• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Ikan Kembung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Ikan Kembung"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Deskripsi Ikan Kembung

Ikan kembung(Rastrelliger Spp) merupakan spesies dengan populasi yang terbanyak yang hidup hampir di seluruh wilayah perairan Indonesia. Oleh karenanya ikan kembung sangat mudah didapat di pasaran dengan harga yang relatif terjangkau dan banyak dikonsumsi oleh sebagian masyarakat Indonesia. (Ditjen Perikanan 1990).

Klasifikasi ikan kembung adalah sebagai berikut: Phylum : Chordata

Kelas : Pisces Ordo : Percomorphi Famili : Scombridae Genus : Rastrelliger

Ciri-ciri ikan kembung ini meliputi badan tidak langsing, pendek, gepeng, tapisan insang halus berjumlah 29-34 buah, dan terdapat pada bagian bawah busur insang pertama. Sisik pada garis rusuk 120-131 buah. Panjang usus 3-3.4 kali panjang badan. Sirip punggung pertama berjari-jari lemah 12 buah. Di belakang sirip punggung dan sirip dubur terdapat 5 jari-jari lepas (filet) (Saanin 1984).

Ikan kembung termasuk ikan pemakan plankton halus dan habitatnya mendekati pantai serta membentuk gerombolan besar. Ikan kembung dapat mencapai panjang 30 cm, namun umumnya 15-20 cm. Ikan kembung berwarna biru kehijauan bagian atas, putih perak bagian bawah, totol-totol hitam pada bagian punggung (diatas garis rusuk). Sirip punggung pertama kuning keabuan, dengan pinggiran gelap. Sirip dada, perut kuning maya-maya, sedikit gelap dan lain-lain sirip kekuningan (Ditjen Perikanan 1990).

Menurut Ditjen Perikanan (1990) daerah penyebaran ikan kembung meliputi pantai Indonesia dengan konsentrasi terbesar di Kalimantan, Sumatera Barat, Laut Jawa, Selat Malaka, Muna-Buton, Arafuru. Ikan kembung merupakan spesies epipelagic dan neritic yaitu ikan yang hidup pada permukaan laut, bergerombol dan menyukai daerah dengan suhu permukaan minimum 17 oC, suhu optimum antara 20 oC - 30 oC.

(2)

Komposisi dan Nilai Gizi Ikan Kembung

Ikan kembung mengandung beberapa jenis senyawa kimia, antara lain yang dominan yaitu air, protein, lemak dan mineral. Senyawa kimia yang bernilai gizi yaitu protein, lemak dan mineral sedangkan air merupakan penyusun terbesar yang kurang mempunyai nilai gizi. Selain senyawa bergizi tersebut, ikan mengandung vitamin yang mempunyai nilai gizi yang cukup berarti. Komposisi dan nilai gizi ikan kembung tercantum pada Tabel 1.

Ikan kembung termasuk jenis ikan mackerel. Ikan mackerel digolongkan sebagai ikan kategori B yaitu mengandung minyak sedang (medium oil) 5-15% dan berprotein tinggi (high protein) 15-20%. Namun juga dapat dikatakan tipe C yaitu mengandung minyak tinggi (high oil) lebih dari 15% (Stansby 1982).

Proses Perubahan pada Ikan

Proses perubahan pada tubuh ikan terjadi karena adanya aktivitas enzim, mikroorganisma, dan kimiawi (Hadiwiyoto 1993). Akibat dari ketiga perubahan ini berbeda-beda menurut jenis ikan. Ikan-ikan yang berdaging putih yang mempunyai kadar lemak rendah, proses oksidasi tidak begitu merupakan masalah yang serius selama penyimpanan. Setelah ikan mati, berbagai proses perubahan fisik maupun kimiawi berlangsung cepat. Semua proses perubahan ini akhirnya mengarah ke pembusukan.

Tabel 1 Komposisi dan nilai gizi ikan kembung (dalam 100 gram daging)

Kandungan Jumlah Energi Protein Lemak Kalsium Phospor Besi Vitamin A Vitamin B1 Air

Berat dapat dimakan

103.00 kal 22.00 g 1.00 g 20.00 mg 200.00 mg 1.00 mg 9.00 RE 0.05 mg 76.00 g 80.00 %

Sumber : Hardinsyah dan Briawan (1990)

Perubahan rigor mortis merupakan akibat dari suatu seri perubahan kimiawi yang kompleks di dalam otot ikan sesudah kematiannya. Setelah ikan mati,

(3)

sirkulasi darah terhenti dan suplai oksigen berkurang sehingga terjadi perubahan glikogen menjadi asam laktat. Perubahan ini menyebabkan pH tubuh ikan menurun diikuti pula dengan penurunan jumlah ATP serta jaringan otot tidak mampu mempertahankan kekenyalannya.

Setelah ikan mati, enzim masih mempunyai kemampuan untuk bekerja secara aktif tetapi sistim kerja enzim menjadi tidak terkontrol karena organ pengontrol tidak berfungsi lagi. Akibatnya enzim ini dapat merusak organ tubuh lain. Peristiwa ini disebut autolisis dan berlangsung setelah ikan melewati fase rigor mortis. Ciri terjadinya perubahan secara autolisis ini adalah dengan dihasilkannya amoniak sebagai hasil akhir (Martin et al. 1986).

Pola Migrasi Mamalia Laut sebagai Inang Definitif Cacing Anisakidae

Mamalia laut seperti Lumba-lumba dan Paus merupakan inang definitif dari cacing Anisakidae. Walaupun cacing ini merupakan parasit yang lazim ditemukan dalam tubuh beberapa mamalia laut, pola migrasi dari Lumba-lumba ataupun Paus dapat menjadi sarana penyebaran cacing parasitik tersebut kepada satwa lainnya. Perairan Indonesia di sekitar Taman Nasional Komodo, pulau Alor, pulau Antar, dan Lembata, Nusa Tenggara Timur merupakan jalur lintasan ikan Paus dari Samudra Pasifik dan perairan Timur Indonesia ke Samudra Indonesia dan juga sebaliknya melewati daerah ini disamping satwa setempat (residen) yang menggunakan jalur lintasan ini sebagai daerah jelajah mereka (Kahn 2001; Pet-Soede 2002).

Infestasi dan sebaran parasit ini pada ikan sangat terkait erat dengan ketahanan inang definitifnya yaitu mamalia laut. Daya tahan inang yang rendah akan meningkatkan infestasi parasit cacing pada ikan yang mengakibatkan kerusakan jaringan tubuh ikan. Dalam ekosistim laut, satwa yang menempati posisi atas dalam piramida makanan memiliki risiko infestasi yang tinggi oleh berbagai macam parasit apabila sumber pakan (mangsa) mereka telah terinfeksi oleh parasit.

Dengan karakteristik parasit cacing dan reaksi terhadap perubahan lingkungan yang berbeda-beda, cacing parasit nematoda memiliki potensi sebagai bio-indikator lingkungan, karenanya nematoda berpotensi untuk digunakan

(4)

sebagai bio-indikator kondisi perairan dan juga status kesehatan satwa liar itu sendiri.

Morfologi dan Karakteristik Larva Cacing Anisakidae

Famili Anisakidae sering disebut juga sebagai kelompok cacing anisakis yang sebenarnya terdiri dari beberapa spesies. Sejauh ini spesies-spesies yang sudah dilaporkan menginfeksi manusia adalah Anisakis simplex, Pseudoterranova sp.dan Contracaecum sp. Kadang-kadang spesies Contracaecum sp. disebut juga sebagai spesies Hysterothylscium. Dari keempat spesies ini yang paling banyak menginfeksi manusia adalah Anisakis simplex (Sakanari dan McKerrow 1989; Miyazaki 1991).

Keterkaitan antara panjang larva A. Simplex terhadap usia ikan telah dilaporkan oleh Strømnes dan Andersen (2003) bahwa sejumlah larva 3 A. simplex memiliki panjang lebih dari 28 mm dan terus bertambah panjangnya seiring dengan bertambahnya usia ikan.

Larva Anisakis simplex mempunyai panjang 11.2–34.5 mm, lebar 0.44–0.55 mm usofagusnya relatif panjang dan disertai oleh jaringan kelenjar, tidak mempunyai apendiks atau sekum, bibirnya tidak jelas, giginya menonjol ke depan dan mempunyai saluran pencernaan yang sederhana yaitu usofagus, ventrikulus dan usus halus (intestine) sedangkan Pseudoterranova sp mempunyai usofagus, venrikulus, usus halus (intestine) dan sekum secara langsung berada pada bagian anteriornya dengan total panjangnya 25–50 mm dan lebar 0.3–1.2 mm sebagaimana terlihat pada Gambar 1 (Hurst 1984; Sakanari dan McKerrow 1989). Berbeda dengan ukuran cacing dewasa anisakis mempunyai ukuran panjang untuk cacing dewasa jantan yaitu 38-60 mm dan untuk cacing dewasa betina yaitu 45- 80 mm (Iglesias et al. 2001).

(5)

Gambar 1 Morfologi larva Anisakidae. A–E Larva 3 Anisakis simplex, F–J Larva 3 Pseudoterranova. A dan F dilihat dari anterior dan lateral; B dan G kepala dilihat dari lateral; C dan H kepala dilihat dari sagital; D dan I dilihat dari posterior dan lateral; E dan J ekstremitas posterior (mukron). LT (gigi); EP(ekskresi); I (intestin); IC (intestinalsekum); O (usofagus); VN (ventrikulus) (Hurst 1984).

Siklus Hidup Larva Anisakidae

Laporan menyebutkan bahwa angka infeksi pada Lumba-lumba bisa mencapai 70% dan jumlah cacing pada seekor ikan Lumba-lumba bisa mencapai 1.200 ekor cacing. Survei yang dilakukan oleh Beron-Vera et al. (2001) pada Lumba-lumba Commerson (Cephalorhynchus commersonii) di perairan Atlantik Selatan menunjukkan bahwa nematoda dari spesies Anisakis memiliki prevalensi yang tinggi (100% di Patagonia bagian tengah dan 87% di Tiera del Fuego) dengan rata-rata intensitas yang berbeda (21 di Patagonia dan 9 di Tiera del Fuego). Dengan demikian, nematoda zoonotik seperti Anisakis sp. memiliki potensi untuk dijadikan indikator perairan, atau kondisi kesehatan satwa liar yang ada di perairan tersebut.

(6)

Telur yang keluar bersama tinja hospes definitifnya akan menetas di air. Larva stadium kedua yang keluar dari telur akan ditelan oleh hospes perantara pertama lalu berkembang menjadi larva stadium ketiga awal. Hospes perantara pertamanya adalah udang Thysanoessa dan Euphausia. Bila hospes perantara ini dimakan oleh hospes perantara kedua, di dalam tubuhnya larva berkembang menjadi larva stadium ketiga lanjut. Hospes perantara kedua dan hospes parateniknya meliputi ikan (pisces) laut, cumi-cumi dari berbagai jenis, dan membentuk rantai penularan satu dengan yang lain sedemikian kompleksnya.

Kedua kategori hospes ini (hospes perantara kedua dan paratenik) agak sulit dibedakan, namun keduanya memegang peranan penting sebagai sumber infeksi pada manusia. Diantaranya yang penting adalah: ikan pollack alaska, tengiri laut, ikan hering, ikan forel (trout), ikan berkepala merah, ikan mackerel, ikan bonito dan sebagainya. Larva terutama berparasit pada permukaan organ-organ di rongga abdomen, demikian juga pada otot (Sakanari dan McKerrow 1989; Miyazaki 1991).

Cacing parasitik dari tiga perairan yang berbeda di Indonesia bagian selatan telah diisolasi dan tercatat memiliki resiko zoonosis yaitu dari perairan Bali adalah Anisakis sp., Pseudoterranova sp., dan Echinochasmus sp., dari perairan Selat Sunda adalah Serrasentis sp. Bulbosona sp. dan Anisakis sp. Pseudoterranova sp dan dari perairan Nusa Tenggara Timur genus Capillaria sp (Hariyadi 2006).

Parasit yang masuk ke tubuh manusia adalah larva stadium ketiga yang masuk bersama daging ikan yang dimakan. Dalam tubuh manusia larva akan hidup dan pada umumnya tetap sebagai larva stadium ketiga, namun kadang-kadang juga berkembang hingga larva stadium keempat atau larva yang sedang berganti kulit. Dalam hal ini manusia berperan sebagai hospes paratenik. Kebanyakan larva menyerang sub mukosa namun bisa juga mencapai organ-organ di rongga abdomen (Miyazaki 1991).

Infeksi cacing parasitik akibat predasi dan juga ingesti larva telah dipelajari dalam penelitian Køie (2001) yang menunjukkan bahwa jenis ikan Gasterosteus aculeatus terinfeksi cacing Anisakis sp. akibat memakan inang (krustasea atau ikan) yang sudah mengandung L3. Setelah masuk kedalam tubuh inang, L3

(7)

melakukan enkapsulasi di jaringan otot ikan Gasterosteus aculeatus dan Plathicthys flesus (ikan sebelah) dimana larva tersebut dapat bertahan hidup sampai 2 tahun.

Gambar 2 Siklus hidup larva Anisakidae

Berdasarkan siklus hidup pada Gambar 2 dapat dijelaskan sebagai berikut (a) telur anisakis dewasa dikeluarkan dari tubuh ikan mamalia laut melalui faeses. Telur menetas menjadi larva (b) dimakan oleh udang Thysanoessa dan Euphausia (c). Ikan dan cumi-cumi (d) menjadi terinfeksi setelah makan udang. Manusia terinfeksi (e) jika makan ikan atau cumi mentah atau kurang masak (Sakanari dan McKerrow 1989).

Prevalensi dan Intensitas Larva Anisakidae

Tingkat penularan suatu parasit pada ikan dinyatakan dalam prevalensi dan intensitas. Prevalensi menggambarkan besarnya presentase ikan yang terserang parasit pada suatu populasi ikan, sedangkan intensitas menggambarkan kelimpahan parasit pada individu ikan yang terserang parasit. Tingkat penularan

(8)

suatu parasit dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti jenis ikan, ukuran ikan, umur ikan, jenis kelamin ikan, waktu dan tempat serta kondisi perairan tempat ikan itu berada. Intensitas larva nematoda yang tinggi dalam tiap gram daging ikan disebabkan oleh kondisi sistim pertahanan inang (IL-4 dan IL-10) yang menyebabkan larva Anisakidae bermigrasi ke luar saluran cerna dan memilih jaringan lemak di mesenterium usus untuk bertahan hidup dan tumbuh (Schopf et al. 2002; Stromnes dan Andersen 2003). Lokasi mesenterium ini berdekatan dengan daging (otot) di sekeliling abdomen.

Dikatakan pula perubahan fauna parasit pada ikan bukan hanya disebabkan oleh peningkatan daya tahan tubuh ikan (imunitas ikan), tetapi juga akibat faktor ekologis seperti perubahan diet ikan dan migrasi ikan. Namun demikian secara umum parasit lebih banyak ditemukan pada anak ikan baik jenis maupun besarnya populasi parasit pada individu ikan. Hal ini beralasan mengingat anak ikan mempunyai tubuh yang lebih lunak, rentan terhadap perubahan nutrisi dan lingkungan selain daya resistensi masih rendah akibat sistim imunitas yang belum berkembang (Hadiroseyani 1992).

Menurut Rocka (2004) dan Roepstorff et al. (1993) bahwa larva parasitik nematoda stadium dewasa pada ikan mamalia laut pada umumnya ditemukan pada usus, mesenterium dan otot ikan, larva anisakis terdapat juga di dalam daging ikan (flesh), distribusi larva anisakis dalam jaringan ikan horse-mackerel adalah pada rongga perut 61.2%, organ viseral 37% dan jaringan otot 1.8%, menurut laporan Adroher et al. (1995) bahwa prevalensi infeksi anisakis menurut lokasi parasit dalam jaringan ikan adalah rongga perut 83%, organ viseral 45.6% dan jaringan otot 3.3%.

Cacing parasitik nematoda dapat menginfeksi semua jenis ikan dengan variasi intensitas yang beragam, trematoda hanya menginfeksi ikan ekor kuning dan kerapu dengan pengecualian pada beberapa ikan tuna dan acanthocephala hanya menginfeksi ikan tuna, ini menunjukkan bahwa banyaknya nematoda dan acanthocephala sangat bervariasi (Hariyadi 2006 ). Menurut laporan Nabib & Pasaribu (1989) bahwa variasi intensitas disebabkan oleh banyaknya parasit (jumlah dan jenis) di perairan tersebut dan kualitas air di masing-masing lokasi.

(9)

Penyakit pada Manusia dan Pengendaliannya

Anisakiasis dapat terjadi secara klinis dalam beberapa bentuk setelah larva menembus jaringan mukosa usus berdasarkan penyebabnya, bentuk Anisakiasis yang disebabkan oleh Pseudoterranova sp. kasus infeksinya pada umumnya tidak menunjukkan gejala tetapi kadang-kadang larvanya bisa ditemukan ketika larva hidup keluar melalui muntah atau dalam faeses.

Bentuk-bentuk invansif larva dapat menembus lambung atau sub mukosa usus halus menyebabkan edema, erosi, ulser dan perdarahan. Gejala-gejala Anisakiasis lambung terlihat 12 – 24 jam setelah mengkonsumsi ikan yang masih mengandung larva hidup, yaitu tiba-tiba terjadi nyeri pada daerah epigastrium, mual dan muntah. Gambaran klinis Anisakiasis gastrik mirip dengan peptik ulser, tumor gaster, gastritis akut, kolesistitis dan gejala-gejala patologis gastro intestinal yang lain (Acha dan Szyfres 2003). Masa inkubasi Anisakiasis intestinal adalah 7 hari dan menunjukkan beberapa gejala antara lain rasa sakit pada perut bagian bawah, mual, muntah, demam, diare, dan adanya darah dalam faeses (Ortega dan Cocera 2000).

Untuk mendiagnosa Anisakiasis dapat ditentukan dengan melihat gejala-gejala klinis yang meliputi urtikaria akut, anafilaksis, mual dan muntah. Apabila tidak menemukan adanya gejala-gejala klinis tersebut diagnosa dapat dilakukan dengan dengan pemeriksaan endoskopi dan dilanjutkan dengan pemeriksaan immunodiagnostik jika larva tidak dapat ditemukan di lambung dan usus halus (Ortega dan Cocera 2000).

Sumber infeksi utama pada manusia adalah mengkonsumsi ikan mentah, ikan penggaraman, dan pengasapan yang tidak sempurna serta tidak disimpan dalam lemari pendingin (refrigerator dan freezer). Selanjutnya infeksi dapat dicegah dengan tidak mengkonsumsi daging ikan mentah atau kurang masak. Sebagian besar larva Anisakidae yang berbahaya bagi manusia mati jika disimpan pada temperatur -20 oC selama 24-72 jam, ikan dimasak pada 70 oC atau penggaraman dengan konsentransi garam yang merata pada semua permukaan daging ikan (Acha dan Szyfres 2003).

(10)

Kemampuan Hidup Larva Anisakidae pada Suhu Dingin dan Suhu Beku

Proses pendinginan dan pembekuan banyak diaplikasikan untuk pengawetan produk pangan segar dan olahan dengan tujuan untuk memperpanjang umur simpannya. Pengawetan pada suhu rendah terjadi karena adanya penghambatan aktivitas mikroorganisma, enzim dan reaksi kimia dan biokimia yang berperan dalam kerusakan produk pangan. Pendinginan umumnya digunakan untuk mengawetkan produk segar, seperti sayuran dan buah-buah, sedangkan pembekuan digunakan untuk mengawetkan daging dan ikan segar dan produk olahannya. Pembekuan (freezing) adalah penyimpanan bahan pangan di bawah titik bekunya, dimana melibatkan proses perubahan fase air dari cair menjadi es dan kristal es. Proses pembekuan dapat mencapai suhu -18 sampai -40 oC.

Menurut Palm et al. (1994) dalam Rocka (2004) prevalensi dan intensitas infeksi pada ikan dengan P. decipiens di Laut Weddell lebih rendah dibandingkan dengan dari Bagian Utara hal ini kemungkinan disebabkan oleh cacing dipengaruhi oleh suhu dingin pada permukaan laut sehingga perkembangan telur lebih lambat, temperatur air di bawah 0 oC menghambat L3 dalam ikan.

Menurut Wharton dan Aalders (2002) dan Doyle (2003) pembekuan makanan yang dikonsumsi mentah seperti ikan dan daging lain pada temperatur -20 oC selama 15 jam atau lebih dapat membunuh atau menginaktifkan beberapa jenis parasit ikan. Penelitian Hilderbrand et al. (2003) dan penelitian Noble et al. (1989) menunjukkan bahwa pembekuan pada temperatur -20 oC selama 24 jam mampu membunuh larva anisakis. Pembekuan dengan temperatur yang lebih rendah yaitu -35 oC selama 15 jam sudah dapat membunuh semua larva anisakis (Thomas et al. 1988).

Gambar

Tabel 1 Komposisi dan nilai gizi ikan kembung (dalam 100 gram daging)
Gambar 1  Morfologi larva Anisakidae. A–E Larva 3 Anisakis simplex, F–J Larva  3 Pseudoterranova
Gambar 2  Siklus hidup larva Anisakidae

Referensi

Dokumen terkait

Daging ikan yang dimanfaatkan haruslah segar, cara memperlakukan ikan yang sudah ditangkap, sangat mempengaruhi kecepatan pembusukan ikan tersebut adalah sebagai berikut :.

Komposisi spesies ikan asli yang ditemukan pada tiga waduk tersebut dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1 Komposisi spesies ikan asli di Waduk Saguling, Cirata

vektor mandul, radiasi dapat dilakukan pada stadium telur, larva, pupa

Pemeriksaan yang umumnya dilakukan dalam mendiagnosis infeksi nematoda usus berupa mendeteksi telur cacing atau larva pada feses manusia (Suali, 2009; Maguire, 2010; WHO,

Selama proses kemunduran mutu, bakteri memproduksi enzim dekarboksilase yang akan mengubah histidin bebas dan asam amino lain pada daging ikan menjadi histamin dan amin biogenik

Pemeriksaan yang umumnya dilakukan dalam mendiagnosis infeksi nematoda usus berupa mendeteksi telur cacing atau larva pada feses manusia (Suali, 2009; Maguire, 2010; WHO,

Di usus halus larva akan tumbuh menjadi cacing dewasa, sedangkan cacing yang betina akan bertelur dan telur akan keluar kea lam luar bersama tinja, apabila

Pertama, didalam usus larva rhabditiform tumbuh menjadi larva filariform yang kemudian menembus mukosa usus dan tumbuh menjadi cacing dewasa.. Kedua, larva