• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN KECEMASAN KLIEN GAGAL GINJAL KRONIK MENJALANI HEMODIALISA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN KECEMASAN KLIEN GAGAL GINJAL KRONIK MENJALANI HEMODIALISA"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN KECEMASAN KLIEN GAGAL

GINJAL KRONIK MENJALANI HEMODIALISA

Sri Melda Ginting¹², Ice Yulia Wardani³

1. Rumah Sakit PGI CIKINI, 10330, Jakarta Pusat

2. Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia

3. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia E-mail: imeldginting@yahoo.co.id  

Abstrak

Gagal ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif. Klien yang mengalami gagal ginjal kronik memerlukan alternatif terapi untuk mengganti fungsi ginjal. Salah satu alterantif terapi tersebut adalah hemodialisa, yang pelaksanaannya memerlukan sarana arteri vena fistula/cimino. Pada saat menjalani hemodialisa kilen gagal ginjal kronik sering mengalami kecemasan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan tentang arteri vena fistula/cimino dan hemodialisa, karakteristik klien gagal ginjal kronik dengan tingkat kecemasan menjalani hemodialisa. Tehnik pengambilan sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah accidental

sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner dari Halmilton Rating Scale for Anxiety (HRS-A) dan pengetahuan tentang arteri vena fistula/cimino dan hemodialisa. Analisis penelitian ini adalah univariat dan bivariat dengan uji chi-square. Analisis bivariat menjelaskan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat pengetahuan dengan tingkat kecemasan (p= 0,11 α= > 0,05). Hasil penelitian ini diharapkan perawat dapat memberikan pendidikan kesehatan kepada klien dengan gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa sehingga pengetahuan meningkat dan tingkat kecemasan menurun.

Kata kunci: Gagal ginjal kronik, hemodialisa, pengetahuan, kecemasan, arteri vena fistula/cimino.

Abstract

Chronic renal failure (CRF) is a pathophysiological process with various etiology, which cause decreasing in progressive kidney function. Clients with CRF need alternative therapy to replace the renal function. One of the alternative therapy is hemodialysis which needs arteriovenous fistula/cimino. During hemodialysis, clients with chronic renal failure often feel anxious. This research aim to indentify the correlation between knowledge about arteriovenous fistula/cimino and hemodyalisis, the characteristics of clients with chronic renal failure with anxiety level during the hemodyalisis process. The technique used to collect the samples in this research was accidental sampling. Data was collect used Halmilton Rating Scale for Anxiety (HRS-A) questionnaires and questionnaire of knowledge about artery venous fistula/cimino and hemodyalisis. The analysis of this research are univariat and bivariat with chi-square. Bivariat analysis explain that there was no correlation between knowledge level and anxiety level (p=0,11 α > 0,05). The result of this research expected the nurses to give education for patients with chronic renal failure which undergo hemodyalisis in order to increase their knowledge and decrease the anxiety level during hemodyalisis.

(2)

Keywords: chronic renal failure, hemodyalsis, knowledge, anxiety, arteriovenous fistula/cimino

Pendahuluan

Gagal ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis yang mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, yang pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal (Suwitra, 2006). Gagal ginjal kronik, penyakit renal tahap akhir atau end stage renal disease (ESRD) merupakan gangguan fungsi renal progresif dan ireversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk

mempertahankan metabolisme dan

keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (Brunner & Suddarth, 2002).

Pasien dengan gagal ginjal kronik memerlukan terapi pengganti fungsi ginjal, salah satunya adalah hemodialisis. Hemodialisa adalah pengalihan darah pasien dari tubuh melalui dyaliser yang terjadi secara difusi dan ultrafiltrasi,

kemudian darah kembali lagi ke dalam tubuh pasien (Baradero, 2009). Tujuan hemodialisis adalah untuk menambil zat-zat nitrogen yang toksik dari dalam darah dan mengeluarkan air yang berlebihan (Brunner & Suddarth, 2002). Pada kasus pasien gagal ginjal kronik dengan hemodialisis akan dilakukan pemasangan sarana arteri vena fistula atau sering disebut dengan cimino. Arteri vena fistula/cimino ini merupakan

sarana untuk memberikan akses

hemodialisis bagi pasien gagal ginjal kronik.

Menurut World Health Organization

(WHO), secara global lebih dari 500 juta orang mengalami penyakit gagal ginjal kronik. Sekitar 1,5 juta orang harus menjalani hemodialisa. Yagina (2007) menjelaskan bahwa di Indonesia terdapat 70.000 penderita gagal ginjal kronik yang harus melakukan hemodialisa. Lebih dari 50 % dari angka itu berada di Jakarta.

Pasien dengan hemodialisa jangka panjang sering merasa khawatir akan kondisi sakitnya yang tidak dapat diramal dan gangguan dalam kehidupannya. Mereka biasanya mengalami masalah finansial, kesulitan dalam mempertahankan masalah pekerjaan, dorongan seksual yang menghilang serta impotensi, depresi akibat sakit kronis, dan ketakutan terhadap kematian (Brunner & Suddarth,2002). Kecemasan adalah ke khawatiran yang tidak jelas dan menyebar yang berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya (Stuart, 2007). Ketika merasa cemas seseorang akan merasa tidak nyaman atau takut dan mungkin memiliki perasaan akan ditimpa masalah padahal ia tidak mengerti mengapa emosi yang mengancam ini terjadi (Sheila, 2008).

Metode

Desain penelitian ini adalah deskriptif korelatif, dengan pendekatan kuantitatif. Penelitian ini dilakukan Mei 2013 di ruang reanal unit Rumah Sakit PGI Cikini Jakarta, dengan melibatkan 76 responden dengan teKhnik accidental sampling. Instrumen penelitian menggunakan kuesioner 36 pertanyaan yaitu 21 kuesioner tentang kecemasan menggunakan Halmilton Rating Scale for Anxiety (HRS-A), dan 15 kuesioner pengetahuan. Analisi bivariat menggunakan uji chi square dengan niali p=0,11 (α > 0,05) menunjukkan hasil tidak ada hubungan bermakna. Etika penelitian ini didasari oleh prinsip penelitian riset keperawatan.

Table 1.1 Karakteristik Responden

Karakteristik Jumlah Presentase

Usia: Dewasa dini Dewasa madya Deawasa lanjut 19 24 33 25,0 31,6 43,4

(3)

Jumlah Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Jumlah Pendidikan SD SMP SMA Perguruan Tinggi Tidak Sekolah Total Pekerjaan Bekerja Tidak bekerja Total Penghasilan < Rp 2.200.000 > Rp 2.200.000 Total Frekuensi Hemodialisa Satu kali seminggu Dua kali seminggu Tiga kali seminggu Total 76 45 31 76 5 16 22 32 1 76 49 27 76 31 45 76 1 34 31 76 100,0 59,3 40,7 100,0 6,5 21,0 28,9 42,1 1,3 100,0 64,4 35,5 100.0 59,5 40,7 100.0 1.3 57,8 40,7 100,0

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan tentang arteri vena fistula/ cimino dan hemodialisa, karakteristik klien gagal ginjal kronik dengan kecemasan menjalani hemodialisa.

Hubungan Pengetahuan dengan Tingkat Kecemasan

Hasil analisis bivariat dengan uji chi-squre

menjelaskan bahwa responden

berpengetahuan rendah hanya 1 orang dan mengalami kecemasan ringan. Responden

berpengetahuan sedang 45% dan

kecemasan ringan (n=20). Sedangkan responden berpengetahuan tinggi 69,1%

(n=55). Penghitungan chi-squre

menghasilkan p= 0,11 (α > 0,05) hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan bermakna antara pengetahuan dengan tingkat kecemasan.

Penelitian ini didukung oleh Pustikasari (2008) yang menjelaskan bahwa tidak ada hubungan kecemasan dengan tingkat pengetahuan (pvalue=0,232 α=0,05). Peneliti menyimpulkan hal ini terjadi karena seseorang memiliki pengetahuan baik maka ia akan memahami bagaimana prognosa penyakit yang di deritanya, sehingga dapat menimbulkan kecemasan yang bermakna. Penelitian yang dilakukan oleh Mollaoglu, Tunacy, Fertlli, Yurygen, (2011) mengungkapkan bahwa ketika klien diberikan pendidikan kesehatan tentang perawatan arteri vena fistula maka dapat menurukan kecemasan klien dengan menjalani hemodialisa dengan arteri vena fistula.

Hubungan Usia dengan Tingkat Kecemasan

Hasil analisis bivariat dengan uji chi-squre

menejelaskan bahwa usia dewasa dini 78,9% mengalami kecemasan ringan dan 21,2% mengalami kecemasan sedang (n=19). Responden dewasa madya 58,3% mengalami kecemasan ringan dan 41,7,0% menglami kecemasan sedang (n=24). Pada usia dewasa lanjut 72,7% mengalami kecemasan ringan dan 27,3% mengalami kecemasan seang (n=33). Penghitungan chi-squre menghasilkan nilai p=0,30 (α > 0,05) yang artinya tidak ada hubungan yang bermakna antara usia dengan tingkat kecemasan. Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Hamid (2012) tentang Analisis faktor yang berhubungan dengan tingkat kecemasan pada pasien GGT dengan hemodialisa reguler di ruang hemodialisa rumah sakit umum provinsi Nusa Tenggara. Hasil penelitian analisa data menunjukkan bahwa umur tidak memiliki hubungan yang signifkan dengan tingkat kecemasan (p=0,801). Menurut peneliti semakin bertambah usia seseorang maka, semakin beresiko terkena suatu penyakit, dengan adanya penyakit yang mereka derita, maka seorang lansia akan membutuhkan bantuan orang lain dalam membantu aktifitas fisik sehingga dapat menimbulkan kecemasan pada lansia karena harus bergantung kepada orang lain.

(4)

Hubungan Jenis Kelamin dengan tingkat Kecemasan

Hasil analisis bivariat dengan uji chi-square

menjelaskan bahwa responden berjenis kelamin laki-laki mengalami kecemasan ringan 73,3% dan kecemasan sedang 26,7% (n=45). Sedangkan responden perempuan 48,4% mengalami kecemasan ringan dan 51,6% mengalami kecemasan sedang (n=31).Perhitungan uji chi-square

menghasilkan nilai p= 0,04 (α < 0,05) yang artinya ada hubungan bermakna antara jenis kelamin dengan tingkat kecemasan. Dari data penelitian ini di dapatkan bahwa mayoritas responden berjenis kelamin laki-laki. Hal ini diduga karena laki-laki lebih banyak pria merokok, minum-minuman keras, candu, bekerja berat, dan berhadapan dengan pekerjaan-pekejaan berbahaya (Notoatmodjo, 2011). Prince (2006) menjelaskan secara keseluruhan insiden ESRD (end stage renal disease) lebih besar pada laki-laki (53,6%) dari pada perempuan (43,7%). Penelitian ini sejalan dengan penelitian Sumantri (2012) bahwa mayoritas klien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa adalah berjenis kelamin pria yaitu sebesar (51,4%). Dari data ini dapat disimpulkan bahwa kecemasan berat lebih banyak dialami responden berjenis kelamin perempuan. Hal ini sejalan dengan teori

yang menyatakan bahwa gangguan

kecemasan lebih sering dialami oleh wanita dan individu berusia kurang dari 45 tahun (Sheila, 2008). Penelitian Nadia (2005) berdasarkan jenis kelamin, diketahui bahwa subjek berjenis kelamin wanita lebih tinggi kecemasannya berdasarkan subjek kelamin laki-laki. Menurut peneliti hal ini mungkin saja terjadi karena wanita berperan penting dalam keluarga untuk mengurus keluarga, dengan penyakit yang mereka derita

mengakibatkan mereka mengalami

kecemasan berat.

Hubungan Pendidikan dengan Tingkat kecemasan.

Hasil analisis bivariat dengan uji chi-square

menjelaskan bahwa bahwa responden bependidikan SD sebanyak 5 orang dan hanya mengalami kecemasan ringan. Responden yang berpendidikan SMP sebanyak 16 orang 50% mengalami kecemasan ringan. Responden yang berpendidikan SMA 59,1% mengalami kecemasan ringan dan 40,9% mengalami kecemasan sedang. Responden dari perguruan tinggai 65,6% mengalami kecemasan ringan dan 34,4% mengalami kecemasan sedang (n=32) sedangkan responden yang tidak sekolah 1orang mengalami kecemasan ringan. Perhitungan

chi-square menghasilkan niali p=0,2 (α > 0,05) yang artinya tidak ada hubungan yang bermakna antara pendidikan dan tingkat kecemasan. Dari data ini telihat kecenderungan klien yang berpendidikan tinggi mengalami kecemasan berat. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Hamid (2012) dengan judul analisis faktor

yang berhubungan dengan tingkat

kecemasan pada pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan hemodialisa reguler ruang hemodialisa di Rumah Sakit Umum provinsi Nusa Tenggara yang menjelaskan bahwa tingkat pendidikan adalah faktor dominan

yang berhubungan dengan tingkat

kecemansan. Menurut peneliti hal ini terjadi karena semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin tinggi juga pengetahuan mereka, sehingga mereka mengetahui prognosa penyakit yang mereka derita sehingga dapat menimbulkan kecemasan.

Hubungan Frekuensi Hemodialisa dengan Tingkat Kecemasan

Hasil analisis bivariat dengan uji chi-square

menjelaskan bahwa responden yang menjalani hemodialisa satu kali seminggu 1 orang hanya mengalami kecemasan ringan. Responden menjalani hemodialisa dua kali seminggu 63,8% mengalami kecemasan ringan dan 36,4% mengalami kecemasan sedang. Responden yang menjalani hemodialisa tiga kali seminggu 61,3 %mengalami kecemasan ringan dan 38,7%% mengalami kecemasan sedang (n=31).

(5)

Perhitungan uji chi-square menghasilkan

p=0,7 ( α > 0,05) yang artinya tidak ada hubungan yang bermakna antara frekuensi hemodialisa dengan tingkat kecemasan. Pasien gagal ginjal kronik harus menjalani terapi dialisis sepanjang hidupnya (rata-rata pasien menjalani terapi dialisis tiga kali seminggu minimal selama 3 atau 4 jam per kali terapi) atau sampai mendapatkan ginjal baru melalui operasi pencangkokan yang berhasil (Brunner & Suddarth, 2002).

Hal ini dapat peneliti simpulkan bahwa frekuensi menjalankan terapi dialisis tidak begitu berpengaruh terhadap tingkat kecemasan, namun banyak faktor lain yang mempengaruhinya seperti pengetahuan responden terhadap penyakit itu sendiri. Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan Sunardi (2001) dalam skripsinya yang berjudul “Hubungan frekuensi menjalani hemodialisa terhadap tingkat kecemasan terkait alat/unit dialisa pada klien gagal ginjal kronik, maka hasil menunjukkan korelasi hubungan yang sangat rendah antara dua variabel tersebut bahwa terdapat hubungan positif sangat rendah antara frekuensi dilakukan hemodialisa terhadap tingkat kecemasan, berarti terdapat hubungan positif linier sebesar 0,09% terhadap kedua variabel tersebut. Jadi bila terjadi peningkatan frekuensi hemodialisa maka akan terjadi peningkatan kecemasan ada klien gagal ginjal kronik.

Menurut peneliti mayoritas responden hanya mengalami kecemasan ringan, karena perawat di ruangan renal unit Rumah Sakit PGI Cikini telah memliki keterampilan yang baik dalam menggunakan mesin hemodialisa maupun melakukan pungsi

arteri vena fistula/cimino sehingga mengurangi kecemasan saat dilakukan hemodialisa.

Hubungan Pekerjaan dengan Tingkat Kecemasan.

Hasil analisis bivariat dengan uji chi-square

menjelaskan bahwa responden yang bekerja 57,1% mengalami kecemasan ringan dan 42,9% mengalami kecemasan sedang (n=49). Responden yang tidak bekerja

mengalami kecemasan ringan 74,1% dan 25,9% mengalami kecemasan sedang (n=27). Perhitungan uji chi-square

menghasilkan p=0,2 (α > 0,05) yang artinya tidak ada hubungan yang bermakna antara status pekerjaan dengan tingkat kecemasan. Menurut Notoatmodjo (2001) pekerjaan erat kaitannya dengan kejadian kesakitan dimana timbulnya penyakit dapat melalui beberapa jalan yakni karena faktor lingkungan yang lansung dapat menimbulkan kesakitan, situasi pekerjaan yang penuh stress dan ada tidaknya gerak badan di dalam pekerjaan. Hal ini memungkinkan orang yang sudah bekerja memiliki kecenderungan lebih banyak untuk memanfatkan pelayanan kesehatan. Keterbatasan kemampuan pasien untuk bekerja setelah menderita penyakit gagal ginjal kronik dan harus menjalani hemodialisa akan menimbulkan masalah besar dan teracam kehilangan pekerjaan (Brunner & Suddarth, 2000). Menurut peneliti responden yang bekerja mengalami kecemasan berat karena setelah menderita penyakit mungkin kinerja mereka akan berkurang, sehingga akan terancam kehilangan jabatan dan pekerjaan.

Hubungan Penghasilan dengan Tingkat Kecemasan.

Hasil analisis bivariat dengan uji chi-square

menjelaskan bahwa responden yang berpenghasilan kuang dari Rp2200.000 mengalami kecemasan ringan 74,2% dan 25,8% mengalami kecemasan berat (n=31). Responden yang berpenghasilan lebih dari Rp 2200.000, mengalami kecemasan ringan 55,6% dan kecemasan sedang 44,4% (n=45). Perhitungan uji chi-square menghasilkan p= 0,1 (α > 0,05) yang artinya tidak ada hubungan yang bermakna antara penghasilan dengan tingkat kecemasan.. Penelitian Nadia (2005) menemukan bahwa 22,5% subjek menyebutkan masalah yang berkaitan dengan ekonomi menyebabkan seseorang cemasa. Pemerintah provinsi DKI Jakarta telah memberikan fasilitas Kartu Jakarta Sehat (KJS) dimana biaya pengobatan ditanggung oleh Pemprov DKI, sehingga responden tidak perlu memikirkan biaya pengobatan.

(6)

Sedangkan responden yang berpenghasilan lebih dari 2.200.000 mengalami kecemasan sedang, karena mereka harus mengeluarkan biaya hemodialisa setiap dua sampai tiga kali seminggu dan mungkin mereka tidak menggunakan fasilitas kartu Jakarta sehat.

Kesimpulan

Uji yang dilakukan kepada 76 orang klien gagal ginjal kronik, dengan desain penelitian menggunakan deskripitif korelatif dengan pendekatan kuantitatif menyimpukan bahwa pengetahuan tidak mempunyai hubungan bermakna dengan tingkat kecemasan dalam menjalani hemodialisa di ruang renal unit Rumah Sakit PGI Cikini p= 0,39 (α > 0,05). Klien gagal ginjal kronik mayoritas memiliki pengetahuan baik dan mayoritas responden mengalami kecemasan ringan saat menjalani hemodialisa.

Dengan adanya penelitian ini dapat memberikan gambaran pengetahuan dan kecemasan klien gagal ginjal kronik dalam menjalani hemodialisa. Pendidikan kesehatan merupakan suatu intervensi keperawatan yang berisi pengetahuan yang diberikan kepada klien gagal ginjal kronik dalam menjalani hemodialisa dan dapat dilakukan perawat pada saat memberikan asuhan keperawatan kepada klien yang mengalami kecemasan. Penatalaksanaan yang dilakukan pada klien dengan kecemasan berat dan panik adalah dengan menurunkan kecemasan melalui perilaku caring dan mampu menjadi sahabat bagi klien.

Daftar Pustaka

Brunner & Suddarth, (2002). Keperawatan medikal

bedah, Jakarta: EGC

Hamid, V. (2012) Analisis faktor yang berhubungan

dengan tingkat kecemasan pada pasien GGT dengan hemodialisa reguler di ruang

hemodialisa rumah sakit umum provinsi Nusa Tenggara. Skripsi (tidak dipublikasikan) Surabaya:Unair.http://alumni.unair.ac.id/kumul anfile/65437815777_abs.pdf

Hawari, D. (2006). Manajemen stress,cemas, dan

depresi. Jakarta: Gaya baru

Nadia, (2005) Kecemasan pada penderita gagal

ginjal kronis di laboratorium dialysis Rumah Sakit Pusat TNI AU Dr.Esnawan Antariksa Jakarta. Skripsi (tidak dipublikasikan) Jakarta: Gunadarma

Notoadmodjo,(2011). Kesehatan Masyarakat Ilmu & Seni Edisi Revisi Jakarta: Pt rineka cipta

Price, A, S. (2002). Patofisiologi konsep klinis

proses-proses penyakit, Edisi

6. Alih bahasa: Bram & dkk. Jakarta: EGC

Stuar, W,G. (2007). Buku saku keperawatan jiwa,

Edisi 5. (Alih bahasa: Ramona & Egi)) Jakarta: EGC

Suwitra, K.,(2006). Penyakit ginjal kronik, dalam

Sudoyono, A.W.,Sutiyahadi, B., Alwi.,

Simbardibata, M., Roesli., & Setiadi, S Buku

ajar penyakit dalam Jakarta: Depertemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Sumantri, (2012). Gambaran kecemasan klien

gagal ginjal kronik dengan karakteristik klien hemodialisis di ruang hemodialisis Rumah Sakit Hospital Cinere Skripsi (tidak di publikasikan) Jakarta:Upn veteran

Yurugen, B., Fertelli, K.T.,Tunacy, O,F., & Mollaoglu, (2011) Effect on anxiety of education programme about care of arteriovenus fistula in patients undergoing

hemodialysis. Vascular Access Jurnal 13(2),

152-156

   

Gambar

Table 1.1 Karakteristik Responden

Referensi

Dokumen terkait

Izin beristeri lebih dari seorang (istilah yang umum digunakan adalah izin poligami), dalam penjelasan pasal 49 alinea kedua sebagaimana di atas dinyatakan

Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari hasil penelitian kepustakaan terhadap bahan pustaka yang berkaitan dengan

mengatur tenaga kerja (SDM) dan mengatur pemberian gaji pekerja. Program studi entreprenurship melakukan inovasi pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan soft

Abstrak : Penelitian ini bertujuan ingin mengetahui pengaruh penggunaan alat media audio visual dapat meningkatkan hasil belajar pasing bawah bola voli pada Siswa Kelas IV

memenuhi syarat sebagaimana diatur oleh Peraturan KPU No. 20 Tahun 2014 Tentang Pemungutan, Penghitungan dan Rekapitulasi Suara Bag! Warga Negara Republik Indonesia di

Dari Tabel 3 dapat diketahui bahwa pembuatan emulsi dengan konsentrasi emulsifier yang lebih tinggi pada tekanan yang sama akan menghasilkan ukuran partikel yang

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul

perusahaan yang bersangkutan. 5) Dengan memperoleh kredit dari bank debitur sekaligus akan.. memperoleh manfaat yang lain antara lain fasilitas perbankan