• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penetapan Cadangan Karbon Bahan Gambut Saprik, Hemik, dan Fibrik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Penetapan Cadangan Karbon Bahan Gambut Saprik, Hemik, dan Fibrik"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

Penetapan Cadangan Karbon Bahan Gambut

Saprik, Hemik, dan Fibrik

(Studi Kasus di Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat

Lubuk Gaung, Kecamatan Sungai Sembilan, Dumai)

Inda Safitri

A14050600

Mayor Manajemen Sumberdaya Lahan

Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan

Fakultas Pertanian

Institut Pertanian Bogor

(2)

i

RINGKASAN

INDA SAFITRI. Penetapan Cadangan Karbon Bahan Gambut Saprik, Hemik, dan

Fibrik (Studi Kasus di Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat Lubuk Gaung, Kecamatan Sungai Sembilan, Dumai). Dibimbing oleh SUPIANDI SABIHAM dan MUHAMMAD

ARDIANSYAH.

Cadangan karbon lahan gambut merupakan salah satu sumber emisi gas rumah kaca. Tetapi ketika dibuka (reklamasi), laju emisi karbon dari lahan gambut akan meningkat secara cepat. Pengembangan perkebunan kelapa sawit (Elaeis guinensis Jacq) di lahan gambut menyebabkan cadangan karbon lahan gambut mengalami penurunan secara cepat. Oleh sebab itu, penetapan cadangan karbon bahan gambut saprik, hemik, dan fibrik sangat perlu dilakukan.

Tujuan penelitian ini untuk menentukan karakteristik lahan gambut dan melakukan pengukuran jumlah cadangan karbon bahan gambut saprik, hemik, dan fibrik pada lahan yang dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit. Penelitian ini dilakukan di Lubuk Gaung, Kecamatan Sungai Sembilan, Dumai. Karakteristik tanah yang teliti meliputi warna, ketebalan, bobot isi, kadar air, pH, C organik, dan kadar abu. Rataan ketebalan bahan gambut saprik 146 cm, hemik 28 cm, dan fibrik 34 cm. Bahan gambut saprik memiliki warna yang lebih gelap daripada hemik dan fibrik. Bahan gambut saprik memiliki rataan bobot isi 0,26 g/cm3 dan rataan kadar air 277%. Tanah gambut memiliki kemasaman yang tinggi dengan pH kurang dari 4. Rataan C organik untuk bahan gambut saprik 53,95%; hemik 55,45%; dan fibrik 55,85%. Rataan kadar abu untuk bahan gambut saprik 6,98%; hemik 4,47%; dan fibrik 3,71%. Tingkat kematangan gambut berkorelasi negatif dengan kemasamaan gambut dan C organiknya. Namun, tingkat kematangan gambut berkorelasi positif dengan kadar abunya. Cadangan karbon di Lubuk Gaung untuk bahan gambut saprik 2.050 ton/ha (ketebalan 146 cm), hemik 341 ton/ha (ketebalan 28 cm), dan fibrik 266 ton/ha (ketebalan 34 cm). Tingginya cadangan karbon ini menunjukkan bahwa gambut memiliki fungsi penting sebagai tempat pemendaman karbon.

(3)

ii

ABSTRACT

INDA SAFITRI. Determining Carbon Stock of Sapric, Hemic, and Fibric Peat Materials

(A Case Study of the Smallholder’s Oil Palm Plantation in Lubuk Gaung, Sungai Sembilan Subdistrict, Dumai). Under Supervision of SUPIANDI SABIHAM and

MUHAMMAD ARDIANSYAH.

Peatland carbon stock is one of the greenhouse gas emission resources. However, when there is a reclamation activity, the rate of carbon emission from the peatland will increase rapidly. The development of oil palm (Elaeis guinensis Jacq) plantations on peatland may cause the carbon stock on the peatland to decline quickly. Therefore, it is necessary to determine carbon stock of sapric, hemic, and fibric peat materials.

The objective of this study was to determine the characteristics of peatland and to measure the amount of carbon stock of sapric, hemic, and fibric peat materials on the land being converted into a palm oil plantation. This research was conducted at Lubuk Gaung, Sungai Sembilan Subdistrict, Dumai. The soil characteristics studied included color, thickness, bulk density, water content, pH, organic carbon, and ash content. The average thickness of sapric peat material was 146 cm, hemic peat material 28 cm, and fibric peat material 34 cm. Sapric peat material was darker in color compared to hemic and fibric peat materials. The average bulk density of sapric peat material was 0,26 g/cm3 and the average of water content was 277%. The peat soil had high acidity with a pH of less than 4. The average organic carbon of sapric peat material was 53,95%; hemic 55,45% and fibric 55,85%. The average ash content of sapric peat material was 6,98%; hemic 4,47% and fibric 3,71%. The peat ripeness level was negatively correlated with the peat acidity and organic carbon. However, the peat ripeness level was positively correlated with the ash content. The carbon stock in Lubuk Gaung for sapric peat material was 2.050 tons/ha (with a thickness of 146 cm), hemic 341 tons/ha (with a thickness of 28 cm), and fibric 266 tons/ha (with a thickness of 34 cm). The high carbon stock shows that the peat has an important function as a place of sequestering carbon.

(4)

iii

PENETAPAN CADANGAN KARBON

BAHAN GAMBUT SAPRIK, HEMIK, DAN FIBRIK

(STUDI KASUS DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT RAKYAT LUBUK GAUNG, KECAMATAN SUNGAI SEMBILAN, DUMAI)

Oleh

Inda Safitri A14050600

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada

Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

iv Judul Penelitian : Penetapan Cadangan Karbon Bahan Gambut Saprik, Hemik,

dan Fibrik (Studi Kasus di Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat Lubuk Gaung, Kecamatan Sungai Sembilan, Dumai)

Nama Mahasiswa : Inda Safitri Nomor Pokok : A14050600

Menyetujui, Dosen Pembimbing I

Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M.Agr. NIP. 19490105 197403 1 001

Dosen Pembimbing II

Dr. Ir. Muhammad Ardiansyah NIP. 19630604 198811 1 001

Mengetahui, Ketua Departemen

Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc. NIP. 19621113 198703 1 003

(6)

v

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bengkalis, Provinsi Riau pada tanggal 19 januari 1986 sebagai anak kedua dari pasangan Idris (bapak) dan Nuryi (Ibu). Setelah lulus SMAN 4 Dumai tahun 2005, penulis mendapat kesempatan masuk IPB lewat jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) yang dibiayai oleh Pemerintah Daerah Dumai. Sejak SMA, penulis aktif dalam berorganisasi seperti OSIS, PMR, Majalah Dinding (Mading), dan Pelajar Islam Indonesia (PII). Kebiasaan tersebut terbawa hingga memasuki dunia kampus di IPB. Organisasi yang pernah digeluti penulis antara lain Badan Kerohanian Islam Mahasiswa (BKIM) IPB, Lembaga Dakwah Kampus (LDK) Alhurriyyah IPB, BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) Fakultas Pertanian IPB, Badan Pengawas Himpunan Mahasiswa Ilmu Tanah (BP HMIT) IPB, Ikatan Keluarga Pelajar Mahasiswa Riau (IKPMR) Bogor, dan Badan Pers “Dang Merdu”. Saat ini penulis masih aktif sebagai koordinator mahasiswa IPB asal Dumai (tahun 2006-sekarang), Pengajar TPA (Taman Pendidikan Al-quran) ”Laskar Pelangi” (2008-sekarang), Badan Legislatif Organisasi (BLO) IKPMR Bogor (2008-sekarang), dan pengurus Perhimpunan Mahasiswa Peduli (PMP) Balumbang Jaya (2009-sekarang).

Setelah setahun tinggal di Asrama Putra Tingkat Persiapan Bersama (TPB) IPB (2005-2006), penulis tinggal di Asrama Riau (2006-2008). Lalu ke Asrama Pondok Pesantren Mahasiswa (PPM) Al-Inayah (2008-sekarang) sambil belajar ilmu agama disana. Pelatihan yang pernah diikuti penulis yaitu Pelatihan Kepemimpinan Dumai (Dinas Pendidikan Dumai), Leadership Training (IKPMR Bogor), Leadership and Entrepreneurship Program (LES IPB), Pelatihan Kewirausahaan Mahasiswa (Kementerian Koperasi dan UKM), Pelatihan Pangan Halal (FBI Fateta IPB), Pembinaan Kerukunan Antar Etnis dan Antar Umat Beragama (Pemerintah Daerah Provinsi DKI), dan One Day Technopreneurship Workshop (LES dan RAMP IPB).

(7)

vi

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Rasanya tidak ada kata lain yang terucap selain kebahagiaan dalam melewati masa-masa kuliah di IPB ini. Tema yang dipilih dalam skripsi ini adalah “Penetapan Cadangan Karbon Bahan Gambut Saprik, Hemik, dan Fibrik (Studi Kasus di Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat Lubuk Gaung, Kecamatan Sungai Sembilan, Dumai)”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat meraih gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Rasa hormat, ucapan terima kasih, serta penghargaan yang sebesar-besarnya penulis persembahkan kepada Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M. Agr selaku Dosen Pembimbing Skripsi I yang senantiasa memberikan bimbingan, arahan, serta nasehat selama ini. Ucapan terima kasih serta penghargaan yang sebesar-besarnya penulis persembahkan kepada Dr. Ir. Muhammad Ardiansyah selaku Dosen Pembimbing Skripsi II yang senantiasa memberikan bimbingan, arahan, serta nasehat dalam menyelesaikan skripsi ini. Serta kepada Dr. Ir. Budi Nugroho, M.Sc selaku Dosen Penguji Skripsi yang memberikan bimbingan, saran, dan masukan dalam perbaikan skripsi ini.

Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Pemerintah Daerah Dumai atas beasiswa pendidikan yang diberikan melalui jalur BUD. Tak lupa juga kepada semua teman-teman di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Pegawai Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan yang telah membantu selama analisis penelitian ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada keluarga dan semua pihak yang telah membantu sehingga penelitian ini berhasil diselesaikan.

Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, 22 Januari 2010

(8)

vii

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL ... viii DAFTAR GAMBAR ... ix DAFTAR LAMPIRAN... x BAB I. PENDAHULUAN ... 1.1 Latar Belakang ... 1.2 Tujuan Penelitian ... 1 1 2 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ………

2.1 Karakteristik Tanah Gambut ... 2.2 Kelapa Sawit di Tanah Gambut ………

3 3 5 BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ...

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ... 3.2 Bahan dan Alat ... 3.3 Tahap dan Metode Penelitian ... 3.3.1 Pengukuran Lapangan ... 3.3.2 Analisa Laboratorium ... 3.3.3 Penetapan Cadangan Karbon Tanah Gambut ...

9 9 9 9 9 12 12 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ...

4.1 Perkebunan Kelapa Sawit di Lahan Gambut Dumai……. 4.2 Karakteritik Lahan Gambut di Lubuk Gaung ... 4.3 Cadangan Karbon Tanah Gambut ...

13 13 14 18 BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ...

5.1 Kesimpulan ... 5.2 Saran ... 20 20 20 DAFTAR PUSTAKA ... 21 LAMPIRAN ... 24

(9)

viii

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1 Luas perkebunan kelapa sawit rakyat di Dumai ………. 13

2 Perkembangan luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia …... 14

3 Warna bahan gambut pada lokasi penelitian ……….. 15

4 Rataan ketebalan bahan gambut pada lokasi penelitian ………. 15

5 Data pH, kadar abu dan C organik bahan gambut ………. 18

(10)

ix

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1 Plot pengeboran ……….. 10

2 Nilai bobot isi pada lokasi penelitian ………. 16 3 Nilai kadar air pada lokasi penelitian ………. 17

(11)

x

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1 Peta daerah Dumai ... 25 2 Peta luas, sebaran lahan gambut, dan kandungan karbon Provinsi

Riau tahun 2002 ……….. 26

3 Peta sebaran hutan diatas lahan gambut Provinsi Riau tahun 2007 … 26 4 Data luas areal, produksi, dan KK, serta produktivitas perkebunan

perkomoditi di Dumai tahun 2008 ... 27 5 Foto kegiatan di lapangan ... 28 6 Ketebalan lapisan saprik, hemik, dan fibrik pada lokasi 1, 2, dan 3… 29

(12)

1

BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Lahan gambut merupakan ekosistem unik yang mampu menyimpan karbon dalam jumlah besar pada keadaan alaminya. Dalam keadaan alami yang umumnya jenuh air (suasana anaerob), laju penimbunan bahan organik berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan laju dekomposisinya sehingga gambut tumbuh dengan cepat. Namun apabila lahan gambut tersebut dibuka, maka sebagian besar karbon yang tersimpan akan teroksidasi menjadi CO2. Emisi karbon ini turut berperan dalam meningkatkan gas-gas rumah kaca di

atmosfer, sehingga mempengaruhi pemanasan global. Menurut Hooijer et al. (2006), selama tahun 1997-2006, lahan gambut Indonesia menyumbangkan hampir 2 milyar ton emisi CO2 per tahun. Sedangkan menurut Greenpeace (2007), emisi karbon dari lahan

gambut Indonesia sebesar 1,8 miliar ton per tahun.

Saat ini lahan gambut banyak dibuka untuk perkebunan kelapa sawit, mengingat permintaan akan produk kelapa sawit tersebut sangat tinggi dan semakin meningkat dari tahun ke tahun. Meskipun pemanfaatan lahan gambut memiliki berbagai kendala, tetapi pengembangannya untuk perkebunan kelapa sawit terus meningkat setiap tahun. Pembukaan perkebunan kelapa sawit menyebabkan cadangan karbon tanah gambut mengalami perubahan, sehingga penetapan cadangan karbon tanah gambut sangat perlu dilakukan. Akan tetapi, selama ini penelitian cadangan karbon lebih banyak terfokus pada ketebalan gambutnya dan kurang memperhatikan tingkat kematangan atau bahan gambutnya. Oleh sebab itu, penelitian ini melakukan penetapan cadangan karbon bahan gambut saprik, hemik, dan fibrik.

Dumai memiliki lahan gambut lebih dari 60% dari 1.727.385 km² luas wilayahnya dengan ketebalan yang bervariasi antara 0,5-4 m. Dumai yang beriklim tropis memiliki suhu udara 28 °C dengan curah hujan 2.664 mm/tahun (BPS Dumai 2004) sesuai untuk perkebunan kelapa sawit. Sejak dulu Dumai dikenal sebagai salah satu pusat industri pengolahan kelapa sawit sekaligus pintu gerbang ekspor crude palm oil (CPO) ke 82 negara (Riau Mandiri 2009), mendorong pembukaan lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit semakin meningkat dari tahun ke tahun terutama di Kecamatan Sungai Sembilan. Meningkatnya pembukaan lahan gambut diikuti dengan meningkatnya

(13)

2 kebakaran lahan gambut, sehingga emisi karbon yang semula meningkat karena

pembukaan lahan, menjadi semakin besar.

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk memberikan informasi mengenai berapa cadangan karbon bahan gambut pada lahan yang telah dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit. Sekaligus juga sebagai bahan pertimbangan bagi Pemerintah Daerah Dumai dalam pengelolaan lahan gambut dan pengembangan sektor pertanian yang berwawasan lingkungan dimasa mendatang.

1.2. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengetahui karakteristik tanah gambut di Lubuk Gaung, Kecamatan Sungai Sembilan, Dumai.

2. Mengukur cadangan karbon bahan gambut saprik, hemik, dan fibrik pada studi kasus perkebunan kelapa sawit rakyat di Lubuk Gaung, Kecamatan Sungai Sembilan, Dumai.

(14)

3

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Karakteristik Tanah Gambut

Tanah gambut merupakan tanah hidromorfik yang bahan asalnya sebagian besar atau seluruhnya berasal dari bahan organik sisa-sisa tumbuhan dimana proses dekomposisinya berlangsung tidak sempurna, sehingga terjadi penimbunan dan akumulasi bahan organik membentuk tanah gambut. Akumulasi ini terjadi karena lambatnya laju dekomposisi dibandingkan dengan laju penimbunan bahan organik di lantai hutan yang basah (Nursanti dan Rohim 2009). Faktor utama yang berpengaruh dalam pembentukan gambut adalah vegetasi sebagai sumber bahan organik, dan suhu serta air sebagai faktor yang mempengaruhi aktivitas mikroba perombak bahan organik (Yayasan Lestari Alam 2008).

Menurut Sistem Klasifikasi Taksonomi Tanah, tanah gambut dimasukkan kedalam ordo Histosol yang memiliki ciri-ciri: jenuh air selama ≥ 30 hari tiap tahun pada tahun-tahun normal, mempunyai batas atas 40 cm dari permukaan, dan mempunyai ketebalan total (salah satu): 1) ≥ 60 cm jika bahan tanah ≥ ¾ volume terdiri dari serat kasar (moss), atau jika bobot isi lembabnya < 0,1 g/cm3, atau 2) ≥ 40 cm jika bahan tanah terdiri dari saprik atau hemik, atau jika bahan tanahnya fibrik dengan < ¾ volume sebagian besar serat moss, atau jika bobot isi lembabnya ≥ 0,1 g/cm3 (Soil Survey Staff 2006).

Selain tanah gambut, dikenal istilah bahan tanah gambut atau bahan gambut. Menurut Sistem Klasifikasi Taksonomi Tanah, bahan tanah gambut merupakan bahan penyusun tubuh tanah organik (tanah gambut) yang memiliki ciri-ciri berikut: 1) bila tidak pernah jenuh air dalam jangka waktu lama, mengandung C organik ≥ 20%, atau 2) bila jenuh air dalam jangka waktu lama, tidak termasuk akar hidup, dan mengandung C organik sebesar: a) ≥ 18% jika fraksi mineralnya ≥ 60% liat, atau b) ≥ 12% jika fraksi mineralnya 0%, atau c) ≥ 12% + (% liat x 0,1)% jika fraksi mineralnya < 60% (Soil Survey Staff 2006).

Berdasarkan tingkat dekomposisinya, bahan gambut dibedakan menjadi: (1) Fibrik yaitu bahan organik tanah yang sangat sedikit terdekomposisi yang memiliki serat sebanyak 2/3 volume, porositas tinggi, dan daya memegang air tinggi. (2) Saprik yaitu bahan organik yang terdekomposisi paling lanjut yang memiliki serat kurang dari 1/3 volume, dan bobot isi yang lebih besar daripada fibrik. (3) Hemik yaitu bahan organik

(15)

4 yang mempunyai tingkat dekomposisi antara fibrik dan saprik dengan kandungan seratnya

antara 1/3 - 2/3 volume (Nursanti dan Rohim 2009).

Karakteristik tanah gambut dapat dilihat dari sifat fisika dan kimianya. Sifat fisika gambut dilihat dari bobot isi, kadar air, porositas tanah, ketebalan, dan lapisan mineral dibawah gambut. Bobot isi gambut untuk lapisan fibrik < 0,10 g/cm3, hemik 0,07-0,18 g/cm3, dan saprik > 0,20 g/cm3. Kadar air gambut berbeda terhadap tingkat kematangan- nya, dimana kadar air fibrik sekitar 850–3.000%, hemik 450 – 850%, dan saprik < 450% (Andriesse 1988 dalam Barchia 2006). Semakin rendah bobot isi tanah gambut akan diikuti secara linear oleh peningkatan porositas dan kadar airnya. Pori-pori tanah dalam keadaan tergenang akan diisi oleh air, sehingga semakin tinggi porositas tanah maka akan semakin tinggi air yang akan dihambat pada tanah gambut (Barchia 2006). Kadar air gambut fibrik lebih besar daripada hemik dan saprik. Kemampuan menyerap air gambut fibrik lebih besar daripada saprik dan hemik, namun kemampuan fibrik memegang air lebih lemah dari gambut hemik dan saprik (Noor 2001).

Ketebalan gambut menentukan tingkat kesuburan alami dan potensi kesesuaiannya untuk tanaman. Widjaja-Adhi (1992 dalam Chotimah 2009) membagi ketebalan gambut dalam 4 kelas, yaitu tipis (50-100 cm), sedang (100-200 cm), tebal (200-300 cm) dan sangat tebal ( > 300 cm). Sedangkan ketebalan < 50 cm tergolong lahan bergambut. Lapisan bawah gambut dapat berupa liat marin atau pasir kuarsa (Noor 2001). Di Sumatera dan Kalimantan, lapisan tanah mineral dibawah gambut umumnya berupa endapan liat marin yang berwarna kelabu kehijauan atau kelabu kebiruan yang mengandung pirit (FeS2). Pada lahan gambut dengan lapisan bawahnya liat marin,

berpotensi terjadi bahaya keracunan asam sulfat yang berasal dari oksida sulfur. Keracunan ini terjadi apabila lapisan gambut sudah menipis, baik karena kesalahan pembukaan maupun karena terjadinya subsidensi, sehingga pirit teroksidasi dan menghasilkan asam sulfat serta besi. Sedangkan lapisan gambut yang dibawahnya pasir kuarsa, terbentuk dari vegetasi hutan yang miskin hara, sehingga kesuburan gambutnya rendah (Wahyunto et al. 2005).

Sifat kimia gambut dapat dilihat dari pH, C organik, kadar abu dan kapasitas tukar kationnya (KTK). Tanah gambut sebagian besar bereaksi masam sampai sangat masam dengan pH <4, tingginya kemasaman tanah ini disebabkan oleh tingginya kandungan asam-asam organik yaitu asam humat dan asam fulvat (Barchia 2006). Secara umum

(16)

5 gambut bereaksi masam namun gambut tipis memiliki pH lebih tinggi daripada gambut

tebal. Di pantai timur Sumatera, pH gambut berkisar antara 3,42-4,3 (Sudradjat dan Qusairi 1992 dalam Chotimah 2009). Menurut Halim dan Soepardi (1987 dalam Nursanti dan Rohim 2009), kategori kemasaman tanah gambut dibedakan atas: (1) tinggi (pH < 4), (2) sedang (pH antara 4-5), dan (3) rendah (pH > 5).

Karbon organik tanah gambut tergolong tinggi, berkisar antara 54,3-57,8% (Barchia 2006). Kadar abu gambut sangat dalam sekitar 5%, gambut dalam dan gambut sedang berkisar 11-12%, dan gambut dangkal sekitar 15% (Suhardjo dan Widjaja-Adhi 1976 dalam Noor 2001). Semakin tinggi kadar abu, maka semakin tinggi mineral yang dikandungnya. Semakin tebal gambut, kadar abu semakin rendah, dan pH tanah jadi lebih masam (Noor 2001). KTK tanah gambut berkisar dari 100-300 me/100 gram (Kussow 1971 dalam Barchia 2006). Tingginya nilai KTK gambut disebabkan oleh muatan negatif bergantung pH yang sebagian besar dari gugus karboksil dan gugus hidroksil (Driessen dan Soepraptohardjo 1974 dalam Barchia 2006). Meski KTK gambut tinggi, kandungan kation-kation basanya rendah, sehingga kejenuhan basa gambut juga rendah. Kejenuhan basa gambut < 10% (Tim Fakultas Pertanian IPB dalam Barchia 2006).

Pengelolaan lahan gambut yang berwawasan lingkungan sangat perlu dipraktekkan mengingat lahan gambut merupakan salah satu lahan untuk masa depan apabila dilakukan pengelolaan yang tepat. Menurut Sabiham (2007) beberapa kunci pokok penggunaan lahan gambut berkelanjutan: (1) legal aspek yang mendukung pengelolaan lahan gambut, (2) penataan ruang berdasarkan satuan sistem hidrologi, (3) pengelolaan air yang sesuai, (4) pendekatan pengembangan berdasarkan karakteristik tanah mineral di bawah lapisan gambut, (5) peningkatan stabilitas dan penurunan sifat toksik bahan gambut, dan (6) pengembangan tanaman yang sesuai dengan karakteristik lahan.

2.2Kelapa Sawit di Tanah Gambut

Kelapa sawit merupakan tanaman yang berasal dari Afrika, pertama kali didatangkan ke Indonesia oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1848. Mulanya ditanam di Kebun Raya Bogor, lalu ditanam di Deli, Sumatera Utara, yang selanjutnya berkembang ke daerah lain di Indonesia (Yulianti 2009). Untuk tumbuh optimal, kelapa sawit membutuhkan curah hujan 2.000-3.000 mm/tahun, kelembaban udara 80%, dan suhu udara 24-28 oC dengan ketinggian 0-400 m diatas permukaan laut. Selain itu, kelapa

(17)

6 sawit membutuhkan penyinaran matahari yang cukup dengan panjang hari 5-7 jam/hari.

Saat ini, kelapa sawit merupakan komoditas perdagangan yang sangat menjanjikan. Pada masa depan, minyak kelapa sawit diyakini tak hanya mampu menghasilkan berbagai hasil industri hilir yang dibutuhkan manusia seperti minyak goreng, mentega, sabun, kosmetika, dan lain-lain, tetapi juga dapat menjadi substitusi bahan bakar minyak yang saat ini sebagian besar dipenuhi dengan minyak bumi (Setyamidjaja 2006).

Kelapa sawit adalah tanaman industri penting penghasil minyak goreng, minyak industri, maupun bahan bakar (biodiesel). Akar serabut tanaman kelapa sawit mengarah ke bawah dan samping. Selain itu juga terdapat beberapa akar napas yang tumbuh mengarah ke samping atas untuk mendapatkan tambahan aerasi. Seperti jenis palma lainnya, daunnya tersusun majemuk menyirip. Daun berwarna hijau tua dan pelepah berwarna sedikit lebih muda. Penampilannya agak mirip dengan tanaman salak, hanya saja dengan duri yang tidak terlalu keras dan tajam. Bunga jantan dan betina terpisah namun berada pada satu pohon (monoecious diclin) dan memiliki waktu pematangan berbeda sehingga sangat jarang terjadi penyerbukan sendiri. Bunga jantan memiliki bentuk lancip dan panjang sementara bunga betina terlihat lebih besar dan mekar. Minyak dihasilkan oleh buah, yang bertambah sesuai dengan kematangan buah (Wikipedia 2009).

Kelapa sawit termasuk tumbuhan pohon dengan tingginya dapat mencapai 24 m. Bunga dan buahnya berupa tandan, serta bercabang banyak. Daging buahnya padat. Daging dan kulit buahnya mengandungi minyak. Minyaknya itu digunakan sebagai bahan minyak goreng, sabun, dan lilin. Ampasnya dimanfaatkan untuk makanan ternak, khususnya sebagai salah satu bahan pembuatan makanan ayam. Tempurungnya digunakan sebagai bahan bakar dan arang. daunnya merupakan daun majemuk berwarna hijau tua dan pelapah berwarna sedikit lebih muda. Batang tanaman diselimuti bekas pelapah hingga umur 12 tahun. Setelah umur 12 tahun pelapah yang mengering akan, sehingga menjadi mirip dengan tanaman kelapa. Buah bergerombol dalam tandan yang muncul dari tiap pelapah. Buah terdiri dari tiga lapisan: eksoskarp (bagian kulit buah berwarna kemerahan dan licin), mesoskarp (serabut buah), dan endoskarp (cangkang pelindung inti). Inti sawit merupakan endosperm dan embrio dengan kandungan minyak inti berkualitas tinggi (Departemen Perindustrian 2007).

Kelapa sawit yang dibudidayakan terdiri dari dua jenis: E. guineensis dan E. oleifera. Jenis pertama adalah yang pertama kali dan terluas dibudidayakan orang.

(18)

7 Sedangkan E. oleifera sekarang mulai dibudidayakan untuk menambah keanekaragaman

sumberdaya genetik. Penangkar seringkali melihat tipe kelapa sawit berdasarkan ketebalan cangkang, yang terdiri dari Dura, Pisifera, dan Tenera. Dura merupakan sawit yang buahnya memiliki cangkang tebal sehingga dianggap memperpendek umur mesin pengolah namun biasanya tandan buahnya besar-besar dan kandungan minyak per tandannya sekitar 18%. Pisifera buahnya tidak memiliki cangkang namun bunga betinanya steril sehingga sangat jarang menghasilkan buah. Tenera adalah persilangan antara induk Dura dan jantan Pisifera. Jenis ini dianggap bibit unggul sebab melengkapi kekurangan masing-masing induk dengan sifat cangkang buah tipis namun bunga betinanya tetap fertil. Beberapa tenera unggul memiliki persentase daging per buahnya mencapai 90% dan kandungan minyak per tandannya dapat mencapai 28% (Wikipedia 2009).

Waktu tumbuh tanaman kelapa sawit rata-rata 20–25 tahun. Pada tiga tahun pertama disebut sebagai kelapa sawit muda, hal ini dikarenakan kelapa sawit tersebut belum menghasilkan buah. Kelapa sawit mulai berbuah pada usia 4-5 tahun. Dan pada usia 7-10 tahun disebut sebagi periode matang (the mature periode), dimana pada periode tersebut mulai menghasilkan tandan buah segar (fresh fruit bunch). Tanaman kelapa sawit pada usia 11-20 tahun mulai mengalami penurunan produksi tandan buah segar dan terkadang pada usia 20-25 tahun tanaman kelapa sawit mati (Anonim 2009a).

Kelapa sawit merupakan salah satu tanaman perkebunan yang mempunyai peran penting bagi subsektor perkebunan. Pengembangan kelapa sawit antara lain memberi manfaat dalam: peningkatan pendapatan petani dan masyarakat, bahan baku industri, sumber devisa, dan menyediakan kesempatan kerja. Dari sisi pelestarian lingkungan hidup, tanaman kelapa sawit yang merupakan tanaman tahunan berbentuk pohon (tree crops) dapat berperan dalam penyerapan gas rumah kaca seperti CO2, dan mampu

menghasilkan O2 atau jasa lingkungan lainnya (Tim Tanaman Perkebunan Besar 2005).

Selama bertahun-tahun, kelapa sawit memiliki peranan penting dalam perekonomian Indonesia dan merupakan salah satu komoditas andalan dalam menghasilkan devisa. Disamping memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap devisa negara, perannya cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Sejak dikembangkan tanaman kelapa sawit di Indonesia pada tahun 1960-an, luas areal perkebunan kelapa sawit mengalami perkembangan yang sangat pesat. Bila pada 1967 Indonesia hanya

(19)

8 memiliki areal perkebunan kelapa sawit seluas 105.808 ha, pada 1997 telah meningkat

menjadi 2,5 juta ha (Prasetyani dan Miranti 2004).

Dilihat dari status kepemilikannya, perkebunan kelapa sawit Indonesia terdiri dari perkebunan negara, perkebunan swasta dan perkebunan rakyat. Pada tahun 2000, perkebunan swasta menguasai 51% dari luas areal perkebunan, perkebunan negara 16%, dan perkebunan rakyat 33%. Tingkat produktivitas tanaman kelapa sawit Indonesia bervariasi menurut jenis kepemilikannya. Menurut Departemen Pertanian, pada umumnya tingkat produktivitas perkebunan rakyat paling rendah dibandingkan perkebunan negara dan perkebunan swasta. Diperkirakan, produktivitas CPO perkebunan rakyat hanya mencapai 2,5 ton/ha dan palm kernel oil (PKO) 0,33 ton/ha. Sementara itu, perkebunan negara memiliki produktivitas tertinggi, yakni menghasilkan CPO 4,82 ton/ha dan PKO 0,91 ton/ha. Sedangkan perkebunan swasta menghasilkan CPO 3,48 ton/ha dan PKO 0,57 ton/ha (Prasetyani dan Miranti 2004).

Pesatnya pengembangan perkebunan kelapa sawit dituding sebagai penyebab deforestasi hutan Indonesia termasuk lahan gambut. Sedikitnya 10 juta ha dari 22,5 juta ha lahan gambut telah dibuka dan didrainase untuk perkebunan kelapa sawit. Padahal tahun 2009 ini luas perkebunan kelapa sawit Indonesia diperkirakan mencapai 7,8 juta ha (Greenpeace, 2009). Hal ini jugalah yang melatarbelakang pemerintah untuk mengeluarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 14/permentan/PL.110/2/2009 tentang pedoman pemanfaatan lahan gambut untuk budidaya kelapa sawit. Kriteria lahan gambut yang boleh dibuka untuk perkebunan kelapa sawit menurut peraturan tersebut antara lain: (a) perkebunan kelapa sawit hanya dibolehkan di lahan masyarakat dan kawasan budidaya, (b) ketebalan lapisan gambut kurang dari 3 m, (c) tanah mineral di bawah lapisan gambut bukan pasir kuarsa dan bukan tanah sulfat masam, (d) tingkat kematangan gambut saprik atau hemik, tidak boleh fibrik, dan (e) tingkat kesuburan gambut eutrofik.

(20)

9

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 22 Juli–22 Agustus 2009 di Lubuk Gaung, Kecamatan Sungai Sembilan, Dumai (Lampiran 1). Penelitian ini dilakukan pada 3 lokasi berbeda dengan ukuran masing-masing plot lokasi 30 m x 100 m, sehingga luas total plot lahan yang diteliti 9.000 m2. Selanjutnya dilakukan analisis sifat fisika gambut (bobot isi dan kadar air gambut) di Laboratorium Fisika Tanah, dan analisis sifat kimia gambut di Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian IPB. Penelitian ini terdiri dari penelitian lapangan dan analisis laboratorium.

3.2Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer berupa hasil penelitian lapangan, dan analisis laboratorium. Sedangkan data sekunder yang digunakan berupa: Peta Sebaran Gambut Provinsi Riau Tahun 2002 dan 2007 (Lampiran 2, dan Lampiran 3) dan Data Perkebunan Dumai (Lampiran 4).

Alat yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian ini terdiri dari: soil munsell color chart, bor gambut, Global Positioning System (GPS), ring sampel, pisau, kantong plastik, tali, selotip pipa, aluminium foil, kompas, meteran, pH meter, oven, timbangan, alat tulis serta alat-alat laboratorium.

3.3Tahap dan Metode Penelitian 3.3.1 Pengukuran Lapangan

1. Pengamatan Bahan Gambut

Pada lahan yang akan diteliti dibuat plot lahan dengan ukuran 30 m x 100 m, selanjutnya pada plot tersebut ditentukan titik-titik pengeboran dengan ukuran 10 m x 10 m, sehingga terdapat 44 titik pengeboran tiap plot lahan (Gambar 1). Lahan dibersihkan lalu dilakukan pengeboran menggunakan bor gambut. Selanjutnya, dilakukan identifikasi tingkat kematangan gambut dengan menggunakan metode Von Post, lalu dilakukan pengamatan warna tanah dengan menggunakan soil munsell color chart. Kemudian, ketebalan masing-masing tingkat kematangan gambut diukur dan dicatat. Jumlah titik pengamatan 3 lokasi x 44 titik = 132 titik.

(21)

10 1 10 cm 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

jalur 1 jalur 2 jalur 3 jalur 4

Gambar 1 Plot pengeboran

Penentuan Tingkat Kematangan Gambut

Menurut Sistem Klasifikasi Taksonomi Tanah, bahan gambut dibedakan berdasarkan tingkat dekomposisi dari bahan-bahan (serat) tanaman asalnya. Ketiga bahan gambut tersebut adalah: fibrik, hemik, dan saprik. Untuk memudahkan penciriannya di lapangan, definisi tentang serat-serat ini harus ditetapkan terlebih dahulu. Serat-serat diartikan sebagai potongan-potongan dari jaringan tanaman yang sudah mulai melapuk atau melapuk (tidak termasuk akar-akar yang masih hidup) dengan memperlihatkan adanya struktur sel dari tanaman asalnya. Potongan-potongan serat mempunyai ukuran diameter ≤ 2 cm, sehingga dapat diremas dan mudah dicerai-beraikan dengan jari. Potongan-potongan kayu berdiameter > 2 cm dan belum melapuk yang sulit untuk

dicerai-10 m 30 m

Keterangan :

: Ukuran plot (30 m x 100 m)

: Ukuran titik pengeboran (10 m x 10 m) : titik pengeboran

(22)

11 beraikan dengan jari seperti potongan-potongan cabang kayu besar, batang kayu dan

tunggul tidak dianggap sebagai serat-serat, tetapi digolongkan sebagai fragmen kasar (Soil Survey Staff 2006).

Penetapan tingkat kematangan gambut di lapangan dengan menggunakan metode Von Post, yaitu dengan cara mengambil segenggam tanah gambut, kemudian diperas dengan telapak tangan secara pelan-pelan, lalu lihat sisa serat-serat yang tertinggal di dalam telapak tangan :

i. Bila kandungan serat yang tertinggal dalam telapak tangan setelah pemerasan, adalah ≥ ¾ bagian, tidak termasuk fragmen kasar, maka tanah gambut tersebut digolongkan kedalam jenis fibrik.

ii. Bila kandungan serat yang tertinggal dalam telapak tangan setelah pemerasan, adalah 1/6-3/4 bagian, tidak termasuk fragmen kasar, maka tanah gambut tersebut digolongkan kedalam jenis hemik.

iii. Bila kandungan serat yang tertinggal setelah pemerasan adalah < 1/6 bagian, tidak termasuk fragmen kasar, maka tanah gambut tersebut digolongkan kedalam jenis

saprik.

Cara lain untuk mendukung penggolongan tingkat kematangan/pelapukan tanah gambut diatas adalah dengan memperhatikan warnanya. Jenis tanah gambut fibrik akan memperlihatkan warna hitam muda (agak terang), kemudian disusul hemik dengan warna hitam agak gelap dan seterusnya saprik berwarna hitam gelap.

2. Pengambilan Contoh Tanah Untuk Penetapan C Organik

Pada setiap plot lahan penelitian dipilih 5 titik secara acak, lalu diambil contoh tanah sekitar 0,5 kg dengan setiap titik diambil 3 bagian gambut (saprik, hemik, dan fibrik), selanjutnya dimasukkan kedalam kantong plastik dan diberi label. Contoh tanah yang akan dianalisis di laboratorium sebanyak 3 lokasi x 5 titik x 3 bagian = 45 contoh tanah.

3. Pengambilan Contoh Tanah Untuk Kadar Air dan Bobot Isi

Pengambilan contoh tanah dilakukan secara acak dengan metode ring sampel pada ketebalan 15-20 cm. Metode ini dilakukan sebagai berikut: lapisan tanah diratakan dan dibersihkan. Tabung diletakkan tegak pada lapisan tanah tersebut lalu tanah disekeliling

(23)

12 tabung digali dengan sekop atau pisau. Tabung ditekan sampai 3/4 bagiannya masuk

kedalam tanah. Tabung lain diletakkan tepat diatas tabung pertama, lalu tekan lagi sampai bagian bawah tabung kedua masuk kedalam tanah. Tabung beserta tanah didalamnya digali lalu kedua tabung dipisahkan dengan hati-hati. Kemudian tanah kelebihan yang ada pada bagian atas dan bawah tabung dipotong sampai rata sekali. Tabung ditutup lalu dibungkus dengan aluminium foil dan ditutup lagi dengan selotip serapat mungkin. Jumlah contoh tanah 3 lokasi x 5 titik = 15 contoh tanah.

3.3.2 Analisa Laboratorium

1.Penetapan Kadar Air dan Bobot Isi

Untuk penetapan kadar air dan bobot isi bahan gambut, digunakan metode gravimetri. Metode ini dilakukan sebagai berikut: contoh tanah dari tabung (ring) dimasukkan kedalam cawan aluminium lalu ditimbang. Selanjutnya dioven pada suhu 105oC selama 24 jam dan ditimbang kembali. Kemudian ditetapkan kadar air dan dihitung bobot isi gambut.

2.Penetapan pH, C Organik, dan Kadar Abu Bahan Gambut

Contoh tanah dikeringanginkan selama 2-3 hari lalu ditumbuk sampai kira-kira halus kemudian disaring dengan saringan berukuran < 2 mm. Selanjutnya dilakukan pengukuran pH bahan gambut dengan menggunakan pH meter, serta pengukuran C organik dan kadar abu dengan menggunakan metode pengabuan kering (dry combustion).

3.3.3 Penetapan Cadangan Karbon Tanah Gambut

Penetapan cadangan karbon tanah gambut dihitung dengan menggunakan rumus berikut :

Cadangan Karbon (ton)= D x A x BI x C

keterangan:

D = ketebalan bahan gambut (m) A = luas areal penelitian (m2) BI = bobot isi (ton/m3) C = kadar C organik (%)

(24)

13

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1Perkebunan Kelapa Sawit di Lahan Gambut Dumai

Pengembangan perkebunan kelapa sawit di Dumai berjalan sangat pesat, terutama perkebunan rakyat (Tabel 1). Tahun 2002, perkebunan kelapa sawit rakyat di Dumai hanya 17.200 ha, tetapi tahun 2008 telah mencapai 27.954 ha. Hal senada juga terjadi pada perkebunan kelapa sawit nasional, selama 1996 hingga 2003 terjadi peningkatan luas lahan perkebunan kelapa sawit rakyat di Indonesia (Tabel 2). Tahun 2007, luas perkebunan kelapa sawit rakyat Indonesia mencapai 2,57 juta ha (Soetrisno 2008), sedangkan tahun 2009 ini diperkirakan mencapai 3,301 juta ha (Anonim 2009b). Pesatnya pengembangan perkebunan kelapa sawit rakyat di Dumai didukung oleh faktor iklim yang sesuai, lahan yang luas, serta dukungan pemerintah daerah dalam pengembangan perkebunan dan industri pengolahan kelapa sawit. Kelapa sawit banyak ditanam di Kecamatan Sungai Sembilan, sisanya di Kecamatan Bukit Kapur dan Kecamatan Medang Kampai.

Pengembangan kelapa sawit semakin meningkat sejak pelaksanaan otonomi daerah dimana pemerintah daerah berusaha meningkatkan pendapatan daerah dengan mengundang para investor untuk menanamkan modalnya disubsektor perkebunan dan industri pengolahan kelapa sawit. Selama lima tahun terakhir pertumbuhan investasi di Dumai mencapai Rp 4 trilyun/tahun, dimana Rp 3,2 trilyun merupakan industri pengolahan kelapa sawit skala besar. Saat ini kelapa sawit menjadi primadona perkebunan bagi petani di Dumai (Riau Mandiri 2009).

Tabel 1 Luas perkebunan kelapa sawit rakyat di Dumai Tahun Luas Lahan (ha) Produksi (ton) Sumber Pustaka

2002 17.200 46.318 BPS Dumai 2004 2003 17.550 46.318 2004 17.372 112.181 2005 19.083 155.547 BPS Dumai 2007 2006 21.933 188.596 2007 24.930 247.717

2008 27.954 299.230 Dinas Pertanian, Perkebunan, dan

(25)

14 Tabel 2 Perkembangan luas lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia

Tahun Luas Lahan (ha) Sumber Pustaka

Perkebunan Besar Perkebunan Rakyat Total

1996 1.146.300 738.900 1.885.200 Seafast IPB 2008 1997 1.739.100 813.200 2.552.300 1998 1.878.100 890.500 2.768.600 2000 2.397.800 1.038.300 3.436.100 2001 2.548.900 1.093.700 3.642.600 2002 2.704.500 1.144.400 3.848.900 2003 3.143.127 1.254.847 4.397.973 2009* 3.824.010 3.301.321 7.125.331 Anonim 2009b *data prediksi

4.2Karakteristik Lahan Gambut di Lubuk Gaung

Dalam penetapan cadangan karbon bahan gambut, dilakukan pengukuran sifat fisika tanah (warna, ketebalan, bobot isi, dan kadar air) serta kimia tanah (pH, C organik, dan kadar abu) di 3 (tiga) lokasi.

Gambut tropis umumnya berwarna coklat kemerahan hingga coklat tua (gelap) tergantung tingkat dekomposisinya (Chotimah 2009). Meskipun bahan asal gambut berwarna kelabu, coklat, atau kemerahan tetapi setelah terdekomposisi warna gambut menjadi lebih gelap, yang pada umumnya berwarna coklat hingga kehitaman (Mujib 2009). Berdasarkan pengamatan di lapangan, bahan gambut saprik memiliki warna yang lebih gelap daripada hemik dan fibrik (Tabel 3, dan Lampiran 5). Sebagai contoh, pada lokasi 3 saprik berwarna coklat gelap kemerah-merahan namun hemik berwarna merah gelap, dan fibrik berwarna coklat kemerah-merahan.

Bahan gambut saprik yang umumnya berada diatas muka air memiliki tingkat kematangan lanjut akibat kondisi yang lebih aerob. Sedangkan bahan gambut fibrik berada dibawah muka air, sehingga selalu dalam kondisi yang anaerob dan sedikit tercampur dengan mineral liat berwarna abu-abu yang berada dibawah lapisan gambut. Kondisi tersebut menyebabkan bahan gambut saprik berwarna lebih gelap daripada fibrik. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Mujib (2009), yang mengatakan bahwa semakin matang gambut maka semakin berwarna gelap.

(26)

15 Tabel 3 Warna bahan gambut pada lokasi penelitian

Lokasi Bahan Gambut Notasi Warna Warna Bahan Gambut

1

Saprik 2,5 YR 2,5/2 merah yang sangat kehitam-hitaman

Hemik 2,5 YR 2,5/4 coklat gelap kemerah-merahan

Fibrik 2,5 YR 3/6 merah gelap

2

Saprik 2,5 YR 2,5/2 merah yang sangat kehitam-hitaman

Hemik 2,5 YR 2,5/4 coklat gelap kemerah-merahan

Fibrik 2,5 YR 3/ 4 coklat gelap kemerah-merahan

3

Saprik 2,5 YR 2,5/3 coklat gelap kemerah-merahan

Hemik 2,5 YR 3/6 merah gelap

Fibrik 2,5 YR 4/3 coklat kemerah-merahan

Rataan ketebalan bahan gambut saprik, hemik, dan fibrik masing-masing mencapai 146 cm, 28 cm, dan 34 cm (Tabel 4). Berdasarkan lokasi, rataan ketebalan gambut di lokasi 1, 2, dan 3 masing-masing mencapai 196 cm, 213 cm, dan 214 cm dengan kisaran ketebalan antara 190-225 cm. Tanah Gambut di lokasi penelitian dapat digolongkan dalam kategori gambut sedang dan gambut dalam. Lapisan atas merupakan lapisan saprik dengan ketebalan yang beragam baik pada lokasi 1, 2, maupun 3. Begitu juga dengan lapisan hemik dan fibrik yang berada dibawah lapisan saprik. Pada masing-masing jalur, ketebalan saprik, hemik, dan fibrik meningkat atau menurun secara bertahap (Lampiran 6).

Tabel 4 Rataan ketebalan bahan gambut pada lokasi penelitian

Lokasi Saprik (cm) Hemik (cm) Fibrik (cm) Total (cm)

1 141 25 30 196

2 146 30 37 213

3 150 30 34 214

Rataan 146 28 34 208

Nilai rataan bobot isi tanah gambut di lokasi penelitian untuk lapisan saprik 0,26 g/cm3. Pada Gambar 2, dapat kita lihat nilai bobot isi terendah sebesar 0,18 g/cm3 dan nilai tertinggi sebesar 0,46 g/cm3, dimana variasi nilai bobot isi pada lokasi 1 dan 2 sangat besar. Nilai rataan bobot isi ini mendekati nilai bobot isi gambut pada perkebunan kelapa sawit di Aceh sebesar 0,3 g/cm3 (Agus dan Wahdini 2008 dalam Batubara 2009). Nilai bobot isi ini cukup tinggi untuk lahan gambut, karena bobot isi lahan gambut umumnya antara 0,01–0,20 g/cm3 (Barchia 2006). Lahan gambut yang sudah lama dibudidayakan memiliki nilai bobot isi yang lebih tinggi daripada hutan gambut terutama pada lapisan

(27)

16 atas. Perbedaan ini disebabkan oleh kandungan mineral pada gambut, tingkat dekomposisi

bahan organik yang tinggi, serta adanya pemadatan tanah. Akan tetapi, bobot isi tanah gambut sangat rendah jika dibandingkan dengan bobot isi tanah mineral yang berkisar antara 1,2–1,8 g/cm3.

Gambar 2 Nilai bobot isi pada lokasi penelitian

Penelitian ini hanya mengambil contoh tanah saprik untuk penetapan bobot isi dan kadar air. Oleh sebab itu, bobot isi hemik dan fibrik mengacu pada Batubara (2009) yaitu hemik 0,22 g/cm3 dan fibrik 0,14 g/cm3 karena persamaan ketebalan gambut dan nilai bobot isi sapriknya. Sementara itu, bahan saprik pada penelitian ini diambil dengan menggunakan metode ring sampel. Menurut Yani (2003), nilai bobot isi tanah gambut dengan metode ring sampel lebih tinggi daripada menggunakan metode kotak (boks). Hal ini karena bahan gambut yang terambil dengan metode ring sampel, sebagian besar berupa bahan halus dimana ruang pori lebih banyak diisi oleh bahan padatan tanah, sehingga bobot isinya lebih besar.

Kadar air tanah gambut pada lokasi penelitian bervariasi antara 132-488 % dengan rataan 277%. Seperti halnya bobot isi, variasi nilai kadar air pada lokasi 1 dan 2 sangat besar (Gambar 3). Pengambilan sampel tanah ini dilakukan pada lapisan saprik dibulan Agustus yang merupakan musim kemarau karena diduga musim kemarau turut mempengaruhi penurunan muka air dan kadar air tanah gambut. Menurut Boelter (1969 dalam Noor 2001), kadar air gambut yang belum mengalami perombakan berkisar antara 500-1.000%, sedangkan yang telah mengalami perombakan berkisar antara 200-600%. Keadaan ini bisa berbeda jika yang diambil bukan pada lapisan saprik, karena pada

(28)

17 umumnya kadar air dipengaruhi oleh tingkat kematangan gambut. Semakin tinggi

kematangan gambut maka kadar airnya semakin rendah (Barchia 2006).

Gambar 3 Nilai kadar air pada lokasi penelitian

Nilai rataan pH tanah gambut di Lubuk Gaung untuk saprik, hemik dan fibrik masing-masing sebesar 3,26; 3,18; dan 3,06 (Tabel 5) dimana pH-nya < 4. Nilai ini lebih rendah daripada hasil penelitian Suhardjo dan Widjaja Adhi (1976 dalam Noor 2001) di Riau yang menunjukkan bahwa pH pada tanah gambut sedang sebesar 3,80 dan gambut tebal sebesar 3,77. Pada penelitian ini, fibrik memiliki nilai pH yang lebih rendah daripada saprik karena fibrik belum terdekomposisi secara sempurna sehingga kaya akan asam-asam organik. Menurut Barchia (2006), tingginya kemasaman tanah gambut disebabkan oleh kandungan asam-asam organik yang tinggi, yaitu asam humat dan asam fulvat. pH saprik, hemik, dan fibrik ini dapat digolongkan dalam kategori kemasaman tinggi.

Nilai rataan C organik di Lubuk Gaung untuk lapisan saprik, hemik, dan fibrik masing-masing sebesar 53,95%; 55,45%; dan 55,85% (Tabel 5). Nilai C organik saprik lebih rendah daripada hemik dan fibrik, meskipun perbedaannya tidak terlalu besar. C organik berkorelasi negatif dengan tingkat kematangan gambut dimana semakin rendah tingkat kematangan gambut maka semakin tinggi nilai C organiknya. Suhardjo dan Widjaja-Adhi (1976 dalam Nursanti dan Rohim 2009) melaporkan bahwa kandungan C-organik gambut meningkat setiap peningkatan ketebalan. Sedangkan hasil penelitian Suhardjo dan Widjaja-Adhi (1976 dalam Noor 2001) di Provinsi Riau, menunjukkan bahwa C organik pada gambut sedang sebesar 52,76% dan gambut tebal sebesar 52,14%.

(29)

18 Tabel 5 Data pH, kadar abu dan C organik bahan gambut

Lokasi pH Kadar Abu (%) C Organik (%)

Saprik Hemik Fibrik Saprik Hemik Fibrik Saprik Hemik Fibrik

1 3,00 2,63 2,76 7,51 6,43 7,44 53,62 54,34 53,74 2 3,33 3,31 3,21 6,03 2,12 1,66 54,48 56,77 57,03 3 3,41 3,54 3,18 7,38 4,87 2,04 53,74 55,25 56,79 Rataan 3,26 3,18 3,06 6,98 4,47 3,71 53,95 55,45 55,85 Kisaran 2,67-3,76 2,51-3,84 2,42-3,71 4,42-10,51 1,29-9,48 1,08-9,22 51,93-54,61 52,52-57,31 52,73-57,44

Rataan kadar abu untuk bahan gambut saprik 6,98%; hemik 4,47%; dan fibrik 3,71% (Tabel 5), sedangkan hasil penelitian Notohadiprawiro (1996 dalam Noor 2001) menunjukkan bahwa kadar abu gambut untuk saprik 12,04%; hemik 8,04%; dan fibrik 3,08%. Kadar abu menunjukkan kadar mineral yang terkandung pada tanah gambut, sehingga semakin tinggi kadar abu maka semakin tinggi mineral yang dikandungnya. Dari hasil penelitian ini dapat kita lihat, kadar abu meningkat sesuai dengan tingkat kematangan gambutnya, dimana kadar abu saprik lebih tinggi daripada fibrik. Hal ini sesuai dengan kesimpulan penelitian Setiawan (1991 dalam Noor 2001).

4.3Cadangan Karbon Tanah Gambut

Penetapan cadangan karbon bahan gambut merupakan fungsi dari luas area, ketebalan dan tingkat kematangan gambut, sedangkan tingkat kematangan gambut mempengaruhi nilai bobot isi dan kadar C organiknya. Cadangan karbon bahan gambut di Lubuk Gaung untuk lapisan saprik 2.050 ton/ha, hemik 341 ton/ha, dan fibrik 266 ton/ha (Tabel 6). Nilai ini berbeda dengan yang diungkapkan Notohadiprawiro (dalam Yulianti 2009), bahwa setiap 1 m lapisan gambut diperkirakan mampu menyimpan karbon 700 ton/ha. Dari hasil penelitian ini, cadangan karbon saprik lebih tinggi daripada hemik dan fibrik. Hal ini selain karena faktor ketebalan, saprik memiliki tingkat kematangan lanjut sehingga memiliki bobot isi yang lebih tinggi.

(30)

19 Tabel 6 Data cadangan karbon pada lokasi penelitian

Bahan Gambut A (Luas) m2 D (Ketebalan) (m) Bobot Isi (ton/m3) C Organik (%) Cadangan Karbon (ton/ha) Saprik 3000 1,46 0,26 53,95 2.050 Hemik 3000 0,28 0,22 55,45 341 Fibrik 3000 0,34 0,14 55,85 266

Pada data diatas terlihat bahwa tanah gambut memiliki cadangan karbon yang sangat besar, berbeda dengan tanah mineral yang hanya memendam sekitar 20-80 ton/ha (Agus 2007). Tingginya potensi karbon tersebut menunjukkan bahwa lahan gambut memiliki fungsi penting sebagai tempat pemendaman karbon, sehingga lahan gambut menjadi ekosistem yang sangat efektif dalam memendam karbon. Jika terjadi salah kelola pada lahan gambut seperti kebakaran lahan atau drainase yang berlebihan maka laju emisi karbon lahan gambut bisa lebih besar daripada laju pemendaman karbon sehingga lahan gambut justru berperan dalam meningkatkan pemanasan global. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa lahan gambut memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan iklim global.

(31)

20

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1Kesimpulan

Bahan gambut saprik di Lubuk Gaung, Kecamatan Sungai Sembilan, Dumai memiliki rataan bobot isi sekitar 0,26 g/cm3, dan kadar air 277%. Saprik memiliki warna yang lebih gelap daripada hemik dan fibrik. Lahan gambut di Lubuk Gaung memiliki kemasaman yang tinggi dengan pH < 4, dan rataan C organik untuk saprik 53,95%; hemik 55,45%; serta fibrik 55,85%. Sedangkan rataan kadar abu saprik 6,98%; hemik 4,47%; dan fibrik 3,71%. Nilai pH bahan gambut akan semakin tinggi sebanding dengan tingkat kematangannya. Sedangkan pada C organik dan kadar abu, semakin tinggi tingkat kematangan gambut maka C organik akan semakin rendah tetapi kadar abu justru semakin meningkat.

Cadangan karbon merupakan fungsi dari kedalaman, luas area dan tingkat kematangan gambut. Cadangan karbon bahan gambut di Lubuk Gaung untuk lapisan saprik 2.050 ton/ha (ketebalan 146 cm), hemik 341 ton/ha (ketebalan 28 cm), dan fibrik 266 ton/ha (ketebalan 34 cm). Tingginya cadangan karbon ini menunjukkan bahwa gambut memiliki fungsi penting sebagai tempat pemendaman karbon.

5.2Saran

Saran untuk penelitian ini antara lain:

1. Perlu adanya penetapan cadangan karbon secara berkala sehingga cadangan karbon tanah gambut dapat terus diamati.

2. Perlu adanya penetapan cadangan karbon pada kawasan hutan di sekitar lokasi penelitian, sehingga bisa dijadikan sebagai perbandingan cadangan karbon antara hutan gambut dengan lahan gambut yang telah dikonversi menjadi lahan perkebunan kelapa sawit.

(32)

21

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah TS. 1997. Tanah Gambut: Genesis, Klasifikasi, Karakteristik, Penggunaan, Kendala, dan Penyebarannya di Indonesia. Bogor: Jurusan Tanah, Institut Pertanian Bogor.

Agus F. 2007. Cadangan, Emisi, dan Konservasi Karbon di Lahan Gambut. Bogor: Balai Penelitian Tanah. Http://balittanah.litbang.deptan.go.id. Diunduh pada 3 Desember 2009.

Agus F, Subiksa IGM. 2008. Lahan Gambut: Potensi Untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan. Bogor: Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre (ICRAF). Http://balittanah.litbang.deptan.go.id. Diunduh pada 3 Desember 2009. Andriesse JP. 2003. Ekologi dan Pengelolaaan Tanah Gambut Tropika. Cahyo Wibowo

dan Istomo [penerjemah]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. [Anonim]. 2009a. Gambaran Umum Produksi Minyak Sawit. Http://www.iopri.org.

Diunduh pada 3 Desember 2009.

(__________). 2009b. Luas Perkebunan Sawit Nasional 2009 Capai 7,12 Juta Ha. Http://www.kapanlagi.com. Diunduh pada 5 Desember 2009.

[BPS] Badan Pusat Statistik Dumai. 2004. Dumai Dalam Angka 2004. Dumai: Badan Pusat Statistik Dumai.

(__________). 2007. Dumai Dalam Angka 2007. Dumai: Badan Pusat Statistik Dumai. Barchia MF. 2006. Gambut Agroekosistem dan Transformasi Karbon. Yogyakarta: UGM

Press.

Batubara SF. 2009. Pendugaan Cadangan Karbon dan Emisi Gas Rumah Kaca Pada Tanah Gambut di Hutan dan Semak Belukar Yang Telah Didrainase [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Chotimah HERNC. 2009. Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Pertanian. Http://formala.multiply.com. Diunduh pada 14 Januari 2009.

Departemen Perindustrian. 2007. Gambaran Sekilas Industri Minyak Kelapa Sawit. Http://www.depperin.go.id. Diunduh pada 3 Desember 2009.

Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan Dumai. 2009. Data Statistik Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan Kota Dumai 2008. Dumai: Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan Dumai.

Dumai. 2008. Peta Kota Dumai [Peta Umum]. Dumai: Pemerintah Kota Dumai. Http://www.dumaikota.go.id. Diunduh pada 4 Oktober 2008. 1 lembar.

Greenpeace. 2007. Lahan Gambut dan Perubahan Iklim. Http://dte.gn.apc.org. Diunduh pada 14 Januari 2009.

(33)

22 (__________). 2009. How The Palm Oil Industry Is Cooking The Climate.

Http://www.greenpeace.org. Diunduh pada 28 Desember 2009.

Handayani D. 2005. Karakteristik Gambut Tropika: Tingkat Dekomposisi Gambut, Distribusi Ukuran Partikel, dan Kandungan Karbon [Skripsi]. Bogor: Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Hooijer A, Silvius M, Wosten M, Page S. 2006. PEAT-CO2, Assessment of CO2 Emission

From Drained Peatlands in SE Asia. Wetland International and Delft Hydraulics Report. Http://www.wetlands.org. Diunduh pada 13 November 2009.

Mujib AS. 2009. Pengelolaan Kesuburan Tanah Pada Lahan Gambut. Http://www.scienceletter07.blogspot.com. Diunduh pada 14 Januari 2009.

Noor M. 2001. Pertanian Lahan Gambut Potensi dan Kendala. Yogyakarta: Kanisius. Nursanti I, Rohim AM. 2009. Pengelolaan Kesuburan Tanah Pada Lahan Gambut .

Http://dasar2ilmutanah.blogspot.com. Diunduh pada 14 Januari 2010.

Prasetyani M, Miranti E. 2004. Potensi dan Prospek Bisnis Kelapa Sawit Indonesia. Http://www.litbang.deptan.go.id. Diunduh pada 28 Desember 2009.

Provinsi Riau. 2002. Peta Lahan Gambut Provinsi Riau Tahun 2002 [Peta Tematik]. Jakarta: Wetland International-Indonesia Program. Http://www.jikalahari.org. Diunduh pada 13 Desember 2008. 1 lembar.

(__________). 2007. Peta Luas, Sebaran Lahan Gambut, dan Kandungan Karbon Provinsi Riau Tahun 2002 [Peta Tematik]. Jakarta: Wetland International - Indonesia Program. Http://www.jikalahari.org. Diunduh pada 13 Desember 2008. 1 lembar. Riau Mandiri. 2009. Pertumbuhan Investasi Dumai Capai Rp 4 T Pertahun.

Http://riaumandiri.net. Diunduh pada 23 Oktober 2009.

Sabiham S. 2007. Potensi dan Pemanfaatan Lahan Gambut Berkelanjutan Untuk Pertanian. Didalam: Pertanian Lahan Rawa. Prosiding Seminar Nasional: Kuala Kapuas, 3-4 Agustus 2007. Bogor: Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa. 2007. hal 63-82. Seafast IPB. 2008. Kajian Pasar Industri Hilir Kelapa Sawit. Http://seafast.ipb.ac.id.

Diunduh pada 5 Desember 2009.

Setyamidjaja. 2006. Kelapa Sawit: Teknik Budidaya, Panen, dan Pengolahan. Yogyakarta: Kanisius.

Soetrisno N. 2008. Peranan Industri Sawit Dalam Pengembangan Ekonomi Regional: Menuju Pertumbuhan Partisipatif Berkelanjutan. Http://ikah.depperin.go.id. Diunduh pada 3 Desember 2009.

Soil Survey Staff. 2006. Keys to Soil Taxonomy. Washington: United State of Agriculture Natural Resources Conservation Service. Edisi ke-10.

(34)

23 Tim Tanaman Perkebunan Besar. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis

Kelapa Sawit. Jakarta: Departemen Pertanian.

Wahyunto, Ritung S, Suparto, Subagjo H. 2005. Sebaran Gambut dan Kandungan Karbon di Sumatera dan Kalimantan. Bogor: Wetland International–Indonesia Program.

Wikipedia. 2009. Kelapa Sawit. Http://www.id.wikipedia.org. Diunduh pada 3 Desember 2009.

Yani A. 2003. Beberapa Pendekatan Pengukuran Karbon Tanah Gambut di Jambi [Skripsi]. Bogor: Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Yayasan Lestari Alam. 2 0 0 8 . Definisi Tanah Gambut. Http://ilmugambut.blogspot. Diunduh pada 14 Januari 2010.

Yulianti N. 2009. Cadangan Karbon Lahan Gambut Dari Agroekosistem Kelapa Sawit PTPN IV Ajamu, Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

(35)

24

LAMPIRAN

(36)

25

Lampiran 1 Peta Daerah Dumai (Sumber: Http://www.dumaikota.go.id)

(37)

26

Lampiran 2Peta Luas, Sebaran Lahan Gambut, dan Kandungan Karbon di Provinsi Riau Tahun 2002

(sumber: Http://www.jikalahari.org)

Lampiran 3 Peta Sebaran Hutan Diatas Lahan Gambut Riau Tahun 2007

(38)

28 Lampiran 5 Foto Kegiatan di Lapangan

Pengeboran tanah gambut di lokasi 1 Pengeboran tanah gambut di lokasi 2 Tenaga bantu lapangan

(39)

29

(40)

30

Gambar

Gambar 1 Plot pengeboran
Tabel 1 Luas perkebunan kelapa sawit rakyat di Dumai  Tahun  Luas Lahan (ha)  Produksi (ton)  Sumber Pustaka
Tabel 4 Rataan ketebalan bahan gambut pada lokasi penelitian  Lokasi  Saprik (cm)  Hemik (cm)  Fibrik (cm)  Total (cm)
Gambar 2 Nilai bobot isi pada lokasi penelitian
+2

Referensi

Dokumen terkait

Dengan adanya pemutusan orang tua angkat dengan anak angkatnya karena anak angkat tersebut, sudah tidak lagi berkedudukan sebagai anak kandung sehingga segala

Sedangkan Maximal Principal Stress (tegangan utama maksimum) sebesar 3,349 MPa dan Equivalent Stress sebesa 3,397 MPa. Ini berarti kanopi surya untuk sepeda motor listrik

Studi literatur, yaitu untuk memperoleh informasi yang digunakan dalam mengumpulkan data dengan cara membaca dari buku-buku atau media cetak lainnya yaitu tentang

Bangunan pembawa mempunyai fungsi membawa/mengalirkan air dari sumbernya menuju petak irigasi. Bangunan pembawa meliputi saluran primer, saluran sekunder, saluran tersier

U Splitsko-dalmatinskoj županije pozitivan utjecaj na broj noćenja turista imaju varijable rast bruto domaćeg proizvoda emitivnih zemalja (BDPPC it ) i finalna potrošnja

1 Studi yang dilakukan oleh Nikodemus Siregar didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang sangat lemah (tidak bermakna) antara jumlah trombosit dengan lama

18 Berdasarkan analisa yang dilakukan pada 139 sampel pasien apendisitis, telah didapatkan cut off point jumlah leukosit darah pasien apendisitis akut dengan apendisitis

Karya Tulis Ilmiah ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam menempuh ujian akhir Program Studi D3 Analis Kesehatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas