekonomian tersebut dibagi menjadi 9 (sembilan) sektor, yaitu : (1) Pertanian; (2) Pertambangan dan Penggalian; (3) Industri Pengolahan; (4) Listrik, Gas dan Air Bersih; (5) Bangunan; (6) Perdagangan, Hotel dan Restoran; (7) Pengangkutan dan Telekomunikasi; (8) Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan; dan (9) Jasa lainnya.

Hasil perhitungan LQ berdasarkan aktivitas sektor perekonomian tahun 2007 masing-masing kabupaten/kota, memperlihatkan bahwa sebagian besar sektor-sektor perekonomian di Provinsi Sumatera Selatan dengan nilai LQ>1, antara lain sektor perdagangan (10 kabupaten), pertanian (9 kabupaten), bangunan (9 kabupaten) dan jasa (9 kabupaten). Secara umum, sektor pertanian; bangunan; perdagangan, hotel dan restoran; keuangan, persewaan dan jasa perusahaan; serta jasa lainnya mampu berkembang secara komparatif di Provinsi Sumatera Selatan sebagai sektor unggulan wilayah (Tabel 9).

Sektor pertanian dengan besaran nilai LQ>1 ternyata tidak diikuti oleh besaran nilai LQ di sektor industri pengolahan, kecuali pada Kabupaten Banyuasin dan Kota Palembang. Pada sektor pertambangan dan penggalian, nilai LQ>1 hanya dimiliki oleh Kabupaten Muara Enim, Musi Rawas, Musi Banyuasin dan Prabumulih. Nilai LQ>1 untuk sektor listrik dan air minum dari seluruh kabupaten/kota yang ada di Provinsi Sumatera Selatan hanya terdapat di Kota Palembang sedangkan Nilai LQ>1 pada sektor bangunan terdapat di beberapa kabupaten/kota, kecuali Kabupaten Ogan Komering Ulu, Muara Enim, Musi Rawas, Musi Banyuasin dan OKU Timur. Pada sektor perdagangan, nilai LQ>1 terdapat hampir di setiap kabupaten/kota, kecuali Kabupaten Muara Enim, Lahat, Musi Rawas dan Musi Banyuasin. Kota Palembang, Pagaralam dan Lubuk Linggau mempunyai nilai LQ>1 di sektor transportasi dan komunikasi sedangkan di sektor keuangan, nilai LQ>1 terdapat di beberapa kabupaten/kota,

(2)

seperti Kabupaten Lahat, OKU Selatan, Ogan Ilir dan Kota Palembang, Pagaralam serta Lubuk Linggau. Pada sektor jasa dengan nilai LQ>1 juga hampir terdapat di tiap kabupaten/kota, kecuali Kabupaten Ogan Komering Ilir, Banyuasin, Muara Enim, Musi Rawas dan Musi Banyuasin.

Tabel 9. Nilai LQ Aktivitas Perekonomian Per Sektor Tiap Kabupaten/kota, di Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2007.

SEKTOR KABUPATEN/KOTA

Tani Tbg Ind Ligas Bang Prdg Tran Keu Jasa OKI 2,42 0,06 0,50 0,11 1,84 1,23 0,28 0,67 0,98 Banyuasin 1,74 0,61 1,15 0,08 1,19 1,16 0,12 0,25 0,51 Palembang 0,04 - 2,26 2,92 1,09 1,50 2,97 1,82 1,55 OKU 1,58 0,88 0,57 0,40 0,93 1,11 0,40 0,99 1,10 Muara Enim 0,96 2,16 0,47 0,80 0,54 0,39 0,32 0,33 0,57 Lahat 1,75 0,86 0,48 0,26 1,12 0,79 0,47 1,15 1,22 Musi Rawas 1,91 1,44 0,47 0,16 0,52 0,31 0,09 0,43 0,79 Musi Banyuasin 0,70 2,44 0,45 0,05 0,53 0,48 0,06 0,32 0,37 OKU Selatan 1,73 0,07 0,59 0,23 1,85 1,73 0,24 1,21 1,47 OKU Timur 2,54 0,11 0,45 0,21 0,99 1,22 0,29 0,97 1,31 Ogan Ilir 1,64 0,22 0,65 0,29 1,92 1,54 0,36 1,11 1,28 Prabumulih 0,47 1,19 0,38 0,46 1,52 1,56 0,73 2,68 1,02 Pagaralam 1,98 0,06 0,07 0,35 1,63 1,57 1,02 1,67 1,80 Lubuk Linggau 0,34 0,05 0,44 0,94 3,10 1,78 1,64 3,58 2,28 Maks 2,54 2,44 2,26 2,92 3,10 1,78 2,97 3,58 2,28 Min 0,04 0,05 0,07 0,05 0,52 0,31 0,06 0,25 0,37 Rataan 1,42 0,83 0,69 0,62 1,39 1,16 0,73 1,30 1,18

Sumber : BPS Sumatera Selatan 2007 (diolah) Ket :

Kab. Empat Lawang masih tergabung dengan Kab. Lahat (Kab. Induk)

Tn Tbg Ind Ligas Bang : : : : : Pertanian

Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan

Listrik dan Gas Bangunan Prdg Tran Keu Jasa : : : :

Perdagangan, Hotel dan Restoran Transportasi dan Komunikasi

Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa.

Kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan yang memiliki sektor-sektor unggulan (nilai LQ>1) lebih dari 1 (satu) sektor dan berpeluang menjadi potensi daerah, secara umum dimiliki oleh tiap kabupaten/kota, kecuali Kabupaten Muara Enim dan Musi Banyuasin yang hanya memiliki 1 (satu) sektor unggulan, yakni sektor pertambangan dan penggalian. Semakin banyak jenis sektor unggulan (LQ>1), mengindikasikan suatu wilayah memiliki keberagaman aktivitas dan relatif mengindikasikan perkembangan wilayahnya tinggi, seperti Kota Palembang yakni 7 (tujuh) dari 9 (sembilan) sektor-sektor perekonomian (77,78%) dan Kota Pagaralam memiliki 6 (enam) dari 9 (sembilan) perekonomian (66,67%) sedangkan sisanya dimiliki oleh kabupaten/kota lainnya.

(3)

Lebih lanjut, aktivitas perekonomian yang mendekati nilai LQ=1; diharapkan berpeluang untuk menjadi potensi sektor unggulan pada wilayah masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan, sehingga peranan aktivitas sektor potensial tersebut nantinya dapat dikembangkan dan mampu meningkatkan keberagaman perekonomian yang relatif mengindikasikan majunya tingkat perkembangan suatu wilayah.

Secara rinci, dapat dijelaskan mengenai indikasi sektor unggulan atau beberapa sektor perekonomian yang berpotensi berpeluang sebagai sektor unggulan di tiap kabupaten/kota, yakni :

1. Sektor Pertanian; dapat dikembangkan di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Banyuasin, Muara Enim, Musi Banyuasin, Ogan Komering Ulu (OKU), Lahat, Musi Rawas, OKU Selatan, OKU Timur, Ogan Ilir dan Kota Pagaralam.

2. Sektor Pertambangan dan Penggalian; dapat dikembangkan di Kabupaten Muara Enim, Musi Rawas, Musi Banyuasin, Ogan Komering Ulu, Lahat dan Kota Prabumulih.

3. Sektor Industri Pengolahan; dapat dikembangkan di Kabupaten Banyuasin, Ogan Ilir dan Kota Palembang.

4. Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih; dapat dikembangkan di Kabupaten Muara Enim dan Kota Palembang , Lubuk Linggau.

5. Sektor Bangunan; dapat dikembangkan di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Banyuasin, Ogan Komering Ulu (OKU), Lahat, OKU Selatan, OKU Timur, Ogan Ilir dan Kota Prabumulih, Pagaralam serta Lubuk Linggau. 6. Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran; dapat dikembangkan di

Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Banyuasin, Ogan Komering Ulu (OKU), Lahat, OKU Selatan, OKU Timur, Ogan Ilir dan Kota Palembang, Prabumulih, Pagaralam serta Lubuk Linggau.

7. Sektor Transportasi dan Telekomunikasi; dapat dikembangkan di Kota Palembang, Pagaralam, Prabumulih dan Lubuk Linggau.

8. Sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan; dapat dikembangkan di Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Lahat, OKU Selatan, OKU Timur, Ogan Ilir dan Kota Palembang, Prabumulih, Pagaralam serta Lubuk Linggau.

9. Sektor Jasa Lainnya; dapat dikembangkan di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Ogan Komering Ulu (OKU), Lahat, Musi Rawas, OKU Selatan, OKU Timur, Ogan Ilir, dan Kota Palembang, Prabumulih, Pagaralam serta Lubuk Linggau.

Berdasarkan hasil analisis LQ masing-masing kabupaten/kota tersebut, dapat disimpulkan bahwa sektor pertanian, sektor bangunan yang merupakan

(4)

sektor sekunder serta sektor tersier lainnya (keuangan dan jasa) dapat diandalkan sebagai sektor perekonomian unggulan yang mampu bersaing secara komparatif di Provinsi Sumatera Selatan. Selain itu, laju pertumbuhan sektor-sektor tersebut selama kurun waktu 2003-2007, cenderung terus mengalami peningkatan dan berbanding terbalik dengan sektor pertambangan dan penggalian yang cenderung menurun (Tabel 7). Oleh karena itu, semenjak diberlakukannya otonomi daerah, pemerintah daerah perlu menetapkan prioritas pembangunan sektor perekonomian yang berdasarkan sektor-sektor unggulan di tiap kabupaten/kota akibat terbatasnya anggaran pembangunan. Hal tersebut sesuai dengan yang dinyatakan oleh Suripto (2003) mengenai perlunya penetapan prioritas pengembangan di suatu wilayah, yakni sektor unggulan.

Sektor pertanian yang merupakan sektor unggulan dan menjadi aktivitas perekonomian primer di Provinsi Sumatera Selatan, tidak diimbangi oleh aktivitas sektor perekonomian lainnya, terutama industri pengolahan. Hal ini relatif mengindikasikan bahwa sebagian besar hasil-hasil pertanian di suatu wilayah cenderung langsung dijual ke wilayah lain tanpa diolah terlebih dahulu sehingga tidak menghasilkan nilai tambah. Hal ini diakibatkan sektor pertanian cenderung menjadi aktivitas perekonomian yang kurang memiliki nilai tambah terhadap pendapatan wilayah sehingga kurang mendapat perhatian oleh pemerintah daerah yang lebih mengutamakan sektor yang dianggap lebih mampu meningkatkan pendapatan per kapita, terutama migas. Selain itu, semakin banyak jumlah aktivitas sektor perekonomian yang berkembang, relatif mengindikasikan meningkatnya aktivitas perekonomian yang potensial sehingga dapat dikembangkan menjadi sektor unggulan di tiap kabupaten/kota.

Oleh karena itu, sektor pertanian hendaknya dapat dijadikan salah satu aspek daya saing suatu daerah yang diharapkan mampu meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakatnya. Hal tersebut tercantum pada Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, pasal 45 ayat (1).

5.2 Tingkat Perkembangan Wilayah di Provinsi Sumatera Selatan

Untuk mengetahui perkembangan suatu wilayah, diperlukan suatu analisa mengenai pencapaian pembangunan melalui indikator-indikator kinerja bidang ekonomi, sosial dan bidang lain yang mempunyai keterkaitan. Pengembangan wilayah bertujuan untuk memacu perkembangan ekonomi dan sosial serta berperan dalam mengurangi ketimpangan pembangunan antar wilayah.

(5)

Dalam penelitian ini, sebagai pendekatan untuk melihat tingkat perkembangan wilayah di Provinsi Sumatera Selatan digunakan metode analisis entropi terhadap sektor perekonomian (aspek pendapatan wilayah) dan analisis multivariat yang terdiri dari analisis klaster dan diskriminan terhadap PDRB per kapita tiap sektor (aspek pendapatan wilayah), penggunaan lahan dan fasilitas (aspek fisik wilayah) dan jumlah tenaga kerja (aspek sosial).

5.2.1 Perkembangan Diversivikasi Aktifitas Perekonomian

Tingkat perkembangan wilayah dengan aspek ekonomi berdasarkan hasil indeks entropi pada tahun 2003 hingga 2007 menunjukkan bahwa baik pada tingkat kabupaten/kota maupun pada tingkat provinsi memiliki nilai yang relatif tetap. Kondisi ini mengindikasikan bahwa selama kurun waktu tersebut proporsi keragaman sektor-sektor perekonomian tiap kabupaten/kota relatif stabil sehingga komposisi perkembangan sektor-sektor perekonomian di Provinsi Sumatera Selatan cenderung kurang mengalami banyak perkembangan. Pada tahun 2003, hasil analisis entropi total dari data aktifitas tiap sektor perekonomian di wilayah Provinsi Sumatera Selatan menunjukkan bahwa nilai entropi sebesar 3,58. Nilai entropi tersebut belum mencapai nilai entropi maksimum, karena dengan 9 (sembilan) komponen dari sektor-sektor perekonomian yang ada, seharusnya dapat dicapai nilai entropi maksimum sebesar 4,59. Namun demikian, nilai tersebut relatif mendekati nilai entropi maksimum sehingga dapat dinyatakan bahwa tingkat penyebaran aktifitas di seluruh wilayah Provinsi Sumatera Selatan relatif merata dan aktifitas sektor-sektor perekonomian yang relatif seragam. Hal yang sama juga terjadi pada tahun 2005 dan 2007.

Pada tahun 2003, Tabel 10 menyajikan sebaran intensitas aktifitas tiap sektor perekonomian paling merata (peluang perkembangan seluruh aktifitas), secara proporsi terhadap perkembangan wilayah Sumatera Selatan adalah berturut-turut terdapat di Kota Palembang (0,76) atau sekitar 21,21 persen; Untuk Kabupaten Musi Banyuasin (0,55) atau sekitar 15,45 persen. Apabila dilihat berdasarkan nilai rataan dan standar deviasi indeks entropinya maka kedua wilayah tersebut dapat diklasifikasikan sebagai wilayah yang memiliki tingkat perkembangan yang tinggi; sedangkan untuk Kabupaten Muara Enim (0,44) atau sekitar 12,39 persen; dan Kabupaten Ogan Komering Ulu (0,41) atau sekitar 11,44 persen; dan tingkat perkembangan kedua wilayah tersebut dikategorikan sedang. Adapun wilayah kabupaten/kota lain sisanya hanya memiliki kontribusi di bawah 10 persen (tingkat perkembangannya rendah).

(6)

Selanjutnya, di tahun 2005, sebaran terbesar intensitas aktivitas tersebut masih terdapat di Kota Palembang (0,78) dan Kabupaten Musi Banyuasin (0,55) dengan masing-masing kontribusinya yang sedikit menurun 20,92 %; 14,73%; dan 11,81% yang diakibatkan pemekaran wilayah di Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Ogan Komering Ulu. Lebih lanjut, tingkat perkembangan Kota Palembang dan Kabupaten Musi Banyuasin tetap dikategorikan tinggi, sedangkan untuk Kabupaten Ogan Komering Ulu intensitas aktivitasnya menurun akibat pemekaran wilayah yang terjadi, sehingga tingkat perkembangan wilayahnya menjadi ikut menurun, dari sedang menjadi rendah. Pada tahun 2007, kondisi tersebut tidak mengalami perubahan sehingga dapat dikatakan tingkat perkembangan wilayah di Provinsi Sumatera Selatan bersifat stabil dan kabupaten/kota dengan aktivitas perekonomian yang beragam atau aktivitas sektor yang konsentrasi memiliki tingkat perkembangan wilayah yang berkisar sedang-tinggi apabila dilihat berdasarkan nilai entropi total masing-masing kabupaten/kota, antara 0,41 sampai dengan 0,76.

Tabel 10. Perkembangan Indeks Entropi (PDRB sektoral) Tiap Kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2003, 2005 dan 2007.

PERKEMBANGAN WILAYAH

2003 2005 2007

ENTROPI INDEKS ENTROPI INDEKS ENTROPI INDEKS KABUPATEN/KOTA

TOTAL ENTROPI TOTAL ENTROPI TOTAL ENTROPI

OKI 0,32 0,07 0,23 0,05 0,23 0,05 Banyuasin 0,30 0,07 0,31 0,06 0,31 0,06 Palembang 0,76 0,17 0,78 0,16 0,81 0,17 OKU 0,41 0,09 0,22 0,05 0,23 0,05 Muara Enim 0,44 0,10 0,44 0,09 0,45 0,09 Lahat 0,26 0,06 0,26 0,05 0,26 0,05 Musi Rawas 0,24 0,05 0,24 0,05 0,25 0,05 Musi Banyuasin 0,55 0,12 0,55 0,11 0,55 0,11 OKU Selatan - - 0,11 0,02 0,11 0,02 OKU Timur - - 0,17 0,03 0,17 0,04 Ogan Ilir - - 0,15 0,03 0,14 0,03 Prabumulih 0,13 0,03 0,12 0,03 0,12 0,03 Pagaralam 0,06 0,01 0,06 0,01 0,06 0,01 Lubuk Linggau 0,10 0,02 0,10 0,02 0,10 0,02 Maks 0,76 0,16 0,78 0,16 0,81 0,17 Min 0,06 0,01 0,06 0,01 0,06 0,01 Rataan 0,34 0,07 0,29 0,06 0,29 0,06 Std. Dev 0,21 0,04 0,20 0,04 0,21 0,04

Sumber : Hasil analisis

Adapun wilayah dengan intensitas aktifitas paling tidak merata (adanya kecenderungan spefisikasi) di Provinsi Sumatera Selatan dimiliki oleh Kota

(7)

Pagaralam (0,06), Lubuk Linggau (0,09) dan Prabumulih (0,12) di tahun 2003; sedangkan pada tahun 2005, kondisi tersebut sedikit mengalami perubahan akibat terjadinya pemekaran wilayah, yaitu Kota Pagaralam (0,06), Lubuk Linggau (0,10) dan Kabupaten OKU Selatan (0,12). Selanjutnya, pada tahun 2007 kondisi tersebut juga tidak mengalami perubahan (Tabel 10).

Apabila ditinjau dari jumlah aktivitasnya, nilai entropi tertinggi secara berturut-turut terjadi pada aktifitas di sektor pertambangan dan penggalian (0,78), pertanian (0,71) dan industri pengolahan (0,56), sebaliknya aktifitas yang relatif ada kecenderungan untuk terjadinya pemusatan lokasi adalah aktifitas sektor listrik, gas dan air bersih (0,03) di tahun 2003.

Selanjutnya pada tahun 2005, wilayah dengan intensitas merata secara berturut-turut terjadi perubahan urutan, yakni terjadi pada aktifitas sektor pertanian (0,78), pertambangan dan penggalian (0,77) dan industri pengolahan (0,57) sedangkan aktifitas yang relatif ada kecenderungan untuk terjadinya pemusatan lokasi dan tidak mengalami perubahan, yakni aktifitas sektor listrik, gas dan air bersih (0,03). Pada tahun 2007, kondisi dengan intensitas merata di seluruh Provinsi Sumatera Selatan tetap dan tidak mengalami perubahan namun aktifitas yang relatif ada kecenderungan untuk terjadinya pemusatan lokasi menjadi bertambah, antara lain terjadi pada sektor transportasi dan keuangan (0,18) serta keuangan, jasa pemerintah dan persewaan sebesar 0,19; seperti yang disajikan pada Lampiran 4.

Hasil analisis LQ dan entropi menunjukkan bahwa tingkat perkembangan wilayah berdasarkan pendapatan wilayah mencerminkan diversitas dari sektor-sektor perekonomian di Provinsi Sumatera Selatan dan apabila dikaitkan dengan banyaknya jumlah sektor unggulan di tiap kabupaten/kota akan mengindikasikan bahwa semakin banyaknya sektor unggulan, tingkat perkembangan wilayah menjadi lebih tinggi, seperti yang dimiliki oleh Kota Palembang. Sedangkan nilai entropi total dari sektor-sektor unggulan tertentu, seperti yang dimiliki oleh Kabupaten Muara Enim dan Musi Banyuasin relatif mengindikasikan pertumbuhan ekonomi wilayahnya meningkat sehingga dapat dikategorikan sebagai wilayah dengan tingkat perkembangan wilayah yang tinggi atau sedang.

Pemekaran wilayah Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) menjadi Kabupaten OKU Timur dan OKU Selatan pada Tahun 2004, tidak menyebabkan aktivitas perekonomian tersebar di kedua wilayah pemekaran bahkan di kabupaten induk, sehingga tidak mampu meningkatkan tingkat pertumbuhan

(8)

ekonomi yang berkorelasi terhadap tingkat perkembangan wilayahnya yang juga ikut menurun.

Oleh karena itu, sektor pertanian sebagai prime mover perekonomian di Provinsi Sumatera Selatan memiliki kecenderungan keterkaitan hubungan yang relatif lebih kecil dengan sektor produksi atau ekonomi lainnya walaupun memberikan kontribusi yang dominan. Sektor industri dan sektor jasa diharapkan memiliki peran yang penting dalam memberikan multiplier effect terhadap kinerja perekonomian sehingga untuk meningkatkan efektivitas dan efiensi, pemerintah daerah perlu memperhatikan sektor unggulan wilayah dalam menentukan arah kebijakannya yang bertujuan untuk memberikan dampak yang optimal terhadap perekonomian Provinsi Sumatera Selatan secara keseluruhan. Pemerintah hendaknya perlu mengembangkan sektor pertanian ke arah industri yang cenderung memacu sektor pertanian untuk bekerja lebih optimal, selain tingkat penyerapan tenaga kerja akan meningkat signifikan baik dari sektor pertanian maupun industri. Dalam jangka panjang, dengan meningkatnya ketersediaan lapangan kerja maka tingkat kesejahteraan masyarakat ke depan akan cenderung lebih baik.

5.2.2 Hirarki Wilayah

Gambaran karakteristik perkembangan suatu wilayah berdasarkan tingkat hirarki yang diperoleh dari jumlah fasilitas pelayanan di Provinsi Sumatera Selatan dengan menggunakan analisis skalogram melalui tersedianya kapasitas pelayanan umum, seperti sarana dan prasarana bidang pendidikan, kesehatan, perekonomian di masing-masing kabupaten/kota sehingga dapat diidentifikasi wilayah yang berfungsi sebagai pusat/inti dan wilayah hinterland-nya.

Tingkat perkembangan suatu wilayah berdasarkan analisis skalogram dicerminkan oleh nilai indeks perkembangan wilayah (IPW) masing-masing kabupaten/kota sehingga semakin tinggi nilai IPW maka wilayah tersebut semakin berkembang dengan fasilitas pelayanan umum yang memadai.

Hasil analisis skalogram dengan menggunakan data PODES pada tahun 2006, diperoleh nilai IPW berkisar antara 25,28 (Kabupaten OKU Selatan) sampai dengan 100,97 (Kota Palembang) sehingga hirarki wilayah menurut ketersediaan fasilitas pelayanan umum tersebut dapat di definisikan sebagai berikut :

1. Wilayah yang termasuk pada hirarki I merupakan wilayah dengan tingkat perkembangannya yang lebih tinggi/maju dibandingkan kabupaten/kota

(9)

lainnya dengan tingkat ketersediaan sarana dan prasarana serta fasilitas pelayanan umum yang memadai, terutama di bidang pendidikan menengah (SLTP dan SMU); bidang kesehatan (RS, RS Bersalin, tempat praktek dokter dan apotik); bidang perekonomian/perdagangan (hotel, restoran, lembaga keuangan dan mal); dan aksesibilitas terhadap informasi/telekomunikasi (warnet dan warpostel). Hal ini jelas menunjukkan bahwa struktur pusat pelayanan yang terkonsentrasi di pusat pertumbuhan, yakni Kota Palembang. Oleh karena itu, kegiatan pembangunan menjadi tidak merata dan mengakibatkan adanya indikasi terhadap ketimpangan antar wilayah di Provinsi Sumatera Selatan. Selain itu, berdasarkan nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebesar 74,3 pada tahun tersebut mengindikasikan bahwa pelayanan fasilitas pendidikan dan kesehatan yang relatif lengkap. Kota Palembang merupakan satu-satunya dari 14 kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan yang memiliki rata-rata lama sekolah sudah lebih dari 9,9 tahun (BAPPENAS dan UNSRI 2008), sehingga nilai IPM-nya dikategorikan paling tinggi bila dibandingkan dengan wilayah lainnya (Gambar 6).

2. Pada hirarki II, ditempati oleh kabupaten/kota dengan tingkat

perkembangan wilayah yang sedang, yakni berkisar antara 48,50 sampai dengan 61,31. Kota Pagaralam (61,31); Kabupaten Ogan Komering Ulu (54,01); Kota Lubuk Linggau (53,10); Kabupaten OKU Timur (50,56) dan Kabupaten Musi Rawas (48,50) memiliki ketersediaan sarana dan prasarana serta jumlah fasilitas pelayanan umum relatif lebih rendah dibandingkan Kota Palembang. Hal ini juga ditunjukkan dengan variasi nilai IPM yang dikategorikan sedang, yakni berkisar antara 68,6 sampai dengan 71,5 di tahun 2006 (Gambar 6).

3. Wilayah yang termasuk pada hirarki III merupakan kabupaten/kota sisanya

di Provinsi Sumatera Selatan yang memiliki tingkat perkembangan wilayah yang rendah dengan variasi IPW antara 25,28 (OKU Selatan) sampai dengan 47,24 (Kota Prabumulih). Hal ini mengindikasikan ketersediaan sarana dan prasarana yang relatif rendah/kurang berkembang apabila dibandingkan dengan hirarki I, sehingga wilayah ini cenderung dikategorikan sebagai wilayah yang masih mengandalkan pada sektor pertanian atau cenderung lebih memperhatikan sektor yang terkonsentrasi, terutama pertambangan dan penggalian dengan migas, seperti yang

(10)

60,00 62,00 64,00 66,00 68,00 70,00 72,00 74,00 TAHUN IP M Palembang 73,60 74,30 74,30 Prabumulih 71,10 71,70 71,70 Pagar Alam 69,90 71,10 71,10

Ogan Komering Ulu 69,90 70,90 70,90

OKU Selatan 68,80 70,00 70,00

Ogan Komering Ilir 68,80 69,00 69,00

Muara Enim 68,70 69,10 69,10 Musi Banyuasin 68,70 69,00 69,00 Lahat 67,60 68,40 68,40 Banyuasin 67,20 68,10 68,10 Lubuk Linggau 66,30 68,00 68,00 Ogan Ilir 66,00 67,20 67,20 OKU Timur 65,40 67,50 67,50 Musi Rawas 65,00 65,60 65,60 Sumatera Selatan 68,36 69,28 69,28 2005 2006 2007

dialami oleh Kabupaten Musi Banyuasin, Muara Enim dan Kota Prabumulih sehingga kegiatan pembangunan sarana dan prasarana pelayanan umum masih menjadi kendala.

Gambar 6. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Tiap Kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2005-2007.

Indikator pembangunan manusia merupakan salah satu alat ukur yang dapat digunakan untuk menilai kualitas pembangunan manusia. Aktivitas pembangunan perekonomian daerah diharapkan berdampak pada kondisi fisik masyarakat yang tercermin dalam angka harapan hidup dan kemampuan daya beli, sedangkan dampak non-fisik dapat dilihat dari kualitas pendidikan masyarakat. Indeks pembangunan manusia merupakan indikator strategis yang banyak digunakan untuk melihat upaya dan kinerja program pembangunan

(11)

secara menyeluruh di suatu wilayah. Oleh karena itu, IPM dapat dianggap sebagai gambaran dari hasil program pembangunan yang telah dilakukan beberapa tahun sebelumnya sekaligus merupakan ukuran untuk melihat dampak kinerja pembangunan wilayah yang mempunyai dimensi yang sangat luas, karena memperlihatkan kualitas penduduk suatu wilayah dalam hal harapan hidup, intelelektualitas dan standar hidup layak.

Sebaran hirarki wilayah di Provinsi Sumatera Selatan secara spasial disajikan oleh Gambar 7 dan dapat disimpulkan bahwa telah terjadi ketimpangan infrastruktur wilayah akibat terpusatnya pembangunan sarana dan prasarana serta pelayanan umum di Kota Palembang, sebagai wilayah inti terhadap kabupaten/kota lain.

Gambar 7. Peta Hirarki Wilayah Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2006.

Oleh karena itu, pemerintah daerah hendaknya lebih menggiatkan pembangunan prasarana dasar, seperti sekolah, fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas perekonomian terutama memperbanyak dan memperbaiki pembangunan jumlah fasilitas pendidikan dasar menengah dalam rangka wajib belajar 9 tahun, jumlah rumah sakit daerah dan jumlah lembaga keuangan serta perdagangan (bank cabang pembantu dan mal) di kabupaten/kota yang selama ini masih kurang. Secara umum, pembangunan pusat-pusat perbelanjaan (mal)

(12)

dan lembaga keuangan (bank) bertujuan agar peredaran uang di suatu wilayah diharapkan lebih lama perputarannya atau berfungsi sebagai tabungan yang diharapkan dapat memicu dan memacu investasi domestik sehingga penyerapan sumberdaya oleh Kota Palembang sebagai wilayah pusat pembangunan dan perekonomian selama ini, tidak terus terjadi.

5.2.3 Tipologi Wilayah

Analisis klaster dalam penentuan tipologi wilayah tiap kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan bertujuan untuk mengelompokkan wilayah-wilayah tersebut ke dalam beberapa kelompok tertentu yang memiliki kemiripan aktivitas perekonomian, fasilitas pelayanan dan penggunaan lahan serta jumlah tenaga kerja sektoral; sehingga dapat mewakili kondisi perkembangan wilayah masing-masing kabupaten/kota. Dasar pengelompokan yang digunakan dalam analisis klaster adalah kemiripan atau jarak ketidakmiripan antara kabupaten yang satu dengan yang lain dalam beberapa variabel.

Berdasarkan hasil analisis tree clustering dengan Kota Palembang, dari data Potensi Desa tahun 2006, data PDRB per kapita tahun 2006 dan tenaga kerja sektoral tahun 2006 menghasilkan sebanyak 4 tipe klaster dari 27 variabel tersebut yang disajikan oleh Gambar 8, dimana Kota Palembang sebagai klaster tersendiri. Lebih lanjut, berdasarkan hasil analisis K-mean clustering yang bertujuan untuk mengelompokkan variabel penciri tiap klaster dan dilakukan klasifikasi terhadap nilai mean masing-masing variabel tersebut menjadi 3 (tiga) kelas (Lampiran 7), sehingga tiap klaster dapat didefinisikan sebagai berikut :

1. Klaster Pertama yang hanya ditempati oleh Kota Palembang, dicirikan

dengan nilai mean terhadap jumlah kepadatan penduduk dan jumlah fasilitas lembaga keuangan yang dikategorikan tinggi sehingga mengindikasikan aktivitas pelayanan perekonomian yang lebih baik bila dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya. Selain itu, nilai mean yang tinggi pada PDRB per kapita sektor sekunder dan tersier ternyata diikuti juga oleh jumlah tenaga kerja di sektor tersebut. Selanjutnya klaster pertama ini juga dapat dikategorikan sebagai kawasan metropolitan dengan jumlah penduduk lebih dari 1 juta jiwa seperti yang dijelaskan dalam UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang (pasal 1 angka 26). Selain itu, dengan ditetapkannya Kota Palembang sebagai pusat pertumbuhan yang telah dilaksanakan semenjak era REPELITA sekaligus sebagai ibukota Provinsi Sumatera Selatan. Hal ini sesuai dengan

(13)

penerapan konsep pusat pertumbuhan di Indonesia yang telah ditetapkannya selama ini dalam REPELITA II - REPELITA IV untuk wilayah Pembangunan Utama B yang meliputi Provinsi Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu dan Lampung dengan penetapan pusat pertumbuhan di Kota Palembang (Sjafrizal 2008), sehingga cenderung pusat pembangunan terus-menerus dilakukan dan mengakibatkan terjadinya ketimpangan pembangunan. Hal tersebut juga dapat dijelaskan dengan tingginya nilai mean untuk luas lahan non pertanian (kawasan terbangun).

2. Pada klaster kedua yang ditempati Kabupaten Ogan Komering Ilir,

Banyuasin, OKU Timur dan Ogan Ilir, dicirikan oleh variabel dengan kategori nilai mean yang tinggi pada jumlah keluarga pertanian dan tenaga kerja pertanian. Selain itu, jumlah fasilitas industri yang diikuti oleh rasio jumlah tenaga kerja sekunder dan tersier serta luas lahan sawah mengindikasikan bahwa sumberdaya manusia sektor pertanian relatif masih tersedia walaupun nilai mean untuk PDRB per kapita sektor pertanian dikategorikan sedang. Hal ini diduga karena peranan sektor pertanian belum dioptimalkan oleh pemerintah daerah sebagai sektor unggulan. Oleh karena itu, klaster ini diharapkan dapat dikategorikan sebagai kawasan industri berbasis pertanian yang diikuti dengan tenaga kerja di sektor industri, bangunan dan perdagangan serta jasa lainnya karena memiliki nilai mean yang tinggi. Namun apabila dilihat dari nilai aktivitas perekonomian sektor industri pengolahan, hanya Kabupaten Banyuasin yang memiliki nilai LQ>1, yang mengindikasikan bahwa peranan sektor industri cenderung tidak seragam dan hanya terkonsentrasi pada wilayah tertentu.

3. Klaster Ketiga yang ditempati oleh Kabupaten Ogan Komering Ulu, Muara

Enim, Lahat, Musi Banyuasin dan OKU Selatan yang dicirikan dengan nilai

mean yang tinggi untuk jumlah tenaga kesehatan, luas lahan non sawah

dan diikuti oleh jumlah tenaga kerja sektor pertanian yang disertai tingginya nilai mean untuk PDRB per kapita untuk sektor pertanian, pertambangan dan penggalian. Pada klaster ini dapat dikategorikan sebagai kawasan pertanian atau pertambangan dan penggalian

4. Kota Pagaralam, Prabumulih dan Lubuk Linggau yang berada pada klaster

keempat dicirkan dengan tingginya nilai mean untuk jumlah keluarga yang berlangganan PLN, jumlah keluarga yang menggunakan telepon, jumlah

(14)

Tree Diagram for 14 Cases 0 20 40 60 80 100 120 (Dlink/Dmax)*100 PAGARALAM LUBUK LINGGAU PRABUMULIH PALEMBANG OGAN ILIR BANYUASIN OKU TIMUR OGAN KOMERING ILIR MUSI BANYUASIN OKU SELATAN MUARA ENIM MUSI RAWAS LAHAT OGAN KOMERING ULU

fasilitas informasi/komunikasi, jumlah fasilitas penjualan obat (apotik), dan jumlah fasilitas penginapan (hotel); sehingga klaster ini dapat dikategorikan sebagai kawasan perkotaan dibandingkan dengan wilayah lain.

Gambar 8. Hasil Analisis Klaster (tree clustering) dengan Kota Palembang.

(15)

Analisis diskriminan tidak dapat dilakukan apabila terdapat klaster yang hanya terdiri dari 1 (satu) wilayah karena memiliki jarak ketidaksamaan atau kesamaan yang berbeda dengan wilayah lainnya, dengan kata lain jaraknya bernilai nol. Selanjutnya secara spasial, tipologi wilayah di Provinsi Sumatera Selatan yang disajikan pada Gambar 9.

Apabila analisis klaster dilakukan tanpa mengikutsertakan Kota Palembang (Gambar 10), maka tipologi wilayah Provinsi Sumatera Selatan menghasilkan 3 (tiga) tiper klaster, yang terdiri dari :

(1) Klaster Pertama, yang ditempati oleh Kota Pagaralam, Prabumulih dan Lubuk Linggau dengan kepadatan penduduk, jumlah keluarga yang berlangganan PLN, jumlah keluarga yang menggunakan telepon, jumlah fasilitas informasi/komunikasi, jumlah fasilitas penjualan obat (apotik), jumlah fasilitas penginapan (hotel) dan jumlah fasilitas lembaga keuangan dengan nilai mean-nya dikategorikan tinggi, yang mencirikan sebagai kawasan perkotaan. Hal ini diikuti dengan rendahnya kategori nilai mean untuk jumlah keluarga pertanian dan PDRB tersier serta kawasan terbangun (luas lahan non pertanian) yang memiliki nilai mean yang dikategorikan tinggi;

(2) Klaster Kedua yang ditempati oleh Kabupaten Ogan Komering Ilir, Banyuasin, OKU Timur dan Ogan Ilir, dicirikan dengan variabel yang memiliki industri dengan kisaran kategori nilai mean sedang-tinggi; namun jumlah keluarga pertanian dan PDRB pertanian dengan nilai mean yang rendah. Selain itu, diikuti juga dengan luas lahan sawah dan jumlah tenaga kerja (sekunder dan tersier) yang dikategorikan tinggi. Oleh karena itu, klaster kedua diharapkan dapat dikategorikan sebagai kawasan industri berbasis pertanian yang diikuti dengan tenaga kerja di sektor industri, bangunan dan perdagangan serta jasa lainnya karena memiliki nilai mean yang tinggi. Namun apabila dilihat dari nilai aktivitas perekonomian sektor industri pengolahan, hanya Kabupaten Banyuasin yang memiliki nilai LQ>1. Hal ini mengindikasikan bahwa peranan sektor industri cenderung tidak seragam dan hanya terkonsentrasi pada wilayah tertentu;

(3) Klaster Ketiga yang ditempati oleh Kabupaten Ogan Komering Ulu, Muara Enim, Lahat, Musi Banyuasin, Musi Rawas dan OKU Selatan yang dicirikan dengan tingginya nilai mean untuk rasio jumlah tenaga kesehatan, luas lahan non sawah yang diikuti dengan jumlah tenaga kerja sektor

(16)

Tree Diagram for 13 Cases 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 (Dlink/Dmax)*100 PAGARALAM LUBUK LINGGAU PRABUMULIH OGAN ILIR BANYUASIN OKU TIMUR OGAN KOMERING ILIR MUSI BANYUASIN OKU SELATAN MUARA ENIM MUSI RAWAS LAHAT OGAN KOMERING ULU

pertanian dan keluarga pertanian, selain PDRB untuk sektor pertanian, pertambangan dan penggalian. Pada klaster ini dapat dikategorikan sebagai kawasan pertanian atau pertambangan dan penggalian.

Gambar 10. Hasil Analisis Klaster (tree clustering) Tanpa Kota Palembang.

Selanjutnya berdasarkan hasil analisis diskriminan diperoleh

pengelompokan tipologi wilayah di Provinsi Sumatera Selatan dipengaruhi secara nyata oleh variabel-variabel fasilitas, yakni jumlah keluarga yang berlangganan telepon dan jumlah fasilitas lembaga keuangan serta jumlah lahan sawah (Tabel 11). Selain itu, hasil analisis diskriminan menghasilkan ketepatan dalam pengelompokan wilayah di Provinsi Sumatera Selatan. Selanjutnya, pengelompokkan wilayah berdasarkan analisis klaster disajikan secara spasial di Gambar 11.

Tabel 11. Variabel yang Mempengaruhi Tipologi Wilayah Berdasarkan Analisis Diskriminan di Provinsi Sumatera Selatan.

Discriminant Function Analysis Summary (3 KLASTER) Step 3, N of vars in model: 3; Grouping: CLUSTER (3 grps) Wilks' Lambda: ,01019 approx. F (6,16)=23,746 p< ,0000

N=13 Lambda Wilks' Lambda Partial F-remove (2,8) p-level Toler. (R-Sqr.) 1-Toler. LhnSWH 0,110969 0,091856 39,54625 0,000071 0,593563 0,406437 TELP 0,036147 0,281993 10,18475 0,006323 0,595999 0,404001 FasLbKEU 0,023734 0,429480 5,31360 0,034023 0,829269 0,170731

(17)

Gambar 11. Peta Tipologi Provinsi Sumatera Selatan Tanpa Kota Palembang. Secara hirarki menurut batas administratif, Anwar (2005) menjelaskan bahwa hubungan fungsional antara tingkat (orde) wilayah yang mempunyai pusat ibukota provinsi yang merupakan orde pertama dengan ibukota kabupaten sebagai wilayah orde dua, ibukota kecamatan sebagai wilayah orde tiga dan desa sebagai wilayah orde empat. Kemudian apabila hirarki itu dibagi dua, maka sering pula pembagiannya menurut hubungan fungsional antara wilayah perkotaan (orde kesatu dan kedua) dengan wilayah belakangnya, yaitu perdesaan (orde ketiga dan keempat).

Akan tetapi, pembangunan kota-kota yang hirarkis di Provinsi Sumatera Selatan, belum sepenuhnya terwujud sehingga belum dapat memberikan pelayanan yang efektif dan optimal bagi wilayah pengaruhnya. Keterkaitan antar kota-kota dan antar kota-desa yang berlangsung saat ini tidak semuanya saling mendukung dan sinergis. Masih banyak diantaranya yang berdiri sendiri atau bahkan saling merugikan.

Dominasi Kota Palembang sebagai ibukota Provinsi Sumatera Selatan dan sebagai wilayah pusat pembangunan memiliki pengaruh yang besar terhadap ketimpangan pembangunan di kabupaten/kota lain, terutama pada ketersediaan fasilitas pelayanan umum, seperti sarana pendidikan, kesehatan dan fasilitas perekonomian.

(18)

0,0000 0,1000 0,2000 0,3000 0,4000 0,5000 0,6000 0,7000 0,8000 Tahun In de ks W ill ia m so n SUMSEL (migas) 0,6263 0,6799 0,6660 0,6499 0,6344 SUMSEL (non migas) 0,3312 0,3795 0,3941 0,4036 0,4133

2003 2004 2005 2006 2007

5.3 Disparitas Pembangunan Antar Wilayah di Provinsi Sumatera Selatan

Untuk menganalisa tingkat disparitas pembangunan yang terjadi antar wilayah di Provinsi Sumatera Selatan, penelitian ini menggunakan metode indeks Williamson dan dilanjutkan dengan menggunakan metode analisis indeks Theil yang bertujuan untuk mendekomposisi disparitas antar wilayah kabupaten/kota, seperti yang pernah dilakukan oleh Fujita dan Hu (2001).

5.3.1 Hasil Analisis Indeks Williamson dan Indeks Theil

Hasil analisis indeks Williamson dengan menggunakan data PDRB per kapita Tahun 2003-2007, atas dasar harga konstan (ADHK) 2000 dengan membandingkan peranan sektor migas terhadap tingkat disparitas di Provinsi Sumatera Selatan, menunjukkan bahwa tingkat disparitas antar wilayah selama kurun waktu tersebut tergolong tinggi apabila bergantung kepada PDRB sektor migas. Sebaliknya, aktivitas perekonomian wilayah yang tidak menggunakan peranan sektor migas relatif menurunkan (lebih rendah) tingkat disparitas di Provinsi Sumatera Selatan.

Gambar 12. Perkembangan Indeks Williamson Dengan Migas dan Tanpa Migas di Provinsi Sumatera Selatan tahun 2003-2007.

Gambar 12 menyajikan tingkat disparitas yang terjadi di Provinsi Sumatera Selatan dengan migas, mengalami peningkatan pada tahun 2004 yang kemudian cenderung menurun pada tahun 2005. Hal ini mengindikasikan bahwa peranan migas cenderung menurun karena merupakan sumberdaya yang tak terbarukan

(19)

-0,0400 -0,0200 0,0000 0,0200 0,0400 0,0600 0,0800 0,1000 0,1200 Tahun In de ks T h ei l OKI -0,0226 -0,0146 -0,0144 -0,0144 -0,0144 OKU -0,0226 0,0014 0,0033 0,0033 0,0033 Banyuasin -0,0134 -0,0126 -0,0130 -0,0132 -0,0134 Lahat -0,0090 -0,0092 -0,0089 -0,0087 -0,0083 Musi Rawas -0,0055 -0,0054 -0,0053 -0,0054 -0,0052 Lubuklinggau -0,0032 -0,0032 -0,0032 -0,0031 -0,0031 Pagaralam -0,0024 -0,0023 -0,0023 -0,0023 -0,0023 OKU Selatan 0,0000 -0,0069 -0,0075 -0,0074 -0,0074 OKU Timur 0,0000 -0,0129 -0,0130 -0,0129 -0,0128 Ogan Ilir 0,0000 -0,0079 -0,0079 -0,0079 -0,0080 Prabumulih 0,0014 0,0013 0,0013 0,0012 0,0012 Muara Enim 0,0202 0,0194 0,0189 0,0191 0,0195 Palembang 0,0269 0,0294 0,0315 0,0335 0,0354 Musi Banyuasin 0,1013 0,0957 0,0913 0,0861 0,0806 Sumatera Selatan 0,0711 0,0721 0,0708 0,0679 0,0652 2003 2004 2005 2006 2007

sedangkan tingkat disparitas yang terjadi relatif lebih rendah dengan dengan kecenderungan meningkat tiap tahunnya apabila peranan sektor migas diabaikan.

Guna mendekomposisi sumber disparitas yang terjadi di Provinsi Sumatera Selatan berdasarkan hasil analisis indeks Theil/disparitas total (2003-2007), disparitas yang terjadi relatif stabil bahkan ada kecenderungan menurun tiap tahun. Pada tahun 2004 disparitas total cenderung mengindikasikan meningkatnya disparitas antar wilayah di Provinsi Sumatera Selatan dari 0,0711 menjadi 0,0721 (Gambar 13).

Gambar 13. Kontribusi Kabupaten/Kota Terhadap Disparitas Total di Provinsi Sumatera Selatan (2003-2007).

(20)

-0,200 -0,100 0,000 0,100 0,200 0,300 0,400 0,500 Tahun In d ek s T h ei l Tani -0,099 -0,100 Tbg 0,396 0,459 Ind 0,091 0,107 Ligas 0,003 0,002 Bang 0,023 0,032 Prdg 0,000 0,012 Trans -0,003 0,000 Keu 0,036 0,029 Jasa -0,007 -0,010 2005 2007

Lebih lanjut, apabila dilakukan dekomposisi disparitas berdasarkan nilai indeks Theil (disparitas total), kabupaten/kota berperan dalam meningkatkan atau mengurangi tingkat disparitas di Provinsi Sumatera Selatan. Secara umum, selama kurun waktu tersebut, Kota Palembang, Kabupaten Musi Banyuasin, Muara Enim, dan Prabumulih berkontribusi positif terhadap meningkatnya disparitas total; sehingga dapat disimpulkan bahwa sumber utama disparitas di Provinsi Sumatera Selatan berasal dari ketimpangan antar wilayah kabupaten/kota.

Apabila ditinjau dari aktivitas sektor perekonomian, hasil dekomposisi dari indeks Theil menunjukkan bahwa sektor pertanian lebih berperan dalam menurunkan tingkat disparitas total dibandingkan sektor lain di Provinsi Sumatera Selatan. Hal ini mengindikasikan bahwa sektor pertanian yang dominan dan sebagai sektor unggulan, diharapkan mampu mengurangi tingkat disparitas yang terjadi (Gambar 14); sedangkan sektor pertambangan dan penggalian yang terkonsentrasi di wilayah tertentu relatif meningkatkan disparitas total ,yang diikuti ketimpangan pada sektor industri pengolahan dan sektor sekunder lainnya.

Gambar 14. Kontribusi Sektor Perekonomian Terhadap Disparitas Total di Provinsi Sumatera Selatan (2005 dan 2007).

(21)

-0,060 -0,040 -0,020 0,000 0,020 0,040 0,060 Tahun In d ek s T h ei l Klaster 1 0,042 0,033 0,026 Klaster 2 -0,049 -0,049 -0,050 Klaster 3 0,050 0,050 0,051 Klaster 4 -0,004 -0,005 -0,006 2005 2006 2007

Selanjutnya, apabila ditinjau melalui peranan masing-masing kelompok wilayah dari hasil analisis klaster sebelumnya, menunjukkan bahwa klaster yang memiliki aktivitas perekonomian industri pengolahan berbasis pertanian, seperti Kabupaten Ogan Komering Ilir, Banyuasin, Ogan Ilir dan OKU Timur memberikan kontribusi negatif terhadap disparitas total di Provinsi Sumatera Selatan. Selain itu, klaster perkotaan turut berperan dalam menurunkan disparitas total dengan indikasi bahwa keberadaan Kota Pagaralam yang memiliki sektor pertanian sebagai salah satu aktivitas perekonomian unggulan wilayah dibandingkan dengan kota lainnya (Gambar 15).

Gambar 15. Kontribusi Klaster Berdasarkan Aktivitas Perekonomian Terhadap Disparitas Total di Provinsi Sumatera Selatan (2005-2007).

Selain itu, berdasarkan RTRW Provinsi Sumatera Selatan yang membagi wilayahnya menjadi 2 (dua) kawasan, yakni Kawasan Barat dan Timur (wilayah pesisir) memperlihatkan bahwa dekomposisi sumber disparitas yang utama berasal dari ketimpangan antar wilayah atau kabupaten/kota, sebesar 82,94 persen sedangkan disparitas antar wilayah pengembangan (kawasan) hanya berpartisipasi rata-rata sebesar 17,06 persen (Gambar 16). Hal ini sesuai dengan hasil analisis sebelumnya yang mengindikasikan bahwa ketimpangan yang terjadi di Provinsi Sumatera Selatan disebabkan oleh masing-masing kabupaten/kota itu sendiri.

Disparitas antar wilayah di Provinsi Sumatera Selatan berdasarkan analisis terhadap pendapatan wilayah tiap kabupaten/kota menunjukkan ketimpangan yang terjadi akibat tidak meratanya aktivitas perekonomian. Hal ini disebabkan peranan Kota Palembang yang memiliki hampir seluruh sektor-sektor

(22)

0,00 0,02 0,04 0,06 0,08 Tahun In de ks T h ei l ANTAR KAWASAN 0,0164 0,0106 0,0107 0,0108 0,0108

ANTAR WILAYAH KAB/KOTA 0,0547 0,0615 0,0601 0,0572 0,0544

TOTAL 0,0711 0,0721 0,0708 0,0679 0,0652

2003 2004 2005 2006 2007

perekonomian unggulan dengan tingkat perkembangan wilayah yang tinggi dan mencerminkan bahwa aktivitas di Kota Palembang sangat beragam sedangkan wilayah lain relatif seragam bahkan terkonsentrasi. Selain itu, wilayah yang relatif mengandalkan sektor pertambangan dan penggalian, terutama dengan sektor migas mengindikasikan bahwa telah terjadi disparitas ekonomi di Provinsi Sumatera Selatan, seperti Kabupaten Musi Banyuasin dan Muara Enim.

Menurut (Portnov dan Felsentein, 2005), penggunaan metode Indeks Williamson dalam pengukuran disparitas atau ketimpangan antar wilayah, relatif memperlihatkan sedikit kekurangan selain Indeks Gini apabila dibandingkan dengan metode lainnya, seperti : Indeks Atkison, Hoover Coefficient dan Coulter

Coefficient.

Gambar 16. Dekomposisi Sumber Disparitas Wilayah Provinsi Sumatera Selatan. 5.3.2 Faktor-faktor Penyebab Disparitas Pembangunan Antar Wilayah

Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya disparitas antar wilayah di Provinsi Sumatera Selatan, dilakukan pendekatan analisis untuk mengetahui faktor-faktor penyebabnya, yaitu dengan menggunakan regresi berganda.

Adapun variabel tujuan yang digunakan adalah dekomposisi dari indeks Theil tiap kabupaten/kota dan variabel penjelas lain yang dianggap memiliki hubungan terhadap disparitas antar wilayah, antara lain berupa aspek ekonomi

(23)

(PDRB per sektor); aspek fisik penggunaan lahan (rasio luas sawah, non sawah, hutan negara, kawasan terbangun terhadap luas wilayah kabupaten/kota); serta aspek pembangunan manusia (komponen IPM) yang digunakan sebagai pendekatan terhadap ketersediaan fasilitas pendidikan dan kesehatan serta kesejahteraan masyarakat. Karena keterbatasan data, analisis ini menggunakan data pada tahun 2006.

Faktor-faktor yang dianggap berpengaruh sebagai penyebab terjadinya disparitas antar wilayah di Provinsi Sumatera Selatan, berdasarkan hasil analisi regresi berganda adalah : (1) PDRB per kapita sektor pertambangan dan penggalian; (2) PDRB per kapita sektor pertanian; dan (3) PDRB per kapita sektor sekunder, sebagai aspek ekonomi wilayah sedangkan (4) disparitas berdasarkan aspek fisik wilayah, yakni luas hutan negara, ikut mempengaruhi disparitas antar wilayah yang terjadi di Provinsi Sumatera Selatan (Tabel 12). Hal ini mengindikasikan bahwa semakin meningkatnya kontribusi PDRB sektor pertambangan dan penggalian serta PDRB sektor sekunder akan meningkatkan disparitas antar wilayah di Provinsi Sumatera Selatan, disamping luasan hutan negara yang relatif membatasi wilayah kabupaten/kota dalam melakukan aktivitas pembangunan fisik. Lebih lanjut, persamaan regresi berganda yang dihasilkan dapat dituliskan sebagai berikut :

Y=-0,021+0,763[GDP_Tbg]+0,442[GDP_sek]+0,256[Hut_Neg]- 0,194[GDP_Tani]

dimana :

Y = Nilai dekomposisi disparitas kabupaten/kota dari indeks Theil

X1;X2;X4 = PDRB sektoral (X1 = PDRB pertambangan dan penggalian; X2 = PDRB sekunder; danX4 =PDRB pertanian)

X3 = Penggunaan lahan (hutan negara)

Tabel 12. Faktor-faktor Penduga Penyebab Terjadinya Disparitas di Provinsi Sumatera Selatan.

Regression Summary for Dependent Variable: Komp_Disparitas (DATA REG 1) R= ,98619677 R²= ,97258407 Adjusted R²= ,95544911 F(5,8)=56,760 p<,00000 Std.Error of estimate: ,00544

Beta Std.Err. B Std.Err. t(8) p-level

Intercept -0,021315 0,005331 -3,99842 0,003958

GDP_TBG 0,763069 0,077253 0,005311 0,000538 9,87754 0,000009

GDP_SEK 0,442425 0,069316 0,009814 0,001538 6,38277 0,000213

HUT_NEG 0,255920 0,071589 0,054817 0,015334 3,57488 0,007242

GDP_TANI -0,194717 0,079091 -0,005169 0,002099 -2,46195 0,039199

(24)

Wilayah dengan konsentrasi terhadap aktivitas perekonomian tertentu, seperti sektor pertambangan dan penggalian cenderung menganggap sektor lain kurang memiliki nilai tambah terhadap pendapatan domestiknya sehingga menyebabkan keragaman aktivitas di suatu wilayah menjadi rendah dan akhirnya meningkatkan ketimpangan. Selanjutnya, luas hutan negara, seperti : cagar alam, hutan lindung dan taman nasional dianggap berpotensi menghambat kemampuan suatu wilayah dan seringkali membatasi kepala daerah yang memiliki kapasitas sebagai pengambil keputusan dalam pembangunan, juga menyebabkan ketimpangan dalam pengembangan wilayah. Hal tersebut sebenarnya dapat diatasi melalui pemanfaatan kawasan hutan berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.43/Menhut-II/2008 Tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan hutan oleh pihak pemerintah daerah dan pihak swasta dengan kewajiban mengganti kompensasi berupa Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) atau dengan mengganti dengan lahan lain untuk dijadikan hutan. Akan tetapi, penggantian kompensasi tersebut (PNBP) tidak memiliki kontribusi langsung terhadap peningkatan pendapatan domestik di wilayah tersebut.

Penyebab terjadinya disparitas antar wilayah di Provinsi Sumatera Selatan relatif lebih disebabkan oleh aspek pendapatan wilayah (sektor perekonomian). Kabupaten Musi Banyuasin dan Muara Enim yang memiliki pendapatan domestik sektor pertambangan yang tinggi namun tidak diikuti oleh sektor lain menyebabkan meningkatnya disparitas total. Walaupun tingkat perkembangan wilayahnya dikategorikan tinggi berdasarkan hasil analisis LQ dan entropi, namun hasil analisis skalogram menempatkan kedua wilayah tersebut termasuk wilayah dengan fasilitas pelayanan yang rendah (Hirarki III), sehingga mengindikasikan sebagai wilayah yang kurang berkembang. Nilai PDRB per kapita yang tinggi di suatu wilayah ternyata tidak mencerminkan tingginya tingkat perkembangan wilayah, terutama infrastruktur.

Hal ini berbeda dengan Sjafrizal (2008) yang menyatakan bahwa guna mengurangi disparitas, perlu adanya pengembangan pusat pertumbuhan secara tersebar dengan menganut konsep konsentrasi dan desentralisasi sehingga terjadi penyebaran kegiatan pembangunan. Akan tetapi, aktivitas perekonomian yang terkonsentrasi cenderung mengakibatkan terjadinya kesenjangan pembangunan antar wilayah di Provinsi Sumatera Selatan, seperti yang terjadi pada kedua kabupaten tersebut.

(25)

Lebih lanjut, ketimpangan pembangunan antar wilayah juga ditandai dengan rendahnya aksesibilitas pelayanan sarana dan prasarana ekonomi, yakni fasiltas lembaga keuangan yang berperan sebagai sarana investasi di suatu wilayah. Hal ini dijelaskan oleh Tambunan (2003) yang menyatakan bahwa distribusi investasi yang tidak merata dapat dianggap sebagai salah satu faktor utama yang mengakibatkan terjadinya kesenjangan pembangunan atau pertumbuhan ekonomi dalam dan antar provinsi. Kurangnya kegiatan investasi pada suatu wilayah dapat membuat pertumbuhan ekonomi dan tingkat pendapatan per kapita masyarakat di wilayah tersebut rendah, karena tidak ada kegiatan ekonomi yang produktif seperti industri pengolahan terutama yang terkait dengan sektor pertanian.

Peranan fasilitas lembaga keuangan di daerah bertujuan sebagai prasarana penyerap investasi masih sangat terbatas dan secara umum lokasinya berada di ibukota kabupaten atau di beberapa ibukota kecamatan. Selain itu, jumlah keluarga yang memanfaatkan fasilitas informasi dan telekomunikasi (telepon) masih terkonsentrasi di wilayah perkotaan seperti Kota Pagaralam, Prabumulih dan Lubuk Linggau ikut berperan dalam meningkatkan ketimpangan pembangunan.

Kabupaten/kota yang memiliki sektor pertanian sebagai salah satu sektor unggulan, relatif mampu dalam mengurangi disparitas total di Provinsi Sumatera Selatan, terutama kegiatan pertanian yang diikuti dengan keterkaitan sistem produksi lain, seperti industri pengolahan pertanian dan peningkatan aktivitas perdagangan. Masih tersedianya luas lahan pertanian, menunjukkan bahwa penggunaan lahan persawahan menjadi indikator wilayah yang berbasis pertanian.

Oleh karena itu, aspek ekonomi wilayah lebih berperan dalam meningkatkan atau menurunkan ketimpangan antar wilayah di Provinsi Sumatera Selatan, sehingga diperlukan upaya pemerataan sektor-sektor perekonomian dengan memberi prioritas pembangunan terhadap sektor unggulan masing-masing kabupaten/kota.

Hasil sintesis analisis sebelumnya menunjukkan bahwa, Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Banyuasin termasuk wilayah di kawasan timur (pesisir) dan berperan dalam mengurangi disparitas antar wilayah selama kurun waktu 2003-2007. Selain itu, kedua wilayah ini dikategorikan sebagai wilayah dengan tingkat perkembangan yang rendah. Lebih lanjut, tipologi wilayah kedua kabupaten ini

(26)

memiliki kemiripan, antara lain : aktivitas sektor pertanian yang merupakan sektor unggulan dengan luas lahan sawah yang dikategorikan tinggi dan PDRB pertanian di kedua wilayah ini masih tergolong rendah walaupun disertai ketersediaan sejumlah industri yang tinggi. Keberadaan sektor industri, diharapkan mampu menggerakkan sektor-sektor terkait lainnya sehingga memerlukan prioritas pembangunan (Lampiran 6).

5.4 Kebijakan Pembangunan Wilayah Pesisir di Provinsi Sumatera Selatan Berdasarkan Sintesis Hasil Sebelumnya

Salah satu aspek yang perlu mendapat perhatian dalam pelaksanaan pembangunan daerah adalah aspek ekonomi, seperti yang jelaskan oleh Arsyad (1999) bahwa pembangunan ekonomi daerah merupakan proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber-sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi dalam wilayah tersebut. Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Provinsi Sumatera Selatan (2005-2025), terdapat 7 sasaran yang akan dicapai dalam upaya memantapkan dan menegaskan arah pembangunan ekonomi yang diinginkan.

Ketujuh sasaran tersebut adalah (i) Pertumbuhan Ekonomi, (ii) Struktur Ekonomi, (iii) Pemantapan Sektor Unggulan Provinsi, (iv) Pemantapan Surplus Neraca Perdagangan Daerah, (v) Penurunan angka pengangguran, (vi) Kesenjangan Pendapatan, dan (vii) Kualitas sumberdaya manusia. Indikasi yang diharapkan, terutama pada sasaran kedua dan ketiga, Pemerintah Provinsi menginginkan pertumbuhan ekonomi Sumatera Selatan yang ditargetkan harus pula didukung oleh pertumbuhan nilai tambah sektor primer yang sejalan dengan visi Sumatera Selatan sebagai salah satu lumbung pangan nasional. Pertumbuhan tersebut juga harus didukung dengan pertumbuhan sektor manufaktur dan sektor jasa yang ada di Provinsi Sumatera Selatan.

Berdasarkan dari hasil analisis sektor unggulan, tingkat perkembangan wilayah dan disparitas antar wilayah sebelumnya, menunjukkan bahwa semakin beragamnya aktivitas perekonomian tidak menjamin disparitas antar wilayah di Provinsi Sumatera Selatan, karena pemerataan aktivitas perekonomian secara umum tidak mencerminkan tingkat perkembangan wilayah. Sektor pertanian yang berada di wilayah perdesaan di tiap kabupaten, dianggap berperan dalam mengurangi disparitas antar wilayah. Pembangunan fasilitas sarana infrastruktur

(27)

yang terkait dengan pertanian hendaknya lebih dioptimalkan, seperti pembangunan irigasi yang bertujuan meningkatkan produksi dan infrastruktur jalan guna mempercepat mobilisasi produk-produk pertanian dari hulu ke hilir.

Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Banyuasin selama kurun waktu 2003-2007, tingkat perkembangan wilayahnya relatif masih rendah namun mampu berperan dalam mengurangi tingkat disparitas antar wilayah di Provinsi Sumatera Selatan sehingga memerlukan prioritas pembangunan terhadap sektor-sektor unggulan yang ada dengan memperhatikan potensi wilayah (Tabel 13 dan Lampiran 6).

Ketersediaan jumlah tenaga kerja yang mendominasi pada sektor pertanian, industri pengolahan, bangunan, perdagangan, hotel dan restoran serta sektor jasa, patut dipertimbangkan oleh pemerintah daerah dalam melaksanakan pembangunan dan lebih memfokuskan pengembangan terhadap sektor-sektor tersebut di wilayah pesisir sebagai arahan alternatif.

Keterkaitan antar sektor perekonomian unggulan di Provinsi Sumatera Selatan apabila dilihat dari besaran nilai entropinya maka peranan sektor unggulan sangat diperlukan mengingat pentingnya peranan sektor-sektor tersebut terhadap sektor lainnya sebagai penggerak terhadap penyebaran aktivitas yang semakin beragam karena menurut Rustiadi (2001) bahwa kawasan pesisir dalam konteks ekonomi wilayah, memiliki posisi strategis di dalam struktur alokasi dan distribusi sumberdaya ekonomi.

Tabel 13. Matriks Sektor Unggulan, Entropi dan Jumlah Tenaga Kerja Sektoral di Wilayah Pesisir Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2007.

KABUPATEN SEKTOR-SEKTOR PEREKONOMIAN

OKI Tani Tbg Ind Ligas Bang Prdg Tran Keu Jasa

LQ 2,42 0,06 0,50 0,11 1,84 1,23 0,28 0,67 0,98 ENTROPI 0,0912 0,006 0,0235 0,0003 0,0336 0,0401 0,0046 0,0083 0,0211 TENAGA KERJA 67.653 425 2.667 128 3.411 12.017 5.323 393 14.238 BANYUASIN LQ 1,74 0,61 1,15 0,08 1,19 1,16 0,12 0,25 0,51 ENTROPI 0,0931 0,0513 0,0601 0,0003 0,0314 0,0507 0,0031 0,0049 0,0164 TENAGA KERJA 260.975 1.055 26.567 400 11.682 31.371 15.431 364 16.086

Sumber : Hasil analisis Ket : Tn Tbg Ind Ligas Bang : : : : : Pertanian

Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan

Listrik dan Gas Bangunan Prdg Tran Keu Jasa : : : :

Perdagangan, Hotel dan Restoran Transportasi dan Komunikasi

Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa.

(28)

Perumusan suatu kebijakan dihasilkan dari analisis terhadap berbagai alternatif sehingga diperoleh alternatif terbaik berdasarkan masalah, kebutuhan atau adanya aspirasi tertentu. Kebijakan merupakan suatu produk yang dipandang sebagai suatu kumpulan atau rekomendasi, dan sebagai suatu proses.

Lebih lanjut, kebijakan juga dipandang sebagai suatu cara yang bertujuan untuk mengetahui apa yang diharapkan, yaitu program dan mekanisme dalam mencapai produknya, seperti yang dijelaskan oleh Dunn (2003) bahwa perumusan suatu kebijakan perlu dilandasi dengan argumen-argumen karena argumen kebijakan (policy argument) yang merupakan sarana untuk melakukan perdebatan mengenai isu-isu kebijakan publik

Selain itu, dalam perencanaan pembangunan di wilayah pesisir hendaknya lebih mempertimbangkan aspek keberlanjutan yang dapat dicapai dengan memperhatikan keberlanjutan baik dari aspek infrastruktur, ekonomi maupun sosial (masyarakat). Pembangunan di wilayah pesisir, memerlukan arahan dalam rangka pengembangan, terutama pengembangan di sektor industri pengolahan yang berbasis pertanian.

Tabel 14. Luasan Areal Arahan Pola Pemanfatan Ruang di Kabupaten Pesisir (RTRWP 2005-2019).

KABUPATEN PEMANFAATAN RUANG (Ha)

Banyuasin OKI

Hutan Lindung 58.616,00 105.140,00

Hutan Suaka Alam 259.129,00 4.828,00

Sempadan Pantai 27.089,43 0,00

KWS. LINDUNG

Sempadan Sungai 51.287,90 1.188,96

Pertanian Lahan Basah 381.607,65 150.863,27

Pertanian Lahan Kering 51.823,26 109.679,71

Perkebunan 166.866,12 282.413,35

Perikanan Darat 0,00 42.594,06

Hutan Produksi 69.000,00 645.100,00

Hutan Produki Terbatas 0,00 9.886,00

KWS. BUDIDAYA PERTANIAN

APL 160.351,04 329.239,04

Permukiman 11.929,60 9.596,61

Pertambangan 15.063,31 0,00

KWS. BUDIDAYA NON PERTANIAN

Kws. Pelabuhan 13.000,00 0,00

Sumber : BAPPEDA (2006)

Ketersediaan lahan budidaya eksisting dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Sumatera Selatan 2005-2019 yang dimiliki oleh

(29)

Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Kabupaten Banyuasin relatif memilik kapasitas yang mampu berkontribusi terhadap menurunnya tingkat disparitas di Provinsi Sumatera Selatan. Potensi lahan budidaya, terutama pertanian lahan basah dan perkebunan (Tabel 14), memerlukan prioritas dalam melaksanakan pembangunan di wilayah pesisir Provinsi Sumatera Selatan yang berbasis terhadap sektor-sektor unggulan yang dimiliki oleh kabupaten tersebut.

5.5 Prioritas Pembangunan Wilayah Pesisir Sumatera Selatan Berdasarkan Persepsi Aparatur Pemerintah Daerah

Prioritas pembangunan pembangunan wilayah pesisir di Provinsi Sumatera Selatan dengan menggunakan metode AHP (Analytical Hierachy Process) sehingga prioritas yang dihasilkan akan bersifat konsisten dengan teori, logis, dan transparan. Dengan tuntutan yang semakin tinggi berkaitan dengan transparansi, AHP akan sangat cocok digunakan untuk penyusunan prioritas kebijakan publik berdasarkan persepsi masing-masing aparatur pemerintah daerah, yakni Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan, Pemerintah Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Pemerintah Kabupaten Banyuasin.

Hasil perbandingan berpasangan terhadap ketiga kriteria yang digunakan menghasilkan bobot prioritas tertinggi pada kriteria infrastruktur wilayah sebesar 0,460 terhadap tujuan, selanjutnya berturut-turut 0,355 untuk kriteria kesejahteraan masyarakat dan 0,186 untuk pendapatan wilayah (Gambar 17). Hasil tersebut menunjukkan bahwa menurut penilaian kumulatif dari para responden (expert judgement), dalam pembangunan wilayah pesisir di Provinsi Sumatera Selatan, aspek infrastruktur wilayah merupakan aspek utama (prioritas pertama) yang harus diperhatikan.

Gambar 17. Diagram Bobot Prioritas Kriteria Terhadap Pembangunan Wilayah Pesisir di Provinsi Sumatera Selatan.

Selanjutnya berturut-turut aspek kesejahteraan masyarakat (prioritas ke-2) dan pendapatan wilayah (prioritas ke-3). Kecilnya nilai inkonsistensi (< 0,1) yang

(30)

menunjukkan bahwa pengisian skala perbandingan berpasangan antar kriteria yang dilakukan oleh responden telah memenuhi syarat dan konsisten.

Berdasarkan penilaian aspek pendapatan wilayah yang dipertimbangkan dalam pembangunan di wilayah pesisir Sumatera Selatan, sektor unggulan yang dipilih sebagai prioritas pertama adalah sektor pertanian dengan bobot prioritas sebesar 0,396. Kemudian berturut-turut diikuti prioritas ke-2 dan seterusnya oleh sektor pengolahan, perdagangan, hotel dan restoran, jasa-jasa dan bangunan (Gambar 18). Nilai inkonsistensi (0,02) juga menunjukkan pengisian skala perbandingan berpasangan antar sektor unggulan yang dilakukan oleh responden telah memenuhi syarat dan konsisten. Hasil tersebut menunjukkan bahwa menurut penilaian para responden, berdasarkan aspek pendapatan wilayah (PDRB), pembangunan di wilayah pesisir sektor unggulan yang dipilih adalah sektor pertanian. Hal tersebut dapat dimaklumi karena responden umumnya memahami bahwa sektor pertanian merupakan aktivitas perekonomian primer di Sumatera Selatan dan ketersediaan lahannya masih memiliki potensi untuk dikembangkan.

Sektor pertanian mampu berkontribusi terhadap pendapatan domestik wilayah pesisir walaupun pada kenyataannya, sektor pertambangan dengan migas relatif lebih dipertimbangkan oleh pemerintah daerah yang memiliki kecenderungan memilih sektor ini karena masih dianggap sebagai penyumbang pendapatan daerah terbesar di Sumatera Selatan.

Gambar 18. Diagram Bobot Prioritas Pembangunan di Wilayah Pesisir Untuk Sektor Unggulan Berdasarkan Pendapatan Wilayah.

Analisis prioritas pembangunan wilayah pesisir untuk jenis sektor-sektor perekonomian unggulan berdasarkan aspek infrastruktur wilayah yang dipertimbangkan menghasilkan sektor industri pengolahan sebagai sektor unggulan yang memperoleh prioritas pertama dengan bobot prioritas sebesar

(31)

0,357. Kemudian berturut-turut diikuti prioritas ke-2 dan seterusnya oleh sektor pertanian, bangunan, perdagangan, hotel dan restoran serta jasa-jasa (Gambar 19). Nilai inkonsistensi (0,01) juga menunjukkan pengisian skala perbandingan berpasangan antar sektor unggulan yang dilakukan oleh responden telah memenuhi syarat dan konsisten.

Hasil tersebut menunjukkan bahwa menurut penilaian para responden yang berdasarkan aspek infrastruktur wilayah (jalan dan fasilitas), sektor industri pengolahan memerlukan kegiatan pembangunan infrastruktur yang paling diutamakan di wilayah pesisir karena selain mampu meningkatkan aksesibilitas distribusi dari lokasi produksi ke lokasi industri dan pemasaran sekaligus memperbaiki dan memperbanyak fasilitas-fasilitas penunjang guna mempercepat proses-proses hasil produk olahan.

Gambar 19. Diagram Bobot Prioritas Pembangunan di Wilayah Pesisir Untuk Sektor Unggulan Berdasarkan Aspek Infrastruktur Wilayah.

Selanjutnya, analisis prioritas pembangunan wilayah pesisir untuk jenis sektor-sektor perekonomian unggulan berdasarkan aspek kesejahteraan masyarakat yang dipertimbangkan menghasilkan sektor pertanian sebagai prioritas pertama dengan bobot prioritas sebesar 0,368. Kemudian berturut-turut diikuti prioritas ke-2 dan seterusnya oleh sektor industri pengolahan, perdagangan, hotel dan restoran, jasa-jasa dan bangunan (Gambar 20). Nilai inkonsistensi (0,01) juga menunjukkan pengisian skala perbandingan berpasangan antar sektor unggulan yang dilakukan oleh responden telah memenuhi syarat dan konsisten.

Hasil tersebut menunjukkan bahwa menurut penilaian para responden, berdasarkan aspek kesejahteraan masyarakat (tenaga kerja dan pendapatan), pembangunan dan pengembangan sektor pertanian di wilayah pesisir

(32)

banyaknya jumlah tenaga kerja yang sangat dibutuhkan pada sektor pertanian namun tidak banyak memerlukan tingkat keterampilan yang tinggi. Selain itu, sektor pertanian dinilai mampu meningkatkan pendapatan masyarakat dalam skala rumah tangga karena tidak memerlukan input modal yang terlalu besar.

Gambar 20. Diagram Bobot Prioritas Pembangunan di Wilayah Pesisir Untuk Sektor Unggulan Berdasarkan Aspek Kesejahteraan Masyarakat Apabila ditinjau dari keseluruhan aspek/kriteria yang dipertimbangkan dalam pembangunan di wilayah pesisir Sumatera Selatan, ternyata pembangunan untuk sektor industri pengolahan merupakan prioritas pertama dengan bobot kumulatif keseluruhan aspek sebesar 0,349. Selanjutnya berturut-turut diikuti sektor pertanian, perdagangan, hotel dan restoran, bangunan dan jasa-jasa (Gambar 21).

Hasil tersebut menunjukkan bahwa berdasarkan dari keseluruhan aspek baik aspek pendapatan wilayah (PDRB), infrastruktur wilayah (jalan dan fasilitas), dan kesejahteraan masyarakat (penyerapan tenaga kerja dan pendapatan) maka pengembangan aktivitas sektor industri pengolahan merupakan prioritas pembangunan utama di wilayah pesisir Sumatera Selatan.

Gambar 21. Diagram Bobot Prioritas Pembangunan di Wilayah Pesisir Untuk Sektor Unggulan Berdasarkan Keseluruhan Aspek.

(33)

Nilai inkonsistensi secara keseluruhan sebesar 0,01 yang juga menunjukkan pengisian skala perbandingan berpasangan antar kriteria/aspek yang dipertimbangkan maupun antar jenis sektor unggulan yang dilakukan oleh responden konsisten dan dapat ditoleransi. Hal ini dimaklumi karena masing-masing responden menganggap peranan sektor industri pengolahan memerlukan peningkatan pengembangan sarana fasilitas yang diharapkan memiliki keterkaitan dengan sektor pertanian, perdagangan, dan jasa.

Minimnya ketersediaan fasilitas industri pengolahan, terutama untuk produk-produk pertanian akan mengakibatkan berkurangnya peningkatan nilai tambah. Hasil-hasil produksi pertanian yang langsung dipasarkan ke wilayah lain atau wilayah tetangga yang memiliki industri pengolahan, memungkinkan terjadinya kebocoran wilayah. Salah satu contoh terjadinya kebocoran wilayah di pesisir, seperti dialami oleh Kabupaten Ogan Komering Ilir, dimana hasil produksi tambak udang oleh masyarakat yang langsung dikirim ke PT. Lestari Magris yang berada di Kota Palembang atau pun PT. Wahyuni Mandira (Provinsi Lampung) akibat tidak tersedianya industri pengolahan udang (cold storage).

Salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam kegiatan pengembangan wilayah adalah menyusun perencanaan wilayah. Menurut Tarigan (2004) perencanaan wilayah adalah perencanaan penggunaan ruang wilayah (termasuk perencanaan pergerakan di dalam wilayah) dan perencanaan kegiatan pada ruang wilayah tersebut. Perencanaan penggunaan ruang wilayah diatur dalam bentuk perencanaan tata ruang wilayah, sedangkan perencanaan kegiatan dalam wilayah diatur dalam perencanaan pembangunan wilayah.

Pada akhirnya, salah satu pendekatan yang patut dipertimbangkan dalam perencanaan pembangunan di wilayah pesisir, yakni dengan memfokuskan terhadap pendekatan sektoral (supply side) dan pengelompokkan kegiatan-kegiatan pembangunan hasil perencanaan tersebut, ke dalam sektor-sektor perekonomian.

Gambar

Tabel 9. Nilai LQ Aktivitas Perekonomian Per Sektor Tiap  Kabupaten/kota, di  Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2007
Tabel 10.  Perkembangan Indeks Entropi (PDRB sektoral) Tiap Kabupaten/kota  di Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2003, 2005 dan 2007
Gambar 6. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Tiap Kabupaten/kota di Provinsi  Sumatera Selatan Tahun 2005-2007
Gambar 7. Peta Hirarki Wilayah Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2006.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Retrieve Detail Keluhan Update Kategori Perbaikan Pilih Keluhan Form Pindah ke Teknisi Memberi Keterangan Perbaikan Ya Tidak Detail Keluhan List Data Keluhan Pilih

Multiculturalism, multicultural society, culture, reason, public reason, occidental reason, communicative rationality, apodictic reason, ad hominem reason, value pluralism..

Undang, Dkk (2006:3) menjelaskan bahwa profesional erat kaitannya dengan kahlian dan keterampilan yang telah disiapkan melalui proses pendidikan dan pelatihan secara

Pada ayat 5, kata al-`usr berbentuk definite (memakai alif dan lam) demikian pula kata tersebut pada ayat 6. Ini berarti bahwa kesulitan yang dimaksud pada ayat 5

Berjumlah sepasang, terletak dibawah dan atas kantung kemih. Merupakan tempat untuk menampung sperma sehingga disebut dengan kantung semen. Menghasilkan getah

Sub menu data master ini terdiri dari button new untuk input data permasalahan baru, edit untuk merubah data solusi yang lama, cancel pembatalan untuk menyimpan

Pada awal berdirinya masjid ini diberi nama Jami’ul Kahhirah (Kairo) karena mengambil nama tempat universitas tersebut didirikan, Belakangan, namanya diubah menjadi

Membimbing pendidik dan tenaga kependidikan PAUD dalam memanfaatkan hasil penilaian kinerja untuk peningkatan mutu pembelajaran.. Mengevaluasi kinerja satuan pendidikan PAUD