• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORETIK Pengertian Pengambilan Keputusan Konsumen. pembelian nyata setelah melalui tahap-tahap sebelumnya.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN TEORETIK Pengertian Pengambilan Keputusan Konsumen. pembelian nyata setelah melalui tahap-tahap sebelumnya."

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

13 2.1 Keputusan Konsumen

2.1.1 Pengertian Pengambilan Keputusan Konsumen

Menurut Firmansyah (2018:25) pengambilan keputusan dapat dianggap sebagai suatu hasil atau keluaran dari proses mental atau kognitif yang membawa pada pemilihan suatu jalur tindakan diantara beberapa alternatif yang tersedia. Setiap proses pengambilan keputusan selalu menghasilkan satu pilihan final, keluarannya bisa berupa suatu tindakan (aksi) atau suatu opini terhadap pilihan.

Stanton (1997) mengemukakan keputusan pembeli sebagai proses dalam pembelian nyata setelah melalui tahap-tahap sebelumnya. Setelah melakukan evaluasi atas sejumlah alternatif maka konsumen dapat memutuskan apakah suatu produk akan dibeli atau diputuskan untuk tidak dibeli sama sekali (dalam Firmansyah, 2018:41).

William J. Stanton (1993) menyebutkan bahwa keputusan pembelian untuk kebanyakan produk hanyalah suatu kegiatan rutin dalam arti kebutuhan akan cukup terpuaskan melalui pembelian ulang suatu produk yang sama. Namun apabila terjadi perubahan harga, produk dan pelayanan yang diterima maka konsumen tersebut mungkin tidak akan mengulang kembali keputusan pembeliannya dengan mempertimbangkan berbagai alternatif produk lainnya. (dalam Effendi, 2016:247).

Winardi, 1986 (dalam Alma, 2015:172) Pengambilan keputusan adalah proses memilih prosedur tertentu dari berbagai kemungkinan alternatif. Pengambilan keputusan senantiasa berkaitan dengan sebuah problem dan ingin di

(2)

capai suatu pemecahan. Secara harfiah pengambilan keputusan berarti memotong atau memutuskan atau secara praktis mencapai suatu kesimpulan.

Supranto (2009:3) Pengambilan keputusan ialah terletak dalam perumusan berbagai alternatif tindakan sesuai dengan yang sedang dalam perhatian dan dalam pemilihan alternatif yang tepat setelah suatu evaluasi (penilaian) mengenai efektivitasnya dalam mencapai tujuan yang di kehendaki pengambil keputusan. Salah satu komponen terpenting dari proses pembuatan keputusan ialah kegiatan pengumpulan informasi di mana suatu apresiasi mengenai situasi keputusan dapat dibuat.

Rossanty, Nasution, dan Ario (2018:9) konsumen adalah orang yang menggunakan barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik untuk keperluan pribadi atau untuk orang banyak dan tidak untuk diperdagangkan.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (dalam Windasuri & Susanti, 2017:3) konsumen (consumer) diartikan sebagai pemakai barang hasil produksi, penerima pesan iklan, dan pemakai jasa.

Effendi (2016:13) Konsumen adalah orang, individu atau badan usaha, organisasi yang menggunakan produk dan jasa untuk memenuhi kebutuhannya. Sebagaimana dimuat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa konsumen adalah setiap orang pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, dan tidak untuk diperdagangkan.

Peter dan Olson, 2000 (dalam Rossanty, Nasution, dan Ario, 2018:117) mengatakan bahwa pengambilan keputusan konsumen adalah proses pemecahan masalah yang diarahkan pada sasaran.

(3)

Engel 2000 (dalam Firmansyah, 2018:27) keputusan konsumen merupakan hal penting yang dilakukan konsumen dalam membeli suatu produk. Proses keputusan konsumen merupakan suatu kegiatan yang penting karena dalam proses tersebut memuat berbagai langkah yang terjadi secara berurutan sebelum konsumen mengambil keputusan.

Sproles & Sproles, 1990 (dalam Juliandi & Andriani, 2019:14) keputusan seorang konsumen untuk membeli produk atau jasa didasarkan pada suatu proses. Dengan demikian seorang menentukan apakah ia akan mengkonsumsi produk suatu perusahaan atau tidak, terlebih dahulu melalui proses pembelajaran.

Effendi (2016:248) keputusan konsumen adalah berkaitan dengan sikap yang telah dipertimbangkan untuk membeli produk atau jasa tertentu. Konsumen selalu mengambil keputusan dalam setiap aspek kehidupan yang melibatkan pilihan diantara berbagai alternatif untuk memenuhi kebutuhan.

Hawkins dkk, 2007 (dalam Effendi, 2016:248) keputusan konsumen adalah kesan individu yang secara hati-hati mengevaluasi atribut dari suatu produk, merek, atau jasa dan melakukan proses seleksi untuk memilih dari salah satu alternatif pemecahan masalah kebutuhan.

Jadi menurut pendapat saya dari beberapa pendapat ahli diatas dapat disimpulkan bahwa keputusan konsumen adalah suatu tindakan yang dilakukan konsumen untuk membeli produk atau menggunakan jasa melalui proses pemilihan salah satu dari beberapa alternatif dan mengevaluasinya yang kemudian akan menghasilkan keputusan final.

(4)

2.1.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keputusan Konsumen

Menurut Assael, 1995 (dalam Suryani, 2012:11) melalui model stimulus -organism-response. Ada dua faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan:

Komunikasi

Gambar 2.1

Revisi Model Sederhana Perilaku Konsumen (Assael, 1995) Pengaruh

Individual

Psikologi Konsumen: 1. Motivasi

2. Persepsi (Citra, Kualitas Pelayanan) 3. Sikap Karakteristik Konsumen: 1. Demografi 2. Gaya hidup 3. Pribadi konsumen Pengaruh Lingkungan 1. Nilai budaya 2. Kelas sosial

3. Pengaruh sub dan lintas budaya

4. Face to face group

Stimulus lain: 1. Ekonomi 2. Politik 3. Teknologi 4. Budaya Proses Pengambilan Keputusan Respon Konsumen

(5)

Pada Gambar 2.1 dijelaskan bahwa ada dua faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan yang selanjutnya akan menentukan respon konsumen. Pertama adalah konsumen itu sendiri. Ada dua unsur dari konsumen itu sendiri yang berpengaruh terhadap pengambilan keputusan yaitu pikiran konsumen yang meliputi kebutuhan atau motivasi, persepsi, sikap, dan karakteristik konsumen yang meliputi demografi, gaya hidup, dan kepribadian konsumen. Faktor kedua adalah pengaruh lingkungan ini melalui komunikasi akan menyediakan informasi yang tepat berpengaruh terhadap pengambilan keputusan konsumen. Adapun bentuk dari komunikasi dapat berupa komunikasi kelompok, komunikasi dari mulut ke mulut, komunikasi pemasaran dan lintas kelompok.

Setelah konsumen membuat keputusan, evaluasi setelah pembelian dilakukan (ditunjukkan dari feedback ke individual consumer). Selama proses evaluasi ini, konsumen akan belajar dari pengalaman dan merubah pola pikirnya, mengevaluasi merek dan memilih merek yang disukai, pengalaman konsumen ini secara langsung akan berpengaruh pada pembelian ulang berikutnya.

Evaluasi setelah pembelian ini juga memberi feedback pada perusahaan. Pemasar akan menelusuri respon konsumen melalui besarnya pangsa pasar dan data penjualan. Tapi informasi itu saja tidak cukup bagi pemasar untuk menjawab mengapa konsumen membeli, atau berapa kekuatan dan kelemahan mereknya dibanding dengan pesaing. Untuk itu, perlu riset pemasaran guna mendapatkan reaksi konsumen terhadap mereknya dan maksud pembelian. Informasi yang didapat ini kemudian digunakan manajemen untuk mereformulasikan strategi pemasaran agar sesuai dengan kebutuhan konsumen (Suryani, 2012:11).

(6)

Adapun menurut Abdullah dan Tantri (2019:112) Faktor-faktor utama yang mempengaruhi perilaku pembelian konsumen, sebagai berikut:

Gambar 2.2

Model mengenai faktor-faktor mempengaruhi perilaku konsumen 1. Faktor Budaya

a) ’’Kultur (Kebudayaan) adalah determinan paling fundamental dari keinginan dan perilaku seorang’’. Keluarga merupakan lingkungan primer dalam membentuk perilaku seorang anak dan menanamkan nilai-nilai yang baik.

b) ’’Subkultur mencakup kebangsaan, agama, kelompok ras, dan daerah geografis’’.

c) ’’Kelas Sosial menunjukkan stratifikasi sosial’’. Stratifikasi berupa tingkatan kelas hidup seseorang/kelompok.

2. Faktor Sosial

a) ’’Kelompok Acuan merupakan kelompok yang mempengaruhi perilaku orang’’. Kelompok ini merupakan kelompok yang dapat meberikan Budaya PEMBELI Sosial Motivasi Persepsi Pengetahuan Keyakinan dan Sikap Psikologi Kultur Subkultur Kelas Sosial Pribadi Umur dan tahap siklus hidup Pekerjaan Kondisi ekonomi Gaya hidup Kepribadian dan konsep diri Kelompok acuan Keluarga Peran dan status

(7)

dampak pengaruh terhadap sikap dan perilaku orang-orang terdekatnya. ’’Keluarga merupakan kelompok acuan primer yang palin berpengaruh’’, karena keluarga terutama orang tua sangat mempengaruhi perilaku anak-anaknya. Bagaiamana cara orang tua menanamkan nilai-nilai yang baik tentang pengambilan sebuah keputusan, apa yang diajarkan oleh orang tua akan terlihat dari sikap dan perilaku anaknya. Peran dan Status juga ikut berpartisipasi dalam mempengaruhi perilaku seseorang dalam pengambilan keputusan.

3. Faktor Pribadi

a) Usia dan Tahap Siklus Hidup. Usia merupakan rekam jejak perjalanan hidup seseorang yang dapat dilihat dari perbedaan makanan yang dikonsumsi dari seseorang tersebut dilahirkan hingga orang tersebut desawa, ’’Beberapa penelitian baru-baru ini telah mengidentifikasikan tahap-tahap dalam siklus hidup psikologis. Orang dewasa mengalami peralihan atau transformasi tertentu sepanjang hidupnya. Para pemasar memberikan perhatian khusus pada keadaan hidup yang berubah-berubah’’.

b) Pekerjaan juga mempengaruhi perilaku seseorang. Berbeda kelas pekerjaan akan membedakan pula dalam pola konsumsinya, baik itu dalam hal makanan, pakaian, aksesoris, dan lain sebagainya.

c) ’’Kondisi Ekonomi, pilihan produk sangat dipengaruhi oleh kondisi ekonomi seseorang’’. Pendapatan setiap orang pasti berbeda, begitu pula pola konsumsi dan cara hidupnya, bagi yang berpenghasilan besar bisa membelanjakan apa saja yang diinginkan dan bisa bepergian kemana saja

(8)

yang diinginkan, sedangkan yang berpenghasilan rendah hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan yang dianggap sangat penting tanpa memperdulikan keinginan,

d) Gaya hidup, setiap orang akan memiliki gaya hidup yang berbeda-beda. Mindset yang tertanam pada seseorang di zaman era globalisasi saat ini yaitu tentang bagaimana orang lain memandang diri kita, karena penilaian orang lain sangat mempengaruhi gaya hidup sesesorang.

4. Faktor Psikologis

a) Motivasi adalah dorongan dari orang lain untuk membangkitkan semangat kepada orang yang sedang membutuhkan dorogan agar orang tersebut bertindak. ’’Teori Motivasi Freud, Freud “mengasumsikan bahwa kekuatan psikologis riil yang membentuk prilaku orang sebagian besar bersifat di bawah sadar. Freud menganggap bahwa orang menahan banyak keinginan dalam proses pertumbuhan dan menerima aturan-aturan sosial. Keinginan-keinginan ini tidak pernah dapat dieliminasi atau dikendalikan dengan sempurna, keinginan ini muncul dalam mimpi, dalam kekhilafan ucapan (slips of the tongue), dalam perilaku neurotik”.

b) ’’Persepsi didefinisikan sebagai proses bagaimana seseorang menyeleksi, mengatur dan menginterpretasikan masukan-masukan informasi untuk menciptakan gambaran keseluruhan yang bermakna”.

c) ’’Keyakinan dan Sikap, melalui bertindak dan belajar, orang-orang memperoleh keyakinan dan sikap. Kedua faktor ini kemudian mempengaruhi perilaku pembelian mereka” (Abdullah dan Tantri 2019:112-123).

(9)

2.1.3 Model Pengambilan Keputusan Konsumen

Schiffman dan Kanuk, 2007 (dalam Suryani, 2012:16) model pengambilan keputusan meliputi input, proses, dan output, seperti di bawah ini:

Lingkungan Eksternal

Input

Pengambilan Keputusan Konsumen

Proses

Perilaku Paskapembelian Keputusan

Output

Gambar 2.3

Model pengambilan keputusan (Schiffman dan Kanuk, 2007) Usaha-usaha Pemasaran Perusahaan: 1. Produk 2. Promosi 3. Harga 4. Distribusi

Lingkungan sosial budaya: 1. Keluarga

2. Sumber informasi 3. Sumber non komersial 4. Kelas sosial

5. Budaya dan sub budaya

Pengenalan Kebutuhan Pencarian informasi sebelum membeli Evaluasi alternatif Faktor Psikologis 1. Motivasi 2. Kepribadian 3. Pembelajaran 4. Persepsi 5. Sikap Pengalaman Pencarian informasi sebelum membeli Evaluasi alternatif Pembelian 1. Percobaan 2. Pembelian ulang Evaluasi Paskapembelian

(10)

Pada Gambar 2.2 dapat disimpulkan bahwa dengan demikian dalam proses pengambilan keputusan ada tiga tahapan proses yang dilakukan yakni tahap pengakuan adanya kebutuhan (konsumen merasakan adanya kebutuhan), usaha pencarian informasi sebelum membeli dan penilaian terhadap alternatif. Proses tersebut dipengaruhi oleh usah-usaha dari pemasaran perusahaan dan lingkungan sosio-kultural serta kondisi psikologis konsumen.

Faktor eksternal yang dapat menjadi input dan berpengaruh terhadap proses pengambilan keputusan adalah usaha-usaha yang dilakukan oleh pemasar melalui strategi dan bauran pemasaran dan faktor eksternal yang berupa lingkungan sosial budaya seperti keluarga, kelas sosial, sumber-sumber informal dan komersial, budaya, sub budaya.

Kedua kekuatan eksternal tersebut akan mempengaruhi proses pengambilan keputusan. Proses ini diawali dengan pengenalan kebutuhan oleh konsumen, diikuti dengan pencarian informasi, evaluasi alternatif dan keputusan membeli dan evaluasi setelah membeli (Suryani, 2012:17).

2.1.4 Proses Pengambilan Keputusan Konsumen

Menurut tujuan pembeliannya, konsumen dapat dikelompokkan menjadi konsumen akhir (individual) yaitu yang terdiri atas individu dan rumah tangga yang tujuan pembeliannya adalah untuk memenuhi kebutuhan sendiri atau untuk dikonsumsi. Sedangkan kelompok lain adalah konsumen organisasional yang terdiri atas organisasi, pemakai industri, pedagang dan lembaga non-profit yang tujuan pembeliannya adalah untuk memperoleh laba atau kesejahteraan anggotanya.

(11)

Keputusan pembelian barang/jasa seringkali melibatkan dua pihak atau lebih. Umumnya ada lima peranan yang terlibat. Kelima peran tersebut meliputi: 1) Pemrakarsa (initiator), yaitu orang yang pertama kali menyarankan ide untuk

membeli suatu barang/jasa.

2) Pembawa pengaruh (influencer), yaitu orang yang memiliki pandangan atau nasihat yang mempengaruhi keputusan pembelian.

3) Pengambil keputusan (decider), yaitu orang yang menentukan keputusan pembelian.

4) Pembeli (buyer), yaitu orang yang melakukan pembelian secara nyata.

5) Pemakai (user), yaitu orang yang mengkonsumsi dan menggunakan barang/jasa yang dibeli (Suryani, 2012:13).

Dilihat dari proses pengambilan keputusan, proses keputusan pembelian sangat bervariasi. Ada yang sederhana dan ada pula yang kompleks. Pengambilan keputusan sederhana umumnya terjadi pada produk-produk yang kurang beresiko dan sederhana penggunaannya. Sebaliknya pengambilan keputusan kompleks dilakukan konsumen pada produk-produk yang beresiko tinggi, berharga mahal, terkait langsung dengan harga diri, dan produknya bersifat kompleks. Contoh ketika konsumen akan membeli rumah, mobil, dan produk lainnya (Suryani, 2013:13).

Dalam proses pengambilan keputusan untuk membeli, konsumen dipengaruhi, selain oleh faktor-faktor dalam dirinya dan jenis produk yang ditawarkan kepadanya, juga oleh faktor-faktor lain dari lingkungannya, yaitu kebudayaan, keluarga, status sosial, kelompok acuannya. Modul ini akan

(12)

SITUASI-SITUASI

membahas model yang di kembangkan oleh Hawkins dan rekan (dalam Munandar, 2001:436-448).

SITUASI-SITUASI

Gambar 2.4

Proses Pengambilan Keputusan Konsumen (Hawkins & Rekan)

Pada Gambar 2.3 Merupakan gambar dan model yang dikembangkan oleh Hawkins dan rekan tentang “proses pengambilan keputusan dari konsumen”. Gambar ini menunjukkan unsur-unsur dasar dalam proses pengambilan keputusan dari konsumen. Dalam menggunakan model diatas perlu diperhatikan bahwa konsumen memiliki masalah khusus yang menuntut jawaban khusus, sehingga

Pengenalan Masalah (Problem recognition)

Pencarian Informasi (Information search)

Proses pasca pembelian (Postpurchase processes) Seleksi saluran distribusi dan pelaksanaan keputusan (Outlet

selection and decision implementation)

Evaluasi dan seleksi (Evaluation and selection)

(13)

situasi yang ada harus selalu merupakan kerangka kerja yang didalamnya ditinjau proses pengambilan keputusan.

Pengambilan keputusan konsumen makin menjadi ekstensif dan majemuk dengan meningkatnya keterlibatan dalam membeli. Tingkat terendah dari keterlibatan membeli diwakili oleh keputusan-keputusan yang diambil berdasarkan kebiasaan: satu masalah dikenali, ingatan jangka panjang memberikan merek yang disenangi, merek tersebut dibeli, dan hanya terjadi pasca-pembelian yang terbatas.

Dalam pengambilan keputusan yang lebih ekstensif, maka pencarian informasi menjadi lebih lama dan luas, penilaian alternatif menjadi lebih luas dan majemuk, dan evaluasi pasca-pembelian menjadi lebih teliti dan mendalam. Berikut secara singkat ulasan tentang setiap tahap dalam proses pengambilan keputusan konsumen.

1. Pengenalan Masalah (Problem Recognition)

Proses pengambilan keputusan konsumen mulai dengan mengenali adanya masalah. Mengenali adanya masalah merupakan langkah penting dalam proses pengambilan keputusan konsumen. Masalah konsumen ialah perbedaan antara keadaan yang ada (apa yang dipersepsikan oleh konsumen sebagai yang telah ada sekarang) dengan satu keadaan yang diinginkan (apa yang diinginkan oleh konsumen). Keadaan yang diinginkan dan keadaan yang ada kedua-duanya dipengaruhi oleh gaya hidup konsumen dan situasi yang berlangsung sekarang. Jika perbedaan antara kedua keadaan dirasakan sebagai cukup besar dan penting, maka konsumen mulai mencari jawaban terhadap masalahnya. Sejumlah faktor

(14)

dapat mempengaruhi pengenalan masalah. Keadaan yang diinginkan biasanya dipengaruhi oleh:

a) Kebudayaan/golongan sosial, misalnya pakaian (dengan warna mencolok atau tidak, seksi atau sopan), perumahan (layak sesuai dengan status sosialnya), makanan (masakan Jawa, Sunda, Cina, Eropa), transportasi (yang dianggap layak sesuai dengan status sosialnya, cukup naik bis, direktur utama naik Mercedes Benz, kepala bagian naik Toyota Corona atau Eterna) yang diinginkan.

b) Kelompok-kelompok acuan, perubahan dalam kelompok-kelompok acuan dapat mengubah gaya hidup dari konsumen yang sebalikya akan berpengaruh pada hal-hal yang diinginkan. Misalnya seseorang yang baru lulus sarjana dan masuk bekerja. Perbedaan yang jelas dalam pakaian dan perilaku cepat mempengaruhi karyawan baru sewaktu ia mennyadari perbedaan-perbedaan antara gaya hidup kelompok-kelompok acuan sebelumnya dan gaya hidup yang diperlihatkan oleh kelompok acuan baru. Perbedaan ini menciptakan masalah yang dikenali dan harus diatasi oleh karyawan baru agar dapat menyesuaikan diri dengan standar yang implisit dan eksplisit dari kelompok acuannya yang baru.

c) Ciri-ciri keluarga seperti jumlah dan umur anak-anak menentukan banyak keinginan konsumen. Perubahan dalam ciri-ciri keluarga menghasilkan perubahan dalam gaya hidup dan perubahan yang dramatis pada keinginan-keinginan konsumen.

d) Status/harapan finansial, perubahan dalam status finansial dan atau harapan finansial dapat juga mempengaruhi keadaan yang diinginkan konsumen.

(15)

Kenaikan gaji, warisan, atau antisipasi dari hal ini semua dapat menyebabkan konsumen mengubah keinginannya sedemikian rupa sehingga keadaan yang ada menjadi kurang memuaskan.

e) Keputusan-keputusan sebelumnya mempengaruhi pengenalan masalah, contoh pembelian satu mobil atau satu rumah dapat memacu pengenalan kebutuhan untuk membeli asuransi.

f) Perkembangan individual dapat mempengaruhi keadaan yang diinginkan. g) Situasi perorangan yang berlangsung sekarang/saat ini sangat mempengaruhi

kondisi yang diinginkan, contoh seseorang yang memiliki waktu terbatas menginginkan pelayanan yang cepat, sedangkan seseorang dengan waktu yang banyak mungkin lebih senang dengan pelayanan yang ramah.

2. Pencarian Informasi

Langkah kedua dalam proses pengambilan keputusan konsumen ialah pencarian informasi. Konsumen dapat melakukan pencarian informasi yang ekstensif internal dan eksternal, pencarian internal dan eksternal yang terbatas, atau hanya pencarian internal. Informasi dapat dicari tentang:

a) Kriteria penilaian yang sesuai untuk pemecahan masalah, misalnya anda, sebagai hadiah mendapat cukup uang untuk membeli komputer pribadi. Anda menentukan kriteria yang harus dipenuhi komputer yang akan dibeli, misalnya harus mudah dioperasikan, dapat dibawa ke mana-mana, huruf-hurufnya harus cukup besar kelihatan pada layar monitor, dan seterusnya. Kalau Anda belum puas dengan ini, Anda dapat melakukan pencarian informasi eksternal dengan menghubungi orang yang berkeahlian dalam bidang komputer. Kepadanya Anda menanyakan ciri-ciri apa yang dimiliki oleh sebuah komputer yang baik.

(16)

Tujuannya ialah mendapat informasi yang cukup lengkap sehingga mampu menyusun kriteria yang dapat digunakan untuk menilai kebaikan komputer. b) Adanya berbagai macam alternatif pemecahan. Setelah berhasil menyusun

perangkat kriteria penilaian, dicari berbagai alternatif yang dapat memenuhi kriteria penilaian. Dalam proses pencarian ini timbul berbagai merek produk. Misalnya untuk komputer pribadi timbul dari ingatan Anda merek-merek seperti IBM, Macintosh, Wang, Attari, Sharp, Toshiba, Zenith, dan Compact. Jika Anda rasakan masih ada alternatif lain, disini pun anda dapat melakukan pencarian informasi eksternal. Dari harian, buku, majalah, ataupun orang lain Anda akan dapat tambahan merek-merek komputer.

c) Unjuk kerja dari setiap pemecahan alternatif terhadap setiap kriteria evaluasi merupakan langkah terakhir. Komputer dengan merek yang berbeda-beda mulai dinilai berdasarkan perangkat kriteris penilaian yag telah disusun. Berdasarkan proses penilaian ini akan tinggal satu atau beberapa alternatif.

Informasi konsumen internal (informasi yang disimpan dalam ingatan) diperoleh secara aktif melalui pencarian-pencarian sebelumnya dan pengalaman pribadi atau diperoleh secara pasif melalui pembelajaran dengan keterlibatan yang rendah. Informasi, selain dapat dicari dari ingatan sendiri, dapat dicari pula dari empat macam sumber eksternal, yaitu:

a) Sumber-sumber pribadi seperti teman, kenalan dan keluarga.

b) Sumber-sumber bebas seperti kelompok-kelompok konsumen, professional bayaran, dan badan-badan pemerintahan.

(17)

d) Sumber-sumber pengalaman langsung (eksperiental sources) seperti pencobaan langsung dengan produk atau pengkajian langsung dari produk.

Kenyataan menunjukkan bahwa pencarian informasi eksternal secara eksplisit setelah adanya pengenalan masalah dilakukan secara terbatas. Sering disarankan agar konsumen seyogyanya melibatkan diri dalam pencarian eksternal yang relatif ekstensif sebelum membeli suatu produk. Namun demikian, saran ini tidak memperhatikan fakta bahwa pencarian informasi memerlukan banyak waktu, tenaga, uang, dan dapat mengarah pada pegorbanan untuk melakukan hal-hal lain yang lebih menguntungkan dan menyenangkan. Hawkins dan rekan menyarakan agar pencarian eksternal hanya dilakukan jika kemaslahatan yang diharapkan lebih banyak/tinggi dari pada biaya yang diharapkan.

3. Penilaian dan Seleksi dari Alternatif

Selama dan setelah konsumen mengumpulkan informasi tentang jawaban-jawaban alternatif terhadap satu masalah yang dikenali, mereka menilai alternatif-alternatif dan menyeleksi tindakan yang tampaknya paling baik memecahkan masalahnya.

Kriteria penilaian adalah berbagai ciri yang dicari konsumen sebagai jawaban terhadap satu masalah. Mereka adalah ciri-ciri yang digunakan konsumen untuk membandingkan merek yang berbeda-beda ditinjau dari masalah khusus mereka. Jumlah, jenis dan pentingnya kriteria penilaian yang digunakan berbeda dari konsumen yang satu ke konsumen yang lain dan berbeda untuk kategori produk yang berbeda-beda. Perlu diketahui kriteria apa yang digunakan oleh kelompok-kelompok sasaran.

(18)

Strategi pemasaran yang efektif mulai dapat dikembangkan berdasarkan pengetahuan tentang (1) kriteria penilaian mana yang digunakan oleh konsumen, (2) bagaimana konsumen mempersepsikan berbagai alternatif terhadap setiap kriteria, dan (3) kepentingan relatif dari setiap kriteria. Teknik-teknik yang digunakan untuk keperluan ini, antara lain kuesioner langsung, teknik proyektif dan skala bermatra ganda (multidimensional scaling).

Sejumlah kriteria penilaian seperti harga, besaran, dan warna dapat digunakan secara mudah dan cermat dalam pertimbangan oleh para konsumen. Kriteria lain seperti mutu, ketahanan, dan kemaslahatan kesehatan sangat lebih sulit untuk membuat pertimbangan. Penelitian menunjukkan bahwa konsumen pada umumnya sulit membedakan mutu antara merek-merek rokok, bir, minuman (softdrink) dan produk-produk lainnya. Dalam hal ini konsumen sering menggunakan harga, nama merek, atau ubahan lain sebagai indikator pengganti mutu.

Jika konsumen menilai berbagai merek berdasarkan beberapa kriteria penilaian, mereka harus memiliki metode tertentu untuk memilih satu merek dari merek-merek lain yang dinilai. Ada aturan-aturan keputusan yang mereka gunakan. Aturan keputusan merinci bagaimana konsumen membandingkan dua atau lebih merek. Ada lima aturan keputusan yang pada umumnya digunakan, yaitu:

a) Konjunktif (conjuctive), produk harus memenuhi nilai minimal dari seluruh kriteria penilaian. Misalnya kriteria penilainnya untuk kopi adalah mutu, harga, dan aroma. Setiap merek kopi dinilai berdasarkan kriteria penilaian tersebut dan harus memenuhi nilai minimal. Jika untuk salah satu kriteria

(19)

merek tersebut tidak memenuhi kriteria minimal, maka merek tersebut tidak akan dipiliih.

b) Disjunktif (disjunctive), produk harus memenuhi nilai minimal yang cukup tinggi untuk salah satu kriteria dari kriteria penilaian yang digunakan, misalnya merek kopi memenuhi nilai minimal untuk kriteria mutu.

c) Eliminasi berdasarkan aspek (eliminaton by aspect), produk harus memenuhi semua kriteria yang digunakan pada tingkat yang dapat diterima. Setiap produk yang tidak memenuhi salah satu kriteria, tidak dipertimbangkan lagi. Merek kopi “A” untuk kriteria aroma, memiliki aroma kopi yang tidak dapat diterima, maka merek tersebut tidak dipertimbangkan lagi.

d) Leksikografis (lexicographic), Kriteria penilaian disusun berdasarkan prioritas kepentingannya, dari kriteria yang terpenting ke kriteria yang paling kurang penting. Misalnya untuk kopi prioritas kriteria pertama mutu, kedua aroma, ketiga harga. Kopi merek “K” dinilai kurang mutunya, merek kopi tersebut tidak dipertimbangkan lagi. Kopi merek “KA” dinilai mutunya baik, kemudian dinilai aromanya, jika dinilai memuaskan, akhirnya dinilai harganya. Jika memuaskan juga, maka kopi merek “KA” akan dicadangkan untuk dibeli. e) Kompensatoris (compensatory), kriteria penilaian memiliki nilai kepentingan

yang berbeda-beda. Produk dapat rendah nilainya untuk kriteria yang satu, tetapi dapat memperoleh nilai yang tinggi pada kriteria yang lain. Misalnya untuk kopi kriteria mutu mendapat harkat 10, aroma 8 dan harga 6. Merek kopi “A” untuk mutu mendapat nilai 10, aroma mendapat nilai 5, dan untuk harga mendapat nilai 8. Jumlah skor yang di peroleh untuk mutu (10 x 10), aroma (8 x 5) dan untuk harga (6 x 8). Jumlah keseluruhannya 188. Kopi

(20)

merek “B” untuk mutu mendapat nilai 8, untuk aroma 10, untuk harga 10. Jumlah nilai keseluruhannya 220. Kopi merek “B” yang akan dicadangkan untuk dibeli meskipun ia kalah mutunya dengan kopi merek “A”.

4. Seleksi Saluran Distribusi dan Pelaksanaan Keputusan

Kebanyakan produk konsumen diperoleh melalui salah satu bentuk saluran distribusi atau penyalur eceeran. Dengan demikian konsumen juga harus menyeleksi saluran distribusi sebagaimana mereka harus menyeleksi produk. Keputusan untuk ini dapat dilakukan dengan tiga cara: (1) secara simultan, bersama-sama, (2) produk dulu, penyalur kemudian, (3) penyalur dulu, produk kemudian.

Proses pengambilan keputusan yang digunakan oleh konsumen untuk menyeleksi penyalur eceran sama dengan proses pengambilan keputusan untuk memilih satu merek. Yang berbeda ialah penggunaan kriteria penilaian. Citra toko/pasar, jenis dan jumlah dari iklan pengecer memberi pengaruh yang penting pada kriteria penilaian. Matra utama dari citra toko/pasar ialah barang dagangan, pelayanan, langganan, fasilitas fisik, kenikmatan, promosi, iklim toko, dan faktor-faktor pasca transaksi (barang dapat dikembalikan dalam jangka waktu tertentu misalnya). Lokasi penyalur merupakan ciri yang utama bagi konsumen. Lokasi penyalur yang letaknya dekat lebih disenangi daripada lokasi penyalur yang jauh dari tempat tinggal konsumen. Penyalur yang lebih besar juga lebih disukai dari pada penyalur yang kecil.

Jenis konsumen yang berbeda memberikan nilai yang berbeda kepada ciri-ciri toko. Konsumen dari golongan sosial rendah memiliki kesukaan toko yang berbeda dengan konsumen dari golongan sosial menengah untuk kategori produk

(21)

tertentu. Konsumen dari golongan sosial menengah misalnya akan lebih senang beli daging di pasar swalayan dari pada di pasar.

Anggota keluarga dapat memainkan peran yang berbeda dalam proses pengambilan keputusan. Misalnya di Amerika Serikat 71% pembelian kopi dilakukan oleh para istri. Namun demikian separo dari kasus ini suamilah yang menyeleksi mereknya. Jadi suatu situasi di mana satu anggota keluarga memilih produk dan /atau merek dan satu anggota keluarga lain memilih toko penyalurnya bukan merupakan situasi yang luar biasa. Di samping itu pengambilan keputusan bersama dalam hal penentuan toko pengecernya juga dapat terjadi. Status kerja istri mempunyai akibatnya pada proses pembelanjaan. Wanita yang bekerja cenderung untuk lebih banyak belanja pada akhir minggu.

Konsumen sering membeli satu produk sewaktu berada di toko yang berbeda dari rencana mereka sebelum memasuki toko. Pembelian demikian dikatakan sebagai pembelian yang tidak direncanakan atau pembelian impulsif. Istilah yang digunakan ini kurang tepat karena seolah-olah menggambarkan tidak terjadinya pengambilan keputusan untuk membeli secara rasional. Lebih baik memandang keputusan tersebut sebagai hasil dari tambahan olahan informasi yang ditimbulkan oleh rangsang-rangsang dalam toko. Ubahan-ubahan demikian seperti peragaan titik pembelian, reduksi harga, layout toko, dan karyawan penjual, dapat memberikan dampak yang besar pada pola-pola pembelian.

5. Proses Pasca Pembelian

Setelah melakukan pembelian, beberapa konsumen mengalami kesangsian atau kecemasan tentang kebijakan pembeliannya. Gejala ini dikenal sebagai pertentangan pasca-pembelian. Pada umumnya terjadi (1) antara individu-individu

(22)

dengan kecenderungan mengalami kecemasan, (2) setelah satu pembelian yang tidak dapat ditiadakan, (3) jika penting bagi konsumen, dan (4) jika melibatkan pilihan yang sulit antara dua atau lebih alternatif. Perusahaan sering memanfaatkan fakta bahwa konsumen mencari penguatan sesudah pembelian penting sebagai dasar dalam iklan untuk meyakinkan mereka bahwa mereka telah membuat pilihan yang tepat.

Kebanyakan pembelian diikuti dengan penggunaan produk. Penggunaan produk mungkin saja tidak oleh pembelinya, tetapi oleh orang lain. Perlu diketahui sejauh mana produk yang dibeli dirasakan kegunaannya sesuai dengan yang diharapkan. Pemantauan terhadap penggunaan produk dapat juga menunjukkan penggunaan baru bagi produk-produk yang ada, perubahan-perubahan produk yang diperlukan, tema iklan yang sesuai, dan peluang-peluang untuk produk baru.

Disposisi atau pembuangan dari produk merupakan hal yang perlu diperhatikan juga. Perilaku disposisi menjadi makin penting untuk diperhatikan karena adanya keprihatinan ekologikal dari konsumen. Kemudahan daur ulang atau penggunaan kembali dari tempat produk merupakan ciri yang penting bagi banyak konsumen.

Pertentangan pasca-pembelian, penggunaan produk, dan disposisi merupakan pegaruh-pengaruh potensional pada proses pembelian. Pada dasarnya, konsumen mengembangkan harapan-harapan tertentu tentang kemampuan dari produk untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan instrumental dan simbolikal. Jika produk memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini, hasilnya ialah kepuasan. Jika harapan tidak dipenuhi hasilnya ketidakpuasan.

(23)

2.1.5 Indikator Keputusan Konsumen

Dalam jurnal penelitian Ghozi, Ramli, dan Setiarini tahun 2018 yang berjudul “Analisis keputusan nasabah dalam memilih jenis bank: Penerapan model regresi logistik biner (studi kasus pada bank BRI cabang Balikpapan)”. Mengukur keputusan nasabah dengan menggunakan variabel kategorik yaitu kategori 0 = menabung di bank BRI konvensional dan 1 = menabung di bank BRI syariah .

Dalam jurnal penelitian Rahardjo tahun 2011 yang berjudul “Pengaruh bauran pemasaran terhadap keputusan pembelian pelanggan produk DD super pia, Tanggerang, dengan menggunakan analisis regresi logistik periode Agustus – Oktober 2011”. Mengukur keputusan pembelian dengan menggunakan variabel kategorik yaitu kategori 0 = kadang-kadang dan 1 = sering membeli.

Dalam jurnal penelitian Rhamadani dan Sarma tahun 2018 yang berjudul “Pengaruh sumber pengetahuan konsumen non-bussines controlled terhadap keputusan penggunaan direktori kuliner online zomato”. Mengukur keputusan penggunaan direktori kuliner online zomato menggunakan variabel kategorik yaitu kategori 0 = menggunakan website zomato dan 1 = mengunduh dan menggunakan aplikasi zomato.

Maka indikator yang digunakan pada variabel keputusan konsumen dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: “Berapa kali Bapak/Ibu/Saudara/I Menggunakan jasa gadai produk pembiayaan rahn (gadai syariah) pada PT. Pegadaian Syariah Cabang Jelutung Unit Aston Villa”. Karena pada variabel keputusan konsumen ini merupakan variabel kategorik yaitu kategori 0 = 1 kali dan 1 = > 1 kali.

(24)

2.1.6 Landasan Teori Pegadaian Syariah 1. Pengertian Pegadaian Syari’ah

Transaksi hukum gadai dalam fikih Islam disebut al-rahn. Kata al-rahn berasal dari bahasa Arab “rahana-yarhanu-rahnan” yang berarti menetapkan sesuatu. Secara bahasa menurut Abu Zakariyya Yahya bin Sharaf al-Nawawi (w. 676 H) pengertian al-rahn adalah al-subut wa al-Dawam yang berarti “tetap” dan “kekal”. Meurut Taqiyyuddin Abu Bakar al-Husaini (w. 829 H), al-rahn adalah al-subut “sesuatu yang tetap” dan al-Ihtibas “menahan sesuatu”. Bagi Zakariyya al-Anshary (w.936 H), al-rahn adalah al-subut yang berarti “tetap”. Pengertian “tetap” dan “kekal” dimaksud, merupakan makna yang tercakup dalam kata al-Habsu wa al-Luzum “menahan dan menetapkan sesuatu”. Dengan demikian, pengertian al-rahn secara bahasa seperti yang terungkap di atas adalah tetap, kekal dan menahan suatu barang sebagai pengikat utang (dalam Mulazid, 2016:1).

Secara istilah menurut Ibn Qudamah (w.629 H), pengertian al-rahn adalah al-mal al-ladhi yuj’alu wathiqatan bidaynin yustaufa min thamanihi in ta’adhara istifa’uhu mimman huwa ‘alayh “suatu benda yang dijadikan kepercayaan atas hutang, untuk dipenuhi dari harganya, bila yang berutang tidak sanggup membayar hutangnya”. Taqiyyuddin (w. 829 H) menyatakan bahwa al-rahn adalah ja’ala al-mal wathiqatan bidaynin “menjadikan sesuatu barang sebagai jaminan utang”. Menurut Zakariyya al-Anshary (w. 936 H), al-rahn adalah ja’lu ‘ayni malin wathiqatan bidaynin yustaufa minha ‘inda ta’adhuri wafa’ihi “menjadikan suatu barang yang mempunyai nilai harta benda sebagai jaminan utang yang dipenuhi dari harganya ketika utang tersebut tidak bisa dibayar”. Ia menyatakan bahwa tujuan rahn adalah menyerahkan barang jaminan yang

(25)

dimiliki dan berpindah kepemilikannya itu ketika rahin tidak mampu membayar dalam jangka waktu yang telah ditentukan. Karena itu, jenis barang yang dijaminkan adalah berupa harta benda yang dapat diperjualbelikan (dalam Mulazid, 2016:2).

Dalam fiqhi islam lembaga gadai dikenal dengan “rahn”, yaitu perjanjian menahan sesuatu barang. Barang atau bukti harta tetap milik peminjam yang ditahan merupakan jaminan atau sebagai tanggungan hutang sehingga barang jaminan menjadi hak yang diperoleh kreditur yang dijadikan sebagai jaminan pelunasan hutang.

Muhammad (2007:64) rahn (gadai) adalah menahan salah satu harta milik sesesorang (peminjam) sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.

Sayyid Sabiq (dalam Mulazid, 2016:3) menambahkan bahwa rahn adalah menjadikan suatu barang yang mempunyai nilai harta dalam pandangan shara’ sebagai jaminan utang, yang memungkinkan untuk mengambil seluruh atau sebagian utang dari barang tersebut.

2. Dasar Hukum Pegadaian Syari’ah

Islam dengan ajarannya yang komit dan luas membenarkan adanya praktek utang piutang yang menjadi inti praktek lembaga pegadaian. Praktek ini secara normatif dapat digali dalam surat Al-Baqarah ayat 282 yang mengajarkan perjanjian hutang piutang yang perlu diperkuat dengan catatan dan melibatkan saksi-saksi.

(26)

A. Dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 282 ditegaskan:

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun dari pada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan diantara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli, dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu

(27)

kefasikan pada dirimu. Dan bertaqwalah kepada Allah, Allah mengajarmu, dan Allah maha mengetahui segala sesuatu”. (Al-Baqarah:282).

Sedangkan Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 283 secara tegas diperbolehkan meminta jaminan barang atas hutang.

“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertkwa kepada Allah Tuhannya: dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian, dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya: dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Al-Baqarah:283).

Ayat-ayat tersebut oleh Komisi Dewan Fatwa Majelis Ulama Indonesia dijadikan sebagai dasar pertimbangan untuk menetapkan fatwa yang membolehkan praktek rahn (gadai). Dalam dasar pertimbangan Dewan Fatwa dikemukakan beberapa butir, yaitu: (a) Salah satu bentuk jasa pelayanan keuangan yang menjadi kebutuhan masyarakat adalah pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang, (b) Lembaga keuangan syariah perlu merespon kebutuhan masyarakat dalam berbagai produknya, (c) Agar cara tersebut dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah (Muhammad, 2007:67).

(28)

B. Al-Hadits (dalam Antonio, 2001:129)

1) “Aisyah r.a berkata bahwa Rasulullah membeli makanan dari seseorang Yahudi dan menjaminkan kepadanya baju besi”. (HR Bukhari No. 1926, kitab al-Buyu, dan Muslim).

2) “Anas r.a berkata Rasulullah menggadaikan baju besinya kepada seorang Yahudi di Madinah dan mengambil darinya gandum untuk keluarga beliau”. (HR Bukhari No. 1927, kitab al-Buyu, Ahmad, Nasa’I, dan Ibnu Majah). 3) “Abi Hurairah r.a berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, Apabila ada

ternak digadaikan, punggungnya boleh dinaiki (oleh orang yang menerima gadai) karena ia telah mengeluarkan biaya (menjaga)nya. Apabila ternak itu digadaikan, air susunya yang deras boleh diminum (oleh orang yang menerima gadai) karena ia telah mengeluarkan biaya (menjaga)nya. Kepada orang yang naik dan minum, ia harus mengeluarkan biaya (perawatan)nya”. (HR Jamaah kecuali Muslim dan Nasa’i, Bukhari No. 2329, kitab ar-Rahn). 4) “Abu hurairah r.a berkata bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, Barang

yang digadaikan itu tidak boleh ditutup dari pemilik yang menggadaikannya. Baginya adalah keuntungan dan tanggung jawabnyalah bila ada kerugian (atau biaya)”. (HR Syafi’I dan Daruqutni).

Selain dua landasan diatas, praktek gadai juga didasarkan pada konsensus atau Ijma’ ulama yang menetapkan hukumnya mubah (boleh) melakukan perjanjian gadai. Ijtihad para ulama ini terutama sekali menyangkut segi-segi teknis, seperti ketentuan tentang siapa yang harus menanggung biaya pemeliharaan selama marhun berada di tangan murtahin dan tata cara penentuan biaya dan sebagainya.

(29)

Dengan beberapa landasan tersebut, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia memutuskan dan menetapkan hukum rahn mubah dengan ketentuan-ketentuan, yaitu ketentuan umum dan ketentuan penutup.

Ketentuan Umum:

Dalam ketentuan umum tentang rahn ini terdapat beberapa butir yang ditetapkan oleh Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yaitu:

1) Mutahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan barang (marhun) sampai semua hutang rahin (yang menyerahkan barang) di lunasi.

2) Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahin. Pada prinsipnya, Marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizing rahin, dengan tidak mengurangi nilai marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan dan perawatannya.

3) Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban rahin, namun dapat dilakukan juga oleh murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin.

4) Besar biaya pemeliharaan dan penyimpaan marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman

5) Penjualan marhun

a) Apabila jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan rahin untuk segera melunasi hutangnya.

b) Apabila rahin tetap tidak dapat melunasi utangnya, maka marhun dijual paksa/dieksekusi melalui lelang sesuai syariah.

c) Hasil penjualan marhun digunakan untuk melunasi hutang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan.

(30)

d) Kelebihan hasil penjualan menjadi miik rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban rahin.

Ketentuan Penutup:

Ketentuan penutup ini menyangkut persoalan teknis penyelesaian perkara tentang selisih rahn yang harus dilakukan oleh kedua belah pihak, rahin dan murtahin apabila terjadi sengketa. Dalam ketentuan penutup dikemukakan, diantaranya bahwa jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan antara keduanya, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah (BASYAR) setelah tidak tercapai kesepakatan secara musyawarah (Muhammad, 2007:69).

3. Syarat Dan Rukun Rahn (Gadai)

Sebagai sebuah bentuk transaksi muamalah, rahn dalam fikhi islam memiliki rukun dan syarat yang mengikat keabsahan legalitas prakteknya. Menurut Pasaribu, Chaeruddin dan K. Lubis,S. 1994, (dalam Muhammad, 2007:71) mengemukakan beberapa syarat sahnya transaksi gadai, yaitu:

1) Adanya lafadz, yaitu pernyataan adanya perjanjian gadai.

Lafadz dapat saja dilakukan secara tertulis maupun lisan, yang penting didalamnya terkandung maksud adanya perjanjian gadai diantara pihak yang berkepentingan.

2) Adanya pemberi dan penerima gadai.

Pemberi dan penerima gadai haruslah orang yang berakal dan balig sehingga dapat dianggap cakap untuk melakukan suatu perbuatan hukum sesuai dengan ketentuan syari’at islam.

(31)

3) Adanya barang yang digadaikan.

Barang yang digadaikan harus ada pada saat dilakukan perjanjian gadai dan barang itu adalah milik si pemberi gadai, barang gadaian itu kemudian berada dibawah pengasaan penerima gadai.

4) Adanya utang/hutang.

Hutang yang terjadi haruslah bersifat tetap, tidak berubah dengan tambahan bunga atau mengandung unsur riba.

Akad rahn dapat berjalan di atas dua akad transaksi, yaitu akad rahn dan akad ijarah. Akad rahn adalah akad yang bertujuan untuk menahan barang/harta milik rahun (penggadai/nasabah) sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Dengan akad ini pegadaian (rahn) menahan barang bergerak sebagai jaminan atas hutang.

Sedangkan akad ijarah adalah pemindahan hak guna (manfaat) atas barang atau jasa melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barangnya sendiri.

4. Prinsip-Prinsip Pembiayaan Gadai Syariah

Secara substansif, Pegadaian Syariah memiliki tiga prinsip yang bersumberkan pada kajian ekonomi Islam. Mannan berpendapat bahwa prinsip pengembangan ekonomi tidak saja mengacu pada proses di mana msyarakat dari suatu Negara memanfaatkan sumber daya yang tersedia untuk menghasilkan kenaikan produksi barang dan jasa secara terus-menerus. Akan tetapi, Islam memiliki prinsip-prinsip pengembangan yang dibingkai dengan kerangka

(32)

hubungan dengan Allah dan menyeimbangkan antar-kehidupan di dunia dan di akhirat. Di antara prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut:

a) Prinsip Tauhid (Tawhid)

Gadai dengan prinsip tawhid dapat mengukuhkan konsep non-materialistik dan dipahami sebagai triangle, di mana ketaatan kepada Tuhan diletakkan pada posisi puncak, Sedangkan manusia dan alam diletakkan pada posisi sejajar yang saling membutuhkan. Manusia diberikan amanat untuk memanfaatkan alam (sebagai resources) dan di dorong untuk menghasilkan output yang dapat bermanfaat bagi semua pelaku ekonomi. Output itu sendiri tidak mutlak dimilikinya karena pada harta yang dimilikinya ada hak orang lain yang membutuhkan.

Studi tentang pembiayaan tidak lepas dari kegiatan yang dilakukan untuk memanfaatkan dan menggambarkan harta. Pengembangan kekayaan dalam ekonomi konvensional menganut prinsip yang mengacu pada teori bunga. Ajaran Islam memandang bahwa harta serta pengembangannya tidak bisa diakumulasi dengan cara riba sebagaimana teori bunga. Pada saat yang sama, kebiasaan untuk mendiamkan harta yang diperoleh tidak pula dianjurkan dalam Islam. Ketika seseorang memiliki harta kemudian mendiamkannya (idle assets), maka akan menyebabkan harta tersebut hanya dimiliki oleh segelintir orang kaya. Pada akhirnya, jurang antara si kaya dan si miskin akan semakin menganga. Padahal, dalam harta milik seseorang (property rights) ada hak milik orang lain. Ini menunjukkan bahwa Islam menghendaki terjadinya perputaran kepemilikan harta secara lebih merata.

(33)

Sistem pembiayaan gadai yang dianut ekonomi Islam selama ini di dasarkan pada dua sifat, yaitu: (1) konsumtif; dan (2) produktif. Pembiayaan konsumtif dapat dilakukan dengan pendekatan: (a) sistem margin (keuntungan) melalui akad al-murabahah (jual-beli tangguh); dan (b) sistem pinjaman tanpa bunga melalui akad al-qard al-hasan atau yang lebih dikenal dengan pinjaman kebajikan. Adapun pembiayaan produktif dapat dilakukan dengan pendekatan sistem bagi hasil (profit and loss-sharing) melalui akad al-mudarabah (kemitraan pasif); dan akad al-musharakah (kemitraan aktif) dalam (Mulazid, 2016:23). b) Prinsip Tolong-Menolong (Ta’awun)

Abu Yusuf (w. 182 H) dalam al-Kharaj menyebutkan bahwa prinsip yang harus diletakkan dalam transaksi gadai adalah ta’awun (tolong-menolong), yaitu prinsip saling membantu antar sesama dalam meningkatkan taraf hidup melalui mekanisme kerja sama ekonomi dan bisnis. Hal ini sesuai dengan anjuran Al-Qur’an “Dan tolong-menolonglah kamu dan berbuat kebajikan dan takwa serta janganlah bertolong-menolong dalam berbuat keji dan permusuhan” (QS. al-Maaidah (4):2). Realitas prinsip ta’awun pada transaksi gadai mengindikasikan ikatan kuat antara tradisi manusia dengan agama yang muncul akibat konsekuensi logis terhadap berkembangnya aktivitas manusia yang bergerak secara cepat. Prinsip ini juga telah disampaikan Abu ‘Ubaid (w. 224 H) dalam al-amwal. Ia berpandangan bahwa prinsip ta’awun sesama manusia dapat meningkatkan taraf hidup. Menurut Sa’id Sa’ad Martan, prinsip ini berorientasi pada sosial adalah usaha seseorang untuk membantu meringankan beban saudaranya yang ditimpah kesulitan melaui gadai syariah (dalam Mulazid, 2016:25).

(34)

c) Prinsip Bisnis (Tijarah)

Afzalur Rahman menyatakan bahwa bisnis (perdagangan) adalah suatu kegiatan yang dianjurkan dalam Islam. Nabi sering kali menekankan pentingnya bisnis dalam kehidupan manusia. Namun demikian, dalam mencari laba harus dengan cara yang dibanarkan oleh syariah. Hal ini bertujuan agar kesejahteraan manusia, baik di duniawi maupun kebahagiaan akhirat dapat tercapai. Umar Chapra menyebutnya dengan istilah al-Falah. Muhammad Syafi’I Antonio berpendapat dalam kacamata Islam tidak ada dikotomi antara usaha-usaha untuk pembangunan ekonomi maupun sektor-sektor lainnya dengan persiapan untuk kehidupan di akhirat nanti. Karena itu, kegiatan bisnis gadai syariah, tanpa mengikuti aturan-aturan syariah, maka akan membawa kehancuran.

Prinsip-prinsip bisnis di atas, menjadi pedoman dalam usaha pegadaian sepanjang masa. Karena itu, prinsip-prinsip usaha pegadaian ialah: (1) harus didasari sikap saling ridha di antara kedua belah pihak, sehingga para pihak tidak merasa dirugikan atau dizalimi; (2) menegakkan prinsip keadilan dalam proporsi keuntungan; (3) kegiatan bisnis tidak melakukan investasi pada usaha yang diharamkan seperti usaha-usaha yang merusak mental dan moral; (4) bisnis harus terhindar dari praktik gharar (ketidakpastian), tadlis (penipuan) dan maysir (judi); serta (5) dalam kegiatan bisnis, baik utang-piutang maupun bukan, hendaklah dilakukan pencatatan (akuntansi).

Dengan demikian, ketiga prinsip di atas menjadi acuan dasar dalam pengembangan pegadaian syariah, serta penerapannya dalam kehidupan sosio-ekonomi. Kurang kuatnya salah satu dasar tersebut, maka akan menyebabkan

(35)

lambatnya gerak pengembangan lembaga bisnis itu sendiri, serta tidak akan mampu mencapai kesejahteraan hidup (dalam Mulazid, 2016:26).

2.2 Citra Pegadaian Syariah

2.2.1 Pengertian Citra Pegadaian Syariah

Menurut Simamora, 2004 (dalam Rossanty, Nasution, & Ario, 2018:116) citra adalah konsep yang mudah dimengerti tetapi sulit dijelaskan secara sistematis karena sifatnya abstrak.

Menurut Ruslan (2016:75) pengertian citra itu sendiri abstrak (intangible) dan tidak dapat diukur secara sistematis, tetapi wujudnya bisa dirasakan dari hasil penilaian baik atau buruk. Seperti penerimaan dan tanggapan baik positif maupun negatif yang khususnya datang dari publik (khalayak sasaran) dan masyarakat luas pada umumnya.

Menurut Bill Canton (1999) mengatakan citra adalah “image: the impression, the feeling, the conception which the public has of a company; a concioussly created impression of an object, person or organization” yang artinya citra adalah kesan, perasaan, gambaran diri publik terhadap perusahaan; kesan yang dengan sengaja diciptakan dari suatu obyek, orang atau organisasi. Kotler dan Nova (2011:298) citra adalah persepsi masyarakat terhadap perusahaan dan produknya citra dipengaruhi oleh banyak faktor diluar kantor perusahaan. Kasali (2008:28) citra adalah kesan yang timbul karena pemahaman akan suatu kenyataan. Pemahaman yang berasal dari suatu informasi yang tidak lengkap juga akan menghasilkan citra yang tidak sempurna (dalam jurnal Sarifuddin, Vol.5 No.7, 2017:196).

(36)

Menurut Ruslan (1994:66) citra merupakan tujuan pokok sebuah perusahaan. Terciptanya suatu citra perusahaan (corporate image) yang baik dimata khalayak atau publiknya akan banyak menguntungkan. Misalkan, akan menularkan “citra” yang serupa kepada semua produk barang dan jasa yang dihasilkan dibawahnya, termasuk para pekerjanya (employee relations) akan menjadi suatu kebanggaan tersendiri, akan menimbulkan sense of belonging terhadap company tempat mereka kerja.

Menurut Salam (2010) citra perusahaan adalah kesan secara umum yang tertinggal dibenak pelanggan sebagai hasil dari kumpulan perasaan, ide, sikap, dan pengalaman dengan perusahaan yang disimpan dalam ingatan. Kesan tersebut diubah bentuknya menjadi citra positif atau negatif sesuai dengan perasaan dan pengalaman pelanggan pada perusahaan. Nguyen dan Le Blanc (2013) citra perusahaan merupakan hasil dari kumpulan proses dimana pelanggan membandingkan berbagai atribut yang dimiliki oleh perusahaan, atribut yang dimaksud misalnya produk, harga, kualitas produk dan kualitas layanan. Walter dan Paul (2012) Pelanggan akan membuat persepsi yang subyektif mengenai perusahaan dan segala aktivitasnya (dalam jurnal Suratno, Fathoni, Haryono, Vol.2 No.2, 2016:3).

Menurut Ruslan (2016:78) citra perusahaan adalah yang berkaitan dengan sosok perusahaan sebagai tujuan utamanya, bagaimana menciptakan citra perusahaan (corporate image) yang positif, lebih di kenal serta diterimanya oleh publiknya, mungkin tentang sejarahnya, kualitas pelayanan prima, keberhasilan dalam bidang marketing, dan hingga berkaitan dengan tanggung jawab sosial (social care) sebagainya.

(37)

Menurut Babic-Hodovic, et al (2013:50) citra perusahaan didefinisikan sebagai evaluasi keseluruhan pelanggan dari sebuah perusahaan berdasarkan reaksi terhadap produk perusahaan, layanan, kegiatan komunikasi, interaksi dengan perusahaan dan/atau perwakilan atau konstituen (seperti karyawan, manajemen, atau lainnya pelanggan) dan/atau kegiatan perusahaan yang dikenal. Sedangkan menurut Junaid-ul-haq, Abrar, & Nasir (2013:246) citra perusahaan sebagai intuisi dari perusahaan dalam pikiran pelanggan (dalam jurnal Simarmata, Vol.7 No.1, 2017:19)

Menurut Kasmir (2007:246) secara umum pengertian usaha gadai adalah kegiatan menjaminkan barang-barang berharga kepada pihak tertentu, guna memperoleh sejumlah uang dan barang yang dijaminkan akan ditebus kembali sesuai dengan perjanjian antara nasabah dengan lembaga gadai.

Silvanita Ktut (2009:64) perum (perusahaan umum) pegadaian adalah lembaga keuangan nonbank yang termasuk dalam klasifikasi perantara investasi (Invesment intermediary). Perum pegadaian dimiliki oleh pemerintah Indonesia (BUMN). Sumber dana utama perum pegadaian berasal dari penjualan obligasi. Sumber dana lainnya adalah utang bank, utang promes, ekuitas, dan utang lainnya. Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 1150 (dalam Martono, 2002) disebutkan: “Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang yang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada orang berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang-orang berpiutang lainnya, dengan pengecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah

(38)

dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan”.

Muhammad (2007:64) rahn (gadai) adalah menahan salah satu harta milik sesesorang (peminjam) sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.

Jadi dari beberapa pendapat ahli diatas dapat di simpulkan bahwa Citra pegadaian syariah adalah kesan masyarakat yang sifatnya abstrak yang timbul dari pemahaman atau penilaian masyarakat mengenai perusahaan pegadaian syariah dan produknya, yang kemudian akan membentuk persepsi positif ataupun negatif terhadap perusahaan pegadaian syariah tersebut.

2.2.2 Jenis-jenis Citra

Menurut Frank Jefkins, dalam bukunya Hubungan Masyarakat 1992 (dalam Ruslan, 2016:77) ada beberapa jenis citra (image) yang dikenal didunia aktivitas hubungan masyarakat (Public relation), sebagai berikut:

1. Citra Cermin (Mirror image)

Pengertian disini bahwa citra cermin yang diyakini oleh perusahaan bersangkutan terutama para pimpinannya yang selalu merasa dalam posisi baik tanpa mengacuhkan kesan orang luar. Setelah diadakan studi tentang tanggapan, kesan dan citra dimasyarakat ternyata terjadi perbedaan antara yang diharapkan dengan kenyataan citra yang dilapangan, bisa terjadi justru mencerminkan “citra” negatifnya yang muncul.

(39)

2. Citra Kini (current image)

Citra merupakan kesan yang baik diperoleh dari orang lain tentang perusahaan/organisasi atau hal yang lain berkaitan dengan produknya. Berdasarkan pengalaman dan informasi kurang baik penerimaannya, sehingga dalam posisi tersebut pihak Humas/PR akan menghadapi resiko yang sifatnya permusuhan, kecurigaan, prasangka buruk (prejudice), dan hingga muncul kesalahpahaman (misunderstanding) yang menyebabkan citra kini yang ditanggapi secara tidak adil atau bahkan kesan yang negatif diperolehnya. 3. Citra keinginan (wish image)

Citra keinginan ini adalah seperti apa yang ingin dan dicapai oleh pihak manajemen terhadap lembaga/perusahaan, atau produk yang ditampilkan tersebut lebih dikenal (good awareness), menyenangkan dan diterima dengan kesan yang selalu positif diberikan (take and give) oleh publiknya atau masyarakat umum.

4. Citra perusahaan (corporate image)

Citra ini adalah yang berkaitan dengan sosok perusahaan sebagai tujuan utamanya, bagaimana menciptakan citra perusahaan yang positif, lebih dikenal serta diterima oleh publiknya, mungkin tentang sejarahnya, kualitas pelayanan prima, keberhasilan dalam bidang marketing, hingga berkaitan dengan tanggung jawab sosial (social care) sebagainya. Dalam hal ini pihak Humas/Pr berupaya atau bahkan ikut bertanggung jawab untuk mempertahankan citra perusahaan, agar mampu mempengaruhi harga sahamnya tetap bernilai tinggi (liquid) untuk berkompetisi di pasar bursa saham.

(40)

5. Citra serbaneka (multiple image)

Citra ini merupakan pelengkap dari citra perusahaan diatas, misalnya bagaimana pihak Human/PR nya akan menampilkan pengenalan (awareness) terhadap identitas perusahaan, atribut logo, brand’s name, seragam, sosok gedung, dekorasi lobby kantor dan penampilan para profesionalnya. Semua itu kemudian diunifikasikan atau diidentikan kedalam suatu cerita serbaneka (multiple image) yang diintegrasikan terhadap citra perusahaan (corporate image).

6. Citra penampilan (performance image)

Citra penampilan ini lebih ditujukan kepada subjeknya, bagaimana kinerja atau penampilan diri para professional pada perusahaan bersangkutan. Misalnya dalam memberikan berbagai bentuk dan kualitas pelayanannya, menyambut telepon, tamu dan pelanggan serta publiknya, harus serba menyenangkan serta memberikan kesan yang selalu baik. Mungkin masalah citra penampilan ini kurang diperhatikan atau banyak disepelekan orang. Misalnya, dalam hal mengangkat secara langsung telepon yang sedang berdering tersebut dianggap sebagai tindakan interupsi, termasuk si penerima telepon masuk tidak menyebut identitas nama pribadi atau perusahaan bersangkutan merupakan tindakan kurang bersahabat dan melanggar etika. 2.2.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Citra Pegadaian Syariah

Menurut Sutojo, 2004 (dalam Ruslan, 2016:325) keberhasilan pihak perusahaan menciptakan citra (corporate image) baiknya tersebut tergantung dari berbagai faktor-faktor yang mempengaruhinya, yaitu sebagai berikut:

(41)

1. Citra perusahaan yang diciptakan berdasarkan orientasi terhadap manfaat yang telah diberikan atau diterima, dan sebagaimana diinginkan oleh kelompok khalayak sasarannya.

2. Manfaat yang ditampilkan melalui kualitas atau kuantitas pelayanan cukup realistis dan mengesankan bagi khalayaknya.

3. Citra yang baik tersebut telah dipresentasikan tersebut berdasarkan kemampuan perusahaan, kebanggan, nilai-nilai kepercayaan, kejujuran dan mudah dimengerti oleh publik sebagai khalayak sasaran

4. Citra yang baik muncul dari akibat penilaian atau tanggapan publik terhadap berbagai aktivitas, empati, prestasi dan reputasi perusahaan selama melakukan berbagai kegiatannya.

5. Citra baik perusahaan lainnya yang dapat timbul dari aspek yang menampilkan keseriusannya dalam tanggung jawab sosial perusahaan yang lebih peduli pada kelestarian lingkungan hidup, menggunakan teknologi ramah lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitarnya. 2.2.4 Indikator Citra Pegadaian Syariah

Menurut Charles J.Fombrun (dalam Ruslan, 2016:326) untuk mengukur citra pegadaian syariah dapat menggunakan tiga perhatian penting yaitu sebagai berikut: (1) Corporate Reputation, (2) Corporate Image, dan (3) Corporate Identity.

2.3 Kualitas Pelayanan

2.3.1 Pengertian Kualitas Pelayanan

Menurut Bermen (1995) Pelayanan (service) yaitu: “Customer service refers to the identifiable, but sometimes intangible activities undertaken by a

(42)

retailer in conjunction with the basic goods and service it sells”, yang artinya layanan pelanggan mengacu pada aktivitas yang dapat diidentifikasi, tetapi terkadang tidak berwujud yang dilakukan oleh pengecer sehubungan dengan barang dan layanan dasar yang dijualnya. Menurut Kotler (1996) pelayanan (service) yaitu: “A service any act or performance that one party can offer to another that is essentially intangible and does not result in the ownership of anything, its production may or may no be to a physical product”. Maksudnya yaitu bahwa pelayanan adalah setiap tindakan atau kegiatan yang dapat ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak lain, yang pada dasarnya tidak berwujud dan tidak mengakibatkan kepemilikan apapun (dalam Laksana, 2008:85).

Menurut Payne, 2000 (dalam jurnal Lengkey & Taroreh, Vol.2 No.4, 2014:155) pelayanan merupakan suatu kegiatan yang memiliki beberapa unsur ketakberwujudan (intangibility) yang berhubungan dengannya, yang melibatkan beberapa interaksi dengan konsumen atau dengan property dalam kepemilikan dan tidak menghasilkan transfer kepemilikan.

Menurut Boediono (2003:60) pelayanan adalah suatu proses bantuan kepada orang lain dengan cara-cara tertentu yang memerlukan kepekaan dan hubungan interpersonal agar terciptanya kepuasaan dan keberhasilan.

Menurut Amstrong, 2008 (dalam Rangkuty, 2017:xii) pelayanan atau service adalah setiap kegiatan atau manfaat yang dapat diberikan oleh suatu pihak kepada pihak lainnya yang pada dasarnya tidak berwujud dan tidak pula berakibat pada pemilikan sesuatu. Selain itu produksinya dapat atau tidak dapat dikaitkan dengan suatu produk fisik pelanggan. Dengan demikian, diharapkan kepuasan

(43)

pelanggan semakin tinggi baik untuk pelanggan yang sudah ada maupun pelanggan diluar perusahaan.

Menurut Kotler & Keller (2009) Pelayanan (jasa) adalah semua tindakan atau kinerja yang dapat ditawarkan oleh satu pihak kepada pihak lain, yang pada intinya tidak berwujud dan tidak mengakibatkan sesuatu kepemilikan apapun. Menurut Koroh (2008) Pelayanan adalah setiap tindakan atau perbuatan yang dapat diberikan oleh suatu pihak kepada pihak lainnya yang secara esensial bersifat tak berwujud (intangible) dan tidak melahirkan kepemilikan akan sesuatu dan proses produksinya dapat saja terkait atau tidak dengan produk dalam bentuk fisik. Dan menurut Stanton (2002) pelayanan adalah: “Services are identifiable, intangible activities that are the main object of a transaction desaigned to provide want-satisfaction to customers. By this definition we exclude supplementary services that support the sale of goods or other services”, yang artinya Layanan adalah aktivitas yang dapat diidentifikasi dan tidak berwujud yang merupakan objek utama dari suatu transaksi yang dirancang untuk memberikan kepuasan yang diinginkan kepada pelanggan. Dengan definisi ini kami mengecualikan layanan tambahan yang mendukung penjualan barang atau layanan lainnya. (dalam Suparyanto & Rosad, 2015:125).

Ruslan (2016:279) pelayanan berkaitan dengan jasa pelayanan yang dilaksanakan oleh perusahaan dalam upaya untuk memberikan rasa kepuasaan dan menumbuhkan kepercayaan pihak pelanggannya (konsumen).

Jadi menurut pendapat saya dari beberapa pendapat ahli diatas dapat disimpulkan bahwa pelayanan adalah suatu tindakan yang sifatnya tidak berwujud diberikan kepada setiap konsumen dengan cara-cara tertentu yang membutuhkan

(44)

hubungan interpersonal antara pemberi layanan dengan konsumen agar terciptanya keberhasilan dan kepuasan pelanggan.

2.3.2 Karakteristik jasa

Karakteristik jasa menurut Kotler dan Keller, 2009 (dalam Suparyanto & Rosad, 2015:126) adalah sebagai berikut:

1. Tidak Berwujud

Jasa berbeda dengan barang, jasa tidak dapat dilihat, dirasa, diraba, didengar, atau dicium sebelum jasa itu dikonsumsi oleh pelanggannya. Dalam rangka mengurangi ketidakpastian, pada umumnya pelanggan akan menilai jasa dari wujud gedung, karyawan, tenaga ahli, peralatan, mesin, materi komunikasi, simbol, dan harga. Sehubungan dengan hal tersebut, tugas manager dan pemasar jasa adalah bukti-bukti itu agar dapat mewujudkan sesuatu yang tidak berwujud. Pemasar jasa ditantang untuk menempatkan bukti fisik dan gambaran nyata pada penawaran abstrak mereka.

2. Tidak Terpisahkan

Tidak seperti barang fisik yang diproduksi, disimpan, dan didistribusikan melalui berbagai penjual, baru kemudian dikonsumsi. Pada umumnya jasa akan diproduksi dan dikonsumsi secara bersamaan. Jika seseorang memberikan pelayanan, penyedianya merupakan bagian dari jasa itu. Klien juga hadir pada saat jasa itu dilakukan. Interaksi antara penyedia dan klien merupakan ciri khas pemasaran jasa. Pada saat dosen menyampaikan mata kuliah, maka mahasiswa berada bersama dosen tersebut.

Gambar

Gambar 2.5  Kerangka Berpikir  2.7 Hipotesis Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Faktor yang dianalisis adalah faktor pribadi yang terdiri dari umur dan tahap siklus hidup, pekerjaan dan situasi ekonomi (pendapatan), gaya hidup, kepribadian dan konsep diri..

Skor Kuesioner identitas responden Umur Dan Tahap siklus hidup Pekerjaan dan situasi ekonomi Gaya Hidup Kepribadian dan konsep diri Keputusan pembelian

Berdasarkan faktor-faktor yang telah diungkap di atas dapat dilihat bahwa masing-masing faktor mempunyai dampak tersendiri bagi kelangsungan hidup organisasi,

Gaya hidup hedonisme adalah suatu pola hidup yang aktivitasnya hanya untuk mencari kesenangan hidup, seperti lebih banyak menghabiskan waktu diluar rumah, lebih banyak

Ericson mengemukakan ada delapan tahap perkembangan manusia, tiga di antaranya adalah tahap perkembangan yang terjadi pada anak usia dini; tahap percaya dan tidak

Pada tahap ini biasanya akan muncul ketidakpuasan atas tindakan yang mungkin sudah dilakukan, berusaha menghindar untuk melakukan tindakan karena tidak ingin berkomitmen

a) Antara judul penelitian dan penggunaan metode yang digunakan relevan, tetapi dilihat dari tujuan dan hasil penelitian kurang relevan karena kalau menggunakan metode

Usia ideal untuk menikah menurut kesehatan dalam arti merupakan masa paling baik (golden age) untuk berumah tangga adalah antara 20-25 tahun bagi wanita dan antara 25-30 tahun