• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identifikasi cacing parasitik dan perubahan histopatologi pada ikan bunglon batik Jepara (Cryptocentrus leptocephalus) dari Kepulauan Seribu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Identifikasi cacing parasitik dan perubahan histopatologi pada ikan bunglon batik Jepara (Cryptocentrus leptocephalus) dari Kepulauan Seribu"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

(Cryptocentrus leptocephalus) DARI KEPULAUAN SERIBU

A S N I T A

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Identifikasi Cacing Parasitik dan Perubahan Histopatologi pada Ikan Bunglon Batik Jepara (Cryptocentrus leptocephalus) dari Kepulauan Seribu adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Puskata di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2011

(3)

ASNITA. Parasitic Worm and Histopatological Changes of Pinkspotted Shrimp Goby (Cryptocentrus leptocephalus) from Seribu Islands. Under direction of RISA TIURIA and BAMBANG PONTJO PRIOSOERYANTO.

Parasitic worm is one of pathogen cause decrease host immune mechanism, host pathological changes and economic loss. This study aimed to (1) identification of parasitic worm (2) histopathological changes, and (3) leukocyte differentiation of parasitic worm infestated Pinkspotted Shrimp Goby fish. Thirty two specimens of fish were collected from Seribu Islands. The specimens were weighted (grams) and measured (cm). Blood smear stain with hemacolor reagent was used to evaluate leucocytes differentiation. Tissue samples of gill and intestine stain with Hematoxyllin Eosin (HE) were used to observe general changes on Pinkspotted Shrimp Goby fish.

The result showed that seven species of parasitic worm were identified. They were two monogenean (Pseudempleurosoma sp. and Benedenia sp.), two digenean (Podocotyle sp. and Plagioporus sp.) and three nematodes (Procamallanus sp., Gnathostoma sp., and Cucullanus sp.). Histopathological observation showed that brachitis and enteritis indicated by congestion, inflammaty cell infiltration, and very limited necrotic areas were found. Blood smears from infestated-fish showed that there was an increase number (percentage) of lymphocytes, eosinophils, neutrophils and basophils compared to the uninfestated-fish. Base on this observation, parasitic worm infestation did not cause significant damage to the host organs.

(4)

RINGKASAN

ASNITA. Identifikasi Cacing Parasitik dan Perubahan Histopatologi pada Ikan Bunglon Batik Jepara (Cryptocentrus leptocephalus) dari Kepulauan Seribu. Dibimbing oleh RISA TIURIA dan BAMBANG PONTJO PRIOSOERYANTO.

Ikan Bunglon Batik Jepara merupakan jenis ikan Watchman Goby yang bernilai ekonomis dan diekspor ke Amerika dan Eropa. Berdasarkan data lalulintas media pembawa Hama Penyakit Ikan/Hama dan Penyakit Ikan Karantina (HPI/HPIK) di Balai Besar Karantina Ikan Soekarno-Hatta terdapat beberapa jenis parasit yang menginfestasi ikan hias. Informasi tentang jenis-jenis parasit dan kerusakan organ yang ditimbulkannya sangat dibutuhkan untuk pencegahan, pengobatan dan pengendalian penyakit parasitik pada ikan hias air laut khususnya pada ikan Bunglon Batik Jepara.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) jenis-jenis cacing parasit, (2) gambaran perubahan patologi organ-organ tubuh dan (3) gambaran umum diferensial leukosit akibat dari adanya infestasi cacing parasitik pada ikan Bunglon Batik Jepara.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang jenis-jenis cacing parasitik dan perubahan patologi serta gambaran diferensial leukosit pada ikan Bunglon Batik Jepara sehingga dapat bermanfaat bagi para pengemar ikan hias air laut dan pelaku usaha perikanan dalam upaya pencegahan, pengobatan dan penanganan kesehatan ikan.

Sampel ikan diperoleh dari perairan Kepulauan Seribu dalam 2 kali pengambilan yaitu bulan April (musim kemarau) dan September (musim hujan). Pengambilan sampel dilakukan secara acak berdasarkan ukuran tubuh ikan. Jumlah sampel yang dikumpulkan sebanyak 32 ekor. Pengamatan yang dilakukan meliputi : (a) patologi anatomi, (b) pengamatan cacing parasitik, (c) penghitungan diferensial leukosit, dan (d) histopatologi.

Ikan Bunglon Batik Jepara merupakan inang definitif, inang antara beberapa jenis cacing parasit. Jenis-jenis cacing parasitik yang ditemukan pada sampel ikan Bunglon Batik terdiri dari 2 jenis monogenea yaitu Pseudempleurosoma sp. dan

(5)

Prevalensi infestasi cacing parasitik lebih tinggi pada bulan September dibandingkan dengan bulan April. Prevalensi infestasi cacing parasitik meningkat dengan bertambahnya ukuran ikan. Penelitian ini menunjukkan bahwa ikan yang berukuran besar lebih rentan terinfeksi cacing parasitik dibandingkan dengan ikan yang berukuran kecil. Infestasi cacing parasitik pada ikan Bunglon Batik Jepara umumnya terdapat di usus dengan prevalensi tertinggi adalah

Pseudempleurosoma sp. sebesar 21,87%.

Ikan Bunglon Batik Jepara yang terinfestasi cacing parasitik mengalami peningkatan presentase limfosit, eosinofil dan neutrofil. Peningkatan persentase limfosit, eosinofil dan neutrofil diduga merupakan respon yang timbul akibat adanya infestasi cacing parasitik. Selain sel limfosit, eosinofil dan neutrofil, pada leukosit ikan Bunglon Batik Jepara yang terinfestasi oleh cacing parasitik juga ditemukan adanya basofil.

Hasil pemeriksaan histopatologi pada organ insang terjadi kongesti, peradangan, nekrosa, fusi dan erosi lamella. Perubahan ini menunjukkan bahwa insang mengalami brankhitis. Skoring terhadap perubahan histopatologi insang diperoleh bahwa skor terbanyak yang ditemukan adalah 2 yaitu berupa peradangan ringan, hemoragi ringan, dan fusi lamella sekunder. Ini menunjukkan bahwa organ insang mengalami kerusakan derajat ringan.

Pengamatan histopatologi organ usus menunjukkan adanya lesio berupa hyperplasia dan proliferasi sel goblet, kongesti pada lapisan muskularis, edema, hemoragi pada lapisan muskularis, adanya Melano Macrophage Centres (MMC) pada lapisan muskularis, adanya Eosinophilic Granular Cell (EGC) pada lamina propria, dan adanya infestasi cacing parasitik pada bagian villi. Skoring terhadap perubahan histopatologi usus diperoleh bahwa skor terbanyak yang ditemukan adalah 2 yaitu berupa hiperplasia sel goblet, peradangan ringan berupa akumulasi sel radang EGC, dan hemoragi ringan, proliferasi MMC. Skor ini menunjukkan bahwa organ usus mengalami kerusakan derajat ringan. Tingkat lesio pada organ usus dipengaruhi oleh jenis cacing dan intensitas infestasi cacing parasitik.

(6)

©Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011

Hak cipta dilindungi undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

(Cryptocentrus leptocephalus) DARI KEPULAUAN SERIBU

A S N I T A

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister sains

pada Program Studi Sains Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Judul Penelitian : Identifikasi Cacing Parasitik dan Perubahan Histopatologi pada Ikan Bunglon Batik Jepara (Cryptocentrus leptocephalus) dari Kepulauan Seribu

Nama : Asnita NIM : B053040041

Disetujui Komisi Pembimbing

Drh. Risa Tiuria, MS., Ph.D Prof. drh. Bambang P. Priosoeryanto, MS., Ph.D

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Sains Veteriner

Prof. drh. Bambang P. Priosoeryanto, MS.,Ph.D Prof. Dr. Ir. Khairil A Notodiputro, MS

(9)
(10)

PRAKATA

Puji dan syukur dipanjatkan kepada Allah SWT karena atas limpahan rahmatNya penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul Identifikasi Cacing Parasitik dan Perubahan Histopatologi pada Ikan Bunglon Batik Jepara

(Cryptocentrus leptocephalus) dari Kepulauan Seribu.

Proses penelitian dan penulisan tesis ini telah mendapatkan bantuan dan saran dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Kedua orang tua dan keluarga yang telah memberikan dorongan dan doa dalam penyelesaian studi;

2. Sekretaris Jenderal dan Sekretaris Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan yang telah memberikan izin belajar;

3. Drh. Risa Tiuria, MS, Ph.D selaku ketua komisi pembimbing dan Prof. drh. Bambang P. Priosoeryanto, MS, Ph.D selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan saran, arahan dan bimbingan pada pembuatan rencana, pelaksanaan penelitian hingga penyusunan tesis ini;

4. Drh. R. Dody Timur Wahjuadi dari CV. Dinar Jakarta yang telah menfasilitasi pengumpulan sampel;

5. Rekan-rekan di Balai uji Standar Karantina Ikan dan semua pihak yang telah membantu dan mendukung penelitian ini.

Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat.

Bogor, Januari 2011

(11)

Penulis dilahirkan di Dumai provinsi Riau pada tanggal 16 Oktober 1977 sebagai anak keempat dari tujuh bersaudara dari pasangan Aminullah dan Anizar. Penulis menempuh pendidikan di SMAN 2 Dumai dan lulus pada tahun 1995. Pada tahun 1995, penulis diterima di Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan Universitas Riau Pekanbaru dan lulus sebagai sarjana perikanan pada tahun 2000. Pada tahun 2004 penulis mendapatkan ijin dan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan S2 pada Program Studi Sains Veteriner di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiv

(13)
(14)

xiv

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Nilai Skor Lesio Histopatologi Organ ... 17

2 Prevalensi infestasi cacing parasitik dan ukuran panjang ikan

Bunglon Batik Jepara ... 18

3 Infestasi cacing parasitik pada ikan Bunglon Batik Jepara

berdasarkan ukuran panjang tubuh ... 19

(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Pinkspotted Shrimp Goby (Cryptocentrus leptocephalus) ... 4

(16)

xvi

19 Perubahan pada organ usus berupa hemoragi pada lapisan

mukosa dan adanya sel radang ... 37

20 Infestasi cacing parasitic pada organ usus dan infiltrasi

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Pembuatan preparat histopatologi dengan pewarnaan

Hematoxyllin-Eosin ... 48

(18)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ikan hias air laut memiliki warna menarik dan bervariasi. Hobi memelihara ikan hias air laut didalam akuarium sudah ada sejak tahun 1880. Di Indonesia, akuarium air laut mulai dikenal sejak zaman Hindia Belanda sekitar tahun 1922 (Susanto 2005).

Ikan hias di perairan Indonesia sangat melimpah dan beraneka ragam. Ikan hias ini merupakan salah satu komoditi perikanan yang potensial bagi perkembangan ekspor dari sektor non migas. Berdasarkan data Pusat Data, Statistik dan Informasi Sekretariat Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan, volume ekspor ikan hias pada tahun 2008 sebesar 962.569 kg dengan nilai ekspor mencapai US$ 8.281.913. Kontribusi ekspor ikan hias air laut terhadap nilai ekspor ikan hias di Indonesia mencapai 65,6% dari US$ 8.281.913 (KKP 2009). Diantara jenis-jenis ikan hias air laut yang diperdagangkan salah satunya adalah ikan Bunglon Batik Jepara. Ikan Bunglon Batik Jepara merupakan jenis ikan Watchman Goby. Menurut Fung (2003), jenis-jenis Watchman Goby yang bernilai ekonomis yaitu Cryptocentrus cinctus (Yellow Prawn Goby),

Cryptocentrus leptocephalus (Pink Spotted Watchman Goby), dan Cryptocentrus lutheri (Rainbow Goby).

Ikan Bunglon Batik Jepara termasuk dalam famili Gobiidae yang hidup didasar perairan dan umumnya memiliki ukuran tubuh yang kecil. Famili Gobiidae dapat ditemukan diperairan laut, perairan tawar dan perairan payau di daerah tropis dan subtropis (Burgess et al. 2007). Ikan Bunglon Batik Jepara diperoleh dari hasil tangkapan di daerah Kepulauan Seribu dan diekspor ke Amerika dan Eropa.

(19)

Karantina Ikan Soekarno-Hatta terdapat beberapa jenis parasit yang diketahui menginfestasi ikan hias.

Secara umum, infestasi patogen parasitik jarang mengakibatkan wabah penyakit yang bersifat sporadis, namun hal ini dapat terjadi pada intensitas penyerangan yang sangat tinggi dan areal terbatas. Akibat yang ditimbulkan oleh adanya infestasi patogen parasitik secara ekonomis sangat merugikan. Selain dapat mengakibatkan kematian, juga dapat menurunkan bobot tubuh, menurunkan ketahanan tubuh dan kualitas sehingga ikan mudah terinfeksi oleh patogen lain seperti jamur, bakteri dan virus (Taukhid 2007). Infestasi parasit juga dapat menyebabkan terjadinya perubahan patologi tubuh ikan, penurunan tingkat fekunditas pada ikan, dan mempengaruhi perkembangan benih ikan (Grabda 1991).

Untuk mencegah terjadinya dan juga upaya pengobatan serta pengendalian penyakit parasitik pada ikan hias air laut khususnya pada ikan Bunglon Batik Jepara, perlu adanya informasi tentang jenis-jenis parasit dan kerusakan organ yang ditimbulkannya, walaupun informasi tentang biologi dan jenis penyakit pada ikan Bunglon Batik Jepara masih sangat terbatas. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian tentang penentuan jenis-jenis cacing parasitik, perubahan patologi organ serta gambaran darah dari ikan yang terinfestasi cacing parasit.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui jenis-jenis cacing parasitik yang menginfeksi ikan Bunglon Batik Jepara;

2. Memperoleh gambaran umum diferensial leukosit dari adanya infestasi cacing parasitik pada ikan Bunglon Batik Jepara;

3. Mengetahui gambaran perubahan patologi organ-organ tubuh ikan Bunglon Batik Jepara yang terinfeksi cacing parasitik.

Manfaat Penelitian

(20)

3

(21)

TINJAUAN PUSTAKA

Gambaran Umum Ikan Bunglon Batik Jepara

Ikan Bunglon Batik Jepara dikenal juga dengan nama dagang Singapore Shrimp Goby, Pinkspotted Shrimp Goby, Pinkspotted Watchman Goby, Pink-speckled Prawn Goby, Pink-Speckled Shrimp Goby, Leptocephalus Prawn, pink and blue goby (LA 2009; MAE 2009; MC 2009).

Taksonomi Ikan Bunglon Batik Jepara berdasarkan Fish Base (2009) adalah sebagai berikut :

Kelas : Actinoptergii Ordo : Perciformes Famili : Gobiidae Genus : Cryptocentrus

Spesies : Cryptocentrus leptocephalus

Ikan Bunglon Batik Jepara merupakan salah satu jenis ikan Watchman Goby yang memiliki ciri-ciri mata berukuran besar yang terdapat pada bagian dorsoventral kepala (Fung 2003). Tubuhnya berwarna abu-abu dengan pita kemerah-merahan. Pada bagian kepala dan sirip terdapat bintik-bintik merah muda. Selain bintik merah muda, pada bagian kepala juga terdapat bintik biru yang berukuran lebih kecil (Gambar 1). Ikan dewasa dapat mencapai ukuran 10 cm sampai dengan 15 cm (LA 2009; MAE 2009; MC 2009).

(22)

5

(23)

Ikan merupakan inang cocok bagi beberapa kelompok helminth seperti Platyhelminthes, Nematoda dan Acanthocephala. Berdasarkan Williams dan Jones (1994), Kurochkin (1984, 1985) telah mendeskripsikan lebih kurang 30.000 jenis parasit pada hewan laut.

Ikan goby berperan sebagai inang defenitif, inang antara atau inang paratenik parasit yang dewasa pada burung, mamalia (termasuk manusia), dan ikan (Gambar 3) (Kvach 2005). Berdasarkan hasil penelitian, pada ikan Round Goby ditemukan beberapa jenis parasit di saluran pencernaan, insang, dan kulit. Jenis-jenis cacing parasitik yang menginfeksi saluran pencernaan antara lain

Acanthocephalus dirus (Camp et al. 1999), Bothriocephalus sp, Dichelyne minutes, Hysterothylacium aduncum, Acanthocephalus lucii, dan

Pomphorhynchus laevis (Kvach dan Skóra 2006), Acanthacephaloides propinquus

(Kvach 2006). Sedangkan pada insang Round Goby ditemukan adanya infeksi metaserkaria Cryptocotyle concavum (Kvach dan Skóra 2006).

(24)

7

Berdasarkan hasil pengamatan Huyse dan Malmberg (2004) bahwa pada ikan goby dari jenis Pamataschistus microps dan Clupea harengus dari perairan Belgia, Prancis dan Belanda ditemukan adanya monogenea Gyrodactylus spp. Umumnya monogenea adalah ektoparasit, namun beberapa monogenea ada yang dapat beradaptasi menjadi endoparasit seperti Diplectanotrema,

Pseudempleurosoma, Neodiplectanotrema, Paradiplectanotrema,

Pseudodiplectanotrema, Metadiplectanotrema yang ditemukan pada organ pharinx dan oesophagus ikan air laut (Santos et al. 2001).

Menurut Williams dan Jones (1994), tingkat prevalensi parasit di perairan dipengaruhi oleh faktor abiotik (curah hujan, pH dan oksigen terlarut) dan faktor biotik (makanan dan kepadatan). Sedangkan komposisi jenis fauna cacing yang menginfeksi ikan sangat tergantung pada kondisi ekologi inang (Kvach 2005).

Sel Darah

(25)

Menurut Nabib dan Pasaribu (1989), volume darah ikan kecil bila dibandingkan dengan vertebrata lainnya yakni sekitar 5% dari berat badannya. Sedangkan menurut Randall (1970), volume darah dalam tubuh ikan teleostei, holostei dan chandrostei adalah sekitar 3% dari bobot tubuh. Pada ikan chondrichtyes volume darah yang dimilikinya adalah sekitar 6,6% dari bobot tubuhnya.

Darah ikan sebagian besar terdiri dari sel-sel darah merah yang jumlahnya diperkirakan mencapai 4 juta sel/mm3. Sel darah merah ikan memiliki inti sel, yang ukurannya bervariasi antar spesies. Sel darah merah tersebut banyak mengandung hemoglobin dan berfungsi membawa oksigen dari insang ke berbagai jaringan (Moyle dan Cech 1998).

Pada ikan teleostei yang dewasa, darahnya mengandung beberapa persen sel darah merah yang sedang dalam pertumbuhan disebut dengan proeritrosit atau retikulosit. Jumlah eritrosit dalam darah ikan beragam dari satu spesies ke spesies lainnya dan dipengaruhi oleh umur, kondisi lingkungan dan musim. Eritrosit yang masak kebanyakan terdapat dalam darah perifer. Bentuknya bulat (contoh pada ikan Clarias batrachus), elipse, tetapi umumnya berbentuk oval. Sitoplasma sel darah merah ikan teleost berwarna merah-coklat keunguan, merah-coklat cerah atau merah tua sedikit kebiruan. Eritrosit yang telah masak mengandung banyak hemoglobin dan jika dibuat preparat dengan pewarnaan Giemsa akan nampak berwarna merah muda atau kekuningan (Yuwono 2001).

Sel darah merupakan mediator dalam mekanisme pertahan tubuh pada hewan dan sel darah putih adalah komponen penting dalam sistem pertahan alamiah dimana sistem pertahan tersebut akan bekerja bila ada stressor (Adam 2002, diacu dalam Jenkins 2003).

(26)

9

yaitu heterofil, eosinofil dan basofil. Heterofil dan eosinofil merupakan jenis granulosit yang umum ditemukan, sedangkan basofil jarang terdapat pada ikan.

Migrasi sel leukosit kedalam lesio inflamasi disebabkan oleh adanya gerakan kemotaksis terhadap mediator kimia yang menyebabkan timbulnya respon tubuh terhadap irritant (Suzuki 1992). Jumlah dan persentase komposisi leukosit dalam sirkulasi darah ikan sangat bervariasi tergantung beberapa faktor seperti musim, jenis kelamin, kondisi organisme, infeksi dan serangan penyakit, tahapan dari siklus reproduksi (Hamatowska et al. 2002).

Menurut Yuwono (2001), neutrophil merupakan 70% dari seluruh butir-butir darah putih. Eusinophil dan basofil jumlahnya sedikit. Dalam keadaan terinfeksi dan alergi jumlah eusinofil dalam darah meningkat. Stres dapat menyebabkan terjadinya neutrofilia dan lymfopenia pada ikan, namun kadang-kadang hanya ditemukan lymfopenia (Davis et al. 2008).

Hasil penelitian Suzuki 1(992) , menunjukkan bahwa basofil ikan puffer akan bermigrasi dengan cepat dalam jumlah besar akibat adanya peradangan. Basofil berperan dalam peradangan akut dan menghilang setelah 72 jam. Sedangkan migrasi monosit dan makrofag berperan dalam fase peradangan kronis.

Kondisi Patologis Akibat Infestasi Cacing Parasitik

Menurut Nabib dan Pasaribu (1989), luas permukaan epitel dari insang dapat menyerupai luas dari total permukaan kulit, bahkan pada sebagian besar spesies ikan luas permukaan epitel insang jauh melebihi kulit, hingga struktur insang ini merupakan hal yang penting dalam penyelenggaraan homeostasis lingkungan dalam dari ikan. Selain berfungsi dalam pertukaran gas, insang juga berfungsi sebagai pengatur pertukaran garam dan air, dan pengeluaran limbah-limbah yang mengandung nitrogen. Epitel insang terdiri dari lapisan yang tipis yang sangat rawan terhadap invasi dari hama-hama penyakit. Kerusakan ringan pada struktur insang ikan dapat mengganggu pengaturan osmose dan kesulitan pernafasan

.

(27)

kantong melengkung, memiliki banyak lipatan pada dinding dalamnya dan ukurannya berbeda-beda (Nabib dan Pasaribu 1989). Usus hewan karnivora yang telah memiliki sistem digesti sempurna biasanya pendek dan tidak menggulung (Yuwono 2001). Usus mempunyai epitel silindris sederhana yang berlendir, menutupi sub mukosa yang mengandung sel eosinofil dan dibatasi oleh muscularis mucosa yang rapat dan lapisan fibroelastik (Nabib & Pasaribu 1989).

Jenis parasit yang berbeda dalam kondisi lingkungan yang berbeda akan menimbulkan dampak yang berbeda terhadap inang. Endoparasit cacing jarang menyebabkan terjadinya kematian pada inang juvenil maupun dewasa (Overstreet 1993).

Parasit yang terdapat pada ikan jika dalam jumlah sedikit tidak menyebabkan kerusakan yang berarti. Namun jika terdapat dalam jumlah banyak, parasit dapat menyebabkan kematian pada ikan. Migrasi parasit dapat menyebabkan terjadinya kerusakan mekanik pada jaringan dan juga memicu terjadinya proliferasi pada jaringan inang (Hoffman 1999).

Berdasarkan hasil penelitian Jithendran et al. (2005), infestasi parasit monogenea dari family capsalidae di insang ikan kerapu menyebabkan warna insang pucat, banyaknya produksi mukus, adanya hemoragi. Infestasi cacing pada insang menyebabkan terjadinya hyperplasia epithel lamella primer, hypertrofi jaringan ikat, atrofi kapiler insang dan atrofi lamella sekunder ( Stephens et al. 2001).

Menurut Martins et al. (2004), ikan yang terinfeksi nematoda anisakidae menunjukkan terjadinya perubahan warna insang, ginjal, hati, jantung dan gall bladder menjadi pucat. Selain itu, ikan yang terinfestasi mengalami perubahan patologi berupa akumulasi cairan pada rongga tubuh, lambung dan usus. Meskipun secara umum dampak yang ditimbulkan oleh cacing parasitik nematoda terhadap hewan laut tidak berbahaya, namum beberapa jenis nematoda sangat patogenik dan mematikan. Ikan yang terinfestasi parasit menunjukkan perubahan berupa kurang nafsu makan dan penurunan berat badan (Kapel et al. 2003 diacu dalam Razi Jalali et al. 2008).

(28)

11

(29)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan April 2009 sampai dengan April 2010. Sampel diperoleh dari Kepulauan Seribu. Identifikasi cacing parasitik dilakukan di Laboratorium Parasitologi Balai Uji Standar Karantina Ikan Jakarta dan Laboratorium Helmintologi, Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen IPHK Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (IPB). Analisis patologi dilakukan di Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi (KRP), Fakultas Kedokteran Hewan - IPB.

Bahan dan Alat Bahan

(30)

13

dan kamera foto. Alat untuk pembuatan sediaan histologi adalah 1 set alat bedah, wadah penyimpanan jaringan, tissue prosessor, tissue embedding, inkubator, sliding microtome, waterbath dan gelas objek. Alat yang digunakan untuk pewarnaan HE adalah staining jar, rak slide dan gelas penutup. Selanjutnya untuk pengamatan hasil penelitian digunakan mikroskop cahaya dan kamera foto.

Metode Penelitian Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel dilakukan 2 (dua) kali berdasarkan musim yaitu pada bulan April (musim kemarau) dan September (musim hujan). Sampel ikan diperoleh dari nelayan binaan CV. Dinar yang melakukan penangkapan disekitar perairan Kepulauan Seribu. Pengambilan sampel ikan dilakukan berdasarkan kelompok ukuran yang diperdagangkan yaitu ukuran small (S), medium (M) dan large (L). Jumlah sampel yang dikumpulkan sebanyak 32 ekor.

Ikan sampel selanjutnya diaklimatisasi di Laboratorium Balai Uji Standar Karantina Ikan Jakarta selama ± 48 jam dalam akuarium dengan ukuran 40 cm x 20 cm x 24 cm. Selama aklimatisasi wadah penampungan diberi sistem sirkulasi air yang cukup. Untuk mempertahankan kelangsungan hidup ikan maka dilakukan pemberian pakan dan pergantian air 50% setiap harinya. Pakan yang diberikan berupa udang rebon sebanyak 2 kali sehari. Air yang digunakan sebagai media pemeliharaan adalah air laut dengan salinitas 32-35 ppm yang diperoleh dari instalasi penyediaan air Balai Uji Standar Karantina Ikan Jakarta.

Pengukuran Sampel

Sampel ikan Bunglon Batik Jepara diukur panjang total (TL) menggunakan penggaris dan berat tubuhnya ditimbang dengan menggunakan timbangan analitik.

Pengamatan Cacing Parasitik

(31)

tubuh kemudian diletakkan diatas objek gelas yang telah ditetesi dengan larutan garam fisiologis. Selanjutnya hasil kerokan lendir diamati di bawah mikroskop.

Pengamatan insang dilakukan dengan cara membuka operkulum dan mengeluarkan insang dari rongga kemudian dimasukkan ke dalam cawan petri yang telah berisi larutan garam fisiologis. Lembar-lembar insang tersebut diamati di bawah mikroskop dan spesimen cacing yang ditemukan difiksasi dengan larutan Alkohol Formalin Acetic acid (AFA).

(32)

15

Pewarnaan Nematoda

Metode pewarnaan cacing nematoda dilakukan berdasarkan PKP (1999) yang dimodifikasi. Tahapan kerja pewarnaan cacing Nematoda yaitu pencelupan spesimen pada larutan konsentrasi alkohol 70%, 80% dan 90 % selama 15 menit, kemudian tambahkan minyak cengkeh selama 20 menit, bilas spesimen dalam larutan alkohol 70%, pindahkan spesimen ke dalam larutan alkohol bertingkat (96%, 100%, 100%) masing-masing selama 15 menit. Kemudian dilakukan mounting dengan glycerin jelly.

Identifikasi Cacing Parasitik

Tingkat infestasi cacing parasitik ditentukan dengan mengidentifikasi dan menghitung prevalensi dan intensitas cacing yang ditemukan di insang dan usus. Identifikasi jenis cacing mengacu pada Velasquez (1975), Moller dan Anders (1983), Williams dan Jones (1994), Hoffman (1999), De dan Maity (2000) dan Santos et al. (2001).

Pengamatan Sel darah

Parameter darah yang diamati yaitu diferensial leukosit. Pengamatan diferensial leukosit melalui preparat ulas darah dilakukan untuk menentukan prosentase tiap jenis leukosit yang ada dalam darah.

Pembuatan ulas darah dilakukan dengan cara sampel ikan Bunglon Batik Jepara dianesthesia menggunakan MS 222 selama kurang lebih 3 menit, selanjutnya bagian batang ekor (caudal penducle) dipotong dengan menggunakan pisau bedah yang steril, kemudian darah ditempatkan pada gelas objek pertama, gelas objek kedua digeser ke arah yang berlawanan hingga membentuk lapisan tipis darah. Preparat dibiarkan kering oleh udara, kemudian diwarnai dengan menggunakan larutan hemacolor.

(33)

jenis-jenis leukosit dan trombosit dihitung sampai berjumlah 100 sel ((Martins et al. 2004).

Patologi Anatomi (PA)

Sampel ikan dinekropsi dengan cara membuat sayatan dari bagian anal hingga bagian posterior insang. Pada saat nekropsi semua kelainan diamati dan dicatat. Pemeriksaan patologi anatomi dilakukan secara makroskopis. Sebagian insang dan usus dimasukan dalam larutan Normal Buffer formalin untuk pemeriksaan histopatologi.

Pembuatan Sediaan Histopatologi

Jaringan insang dan usus difiksasi di dalam Buffer Neutral Formalin (BNF) 10% selama 48 jam. Selanjutnya sampel dimasukkan ke dalam tissue cassette

untuk proses pembuatan sediaan histopatologi dengan menggunakan alat

automatic tissue processor. Proses pembuatan sediaan histopatologi melalui tahapan dehidrasi di dalam larutan alkohol bertingkat (70%, 80%, 90% dan 95%), penjernihan (clearing) dilakukan dengan larutan xylol (I dan II). Selanjutnya dilakukan proses infiltrasi paraffin cair ke dalam jaringan. Pembuatan blok jaringan dilakukan dengan menggunakan tissue embedding console. Blok dipotong menggunakan dengan microtom dengan ketebalan 4-5 µm. Hasil sayatan jaringan diletakkan pada gelas objek dan diinkubasi dalam inkubator dengan suhu 370C selama satu malam.

Sebelum pewarnaan, sayatan jaringan insang dan usus selanjutnya dideparafinisasi dan rehidrasi (lampiran 1). Setelah kedua tahap tersebut, dilakukan proses pewarnaan dengan metode hematoxyllin dan eosin (HE) (Humason 1972).

(34)

17

dalam menentukan derajat keparahan organ dan status penyakit. Penentuan nilai skor yang diamati dapat di lihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Nilai skor lesio histopatologi organ

Skor Kriteria Lesio

Organ

Insang Usus

1 Kongesti Kongesti

Hyperplasia epithel Hiperplasia sel goblet Edema

2 Hemoragi ringan Hemoragi ringan Peradangan ringan Peradangan ringan Fusi lamella sekunder Nekrosa ringan

Nekrosa ringan

3 Hemoragi sedang Hemoragi sedang Peradangan sedang Peradangan sedang

Nekrosa sedang Nekrosa sedang 4 Hemoragi berat Hemoragi berat Peradangan berat Peradangan berat

Nekrosa berat Nekrosa berat

Analisis Data

(35)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Cacing Parasitik pada Ikan Bunglon Batik Jepara

Infestasi Cacing Parasitik pada Ukuran Ikan yang Berbeda

Total jumlah sampel ikan yang diamati sebanyak 32 ekor. Untuk mengetahui kisaran ukuran sampel, dilakukan pengukuran panjang total dan berat ikan. Dari 32 sampel diperoleh ukuran panjang total terendah yaitu 7 cm dan panjang total tertinggi 11 cm dengan berat terendah 2,1 g dan berat tertinggi 8,9 g. Ukuran panjang total ikan sampel selanjutnya dibagi dalam 3 kelompok sesuai dengan ukuran yang diperdagangkan yaitu ukuran S (<8,5 cm), M (8,5 -10 cm) dan L (>10 cm). Data ukuran panjang ikan Bunglon Batik Jepara secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 2. Hasil pengamatan infestasi cacing parasitik berdasarkan ukuran panjang ikan Bunglon Batik Jepara dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Prevalensi infestasi cacing parasitik dan ukuran panjang ikan Bunglon Batik Jepara parasitik dengan ukuran panjang tubuh ikan Bunglon Batik Jepara. Total sampel yang diamati 32 ekor dan 15 sampel terinfestasi cacing parasitik (46,88%). Prevalensi infestasi cacing parasitik dari setiap kelompok ukuran sampel relatif tinggi. Hasil uji statistik non parametrik Chi Kuadrat (X2) menunjukkan bahwa

nilai Chi Kuadrat hasil perhitungan lebih rendah dari nilai Chi Kuadrat tabel (Chi Kuadrat = 5,991). Hal ini berarti tidak terdapat hubungan antara ukuran panjang ikan dengan prevalensi infestasi cacing parasitik.

(36)

19

April yaitu S, M dan L. Pada bulan September ukuran panjang sampel ikan terdiri dari ukuran S dan M. Jumlah dan variasi ukuran panjang ikan Bunglon Batik Jepara yang diamati pada bulan April dan September disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Infestasi cacing parasitik pada ikan Bunglon Batik Jepara berdasarkan ukuran panjang tubuh

Data hasil penelitian menunjukkan prevalensi infestasi parasit pada bulan April lebih rendah daripada bulan September. Prevalensi terendah infestasi cacing parasitik pada bulan April ditemukan pada ikan yang berukuran S yaitu sebesar 28,57%, kemudian meningkat menjadi 33,33% pada ikan ukuran M, dan prevalensi tertinggi pada ikan dengan ukuran L yaitu sebesar 42,86%. Pada bulan September, prevalensi infestasi cacing parasitik terendah pada ikan dengan ukuran S yaitu 60% dan prevalensi tertinggi pada ikan dengan ukuran M sebesar 100%.

(37)

Faktor lain yang mempengaruhi tingginya tingkat infestasi cacing parasitik pada ikan berukuran besar diduga karena adanya pengaruh jenis makanan yang dikonsumsi ikan. Hal ini sesuai dengan pendapat Bush et al. (2001) diacu dalam Tavares et al. (2005) bahwa ikan yang lebih besar sering mengalami perubahan jenis makanan sehingga lebih mudah terpapar oleh parasit. Selain kebiasaan makanan (feeding habit), tingkat aktifitas yang tinggi dari ikan dewasa juga merupakan salah satu faktor penyebab tingginya infestasi parasit pada ikan dewasa dibandingkan dengan juvenil. Ikan dewasa lebih aktif mencari makan dan kontak dengan makanan lebih banyak sehingga cenderung lebih mudah terinfestasi parasit (Ayanda 2008).

Identifikasi Cacing Parasitik

Total jumlah sampel ikan Bunglon Batik Jepara yang diamati sebanyak 32 ekor dan 15 ekor terinfestasi cacing parasitik. Dari hasil pengamatan 15 sampel ikan Bunglon Batik Jepara yang terinfestasi cacing parasitik ditemukan 7 jenis cacing parasitik dan larva nematoda. Jenis-jenis cacing parasitik terdiri dari 2 monogenea, Pseudempleurosoma sp. dan Benedenia sp.; 2 digenea, Podocotyle

sp. dan Plagioporus sp.; dan 3 nematoda Procamallanus sp., Gnathostoma sp., Cucullanus sp. dan larva nematoda.

Deskripsi masing-masing cacing parasitik diuraikan sebagai berikut :

(38)

21

pasang anchor (1 pasang menyerupai marginal hook), memiliki 2 pasang transfer bar (1 pasang jarang terlihat); memiliki 2 anchor root (inner root dan dorsal root).

Gambar 4 Pseudempleurosoma sp. Keterangan gambar : ho-head organ; es-eyes spot; ph-pharinx; o-ovary; v-vitellaria; h-haptor; a-anchor.

Benedenia sp. (Gambar 5) Filum : Platyhelminthes Kelas : Monogenea Ordo : Dactylogyrida Famili : Capsalidae

Genus : Pseudempleurosoma

Deskripsi : Tubuh berbentuk oval; pada bagian anterior terdapat 1 pasang sucker; memiliki 2 pasang bintik mata; ukuran bintik mata pada bagian anterior lebih kecil dibandingkan dengan posterior; memiliki pharinx; ovary berada ditengah, testis berjumlah 1 pasang dan

ho es ph

o

v

h

(39)

terdapat dibawah ovary, memiliki vagina; haptor berbentuk cakra/bulat, memiliki 14 hook, 2 pasang anchor.

Gambar 5 Benedenia sp. Keterangan gambar : os-oral sucker; e-eyes spot; ph-pharinx; v-vitellaria; h-haptor; a-anchor.

Digenea

Podocotyle sp. (Gambar 6) Filum : Platyhelminthes Kelas : Digenea

Famili : Opecoelidae Genus : Podocotyle

Deskripsi : Tubuh memanjang; memiliki oral sucker, pharinx dan acetabulum. Acetabulum berukuran lebih besar dari pada pharinx dan posisinya dibagian tengah tubuh. Pada bagian atas acetabulum tertutup oleh pinggiran yang berbentuk lipatan dari sucker; usus memanjang sampai ke bagian posterior; vitellaria berada di belakang tubuh; saluran excretory memanjang hingga bagian anterior ovary.

os

e

ph

v

(40)

23

os

a

ds v

ev

Gambar 6 Podocotyle sp. Keterangan gambar : os-oral sucker; ac-acetabulum; ds-digestive system; ev-excretory vesicle; v-vitellaria. Skala 100 µm.

Plagioporus sp. (Gambar 7) Filum : Platyhelminthes Kelas : Digenea

Famili : Opecoelidae Genus : Plagioporus

Deskripsi : Tubuh berbentuk oval; memiliki oral sucker, pharinx dan acetabulum. Acetabulum berukuran lebih besar dari pada oral sucker dan posisinya equatorial; vitellaria menyebar disepanjang tubuh; memiliki excretory vesicle yang berbentuk tubular.

(41)

Nematoda

Procamallanus sp. (Gambar 8) Filum : Nemathelminthes Kelas : Nematoda Famili : Camallanidae Genus : Procamallanus

Deskripsi : Buccal capsul menyatu; memiliki nerve ring, oesophagus dan intestine; bagian ekor berukuran kecil dan pada bagian ujung terdapat mucrones yang berukuran kecil.

Gambar 8 Procamallanus sp. Keterangan gambar : (A) Bagian anterior : bc-buccal capsul; oes-oesophagus; i-intestine. (B) Bagian posterior : cg-caudal glands; m-mucrones.

Gnathostoma sp. (Gambar 9) Filum : Nemathelminthes Kelas : Nematoda

Famili : Gnathostomatidae Genus : Gnathostoma

Deskripsi : Bagian kepala seperti balon dan memiliki kumpulan hook; memiliki oesophagus; tubuh diliputi dengan lapisan cuticular.

A B

i oes bc

(42)

25

Gambar 9 Gnathostoma sp. Keterangan gambar : (A) Bagian anterior : h-head; oes-oesophagus. (B) bagian posterior: a-anus. Skala 100 µm.

Cucullanus sp. (Gambar 10) Filum : Nemathelminthes Kelas : Nematoda

Famili : Cucullanidae Genus : Cucullanus

Deskripsi : Tidak terdapat chitin pada bagian buccal capsul; usus sederhana; memiliki ovary, bersifat ovipar, telur memiliki selaput yang tipis dan tersebar pada bagian tengah tubuh sampai ke bagian posterior.

Gambar 10 Cucullanus sp. Keterangan gambar : (A) Bagian anterior : bc-buccal capsul; nr-nerve ring. (B) Bagian posterior : t-tail. Skala 100 µm.

B A

oes

h

a

B A

bc nr

(43)

Berdasarkan hasil identifikasi, cacing parasitik yang ditemukan pada ikan Bunglon Batik Jepara yang berasal dari perairan Kepulauan Seribu sebanyak 7 jenis yang terdiri dari monogenea, digenea dan nematoda. Hasil pengamatan ini berbeda dengan hasil penelitian Kvach (2005), dari 10 jenis ikan goby yang diamati ditemukan 24 jenis cacing parasitik dari kelompok digenea, cestoda, nematode dan acanthocephala dan tidak ditemukan cacing monogenea. Berdasarkan hasil pengamatan Huyse dan Malmberg (2004) bahwa terdapat infestasi monogenea Gyrodactylus spp. pada ikan goby dari jenis Pamataschistus microps dan Clupea harengus dari perairan Belgia, Prancis dan Belanda. Perbedaan jenis-jenis cacing parasitik dari hasil penelitian ini terjadi karena jenis ikan goby dan lingkungan geografis yang diamati berbeda. Menurut Kvach (2005), komposisi jenis fauna cacing dari kelompok ikan goby yang diamati sangat tergantung pada kondisi geografis dan ekologi inang.

Cacing parasitik yang menginfestasi ikan Bunglon Batik Jepara berdasarkan habitat pada tubuh inang terdiri dari ektoparasit dan endoparasit. Jenis ektoparasit yang menginfestasi ikan Bunglon Batik Jepara yaitu Benedenia

sp. Menurut Ogawa et al. (1995) diacu dalam Jithendran et al. (2005), diantara genus Benedenia, B. epinepheli dan B. hawaiensis merupakan spesies yang memiliki kisaran inang yang sangat luas. Sekitar 25 jenis ikan dapat berperan sebagai inang dari B. epinepheli. Benedenia sp. merupakan salah satu jenis monogenea yang ditemukan pada ikan air laut dan menginfeksi insang. Selain menginfeksi insang, monogenea dari family capsalidae juga menginfeksi kulit (Jithendran et al. 2005).

(44)

27

Paradiplectanotrema, Pseudodiplectanotrema, Metadiplectanotrema yang ditemukan pada organ pharinx dan oesophagus ikan air laut.

Jenis endoparasit yang menginfeksi ikan Bunglon Batik Jepara umumnya dari dari kelompok nematoda yaitu 4 jenis. Nematoda ini ditemukan di usus dan rongga tubuh ikan. Hal ini sesuai dengan pendapat Moller dan Anders (1986) bahwa nematoda sering ditemukan menempel pada dinding usus, lambung dan lumen.

Pada ikan Bunglon Batik Jepara, juga ditemukan cacing parasitik jenis

Gnathostoma sp. yang termasuk dalam jenis parasit zoonosis. Infestasi

Gnathostoma sp. pada rongga tubuh ikan Bunglon Batik Jepara diduga berasal dari makanan. Ikan Bunglon Batik Jepara termasuk dalam kelompok ikan karnivora dan jenis makanannya antara lain zooplankton dan invertebrata yang berukuran kecil yang terdapat di dasar perairan (MAE 2009, MC 2009). Mengacu pada Hoffman (1999), inang antara pertama dari cacing nematoda adalah invertebrata seperti copepoda, insekta dan polychaeta.

(45)

pengaruh perubahan iklim. Menurut Dobson dan Carper (1992), perubahan iklim dapat mempengaruhi penyebaran parasit dan penyakit di daerah tropis. Perubahan iklim memungkinkan parasit dengan siklus hidup heteroxenic memanfaatkan inang yang baru dari habitat yang berbeda.

Prevalensi dan Intensitas Cacing Parasitik

Pengukuran prevalensi dan intensitas dilakukan untuk mengetahui tingkat infestasi masing-masing cacing parasitik pada ikan Bunglon Batik Jepara. Prevalensi dan intensitas masing-masing cacing parasitik pada ikan Bunglon Batik Jepara disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Jenis-jenis cacing parasitik pada ikan Bunglon Batik Jepara

No Jenis Cacing Parasitik Lokasi

Jumlah Ikan yang Terinfestasi

Prevalensi (%)

Intensitas Cacing

1 Monogenea

(46)

29

dari makanan dan kemudian berkembang di saluran pencernaan. Sedangkan sedikitnya jumlah parasit yang ditemukan di insang mungkin disebabkan oleh adanya gerakan air kedalam insang secara terus menerus sehingga tidak mendukung perkembangan dan kelangsungan hidup parasit. (Onyedineke et al.

2010). Hal sesuai dengan hasil penelitian bahwa dari kelompok nematoda yang terdapat di usus, larva nematoda memiliki prevalensi tinggi yaitu 12,5%. Selain prevalensi yang tinggi, intensitas larva nematoda juga tinggi yaitu sebesar 5 (1-11). Berdasarkan Luque dan Poulin (2004), kelimpahan larva nematoda pada inang dipengaruhi oleh jenis makanan. Kelimpahan larva nematoda lebih tinggi pada ikan predator dibandingkan dengan ikan herbivor dan pemakan plankton.

Adanya infestasi beberapa jenis cacing parasitik menunjukkan bahwa ikan Bunglon Batik Jepara merupakan inang defenitif, inang antara atau inang paratenik beberapa jenis parasit. Hal ini sesuai dengan pendapat Kvach (2005), ikan goby berperan sebagai inang defenitif, inang antara atau inang paratenik parasit yang dewasa pada burung, mamalia (termasuk manusia), dan ikan.

Diferensial Leukosit

Pengamatan diferensial leukosit dilakukan untuk mengetahui komposisi leukosit ikan Bunglon Batik Jepara yang terinfestasi cacing parasitik. Sampel yang diamati terdiri dari 3 sampel darah ikan yang diasumsikan tidak terinfestasi cacing parasitik dan 5 sampel darah ikan yang terinfestasi cacing parasitik. Data diferensial leukosit dapat dilihat pada Lampiran 3.

Leukosit pada ikan Bunglon Batik Jepara terdiri dari limfosit, monosit, eosinofil, neutrofil dan basofil (Gambar 11). Hasil pengamatan diferensial leukosit pada ikan Bunglon Batik Jepara disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Diferensial leukosit pada ikan Bunglon Batik Jepara

Jenis Leukosit Kondisi Ikan

Tidak Terinfestasi (%) Terinfestasi (%)

(47)

Gambar 11 Jenis dan bentuk sel darah (tanda panah) ikan Bunglon Batik Jepara yang terinfestasi cacing parasitik. Keterangan gambar (a) : basofil; (b) : eosinofil; (c): trombosit; (d) : neutrofil.

Komposisi leukosit pada ikan Bunglon Batik Jepara berbeda. Tabel 5 menunjukkan diferensial leukosit pada ikan Bunglon Batik Jepara yang tidak terinfeksi cacing parasitik terdiri dari 23,3% limfosit, 6,3% monosit, 2,7% eosinofil, dan 5,3% neutrofil sedangkan komposis leukosit pada ikan yang terinfeksi cacing parasitik yaitu 42,4 % limfosit, 7,8% neutrofil, 6% monosit, 3,4% eosinofil dan 1,8% basofil. Jumlah dan persentase komposisi leukosit dalam sirkulasi darah ikan sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti musim, jenis kelamin, kondisi organisme, infeksi dan serangan penyakit, dan tahapan siklus reproduksi (Hamatowska et al. 2002).

Pengamatan diferensial leukosit pada ikan Bunglon Batik Jepara menunjukkan bahwa persentase eosinofil dan basofil rendah. Pada ikan Bunglon Batik Jepara yang tidak terinfestasi cacing parasitik tidak ditemukan adanya sel basofil. Hal ini sesuai dengan pendapat Tavares-Dias et al. (2008) bahwa hanya sedikit jenis ikan yang memiliki eosinofil atau basofil, dan jarang sekali

c c. Trombosit

b. Eosinofil

(48)

31

ditemukan ikan yang memiliki sel eosinofil dan basofil secara bersama dalam sirkulasi leukosit.

Ikan Bunglon Batik Jepara yang terinfestasi cacing parasitik mengalami penurunan jumlah trombosit, namun presentase limfosit, eosinofil dan neutrofil meningkat. Leukosit merupakan komponen sel yang berperan dalam respon kekebalan tubuh. Peningkatan presentase limfosit, eosinofil dan neutrofil diduga merupakan respon yang timbul akibat adanya infestasi cacing parasitik. Jenkins (2003) menyatakan bahwa peningkatan jumlah neutrofil mengindikasikan terjadinya stres atau adanya infeksi penyakit. Neutrofil merupakan jenis leukosit yang pertama kali bermigrasi ke lokasi infeksi parasit dan pada ikan yang terinfeksi cacing parasitik D. dendriticum juga terdapat jumlah neutrofil dan limfosit yang tinggi (Rahkonen dan Pasternack 1999). Selain itu, infestasi cacing parasitik dapat menyebabkan terjadinya neutrofilia dan eosinofilia pada ikan yang terinfeksi (Martins et al. 2004).

Selain sel limfosit, eosinofil dan neutrofil, pada leukosit ikan Bunglon Batik Jepara yang terinfestasi oleh cacing parasitik juga ditemukan adanya basofil. Basofil yang terdapat pada ikan Bunglon Batik Jepara berperan dalam mengatasi inflamasi yang timbul akibat adanya infestasi cacing parasitik. Menurut Suzuki (1992), pada ikan puffer terjadi migrasi basofil dalam jumlah besar akibat adanya peradangan.

Patologi

Perubahan Patologi Anatomi

(49)

Secara umum, perubahan makroskopis PA yang diamati pada ikan Bunglon Batik Jepara tidak spesifik menunjukan perubahan yang disebabkan oleh infestasi cacing parasitik.

Perubahan Histopatologi

Pengamatan histopatologi dilakukan untuk melihat perubahan patologi yang disebabkan oleh infestasi cacing parsitik pada organ insang dan usus ikan Bunglon Batik Jepara. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa terdapat lesio mikroskopis pada organ yang terinfeksi cacing parasitik. Lesio mikroskopis organ insang dan usus di skor untuk melihat derajat keparahan. Skor histopatologi organ insang dan usus disajikan pada Gambar 12.

Gambar 12 Histogram skor lesio histopatologi organ ikan Bunglon Batik Jepara.

Gambar 12 merupakan data hasil pengamatan skor lesio organ insang dan usus yang terdiri dari skor 1, 2, 3 dan 4. Skor lesio 1 menunjukkan derajat keparahan sangat ringan, skor 2 adalah lesio dengan derajat keparahan ringan, skor lesio 3 menunjukkan derajat keparahan sedang dan skor lesio 4 menggambarkan derajat keparahan berat. Berdasarkan data histogram diatas, skor lesio terbanyak yang ditemukan pada organ insang dan usus adalah 2 dengan derajat keparah ringan.

Organ Insang

Jaringan insang normal dituangkan pada Gambar 13. Hasil pemeriksaan HP menunjukkan terjadinya kongesti (Gambar 14), peradangan (Gambar 16), fusi dan

(50)

33

erosi lamella sekunder (Gambar 15). Dari perubahan diatas disimpulkan bahwa insang mengalami brankhitis. Brankhitis dicirikan dengan adanya kongesti, hemoragi, proliferasi sel khlorid dan infiltrasi sel radang. Menurut Noga (2000), lesio brankhitis dapat terjadi akibat kualitas air yang buruk dan infestasi parasit.

Berdasarkan hasil pengamatan, perubahan Parameter terjadinya nekrosa seperti ekskresi lendir berlebihan dan penggabungan (fusi) lamella merupakan suatu indikasi adanya respon sistem kekebalan tubuh terhadap cacing parasitik. Kerusakan pada sel epithel insang disebabkan oleh haptor monegenea yang menempel pada lamella sekunder ikan Bunglon Batik Jepara. Sekresi yang dihasilkan parasit menyebabkan kerusakan sel epithel (Buchmann 1999). Menurut Camargo dan Martinez (2007), perubahan lapisan epithelial, hyperplasia dan hypertrofi sel epithel, fusi lamella sekunder merupakan mekanisme pertahan tubuh ikan.

Menurut Leong (2001) diacu dalam Jithendran et al. (2005), infeksi monogenea B. epinepheli tidak hanya menyebabkan terjadinya hemoragi dan lesio abrasif, tetapi juga dapat menyebabkan kematian pada ikan laut yang dibudidayakan karena nekrosa berat pada jaringan insang sehingga mengganggu sistem pernafasan.

(51)

Gambar 14 Lesio lamella sekunder berupa kongesti yang menyebabkan pembengkakan pada ujung lamella sekunder (tanda panah) dan hemoragi lamella sekunder (tanda asterik). Pewarnaan HE. Skala 50 µm.

Gambar 15 Lesio pada lamella sekunder berupa akumulasi sel radang sehingga menyebabkan fusi lamella sekunder (tanda asterik) dan erosi lamella sekunder (tanda panah). Pewarnaan HE. Skala 20 µm.

*

(52)

35

Gambar 16 Perubahan lamella insang berupa hyperplasia sel epithel lamella sekunder (tanda asterik), sel radang (tanda kepala anak panah) dan MMC (tanda panah). Pewarnaan HE. Skala 10 µ m.

Perubahan pada insang digolongkan menjadi 4 skor lesio berdasarkan derajat keparahannya. skor lesio 1 ditandai dengan adanya kongesti dan hyperplasia epithel; skor 2 ditandai dengan fusi lamella sekunder, hemoragi peradangan dan nekrosa ringan; skor 3 ditandai oleh hemoragi, peradangan dan nekrosa sedang; skor 4 ditandai dengan hemoragi, peradangan, dan nekrosa berat.

Skoring terhadap perubahan histopatologi insang diperoleh bahwa skor terbanyak yang ditemukan adalah 2 yaitu berupa peradangan ringan, hemoragi ringan, dan fusi lamella sekunder. Ini menunjukkan bahwa organ insang mengalami kerusakan derajat ringan.

Menurut Nabib dan Pasaribu (1989), insang merupakan hal yang penting dalam penyelenggaraan homeostasis lingkungan dalam dari ikan. Selain berfungsi dalam pertukaran gas, insang juga berfungsi sebagai pengatur pertukaran garam dan air, dan pengeluaran limbah-limbah yang mengandung nitrogen. Epitel insang terdiri dari lapisan yang tipis yang sangat rawan terhadap invasi dari hama-hama

(53)

penyakit. Kerusakan ringan pada struktur insang ikan dapat mengganggu pengaturan osmose dan kesulitan pernafasan.

Organ Usus

Dari hasil pengamatan histopatologi, lesio yang terjadi pada organ usus adalah hyperplasia dan proliferasi sel goblet, kongesti pada lapisan muskularis, edema, hemoragi pada lapisan muskularis (Gambar 19), adanya MMC pada lapisan muskularis, adanya Eosinophilic Granular Cell (EGC) pada lamina propria dan infiltrasi cacing parasitik pada villi (Gambar 20).

Usus ikan yang terinfeksi cacing parasitik menunjukkan enteritis. Enteritis diindikasikan oleh adanya infiltrasi sel radang (limfosit dan EGC) di mukosa. Jaringan usus normal dapat dilihat pada Gambar 17. Alat penempel dan sekresi yang dihasilkan cacing parasitik menyebabkan sel-sel pada mukosa mengalami peradangan yang diindikasikan dengan kongesti (Gambar 18) dan infiltrasi EGC. Infiltrasi sel radang terjadi pada lapisan mukosa dan lamina propria usus yang mengandung pembuluh darah.

(54)

37

Gambar 18 Perubahan pada organ usus berupa kongesti (tanda kepala anak panah) dan proliferasi sel goblet (tanda panah). Pewarnaan HE. Skala 20 µm.

(55)

Gambar 20 Infestasi cacing parasitik pada organ usus (tanda panah) dan infiltrasi EGC pada lamina propria (tanda kepala anak panah). Pewarnaan HE. Skala 50 µ m.

Perubahan histopatologi pada organ usus diduga karena adanya infestasi cacing parasitik. Menurut Roberts (2001), parasit cacing yang terdapat di dalam gastrointestinal dapat menyebabkan lesio pada lapisan mukosa, inflamasi dan kongesti kelenjar mukosa, dan hemoragi pada usus yang mengakibatkan terjadinya anemia pada ikan. Umumnya cacing parasitik pada saluran pencernaan ikan bersifat patogenik. Perubahan patologi oleh cacing berupa kerusakan yang disebabkan oleh organ penempel (Akinsanya dan Otubanjo 2006).

(56)

39

Selain produksi mukus yang berlebihan, adanya infestasi cacing parasitik pada villi usus juga memicu terjadinya proliferasi MMC dan infiltrasi sel radang EGC. Proliferasi MMC merupakan indikasi adanya reaksi pertahanan tubuh pada ikan (Roberts 2001). Peradangan berupa infiltrasi EGC merupakan respon yang diberikan ikan terhadap alergen. EGC merupakan bagian dari respon inflamasi pada inang yang disebabkan oleh infeksi parasit (Reite 1998 diacu dalam Dezfuli

et al. 2000).

Hasil pemeriksaan mikroskopis, ditemukan radang pada usus. Peradangan pada dasarnya merupakan suatu mekanisme perlindungan yang reaksinya bisa merupakan indikasi awal terjadinya suatu penyakit. Keberadaan EGC yang rusak di dalam jaringan akan membantu merangsang secara kimiawi datangnya makrofag secara kemotaktik untuk melakukan perbaikan dalam jaringan dan menghancurkan mikroorganisme patogen yang berada dalam jaringan (Tizard 1982). Peradangan didefenisikan rangkaian reaksi yang terjadi pada suatu jaringan apapun penyebabnya termasuk yang diakibatkan agen patogen (Nabib dan Pasaribu 1989).

Perubahan histopatologi berupa kongesti mengindikasikan adanya kenaikan jumlah darah di dalam pembuluh darah, kapiler darah tampak melebar penuh terisi eritrosit. Hemoragi mengindikasikan keluarnya darah dari pembuluh darah, baik keluar tubuh maupun ke dalam jaringan tubuh, tampak adanya bintik hemoragi di lapisan mukosa pada organ tubuh. Perdarahan yang terbatas disebut hematoma. Bila perdarahan meluas akan terjadi purpura, dan eritrosit terlihat di luar pembuluh darah (Robert 2001). Pada penelitian ini, cacing parasitik terbukti menyebabkan gangguan sirkulasi darah yaitu dengan timbulnya kongesti dan hemoragi pada usus ikan Bunglon Batik Jepara.

Perubahan pada usus digolongkan menjadi 4 skor lesio berdasarkan derajat keparahannya. Skor lesio 1 ditandai dengan adanya kongesti, hiperplasia sel goblet dan edema; skor 2 ditandai dengan hemoragi, peradangan dan nekrosa ringan; skor 3 ditandai oleh hemoragi, peradangan dan nekrosa sedang; skor 4 ditandai dengan hemoragi, peradangan, dan nekrosa berat.

(57)

peradangan ringan berupa akumulasi sel radang EGC, hemoragi ringan, dan proliferasi MMC. Ini menunjukkan bahwa organ usus mengalami kerusakan derajat ringan.

(58)

41

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil pengamatan dan pemeriksaan dapat disimpulkan sebagai berikut :

(1) Cacing parasitik yang terdapat pada ikan Bunglon Batik Jepara terdiri dari monogenea yaitu Pseudempleurosoma sp. dan Benedenea sp.; digenea yaitu

Podocotyle sp. dan Plagioporus sp.; dan nematoda yaitu Procamallanus sp., Gnathostoma sp., Cucullanus sp. dan larva nematoda.

(2) Prevalensi dari infestasi cacing parasitik pada bulan September yaitu musim hujan lebih tinggi dibandingkan dengan bulan April (musim kemarau). Umumnya infestasi cacing parasitik terjadi di organ usus. Prevalensi cacing parasitik semakin meningkat dengan bertambahnya ukuran tubuh.

(3) Leukosit pada ikan Bunglon Batik Jepara terdiri dari limfosit, monosit, eosinofil, neutrofil dan basofil. Infestasi cacing parasitik menyebabkan terjadinya peningkatan persentase sel limfosit, eosinofil, neutrofil dan basofil pada ikan Bunglon Batik Jepara.

(4) Infestasi cacing parasitik menimbulkan kerusakan ringan pada jaringan insang dan usus ikan Bunglon Batik Jepara. Lesio histopatologi berupa kongesti pada lamella sekunder dan usus, hemoragi lamella sekunder, fusi dan erosi lamella sekunder, dan infiltrasi sel radang pada lemella sekunder dan usus.

Saran

Dari hasil penelitian dapat disarankan yaitu :

(1) Menerapkan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk identifikasi cacing parasitik secara rinci sampai tingkat spesies.

(2) Dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui cara pencegahan dan pengobatan infestasi cacing endoparasitik pada ikan Bunglon Batik Jepara yang aman bagi ikan dan lingkungan.

(59)

DAFTAR PUSTAKA

Adam SM. 2002. Biological indicators of aquatic ecosystem stress. Bethesda, MD, American Fisheries Society. Di dalam : Jenkins JA. 2003. Pallid Sturgeon in the Lower Mississippi Region : Hematology and Genome Information. USGS Open File Report 03-406.

Akester M. 1988. Nematoda Infections from Fish. Aquacult. News (Univ. Stirling, Scotland). 5 hlm. Di dalam: Hoffman GL. 1999. Parasites of North American Freshwater Fishes. Second edition. Comstock Publishing Associates.

Akinsanya B, Otubanjo OA. 2006. Helminth Parasit of Clarias gariepinus

(Clariidae) in Lekki Lagoon, Lagos, Nigeria. Rev Bio Trop (Int J Trop Biol)

54(1):93-99.

Akinsanya B, Otubanjo OA, Ibidapo CA. 2007. Helminth Bioload of Chrysichthys nigrodigitatus (Lacepede 1802) from Lekki Lagoon Lagos, Nigeria. Turkish Journal of Fisheries and Aquatic Sciences 7:83-87.

Ayanda OI. 2009. Comparison of parasitic helminthes infection between the sexes of Clarias gariepinus from ASA dam Ilorin, north-central Nigeria. Scientific Research and Essay 4(4):357-360.

(60)

43

De NC, Maity RN. 2000. Development of Procamallanus saccorbranchi (Nematoda: Camallanidae), a parasite of freshwater fish in India. Folia Parasitologica 47:2216-226.

Dezfuli BS, Giari L, Arrighi S, Domeneghini C, Bosi G. 2003. Influence of enteric helminthes on distribution of intestinal endocrine cells belonging to the diffuse endocrine system in brown trout, Salmo trutta L. Journal of Fish Diseases 26:155-166.

Dobson A, Carper R. 1992. Global Warming and Potential Changes in Host-Parasite and Disease-Vector Relationships. New Haven, CT: Yale University Press.

Fish Base. 2009. Species summary Cryptocentrus leptocephalus. http://www.fishbase.ph/Summary/SpeciesSummary.cfm. [3 Maret 2009].

Fung J. 2003. Tank-Bred Watchman Gobies : Essential Fish for Every Reef Aquarium. http://www.ProAquatic.com. [11 Juni 2008].

Garilao CV, Ortanez AK. 2009. Cryptocentrus leptocephalus Bleeker, 1876. http://www.fishbase.org/Summary/speciesSummary.php?. [3 April 2009].

(61)

Kalil LF, Polling K. 1997. Checklist of the Helminth Parasites of African Freshwater Fishes. University of the North Departement of Zoology. Republic of South Africa. 184 hlm.

Kapel CMO, Measures L, Moeller LN, Forbes L, Gajadhar A. 2003. Experimental Trichinella Infection in Seals. Int. J. Parasitol. 33: 1463-1470. Di dalam: Razi Jalali MH, Mazaheri Y, Peyghan R. 2008. Acanthocheilus rotundatus (Nematoda: Acanthocheilidae) from the intestine of shark (Carcharhinus macloti) in Persian Gulf, Iran. Iranian Journal of Veterinary Research, Shiraz University 9(2):178-180.

[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2009. Statistik Ekspor Hasil Perikanan 2008. Buku I. Pusat Data, Statistik dan Informasi Sekretariat Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan. 520 hlm.

Kvach Y. 2005. A comparative analysis of helminth fauna and infection of ten species of gobiid fishes (Actinopterigii : Gobiidae) in the North-Western Black Sea. Acta Ichthyol Piscat 35(2):103-110.

Kvach Y. 2006. A morphological study of Acanthocephaloides propinquus

(Acanthocephala, Arhythmacanthidae) parasiting gobiid fishes (Teleostei, Gobiidae) in the North-Western Black Sea. Acta Parasitologica 51(1): 59-64.

Kvach Y, Skóra KE. 2006. Metazoa parasites of the invasive round goby

Apollonia melanostoma (Neogobius melanostomus) (Pallas) (Gobiidae : Osteichthyes) in the Gulf of Gdansk, Baltic Sea, Poland : Comparison with the Black Sea. Parasitol Res. DOI 10.1007/s00436-006-0311-z.

[LA] Live Aquaria. 2009. Pinkspotted Shrimp Goby. http://www.LiveAquaria..com. [3 Maret 2009].

Lagler KF, Bardach JE, Miller RR dan Passino DR. 1977. Ichthyology. Jhon Willey and Sons Inc. New York.

Leong TS. 2001. Chronology of diseases in cultured marine finfishes.

Aquaculture Asia 6:10-13. Di dalam: Jithendran KP, Vijayan KK, Alavandi SV dan Kailasam M. 2005. Benedenia epinepheli (Yamaguti 1937), A Monogenean Parasite in Captive Broodstock of Grouper, Epinephelus tauvina (Forskal). Asian Fisheries Science 18:121-126.

Luque JL, Poulin R. 2004. Use of fish as intermediate hosts by helminth parasites: A comparative analysis. Acta Parasitologica 49:353-361.

(62)

45

Martins ML, Tavares-Dias M, Fujimoto RY, Onaka EM, Nomura DT. 2004. Hematological alteration of Leporinus macrocephalus (Osteichtyes: Anostomidae) naturally infected by Goezia leporini (Nematoda: Anisakidae) in fish pond. Aqr. Bras. Med. Vet. Zootec 56(5):640-646.

[MC] The Marine Center. 2009. Watchman Goby : Pink/Blue Spotted. http://www.themarinecenter.com. [3 Maret 2009].

(63)

Poulin R. 2000. Variation in the intraspesific relationship between fish length and intensity of parasitic infection: biological and statistical causes. Journal of Fish Biology 56:123-137. Di dalam: Dezfuli BS, Giari L, De Biaggi S, Poulin R. 2001. Associations and interactions among intestinal helminthes of the brown trout, Salmo trutta, in northern Italy. Journal of Helminthology

75:331-336.

Poynter D. 1966. Some tissue reactions to the nematode parasites of animals. In :

Advances in Parasitology (Ben Daws, ed.) Academic Press. London & New York. 14:321-328. Di dalam: Ruhela S, Pandey AK, Khare AK. 2006. Histopathological changes in intestine of Clarias batrachus induced by experimental Procamallanus infection. J. Ecophysiol Occup. Hlth. 6.

Rahkonen R, Pasternack M. 1999. Effect of experimental Diphyllobothrium dendriticum infection on the blood leucocyte pattern of brown trout at two temperature levels. Boreal Environment Research 3:381-386.

Randall DJ. 1970. Gas Exchange in Fish. London Academic Press.

Razi Jalali MH, Mazaheri Y, Peyghan R. 2008. Acanthocheilus rotundatus (Nematoda: Acanthocheilidae) from the intestine of shark (Carcharhinus macloti) in Persian Gulf, Iran. Iranian Journal of Veterinary Research Shiraz University 9(2):178-180.

Reite OB. 1998. Mast cells/granule cells of the teleostean fish: a review focusing on staining properties and functional responses. Fish Sellfish Immunol. 8:489-531. Di dalam: Dezfuli BS, Giari L, Arrighi S, Domeneghini C dan Bosi G. 2003. Influence of enteric helminthes on distribution of intestinal endocrine cells belonging to the diffuse endocrine system in brown trout,

Salmo trutta L. Journal of Fish Diseases 26:155-166.

Roberts RJ. 2001. Fish Pathology. 3rd Edn. W.B Sounders, London & Phildelphia.

Santos CP, Mourao ED, dan Cardenas MQ. 2001. Pseudempleurosoma gibsoni n. sp., a New Ancyrocephalid Monogenean from Paralonchurus bransiliensis

(Sciaenidae) from off the Southeastern Coast of Brazil. Mem Inst Oswaldo Cruz, Rio de Janeiro 96(2):215-219.

Sastradipradja D, Sikar SHS, Widjajakusuma R, Ungerer T, Maad A, Nasution H, Suriawinata R, dan Hamzah R. 1989. Penuntun Praktikum Fisiologi Veteriner. Depdikbud, Dirjendikti, PAU Ilmu Hayat, IPB, Bogor.

Simbolon H. 2009. Statistika. Graha Ilmu. 350 hlm.

Stephens FJ, Cleary JJ, Jenkins G, Jones JB, Raidal SS dan Thomas JB. 2001.

(64)

47

Susanto H. 2005. Ikan Hias Air Laut. Penebar Swadaya. 85 hlm.

Suzuki Y. 1992. Basophil Migration in Acute Imflammation in Puffer Fish.

Nippon Suisan Gakkaishi. 58(11), 2005-2007.

Taukhid. 2007. Penyakit Parasitik pada Ikan. [Materi Pelatihan Dasar Karantina Ikan]. Departemen Kelautan dan Perikanan.

Tavares-Dias M, Moraes FR, Imoto ME. 2008. Hematological Parameters in Two Neotropical Freshwater Teleost, Leporinus macrocephalus (Anastomidae) and Prochilodus lineatus (Prochilodontidae). Biosci J 24(3):96-101.

Tizard I. 1982. Pengantar Imunologi Veteriner. Edisi kedua. Fakultas Kedokteran Hewan Ontorio, Universitas Guelph. WB. Saunders Company. Ontorio, Canada. Hlm. 18-31.

Velasquez CC. 1975. Digenetic Trematodes of Philippine Fishes. The University of Philippine Press Quezon City.

Vazquez GR, Guerrero GA. 2007. Charaacteritation of blood cells dan hematological parameters in Cichlasoma dimerus (Teleostei, Perciformes).

Tissue and cell. 39:151-160.

Williams H, Jones A. 1994. Parasitic Worms of Fish. Taylor & Francis Publishers. 593 hlm.

(65)

Lampiran 1 Pembuatan preparat histopatologi dengan pewarnaan Hematoxyllin-Eosin

Proses pembuatan sediaan histopatologi dan pewarnaan Hematoxyllin-Eosin : 1. Fiksasi

Jaringan yang akan dibuat sediaan histopatologi difiksasi dalam larutan Buffer Neutral Formalin (BNF) 10% minimal 48 jam hingga mengeras (matang). Sampel organ yang terfiksasi dengan sempurna ditrimming setebal ± 0,5 cm. Potongan kemudian dimasukan dalam tissue cassette untuk dimasukan dalam tissue processor automatis.

2. Dehidrasi

Proses dehidrasi dimaksudkan untuk menarik air dari jaringan dan mencegah terjadinya pengerutan sampel yang diuji. Dehidrasi dilakukan dengan cara merendaman sampel dalam larutan alkohol dengan konsentrasi bertingkat (70%, 80%, 90%, 95% dan alkohol absolut). Proses perendaman pada masing-masing konsentrasi alkohol dilakukan selama 2 jam. Proses dehidrasi dilakukan dengan menggunakan mesin otomatis yaitu automatic tissue processor (Sakura).

3. Clearing

Proses clearing atau penjernihan dilakukan 2 tahap dengan menggunakan xylol I dan xylol II. Penggunaan xylol dimaksudkan untuk melarutkan alkohol dan parafin.

4. Infiltrasi

Infiltrasi atau impregnasi adalah proses pengisian parafin ke dalam pori-pori jaringan. Pengisian pori-pori ini dimaksudkan untuk mengeraskan jaringan agar mudah dipotong dengan pisau mikrotom. Parafin yang digunakan adalah parafin histoplast.

5. Embedding dan Blocking

(66)

49

6. Sectioning

(67)

Gambar

Gambar 1  Ikan Bunglon Batik Jepara (Cryptocentrus leptocephalus) (Sumber :
Tabel 1   Nilai skor lesio histopatologi organ
Tabel 3  Infestasi cacing parasitik pada ikan Bunglon Batik Jepara berdasarkan ukuran panjang tubuh
Gambar 4 Pseudempleurosoma  sp. Keterangan gambar : ho-head organ; es-eyes spot; ph-pharinx; o-ovary; v-vitellaria; h-haptor; a-anchor
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan mengetahui jenis-jenis cacing parasitik yang menginfestasi ikan konsumsi air tawar dan laut serta distribusi sel mast dan sel goblet pada

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Protozoa dan Cacing Parasitik pada Ikan Sidat ( Anguilla spp.) Asal Danau Lindu Sulawesi Tengah adalah benar

Jenis dan jumlah cacing parasitik yang ditemukan pada organ insang dan saluran pencernaan (usus) ikan bawal air tawar (C. macropomum) umur 5-6 bulan pada kolam budidaya di

Jenis dan jumlah cacing parasitik yang ditemukan pada organ insang dan saluran pencernaan (usus) ikan bawal air tawar (C. macropomum) umur 5-6 bulan pada kolam budidaya di

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai keberadaan bakteri dan cacing parasitik pada insang dan pencernaan ikan patin ( Pangasius

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Identifikasi Cacing Parasitik dan Bakteri pada Insang dan Saluran Pencernaan Ikan Nila Hitam ( Oreochromis niloticus

Tingginya jumlah cacing parasitik dapat disebab- kan karena adanya faktor-faktor yang berpengaruh diantaranya kepadatan populasi ikan yang tinggi sehingga memungkinkan

kanagurta merupakan salah satu ikan yang berperan sebagai inang antara dari cacing parasitik Anisakis sp (Baladin 2007).Penelitian ini bertujuan menginventaris jenis-jenis