• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Dalam kehidupan saat ini, pendidikan merupakan aspek terpenting dalam kemajuan suatu bangsa dan negara. Pasalnya, pendidikan menjadi pemeran utama dalam mencetak sumber daya manusia yang berkualitas. Sumber daya manusia yang berkualitas inilah yang akan siap menjadi garda terdepan dalam memajukan sebuah negara dan menentukan kualitas segala aspek kehidupan di masa mendatang. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan Presiden RI, Joko Widodo, bahwa pendidikan merupakan sebuah kunci agar sumber daya manusia di Indonesia berkualitas tinggi. Keluarga dan lembaga pendidikan memiliki peran utama dalam bidang pendidikan agar bisa menghasilkan SDM yang berkualitas.1

Salah satu lembaga pendidikan dalam bentuk formal adalah sekolah. Sekolah sebagai lembaga pendidikan merupakan wadah untuk meningkatkan kualitas individu melalui kegiatan belajar. Kegiatan belajar, menurut Muhibbin Syah merupakan kegiatan yang berproses, yang merupakan sebuah unsur yang sangat vital di dalam setiap jenis ataupun jenjang pendidikan manapun. Berhasil atau tidaknya siswa dalam mencapai tujuan pendidikan sangat bergantung pada proses belajar siswa tersebut.2 Melalui proses belajar yang baik, siswa akan mendapatkan ilmu pengetahuan dan pemahaman yang baik serta berbagai pengalaman berharga dari sekolah tersebut. Selain itu, pendidikan karakter juga akan didapatkan dari bangku sekolah, sehingga nantinya siswa bukan hanya pintar dari segi keilmuan saja tapi juga memiliki akhlak dan etika yang baik. Oleh sebab itu, semua orang baik anak-anak, remaja atau dewasa sangat perlu untuk mendapat pendidikan, diantaranya dengan cara menempuh berbagai jenjang pendidikan yang ada.

Berbagai jenjang pendidikan di Indonesia salah satunya adalah tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA). SMA merupakan jenjang pendidikan yang disediakan untuk siswa yang akan melanjutkan pendidikannya dari Sekolah

1 Michael Reily, Jokowi Ungkapkan Pentingnya Kualitas SDM di Hadapan Anggota Dewan,

Jakarta, 16 Agustus 2019, diakses pada katadata.co.id, 11 November 2019, 08.15 WIB, h. 1.

(2)

Menengah Pertama (SMP). Usia siswa yang menempuh pendidikan SMA ini kisaran 15-18 tahun. Usia tersebut dalam psikologi perkembangan disebut dengan fase remaja akhir.3

Dalam psikologi Islam, fase remaja akhir termasuk ke dalam masa akil baligh. Masa akil balig menandai perpindahan dari anak-anak menjadi dewasa. Usia balig pada laki-laki, umumnya pada usia 11-18 tahun. Sedangkan, usia balig pada perempuan umumnya lebih awal dari usia laki-laki, yakni antara 9-13 tahun.4 Masa akil balig merupakan awal pencapaian kematangan intelektual bersamaan dengan kematangan organ seksualnya. Perubahan besar akan terjadi pada anak yang memasuki masa akil balig. Selain perubahan fisik dan sosial, terjadi juga perubahan dalam cara berpikir dan mengolah informasi, sehingga individu yang mencapai usia balig mulai memahami beban tanggung jawab atas apa yang dilakukannya.5

Selain itu, masa akil balig juga mengalami periode individuasi. Mereka mengembangkan identitas diri dan membentuk pendapat sendiri yang mungkin berbeda dengan orang lain. Mereka mulai menyadari bahwa orang tua, guru atau temannya tidak selalu benar. Sebagai akibatnya, seringkali timbul konflik.6 Para pakar psikologi menyebutnya sebagai usia bermasalah atau masa yang penuh dengan persoalan.7

Persoalan-persoalan di sekolah, misalnya, perkelahian, kasus bullying, pergaulan bebas, narkoba, dan lain sebagainya dapat ditemui secara langsung ataupun melalui media sosial. Hal tersebut bisa terjadi karena remaja sedang berada pada fase peralihan dari masa anak-anak menuju dewasa. Sesuatu yang mengalami peralihan dari keadaan lama ke keadaan baru selalu memicu timbulnya

3 Elizabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2017), h. 206. 4 Muhammad Utsman Najati, Psikologi dalam Perspektif Hadis (Jakarta: PT Pustaka Al Husna

Baru, 2004), h. 255–56.

5 Aliah B. Purwakania Hasan, Psikologi Perkembangan Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

2008), h. 138.

6 Hasan, h. 139.

(3)

gejolak dan goncangan.8 Pada fase tersebut, dengan segala gejolak dan goncangan pada dirinya, peran orang tua dan peran guru menjadi penting untuk mengarahkan agar remaja mampu menghadapi situasi sulitnya, sehingga ia bisa memahami dirinya sendiri dan bisa menyesuaikan diri dengan lingkungannya, baik di rumah ataupun di sekolah.

Di sekolah, para siswa pasti memiliki banyak tugas dan kegiatan yang harus dilakukan, mereka juga pasti dihadapkan dengan aturan-aturan yang harus dipatuhi. Seluruh tugas, kegiatan, bahkan program ataupun aturan yang ada di sekolah tidak lain hanya untuk sebuah pembelajaran siswa. Namun, tidak jarang ditemukan bahwa sebagian siswa mengalami hambatan-hambatan berupa kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan yang ada. Untuk dapat memenuhi tuntutan-tuntutan yang ada di sekolah, siswa harus mampu mengatur dirinya agar tuntutan dapat terpenuhi sehingga hasil belajar pun dicapai dengan optimal. Namun demikian, masing-masing individu memiliki tingkat kemampuan mengatur diri yang berbeda. Ada yang mampu mengatur dirinya dengan baik dan ada pula yang kurang mampu mengatur dirinya dengan baik. Kemampuan mengatur diri ini, dalam psikologi, dikenal dengan istilah regulasi diri ( self-regulation).9

Regulasi diri dalam belajar sering disebut sebagai self-regulated learning.

Self-regulated learning adalah kemampuan seseorang yang memiliki keaktifan dalam belajar baik secara metakognitif, motivasi ataupun perilakunya. Orang dengan kemampuan self-regulated learning yang tinggi, ia dapat mengelola pemikiran, perasaan dan tingkah lakunya dengan baik, sehingga ia mampu menghadapi situasi apapun dengan baik, terutama jika harus menghadapi tugas-tugas yang menurut dirinya sulit.10

8 Syah, h. 51.

9 Arini Dwi Alfiana, “Regulasi Diri Mahasiswa Ditinjau dari Keikutsertaan dalam Organisasi

Kemahasiswaan,” Jurnal Psikologi, 1.2 (2013). Diunduh pada 12 November 2019, dari http://ejournal.umm.ac.id/, h. 246.

10 Shofiyatul Azmi, “Self Regulated Learning Salah Satu Modal Kesuksesan Belajar dan

Mengajar,” in Seminar ASEAN 2nd Psychology and Humanity, 2016. Diunduh pada 12 November 2019, dari http://mpsi.umm.ac.id/, h. 401.

(4)

Kemampuan regulasi diri dalam belajar ini sangat penting, karena dengan regulasi diri yang baik, individu akan mampu menjalani kehidupannya lebih terarah meskipun banyak sekali tuntutan yang menghadang. Kemampuan regulasi diri yang baik dalam belajar membuat siswa mampu mengatur dirinya dengan baik. Penelitian yang dilakukan oleh Risa Rahayu menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara regulasi diri dalam belajar dan prestasi belajar pada siswa. Nilai korelasi yang diperoleh yaitu pada taraf signifikan 0,05.11 Dengan demikian, siswa yang mampu mengatur dirinya dengan baik, dapat mencapai hasil belajar yang optimal dan tujuan umum dari belajar pun akan tercapai dengan baik.

Di SMA Plus Al-Ghifari, banyak sekali kegiatan-kegiatan yang harus dilaksanakan oleh siswa, mulai dari kegiatan intrakurikuler, yaitu kegiatan utama pembelajaran di sekolah, kegiatan kokurikuler seperti shalat duha berjamaah, mentoring, BTQ (Baca Tulis Quran) dan keputrian, hingga kegiatan ekstrakurikuler seperti OSIS, PRAMUKA, dan lain sebagainya. Dengan banyaknya kegiatan tersebut, idealnya, siswa SMA Plus Al-Ghifari memiliki kemampaun regulasi diri yang tinggi agar kegiatan-kegiatan di sana bisa dilaksanakan oleh seluruh siswa dengan baik dan optimal. Salah satu peran guru dalam meningkatkan kemampuan self-regulated learning siswa adalah dengan memberikan nasihat, arahan ataupun motivasi kepada siswanya. Setiap guru pasti menginginkan anak didiknya mampu melaksanakan tugas dengan baik dan mematuhi segala aturan yang ada, sehingga setiap guru sedikit banyaknya akan memberikan nasihat, arahan dan motivasi kepada siswanya di sela-sela proses pembelajarannya di kelas.

Namun, usaha guru dalam memberikan nasihat, arahan dan motivasi di dalam kelas saja belum cukup mampu membuat siswa memiliki kemampuan regulasi diri yang baik. Sebagaimana fenomena yang ditemukan di SMA Plus Al-Ghifari, masih ada siswa yang memiliki kemampuan regulasi diri yang rendah. Hal ini dibuktikan dengan penelitian awal yang dilakukan melalui observasi di SMA Plus

11 Risa Rahayu, “Hubungan antara Regulasi Diri dengan Prestasi Belajar pada Siswa” (Universitas

(5)

Al-Ghifari yaitu adanya beberapa perilaku siswa yang kurang baik, di antaranya adalah jarang mengikuti shalat duha bersama, tidak bisa berkonsentrasi saat pembelajaran di kelas, dan beberapa siswa juga ada yang melanggar tata tertib sekolah, seperti terlambat masuk kelas dan keluar kelas tanpa izin. Fenomena-fenomena tersebut memang tidak jarang ditemukan di SMA lainnya. Karena memang, siswa SMA sedang berada pada fase remaja akhir, yang mana mereka sedang mengalami gejolak dalam dirinya untuk melakukan sesuatu sesuai dengan keinginannya, yang terkadang mereka tidak memandang baik buruknya sesuatu yang ia lakukan tersebut. Dengan mengetahui hal tersebut, perlu adanya upaya yang harus dilakukan agar siswa tidak terjebak pada kondisi yang salah. Oleh karena itu, meningkatkan kemampuan self-regulated learning pada diri siswa remajamenjadi sangat penting.

Dalam upaya meningkatkan kemampuan self-regulated learning pada siswa, tentu tidak terlepas dari peran guru di SMA Plus Al-Ghifari tersebut. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan mengadakan kegiatan muḥāsabah bersama. Dalam istilah tasawuf, muḥāsabah adalah menghitung atau mengevaluasi diri.12 Apabila seseorang melakukan muḥāsabah, maka tentunya orang tersebut akan menyeleksi mana perbuatan baik dan mana perbuatan buruk yang telah ia lakukan. Dengan begitu, orang tersebut mengetahui kebaikan dan keburukan pada dirinya. Kemudian dengan mengetahui kebaikan dan keburukan pada diri, ia akan berusaha memperbaiki diri sehingga kedepannya ia dapat memelihara diri untuk selalu melakukan kebaikan yang Allah sukai.13 Jadi, Seseorang yang melakukan

muḥāsabah akan mampu mengelola dan mengatur dirinya dalam menentukan sebuah tindakan.

Muḥāsabah yang dilaksanakan di SMA Plus Al-Ghifari adalah muḥāsabah

yang digunakan sebagai metode untuk membina siswa dalam mengevaluasi diri. Sebagaimana penelitian awal melalui interview yang dilakukan pada salah seorang guru di SMA Plus Al-Ghifari mengatakan bahwa muḥāsabah di SMA

12 Azyumardi Azra, Ensiklopedi Tasawuf (Bandung: Angkasa, 2008), h. 881. 13 Azra, h. 882.

(6)

plus Al-Ghifari dilakukan selama satu hari satu malam secara bersama-sama dalam sebuah ruangan.14 Dengan adanya muḥāsabah tersebut diharapkan dapat menstimulus siswa untuk terjadinya proses regulasi diri, sehingga siswa menjadi mampu mengatur dirinya selama proses pembelajaran.

Muḥāsabah yang dilaksanakan sebagai sebuah metode di SMA Plus Al-Ghifari menjadi sangat menarik untuk diteliti. Terlebih muḥāsabah tersebut telah didesain mengenai tempat, cara, dan waktunya. Muḥāsabah dilakukan pasti memiliki peran yang cukup penting bagi siswa, salah satunya dalam meningkatkan kemampuan self-regulated learning. Berangkat dari hal tersebut, penulis merasa perlu untuk melakukan penelitian dengan judul “Muḥāsabah

sebagai Metode dalam Meningkatkan Kemampuan Self-Regulated Learning (Studi Deskriptif Siswa Kelas XII di SMA Plus Al-Ghifari Kota Bandung)”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Apa latar belakang diadakannya kegiatan muḥāsabah di SMA Plus Al-Ghifari?

2. Bagaimana proses pelaksanaan kegiatan muḥāsabah di SMA Plus Al-Ghifari?

3. Apa peran muḥāsabah dalam meningkatkan kemampuan self-regulated learning pada siswa kelas XII di SMA Plus Al-Ghifari?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui latar belakang diadakannya kegiatan muḥāsabah di SMA Plus Al-Ghifari.

14 Wawancara pribadi dengan Usep Sofiyudin, Guru dan Wakil Kepala Sekolah bidang

(7)

2. Untuk mengetahui bagaimana proses pelaksanaan muḥāsabah di SMA Plus Al-Ghifari.

3. Untuk mengetahui peran muḥāsabah dalam meningkatkan kemampuan

self-regulated learning pada siswa kelas XII di SMA Plus Al-Ghifari.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang bisa didapat dari penelitian ini secara garis besar dibagi menjadi dua bagian, yaitu:

1. Manfaat Teoritis

Dari hasil penelitian ini, peneliti berharap dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan khazanah keilmuan dalam bidang tasawuf dan psikologi. Kemudian penelitian ini juga diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran serta penambahan wawasan bagi mahasiswa dan dosen Jurusan Tasawuf dan Psikoterapi.

2. Manfaat Praktis

Bagi peneliti, hasil penelitian ini bisa memberikan pengalaman, pemahaman dan wawasan baru terkait dengan bidang keilmuan peneliti. Bagi universitas, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk dijadikan sebagai rujukan dalam penelitian serupa. Kemudian bagi lembaga-lembaga sekolah, hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi bagi para pendidik untuk dapat mengaplikasikan metode

muḥāsabah kepada siswa dalam meningkatkan kemampuan self-regulated learning.

E. Kerangka Pemikiran

Belajar merupakan proses terpenting dalam pendidikan di sekolah. Keberhasilan siswa dalam mencapai hasil yang optimal tergantung pada proses belajarnya. Dalam proses belajar di sekolah, siswa pasti dihadapkan pada berbagai tugas dan kewajiban yang harus dikerjakan serta aturan-aturan yang harus dipatuhi. Hal tersebut mengharuskan siswa untuk memiliki kemampuan dalam mengarahkan dan mengatur dirinya dalam menghadapi segala tuntutan yang ada.

(8)

Kemampuan siswa dalam mengatur dirinya tentu berbeda-beda. Ada yang mampu mengatur dirinya dengan baik dan ada yang kurang mampu mengatur dirinya dengan baik.

Dalam psikologi, kemampuan mengarahkan atau mengatur diri disebut dengan istilah regulasi diri (self regulation). Menurut Bandura, secara singkat Self regulation diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam mengatur perilakunya sendiri.15 Kemampuan regulasi diri ini menjadi penting untuk dimiliki oleh siswa. Sebab, siswa yang memiliki kemampuan regulasi diri yang baik akan membantu dirinya dalam memenuhi segala tuntutan yang ia hadapi. Penelitian terdahulu menemukan bahwasannya siswa yang berprestasi tinggi merupakan siswa yang mampu mengatur dirinya dalam belajar.16 Artinya, apabila siswa memiliki kemampuan regulasi diri yang tinggi maka prestasi belajarnya akan tinggi. Sebaliknya, apabila siswa memiliki kemampuan regulasi diri yang rendah maka prestasi belajarnya akan rendah.

Regulasi diri dalam belajar sering diistilahkan dengan sebutan self-regulated learning. Dalam penelitian ini, Self-regulated learning yang dimaksud adalah self-regulated learning yang digunakan sebagai makna individual, sebuah dorongan dari dalam individu untuk dapat mengelola dirinya dengan baik sehingga siswa bisa menentukan cara terbaik dalam mencapai tujuannya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Santrock bahwa self-regulated learning berkaitan dengan pemantauan diri baik pikiran, perasaan ataupun tindakan yang terencana untuk dapat mencapai tujuan. Tujuan yang dimaksud adalah tujuan akademik, misalnya meningkatkan pemahaman terhadap suatu materi yang diberikan oleh guru, atau tujuan sosioemosional, misalnya mampu mengontrol amarah.17

Kemampuan self-regulated learning pada siswa tidak akan terjadi begitu saja tanpa adanya proses-proses yang dilakukan oleh siswa. Menurut Zimmerman, siswa yang mencapai kemampuan self-regulated learning adalah siswa yang telah

15 Alfiana, h. 246.

16 John W. Santrock, Psikologi Pendidikan (Jakarta: Kencana, 2017), h. 296. 17 Santrock, h. 296.

(9)

melakukan proses-proses sebagai berikut: forethought (memikirkan masa depan) yang berkaitan dengan tujuan dan rencana-rencana, performance (kinerja pelaksanaan) yang berkaitan dengan perilaku-perilaku yang muncul setelah memiliki tujuan dan rencana, dan self-reflection (refleksi diri) yang berkaitan dengan penilaian diri, evaluasi diri, dan reaksi diri serta kepuasan diri.18 Ketiga siklus itu merupakan proses yang terus menerus berulang-ulang secara tetap dan teratur dan saling berkaitan. Untuk menstimulus terjadinya proses-proses tersebut, maka diperlukan sebuah metode yang tepat. Salah satu metode yang bisa digunakan adalah dengan muḥāsabah diri.

Dalam tasawuf, muḥāsabah dapat diartikan sebagai upaya untuk menghitung diri, evaluasi, atau introspeksi diri. Menurut Imam Al-Ghazali, hakikat

muḥāsabah adalah mengevaluasi perbuatan yang telah lalu dan pengendalikan diri terhadap perbuatan yang akan datang.19 Muḥāsabah bukan hanya sekadar merenung, melakukan introspeksi, dan mawas diri, tapi juga kemudian melakukan perbaikan, dan meningkatkan prestasi semaksimal mungkin.20 Seseorang yang melakukan muḥāsabah, maka ia akan berusaha melakukan perbaikan diri yang kemudian membuat perencanaan-perencanaan tentang perbuatan apa saja yang sebaiknya dilakukan di waktu mendatang.

Muḥāsabah sebagai sebuah metode berarti muḥāsabah dijadikan sebagai sebuah cara, dalam hal ini, untuk meningkatkan kemampuan regulasi diri dalam belajar (self regulated learning). Dalam praktiknya, muhasabah itu sendiri dilakukan dengan cara-cara tertentu. Menurut Imam Al-Ghazali, ada enam langkah awal yang harus dijalani, yaitu perjanjian dengan diri, pengawasan terhadap diri, perhitungan/pemeriksaan diri, penghukuman diri, perjuangan dalam melawan hawa nafsu dan menegur diri.21 Enam langkah muḥāsabah tersebut,

18 Barry J Zimmerman, “Becoming a Self-Regulated Learner : An Overview,” Theory Into

Practice, 41.2 (2002). Diunduh pada 12 November 2019, dari http://tandfonline.com/, h. 67.

19 Imam Al-Ghazali, Taman Kebenaran Spiritual Mencari Jati Diri Menemukan Tuhan (Jakarta:

Turos Khazanah Pustaka Islam, 2017), h. 235.

20 Saifuddin Bachrun, Manajemen Muhasabah Diri (Bandung: Mizania, 2011), h. 35. 21 Imam Al-Ghazali, Mukhtashar Ihya Ulumiddin (Depok: Keira, 2018), h. 478.

(10)

dalam siklus milik Zimmerman untuk meningkatkan self regulated learning, mirip dengan apa yang dinamakan self reflection, yaitu refleksi diri.

Setelah seseorang melakukan enam langkah awal tadi dalam muḥāsabah, maka orang tersebut akan dapat mengetahui dan sadar tentang baik buruknya apa yang telah dilakukan, sehingga akan terdorong untuk melakukan koreksi dan perbaikan-perbaikan.22 Dengan adanya dorongan untuk melakukan perbaikan, maka ia akan menentukan tindakan-tindakannya ke depan dengan cara menetapkan rencana-rencana. Artinya, ketika seseorang memiliki dorongan untuk melakukan pebaikan-perbaikan maka akan menstimulus terjadinya proses

forethought (memikirkan masa depan). Setelah melakukan koreksi dan perbaikan-perbaikan diri untuk masa yang akan datang, maka kemudian seseorang akan melakukan tindakan nyata atau istilah Zimmerman disebut sebagai Performance

(Kinerja Pelaksanaan).

Pada akhirnya, jika muḥāsabah dilakukan oleh siswa kemudian muḥāsabah

tersebut dapat menstimulus terjadinya proses-proses self reflection, forethought, dan performance tadi, maka muḥāsabah dapat meningkatkan kemampuan self-regulated learning. Seseorang yang memiliki self-regulated learning mempunyai kemandirian untuk mengatur dan mengelola kegiatan belajarnya,23 yaitu berupa mampu me-manage waktu, mengerjakan tugas tepat waktu, masuk sekolah tepat waktu, selalu mengikuti kegiatan yang ada di sekolah, dan lain sebagainya.

Dari uraian tersebut, dapat dipahami bahwa muḥāsabah itu, sebagaimana menurut Azyumardi Azra, sangat penting dalam kehidupan manusia, agar manusia memiliki kesadaran atas segala perbuatannya, tentunya dengan kesadaran itu lahir keinginan untuk memperbaiki diri dengan cara melakukan kebaikan-kebaikan dan mendekatkan diri pada Tuhannya. Seseorang yang melakukan

muḥāsabah dengan baik dan benar akan lebih bijak dan lebih mampu mengatur dirinya dalam berpikir, bersikap, dan bertindak.24 Artinya bahwa muḥāsabah jika

22 Bachrun, h. 35.

23 Azmi, h. 400. 24 Azra, h. 882.

(11)

dilakukan oleh siswa, maka dapat meningkatkan kemampuan self-regulated learning pada siswa tersebut.

F. Problem Statements

Setiap siswa di sekolah pasti dihadapkan dengan sejumlah tugas dan kegiatan yang harus dilakukan serta aturan-aturan yang harus dipatuhi. Untuk dapat memenuhi tuntutan-tuntutan yang ada di sekolah, siswa harus memiliki kemampuan self-regulated learning (kemampuan mengatur diri dalam belajar). Namun pada kenyataannya, tingkat kemampuan self-regulated learning siswa berbeda-beda, dan masih terdapat siswa yang memiliki self-regulated learning

yang rendah. Dalam rangka meningkatkan kemampuan self-regulated learning

siswa, SMA Plus Al-Ghifari mengadakan program hidden curriculum, salah satunya adalah muḥāsabah yang dilakukan satu kali dalam setiap semester.

G. Hasil Penelitian Terdahulu

Pada fokus penelitian ini, ada beberapa tinjauan pustaka yang dijadikan rujukan dalam memberikan informasi terkait penelitian yang akan diteliti. Pada bagian ini akan dikaji dan ditelaah beberapa karya ilmiah yang memiliki relevansi dengan skripsi yang akan diteliti, di antaranya adalah:

1. Penelitian yang dilakukan oleh Ardimen dan kawan-kawan dengan judul “Model Bimbingan Kelompok dengan Pendekatan Muḥāsabah

menyatakan bahwa Penelitiannya merupakan studi literatur untuk merumuskan inovasi sebuah model bimbingan konseling dengan pendekatan muḥāsabah. Dalam penelitiannya ditemukan bahwa model bimbingan konseling dengan pendekatan muḥāsabah dapat memfasilitasi perkembangan individu secara optimal dan komprehensif dalam berbagai aspek perkembangan diri individu meliputi identitas diri, konsep diri, keyakinan diri, regulasi diri, integritas diri, penyesuaian diri, motivasi diri, motivasi berprestasi, komitmen religius, dan sikap optimis, yang kemudian individu tersebut mampu menghadapi tantangan perubahan dalam

(12)

kehidupannya.25 Selaras dengan penelitian yang akan dilakukan, yaitu tentang muḥāsabah. Namun, kali ini akan dikaji secara lebih khusus terkait muhasabah sebagai metode dalam meningkatkan salah satu aspek perkembangan diri, yaitu self-regulated learning.

2. Skripsi yang ditulis oleh Siti Shahilatul Arasy dengan judul “Urgensi

Muḥāsabah (Introspeksi Diri) di Era Kontemporer” menyatakan bahwa

muḥāsabah tidak berhenti hanya pada melakukan autokritik terhadap diri, tetapi lebih dari itu memerlukan kesadaran futuristik, memiliki tujuan masa depan yang jelas dan mampu mengimplementasikan dengan tindakan nyata. Muḥāsabah yang dilakukan dengan sungguh-sungguh akan mampu menyadarkan seseorang tentang kelebihan dan kekurangannya, sehingga dapat beradaptasi dan menjalani hidup dengan teratur serta berupaya untuk menjadi lebih baik. 26 Skripsi tersebut menjelaskan dan menguraikan bagaimana urgensi muḥāsabah di era kontemporer dengan menggunakan studi literatur atau library research, sedangkan dalam penelitian ini akan diuraikan bagaimana peran muḥāsabah pada siswa dengan menggunakan penelitian lapangan atau field research..

3. Penelitian yang dilakukan oleh Dwi Nur Rachman dengan judul “Regulasi Diri dalam Belajar pada Mahasiswa yang Memiliki Peran Banyak” menemukan bahwa self-regulated learning pada mahasiswa dipengaruhi oleh kesadaran mahasiswa tersebut akan peran-perannya yang banyak sehingga dengan kesadaran itu ia dapat mengatur dirinya untuk bisa memenuhi tuntutan-tuntutan yang ada sebagaimana perannya. Selain itu, faktor lain yang memengaruhi self regulated learning adalah kepribadian individu, nilai-nilai budaya dan agama, motivasi, keyakinan diri, dan

25 Ardimen et al., “Model Bimbingan Kelompok dengan Pendekatan Muhasabah,” Ta’dibuna:

Jurnal Pendidikan Islam, 8.2 (2019). Diunduh pada 14 November 2019, dari http://ejournal.uika-bogor.ac.id/

26 Siti Shahilatul Arasy, “Urgensi Muhasabah (Introspeksi Diri) di Era Kontemporer,” 2014.

(13)

situasi yang menstimulus adanya proses regulasi.27 Jika penelitian tersebut berusaha mencari faktor-faktor yang mempengaruhi self-regulated learning pada mahasiswa, maka pada penelitian kali ini berusaha meneliti secara mendalam tentang salah satu upaya dalam meningkatkan self-regulated learning pada siswa, yaitu dengan muḥāsabah.

27 Dwi Nur Rachmah, “Regulasi Diri dalam Belajar pada Mahasiswa yang Memiliki Peran

Banyak,” Jurnal psikologi, 42.1 (2015). Diunduh pada 12 November 2019, dari http://journal.ugm.ac.id/

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa pemberian ekstrak etanol biji edamame ( Glycine max L. Merril) secara topikal dapat meningkatkan jumlah

Data ini dapat dihitung dengan membandingkan nilai tersebut dengan nilai toleransi di setiap corak warna yang sudah di tentukan sebelumnya (Hannes et al., 2011). Nilai

Variables Removed Method 1 Kepuasan Pelanggan, Kualitas Pelayanan, Servicescape a.. All requested

Pada percobaan antisepsis kulit, kuman yang ditemukan pada lempeng agar darah bagian satu sangat banyak, pada lempeng agar darah bagian dua tidak ditemukan kuman, pada lempeng

Pada tahap pertama ini kajian difokuskan pada kajian yang sifatnya linguistis antropologis untuk mengetahui : bentuk teks atau naskah yang memuat bentuk

Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa guru kurang maksimal dalam menjelaskan kembali semua materi yang diberikan, siswa kurang memperhatikan dan menanggapi

Uji kepadatan tanah dilakukan dengan uji Proctor Standar. Hasil dari uji pemadatan berupa berat volume kering maksimum dan kadar air optimum digunakan sebagai

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut : Study Deskriptif tentang persepsi suami PUS terhadap kontrasepsi Metode Operasi