REKAYASA TEKNOLOGI BUDIDAYA KEPITING BAKAU
(
Scylla paramaosain
) MELALUI REKAYASA PAKAN
DAN LINGKUNGAN UNTUK PERCEPATAN PERTUMBUHAN
DAN KELULUSHIDUPAN
Istiyanto Samidjan1*, Diana Rachmawati1, Hadi Pranggono2
1 Dosen Program Studi Budidaya Perairan, FPIK Undip. 2Dosen Fakultas Perikanan Unikal Pekalongan
ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji peran rekayasa pakan dan lingkungan terhadap percepatan pertumbuhan dan kelulushidupan kepiting bakau, dengan memanfaatkan pakan dari berbagai jenis pakan segar (limbah ikan dan wideng) dan rekayasa lingkungan dengan kombinasi biofilter system menggunakan daun mangrove, dimana masing masing dari kepiting bakau diperlihara dengan sistem batery. Metode penelitian dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan tiga perlakuan pemberian jenis pakan yang berbeda. Ulangan dilakukan pemeliharaan terhadap sepuluh ekor kepiting bakau. Dosis pemberian pakan tiap perlakuan sebanyak 5 % . Perlakuan ”A”, pemberian pakan ikan rucah, perlakuan ”B” pemberian pakan wideng sebanyak 5 % dari berat biomassa perhari dan perlakuan ”C”, pemberian pakan pelet sebanyak 5 % dari berat biomassa perhari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pakan terbaik untuk budidaya kepiting bakau dengan sistem batery adalah pakan pelet.Sedangkan Perbedaan pakan (Segar, Pelet) berupa ikan rucah, wideng dan pelet memberi pengaruh yang nyata (p<0,05) terhadap pertumbuhan biomassa mutlak dan laju pertumbuhan spesifik (SGR) kepiting bakau. Pertumbuhan mutlak dan laju pertumbuhan harian (SGR) tertinggi dihasilkan oleh perlakuan pakan C sebesar 60.58 g ± 2.140 dan 0.81 % ± 0.022. Sedangkan terhadap kelulushidupan perbedaan pakan segar maupun pelet tidak memberi pengaruh yang nyata (p>0,05). Kualitas air untuk budidaya kepiting bakau relatif layak.
Kata Kunci : Ikan rucah, Wideng dan Pelet, Scylla paramaosain ABSTRACT
The study aims is to examine the role of feed engineering and the environment in accelerating growth and survival of mangrove crabs, by utilizing feed from various types of fresh feed (fish and wideng waste) and environmental engineering with a combination of biofilter systems using mangrove leaves, where each of the crabs mangrove maintained with a batery system. The research method uses a completely randomized design (CRD) with three treatments giving different types of feed. Repeated maintenance of ten mangrove crabs was carried out. Feeding dose for each treatment is 5%. Treatment "A", feeding trash fish, treatment "B" feeding wideng as much as 5% of the weight of biomass per day and treatment "C", feeding pellets as much as 5% of the weight of biomass per day. The results showed that the best feed for the cultivation of mangrove crabs with the batery system was pellet feed. While the difference in feed (fresh, pellets) in the form of trash fish, wideng and pellets gave a significant effect (p <0.05) on the growth of absolute biomass and growth rate specific (SGR) mangrove crabs. Absolute growth and the highest daily growth rate (SGR) were produced by feed C treatment of 60.58 g ± 2.140 and 0.81% ± 0.022. Whereas the survival rate of differences in fresh feed and pellets did not have a significant effect (p> 0.05). Water quality for mangrove crab cultivation is relatively decent.
PENDAHULUAN
Keunggulan kepiting bakau
(Scylla serrata Froskal) merupakan
salah satu produk perikanan yang banyak disenangi masyarakat karena kandungan proteinnya tinggi dan berkalori rendah. Kepiting bakau mengandung 65,72% protein, 7,5% mineral dan 0,88% lemak. Telurnya mengandung 88,55% protein, 3,2% mineral dan 8,16% lemak (Alamyah dan Fujaya. 2011).
Kepiting selain komposisi gisinya yang baik dan bergizi juga mempunyai potensi pasar kepiting bakau yang baik di dalam negeri dan di luar negeri potensi pasarnya yang cukup besar. Harga kepiting bakau di pasaran lokal dengan ukuran 200 g/ekor sebesar Rp. 25.000/kg (Dirjen Perikanan, 2004). Tingkat ekspor kepiting bakau pada
tahun 1995–2000 mengalami
peningkatan sebesar 193%. Nilai ekspornya hanya sebesar 4220 ton pada tahun 1995 dan tahun 2000 meningkat menjadi 8135 ton dengan nilai US$ 69.297.006 (Fujaya et al.2011). Hal ini memberikan peluang pengembangan komoditas kepiting bakau secara lebih serius dan komersial. Menurut Purnomawati dan Dewantoro (2001), kepiting bakau sangat menguntungkan
untuk dibudidayakan karena memiliki laju pertumbuhan yang cepat dan harga jualnya tinggi.
Selama ini permintaan kepiting bakau dipenuhi dari hasil tangkapan alam. Pemenuhan kebutuhan kepiting bakau melalui usaha intensifikasi penangkapan secara besar-besaran dikhawatirkan akan mengakibatkan penurunan jumlah bahkan kelangkaan kepiting bakau di alam. Melihat kondisi tesebut, perlu dilakukan usaha budidaya kepiting bakau secara intensif dengan harapan dapat menghasilkan kepiting bakau secara kontinyu dengan jumlah memadai.
Kendala utama budidaya
pembesaran atau penggemukan kepiting bakau biasanya menggunakan pakan utama berupa ikan rucah. Namun para
pembudidaya kepiting bakau
mengeluhkan ketersediaan ikan rucah yang terbatas pada saat akhir tahun. Dirjen Perikanan (2004), melaporkan harga ikan rucah pada akhir tahun meningkat dari Rp. 2.000/kg menjadi Rp. 3.500/kg, sehingga perlu alternative pakan buatan yang tersedia setiap waktu dalam jumlah yang cukup.
Kebutuhan akan pakan alternatif diharapkan dapat menghasilkan
pertumbuhan dan kelulushidupan kepiting bakau yang tinggi, namun tidak sulit mendapatkannya atau mahal harganya.
Permasalahan dalam Usaha budidaya kepiting bakau antara lain adalah rendahnya tingkat pertumbuhan dan kelulushidupan. Salah satu faktor yang mempengaruhi rendahnya tingkat pertumbuhan dan kelulushidupan kepiting bakau adalah jenis dan jumlah pakan yang diberikan dan lingkungan kualitas air yang kurang layak untuk kehidupan kepaiting bakau. Untuk mengatasi masalah tersebut dilakukan rekayasa pakan dan lingkungan. Menurut Aslamyah dan Fujaya (2009), pertumbuhan dan kelulushidupan kepiting bakau dipengaruhi oleh ukuran benih kepiting bakau, kualitas air media budidaya dan pakan yang diberikan. Diharapkan dengan rekayasa teknologi budidaya kepiting bakau dengan rekayasa lingkungan dan pakan maka dapat mempercepat pertumbuhan dan meningkatkan kelulushidupan kepiting bakau.
Penelitian ini memberikan pakan alternatif lain untuk budidaya kepiting bakau berupa wideng (Neoepisesarma
lafondi) dan pellet dan rekayasa
lingkungan dengan menggunakan
biofilter system menggunakan daun mangrove,sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan dan kelulushidupan kepiting bakau.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peran rekayasa pakan dan lingkungan terhadap percepatan pertumbuhan dan kelulushidupan kepiting bakau, dengan memanfaatkan pakan dari pakan segar (limbah ikan dan wideng) dan rekayasa lingkungan dengan kombinasi biofilter system
menggunakan mangrove, dimana
masing masing dari kepiting bakau diperlihara sistem batery.
MATERI DAN METODE
PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan
dengan menggunakan metode
eksperimental yang dilakukan di lapangan. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dimana unit-unit percobaan diambil secara acak (Srigandono, 1985). Penelitian ini
menggunakan tiga perlakuan
pemberian jenis pakan yang berbeda dan masing-masing perlakuan diulang sebanyak empat kali. Untuk tiap
terhadap sepuluh ekor kepiting bakau. Dosis pemberian an tiap perlakuan sebanyak 5 % (Giri et al, 2002). Perlakuan tersebut adalah pemberian pakan berupa ikan rucah, wideng dan pelet (A, pemberian pakan ikan rucah sebanyak 5 % dari berat biomassa perhari menggunakan biofilter sistem daun mangrove, (B pemberian pakan wideng sebanyak 5 % dari berat biomassa perhari dengan menggunakan daun mangrove sebagai biofiltersistem) (C, pemberian pakan pelet sebanyak 5 % dari berat biomassa perhari dengan menggunakan daun mangrove sebagai biofitersystem). Penempatan kultivan dan perlakuannya pada karamba sistem batery dilakukan secara acak dengan menggunakan metode Randomisasi. Hewan Uji
Penelitian ini menggunakan hewan uji berupa kepiting bakau (S. serrata) dewasa yang berukuran lebar karapas berkisar antara 8,5–9,5 cm dan rata-rata bobot tubuhnya sebesar 149,13 g ± 3,716. Kepiting bakau ini diperoleh dari hasil tangkapan nelayan di wilayah perairan Pidodo Kulon, Kendal. Sedangkan sebagai pakan uji yang digunakan adalah pakan segar dari rucah, wideng dan pelet. Ikan rucah
dan wideng yang diperoleh dari sekitar tempat budidaya di perairan Pidodo Kulon, Kendal. Sedangkan pelet yang digunakan adalah pakan komersial udang 581 merk Bintang dalam bentuk
crumble yang diproduksi oleh
PT.Central Proteinaprima. Kemudian pakan pelet dilakukan proses repeleting sehingga menjadi bentuk pelet.
Pelaksanaan penelitian
dilakukan memulai dari persiapan alat dan bahan yang digunakan selama penelitian. Alat yang dibutuhkan antara lain wadah pemeliharaan (basket), karamba, media pemeliharaan dan peralatan pengukuran kualitas air. Karamba dibuat dengan menggunakan bambu yang didesain sedimikian rupa sehingga dapat terapung di permukaan
air dan memudahkan dalam
pengamatan. Basket pemeliharaan berukuran 30 x 20 x 15 cm3 terbuat dari bahan plastik dan dimasukkan dalam karamba bambu dan biofilter sistem dari daun mangrove ditempatkan dalam basket.
Pengumpulan Data
Data-data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi hasil pengamatan tingkat kelulushidupan, pertumbuhan, pemanfaatan pakan dan
data kualitas air seperti: suhu, salinitas, pH, DO, ammonia dan nitrit media pemeliharaan.
a. Pertumbuhan Mutlak
Pertumbuhan mutlak dihitung dengan rumus Effendie (2002), yaitu:
W = Wt – Wo
Dimana :
W = Pertumbuhan bobot mutlak (g) Wt = Bobot total pada akhir penelitian
(g)
Wo = Bobot total pada awal penelitian (g)
b. Laju Pertumbuhan Harian (Spesific Growth Rate/SGR)
SGR dihitung berdasarkan rumus Steffens (1989) sebagai berikut :
% 100 ln ln t Wo Wt SGR Dimana :
SGR = Laju pertumbuhan harian (%/hari)
Ln Wt = Ln Bobot hewan uji pada akhir penelitian (g)
Ln Wo = Ln Bobot hewan uji pada
awal penelitian (g) t = Lama penelitian (hari) c. FCR (Food Convertion Ratio)
Untuk menghitung FCR
digunakan rumus dari Djarijah (2006), yaitu : Wo D Wt F FCR ) ( Dimana : FCR = Konversi pakan
Wo = Bobot hewan uji pada awal penelitian (g)
Wt = Bobot hewan uji pada akhir penelitian (g)
D = Jumlah bobot hewan uji yang mati selama penelitian (g)
F = Jumlah pakan yang
dikonsumsi (g)
d. FER (Food Efficiency Ratio)
Perhitungan Efisiensi pakan (FER) dilakukan dengan menggunakan rumus dari Djarijah (2006), yaitu :
% 100 F Wo D Wt FER Dimana :FER = Efisiensi pakan (%)
Wt = Bobot hewan uji pada waktu t (g)
Wo = Bobot hewan uji pada waktu awal (g)
D = Jumlah bobot hewan uji yang mati selama penelitian (g) F = Bobot pakan yang diberikan
(g)
e. PER (Protein Efficiency Ratio)
Untuk menghitung PER
digunakan rumus dari Hepher (1988), yaitu : ) (pi pakan protein total Berat uji ikan berat n Pertambaha PER
Dimana :
PER = Protein efisiensi ratio.
Pi = Jumlah pakan yang
dikonsumsi dikali persentase protein dalam pakan
f. NPU (Net Protein Utilization)
NPU dihitung dengan
menggunakan rumus dari Tacon (1987), yaitu: Pi Pa Pb NPU x 100% Dimana :
NPU = Nilai pemanfaatan protein (%)
Pb = Kandungan protein kepiting pada akhir penelitian (g) Pa = Kandungan protein kepiting
pada awal penelitian (g) Pi = Kandungan protein pada
pakan yang diberikan (g) g. Tingkat Kelulushidupan/Survival
Rate (SR)
Kelulushidupan dari kepiting bakau selama penelitian dihitung dengan rumus Effendie (2002) sebagai berikut: SR = No Nt x 100 % Dimana : SR = Tingkat kelulushidupan kepiting (%)
Nt = Jumlah kepiting yang hidup pada akhir penelitian (ekor)
No = Jumlah kepiting yang hidup pada awal penelitian (ekor) h. Pemantauan Kualitas Air
Pengukuran kualitas air berupa suhu perairan dilakukan setiap pagi dan sore hari. Sedangkan pengukuran kualitas air berupa pH, salinitas, DO, ammonia dan nitrit dilakukan satu kali seminggu. Pengukuran kualitas air berupa DO, ammonia dan nitrit, N,P,K dilakukan di Balai Laboratorium Kesehatan Semarang.
Analisis Data
Data yang diperoleh berupa pertumbuhan mutlak, kelulushidupan, SGR, FCR, Efisiensi Pakan, PER dan NPU dianalisis dengan analisis ragam (ANOVA). Khusus data dalam bentuk persentase (%) dilakukan transformasi Arcsin. Sebelum menggunakan analisis ragam terlebih dahulu dilakukan uji Normalitas, uji Homogenitas dari Barlett, dan uji Additifitas untuk memastikan data bersifat normal dan homogen. Jika persyaratan telah dipenuhi kemudian dilanjutkan dengan uji ragam. Jika antar perlakuan memberikan perbedaan yang nyata, maka dilanjutkan dengan uji Wilayah Ganda Duncan untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pertumbuhan Biomassa Mutlak
Pertumbuhan biomassa mutlak kepiting bakau dari hasil penelitian yang dilaksanakan selama 42 hari pengamatan dengan selang waktu pengukuran pertumbuhan 7 hari sekali, berpengaruh nyata (P<0.05) (Tabel.1).
Tabel 1. Hasil penelitian terhadap Biomas mutlak, Spesifik growth rate, Konversi rasio pakan (FCR), Protein efisiensi pakan (PER), NPU dan Kelulushidupan (SR) Kepiting Bakau pada rekayasa budidaya pakan dan lingkungan. Variabel A B C Biomas mutlak (gr) 47.89±3.381a 50.19±1.697a 60.58±2.140b Spesific Growth Rate (SGR %) FCR PER NPU 0.67±0.042a 6.45±0.471a 0.1550±0.073a 22.062±2.703a 0.69±0.026ab 6.27±0.521a 0.2988±0.241a 29.433±9.896a 0.81±0.022b 6.07±0.192a 0.3350±0.170a 45.018±7.964a SR (%) 92.50±9.574a 87.50±9.574a 92.50±9.574a
Keterangan : Angka rerata dengan huruf superskrip yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P<0,05).
Tabel 1 menunjukkan perlakuan pakan C (60,58 g ±2.140) memberikan pertumbuhan biomassa mutlak kepiting bakau yang tertinggi dari pada perlakuan pakan B (50,19 g ±1.697) dan A (47,89 g ±3.381). Analisis ragam terhadap data pertumbuhan biomassa mutlak menunjukkan berpengaruh nyata (P<0,05).
Hal ini memperlihatkan bahawa adanya perbedaan pada pemberian pakan ikan rucah, wideng dan pelet memberi pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap pertumbuhan biomassa mutlak kepiting bakau. Adanya perbedaan jenis pakan dan penggunaan biofilter sistem dengan menggunakan daun mangrove dapat mempercepat pertumbuhan dan meningkatkan kelulushidupan kepiting bakau. Hal ini terlihat dari pertumbuhan biomassa mutlak dan laju pertumbuhan harian kepiting bakau menunjukkan bahwa nilai tertinggi terdapat pada perlakuan C (Pelet) sebesar 6,28 g ± 2,140 dan 0,81% ± 0,022 dibanding perlakuan B (Wideng) sebesar 50,19 g ± 1,697 dan 0,69% ± 0,026 serta perlakuan A (Ikan rucah) 47,89 g ± 3,381 dan 0,67% ± 0,042. Berdasarkan analisis ragam memperlihatkan bahwa perlakuan perbedaan pakan memberikan pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap
pertumbuhan mutlak dan laju
pertumbuhan harian kepiting bakau. Pertumbuhan biamassa memerlukan energi yang terutama bersumber dari
makanan. Makanan mengandung
berbagai zat makanan seperti protein, lemak dan karbohidrat. Bahan-bahan tersebut sangat diperlukan dalam proses metasbolisme sehingga diubah menjadi
energi untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup (Bardach et
al.1972, Aslamyah dan
Fujaya.2009,2011). Menurut Hepher (1988), Fujaya et al (2011) mengemukakan bahwa zat makanan dalam pakan berfungsi bagi organisme untuk pertumbuhan dan kelulushidupan. Sedang fungsi utama dari makanan adalah untuk memelihara tubuh dan mengganti organ yang rusak, kemudian
kelebihannya digunakan untuk
pertumbuhan. Uji Wilayah Ganda Duncan terhadap rata-rata pertumbuhan
biomassa mutlak menghasilkan
perbedaan yang sangat nyata antar perlakuan pakan A dengan pakan C dan perlakuan pakan B dengan pakan C. Sedangkan perlakuan pakan B dengan pakan A tidak terdapat perbedaan yang nyata.
Laju Pertumbuhan Harian
Data laju pertumbuhan harian atau Spesific Growth Rate (SGR) kepiting bakau untuk masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Tabel 1. Grafik laju pertumbuhan harian kepiting bakau tersaji pada Gambar 1 Ada kecenderungan terjadi kenaikan laju pertumbuhan harian.
Gambar. 1. Grafik laju pertumbuhan harian (SGR) pada berbagai perlakuan
Dari Tabel 1 dapat diketahui bahwa nilai laju pertumbuhan harian kepiting bakau (Gambar 1), berdasarkan gambar 1 terdapat pertumbuhan terbaik dihasilkan oleh perlakuan perlakuan pakan C (0.81%/hari) di bandingkan perlakuan pakan B (0.69%/hari) dan A (0.67%/hari). Sedangkan analisis ragam terhadap data laju pertumbuhan harian berpengaruh nyata (P<0,05).
Nilai laju pertumbuhan harian juga diuji dengan Uji Wilayah Ganda Duncan dan dihasilkan perbedaan yang sangat nyata antara perlakuan pakan C dengan pakan A. Sedang perlakuan pakan A dengan B dan pakan B dengan C tidak menghasilkan perbedaan yang nyata. Laju pertumbuhan kepiting bakau tertinggi dihasilkan pada perlakuan pelet. Hal ini diduga karena kandungan nutrisi dalam pakan pelet sesuai dengan kebutuhan kepiting bakau untuk melakukan pertumbuhan dibanding
135 145 155 165 175 185 195 205 215 0 7 14 21 28 35 42 A B C
dengan pakan wideng maupun ikan rucah.
Kandungan nutrisi dalam pakan yang biasa digunakan oleh kepiting untuk pertumbuhan adalah protein (Djunaidah,et al.2004, Herlinah.,et al. 2010, Neil, et al. 2005, Giri, et al. 2002). Sedangkan kandungan nutisi lain, seperti: Lemak dan Karbohidrat diubah oleh tubuh dan digunakan sebagai energi. Menurut Hepher (1988), Keenan et al (1998), Kuntiyo (1992),
Landra (1992), Lavina (1980)
mengatakan bahwa protein memiliki peranan yang penting dalam pakan untuk pertumbuhan kultivan budidaya
dan setiap usaha budidaya
mengharapkan pertumbuhan yang cepat. Lemak dan karbohidrat merupakan nutrisi dalam pakan yang dibutuhkan oleh kultivan budidaya sebagai sumber energi.
Proses pertumbuhan dari kepiting bakau ditandai dengan adanya proses
molting atau pergantian kulit. Menurut Lavina (1980), Dirjen Perikanan (1990, 2004), Mardjono et al 1994), Purnamawati dan Dewantoro, (2001), Rosminar. (2008), Shelly, dan Lovatelli, (2011), Simanchala dan Nayak. (2012), Sopana et al (2009) mengatakan bahwa pertumbuhan pada kepiting bakau
dilakukan dengan melalui dua proses, yaitu: molting atau ecdysis. Proses
molting berhubungan dengan
perkawinan dan pergantian kulit dengan melukai tubuhnya, sedang ecdysis
merupakan pergantian exoskeleton
(kulit luar) yang menyebabkan meningkatnya panjang dan bobot tubuh kepiting bakau.
Konversi Pakan
Penelitian yang dilaksanakan selama 42 hari ini, juga dilakukan pengamatan terhadap konversi pakan atau Food Convertion Ratio (FCR) kepiting bakau. Hasil pengamatan dari konversi pakan kepiting bakau dapat dilihat pada Tabel.1. Berdasarkan Tabel.1., menunjukkan bahwa nilai rasio konversi pakan kepiting bakau dari setiap perlakuan pakan A (6,45), pakan B (6,47) dan pakan C (6,07). Sedangkan analisis ragam nilai rasio konversi pakan tidak berpengaruh terhadap kepiting bakau (P>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa pelakuan perbedaan pakan tidak memberikan perbedaan yang nyata terhadap rasio konversi pakan.
Nilai konversi pakan (FCR) pada perlakuan perbedaan pakan memiliki rata-rata 6,26±0,414.
Sedangkan rata-rata nilai efisiensi pakan (FER) pada perlakuan perbedaan pakan sebesar 16,03% ± 1,007. Berdasarkan analisis ragam konversi pakan dan efisiensi pakan terlihat bahwa perlakuan perbedaan pakan tidak memberikan pengaruh nyata (P>0,05) terhadap nilai konversi pakan dan efisiensi pakan. Hal in sesuai dengan pendapat Shelly dan Lovatelli, (2011), Simanchala dan Nayak, (2012), Sopana,et al. (2009), Suwirya,et al.(2003), Tacon,( A.G.J. 1987),Warner, (1977), Watanabe et al.2001), menyatakan bahwa semakin rendah atau kecil nilai konversi pakan, maka efisiensi pemanfaatan pakan semakin besar atau bertambah.
Secara umum nilai konversi pakan pada penelitian ini terlalu tinggi dengan nilai rata-rata tiap perlakuan
adalah 6,26±0,414. Hal ini
menunjukkan bahwa ketiga jenis pakan yang diberikan memiliki kualitas yang kurang baik dan menyebabkan efisiensi pakan yang rendah. Menurut Shelly dan Lovatelli,(2011), Simanchala dan Nayak. (2012), nilai konversi pakan (FCR) yang baik adalah kurang dari 2,0.
Sedang menurut (Fujaya et
al.2011),nilai konversi pakan yang tinggi dan efisiensi pakan yang rendah menunjukkan bahwa pakan tersebut
memiliki kualitas pakan yang kurang baik.
Protein Efficiency Ratio
Nilai Protein Efficiency Ratio
(PER) selama 42 hari penelitian tersaji pada Tabel 1. Hasil nilai PER berkisar antara 0,1550 sd 0,3350. Analisis ragam terhadap rasio efisiensi protein (PER) tidak berpengaruh nyata (P>0.05).
Tabel 1 menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata (P>0,05) terhadap rasio efisiensi protein kepiting uji, menggambarkan bahwa perbedaan pakan segar maupun pelet tidak memberi pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap rasio efisiensi protein pakan kepiting bakau. Berdasarkan nilai rata-rata PER yaitu perlakuan A (0,1550), perlakuan B (0,2988) dan perlakuan C (0,3350). Sedangkan hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perbedaan pakan segar maupun pelet tidak memberi pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap rasio efisiensi protein pakan kepiting bakau. Nilai PER yang dihasilkan dalam penelitian ini sangat rendah, hal ini diduga dipengaruhi oleh kandungan protein dari pakan yang tinggi. Kandungan protein dalam pakan rendah akan menyebabkan PER menjadi tinggi, dan akan menurun seiring
dengan meningkatnya kandungan protein.
Kandungan nutrisi dan jumlah pakan yang sesuai dengan kebutuhan kepiting bakau sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan kepiting bakau itu sendiri. Menurut Fujaya et al (2011) mengatakan bahwa nutrisi dalam pakan seperti protein mempunyai fungsi bagi tubuh sebagai zat pembangun atau pertumbuhan, zat pengatur dan zat pembakar. Begitu juga peran daun mangrove sebagai biofilter sistem dapat
memperbaki kualitas air dan
meningkatkan kelulushidupan kepiting bakau dan mempengaruhi PER menjadi tinggi, dan akan menurun seiring dengan menurunnya kualitas air.
Net Protein Utilization
Nilai Net Protein Utilization
(NPU) yang diperoleh dalam penelitian tersaji pada Tabel 1. Sedangkan analisis ragam terhadap NPU menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap NPU kepiting bakau, hal ini menggambarkan bahwa perbedaan pakan segar maupun pelet tidak memberi pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap NPU pakan kepiting bakau.
Nilai NPU tertinggi dihasilkan oleh perlakuan pakan C (Pelet) sebesar 45.018%, dibanding pakan B (Wideng) 29.433% dan pakan A (Ikan Rucah) 22.062%. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan protein dalam pakan pelet dapat dimanfaatkan dengan baik dari pada pakan wideng maupun ikan rucah yang menggunakan daun mangrove sebagai biofilter sistem yang Mampu memperbaiki kualitas air (Fujaya et al.2011, Steffens.1989).
Pemanfaatan protein untuk pertumbuhan juga dipengaruhi oleh kandungan nutrisi pakan yang lain, seperti: Lemak dan karbohidrat. Apabila kandungan nutrisi dalam pakan (selain protein) berjumlah sedikit atau kurang, maka protein dalam pakan akan dimanfaatkan oleh tubuh untuk tenaga atau energi. Menurut Djunaidah et al.(2004), Genodepa et al. (2018) pada organisme air yang dibutuhkan sebagai sumber tenaga adalah protein, kemudian lemak dan karbohidrat. Kelebihan energi yang dihasilkan dalam proses metabolisme akan disimpan dalam bentuk daging untuk pertumbuhan dan
perkembangan kedewasaan.
Ditambahkan pula oleh Genodepa et al.(2018) bahwa adanya peran enzim dalam pencernaan kepiting bakau, maka
akan membantu dalam memecah protein oleh enzim protease sehingga pakan lebih mudah dicernak dan akan mempercepat pertumbuhan kepiting bakau.
Tingkat Kelulushidupan
Dari pengamatan yang
dilakukan selama 42 hari terhadap kelulushidupan kepiting bakau dapat dilihat pada Tabel 1.
Dari Tabel 1 dapat diketahui bahwa nilai tingkat kelulushidupan kepiting bakau adalah pada perlakuan A (92,5%), B (87,5%) dan C (92,5%). Sedangkan analisis ragam dari data kelulushidupan kepiting tidak
berpengaruh nyata terhadap
kelulushidupan kepiting bakau (P>0.05).
Tingkat kelulushidupan dari kepiting bakau yang dipelihara selama penelitian cukup tinggi yaitu perlakuan pakan A 92,5%, pakan B 87,5% dan pakan C 92,5%. Berdasarkan analisis ragam varian menunjukkan bahwa perlakuan perbedaan pakan tidak memberikan pengaruh yang nyata kelulushidupan kepiting bakau (P>0,05). Hal ini didukung dengan pendapat Djunaidah et a.l (2004),d). Kuntiyo.(1992).e). Shelly and Lovatelli
(2011) mengatakan bahwa
kelulushidupan dari kepiting bakau tidak dipengaruhi oleh pakan dengan kandungan protein pakan yang berbeda. Penggunaan wadah basket plastic untuk budidaya kepiting bakau dengan sistem budidaya batery, dimana 1 ekor kepiting dipelihara dalam 1 wadah basket. Sistem budidaya ini akan mengurangi resiko kematian karena sifat dari kepiting yang suka memangsa sesama (kanibal). Aslamyah dan Fujaya (2009) mengemukakan bahwa pada kondisi tertentu kepiting dapat memangsa sesama terutama bila terdapat kepiting lain yang sedang molting. Sedang menurut Aslamyah dan Fujaya (2011), sistem batery akan menghasilkan tingkat kelulushidupan dari kepiting bakau yang tinggi dibanding sistem budidaya kepiting yang lain.
Kualitas Air
Pengamatan kualitas air yang dilakukan selama 42 hari pada perairan
tambak yang digunakan untuk
pemeliharaan kepiting bakau dengan sistem batery dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel.2. Pengamatan kualitas air yang dilakukan selama 42 hari pada perairan tambak yang dipelihara kepiting bakau dengan system biofilter system.
Para-meter Awal Penelitian Akhir Penelitian Pustaka A B C A B C N 0,019 0,017 0,017 0,315 0,302 0,294 < 0,5, a) P 0,033 0,030 0,028 0,041 0,033 0,030 < 4,6 ,b) K 0,52 0,51 0,47 0,61 0,53 0,50 0,5 – 10 , c) NH3 0,24 0,25 0,26 0,25 0,27 0,29 < 1,d) DO 4,2 4,1 4,1 4,0 3,9 3,8 >3,e). CO2 10,08 10,21 11,05 11,09 11,25 11,65 < 15, c), e) pH 8 8 8 8 8 8 7,5 -8,5,d) Salinit as 20 21 20 23 22 22 20 -38,a),d) Suhu 28 29 29 29 30 30 26 – 32,d),e) .
Keterangan: a) Fujaya dan Alam (2012)
b) Herlinah.,et al (2010) c) Djunaidah et al (2004) d) Kuntiyo (1992)
e) Shelly and Lovatelli (2011)
Hasil pengukuran kualitas air yang diperoleh selama penelitian berlangsung, terlihat parameter Suhu, Salinitas, DO, Ammonia, Nitrit dan pH. Nutrient N, P, K masih dalam kisaran normal untuk pemeliharaan kepiting bakau. Menurut Djunaidah et a.l (2004),d). Kuntiyo.(1992).e). Shelly and Lovatelli (2011). Masih layak karena sesuai dengan syarat lokasi budidaya yang baik adalah memiliki parameter kualitas air seperti berikut: tidak tercemar, memiliki pH, suhu, oksigen
oleh Fujaya dan Alam (2012), Herlinah.,et al (2010), dan Djunaidah et al. (2004) bahwa kandungan nutrient N,P,K sesuai bagi kehidupan kepiting bakau yang dipelihara.
KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya rekayasa pakan (berbeda jenis pakan, ikan rucah, wideng dan pellet) dan penggunaan biofilter siatem daun mangrove) memberi pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap pertumbuhan biomassa mutlak.dan laju pertumbuhan harian (P<0,05). Serta tidak berpengaruh nyata terhadap, terhadap konversi pakan (FCR), rasio efisiensi protein (PER), NPU (net protein utility), kelulushidupan. Sedangkan pertumbuhan terbaik tertinggi pada budidaya kepiting bakau dengan sistem batery adalah pakan pelet, perlakuan C yaitu (biomas mutlak 60.58±2.140bg, Spesifik growth rate
(0.81±0.022b,% ), FCR (6.07±0.192a),
PER (0.3350±0.170a), NPU
(45.018±7.964a), dan kelulushidupan (92.50±9.574a %)
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Direktur pengabdian
TA 2008/2009, program Vucer multitahun, dan Bpk. H. Karimun yang telah dipakai tambaknya untuk budidaya kepiting bakau.
DAFTAR PUSTAKA
Aslamyah, S. dan Y. Fujaya. 2009. Formulasi Pakan Buatan Khusus Kepiting yang Berkualitas Murah dan ramah Lingkungan. Jurnal Sains & Teknologi, Seri Imu-Ilmu Pertanian 9 (2) 133-141.
Aslamyah, S. & Y. Fujaya. 2011. Respon Molting, Pertumbuhan, dan Komposisi Kimia Tubuh Kepiting Bakau Pada Berbagai
Kadar Karbohidrat-Lemak
Pakan buatan Yang Diperkaya Dengan Vitomolt. Jurnal Sains & Teknologi, Seri Imu-Ilmu Pertanian 9 (2) 133-141.
Bardach, J.E., Ryther, J.H. and
McLarney, W.O. 1972.
Aquacultur The Farming and Husbandry of Freshwater and Marine Organism. John Wiley & Sons. Canada. 867 pp.
Dirjen Perikanan. 1990. Buku Pedoman Pengenalan Sumber Perikanan Laut (Jenis-jenis Ikan Ekonomis Penting). Direktorat Jenderal Perikanan. Jakarta. 170 hlm. Dirjen Perikanan. 2004. Petunjuk
Teknis Budidaya Kepiting Bakau (Scylla serrata). Direktorat pembuudidayaan. Direktorat Jendral Perikanan Budidaya. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. 19 hlm.
Djunaidah, I.S., M.R. Toelihere, M. I. Effendie3, S. Sukimin3 dan E. Riani. 2004. Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Benih
Kepiting Bakau (Scylla
paramamosain) yang Dipelihara pada Substrat Berbeda. Jurnal Ilmu Kelautan, Vol. 9(1) : 20– 25.
Effendie, M. I.2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta. 163 hlm.
Funjaya, Y. 2004. Pemanfaatan Ekstrak Ganglion Toraks Kepiting Non-Ekonomis sebagai Stimulan Perkembangan In Vitro Sel Telur Kepiting Bakau (Scylla oliviceous). Dalam Trobos. No. 56/ tahun ke-V/ Edisi Mei 2004. hlm 11-12.
Fujaya,Y., S. Alamsyah dan Z. Usman.
2011. Respon Molting,
Pertumbuhan dan Mortalitas Kepiting Bakau (Scylla
olivacea) yang Disuplementasi
Vitomolt melalui Injeksi dan Pakan Buatan. Ilmu Kelautan, 16(4): 211-218.
Fujiya, Y. dan N. Alam. 2012. Pengaruh Kualitas Air, Siklus Bulan, Dan Pasang Surut Terhadap Molting dan Produksi Kepiting Cangkang Lunak (Soft Shell Crab) di Tambak Komersil. Fakultas Ilmu
Kelautan dan Perikanan
Universitas Hasanuddin. Makasar. Herlinah., Sulaeman, dan A. Tenriulo. 2010. Pembesaran Kepiting Bakau (Scylla serrata) Di Tambak Dengan Pemberian Pakan Berbeda. Dalam: Prosiding
Forum Inovasi Teknologi
Bududaya Air Payau, Sulawesi Selatan, pp. 169-174.
Neil, L., Foterdar, R., dan Shelly, C. 2005. Effect of aciute and Chronic Toxicity of Unionized Ammonia on Mud Crab (Sylla serata) Larvae. Aqua. Res., 36: 927-932. Idha, A., I. samidjan dan Diana
Rachmawati. 2013. Pemberian Kombinasi Pakan Koeng Macan
Dan Ikan Rucah Terhadap
Pertumbuhan Dan Kelulushidupan
Kepiting Bakau (Scylla
paramamosain). Journal of
aquaculture management and technology. Vol 2. Hal 131-138. Genodepa J.,C.Zeng.,PC.Southgate.
2018. Changes in digestive enzyme activities and nutrient utilization during embryonic development and starvation of newly hatched larvae of the mud
crab, Scylla serrata
J.Aquaculture.Accepted date 27 April 2018.
Giri, N. A., Yunus, Suwirya Ketut dan Marzuqi. M. 2002. Kebutuhan Protein untuk Pertumbuhan Yuwana Kepiting Bakau Scylla
paramamosain. Jurnal Penelitian
Indonesia Volume 8 Nomor (5). Pusat riset Perikanan Budidaya. Jakarta. Hlm. 31 – 36.
Hepher, B. 1988. Nutrition of Pond Fishes. Cambridge University Press. New York. 385 pp.
Keenan C.P., Davie P.J.F and Mann D.L. 1998. A Revision of the Genus Scylla de Haan, 1983
(Crustacea: Decapoda:
Branchyura: Portunidae). The Raffles Bulletin of Zoology. 46 (1): 217 – 245
Kuntiyo. 1992. Fattening of Mud Crab
Scylla serrata Froskal in Net Cage Installed in Drain Canal of Intensive Praw Ponds Fed with Trash Fish and Praw Pellet. The Faculty of Fisheries of The University of The Philippines in The Visayas. Iloilo. (Thesis). 60 pp.
Landra, D. F. 1992. Mudcrab Fattening Practices in Philippines. Report of The Mud Crab Culture and
Trade. Bay of Bengal
Programme. Madras. Pp. 151-153.
Lavina. A. Fe. D 1980. Notes on The Biology and Aquaqulture of
Scylla serrata (F.) De Haan. The
Seminar-Workshop on
Aquabusiness Project
Development and Management II. Iloilo. 32 pp.
Mardjono, M., Anindiastuti, Hamid, N., Djunaida, I.S. dan Satyantini,
W.H. 1994. Pedoman
Pembenihan Kepiting Bakau (Scylla serrata). Balai Budidaya Air Payau Direktorat Jendral Perikanan. Jepara. 40 hlm. Purnamawati dan Dewantoro, E. 2001.
Prospek Budidaya Kepiting Bakau Di Kalimantan Barat. Warta Penelitian Perikanan Indonesia Volume 7 Nomer (2). Pusat Riset Perikanan Budidaya. Jakarta. Hlm. 7-12.
Rosminar. 2008. Kepadaan dan Distribusi Kepiting Bakau (Scylla
sp.) serta Hubungannya dengan Faktor Fisika Kimia di Perairan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang, Sekolah Pascasarjana. Universitas Sumatra Utara. Medan. [tesis]. 78 hlm.
Shelly, C., and Lovatelli, A. 2011. Mud Crab Aquaculture A practical Manual. FAO Fisheries Technical Paper. No. 567. Rome, FAO. pp. 57.
Simanchala and L. Nayak. 2012. Pen Culture of Mud Crab (Scylla
serrata) in Chilika Lagoon,
Orissa, East Coast of India. DCSI, 7: 109-116.
Sopana, A. G., Widyaleksono, T., Soedarti, S. 2009. Produktivitas Serasah Mangrove di Kawasan Wonorejo Pantai Timur Surabaya. Jurnal Litbang Pertanian, 23 (1). 34-41.
Suwirya, K. Marzuki, M. dan Giri, N, A. 2003. Pengaruh Vitamain C
dalam Pakan Terhadap
Pertumbuhan Juvenil Kepiting Bakau (Scylla Paramamosain). Prociding Penerapan Teknologi Tepat Guna dalam Mendukung Agribisnis. Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol. Bali. 6 hlm.
Srigandono, B. 1985. Rancangan
Percobaan. Universitas
Diponegoro, Semarang 140 pp Steffens, W. 1989. Principles of Fish
Nutrition. Elis Horward Limited, England. 384 PP.
Tacon, A.G.J. 1987. The Nutrition and Feeding of Farmed Fish and Shrimp - a Training Manual, 1. The Essential Nutrient. Food Aquaculture Organization of The United Nation , Brazil. 108 pp.
Warner, G.F. 1977. The Biologi of Crab. Elek Science. London. 202 pp.
Watanabe. S, Sulistiono and Yokota. M. 2001. Crabs Resources and Stock Enhancement. Jurnal
Ilmu-ilmu Perairan dan
Perikanan Indonesia Edisi Khusus Crustacea. Intitut Pertanian Bogor. pp. 85-96.