• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kelompok masyarakat, mempengaruhi dan dipengaruhi oleh aspek-aspek sosiokultural.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kelompok masyarakat, mempengaruhi dan dipengaruhi oleh aspek-aspek sosiokultural."

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Defenisi Agama Menurut Sosiologi

Telah ditemukan bahwa agama adalah sesuatu yang kompleks, berbagai macam ragam, mengandung berbagai aspek: yang gaib dan yang nyata, material dan spiritual, sosial dan individual, dihayati dengan berbagai penekanan oleh individu dan kelompok masyarakat, mempengaruhi dan dipengaruhi oleh aspek-aspek sosio-kultural. Karena itu pendefenisiannya oleh seorang ahli atau suatu bidang ilmu dan sudut pandang tertentu, seperti secara sosiologis, tidaklah mengungkapkan apa itu agama menurut keadaan sebenarnya, tetapi lebih merupakan persepsi yang mendefinisikannya terhadap ciri utama (Agus,2003 :38 ).

Auguste Comte (1798-1858) adalah yang mengunkapkan pengertian agama ketika membicarakan evolusi pemikiran manusia. Dari teori trios etatsnya (tiga tahap pemikiran manusia) dapat dipahami bahwa comtememahami agama sebagai jawaban dari cara berpikir manusia dan masyarakat yang cenderung mencari jawaban absolut dari berbagai masalah alam dan kehidupan.

Defenisi agama yang dipakai sosiologi adalah defenisi yang empiris bukan defenisi yang evaluatif. Dengan kata lain sosiologi hanya dapat memberikan deskripsi yaitu menggambarkan apa adanya yang mengungkapkan apa yang dimengerti dan dilami oleh para penganutnya. Manusia percaya bahwa agama memiliki kesanggupan yang defenitif dalam mendorong manusia.

(2)

Agama secara umum dan mendasar dapat didefenisikan sebagai perangkat aturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia gaib khususnya manusia dengan Tuhannya, mengatur manusia dengan manusia lain dan mengatur hubungan manusia dengan lingkungannya. Tambah lagi agama dapat didefenisikan sebagai sistem keyakinan yang dianut dan tindakan-tindakan oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam menginterpretasikan dan memberikan respon terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai yang baik dan suci ( Robertson,1993 :V-VI).

Agama sebagai sistem keyakinan dapat menjadi inti dari sistem-sistem nilai yang ada dalam kebudayaan suatu masyarakat bahkan bisa menjadi pendorong bahkan penggerak serta pengontrol masyarakat yang meyakini ajaran agama tertentu, masyarakat tersebut idealnya akan berjalan sesuai dengan agama itu. Landasan keyakinan agama ada pada konsep suci (sacred), realita dunia (profane) dan yang gaib (supernatural). Menurut Durkheim (Turner, 1991: 31) dunia dibagi menjadi dua golongan atau dominan; yang pertama, semua yang dianggap sacred dimana berisikan unsur distintiktif pemikiran agama, kepercayaan mite, dogma dan legenda yang menjadi representasi hakikat hal-hal yang sacred. Kedua adalah semua yang profane yaitu kebaikan dan kekuatan yang dilekatkan kepadanya atau hubungannya satu sama lain dan termasuk hubungan dengan profane. Setiap orang yang beragama akan meyakini itu sebagai sebuah prinsip keyakinan.

Aspek sosiologis agama menampilkan dalam sorotan metodologis lain yaitu agama adalah bagian dari kebudayaan manusia dan agama sebagai institusi sosial. Secara garis besar sosiologi memandang agama sebagai suatu jenis sistem sosial tertentu, yang dibuat oleh penganut-penganutnya. Sedangkan kebudayaan sosiologi

(3)

melihat sebagai keseluruhan pola kelakuan lahir dan batin yang memungkinkan hubungan sosial antar anggota-anggota masyarakat.

Agama sebagai suatu sistem sosial didalam kandungannya merangkum suatu kompleks pola kelakuan lahiriah dan batin yang ditaati penganut-penganutnya. Dengan cara itu pemeluk agama baik secara pribadi maupun bersama sama berkontak dengan yang suci. Mereka menggunakan pikirannya, isi hati dan perasaannya kepada Tuhan menurut pola tertentu dan lambang tertentu. Agama terkena proses sosial dan institusionalisasi dan menggunakan mekanisme kerja yang berlaku.

Agama Parmalim dalam penelitian ini dianalisis dari aspek keberadannya dalam masyarakat melalui aspek sosiologis. Dimana aliran kepercayaan parmalim adanya proses sosial menggunakan mekanisme kerja yang berlaku sebagai suatu agama. Dalam melaksanakan ritual keagamaan mereka menggunakan ungkapan religius perorangan seperti menggunakan doa dengan sikap tubuh. Ungkapan religius kolektif beserta lambang-lambang pada agama ini juga ada.

Pemeluk parmalim percaya penuh dan menghormati pimpinan parmalim sebagai pengontrol dalam kehidupan beragama. Kekuasaan pimpinan parmalim dilegitimasi dengan mengacu pada adat istiadat dan tradisi yang diturunkan kepada keturunan pimpinan Parmalim selanjutnya yaitu keturunan dari Raja Marnangkok Naipospos. Hal ini dapat dilihat dari dari konsep dominasi legitimate weber. Konsep bahwa kekuasaan dilegitimasi dengan mengacu pada adat istiadat dan tradisi, atau pada klaim-klaim kharismatik pimpinan personal, atau pada prosedur-prosedur legal rasional administrasi politik.

(4)

Freud (1968) melihat tidak ada otoritas yang puas begitu saja atas ketaatan atau kepatuhan yang hanya muncul berdasarkan common sense, rasa pantas atau penghargaan belaka: kekuasan akan selalu menimbulkan kepercayaan dikalangan pengikutnya untuk meyakini legitimasi yang dia miliki, dan ini ditempuh dengan cara mentransformasikan disiplin-disiplin menjadi sikap tunduk dan patuh terhadap kebenaran yang diwakili. Weber menemukan tiga tipe otoritas yang legitimate. Juga membedakan kekuasaan secara umum dengan konsep dominasi yang lebih spesifik. Dapat dilihat sketsa teori kepatuhan berikut ini paralel dengan analisis dominasi legitimate yang lebih luas lagi dan menghasilkan model dasar-dasar kepatuhan yang lebih abstrak:

Dominasi Kepatuhan

Tradisi Empatik

Kharisma Inspirasional

Birokratis Rasional

Kepatuhan terhadap dominasi yang berjalan merupakan fenomena sosial yang sangat kompleks; motivasi untuk mematuhi bukanlah sekedar persoalan persepsi terhadap pemerintah yang legitimate dari pihak yang lebih superior semata. Tapi bisa saja karena kepatuhan yang apatis, pragmatis, rasa takut terhadap hukuman atau menganggapnya wajar. Weber menganggap dominasi legal-rasional dan kepatuhan

(5)

rasional perlahan lahan telah menggantikan tradisi dan karisma sebagai prinsip dasar kontrol politik dalam kapitalisme (Turner, 1991: 320).

2.2. Relasi Agama dan Negara

Diskursus tentang agama, politik dan Negara telah berlangsung cukup lama di negeri ini. Secara khusus dalam beberapa tahun terakhir ini, menjadi hangat dibicarakan, terutama berkaitan dengan fenomena agama dan politik yang membawa bendera agama, muncul kerusuhan kerusuhan sosial yang membongkar hubungan agama, politik dan Negara (Mulkhan 2002: vi)

Menguatnya diskursus agama, politik dan Negara yang telah berlangsung cukup lama tersebut, setidaknya karena alasan bahwa ketiga entitas ini sama sama memiliki “pengikut” dan kepentingannya masing masing. Agama dianggap sebagai entitas yang memiliki nilai sacral, karena itu memang acapkali diagungkan, diunggulkan untuk menjadi semacam pembawa “petuah” sakti bagi para pengikutnya. Sakralisasi agama amat berperan dalam membangun sebuah masyarakat yang percaya pada dimensi transcendental, keilahian.

Sementara itu, politik semacam kekuatan pemaksa yang sangat berpengaruh dalam aktivitas kenegaraan. Dengan politik orang dapat mengatur orang lain, karena dia memiliki kekuasaan (kuasa). Sedangkan Negara dengan model dan caranya sendiri memiliki kekauatan yang cukup dasyat dalam mengatur masyarakatnya sebagai dasar legitimasi kekuasaan politik yang dimiliki. Pemaksaan peraturan dan kebijakan kepada rakyatnya secara politik dibenarkan, karena disanalah salah satu sumber utama legitimasi politik yang senantiasa harus dijaga.

(6)

Tiga entitas yang sama berkepentingan terhadap umat/masyarakatnya itu sering menjadi rebutan, sehingga tak jarang terjadi bentrokan-bentrokan kepentingan yang sama sama menyesatkan masyarakat. Masyarakat yang mestinya mendapat manfaat atas agama, malah acapkali “dikorbankan” atas nama agama demi interest atas politisi, sehingga memang seringkali sarat dengan muatan muatan politik. Agama tidak memberikan ruang pada publik untuk mendapatkan diri sebagai pihak yang memang seharusnya dilindungi dan diberdayakan. Pendek kata, agama oleh para politisi biasanya dibuat tak berdaya dan diperalat. Inilah yang kerapkali menjadi lahan paling subur terjadinya politisasi agama, bahkan agama kemudian diredusir hanya sebagai justifikasi politik sehingga agama tak lebih sebagai ideologi politik.

Seperti telah disinggung diatas, Negara dengan segala kepentingannya terhadap warga Negara, melakukan pemaksaan pemaksaan dan itu disahkan oleh kebijakan politik yang berlangsung. Pemaksaan-pemaksaan yang dilakukan oleh Negara bisa dibilang sebagai turning point bagaimana Negara menguasai warganya. Namun hal ini jarang disadari oleh sebagian besar warga Negara kita. Ini dikarenakan proses pendidikan politik bangsa ini memang telah lama berhenti. Dengan mengatasnamakan kepentingan publik, Negara tak jarang berlaku menindas dan mengeberi rakyatnya. Negara tidak lagi berperan sebagai pelayanan publik (rakyat), namun menempatkan diri sebagai penguasa tunggal setelah agama. Dan politik sebagai alat atau sarana yang paling ampuh untuk itu.

Sekarang kita secara khusus membicarakan pilihan-pilihan yang perlu dipikirkan secara serius dalam bernegara. Pilihan-pilihan ini didasarkan pada adanya

(7)

kecenderungan yang sama-sama kuatnya dalam menentukan model kontruksi sebuah Negara.

Politisasi agama jelas tidak dikehendaki oleh mereka yang meyakini bahwa agama bukanlah sekedar alat legitimasi politik kekuasaan tertentu, karena itu mesti dihentikan. Namun tidak demikian buat merekayang memang memahami bahwa agama memang merupakan alat paling ampuh untuk menggalang kekuatan masyarakat, apapun maksud politis dibelakangnya. Dengan pertimbangan semacam itu, maka dalam kontruksi masyarakat yang pluralistic kiranya menjadi penting untuk dikemukakan bagaimana seharusnya negeri ini diusung dimasa depan.

2.3.Fungsi Agama

Durkheim dalam Turner menyatakan bahwa agama bisa bertahan karena dia bisa memenuhi tuntutan fungsi-fungsi sosial tertentu yaitu, meneguhkan keyakinan bersama melalui praktek-praktek ritual. Kebenaran agama, dengan demikian adalah kebenaran sosiologis dan acuan dari simbol-simbol religius bukanlah Tuhan totemik, tapi dalam masyarakat itu sendiri. Jadi sebenarnya keyakinan para pengikut agama merupakan satu kekeliruan, karena obyek penyembahan dan peribadatan yang sebenarnya adalah kelompok sosial itu sendiri. Durkheim masih tertahan pada komitmen rasionalitas terhadap superioritas kriteria kebenaran ilmiah, karena dalam menjelaskan agama, Durkheim menyatakan bahwa keyakinan yang pasti merupakan reperentasi realitas empiris yang terdistorsi, dan pada saat ini realitas tersebut bisa dianalisis dengan sains empiris yaitu sosiologi (Turner, 1991: 418).

(8)

Secara kultural, agama melayani kebutuhan-kebutuhan manusia untuk mencari kebenaran dan mengatasi serta menentukan berbagai hal buruk dalam kehidupannya (Robertson,1993 :X). Manusia akan memberikan satu fungsi tertentu pada agama, fungsi-fungsi itu adalah:

a. Fungsi Edukatif, dimana agama berfungsi dalam mengajar dan membingbing. Lain dari instansi (instituisi profan) agama dianggap sanggup memberikan pengajaran yang otoritatif, bahkan dalam hal-hal yang sacral tidak dapat salah.

b. Fungsi Penyelamatan, yaitu agama sebai tempat mencapai cita-cita tertinggi yaitu jaminan keselamatan baik dalam hidup sekarang ini maupun sesudah mati.

c. Fungsi Pengawasan sosial (social kontrol), agama merasa ikut bertanggung jawab atas adanya norma-norma susila yang baik diberlakukan atas masyarakat manusia umum

d. Fungsi Memupuk persaudaraan, melalui perdamaian agama dibumi yang didambakan persaudaraan dan perdamaian adalh suatu yang jelas.

e. Fungsi Transformatif, agama dapat mengubah bentuk kehidupan masyarakat lama dalam bentuk kehidupan baru. Hal ini termasuk mengganti nilai-nilai lama dengan menanamkan nilai nialai baru.

Pembentukan agama Parmalim merupakan suatu kebutuhan dari para penganutnya, mereka percaya bahwa manusia tidak terlepas dari masalah masalah di kehidupannya. Maka melalui agama inilah para penganutnya menghadapi dan

(9)

menjalankan kenyataan hidup sesuai kehendak penciptanya. Agar masing-masing manusia bisa hidup rukun bersama (Siahaan, 1995: 62).

2.4. Evolusi Agama

Agama yang berkembang dimasyarakat saat ini berbeda dengan agama yang dianut masyarakat pada jaman dahulu. Apabila mengikuti sejarah agama menurut teori evolusi maka akan dipahami perkembangan bentuk-bentuk keagamaan dari bentuk yang masih sederhana hingga bentuk yang modern. Sesuatu yang berevolusi itu bukanlah kondisi-kondisi akhir, bukan Tuhan, dan juga bukan manusia dalam pengertian yang paling luas. Bukan manusia yang beragama, dan bukan struktur situasi keberagaman akhir manusia yang berevolusi, melainkan agama sebagai sistem simbol. R.N. Bellah mencatat lima tahap evolusi agama , hal tersebut dapat dilihat pada lima tahap evolusi agama berikut.

1. Agama Primitif

Merupakan agama yang berisi dengan mitos dan mahkluk spiritual. Bellah menguraikan tentang derajat yang paling dunia mitos dihubungkan dengan cirri-ciri yang rinci tentang derajat yang paling tinggi kemana dunia mitos dihubungkan dengan ciri-ciri yang rinci tentang dunia actual. Bukan hanya setiap klen dan kelompok lokal yang dirumuskan dalam hubungan dengan tokoh-tokoh nenek-moyang dan peristiwa-peristiwa pemukiman dahulu kala, tapi juga setiap gunung, batuan, dan pohon dijelaskan dalam hubungan dengan mahkluk-mahkluk mitos. Mahkluk-mahkluk spiritual itu bukanlah

(10)

dewa-dewa karena tidak mengusai dunia dan tidak disembah. Agama primitif dikenal tidak mempunyai spesialisasi: tidak ada padre, tidak ada jemaah, dan tidak ada penonton. Agama dan masyarakat berbaur menjadi satu.

2. Agama Budaya/Purbakala

Agama ini dikarakteristikkan oleh munculnya dewa-dewa, padre-padri, ibadah, kurban dan sering, konsepsi-konsepsi tentang kerajaan Tuhan. Mahkluk-mahkluk mitos atau spiritual yang dikarakteristik dalam agama primitif ditranformasikan menjadi dewa-dewa: mahkluk-mahkluk yang diobyektifkan yang mengusai dunia dan patut dihormati dan disembah. Agama ini pada umumnya dijumpai pada masyarakat yang mempunyai stratifikasi sosial, maka agama menjadi terjalin dengan erat dengan sistem staratifikasi. Kelompok-kelompok status atau biasanya menuntut status religius yang superior, yang sering menuntut sebagai keturunan ilahi. Agama ini dikenal dengan kepribadian yang terspesialisasi dan legitimasi kepemimpinan politik mereka dalam hubungan dengan keagamaan.

3. Agama Historis

Yaitu agama-agama besar didunia yang timbul pada suatu saat selama atau sesudah masa seribu tahun (milleniun) pertama sebelum kristus. Ciri-ciri pokok agama ini adalah dunia lain (otherworldliness) mereka, penolakan mereka terhadap nilai sekuler dan penetapan dunia eksistensi yang lain (kehidupan dikemudian hari) yang adalah superior

(11)

dalam nilai terhadap dunia sekuler. Tujuan utama agama ini adalah keselamatan (salvation), dan tindakan religius yang paling penting ialah tindakan mempersiapkan jalan untuk keselamatan. Berdasarkan hal tersebut, agama-agama historis itu menempatkan tekanan yang besar atas alam dunia sekuler yang pada dasarnya berdosa dan menekankan perlunya penghindaran diri religius dari dunia sekuler itu. 4. Agama Modern Awal

Lahir dengan adanya reformasi Protestan, yang meneruskan pembedaan yang dilakukan agama-agama historis diantara dunia sekulerdan dunia lain itu, maupun perhatiannya yang kuat akan keselamatan, tetapi mengubah cara mencapai keselamatan itu. Bukannya dengan menghindar dari dunia ini, keselamatan itu dapat dicapai melalui keterlibatan lansung dalam masalah dunia. Oleh itu agama modern awal menolak tema penolakan dunia agama-agama historis.

5. Agama Modern

Merupakan suatu bentuk kehidupan keagamaan dimana konsep-konsep dan ritual-ritual agama tradisional yang sekurang-kurangnya sebagian telah digantikan dengan kekhawatiran etik humanistic dan berbagai hal yang sekuler.

Agama Parmalim telah mengenal konsep Tuhan, yang mengusai dunia dan yang patut dihormati dan disembah. Mereka menyembah dan melakukan ibadah yang dipimpin langsung oleh keturunan pemuka agama yang dianggap memiliki status

(12)

religius dan superior, dan sering menuntut sebagai keturunan ilahi. Melalui gambaran Parmalim sebagai penganut Ugamo Malim, agama yang mereka anut sangat erat dengan nilai luhur nenek-moyang dan kebudayaan yang telah diturukan kepada mereka. Agama Parmalim ditempatkan sebagai agama kebudayaan, hal ini bisa dilihat dari karakteristik oleh munculnya dewa-dewa, ibadah, kurban, dan konsepsi-konsepsi tentang kerajaan Tuhan.

2.5. Agama Parmalim dan Kebudayaan Batak Toba

Sebagai satu kesatuan etnik, orang-orang Batak Toba mendiami suatu daerah kebudayaan (culture area) yang disebut dengan Batak Toba. Mereka disebut orang Toba. Menurut Vergouwen, masyarakat Batak Toba mengenal beberapa kesatuan tempat yaitu: (1) kampung, lapangan empat persegi dengan halaman yang bagus dan kosong di tengahtengahnya, (2) huta, “republik” kecil yang diperintah seorang raja, (3) onan, daerah pasar, sebagai satu kesatuan ekonomi, (4) homban (mata air), (5) huta parserahan, kampong induk dan lain-lain (Vergouwen 1964:119-141). Pada masa kini, wilayah kebudayaan etnik Batak Toba adalah daerah yang sebagian besar termasuk Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Humbang Hasundutan, dan Kabupaten Samosir, yang mengitari Danau Toba. Letaknya di sebelah tenggara Kota Medan. Luas daerah kebudayaan Batak Toba adalah 10.605 km². Umumnya tanah kawasan ini terletak pada ketinggian 70-2.300 meter di atas permukaan laut. Posisinya adalah berada pada 2º-3º Lintang Utara dan 98º-99,5º Bujur Timur. Kawasan di seluruh wilayah Toba dapat dikelompokkan pada dua

(13)

daerah yang luas yaitu kawasan yang terletak dikawasan Pulau Samosir dan diluar kawasan Pulau Samosir.

Adat istiadat Batak Toba merupakan sistem nilai budaya, pandangan hidup dan ideologi. Sistem nilai budaya merupakan tingkat yang paling abstrak dari adat istiadat. Didalam masyarakat Batak Toba itu sendiri nilai-nilai budaya merupakan konsep-konsep mengenai apa yang hidup didalam alam pikirannya mengenai apa yang mereka anggap bernilai, berharga dan penting dalam hidup, sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberi arah dan orientasi.

Masyarakat batak Toba, baik secara peribadi maupun berkelompok mengakuiadanya kuasa di luar kuasa manusia. Dalam menghormati kuasa tersebut mereka mempunyai cara penyembahan yang berbeda sesuai dengan kesanggupan memahamimakna kuasa tersebut. Motif setiap penghormatan ditujukan untuk mendapatperlindungan agar terhindar dari bahaya, sama ada bahaya alam, penyakit menularmahupun serangan binatang buas. Demikian pula untuk maksud mendapat restu, baikdalam perkawinan maupun usaha mencari rezeki dilaksanakan menerusi pemujaan.

Dalam masyarakat Batak Toba mayoritas menganut agama Katholik dan Protestan, akan tetapi selain agama tersebut ada agama yang masih diikuti oleh sebagian besar masyarakat Batak Toba yaitu Parmalim. Religi-religi ini sering pula disebut agama Si Raja Batak, karena religi ini diyakini oleh sebahagian besar orang Batak Toba, dianut oleh Raja Si SingamangarajaXII. Mengikut Batara Sangti didirikannya religi-religi tersebut adalah sengajadiperintahkan oleh Si

(14)

Singamangaraja XII, sebagai gerakan keagamaan dan politik, yaituParmalim; dan sebagai gerakan ekstrimis berani.

Dalam agama Parmalim terdapat adanya pengakuan terhadap konsep-konsep Debata Natolu, yang diciptakan oleh Mulajadi Nabolon dan diberi wewenang sebagai penguas cosmos. Hal ini terlihat pada setiap upacara religi magis lainnya, Debata Natolu dipanggil dan dipuja, hal itu berarti memanggil atau memuja Mulajadi Nabolon sendiri (Vergowen, 1986).

Jadi Debata Natolu adalah penguasa yang menciptakan dan mengatur ketertiban macro cosmos atau tri tunggal benua. Kebudayaan Masyarakat Toba sangat erat dengan agama asli yang mereka yakini. Kehidupan masyarakat diatur oleh sistem nilai adat yang juga merupakan aturan atau ajaran agama parmalim. Ajaran tersebut dipelihara oleh nenek moyang mereka dan saat ini mereka percaya bahwa roh leluhur akan mengawasi mereka (Siahaan 2009: 22).

2.6.Teori Pilihan Rasional

Teori yang mendukung penelitian ini adalah teori pilihan rasional. Prinsip dasar teori pilihan rasional memusatkan perhatian pada aktor. Aktor dipandang sebagai manusia yang mempunyai tujuan atau mempunyai maksud. Artinya aktor mempunyai tujuan dan tindakannya tertuju pada upaya untuk mendapatkan tujuan itu. Aktorpun dipandang mempunyai pilihan (nilai dan keperluan). Teori pilihan rasional tidak menghiraukan apa yang menjadi pilihan atau apa yang menjadi sumber pilihan

(15)

aktor. Yang penting adalah kenyataan bahwa tindakan dilakukan untuk mencapai tujuan yang sesuai dengan pilihan aktor.

Meskipun teori pilihan rasional berawal dari tujuan dan maksud aktor namun teori ini memperhatikan sekurang-kurangnya dua pemaksa utama tindakan. Pertama adalah keterbatasan sumber. Aktor mempunyai sumber yang berbeda maupun akses yang berbeda terhadap sumber daya yang lain. Bagi aktor yang mempunyai sumber daya yang besar, pencapaian tujuan juga mungkin akan relatif mudah. Tetapi, bagi aktor yang mempunyai sumber daya sedikit, pencapaian juga akan sukar.

Berkaitan dengan keterbatasan sumber daya ini adalah pemikiran tentang rentetan tindakan berikutnya yang sangat menarik namun tidak jadi dilakukan (friedman dan hechter dalam Ritzer 2003:357). Dalam mengejar tujuan tertentu aktor tentu memperhatikan biaya tindakan berikutnya yang sangat menarik yang tidak jadi dilakukan itu. Seorang aktor mungkin memilih untuk tidak mengejar tujuan yang bernilai sangat tinggi bila sumber dayanya tidak memadai, bila peluang untuk mencapai tujuan itu mengancam pada peluangnya untuk mencapai tujuan yang sangat bernilai. Aktor dipandang berupaya mencapai keuntungan maksimal, dan tujuan mungkin meliputi penilaian gabungan antara peluang untuk mencapai tujuan utama dan apa yang telah dicapai pada peluang yang tersedia untuk mencapai tujuan yang kedua yang paling bernilai.

Teori pilihan rasional berkaitan dengan relasi yang dibuat oleh para penganut Parmalim. Penganut parmalim menjadi aktor pembuat tindakan terhadap pilihan rasional. Dalam hubungan tersebut, Parmalim yang merupakan salah satu agama yang belum diakui diIndonesia memilih salah satu dari agama yang diakui demi

(16)

pencapaian tujuan dan kepentingan yang mereka inginkan. Dengan memilih salah satu dari agama yang diakui memberikan ruang yang lebih besar kepada penganut parmalim untuk mendapatkan kekuasaan.

Referensi

Dokumen terkait

Dari pengertian tersebut terdapat tiga unsur pokok dalam belajar yaitu: 1 proses, 2 perubahan perilaku, dan 3 pengalaman.8 Untuk itu, perlu dilakukan penelitian tentang

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

Hasil pengamatan rataan jumlah PGC-sirkulasi ayam Gaok selama penelitian ditunjukkan pada Tabel 1. Rataan jumlah PGC-sirkulasi pada stadium perkembangan embrio yang

Kader menyatakan bahwa pengukuran yang rutin dilakukan setiap bulan hanya berat badan dengan beberapa alasan, yaitu standar baku pertumbuhan yang digunakan adalah berat badan

Jadi sesaat setelah terjadi perampasan mesin sepeda motor akan mati secara otomatis dan tidak dapat dihidupkan.Maka dari itu penulis membuat sebuah rancangan

Penggunaan ensambel musik tradisional dalam upacara-upacara adat masyarakat Karo akan dijelaskan berdasarkan konteks upacara masyarakat Karo secara umum, yaitu upacara

(Zahiruddin, 2011, p.48) Dari segi perwatakannya pula, analisis ini mendapati bahawa Salsabilah ditampilkan sebagai watak protagonis yang berakhlak. Keperibadian ini terserlah

Sementara itu menurut Kusmintarjo (1996) bahwa pengalaman adalah pekerjaan yang akan menghasilkan perubahan kearah kematangan tingkah laku, pertambahan pengertian