• Tidak ada hasil yang ditemukan

Status Pesantren Mu\u27adalah; Antara Pembebasan Dan Pengebirian Jatidiri Pendidikan Pesantren

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Status Pesantren Mu\u27adalah; Antara Pembebasan Dan Pengebirian Jatidiri Pendidikan Pesantren"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Pendidikan Pesantren

Umar Bukhory

(Penulis adalah dosen STAIN Pamekasan, Jl. Raya Panglegur Km. 04 Pamekasan. Kontak person 087839636485, alamat rumah Jl. Pintu Gerbang Gg V No. 35 Pamekasan)

Abstract

Islamic boarding school is the oldest Islamic education institution in Indonesia. from the perspective of politic, the existency of Islamic boarding school has just been admitted by the

post-reformation government. It is declared on the article of UU No. 20 Tahun 2003 about SISDIKNAS, the establishment of special directorate in Religious Affairs departement, the publishment of various law products, and mu’âdalah (equality) toward some Islamic boarding schools. This article describes the problem of independecy and the diversity of Islamic boarding

school educational systems after the publishment of the law products. undangan tersebut. Kata-kata kunci

mu’adalah, pondok pesantren, pembaharuan kependidikan pesantren

Pendahuluan

Banyak kalangan memandang

bahwa pondok pesantren identik dengan institusi pendidikan yang cenderung eksklusif, ketinggalan zaman, sangat tergantung pada kharisma kiyai dan -bahkan- ada yang menyebutnya sebagai “ladang” persemaian bibit radikalisme Islam. Pandangan tersebut sama sekali

jauh dari kebenaran, jika sistem

pendidikan kepesantrenan yang

diinginkan secara filosofis dihubungkan

dengan pandangan-pandangan KH.

Imam Zarkasyi, salah seorang pendiri

Pondok Modern Gontor Ponorogo.

Dengan menolak pemaknaan a la Snock

Hourgronje yang hanya menyentuh kulit

luarnya saja, KH. Imam Zarkasyi

menyebutkan bahwa isi pokok

pendidikan kepesantrenan adalah

pendidikan mental dan karakter bagi para santri sebagai kader muballigh dan pemimpin umat di berbagai bidang kehidupan, satu tujuan pendidikan yang

mengalami revitalisasi dan banyak

didengung-dengungkan orang saat ini, kendati kemudian, mereka melupakan jasa besar dan kontribusi pesantren

terhadap perkembangan pendidikan

Islam di Indonesia. Melalui Falsafah Panca Jiwa Pondok Pesantren, KH. Imam Zarkasyi menyebutkan prinsip jiwa bebas

(2)

di bagian terakhir dari beragam spirit yang harus ada di dalam pondok pesantren. Selain itu, pendidikan pesantren juga harus dijiwai oleh prinsip keikhlasan, kesederhanaan, berdikari dan

ukhuwah diniyah.1

Pembangunan karakter (character building) yang menjadi tujuan utama pendidikan Islam dan seringkali menjadi persoalan serius di kalangan institusi pendidikan umum tidaklah menjadi problem besar di pesantren, karena sistem nilai dan moralitas yang luhur telah langsung diterapkan oleh kiyai dan

santri dalam praktik keseharian.

Pembangunan karakter (character building) yang menjadi misi esensial pendidikan Islam menuju pemahaman agama dan

kesadaran imani terbukti telah

terejawantahkan dengan baik di dunia

pesantren.2 Fakta tersebut juga menjawab

bahwa kendati pesantren identik dengan sistem pendidikan tradisional yang -konon katanya- terbelakang, namun di sisi lain, ada upaya untuk melakukan transformasi ke depan menuju gerbang rasionalitas dan kemajuan, dengan tanpa meninggalkan prinsip tradisionalnya, yakni prinsip Muhâfadhah ‘alal Qadîm al-Shâlih wal Akhdz bil Jadîd al-Ashlah.3

Sementara itu, Pondok Modern Gontor yang dirintis oleh KH. Imam

Zarkasyi dan beberapa pondok

alumninya serta beberapa pondok

1Tim Penyusun, KH. Imam Zarkasyi; Dari Gontor Merintis

Pesantren Modern, (Ponorogo: Gontor Press, 1996), hlm. 427-429.

2Nurhayati Djamas, Dinamika Pendidikan Islam di

Indonesia Pascakemerdekaan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), halaman kover belakang.

3Azyumardi Azra, “Pesantren; Kontinuitas dan Perubahan”, pengantar buku Nurcholish Majid,

Bilik-bilik Pesantren; Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina & Dian Rakyat, tt.), h. xv-xvii. Tulisan yang sama juga terdapat dalam Azyumardi Azra, Pendidikan

Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002, cet. iv), hlm. 95-110.

pesantren lain saat ini telah mendapatkan pengakuan kesetaraan (mu’âdalah) dari

pemerintah, setelah sebelumnya

mendapatkan pengakuan yang sama dari berbagai lembaga pendidikan tinggi dari luar negeri, terutama dari wilayah Timur Tengah. Tulisan ini ingin mengungkap status Mu’âdalah yang dimiliki pesantren

dalam menyikapi perkembangan

modernitas yang dimulai sejak era reformasi dan meningkatnya perhatian pemerintah terhadap eksistensi mereka.

Pertanyaan yang ingin dilontarkan

adalah apakah mu’âdalah pemerintah sejalan dengan prinsip jiwa bebas yang harus menjadi bagian dari pesantren, atau justru menjadi semacam pengebirian terhadap jati diri pesantren? Tanpa bermaksud membuat tipologi institusi dikotomis antara lembaga pendidikan “plat merah” dengan pesantren, tulisan ini juga ingin memaparkan proses

pembaharuan pendidikan pesantren

dalam konteks pendidikan Islam

kontemporer di Indonesia sebagai satu bentuk penyikapan terhadap tantangan pendidikan Islam masa depan.

Karakteristik pendidikan pesantren Sebagai lembaga pendidikan Islam

yang tertua di Indonesia,4 pesantren

terbukti mampu melakukan transimisi

ilmu keislaman di tengah-tengah

masyarakat. Di dalam statistik Direktorat

Pendidikan Diniyah dan Pondok

Pesantren (Dir. PD-Pontren) Kementrian Agama RI, hingga tahun 2009, jumlah pesantren yang ada di Indonesia adalah

21.521 lembaga.5 Berda sarkan

4Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam DEPAG RI, Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah;

Pertumbuhan dan Perkembangannya, (Jakarta: DEPAG RI, 2003), hlm. 7.

5Sumber:

http://pendis.depag.go.id/file/dokumen/bukusaku.p df diunduh tanggal 5 Mei 2010.

(3)

tipologinya, jumlah tersebut terbagi dalam tabel berikut:

No Tipe Pesantren Jumlah Prosentase 1. Salafiyah 8.001 37 % 2. Ashriyah 3.881 18 % 3. Kombinasi 9.639 45 % Jumlah Total 21.521 100 %

Dengan jumlah yang sangat besar itu, peran pesantren dan -terutama- alumninya tidak dapat diabaikan dalam mencapai tujuan pendidikan secara nasional.

Hampir dapat dipastikan, para pengkaji pesantren akan menemukan kesulitan dalam merumuskan tipologi pendidikan pesantren di Indonesia sejak

awal kelahirannya, karena

masing-masing pesantren mencerminkan

keunikan (the uniqueness) yang tipikal dan berbeda satu sama lain. Secara sederhana,

dapat penulis sebutkan, misalnya:

Mastuhu [1989] (Pesantren NU dan Muhammadiyah), Zamakhsyari Dhofier [1980] (Pesantren Salaf dan Khalaf), M. Dawam Rahardjo [1995] (Pesantren Induk

dan Anak), atau tipologi yang

dirumuskan Direktorat Pendidikan

Diniyah dan Pondok Pesantren (Salaf, ‘Ashrî dan Gabungan).6 Selain itu, pola interaksi antara unsur dalam pesantren pun ikut juga menentukan tipologi pesantren.7

Secara sederhana, pesantren

merupakan tempat santri menuntut ilmu. Secara etimologis, istilah santri berasal dari dua kemungkinan kata, yakni: cantrik dan shastri. Kata cantrik (bahasa Jawa) sebutan untuk siswa yang menuntut ilmu di lembaga pendidikan jawa kuno yang

6Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam DEPAG RI, Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah..., h. 29-31.

7Seperti lima pola pesantren yang ditawarkan oleh Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan

Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009, cet. ii), h. 65-68.

disebut dengan pawiyatan. Gurunya bernama Ki Ajar, dan tinggal bersama cantrik dalam satu komplek yang

berfungsi sebagai tempat tinggal

sekaligus tempat belajar mengajar.8 Si

cantrik juga mempunyai kewajiban untuk selalu mengikuti gurunya, ke manapun gurunya pergi. Adapun shastri (bahasa Sansekerta) berarti orang yang melek huruf. Dalam bahasa India, shastri berarti orang yang tahu buku-buku suci agama hindu, atau sarjana ahli kitab suci agama hindu.9 Kata ini berasal dari kata shastra, yang berarti buku suci, buku-buku agama dan buku tentang ilmu pengetahuan. Bahkan, Prof. Johns menyebutkan kata santri berasal dari bahasa Tamil, yang

berarti guru mengaji.10

Istilah pesantren sendiri secara sederhana mengandung setidaknya dua arti, yakni: a) tempat santri, setara dengan

kata pemukiman (tempat mukim),

pemondokan (tempat mondok) dan lain sebagainya, atau b) proses menjadikan santri, setara dengan kata pencalonan (proses menjadikan calon), pemanfaatan

(proses memanfaatkan) dan lain

sebagainya.11 KH. Imam Zarkasyi

memaknai institusi pesantren secara lebih sederhana. Menurut beliau, pesantren

adalah Lembaga Pendidikan Islam

dengan sistem asrama, dengan kiyai sebagai sentral figurnya dan masjid

sebagai titik pusat kejiwaannya.12

Ringkasnya, pesantren menurut

Zamakhsyari Dhofier minimal terdiri dari

8Ibid., h. 21-22.

9Binti Maunah, Tradisi Intelektual Santri dalam Tantangan

dan Hambatan Pendidikan Pesantren Masa Depan, (Yogyakarta: Teras, 2009), h. 17.

10Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan

Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia..., h. 61-62. 11Mohammad Tidjani Djauhari, Masa Depan Pesantren;

Agenda yang Belum Terselesaikan, (Jakarta: Taj Publishing, 2008), hlm. 70.

(4)

lima unsur pokok, yakni: kiyai, santri, pondok, masjid dan kitab klasik (atau lebih dikenal dengan istilah kitab kuning). Berbeda dengan Dhofier, Saridjo

menyebutkan bahwa unsur pokok

pesantren hanya tiga, yakni: a) kiyai (sebagai pendidikan dan pengajar), b) santri (yang belajar) dan c) masjid

(sebagai tempat belajar).13 Selain itu,

keunikan pola hidup pesantren dan posisinya sebagai sub-kultur, membuat

Abdurrahman Wahid (Gus Dur)

menyebutkan tiga elemen utama

pembentuk pesantren, yakni: a)

kepemimpinan pesantren yang mandiri, b) kitab-kitab yang menjadi rujukan umum dan berlangsung dari masa ke masa, dan c) sistem nilai yang digunakan

di lingkungan pesantren.14 Sedikit

berbeda dengan pendahulunya,

Mohammad Tidjani Djauhari

menyebutkan enam komponen dasar pesantren, yakni: a) kiyai yang ikhlas, disegani dan dihormati sebagai panutan seluruh santri, b) santri yang mukim di dalam pondok, serta percaya dan taat

sepenuhnya pada kiyai atau

pembantunya, c) jiwa dan tradisi

kepesantrenan yang bersumber dari ajaran Islam dan mendasari segenap kegiatan sehari-hari, d) pendidikan dan

pengajaran yang mengarah pada

terciptanya insan mukmin yang shalih

dan bertaqwa, e) masjid/mushalla

sebagai tempat kegiatan santri dan pondok sebagai tempat mukim mereka,

13Haidar Putra Daulay menjelaskan kelima unsur pokok tersebut dalam Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan

Pendidikan Islam di Indonesia..., h. 22 & 62-65.

14Nilai utama yang menjadi ciri tipikal sub-kultur pesantren sangat dipengaruhi oleh tradisi fiqh dan tasawwuf yang dominan dan diamalkan dalam bentuk amalan utama (fadlâil al-a’mâl). Lihat Abdurrahman Wahid, “Pesantren sebagai Sub Kultur” dalam M. Dawam Rahardjo (ed.), Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta: LP3ES, 1974), hlm. 39-60.

dan f) dukungan masyarakat, karena

pesantren berdiri atas inisiatif

masyarakat, dikelola bersama dan untuk

kepentingan masyarakat.15 Komponen

terakhir membuat pondok pesantren senantiasa bersikap kooperatif dengan dunia luar, terutama masyarakat sekitar pesantren.

Historisitas Hubungan Dunia Pesantren dan Masyarakat

Sistem pendidikan pesantren

hampir selalu diidentikkan dengan

keterbelakangan dan sulit berubah,

kendati salah satu prinsipnya adalah al-Muhâfadhah ‘alal Qadîm al-Shâlih wal Akhdz bil Jadîd al-Ashlah (Melestarikan hal-hal lama yang baik dan Mengadopsi hal-hal baru yang lebih baik). Kesan yang muncul kemudian bahwa pesantren lebih condong menerapkan prinsip pertama Muhâfadhah) daripada yang kedua (al-Akhdz).

Sejak 20 tahun yang lalu, Nurcholish

Majid menyebutkan bahwa

keterbelakangan tersebut muncul karena faktor kesenjangan antara pesantren dengan dunia luar dan mengakibatkan

kelambatan antisipasi terhadap

perkembangan modernitas dan

rasionalitas. Menurut Cak Nur, hambatan tersebut secara garis besar berhubungan erat dengan kondisi internal pesantren,

baik lingkungannya, santrinya

(penghuninya), kurikulumnya, model

kepemimpinannya maupun alumninya.16

Kesenjangan antara pesantren

dengan dunia luar tersebut patut

dipahami, karena sejak era penjajahan, dunia pesantren berada di bawah tekanan penjajahan dan berposisi pada garda

15Mohammad Tidjani Djauhari, Masa Depan Pesantren..., hlm. 27-28.

16Selengkapnya, baca Nurcholish Majid, Bilik-bilik

(5)

terdepan untuk mengantarkan bangsa Indonesia dari kungkungan penjajah. Bersama komponen bangsa yang lain, mayoritas para kiyai pemimpin pondok pesantren menjadi pejuang yang ikut serta melawan Belanda demi menggapai

kemerdekaan. Pasca kemerdekaan,

mereka kembali ke pesantrennya masing-masing untuk melanjutkan perjuangan di bidang pendidikan Islam, kendati sejak saat itu hingga datangnya era reformasi, perhatian pemerintah, baik orde lama maupun orde baru, sangat kurang -untuk tidak mengatakan tidak ada- terhadap

keberadaan pesantren.17 Perlakuan yang

tidak adil tersebut tercermin dengan lahir undang-undang sistem pendidikan yang merugikan dan tidak mengakomodasi kepentingan pesantren, seperti UU. No. 4

Tahun 1950 tentang Dasar-dasar

Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah, dan UU. No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (yang lama). Semua produk perundang-undangan tersebut tidak mencantumkan pengakuan formal

terhadap eksistensi pesantren dan

menafikan jasanya selama berabad-abad pada masa pembentukan (formasi) sistem

pendidikan nasional18 dalam skala luas

dan pendidikan Islam di Indonesia dalam skala khusus.

Karena itu, berdasarkan latar

belakang historis di atas, maka pesantren sebenarnya sangat kaya dengan nilai-nilai kebangsaan. Semangat nasionalisme dan patriotisme sejak awal tidak hanya

ditanamkan dalam kurikulum

pendidikan pesantren oleh para

pemangkunya, namun juga sekaligus dipraktekkan pada era kolonialisme

17Sutrisno, Pendidikan Islam yang Menghidupkan; Studi

Kritis terhadap Pemikiran Pendidikan Fazlur Rahman, (Yogyakarta: Kota Kembang, 2008, cet. ii), hlm. 27. 18Mohammad Tidjani Djauhari, Masa Depan Pesantren..., hlm. 80.

hingga sekarang. Selain itu, semangat pluralisme juga diterapkan oleh dunia pesantren, karena biasanya tidak ada pembatasan peserta didik, baik suku, ras atau bahkan agama. Lebih jauh lagi, pesantren sangat bersifat akomodatif terhadap perkembangan global, kendati tetap berpegang teguh pada tradisi fiqh

dan tasawwuf yang kental,19 terutama

pada kaidah Muhâfadhah ‘alal Qadîm al-Shâlih wal Akhdz bil Jadîd al-Ashlah, seperti yang telah diuraikan di atas. Karenanya, perubahan dan pembaharuan di dunia pesantren harus dilakukan secara gradual dan bertahap, sehingga membutuhkan waktu yang lama.

Dasar Filosofis Pendidikan Kepesantrenan

Kendati dipaparkan di atas bahwa

masing-masing pesantren memiliki

tipikalitas yang spesifik, baik dalam dimensi isi (materi ajar), kurikulum (termasuk di dalamnya metodologi), dan sistem administrasi dan manajemen kelembagaan, namun secara umum,

prinsip-prinsip pendidikannya dapat

dipahami, baik dengan cara-cara

generalisasi maupun prinsip-prinsip yang

langsung diketahui, karena sengaja

dikembangkan oleh pihak pesantren kepada para santrinya.20

Salah satu contohnya adalah Panca Jiwa Pondok Pesantren yang meliputi: Keikhlasan, Kesederhanaan, Berdikari, Ukhuwah Islamiyah dan Jiwa Bebas. Panca jiwa yang dicetuskan KH. Imam

Zarkasyi dapat dijelaskan sebagai

19Binti Maunah, Tradisi Intelektual Santri..., hlm. 21-22. 20Sumber: WARKAT (Warta Singkat) dalam Tiga Bahasa (Indonesia, Inggris, Arab) 1424 / 2003-2004. Penjelasan yang sedikit panjang tentang pemaknaan Panca Jiwa Pondok Pesantren tersebut dapat dibaca dalam Mohammad Tidjani Djauhari, Masa Depan

(6)

berikut:21 pertama, jiwa Ikhlas berarti Sepi Ing Pamrih (Tidak didorong oleh motif untuk meraih keuntungan tertentu), karena niat utama hanyalah ibadah semata. Jika prinsip ini menjadi semangat utama, maka akan tercipta situasi hidup yang harmonis antar semua unsur pesantren. Kedua, jiwa sederhana tidak berarti pasif (nrimo; B. Jawa), atau karena miskin atau melarat. Namun, sederhana

mengandung unsur kekuatan dan

ketabahan hati dalam menghadapi semua kesulitan. Ada jiwa besar, keberanian

menghadapi tantangan hidup dan

pantang mundur menghadapi segala

kesulitan. Ketiga, jiwa berdikari

(kemandirian) yang berarti bahwa santri

dan pesantren tidak pernah

menyandarkan hidupnya pada bantuan dan belas kasihan orang atau lembaga lain. ada usaha untuk belajar dan berlatih mengurus segala kepentingannya sendiri. Keempat, jiwa ukhuwah diniyah yang demokratis, yang bermakna suasana persaudaraan yang akrab, persatuan dan gotong royong. Susah dan senang

dirasakan bersama. Semangat ini

dilestarikan hingga ke luar pesantren,

sehingga dapat berpengaruh pada

persatuan umat di tengah-tengah

masyarakat. Kelima, jiwa bebas berarti bebas berpikir, berbuat, menentukan masa depan serta memilih jalan hidup di dalam masyarakat. Santri diharapkan memiliki jiwa besar dan optimis dalam

menghadapi kehidupan. Namun,

kebebasan ini harus tetap berada dalam garis-garis kedisiplinan dan tanggung jawab.

Karena berawal dari tradisi hindu-budha, keberadaan pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia dalam pandangan Nurcholish Majid tidak

21Tim Penyusun, KH. Imam Zarkasyi..., hlm. 427-429.

hanya mencerminkan prinsip keislaman, namun juga prinsip keaslian Indonesia (Indigenousity).22 Lebih lanjut, pada era 1930-an, Soetomo telah menyarankan anjuran bahwa landasan pemikiran pendidikan pesantren digunakan sebagai dasar pembangunan pendidikan nasional Indonesia, karena ia telah menjadi bagian

dari proses pembentukan identitas

budaya bangsa Indonesia dan

memainkan peran sebagai local genius.23

Era reformasi –tak pelak lagi- merubah perhatian masyarakat luas dan -tentunya- pemerintah terhadap pesantren, dari

institusi yang hampir-hampir tidak

diakui peran positifnya menjadi bentuk pelembagaan sistem pendidikan nasional yang lebih “berhak” untuk mendapatkan label asli Indonesia,24 sehingga ia layak untuk masuk ke dalam undang-undang, yakni: UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Pasal 30 ayat 4).25

Tentang prinsip indigenousity

pesantren ini, Azyumardi Azra menulis:26

“sebagai lembaga pendidikan indigenous, pesantren memiliki akar sosio-historis yang cukup kuat, sehingga membuatnya mampu menduduki posisi yang relatif sentral dalam dunia keilmuan masyarakatnya, sekaligus bertahan di tengah berbagai

22Nurcholish Majid, Bilik-bilik Pesantren..., hlm. 3. 23A. Malik Fadjar, “Sintesa Antara Perguruan Tinggi dan Pesantren; Upaya Menghadirkan Wacana Pendidikan Alternatif” dalam Nurcholish Majid,

Bilik-bilik Pesantren..., hlm. 122.

24Nurcholish Majid, Bilik-bilik Pesantren..., hlm. 93. 25Sebelum kelahiran undang-undang tersebut, perhatian pemerintah terhadap dunia pesantren dalam bentuk produk hukum baru dimulai dengan pembentukan Direktorat Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren pada Departemen Agama, berdasarkan SK Menteri Agama No. 1 Tahun 2001. Lihat Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam DEPAG RI, Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah; ..., hlm. 13.

26Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim dan

Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 87.

(7)

gelombang perubahan. Kalau kita menerima spekulasi bahwa “pesantren” telah ada sebelum masa Islam, maka boleh jadi ia merupakan satu-satunya lembaga pendidikan dan keilmuan di luar istana. Jika ini benar, berarti pesantren merupakan semacam lembaga counter culture (budaya tandingan) terhadap budaya keilmuan yang dimonopoli kalangan istana dan elite brahmana”.

Prinsip orisinalitas (indigenousity) keindonesiaan tersebut pada gilirannya melahirkan prinsip keberagaman dalam sistem pendidikan pesantren. Maka, pemetaan tipologis terhadap eksistensi pesantren di Indonesia bukan perkara mudah (untuk tidak mengatakan tidak mungkin) dilakukan. Karena masing-masing pesantren memiliki kekhususan tipikal yang berbeda satu sama lain. Bahkan, di masyarakat telah berkembang semacam opini umum peta keilmuan studi Islam di pesantren. Artinya, jika ingin belajar tafsir, maka seseorang bisa belajar ke pesantren A, atau jika ingin memperdalam Nahwu-Sharraf, maka dia dianjurkan untuk nyantri di pesantren B dan lain sebagainya. Untuk itu, seorang

santri tidaklah dipandang lengkap

ilmunya, atau dalam bahasa lain, kurang mendapatkan pengakuan sosial (social recognition), jika hanya belajar di pesantren tertentu, atau pada kiyai tertentu. Faktor tersebut mendorong

santri untuk melakukan perjalanan

keilmuan (rihlah ‘ilmiyyah) yang berguna tidak hanya untuk memperkaya ilmunya

sendiri, namun juga pengalaman

hidupnya, bahkan membuka ruang terjadinya pertukaran ilmu, di mana pada gilirannya, akan mendorong terjadinya pengayaan dunia keilmuan di lingkungan pesantren secara keseluruhan.

Jika prinsip orisinalitas atau

indigenousity keindonesiaan yang

me-lahirkan prinsip keberagaman dikaitkan dengan kondisi riil pesantren Mu’adalah, maka alangkah tidak mungkin, jika pada kelompok pesantren Mu’adalah tersebut diterapkan sistem evaluasi setara UN (Ujian Nasional) yang berparadigma

keseragaman,27 sementara fakta

menunjukkan bahwa masing-masing

pesantren memiliki keunggulan di bidang

keilmuan yang berbeda-beda dan

santrinya pun dapat berpindah-pindah dari satu pesantren ke pesantren lain untuk mendalami berbagai jenis ilmu-ilmu keislaman tersebut. Dalam istilah Azyumardi Azra, santri memainkan peran sebagai “pialang” ilmu (scholarly brokers) yang menerima, melakukan scholarly exchanges untuk kemudian menyebarkannya di kalangan masyarakat luas.28

Prinsip kedua dari pendidikan pesantren adalah prinsip amanat ganda. Cak Nur menegaskan bahwa pesantren seyogyanya mengemban amanat ganda, yaitu menjalankan misi dan fungsi moral

keagamaan dan ilmu pengetahuan.

Pengelola pesantren dituntut untuk

mengambil posisi serentak dan

proporsional, sehingga dapat

men-ciptakan keseimbangan yang baik dan

sesuai harapan. Jika keseimbangan

tercapai, maka efisiensi dan efektivitas dalam pengelolaan pesantren dapat diusahakan lebih cepat, baik yang berhubungan dengan penggunaan waktu (juga ruang), dana dan daya maupun hal-hal yang menyangkut isi (content) dan metodologi pembelajaran yang mengarah pada pembentukan watak. Keduanya

27Fakta yang ditemukan di lapangan, beberapa perguruan tinggi negeri (PTN) di dalam negeri hingga sekarang tetap tidak menerima alumni pesantren

mu’adalah sebagai mahasiswa mereka, karena tidak memiliki nilai UN (Ujian Nasional).

28Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim..., hlm. 90.

(8)

dilakukan dengan proses seleksi yang tepat setelah melihat dan membaca kondisi masyarakat dalam konteks

sosio-kulturalnya.29 Senada dengan pandangan

di atas, pendidikan pesantren juga tidak hanya berorientasi kepada isi (content oriented), namun juga pada orientasi kompetensi (compentence oriented), karena obsesi para santri dan kiyai adalah mempelajari ilmu yang bermanfaat bagi

negara, bangsa dan agama mereka.30

Selain itu, metodologi pembelajarannya pun berpusat pada santri (pupil centered) dan bukannya pada guru (teacher centered), seperti sorogan, wetonan-/bandongan, halaqah, santri musafir, belajar tuntas, musyawarah/bahtsul masâil, hafalan

(muhâfadhah), demonstrasi (praktek

ibadah) dan lain sebagainya.31

Masih dalam konteks prinsip

amanat ganda di atas, dinamika keilmuan

pesantren mesti dipahami dalam

kerangka fungsional kelembagaannya. Azyumardi Azra menyebutkan tiga fungsi pokok kelembagaan pesantren, yakni: a) transmisi keilmuan Islam (transmission of Islamic knowledge), b) pemeliharaan tradisi Islam (maintenance of Islamic tradition) dan c) pembinaan

calon-calon ulama (reproduction of ulama).32

Prinsip amanat ganda yang terkait dengan misi dan fungsi moral keagamaan

sekaligus ilmu pengetahuan dapat

terjawab dalam tiga kerangka fungsional kelembagaan pesantren.

Pondok pesantren didirikan oleh kiyai secara otonom dan jika memerlukan bantuan, maka pihak pertama yang

29Nurcholish Majid, Bilik-bilik Pesantren..., hlm. 116-117. 30Mohammad Tidjani Djauhari, Masa Depan Pesantren..., h. 82.

31Ibid, h. 83. Bandingkan dengan Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam DEPAG RI, Pondok

Pesantren dan Madrasah Diniyah..., hlm. 38-48.

32Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim..., hlm. 89.

dimintai bantuan adalah masyarakat sekitar. Karena itu, pengejawantahan dari

prinsip community based-education

(pendidikan berbasis masyarakat) secara sederhana telah diterapkan oleh para

pendiri pesantren tersebut, karena

pesantren juga berfungsi sebagai lembaga

pengabdian dan pemberdayaan

masyarakat.33 Untuk itu, pondok

pesantren tidak akan eksis dan dapat

mempertahankan keberadaannya

(sustainability) tanpa bantuan dan

dukungan masyarakat sekitar. Dengan demikian, otonomi dalam pendirian pesantren telah muncul setua pesantren

itu sendiri dan pada gilirannya,

melahirkan prinsip kemandirian dalam pengelolaan. Mohammad ‘Athiyah

al-Abrasy menegaskan bahwa

pengembangan sikap bebas dan

kemandirian merupakan salah satu prinsip utama pendidikan Islam, namun

harus tetap memperhatikan

kecen-derungan akal dan bakat yang

menitikberatkan pada pengembangan

akhlak.34 Paradigma pembebasan dalam

pendidikan Islam disebutkan oleh Abrasy dengan istilah Tarbiyah al-Istiqlâliyyah, yang dapat diterjemahkan

sebagai pendidikan kemandirian.35

Selain itu, Mukti Ali menyebutkan bahwa ciri pendidikan pesantren adalah

kemandirian, dalam arti memiliki

33Mohammad Tidjani Djauhari, Masa Depan Pesantren..., hlm. 81.

34Menurut Al-Abrasyi, kemandirian, kebebasan dan demokrasi menjadi bagian dari 12 pilar dasar pendidikan Islam, namun harus sesuai dengan tujuan pembentukan akhlakul karimah. Lihat Sutrisno, “Pengembangan Kreativitas dalam Pendidikan Islam Kontemporer: Telaah Pemikiran Muhammad Iqbal”, dalam Abd. Rahman Assegaf et.al., Pendidikan Islam

dalam Konsepsi dan Realitas, (Yogyakarta: LEMLIT UIN Sunan Kalijaga, 2006), hlm. 54 & 56.

35Achmad Warid, “Pembaharuan Pendidikan Islam (Studi Analisis Konsep dan Sejarah)” dalam Ibid., hlm. 122-124.

(9)

semangat untuk menolong diri sendiri.

Kemampuan untuk bertahan

(sustainability) pesantren dan tidak

tergoyahkan oleh tantangan apapun ditopang oleh keakraban hubungan

antara kiyai-santri-masyarakat.

Ketundukan santri pada prinsip dan ajaran agama yang diajarkan kiyai ikut

serta mendukung sustainabilitas

dimaksud.36 Maka, ketika PP. No. 55

Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan diputuskan oleh pemerintah dan mencakup kalangan

pesantren, dapat dimaknai sebagai

tantangan sekaligus peluang baru bagi

prinsip otonomi dan kemandirian

pesantren.

Di dalam pasal 14 ayat 1, PP. No. 55 Tahun 2007 ditegaskan bahwa pondok

pesantren merupakan bagian dari

pendidikan keagamaan Islam, selain madrasah. Namun pada pasal 13 ayat 3 dinyatakan bahwa pendirian pendidikan keagamaan wajib memperoleh izin dari Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk, serta memenuhi persyaratan pendirian yang ditentukan, seperti: a) isi pendidikan/kurikulum, b) jumlah dan

kualifikasi pendidik dan tenaga

kependidikan, c) sarana dan prasarana

yang memungkinkan terjadinya

pembelajaran, d) sumber pembiayaan untuk kelangsungan program pendidikan (sekurang-kurangnya 1 tahun), e) sistem evaluasi dan f) manajemen dan proses

pendidikan.37 Pasal inilah yang

dipandang bertentangan dengan prinsip

otonomi dan kemandirian pondok

pesantren. Karena selama ini, para kiyai selalu mandiri dalam mendirikan dan

mengelola pesantrennya. Jika dia

membutuhkan pertolongan, maka

36Binti Maunah, Tradisi Intelektual Santri..., hlm. 32. 37www.setneg.go.id diunduh tgl. 1 Juli 2010.

pertolongan pertama senantiasa

bersumber dari masyarakat, karena

pesantren tidak akan dapat

melangsungkan kegiatan edukatifnya

tanpa dukungan dari masyarakat.

Bahkan, Moh. Tidjani Djauhari

menyebutkan bahwa masyarakat

merupakan salah satu komponen penting

dari pondok pesantren.38

Kendati kemandirian di dunia pesantren mengandung salah satu makna kemampuan menolong diri sendiri, namun salah satu prinsip pendidikan pesantren adalah prinsip persaudaraan. Tradisi dan budaya tolong menolong, baik dalam kegembiraan maupun dalam

kesusahan ditumbuhkembangkan di

kalangan pesantren. Suasana penuh keakraban antara para insider (kiyai-santri) dan outsider pesantren mendukung terciptanya kondisi yang kondusif bagi

pelestarian prinsip persaudaraan.

Sementara pada saat yang berbeda, pola hidup dan tata pergaulan di kalangan

pesantren dipenuhi oleh prinsip

kesederhanaan. Namun, prinsip yang disebutkan terakhir sama sekali tidak mengurangi kesediaan masing-masing pihak untuk saling tolong menolong

dalam segala hal.39

Konsep Pembaharuan Pondok Pesantren

Maka, berdasarkan prinsip

al-Muhâfadhah ‘alal Qadîm al-Shâlih wal Akhdz bil Jadîd al-Ashlah (Melestarikan sesuatu yang baik dan mengambil sesuatu yang baru dan lebih baik), pembaharuan dalam pendidikan dan pengajaran di pondok pesantren menjadi sangat penting untuk

dapat segera menjawab tantangan

rasionalitas dan modernitas. Mukti Ali

38Mohammad Tidjani Djauhari, Masa Depan Pesantren..., hlm. 81.

(10)

menegaskan bahwa alasan dari adanya pembaharuan tersebut adalah:

1. Hubungan antara madrasah dan

pesantren sebagai lembaga yang

menaunginya,

2. Hubungan antara pendidikan dan

pengajaran pesantren dengan tujuan pembangunan nasional,

3. Letak geografis pesantren yang

mayoritas di luar kota dan desa-desa dan latar belakang para santri yang sebagian besar anak petani dan nelayan, sehingga karenanya perannya sangat strategis dalam pembangunan bangsa, dan

4. Faktor historis berupa jasa besar

pesantren dalam ikut serta

memperjuangkan dan

mempertahankan kemerdekaan

bangsa Indonesia.

Berdasarkan alasan-alasan tersebut,

maka sasaran yang harus segera

diperbaharui dalam sistem pendidikan dan pengajaran pesantren menurut Mukti Ali adalah:

1. Tranformasi mental dari mental

dibangun yang bersifat pasif menuju mental membangun yang bersifat aktif, dengan ciri-ciri, antara lain: sikap terbuka, kritis, melihat ke depan (future oriented), teliti dalam bekerja, penuh inisiatif dengan penggunaan metode-metode baru, mampu sabar dan tahan dalam bekerja serta dapat bekerja sama dengan lembaga atau pihak lain,

2. Pembaharuan kurikulum pondok

pesantren, yang berorientasi pada

kebutuhan masyarakat dan

peningkatan mutu guru, dan

3. melengkapi diri dengan pendidikan

dan pengajaran yang mengarah pada keterampilan kerja (vocational skill). Pembaharuan atas beberapa aspek di atas tidak mungkin dilaksanakan

sekaligus dan harus dilakukan

bertahap, karena didasarkan pada

hasil-hasil penelitian tentang

kebutuhan riil masyarakat, sehingga tentu akan memakan waktu yang

cukup panjang.40

Selain itu, pembaharuan juga

bermakna kepekaan dalam

mengantisipasi isu-isu strategis masa depan pendidikan Islam yang juga harus dimiliki pesantren dan pengelolanya. Ada enam isu strategis dalam skala

nasional yang harus diantisipasi

pesantren dalam konteks kelembagaan pendidikan, antara lain: a) mutu guru, b) pengembangan kurikulum, c) sarana dan pra-sarana, d) program WAJAR DIKDAS, e) penyetaraan pendidikan dan f)

akuntabilitas penyelenggaraan

pendidikan.41 Dari isu-isu strategis

tersebut, isu penyetaraan pendidikan merupakan salah satu isu penting yang

harus diperhatikan oleh kalangan

pengelola pesantren dengan lahirnya pesantren mu’adalah, yang diakui dan disetarakan ijazahnya oleh pemerintah. Mu’adalah; Pembaharuan Pesantren dalam Konstelasi Politik Pendidikan Nasional

Pesantren Mu’adalah adalah

kelompok pondok pesantren yang

ijazahnya mendapatkan pengakuan

kesetaraan dari pemerintah, baik

dipandang setara dengan SMP/MTs ataupun SMA/MA. Kendati pengakuan tersebut datang sangat terlambat -namun better late than none-, ijazah pondok

pesantren tersebut rata-rata telah

mendapatkan pengakuan kesetaraan dari perguruan tinggi Islam di luar negeri

40Sutrisno, Pendidikan Islam yang Menghidupkan; ..., hlm. 28-30.

41HM. Sulthon dan Moh. Khusnuridlo, Manajemen

Pondok Pesantren dalam Perspektif Global, (Yogyakarta: Laksbang Pressindo, 2006), hlm. 15-16.

(11)

yang terdapat wilayah di Timur Tengah, Afrika Utara dan Asia Selatan, seperti Universitas Al-Azhar (Kairo), Universitas di Mekah dan Madinah Saudi Arabia, Pakistan dan India, atau di negara-negara Islam lainnya.42 Bukti yang tidak dapat ditolak adalah banyak alumni dari pesantren Mu’adalah yang melanjutkan studinya ke perguruan-perguruan tinggi yang terdapat di negara-negara tersebut.

Secara historis, kelompok pesantren Mu’adalah bermula dari pengakuan “persamaan” (kesetaraan/ disamakan) dari DIRJEN Pembinaan Keagamaan Agama Islam No. E. IV/ PP.032/ KEP/64 dan 80/ 98 tertanggal 9 Desember 1998

kepada Pondok Modern Gontor

Ponorogo dan Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan Sumenep. Implikasi dari pengakuan tersebut, maka selama kurun waktu tiga tahun (terhitung sejak 1998-2000), kedua pondok pesantren tersebut diperkenankan menyelengga-rakan ujian akhir setara EBTANAS, yang diberi nama Ujian Ekstranie. Pengakuan terhadap dua pondok pesantren tersebut terus berlanjut berdasarkan Keputusan MENDIKNAS No. 105 dan 106/0/2000 tertanggal 29 Juni 2000. Pada tahun 2005, berdasarkan surat no. 2282/C.C4/ MN/ 2005 tertanggal 3 Mei 2005, jumlah pondok pesantren yang mendapatkan

42Sebagai contoh, ijazah TMI Al-Amien Prenduan Sumenep Madura telah mendapatkan pengakuan persamaan (mu’adalah) sejak tahun 1982 dari beberapa perguruan tinggi di luar negeri, antara lain: al-Jâmi’ah al-Islamiyyah Madinah (SK. No. 58/402 tertanggal 17/8/1402 H/1982 M), Jâmi’ah Umm al-Qurâ Makkah (SK. No. 42 tertanggal 1/5/1402 H/1982 M), Jâmi’ah al-Azhar Kairo Mesir (SK. No. 42 tertanggal 25/3/1997), International Islamic University Islamabad Pakistan (Surat Resmi tertanggal 11 Juli 1988) dan Universitas Az-Zaytûn Tunisia (Surat Resmi tertanggal 21 Maret 1994). Lihat Mohammad Tidjani Djauhari, Masa Depan

Pesantren..., hlm. 157.

status kesetaraan/disamakan tersebut

ber-jumlah 17 pondok pesantren.43

Saat ini, kelompok pesantren

tersebut telah mendirikan organisasi yang diberi nama FKPM (Forum Komunikasi Pesantren Mu’adalah) untuk menampung dan menyalurkan aspirasi mereka, pasca pemberlakuan UU Sisdiknas yang baru No. 20 tahun 2003, yang -baru- mengakui pondok pesantren sebagai bagian dari lembaga pendidikan Islam di Indonesia (Pasal 30 ayat 4) dan ditindaklanjuti dengan pendirian direktorat tersendiri di

dalam kementrian agama. Hingga

makalah ini ditulis, FKPM beranggotakan 32 pondok pesantren, antara lain: KMI Gontor (Ponorogo), KMI Pesantren Baitul Arqom (Jember), KMI Pesantren Darul Qolam (Tangerang), KMI Pesantren Nurul Ikhlas (Tanah Datar-Sumbar), KMI Pesantren Pabelan (Muntilan Mantingan), KMI Pesantren Raudhatul Hasanah

(Medan), MHS PP (Ciwaringin),

Pesantren Al-Basyariah (Bandung),

Pesantren Modern Al-Mizan (Lebak Banten), Pesantren Al-Amien

(Prenduan-Sumenep), Pesantren Al-Ikhlas

(Kuningan), Pesantren Darul Rahman (Jakarta), Pesantren Darunnajah (Jaksel), Pesantren Mathlabul Ulum (Sumenep), Pesantren Modern Al-Barokah (Nganjuk), Pesantren Ta’mirul Islam (Surakarta), PP Al-Anwar (Jateng), PP Al-Falah (Ploso-Kediri), PP Fithrah (Surabaya), PP Al-Hamidy Dirasatul Mu’allimin (Jatim), PP

Darul Munawaroh (NAD), PP

Darussalam (Kencong-Kediri), PP

Lirboyo Hidayatul Mubtadi’en (Jatim), PP Miftahul Mubtadiin (Nganjuk), PP Nurul Qodim (Probolinggo), PP Mathali’ul

43Sumber: WASILAH (Waraqah Sanawiyah Li Akhir

al-Dirosah) TMI (Putra-Putri) Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, Tahun Ajaran: 1425-1426 H (2004-2005 M). Dokumentasi surat-surat tersebut, dilampirkan di bagian akhir makalah ini.

(12)

Falah (Kajen Pati), PP Salafiyah Syafiyyah (Pasuruan), PP Sidogiri Madrasah Aliyah Miftahul Ulum (Jatim), PP Termas MA Salafiyah (Pacitan), TMI Pesantren Cibatu (Garut), TMI Darul Muttaqien (Bogor) dan TMI Pesantren Darunnajah Cipining (Bogor).

Forum yang dipimpin oleh Dr. Amal Fathullah Zarkasyi, M.A. ini secara rutin mengadakan pertemuan antar pondok pesantren dalam menyikapi isu-isu terbaru yang berkaitan dengan perhatian pemerintah terhadap pondok pesantren. Pada pertemuan terakhir

(tertanggal 3 Juli 2009), FKPM

mengusulkan perlunya Peraturan

Menteri Agama (PMA) tentang

Pengelolaan dan Status Kelembagaan Pesantren. Usulan tersebut disampaikan karena terdapat temuan tentang indikasi materi peraturan yang lebih rendah bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dan temuan lain, berupa keputusan sepihak dari beberapa PTN dalam negeri yang menolak menerima alumni pesantren mu’adalah untuk mengikuti SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri) karena tidak ada hasil UN (Ujian Nasional)

dalam nilai kelulusan mereka.44 FKPM

memandang penting usulan PMA

tentang Pengelolaan dan Status

Kelembagaan Pesantren, karena amanat UU. No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS pasal 30 ayat 4 menyatakan perbedaan yang tegas antara pendidikan pesantren dan pendidikan diniyah. Dasar hukum lain, seperti PP. No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan dan PP. No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP), juga menyebutkan diktum yang sama, sehingga diharapkan,

44www.gontor.co.id diunduh tgl. 4 Mei 2010.

pesantren mendapatkan pengakuan yang lebih layak dari pemerintah di masa mendatang.

Pada pertemuan tersebut, juga dibahas Permendiknas No. 5 Tahun 2007 tentang perubahan Permendiknas No. 2

Tahun 2007 tentang Ujian

Sekolah/Madrasah Tahun 2006/2007, yang mestinya tidak mengharuskan pesantren mengikuti UN, sesuai dengan PP. No. 19 Tahun 2005 tentang SNP di

atas, kendati tetap mendapatkan

pengakuan dari pemerintah dengan berdasarkan rekomendasi BSNP yang telah didapatkan pesantren mu’adalah tersebut.45

Dengan terbentuknya FKPM

tersebut, tampak bahwa respon dunia pesantren terhadap era reformasi dan

modernisasi pendidikan Islam

kontemporer di Indonesia tampak

berjalan sejalur dengan pola-pola

pembaruan sebagai berikut: a)

pembaruan substansi atau isi pendidikan pesantren dengan memasukkan subyek-subyek umum dan vokasional, b)

pembaruan metodologi, dengan

masuknya sistem klasikal dan

penjenjangan, c) pembaruan

kelembagaan, seperti pola kepemimpinan pesantren dan tata kelola kelembagaan (yang biasanya berbentuk yayasan), d)

pembaruan fungsi, dari fungsi

kependidikan Islam (Agama, Moralitas dan Ilmu Pengetahuan) menjadi fungsi

sosial-ekonomi.46 Pembaruan

kelembagaan -seperti yang tertulis dalam poin c- juga bisa bermakna pembaruan

manajemen yang berkaitan dengan

keterhubungan antara sistem lembaga

pendidikan dengan bidang-bidang

lainnya di dalam pesantren, termasuk

45Ibid.

46Azyumardi Azra dalam pengantar buku karya Nurcholish Majid, Bilik-bilik Pesantren..., hlm.xxiv.

(13)

juga penataan dan pengelolaan sistem administrasi pesantren yang berpegang

teguh pada prinsip manajemen

pendidikan.47 Pembaruan kelembagaan

yang terjadi di dunia pesantren akhir-akhir ini merubah posisi pesantren dari kepemilikan kiyai secara pribadi menjadi

kepemilikan yang bersifat kolektif,

termasuk dalam pola kepemimpinannya dari pribadi ke yayasan atau badan hukum tertentu (Pondok Modern Gontor menyebutnya dengan istilah Badan

Wakaf). Perubahan seperti ini

memudahkan kalangan pesantren dalam menerima bantuan, baik pemerintah

maupun LSM (Non-Governmental

Organization) dari dalam ataupun luar negeri yang menaruh perhatian terhadap

eksistensi pesantren. Bantuan dari

lembaga formal tersebut seringkali

menuntut pertanggungjawaban yang

disesuaikan dengan mekanisme

organisasi modern dan relatif berbeda dengan penerimaan shadaqah dan infâq yang biasa diterima oleh kalangan pesantren.48

Status Mu’adalah antara Pembebasan dan Pengebirian

Secara politis, Mu’âdalah memang bermakna pengakuan terhadap eksistensi institusi pendidikan Islam yang bernama pesantren, dengan segala kelebihan dan kekurangannya dari pihak pemerintah, kendati pengakuan itu sangat terlambat. Berbagai produk perundang-undangan juga telah ditetapkan pemerintah dalam rangka mendukung proses tersebut.

Namun demikian, jika tidak

diwaspadai, produk

perundang-undangan tersebut dapat menjadi

47Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan

Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia..., hlm. 58-59. 48Nurhayati Djamas, Dinamika Pendidikan Islam di

Indonesia..., hlm. 22.

semacam bentuk pengebirian terhadap jati diri pesantren. Misalnya, PP. No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan dapat saja menjadi pendorong modernisasi dan pembaharuan di dunia pesantren di satu sisi, sekaligus menjadi “alat” pengebirian pesantren di sisi lain. Seperti yang telah disebutkan di atas, ketika pendirian pesantren masih mengharuskan adanya izin dari pemerintah, maka hal tersebut bertentangan dengan prinsip otonomi dan kemandirian pondok pesantren, terutama jika dikaitkan dengan status pesantren sebagai lembaga pendidikan berbasis masyarakat (community based-education).

Selain itu, Mu’adalah yang bermakna

penyetaraan, tidak boleh menjadi

penyeragaman. Karena pada hakikatnya,

salah satu ruh pesantren adalah

kemandirian (berdikari) dalam segala hal

dan pada gilirannya, melahirkan

keberagaman di dunia pesantren,

sehingga sudah dapat dipastikan tidak ada dua pesantren yang persis sama satu sama lain. Jika beberapa PTN yang “sudah mapan” tidak mau menerima alumni pesantren Mu’adalah karena tidak punya nilai UN (Ujian Nasional),49 maka cara berpikir “penyeragaman” para pengambil kebijakannya yang perlu

dibongkar, karena masing-masing

pesantren memang diciptakan berbeda untuk dapat memainkan peran yang berbeda-beda pula di tengah-tengah masyarakat. Kesadaran historis para pengambil kebijakan perlu ditingkatkan untuk melihat fakta sejarah tentang

49Apalagi, pelaksanaan ujian nasional (UN) sebenarnya sudah tidak dapat dilanjutkan berdasarkan keputusan Mahkamah Agung tertanggal 14 September 2009 (No. Perkara 2596 K/ Pdt/ 2008), yang menolak Kasasi Mendiknas tentang pelaksanaan UN. Lihat www.mahkamahagung.go.id, diunduh tanggal 5 Mei 2011.

(14)

bagaimana peran pesantren bagi perjuangan kemerdekaan bangsa dan bagaimana peran sebagian tokoh nasional yang notabene alumni pesantren. Pada akhirnya, harus ada sosialisasi lebih lanjut dan -kalau perlu- tekanan politik

dari pemerintah (dalam hal ini

Kementrian Pendidikan Nasional dan Kementrian Agama) kepada PTN-PTN yang tidak mau menerima alumni pesantren Mu’adalah tersebut, dengan tujuan agar alumni pesantren tidak lagi

mendapatkan diskriminasi dalam

mendapatkan hak mereka untuk

melanjutkan studi. Karena kualitas

mereka telah terbukti tidak kalah dengan alumni sekolah formal lainnya.

Penutup

Hingga saat ini, harus diakui bahwa penelitian tentang pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, masih terfokus pada

dimensi tradisionalitasnya. Politik

pendidikan bangsa Indonesia-terutama

menyangkut perhatian pemerintah-

dalam memandang pendidikan pesantren

barulah berubah sejak era reformasi,

termasuk penyusunan produk

per-undang-undangan yang mengakui dan mendukung eksistensinya. Kendati ter-lambat dan didahului perguruan tinggi dari luar negeri, mu’âdalah (pengakuan kesetaraan/disamakan) dari pemerintah tetap menyisakan sejumlah persoalan, ketika alumni pesantren mu’adalah tersebut berkeinginan untuk melanjutkan pendidikan tingginya di dalam negeri.

Karena itu, FKPM dapat dipandang sebagai motor penggerak pembaharuan pesantren, terutama di kalangan kelom-pok pesantren mu’adalah. Eksistensinya sama sekali tidak mengurangi

prinsip-prinsip dasar filosofis yang telah

mengakar kuat dalam tradisi pesantren

dan sistem pendidikannya, seperti

prinsip orisina-litas (indigenousity) ke-indonesiaan, prinsip amanat ganda serta prinsip otonomi dan kemandirian, karena secara statistik, perkembangan kuantitas pesantren dan jumlah santrinya di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Wa Allāh a’lam bi al-sawāb

Referensi

Dokumen terkait

Untuk material dominasi material Keramik dan Beton yaitu 40%, 30% dengan karakteristik tidak menghantarkan dan menyerap panas masuk ke dalam ruang sehingga dapat

Oleh karena itu, dibutuhkan penelitian untuk menemukan sistem yang tepat agar robot dapat dikendalikan dan bergerak baik secara manual atau secara otomatis untuk melakukan

Bank Perkreditan Rakyat Permata Artha Surya memiliki sistem wewenang dan prosedur pencatatan yang sederhana, namun masih dapat menunjang pengendalian intern.Seperti yang

Untuk itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh perendaman kombinasi ekstrak daun binahong dan bawang putih terhadap kelulushidupan dan gejala klinis ikan lele

• Seluruh alat sambung kabel penggantung vertikal (sadel dan klem) di bentang tengah jebol dan jembatan runtuh, selama kurang lebih 30 detik.... Kondisi setelah

Erken Devir Osmanlı Mimarisinin abidevi eserlerine nazaran, küçük ölçekli fakat tek kubbeli cami ve mescitler içerisinde yüksek ve derin kubbesiyle gösterişli ve

Berdasarkan definisi-definisi kepemimpinan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kepemimpinan adalah bagian yang dianggap penting dalam manajemen organisasi, yang dimana

All 4 -digit positive integers with the same four digits as in the number 2013 are written on the blackboard in an increasing order.. The diagram shows a shaded quadrilateral