• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. POLITIK HUKUM PERUNDANG-UNDANGAN SISTEM PERLINDUNGAN ANAK DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2. POLITIK HUKUM PERUNDANG-UNDANGAN SISTEM PERLINDUNGAN ANAK DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

9

2.

POLITIK HUKUM PERUNDANG-UNDANGAN SISTEM

PERLINDUNGAN ANAK DALAM SISTEM HUKUM

INDONESIA

Nur Azizah Hidayat Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya

azizah.hidayat@fh.um-surabaya.ac.id Abstrak

Memberikan perlindungan, pemenuhan, penghormatan, dan pemajuan hak anak adalah kewajiban Negara Kesatuan Republik Indobesia (NKRI), sebagai konsekuensi dari peratifikasian Konvensi Hak Anak Tahun 1989 oleh Pemerintah Indonesia melalu Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Rights of the Child (Keppres Nomor 36 Tahun 1990). Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji : (1). politik hukum sistem perlindungan anak dari perspektif politik dan filsafat; dan (2). tujuan muatan politik hukum sistem perlindungan anak, sehingga dapat disimpulkan apakah negara sudah hadir dalam upaya perlindungan anak. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode hukum doktrinal dengan pendekatan perundang=undangan. Simpulan dari penelitian ini adalah NKRI sudah hadir dalam upaya perlindungan, pemenuhan, dan penghormatan terhadap hak anak dengan seperangkat perundang-undangan yang memenuhi rasa keadilan, kepastian dan kemanfaatan, sesuai dengan cita hukum yang

diinginkan masyarakat, namun belum optimal dalam

mengimplementasikan perundangan-undangan yang telah menjadi hukum positif. Rekomendasi dari penelitian ini adalah NKRI, dalam hal ini Pemerintah, tidak bisa menyelesaikan sendiri masalah perlindungan anak. Pemerintah memerlukan peran serta para pemangku kebijakan dan pemangku kepentingan yang lainnya untuk memenuhi, melindungi, dan menhormati hak anak secara komprehensif.

(2)

10 Latar Belakang Masalah

Anak adalah bagian dari generasi muda penerus cita-cita suatu bangsa, bahkan anak adalah generasi penerus peradaban umat manusia di dunia. Secara demografi, sosiologis, dan psikologis, generasi muda dikelompokkan menjadi beberapa elemen usia, yaitu dimulai dari kategori usia di bawah tiga tahun (batita), di bawah usia lima tahun (balita), usia anak, usia remaja, dan usia dewasa atau usia produktif. Dalam kehidupan bernusa dan berbangsa, kategori usia anak, sangat menjadi konsern yang spesisifik karena pada masa usia anak merupakan masa pancaroba perubahan perilaku sosial dari perilaku sosial anak berubah perilaku sosial dewasa. Pada usia pancaroba, anak banyak mengalami berbagai problem, baik secara psikis, sosial, maupun hukum. Problematika yang dihadapi oleh anak, perlu dicari akar masalah dan solusinya secara komprehensif, baik melalui upaya-upaya preventif maupun kuratifnya. Penanganan problematia anak, menjadi sangat

urgent, terutama jika sudah berhadapan dengan hukum.

Secara yuridis normatif, anak, diberi batasan definisi dan perlakuan tersendiri. Pasal 49 ayat (1) Konvensi Hak Anak yang berlaku sejak tanggal 2 September 1990, sebagai salah satu bentuk resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam melindungi hak anak pada tanggal 20 Nopember 1989, menyatakan bahwa anak adalah pemegang hak-hak dasar dan merupakan subyek hukum yang menerima perlindungan khusus. Salah satu alasan mendasar yang menjadi pertimbangan untuk memberikan perlakuan khusus kepada anak adalah kesadaran tentang konndisi anak yang secara kodrati.. Kondisi seorang anak yang rentan dan memeiliki kebutuhan khusus, memerlukan perlakuan dan perlindungan khusus, secara fisik dan mental.

Dalam Sistem Hukum Indonesia, Konvensi Hak Anak Tahun 1989 telah diratifikasi melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Rights of the Child (Keppres Nomor 36 Tahun 1990), tertanggal 25 agustus 1990. Berdasarkan Pasal 49 ayat (2) Konvensi Hak Anak Tahun 1989, maka secara efektif Konvensi

(3)

11

Hak Anak Tahun 1989 berlaku di Indonesia sejak tanggal 5 Oktober 1990, dengan segala konsekuensinya. Salah satu konsekuensi meratifikasi Konvensi Hak Anak Tahun 1989 adalah Pemerintah Indonesia berkewajiban untuk berupaya memenuhi hak anak di Indonesia. Hingga saat ini, Pemerintah Indonesia terus berupaya menjalankan kewajiban da memenuhi hak anak di Indonesia, melalui perbaikan sistem perlindungan anak, baik dalam bentuk perundang-undangan maupun aksi strategisuntuk perlindungan anak.

Berkaitan dengan seperangkat perundang-undangan tentang sistem perlindungan anak di Indonesia, sebagai bagian dari kebijakan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dalam menentukan strategi untuk memenuhi, melindungi, menghormati dan memajukan hak anak, tentu lah tidak serta merta permasalahan perlindungan anak di Indonesia akan berhasil diselesaikan dengan mudah. Banyak perdebatan dari berbagai sudut pandang keilmuan maupun sudut pandang para praktisi perlindungan anak, tentang bagaimana upaya efektif dalam memberikan perlindungan terhadap anak, memerlukan keselarasan dan keharomisan berbagai pihak dalam menyatukan persepsi dan gerak, demi masa depan anak sebagai generasi harapan bangsa. Perlu kajian yang sangat mendalam agar semua penengku kebijakan dan pemangku kepentingan tentang perlindungan anak tidak salah dalam melangkah. Salah satu kajian penting dalam upaya pemenuhan, perindungan, penghargaan dan pemajuan perlindungan anak adalah kajian politik hukum seperangkat perundang-undangan tentang sistem perlindungan anak di Indonesia. Masalah mendasar yang sering diperdebatkan dalam upaya perlindungan anak adalah apakah negara sudah hadir dalam upaya perlindungan anak. Dari sudut pandang politik hukum, masalah mendasar dalam sistem perlindungan anak di Indonesia tersebut dapat diurai menjadi beberapa pertanyaan, diantaranya adalah (1). bagaimana perspektif politik dan filsafat yang mendasari politik hukum sistem perlindungan anak digagas?; dan (2). apa tujuan muatan politik hukum sistem perlindungan anak?

(4)

12

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode hukum doktrinal dengan pendekatan perundang-undangan. Tujuan penggunaan metode hukum doktrinal dengan pendekatan perundang-undangan adalah:(1). Untuk menginventarisasi, menginterpretasi, mensistematisasi, dan mengevaluasi peraturan hukum positif dan doktrin-doktrin hukum yang berkaitan dengan isu kebijakan politik hukum sistem perlindungan anak dan hubungannya dengan paradigma pembangunan hukum di Indonesia; (2). Untuk mengetahui konsistensi peraturan perundang-undangan, yang berkaitan dengan tema penulisan, berdasarkan hierarkinya; (3). Untuk mengetahui apakah ada benturan antara suatu peraturan dengan peraturan lain; (4). Untuk memahami falsafah yang mendasari suatu peraturan perundang-undangan, sistem hukum, asas-asas hukum, dan kerangka berpikir tentang hukum yang mengatur permasalahan, yang berkaitan dengan tema penulisan. (Irianto dan Shidarta, 2009: 253-258)

Tinjauan Pustaka

Pengertian dan Ruang Lingkup Politik Hukum

Menurut Mahfud MD bahwa politik hukum mencakup proses pembuatan serta pelaksanaan hukum, yang dapat menunjukkan sifat dan arah pembangunan dan penegakkan hukum menuju cita-cita hukum. Politik hukum menyangkut hukum yang akan diberlakukan atau tidak diberlakukan guna mencapai tujuan negara, sehingga hukum harus dipahami dalam proses pembentukannya, yaitu hukum yang telah dibentuk/berlaku, hukum yang sedang dijalankan oleh lembaga penegak hukum, hukum yang akan dirumuskan/dibentuk, dan pembinaan hukum bagi aparat penegakan hukum dan masyarakat. (Absori ; 2013 : 34).

Teuku M. Radhi, berpendapat bahwa politik hukum adalah pernyataan kehendak penguasa negara tentang hukum positif yang berlaku di wilayahnya (ius constitutum) dan arah perkembangan

(5)

13

hukum yang akan dibangun atau diberlakukan pada masa yang akan datang (ius constituendum). (Absori ; 2013 : 32).

Satjipto Rahardjo, dalam perspektif sosiologis, mendefinisikan bahwa politik hukum adalah aktivitas pemilhan cara yang hendak digunakan untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat. (Absori ; 2013 : 32-33). Dengan demikian, terdapat pernyataan mendasar antara studi hukum dengan politik hukum, yaitu (Absori ; 2013 : 33):

ü Apa tujuan yang hendak dicapai dalam sistem hukum yang ada, ü Apa cara-cara paling baik untuk mencapai tujuan tersebut, ü Kapan hukum perlu diubah dan bagaimana cara perubahan itu

dilaksanakan,

ü Bagaimana merumuskan pola yang baku dan mapan, yang bisa membantu proses pemilihan tuujuan dan cara mencapai tujuan tersebut dengan baik.

Imam Syaukani dan A. Ahsin, menyatakan bahwa ruang lingkup kajian politik hukum meliputi (Absori ; 2013 : 34-35) :

ü Hukum dalam realitas dan masyarakat, yaitu proses penggalian nilai-nilai dan aspirasi yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, dan direspon oleh penyelenggara negara yang berwenang merumuskan politik hukum,

ü Proses perdebatan dan perumusan nilai-nilai dan aspirasi ke dalam sebuah bentuk peraturan perundang-undangan,

ü Peraturan perundang-undangan yang memuat politik hukum dalam rangka pembangunan hukum menuju hukum nasional, ü Faktor-faktor yang mempengaruhi dan menetukan politik

hukum, baik yang akan, sedang dan telah ditetapkan, termasuk dinamika tarik-menarik pengaruh masyarakat global,

ü Penegakan peraturan perundang-undangan dan implementasi politik hukum dari suatu negara, termasuk pembinaan aparat penegak hukum,

(6)

14 Teori Hukum dan Perubahan Sosial

Hubungan antara hukum dan perubahan sosial, telah menjadi isu utama dalam wacana hukum modern. Menurut Pound, hukum tidak boleh dibiarkan menggantung dalam konsep-konsep logis analitis atau ungkapan-ungkapan teknis yuridis. Hukum harus dibumikan dalam dunia nyata, yang penuh dengan kebutuhan dan persaingan kepentingan. Teori Pound dibangun dari pemahaman bahwa konstruksi awal struktur suatu masyarakat selalu berada dalam kondisi yang tidak seimbang. Untuk menciptakan keseimbangan, diperlukan penataan ulang ketimpangan-ketimpangan struktural tersebut ke dalam satu pola keseimbangan yang proporsional. Hukum yang bersifat logis analitis dan serba abstrak, atau yang berisi gambaran realitas apa adanya, hanya mengukuhkan apa yang ada, tetapi tidak mengubah keadaan. Untuk itu, diperlukan langkah progresif, yaitu memfungsikan hukum untuk menata perubahan. Dalam Teori Pound, langkah progresif ini dikenal dengan frase “law as a tool of social engineering” (Tanya, dkk., 2007; 180).

Fokus utama konsep social engineering adalah interest balancing. Antara hukum dan masyarakat terdapat hubungan yang fungsional. Kehidupan hukum terletak pada karya yang dihasilkan oleh dunia sosial, sehingga tujuan utama dalam yang social engineering adalah mengarahkan kehidupan sosial itu ke arah yang lebih maju. Hukum tidak menciptakan kepuasan, tetapi hanya memberi legitimasi atas kepentingan manusia untuk mencapai kepuasan itu dalam kesimbangan (Tanya, dkk., 2007; 187).

Hukum sebagai sarana social engineering, mempunyai makna bahwa penggunaan hukum secara sadar untuk keadaan masyarakat yang dicita-citakan, atau untuk melakukan perubahan yang diinginkan. Perubahan yang diinginkan tersebut dilakukan dengan suatu mekanisme perubahan sosial, yaitu suatu proses yang terencana dengan tujuan menganjurkan, mengajak, menyuruh, bahkan memaksa anggota masyarakat untuk mengikuti norma-norma hukum yang ditetapkan sebagai norma baru (Tanya, dkk., 2007; 188).

(7)

15

Hukum diyakini sebagai sistem pengaturan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu secara terencana, sehingga hukum bersifat instrumental. Hukum sebagai sistem pengaturan terkendali dianggap dapat dengan mudah mempengaruhi kehidupan sosial. Berdasarkan anggapan tersebut, maka penggunaan hukum modern selalu diarahkan menjadi sarana menyalurkan kebijakan-kebijakan untuk menciptakan keadaan-keadaan yang baru. Hukum juga diyakini sebagai sesuatu yang efektif untuk melakukan perubahan sosial karena hukum dianggap sebagai lembaga sosial yang bersifat by design. Hukum merupakan produk kecendekiaan yang terencana dan sistematis, sehingga mudah disempurnakan setiap saat agar tetap berfungsi sebagai instrumen perubahan sosial.

Sifat hukum sebagai produk by design terlihat jelas dalam enam langkah sistematis yang dikemukakan oleh Pound (Tanya, dkk., 2007; 188) untuk mewujudkan hukum sebagai sarana perubahan sosial, yaitu:

ü Mempelajari efek sosial yang nyata dari lembaga-lembaga serta ajaran-ajaran hukum;

ü Melakukan studi sosiologis dalam rangka mempersiapkan perundang-undangan untuk mempelajari pelaksanaanya dalam masyarakat serta efek yang ditimbulkan, untuk diimplemtasikan ke dalam masyarakat;

ü Melakukan studi tentang bagaimana peraturan hukum menjadi efektif;

ü Memperhatikan sejarah hukum, dengan maksud untuk

menunjukkan bagaimana hukum pada masa lalu tumbuh dari kondisi sosial, ekonomi, dan psikologis, bagaimana hukum menyesuaikan diri dengan kondisi tersebut, serta bagaimana kita mendasarkan atau mengabaikan hukum guna mencapai hasil yang diinginkan;

ü Pentingnya melakukan penyelesaian individual berdasarkan nalar, bukan bukan berdasarkan peraturan saja. Langkah ini memberi keleluasaan pada hakim untuk memutuskan perkara

(8)

16

berdasarkan nalar yang umum untuk memenuhi keadilan para pihak;

ü Mengusahakan secara lebih efektif agar tujuan-tujuan hukum dapat tercapai.

Menurut Satjipto Rahardjo (Tanya, dkk., 2007; 190), usaha yang sistematis dalam mendesign hukum sebagai alat perubahan sosial, di antaranya tampak dalam teknik pengundang-undangan yang dipakai, dan sangat mirip dengan cara-cara pemecahan masalah dalam managemen yang ilmiah. Senada dengan pendapat Satjipto, Podgorecki (Tanya, dkk., 2007; 190) menyebut social engineering sebagai ilmu sosial terapan, yang berfungsi untuk menemukan bagaimana cara yang efektif untuk mewujudkan tujuan-tujuan sosial yang dikehendaki, jika diterima adanya seperangkat nilai-nilai tertentu serta diketahui adanya seperangkat proposisi yang sudah teruji yang menggambarkan tentang tingkah laku manusia.

Selanjutnya Podgorecki (Tanya, dkk., 2007; 190) menyatakan bahwa ada empat asas yang mencerminkan karakter ilmu sosial teralam dalam social engineering, yaitu:

ü social engineering harus merupakan suatu penggambaran yang

baik mengenai situasi yang dihadapi;

ü membuat suatu analisis mengenai penilaian-penilaian yang ada dan menempatkannya dalam suatu urutan hirarki;

ü melakukan verifikasi hipotesa-hipotesa, seperti apakah suatu cara yang dipikirkan untuk dilakukan, pada akhirnya memang akan membawa pada tujuan sebagaimana dikehendaki;

ü pengukuran terhadap efek peraturan-peraturan yang ada.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa permasalahan hukum sebagai alat perubahan sosial, berkaitan dengan fungsi hukum dalam pembangunan, dan bahkan merupakan hubungan antara perubahan hukum dan perubahan masyarakat. Hubungan timbal balik antara perubahan hukum dan perubahan masyarakat berkaitan dengan masalah pada bidang kehidupan. Peranan hukum lebih besar dari pada bidang kehidupan lainnya, dan sebaliknya. Juga apakah hukum

(9)

17

dipandang sebagai alat yang mendukung perubahan atau bahkan mungkin yang menghambat perubahan (Tanya, dkk., 2007; 191).

Pengertian dan Ruang Lingkup Sistem Perlindungan Anak

Dalam Sistem Hukum Indonesia, belum ada kesatuan pandang dalam mendefinisikan tentang anak. Merujuk pada Pasal 330 Kitab Undang-undang hukum Perdata (KUH Perdata), anak dikategorikan sebagai orang yang belum dewasa dengan kriteria belum berusia dua puluh satu (21) tahun dan belum menikah sebelum berusia dua puluh satu (21) tahun. Ketentuan Pasal 330 KUH Perdata, berbeda pula dengan Pasal 45 Kitab Uundang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang menyatakan bahwa anak adalah orang yang berusia di bawah enam belas (16) tahun. Berbeda dengan Pasal 45 KUHP, dalam Pasal 280, 282, dan 294 KUHP, dinyatakan bahwa yang dapat dikategorikan sebagai anak korban kejahatan adalah orang yang berusia di bawah lima bekas (15) tahun.

Masih banyak lagi perundang-undangan yang memberikan definisi dan batasan usia anak. Bertitik tolak dari berbagai macam definis tentang anak, maka penulis merujuk pada definisi yang tercantum dalam UUPA. Mengacu pada Pasal 1 angka 2 UUPA) jo Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan terhadap UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UUP-PA), yang dimaksud dengan perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Sistem adalah seperangkat elemen yang membentuk kumpulan atau prosedur-prosedur atau bagan-bagan pengolahan yang mencari suatu tujuan bersama dengan mengoperasikan data dan/atau barang pada waktu tertentu untuk menghasilkan informasi dan/atau energi dan/atau barang. Murdick, R. G (1991:27). Berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh Murdick, maka penulis mendefinisikan bahwa sistem perlindungan anak adalah seperangkat elemen yang membentuk kumpulan atau prosedur-prosedur yang harus dilalui pada waktu

(10)

18

tertentu, untuk memenuhi, melindungi, menghormati dan memajukan hak anak.

Adapun aspek=aspek perlindungan anak, sebagaimana diatur dalam Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NKRI 1945), bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Ketentuan Pasal 28B ayat (2) UUD NKRI 1945 dapat dijabarkan lebih lanjut dalam Bab III Hak dan Kewajiban Anak UUPA, yang secara garis besar bahwa :

ü Perlindungan terhadap hak asasi anak; ü Perlindungan dalam proses pengadilan;

ü Perlindungan terhadap kesejahteraan anak dalam lingkungan keluarga, pendidikan dan sosial;

ü Perlindungan dalam masalah penahanan dan perampasan kemerdekaan; dari segala bentuk eksploitasi;

ü Perlindungan untuk tidak menjadi anak-anak jalanan;

ü Perlindungan dari akibat-akibat perang atau konflik bersenjata; ü Perlindungan dari tindakan kekerasan

Hasil Penelitian

Perspektif Politik dan Filsafat yang Mendasari Politik Hukum Sistem Perlindungan Anak dalam Sistem Hukum Indonesia

Perspektif Politik

Meskipun Sistem Hukum Indonesia, belum ada kesatuan pandang dalam mendefinisikan tentang anak, namun bangunan kerangka hukum sistem perlindungan anak telah diupayakan sejak Undang-Undang Dasar Proklamasi 1945 (UUD Proklamasi 1945) disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945. Perlidungan anak diatur menyebar di berbagai pasal-pasal dalam UUD Proklamasi 1945, diantaranya terdapat pada Pasal 30 tentang kewajiban warga negara untuk mengikuti pendidikan dan Pasal 34 tentang kewajiban negara untuk memeihara fakir miskin dan anak-anak terlantar. Selanjutnya dalam amandemen UUD Proklamasi 1945, pengaturan tentang perlindungan anak lebih

(11)

19

dikhususkan lagi. Dalam Pasal 28B ayat (2) UUD NKRI 1945, ditegaskan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Berdasarkan Teori Berjenjang yang dikemukakan oleh Hans Kelsen, bahwa hukum sebagai suatu sistem yang terdiri dari susunan norma berbentuk piramida. Norma yang lebih tinggi akan memberi kekuatan pada norma yang lebih rendah. Semakin tinggi tingkatan suatu norma, semakin abstrak sifatnya, dan sebaliknya, semakin rendah tinkatan suatu norma, akan semakin konkert sifatnya. (Absori ; 2013 : 24).

Di Indonesia, Teori Berjenjang ini diadopsi dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU Nomor 12 Tahun 2011) Pasal 7 dan Pasal 8. Pasal 7 ayat (1)UU Nomor 12 Tahun 2011 mengatur tentang jenis dan hierarki perundang-undangan, yang terdiri atas :

ü Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; ü Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

ü Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang;

ü Peraturan Pemerintah; ü Peraturan Presiden;

ü Peraturan Daerah Provinsi; dan ü Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Pasal 7 ayat (2)UU Nomor 12 Tahun 2011 mengatur bahwa kekuatan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) mengikat sesuai dengan hierarkinya.

Pasal 8 UU Nomor 12 Tahun 2011 mengatur bahwa :

ü Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau

(12)

20

komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.

ü Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

Dengan demikian pasal-pasal tentang perlindungan anak dalam UUD NKRI 1845, memerlukan peraturan pelaksana yang tingkatannya lebih rendah dari undang-undang dasar agar normanya semakin konkret dan mudah diimplementasikan. Guna memenuhi kebutuhan peraturan tentang sistem perlindungan anak dan memudahkan implementasi peraturan tentang sistem perlindungan anak, serta mencapai tujuan hukum sistem perlindungan anak, maka Pemerintah memberlakukan seperangkat perundang-undangan tentang sistem perlindungan anak. Adapun aturan pelaksana sistem perlindungan anak yang terdapat dalam UUD NKRI 1945, tersebar dalam berbagai undang-undang, diantaranya :

ü Primer (peraturan yang berkaitan langsung dengan sistem perlindungan anak) :

ü Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

ü Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Rights of the Child

ü Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

ü Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan terhadap UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ü Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

(13)

21

Sekunder (peraturan yang tidak berkaitan langsung dengan sistem perlindungan anak):

ü Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

ü Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

ü Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga

ü Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak pidana Perdagangan Orang

ü Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas

Seperangkat perundang-undangan tersebut di atas juga ditindaklanjuti dengan peraturan daerah (Perda) dan peraturan kepala daerah, baik di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Keberadaan seperangkat perundang-undangan tersebut merupakan wujud dari kemauan politik dari seluruh pihak, baik eksekutif, legislatif maupun stakeholders yang lain, untuk memenuhi, melindungi, menghormati, dan memejukan hak anak secara komprehensif. Dalam seperangkat perundang-undangan tersebut, terlihat bahwa penanganan jaminan perlindungan anak di Indonesia diatur dari berbagai aspek, meliputi lima aspek, yaitu sistem hukum, kelembagaan, teknologi, pendanaan, dan peran serta masyarakat. Hal itu menjadi hal pokok dalam sistem perlindungan anak di Indonesia. Dengan demikian secara politik gagasan politik hukum seperangkat perundang-undangan tentang sistem perlindungan anak, memliki kesamaan perspektif dengan Pasal 28B ayat (2) UUD NKRI serta KonvensiHak Anak Tahun 1989.

(14)

22 Perspektif Filsafat

Suatu peraturan haruslah berasal dari suatu penalaran hukum yang berorientasi pada kerangka yuridis, dengan mempertimbangkan sesuatu yang dipandang sebagai keadilan, kepastian hukum, dasar untuk menerapkan aturan-aturan hukum, serta efektifitas pencapaian tujuan hukum. Aturan hukum bukan hanya sebagai instrumen pengejawantahan muatan-muatan subyektif dari pemerintah, tetapi sebagai representatif atas sesuatu yang dipahami dan disadari sebagai cita hukum oleh masyarakat.

Gagasan tentang sistem perlindungan anak, merupakan suatu konsep yuridis yang berasal dari kesadaran pemerintah dan masyarakat untuk memenuhi, melindungi, menghargai dan memajukan upaya perlindungan anak. Secara fitrah, kondisi seorang anak yang rentan dan memeiliki kebutuhan khusus, memerlukan perlakuan dan perlindungan khusus, secara fisik dan mental. Namun, kondisi-kondisi sosial menyebabkan kebutuhan khusus tersebut tidak terpenuhi. Karena itu, politik hukum ini digagas dengan tujuan menciptakan siatem perlindungan anak yang komprehensif dan memenuhi rasa keadilan, kepastian hukum, serta kemanfaatan, sesuai dengan apa yang dipahami dan disadari oleh masyarakat.

Keterlibatan masyarakat dalam proses pembuatan dan pembahasan perundang=undangan yang terkait dengan sistem perlindungan anak, tercermin dalam mekanisme perencanaan, pelaksanaan dan penegakan sistem perlindungan anak, serta perencanaan pembuatan dan pelaksanaan berbagai rencana aksi strategis upaya perlindungan anak. Seperangkat perundang-undangan tentang sistem perlindungan anak tersebut didasari oleh good will untuk memberikan keadilan bagi semua anak sebagai generasi penerus bangsa. Artinya, ada jaminan keadilan bagi semua anak untuk memperoleh kesempatan hidup, tumbuh dan berkembang secara sehat, baik fisik maupun mental

(15)

23

Tujuan Muatan Politik Hukum Sistem Perlindungan Anak dalam Sistem Hukum Indonesia

Muatan politik hukum sistem perlindungan anak ini bertujuan untuk menciptakan mekanisme perlindungan anak yang komprehensif, terpadu, dari hilir sampai hulu, dengan melibatkan kerjasama yang baik antara pemangku kebijakan dan pemangku kepentingan yang lain, dengan paradigma baru, serta metode yang efektif dan efisien, sehingga sistem perlindungan anak dapat mencakup tindakan yang komprehensif dan memenuhi rasa keadilan, kepastian hukum, serta kemanfaatan, sesuai dengan apa yang dipahami dan disadari oleh masyarakat.

Mekanisme, paradigma baru, serta metode yang menjadi tujuan muatan politik hukum sistem perlindungan anak ini adalah sebagaimana dituangkan dalam Strategi Nasional Penghapusan Kekerasan terhadap anak Tahun 2016 – 2020 (Stranas PKTA) :

ü Legislasi dan penerapan kebijakan yang melindungi anak dari segala bentuk kekerasan;

ü Perubahan norma sosial dan praktek budaya yang menerima, membenarkan, atau mengabaikan kekerasan;

ü Pengasuhan yang mendukung hubungan yang aman dan penuh

kasih sayang antar pengasuh kepada anak untuk mencegah kekerasan;

ü Peningkatan keterampilan hidup dan ketahanan anak dalam mencegah kekerasan serta mendukung program wajib belajar untuk anak;

ü Penyediaan layanan pendukung yang terjangkau dan berkualitas untuk korban, pelaku, dan anak dalam resiko;

ü Peningkatan kualitas data dan bukti pendukung tentang kekerasan terhadap anak yang diharapkan dapat mencegah tindak kekerasan terhadap anak dan sebagai respon terhadap kekerasan terhadap anak.

(16)

24 Kesimpulan

NKRI sudah hadir dalam upaya pemenuhan, perlindungan dan penghormatan terhadap hak anak dengan seperangkat perundang-undangan yang memenuhi rasa keadilan, keadilan, kepastian dan kemanfaatan, sesuai dengan cita hukum yang diinginkan masyarakat, namun belum optimal dalam mengimplementasikan perundangan-undangan yang telah menjadi hukum positif

Rekomendasi

NKRI, dalam hal ini Pemerintah, tidak bisa menyelesaikan sendiri masalah perlindungan anak. Pemerintah memerlukan peran serta para pemangku kebijakan dan pemangku kepentingan yang lainnya untuk memenuhi, melindungi, dan menhormati hak anak secara komprehensif.

Daftar Pustaka

Absori, 2013, Politik Hukum : Menuju Hukum Progresif, Surakarta; Muhammadiyah University Press.

Irianto,SulistyowatidanShidarta, 2009, MetodePenelitianHukum,

KontelasidanRefleksi, EdisiPertama, Jakarta; YayasanObor

Indonesia.

Tanya, Bernard L.; Yoan N. Simanjuntak; Markus Y. Hage, 2007,TeoriHukum

:StrategiTertibManusiaLintasRuangdanGenerasi, Surabaya; CV.

Referensi

Dokumen terkait

a) Informasi publik dapat di peroleh baik secara langsung datang melalui di desk layanan informasi maupun secara tidak langsung yakni

Pengembangan masyarakat pesisir harus didasarkan pada pengelolaan wilayah pesisir, daerah aliran sungai dan laut yang komperehensif, sehingga menuntut (1) perhatian yang lebih

This study was based on the theories of language and culture; language function, the choice of words and the language style in relation with the social

1) Jenis bahan bakar pertamax : Pemakaian bahan bakar pertamax pada alat HCS terlihat perbedaan dikarenakan sebelumnya engine tanpa menggunakan HCS dan engine

The objective is to combine the benefits of case study method of teaching with online discussion forum to enhance the quality of learning while making this an assessment component

Hasil penelitian dari 30 keluarga bayi tentang gangguan buang air besar pada masa nifas di BPM Ratijah Telukwetan Kecamatan Welahan Kabupaten Jepara Tahun 2012

Terhadap penanganan perkara Anak Berhadapan Hukum terutama pada penanganan kasus tindak pidana kecelakaan Lalu Lintas Polri tetap berpedoman pada UU SPPA dan berbagai aturan

Hasil analisis data menunjukkan bahwa varietas berbeda nyata terhadap parameter tinggi tanaman, jumlah daun, umur berbunga jantan, umur berbunga betina, umur panen, jumlah biji per