• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1   Pertumbuhan Ekonomi

2.1.1   Pengertian Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi berarti perkembangan kegiatan ekonomi yang menyebabkan barang dan jasa yang ada dalam masyarakat bertambah dari satu periode ke periode yang lain serta kemakmuran masyarakat meningkat. Masalah pertumbuhan ekonomi dapat dipandang sebagai masalah dalam makro ekonomi untuk jangka panjang. Selain itu, pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh bertambahnya investasi, teknologi yang berkembang, dan meningkatnya kesempatan kerja (Laili, 2007).

Sektor ekonomi merupakan salah satu sektor yang paling penting untuk mengukur kesejahteraan suatu negara. Suatu negara dapat dianggap sejahtera salah satunya dapat dilihat melalui angka pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Pada umumnya jika angka pertumbuhan ekonomi bergerak pada arah yang positif, maka dapat dikatakan negara tersebut sejahtera, dan begitu juga sebaliknya. Akan tetapi, pergerakan pertumbuhan ekonomi kearah positif tidak selamanya menggambarkan bahwa negara tersebut sejahtera, ada beberapa faktor lain yang memiliki pengaruh dalam pengukuran tingkat kesejahteraan suatu negara seperti misalnya angka inflasi, situasi politik, dan sebagainya.

Menurut Prof. Simon Kuznets, mendefinisikan pertumbuhan ekonomi sebagai kenaikan jangka panjang dalam kemampuan suatu negara untuk menyediakan semakin banyak jenis barang-barang ekonomi kepada penduduknya. Kemampuan ini tumbuh sesuai dengan kemajuan teknologi, dan penyesuaian kelembagaan dan idiologis yang diperlukannya. Definisi tersebut mempunyai 3 (tiga) komponen: pertama, pertumbuhan ekonomi suatu bangsa terlihat

(2)

dari meningkatnya secara terus-menerus persediaan barang; kedua, teknologi maju merupakan faktor dalam pertumbuhan ekonomi yang menentukan derajat pertumbuhan kemampuan dalam penyediaan aneka macam barang kepada penduduk; ketiga, penggunaan teknologi secara luas dan efisien memerlukan adanya penyesuaian di bidang kelembagaan dan idiologi sehingga inovasi yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan umat manusia dapat dimanfaatkan secara tepat (Jhingan, 2000).

Dalam kebijakan makro ekonomi pemerintah berusaha memuluskan siklus usaha dengan tujuan mencegah pengangguran kronis dan kemacetan pertumbuhan serta menekan inflasi. Peranan dan fungsi pemerintah dalam tataran nasional dan pada tataran wilayah pada dasarnya tidak berbeda besar, yang berbeda adalah lingkup dan cakupannya, yang satu secara nasional dan yang kedua secara regional. Tujuan kebijakan makro ekonomi diarahkan kepada tiga sasaran, yaitu menciptakan (1) kemantapan (stabilitas), perekonomian, (2) keseimbangan (alokasi) sumber daya untuk mencapai efisien ekonomi dan (3) keadilan, (distribusi pendapatan) antara golongan penduduk menurut pendapatan, yang dicapai melalui penciptaan program-program pembangunan (Adisasmita, 2013).

2.1.2   Teori Pertumbuhan Ekonomi

Teori pertumbuhan ekonomi yang relevan dengan penelitian ini adalah teori pertumbuhan ekonomi Schumpeter yang dikenal dengan Teori Schumpeter. Menurut Sukirno (2006), teori ini menekankan pada inovasi yang dilakukan oleh para pengusaha dan mengatakan bahwa kemajuan teknologi sangat ditentukan oleh jiwa kewirausahaan dalam masyarakat yang mampu melihat peluang dan berani mengambil risiko membuka usaha baru, maupun memperluas usaha yang telah ada. Dengan pembukaan usaha baru dan perluasan usaha, tersedia lapangan kerja tambahan untuk menyerap angkatan kerja yang bertambah setiap tahunnya.

(3)

Alois Schumpeter dalam bukunya yang berbahasa Jerman pada tahun 1911 yang dikemudian pada tahun 1934 diterbitkan dalam bahasa Inggris dengan judul The Theory of Economic Development. Kemudian diulas lebih dalam teorinya mengenai proses pembangunan dan faktor utama yang menentukan pembangunan dalam bukunya yang diterbitkan pada tahun 1939 dengan judul Business Cycle. Salah satu pendapat Schumpeter yang menjadi landasan teori pembangunannya adalah adanya keyakinan bahwa sistem kapitalisme merupakan system yang paling baik untuk menciptakan pembangunan ekonomi yang pesat. Namun, Schumpeter meramalkan bahwa dalam jangka panjang sistem kapitalisme akan mengalami stagnasi. Pendapat ini sama dengan pendapat kaum klasik.

Menurut Schumpeter, faktor utama yang menyebabkan perkembangan ekonomi adalah proses inovasi dan pelakunya adalah para inovator atau pengusaha. Kemajuan ekonomi suatu masyarakat hanya bisa diterapkan dengan adanya inovasi oleh para pengusaha. Dan kemajuan ekonomi tersebut dapat dimaknai sebagai peningkatan output total masyarakat. Dalam membahas perkembangan ekonomi, Schumpeter membedakan pengertian pertumbuhan ekonomi dan pembangunan ekonomi, meskipun keduanya merupakan sumber peningkatan output masyarakat. Menurut Schumpeter, pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan output masyarakat yang disebabkan oleh semakin banyaknya jumlah faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi, tanpa adanya perubahan dalam teknologi produksi itu sendiri. Misalnya, kenaikan ouput yang disebabkan oleh pertumbuhan stok modal ataupun penambahan faktor-faktor produksi tanpa adanya perubahan pada teknologi produksi yang lama.

Pembangunan ekonomi adalah kenaikan output yang disebabkan oleh adanya inovasi yang dilakukan oleh para pengusaha. Inovasi di sini bukan hanya berarti perubahan yang besar dalam hal teknologi, inovasi dapat juga direpresentasikan sebagai penemuan produk baru, pembukuan pasar baru, dan sebagainya. Inovasi tersebut menyangkut perbaikan kuantitatif dari sistem ekonomi itu sendiri yang bersumber dari kreativitas para pengusahanya. Peran

(4)

pengusaha sangat vital dalam mewujudkan produk yang inovatif. Karena pada hakekatnya mesin, alat kerja dana tau semua benda tidak akan berfungsi secara maksimal bila tidak ada yang menggunakannya atau mengoperasikannya. Manusia yang memungkinkan inovasi dapat terjadi dengan segala macam bentuknya. Menurut Schumpeter, pembangunan ekonomi akan berkembang pesat dalam lingkungan masyarakat yang menghargai dan merangsang setiap orang untuk menciptakan hal-hal yang baru (inovasi), lingkungan yang paling cocok untuk itu adalah lingkungan masyarakat yang menganut paham laissez-faire, bukan dalam masyarakat sosialis ataupun komunis yang cenderung mematikan kreativitas penduduknya. Dalam masyarakat yang menganut mekanisme pasar, besarnya insentif yang akan diterima seseorang karena adanya penemuan- penemuan baru lebih besar dibandingkan dengan insentif yang diterima oleh masyarakat sosialis.

Pembanguan ekonomi berawal pada suatu lingkungan sosial, politik, dan teknologi yang menunjang adanya kreativitas para pengusaha. Adanya lingkungan yang menunjang kreativitas akan mampu melahirkan beberapa pengusaha perintis yang mencoba menerapkan ide-ide baru mereka dalam kehidupan ekonomi. Mungkin tidak semua pengusaha perintis tersebut akan menuai sukses dalam inovasinya. Bagi pengusaha perintis yang menuai sukses dalam inovasinya tersebut, dia akan memperoleh keuntungan monopoli atas buah kreativitasnya, karena di mata konsumen belum ada pengusaha lain yang melakukan terobosan seperti yang dia lakukan. Namun perlu diingat bahwa posisi monopoli tersebut tidak akan bertahan lama, karena hal yang senatiasa menyertai inovasi adalah adanya imitasi. Seorang innovator akan terus-menerus berada di atas apabila dia selalu melakukan improvisasi atas inovasi-inovasinya terdahulu. Posisi monopoli ini akan menghasilkan keuntungan di atas keuntungan normal yang diterima oleh para pengusaha yang tidak melakukan inovasi. Keuntungan monopolistis ini merupakan imbalan bagi para inovator dan sekaligus juga merupakan rangsangan bagi para calon inovator. Sehingga, hasrat untuk berinovasi seringkali

(5)

terdorong oleh adanya harapan memperoleh keuntungan tersebut.

Menurut Schumpeter, inovasi mempunyai tiga pengaruh yaitu (1) diperkenalkannya teknologi baru, (2) menimbulkan keuntungan lebih (keuntungan monopolistis) yang merupakan sumber dana penting bagi akumulasi modal, dan (3) inovasi akan selalu diikuti oleh timbulnya proses peniruan yaitu adanya pengusaha-pengusaha lain yang meniru teknologi baru tersebut. Proses peniruan tersebut pada akhirnya akan diikuti oleh investasi oleh para peniru tersebut. Proses peniruan ini akan berpengaruh pada dua hal yaitu (1) menurunnya keuntungan monopolistis yang dinikmati oleh para inovator, dan (2) adanya penyebaran teknologi baru (technological dissemination) di dalam masyarakat sehingga teknologi tersebut tidak lagi menjadi monopoli bagi pencetusnya.

2.2   Peran Pemerintah

Pengertian Peran menurut Cohen (2009) adalah suatu perilaku yang diharapkan oleh orang lain dari seseorang yang menduduki status tertentu. Menurut Thoha (2002), peranan merupakan serangkaian perilaku yang diharapkan dilakukan oleh seseorang. Penghargaan semacam itu merupakan suatu norma yang dapat mengakibatkan terjadinya suatu peranan. Dalam bahasa organisasi, peranan diperoleh dari uraian jabatan. Adapun uraian jabatan itu merupakan dokumen tertulis yang memuat persyaratan-persyaratan dan tanggung jawab atas suatu pekerjaan.

Menurut Suhady dalam Riawan (2005), pemerintah (government) ditinjau dari pengertiannya adalah the authoritative direction and administration of the affairs of men/women in a nation state, city, etc. Pemerintahan dapat juga diartikan sebagai the governing body of a nation, state, city, etc yaitu lembaga atau badan yang menyelenggarakan pemerintahan negara, negara bagian, atau kota dan sebagainya. Pengertian pemerintah dilihat dari sifatnya yaitu pemerintah dalam arti luas meliputi seluruh kekuasaan yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif. Pemerintah dalam arti sempit hanya

(6)

meliputi cabang kekuasaan eksekutif saja (Riawan, 2005).

Menurut Sumarni (2013), perlunya peran dan fungsi pemerintah dalam perekonomian, yaitu sebagai berikut.

1) Pembangunan ekonomi dibanyak negara umumnya terjadi akibat intervensi pemerintah baik secara langsung maupun tidak langsung. Intervensi pemerintah diperlukan dalam perekonomian untuk mengurangi dari kegagalan pasar (market failure) seperti kekakuan harga monopoli dan dampak negatif kegiatan usaha swasta contohnya pencemaran lingkungan.

2) Mekanisme pasar tidak dapat berfungsi tanpa keberadaan aturan yang dibuat pemerintah. Aturan ini memberikan landasan bagi penerapan aturan main, termasuk pemberian sanksi bagi pelaku ekonomi yang melanggarnya. 


Peranan pemerintah menjadi lebih penting karena mekanisme pasar saja tidak dapat menyelesaikan semua persoalan ekonomi. Untuk menjamin efisiensi, pemerataan dan stabilitas ekonomi, peran dan fungsi pemerintah mutlak diperlukan dalam perekonomian sebagai pengendali mekanisme pasar. Dalam rangka untuk pengembangan LPD di provinsi Bali, peran pemerintah yang efektif dan optimal diwujudkan sebagai fasilitator, regulator dan katalisator. 1)  Peran pemerintah sebagai fasilitator, sebagai fasilitator, pemerintah memiliki peran dalam

memfasilitasi LPD untuk mencapai tujuan pengembangan usaha yang dimiliki oleh LPD. Peran pemerintah sebagai fasilitator adalah menciptakan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan pembangunan untuk menjembatani berbagai kepentingan masyarakat dalam mengoptimalkan pembangunan daerah dalam hal ini melalui pengembangan LPD. Sebagai fasilitator, pemerintah dapat memberi kesempatan kepada pihak lain yang berkompeten serta mendorong inovasi untuk meningkatkan pelayanan LPD. Peranan pemerintah khususnya pemerintah provinsi Bali sebagai fasilitator sangat penting dalam kegiatan pengembangan LPD. Memfasilitasi tidak diartikan sebagai pemberian prasarana dan sarana fisik maupun subsidi langsung, namun pemerintah harus memberikan bimbingan teknis dan non teknis secara terus menerus kepada LPD yang sifatnya mendorong dan memberdayakan LPD agar mereka dapat merencanakan, membangun, dan mengelola LPD secara profesional.

(7)

2)  Peran pemerintah sebagai regulator, adalah membuat kebijakan-kebijakan yang berbentuk peraturan daerah (perda) sehingga mempermudah usaha LPD dalam mengembangkan usahanya. Sebagai regulator, pemerintah berfungsi untuk menjaga kondisi lingkungan usaha tetap kondusif untuk melakukan investasi yang dilakukan dengan membuat kebijakan tentang aturan-aturan persaingan usaha. Pemerintah adalah pihak yang mampu menerapkan aturan agar kehidupan dapat berjalan baik dan dinamis. Pemerintah, terutama pemerintah daerah bertugas menyiapkan arah untuk menyeimbangkan penyelengaraa pembangunan ekonomi masyarakat melalui LPD dengan cara membuat peraturan peraturan yang terkait dengan perencanaan, pelaksanaan dan pengembangan LPD.

3)  Peran pemerintah sebagai katalisator, yakni membantu mempercepat proses berkembangnya LPD. Membantu memberdayakan LPD. Dari data dilapangan ditemukan bahwa banyak LPD yang tidak sehat dan bahkan macet, kondisi ini tentunya tidak menguntungkan bagi semua pihak. Oleh karena itu, pemerintah daerah harus turun tangan ikut membantu menyelesaikan masalah yang ada.

2.3   Modal Sosial

2.3.1   Konsep Modal Sosial

Awal pemikiran para pakar ekonomi tentang modal sosial, telah dimulai pada abad ke 18, ketika Adam Smith memunculkan konsep modal sosial sebagai ‘kontrak sosial’ masyarakat sipil yang akan menentukan kemajuan pembangunan ekonomi. Unsur penting dari kontrak sosial ini adalah antara lain yang mereka sebut sebagai; karakteristik jaringan sosial, pola-pola imbal-balik dan kewajiban-kewajiban bersama. Dari pemikiran-pemikiran kelompok ini pula, berbagai kajian dan merupakan konsep modern dari modal sosial di abad berikutnya, menjadi memiliki dasar teoritis yang kuat. Sebagai contoh; Karl Marx dan Engles yang mengemukakan konsep keterikatan yang memiliki ikatan solidaritas, yang menggambarkan tentang

(8)

kemungkinan munculnya pola hubungan dan kerjasama yang kuat ketika suatu kelompok berada dalam suatu tekanan negara atau kelompok lain (Woolcock, 1998).

Coleman (1998) mendefinisikan bahwa modal sosial adalah aspek struktur sosial yang memudahkan bagi tindakan-tindakan perseorangan atau pelaku perseroan/lembaga dalam struktur sosial. Selanjutnya dikatakan bahwa modal sosial itu bukanlah entitas tunggal, tetapi adalah entitas majemuk dengan dua elemen mendasar yaitu; 1) modal sosial mencakup beberapa aspek struktur sosial, dan 2) modal sosial itu memfasilitasi timdakan tertentu dari pelaku (aktor) baik sebagai individu maupun lembaga didalam struktur tersebut. Dalam hal ini artinya; sama dengan jenis modal yang lainnya, modal sosial juga bersifat produktif, yang membuat pencapaian tujuan individu atau lembaga akan tidak terwujud tanpa keberadaan modal sosial tersebut. Selanjutnya, Putnam (1993) mendefinisikan bahwa modal sosial adalah penampilan organisasi sosial, seperti kepercayaan, resiproritas, jaringan yang dapat memperbaiki efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi adanya koordinasi dan kerjasama bagi keuntungan bersama.

Sementara, Fukuyama (1995), mengatakan bahwa modal sosial adalah kemampuan yang timbul akibat dari adanya kepercayaan, dalam sebuah komunitas masyarakat. Fukuyama (1999) menyampaikan bahwa belum tentu norma-norna dan nilai-nilai bersama yang dipedomani tersebut sebagai acuan sikap, tingkah laku, dan bertindak tersebut otomatis menjadi modal sosial, tetapi kadang kala hanya sebagai norma-norma dan nilai-nilai bersama yang dibangkitkan oleh rasa saling percaya. Artinya, rasa saling percaya ini adalah merupakan harapan-harapan akan terjadinya keteraturan-keteraturan, kejujuran dan perilaku koperatif yang muncul dari dalam sebuah komunitas masyarakat yang perilaku sehari-harinya didasari oleh norma-norma atau nilai-nilai yang dianut bersama oleh para anggotanya. Norma-norma tersebut dapat berisi pernyataan-pernyataan yang berisi nilai-nilai luhur, kebajikan dan keadilan.

(9)

Pengertian modal sosial menurut Cox Eva (1995) adalah suatu rangkaian proses hubungan antar manusia yang ditopang oleh jaringan, norma-norma dan kepercayaan sosial yang memungkinkan efisien dan efektifnya koordinasi dan kerjasama untuk keuntungan dan kebajikan bersama. Sementara, Narayan (dalam Suharto, 2007) menyatakan bahwa modal sosial adalah aturan-aturan, norma-norma, kewajiban-kewajiban, hal timbal-balik, dan kepercayaan yang mengikat dalam hubungan sosial, struktur sosial, dan pengaturan-pengaturan kelembagaan masyarakat yang memungkinkan para anggota untuk mencapai hasil sebagai sasaran individu dan masyarakat mereka. Sementara, Cohen dan Prusak, (2001) mendefinisikan bahwa modal sosial adalah stok dari hubungan yang aktif pada suatu masyarakat. Setiap pola hubungan yang terjadi diikat oleh kepercayaan, kesalingpengertianan, dan nilai-nilai bersama, yang mengikat anggota kelompok untuk membuat kemungkinan aksi bersama yang dapat dilakukan secara efisien dan efektif. Inayah (2012), mendefinisikan bahwa modal sosial adalah sumberdaya yang muncul dari hasil interaksi dalam suatu komunitas, baik antar individu maupun antar institusi yang melahirkan ikatan emosional berupa; kepercayaan, hubungan-hubungan timbal balik, jaringan-jaringan sosial, nilai-nilai dan norma-norma yang mambentuk struktur masyarakat yang berguna untuk koordinasi dan kerjasama dalam mencapai tujuan bersama.

Berdasarkan pada konsepsi yang diutarakan oleh para pakar modal sosial di atas, disini dapat ditarik suatu pemahaman bahwa dimensi dari modal sosial itu adalah memberikan penekanan pada kebersamaan masyarakat untuk mencapai tujuan dalam rangka memperbaiki kualitas hidupnya dan senantiasa melakukan perubahan dan penyesuaian secara berkesinambungan. Dan dalam proses perubahan dan upaya mencapai tujuan tersebut, masyarakat senantiasa terikat pada nilai-nilai dan norma-norma yang dipedomani sebagai aturan bersikap, bertindak dan bertingkah-laku serta dalam menjalin hubungan dengan pihak lain baik di dalam kelompok maupun di luar kelompok masyarakat. Pada hakikatnya modal

(10)

sosial sebagai nilai kapital, yang berasal dari perbaikan kinerja ekonomi yang didapatkan dari jaringan kepercayaan yang tinggi. Dua hal penting dalam hal ini adalah penekanan pada jaringan sebagai aspek sosial dan penekanan pada peningkatan nilai pada masa yang akan datang sebagai aspek kapital atau modal. Penekanan pada aspek sosial sangat tepat untuk dapat menguraikan kinerja ekonomi secara luas.

2.3.2   Indikator Modal Sosial

Pada hakekatnya, keberadaan modal sosial memang berbeda dengan modal-modal lainnya, seperti modal finansial atau modal manusia. Modal sosial bersifat kumulatif dan bertambah dengan sendirinya (Putnam, 1993). Oleh sebab itu modal sosial tidak akan habis jika dipergunakan, melainkan dapat saja semakin meningkat. Rusaknya modal sosial lebih sering disebabkan bukan karena dipakai, tetapi karena tidak dipergunakan. Indikator Modal Sosial sangat luas cakupannya. Dalam kajian ini, mengkolaborasi indikator modal sosial yang dikemukakan oleh Hasbullah (2006) yang menyebutnya sebagai unsur-unsur pokok modal sosial. Selanjutnya dikatakan bahwa telaah modal mosial terletak pada bagaimana kemampuan masyarakat dalam suatu entitas kelompok untuk berpartisipasi membangun suatu jaringan untuk mencapai tujuan bersama. Kerjasama tersebut diwarnai oleh suatu pola interaksi imbal-balik yang saling menguntungkan, dan dibangun di atas kepercayaan yang ditopang oleh norma-norma dan nilai sosial yang positif dan kuat. Sementara Ridell dalam Ayu Wimba (2015), mengatakan terdapat tiga parameter modal sosial, yaitu: (1) jaringan, (2) kepercayaan, dan (3) norma-norma.

Dengan memadukan konsep kedua pakar di atas, dan dengan mengutamakan kesesuaian dengan kondisi di daearh penelitian maka yang dinyatakan sebagai indikator dalam kajian ini adalah; 1) partisipasi dalam jaringan, 2) saling bertukar kebaikan, 3) kepercayaan, 4) norma-norma, 5) nilai-nilai dan 6) tindakan proaktif. Uraian mendetail tentang keenam unsur pokok ini, dipaparkan seperti berikut ini.

(11)

1)   Partisipasi dalam Jaringan

Modal Sosial tidak hanya dibangun oleh satu individu, melainkan akan terletak pada kecendrungan yang tumbuh dalam satu kelompok masyarakat untuk bersosialisasi dalam wujud partisipasi sebagai bagian penting dari nilai-nilai yang melekat (Hasbullah, 2006). Artinya modal sosial terletak pada kemampuan sekelompok orang atau masyarakat dalam suatu asosiasi atau perkumpulan dalam melibatkan diri dalam suatu jaringan hubungan sosial. Hubungan sosial ini dilakukan dalam berbagai variasi jalinan sosial yang didasari oleh prinsip kesukarelaan, kesamaan, kebebasan, dan keberadaban.

Sedangkan Putnam (1993) menyatakan bahwa Jaringan adalah infrasuktur dinamis dari modal sosial yang berwujud jaringan-jaringan kerjasama antar manusia atau individu. Jaringan tersebut memfasilitasi terjadinya komunikasi dan interaksi yang memungkinkan tumbuhnya kepercayaan yang memperkuat kerjasama. Masyarakat yang sehat, cenderung memiliki jaringan- jaringan sosial yang kokoh. Dalam kehidupan sehari-hari, orang bertemu satu sama lainnya. Pertemuan ini memungkinkan terjadinya inter-relasi yang kental, baik bersifat formal maupun informal (Onyx, 1996).

2)   Saling Bertukar Kebaikan.

Pengertian saling bertukar kebaikan adalah kerjasama yang bersifat mutual dalam suatu entitas kelompok, biasanya diwarnai oleh kecendrungan saling menukar kebaikan antar individu dalam suatu kelompok atau antar kelompok itu sendiri. Pola pertukaran kebaikan dalam hal ini bukan imbal-balik secara seketika seperti dalam proses pertukaran atau proses jual-beli pada umumnya, tetapi sebagai kombinasi dalam pola jangka pendek atau jangka panjang.

Hasbullah (2006), mengatakan pada masyarakat dan pada kelompok-kelompok sosial yang terbentuk, dimana didalamnya memiliki bobot resiprositas yang kuat akan melahirkan suatu masyarakat atau suatu kelompok yang memiliki tingkat modal sosial yang tinggi. Hal ini

(12)

biasanya direfleksikan dalam bentuk tingkat kepedulian sosial yang tinggi, hidup saling membantu dan saling memperhatikan.

3)   Rasa Percaya

Kepercayaan menurut Fukuyama (1995), adalah harapan yang tumbuh di dalam sebuah masyarakat yang ditunjukkan oleh adanya perilaku jujur, teratur dan kerjasama berdasarkan norma-norma yang dianut bersama. Kepercayaan sosial merupakan penerapan terhadap pemahaman ini. Kepercayaan sosial pada dasarnya merupakan produk dari modal sosial yang baik. Adanya modal sosial yang baik ditandai oleh adanya lembaga-lembaga sosial yang kokoh. Dalam hal ini Putnam (1993), memberi pernyataan yang menguatkan bahwa modal sosial yang baik akan melahirkan kehidupan masyarakat yang harmonis.

Hasbullah (2006) menyatakan bahwa rasa percaya, adalah suatu bentuk keinginan individu atau kelompok untuk mengambil resiko dalam hubungan-hubungan sosialnya yang didasari oleh perasaan yakin bahwa yang lain akan melakukan sesuatu seperti yang diharapkan dan akan senantiasa bertindak dalam suatu pola tindakan yang saling mendukung. Kepercayaan adalah keyakinan bahwa orang lain memiliki dan akan melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan seseorang kepada orang lain.

4)   Norma-norma

Pada hakikatnya, norma-norma itu merupakan pemahaman - pemahaman, harapan dan tujuan yang diyakini dapat dijalankan bersama oleh sekelompok orang (Suharto, 2007). Norma-norma dapat bersumber dari agama, panduan moral, maupun standar-satandar sekuler, seperti halnya kode etik profesional seperti; kode etik guru, dokter, jaksa, hakim, atau sapta marga bagi ABRI dan Kepolisian Indonesia. Norma-norma dapat juga merupakan pra-kondisi maupun produk dari kepercayaan sosial (Putnam 1993, Fukuyama 1995). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa norma merupakan seperangkat aturan yang diharapkan dipatuhi dan

(13)

diikuti oleh anggota masyarakat pada suatu kelompok. Artinya, norma-norma itu sendiri dilembagakan dan mengandung sanksi sosial tertentu yang dapat mencegah individu sebagai anggota suatu kelompok masyarakat untuk berbuat sesuatu yang bertentangan atau menyimpang dari kebiasaan yang berlaku di masyarakat tertentu.

Hasbullah (2006), menyatakan bahwa Norma-norma, adalah sekumpulan aturan yang diharapkan dipatuhi dan diikuti oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam suatu entitas sosial tertentu. Aturan-aturan ini, biasanya terinstitusionalisasi atau dilembagakan, tidak tertulis, tetapi dipahami sebagai penentu pola tingkah laku yang baik dalam konteks hubungan sosial sehingga ada sanksi sosial yang dekenakan kepada seseorang atau sekelompok masyarakat jika melanggarnya. Norma sosial akan menentukan kuatnya hubungan antar individu dalam suatu kelompok masyarakat karena akan merangsang kohesifitas sosial yang berdampak positif bagi perkembangan masyarakat. Oleh karena itu, norma sosial disebut sebagai salah satu modal sosial.

5)   Nilai-nilai

Nilai-nilai merupakan sesuatu ide yang telah diakui secara turun-temurun yang dianggap benar dan penting dalam suatu kelompok masyarakat. Sebagai contoh dalam hal ini: nilai harmoni, kompetisi, prestasi dan etos kerja. Nilai senantiasa mengandung konsekuensi yang berbeda-beda. Konfigurasi nilai yang tercipta dalam suatu masyarakat mencerminkan terdapat modal sosial kuat dalam suatu komunitas. Biasanya, jika suatu komunitas memberi bobot yang tinggi pada nilai-nilai; kompetisi, pencapaian, keterusterangan dan kejujuran maka komunitas tersebut cenderung jauh lebih cepat berkembang dan maju dibandingkan kelompok yang menghindari keterusterangan, kompetisi dan pencapaian (Hasbullah, 2006).

Nilai ini sangat berperan penting dalam suatu masyarakat dimanapun berada. Pada umumnya, setiap budaya masyarakat terdapat nilai-nilai tertentu yang mendominasi ide yang berkembang dalam suatu masyarakat disekitar kita. Pada hakekatnya adanya dominasi ide

(14)

tertentu ini akan membentuk dan mempengaruhi aturan-aturan bertindak dari masyarakatnya dan aturan-aturan bertingkah laku dari masyarakatnya. Aturan bertindak dan aturan bertingkah laku dalam masyarakat ini akan bersama-sama membentuk pola budaya dalam suatu masyarakat.

6)   Tindakan Proaktif

Keinginan yang kuat dari suatu kelompok masyarakat untuk tidak saja berpartisipasi, tetapi senantiasa mendahului untuk mencari jalan bagi keterlibatan mereka dalam suatu kegiatan masyarakat merupakan sebuah modal sosial yang sangat penting dimana yang mendasari tindakan ini adalah bahwa seseorang atau kelompok senantiasa aktif dan kreatif. Sebagai modal sosial, perilaku proaktif dapat dilihat dari wujud tindakan yang paling sederhana sampai kepada hal yang berdimensi sangat luas. Sebagai contoh tindakan proaktif adalah; suatu kelompok sangat proaktif dalam membersihkan lingkungan tempat tinggal dengan memungut sampah-sampah yang berserakan mengotori fasilitas publik, menjaga keamanan lingkungan tempat tinggal dengan cara memantau atau memiliki perhatian kepada setiap orang baru yang menetap atau menginap di lingkungan tempat tinggal.

2.3.3  Tipologi Modal Sosial

Hasbullah (2006) membedakan tipologi modal sosial menjadi dua hal, yaitu modal sosial yang ‘mengikat’ dan modal sosial yang ‘menjembatani’. Modal sosial mengikat, cenderung bersifat eksklusif. Apa yang menjadi karakteristik dasar yang melekat pada tipologi ini, sekaligus dinyatakan sebagai ciri khas. Artinya, dalam konteks ide, relasi dan perhatian terlihat lebih berorientasi ke dalam kelompok, jika dibandingkan dengan berorientasi ke luar kelompok.

Hasbullah (2006), menyatakan bahwa tipe Modal Sosial yang menjembatani, yang lazimnya disebut sebagai bentuk modern dari suatu pengelompokan, group, asosiasi atau

(15)

masyarakat. Pada dasarnya prinsip - prinsip pengorganisasian yang dianut lebih didasari oleh konsep keuniversalan yang mengandung prinsip-prinsip; persamaan, kebebasan, serta nilai-nilai kemajemukan dan humanitarian dengan ciri mendasar; kemanusiaan, terbuka dan mandiri. Prinsip persamaan biasanya diaktualisasikan dengan memberikan hak-hak dan kewajiban yang sama kepada setiap anggota kelompok. Setiap keputusan kelompok diambil berdasarkan kesepakatan yang berkeadilan bagi anggota kelompok.

Kelompok masyarakat yang memiliki modal sosial tipe modal sosial menjembatani ini, biasanya lebih bersifat heterogen, datang dari berbagai ragam unsur latar belakang budaya dan struktur sosial masyarakat. Setiap anggota kelompok memiliki akses yang sama untuk membuat jaringan atau koneksi keluar kelompoknya dengan prinsip persamaan, kemanusiaan dan kebebasan yang dimiliki. Dengan modal sosial tipe ini, akan membuka jalan untuk lebih cepat berkembang dengan menciptakan jaringan yang kuat. Menggerakkan identitas yang lebih luas dan bersifat imbal-balik yang lebih beragam. Coleman (1990) mengatakan bahwa tipologi kolompok masyarakat modal social menjembatani dalam gerakannya lebih menekankan pada berjuang untuk pencarian jawaban bersama untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi bersama oleh kelompok.

2.3.4  Ukuran Modal Sosial

Pengukuran tentang keberadaan sumberdaya hubungan sosial yang menjadikan kerjasama berdasarkan norma-norma kejujuran yang memberi manfaat secara timbal-balik adalah tidak mudah. Belum diakui sepenuhnya keberadaan modal sosial oleh para ekonom adalah karena modal sosial tidak dapat ditransfer, selayaknya modal finansial, artinya begitu sebuah komunitas dianggap kekurangan modal sosial, tidak serta merta dapat menerima transfer modal sosial dari komunitas lainnya. Sebagai alternatif dalam mengukur keberadaan modal sosial dalam suatu komunitas sosial, adalah dengan cara yang lebih mudah yaitu dengan cara menghitung berbagai kerugian atau biaya yang diakibatkan bilamana disuatu tempat

(16)

komunitas tertentu tidak didapati adanya modal sosial yang memadai, dengan ditandai terjadinya disfungsi sosial yang tinggi.

Diantara contoh disfungsi sosial adalah sebagai berikut: tingginya tingkat kejahatan misalnya perampokan, teroris, penipuan, pencurian, dan kemangkiran misalnya ingkar janji, malas, tidak tepat waktu serta pemalsuan, pelanggaran hukum, penghindaran pajak bahkan penggelapan pajak, premanisme, dan sebagainya. Intensitas disfungsi sosial, baik secara kuantitas maupun kualitas merupakan suatu cerminan dari kurangnya/terbatasnya modal sosial dalam suatu komunitas tertentu (Leksono, 2009).

2.4   Orientasi Kewirausahaan Sosial 2.4.1   Sejarah Kewirausahaan Sosial

Bahasan tentang orientasi kewirausahaan sosial diawali dengan pengertian kewirausahaan sosial. Fenomena social enterpreneurship kini pun semakin ramai diperbincangkan. Lalu apakah social enterpreneurship itu? Adakah perbedaannya dengan enterpreneurship pada umumnya? Karena terkadang ada pula yang salah mengartikan antara enterpreneurship dengan social entrepreneurship.

Definisi wirausaha sosial pada dasarnya diturunkan dari integrasi dua konsep, yaitu wirausaha dan sosial (Mair et al., 2006; Martin et al., 2007). Oleh karenanya, pada dasarnya wirausaha sosial adalah penggabungan konsep wirausaha dalam orientasi finansial dan sosial dalam orientasi pemecahan masalah. Walaupun konsep dan istilah wirausaha sosial semakin populer tapi banyak organisasi maupun banyak sektor melihatnya dalam perspektif yang berbeda-beda. Perspektif yang lebih idealis umumnya mendefinisikan wirausaha sosial adalah agen perubahan di sektor sosial. Namun, definisi tersebut dianggap tidak menggambarkan kewirausahaan sosial, karena belum melibatkan makna kewirausahaan dalam definisinya. Oleh karena itu, tidak salah jika Mair (2006) menyatakan bahwa definisi konsep kewirausahaan sosial masih sangat lemah dan definisinya juga masih kabur dalam keterkaitannya dengan

(17)

perspektif bisnis atau kewirausahaan. Disisi lain, ada definisi - definisi yang berusaha menjelaskan apa itu wirausaha sosial dengan menggabungkan semangat misi sosial dengan citra disiplin, inovatif, dan tekad bisnis yang pada umumnya dikaitkan dengan para pengusaha atau private sector. Definisi - definisi ini melihat esensi pendekatan kewirausahaan untuk menyelesaikan berbagai masalah sosial dan menguatkan makna kata kewirausahaan yang menjadi bagian integral dari kewirausahaan sosial.

Tujuan utama dari kewirausahaan sosial adalah untuk meningkatkan kehidupan sosial dan lingkungan yang lebih baik. Walaupun wirausaha sosial seringkali bersifat non-profit, tetapi hal ini juga tidak bertentangan dengan usaha yang mendatangkan keuntungan. Wirausaha sosial adalah lebih dari membuat keuntungan, dengan menggunakan percampuran nilai model bisnis yang mengkombinasikan dengan bisnis yang mendatangkan penghasilan dengan struktur atau komponen yang menciptakan nilai sosial. Kewirausahaan bukan hanya telah menjadi mesin pendorong banyak pertumbuhan sektor bisnis, melainkan juga telah menjadi kekuatan pendorong dibalik perluasan sektor sosial. Kewirausahaan sosial, atau kegiatan kewirausahaan dengan tujuan sosial telah meningkat dalam beberapa dekade terakhir ini. Salah satu indikator dari terjadinya lonjakan ini diungkapkan oleh pesatnya pertumbuhan jumlah organisasi nirlaba. Jangkauan definisi kewirausahaan sosial dapat diperluas atau dipersempit. Berdasarkan definisi yang sempit, kewirausahaan sosial mengacu pada fenomena menerapkan keahlian dan keterampilan bisnis berbasis pasar pada sektor nirlaba dengan mengembangkan pendekatan inovatif untuk memperoleh penghasilan (Reis, 1999; Thompson, 2002).

Terdapat kesamaan umum dari semua definisi kewirausahaan sosial, yaitu tentang hal yang mendorong dan mendasari kewirausahaan sosial untuk menciptakan nilai sosial, bukan untuk menciptakan kekayaan pribadi atau kekayaan para pemegang saham (Zadek & Thake, 1997). Begitu pula bahwa kegiatan kewirausahaan sosial juga ditandai oleh adanya suatu inovasi, atau penciptaan sesuatu yang baru, bukan hanya melakukan replikasi semata terhadap

(18)

praktik bisnis yang sudah ada. Pemicu utama dari kegiatan kewirausahaan sosial adalah masalah sosial aktual yang sedang ditanganinya, dimana organisasi mengambil keputusan dalam pengelolaan sumber daya berdasarkan format yang paling efektif yang dibutuhkan untuk mengatasi masalah tersebut. Dengan demikian, kegiatan kewirausahaan sosial tidak ditentukan oleh badan hukum, dimana suatu kegiatan dapat ditempuh melalui berbagai kendaraan organisasi atau lembaga, baik melalui organisasi nirlaba, sektor bisnis, maupun sektor pemerintah.

Untuk melakukan analisis perbandingan antara kewirausahaan umum dengan kewirausahaan sosial diketengahkan sejumlah proposisi teoritik yang berfokus pada empat variabel yang berbeda guna memandu suatu perbandingan dari keduanya, yakni:

1.   Kegagalan pasar.

Salah satu teori di balik keberadaan organisasi bertujuan sosial muncul ketika terjadi kegagalan sosial di pasar, yakni ketika kekuatan pasar komersial tidak mampu memenuhi kebutuhan sosial, seperti kebutuhan akan barang dan/atau jasa publik (Weisbrod, 1977) atau terjadi kegagalan kontrak (Nelson & Krashinsky, 1973). Hal ini sering disebabkan oleh ketidakmampuan pasar komersial dalam memenuhi kebutuhan tersebut. Dengan demikian, adanya masalah pada kewirausahaan komersial telah membuka peluang bagi kewirausahaan sosial, sehingga pada gilirannya dapat dirumuskan suatu proposisi, bahwa suatu kegagalan pasar dapat menciptakan peluang yang berbeda bagi kedua jenis kewirausahaan, baik bagi kewirausahaan komersial maupun sosial.

2.   Misi.

Tujuan mendasar dari kewirausahaan sosial adalah menciptakan nilai sosial bagi kepentingan publik, sedangkan kewirausahaan komersial bertujuan untuk menciptakan kegiatan produksi yang menguntungkan pribadi. Dengan adanya perbedaan dari sisi tujuan dan sisi keuntungan atau imbalan dapat lebih mempermudah untuk dilakukannya suatu

(19)

analisis komparatif. Untuk itu dapat dirumuskan suatu proposisi sebagai berikut, yakni: adanya perbedaan mendasar dalam misi antara kewirausahaan komersial dan kewirausahaan sosial termanifestasi dalam berbagai bidang praktik manajemen bisnis dan motivasi para pekerja. Namun, dengan adanya dimensi komersial dan sosial dalam organisasi bisnis dapat menjadi sumber ketegangan.

3.   Mobilisasi sumberdaya.

Kewirausahaan sosial sering menemui kesulitan dalam memberikan kompensasi terhadap para pekerja secara kompetitif sebagaimana terjadi pada pasar komersial. Bahkan, banyak para pekerja dari organisasi kewirausahaan sosial justru memperoleh nilai kompensasi “non-keuangan” dari pekerjaan mereka. Dengan demikian dapat dirumuskan suatu proposisi, yakni: adanya perbedaan dalam mobilisasi sumber daya manusia dan keuangan, yang secara fundamental akan menyebabkan perbedaan pendekatan dalam mengelola sumber daya keuangan dan manusia.

4.   Pengukuran kinerja.

Kewirausahaan sosial akan menghadapi tantangan yang lebih besar dalam mengukur kinerja, ketimbang kewirausahaan komersial yang lebih dapat mengandalkan langkah-langkah yang relatif lebih nyata dalam mengukur kinerja, dengan menggunakan indikator keuangan, pangsa pasar, kepuasan nasabah, dan kualitas. Disamping itu, berbagai pemangku kepentingan finansial dan nonfinansial dalam organisasi kewirausahaan sosial jumlahnya relatif lebih besar dan bervariasi, sehingga para wirausahawan sosial perlu mengelola hubungan dan tanggung jawab dalam kompleksitas yang lebih besar (Kanter & Summers, 1987). Dalam kaitan ini, terbuka tantangan untuk mengukur perubahan sosial, mengingat adanya aspek non-kuantitatif, multi-kausal, dimensi temporal, dan perbedaan perseptif dari dampak sosial yang ditimbulkannya. Sehingga dapat dirumuskan suatu proposisi, yakni: dengan adanya aspek dampak sosial akan tetap menjadi perbedaan mendasar dalam

(20)

mengukur kinerja, khususnya yang berkenaan dengan akuntabilitas yang rumit dan adanya hubungan yang bervariasi dengan para pemangku kepentingan.

2.4.2   Studi Ilmiah Tentang Kewirausahaan Sosial

Secara akademis, konsep social entrepreneurship telah dikembangkan di universitas-universitas (Nicholls, 2006). Salah satunya universitas-universitas yang ada di Inggris, seperti Skoll Center for Social Entrepreneurship. Di Amerika Serikat juga didirikan pusat-pusat kajian social entrepreneurship, contohnya Center for the Advancement of Social entrepreneurship di Duke University. Contoh praktik social entrepreneurship, terdapat pada yayasan yang sudah mengglobal, yang secara khusus mencari para social entrepreneur di berbagai belahan dunia untuk membina dan memberikan dananya bagi para penggerak perubahan sosial yakni Ashoka Foundation.

Dari studi Barensen dan Gardner tersebut, didapat proposisi yakni untuk membedakan kegiatan organisasi sosial nirlaba seperti pada organisasi-organisasi tersebut ialah penciptaan kemandirian finansial dalam aktivitas organisasinya. (Mort & Weerawardena, 2003) berbeda dari wirausaha-wirausaha bisnis lainnya, menurut Dees (1998) perbedaannya terlihat pada misi mereka yang explisit dan central, hal ini tentunya mempengaruhi bagaimana socio entrepreneurs memandang serta menilai setiap kesempatan yang ada. Beberapa peneliti menyatakan bahwa misi sosial inilah yang menjadi dimensi utama dari socio entrepreneurship. Ditambahkan lagi oleh Dees (1998) sama halnya dengan lembaga bisnis yang mempunyai tujuan menciptakan nilai yang unggul untuk nasabahnya, tujuan utama dari socio entrepreneur adalah menciptakan nilai sosial yang mulia untuk nasabah mereka. Kemampuan seorang pengusaha untuk mendapatkan sumber daya seperti modal, tenaga kerja, peralatan, dan lainnya dalam persaingan pasar adalah menunjukkan indikasi yang baik dari berjalannya suatu usaha yang produktif, sedangkan disisi lain seorang socio entrepreneur mencari cara yang inovatif untuk memastikan bahwa usahanya akan memiliki akses terhadap sumber daya yang

(21)

dibutuhkan selama mereka dapat menciptakan nilai sosial (Mort & Weerawardena, 2003). Kewirausahaan sosial adalah disipilin ilmu yang menggabungkan antara kecerdasan berbisnis, inovasi, dan tekad untuk maju ke depan. Wirausaha sosial melihat masalah sebagai peluang untuk membentuk sebuah model bisnis baru yang bermanfaat bagi pemberdayaan masyarakat sekitar. Hasil yang ingin dicapai bukan keuntungan materi atau kepuasan nasabah, melainkan bagaimana gagasan yang diajukan dapat memberikan dampak baik bagi masyarakat. Mereka seperti seseorang yang sedang menabung dalam jangka panjang karena usaha mereka memerlukan waktu dan proses yang lama untuk dapat terlihat hasilnya.

Wirausaha sosial menjadi fenomena sangat menarik saat ini karena perbedaannya dengan wirausaha tradisional yang hanya fokus terhadap keuntungan materi dan kepuasan nasabah serta signifikansinya terhadap kehidupan masyarakat. Sangat banyak kajian mengenai kewirausahaan sosial melibatkan berbagai ilmu pengetahuan dalam pengembangan serta praktiknya di lapangan. Lintas ilmu pengetahuan yang diadopsi kajian kewirausahaan sosial merupakan suatu hal yang penting untuk menjelaskan serta membuat pemikiran-pemikiran baru.

2.4.3   Karakteristik Kewirausahaan Sosial

Terdapat beberapa pembelajaran tentang kewirausahawan sosial beserta beberapa karakteristik yang dimiliki oleh para pengusaha sosial itu sendiri. Hal tersebut dapat terlihat dari penelitian mengenai kewirausahaan sosial terbagi menjadi beberapa grup sosial sesuai dengan karakteristiknya masing-masing. Hal ini pada dasarnya terdiri dari hal-hal yang tidak umum untuk dilakukan dalam kegiatan usaha yang biasanya berjalan secara rutin. Austin Stevenson dan Wei-Skillern (2004) berpendapat bahwa pengusaha sosial dan tradisional berbeda dengan pengusahanya sendiri, metode, situasi, dan peluang. Tujuan utama dari pengusaha sosial adalah melayani kebutuhan dasar masyarakat, sementara pengusaha tradisional adalah untuk meraih pasar yang besar kesenjangan dan memperoleh keuntungan,

(22)

dalam proses bertaraf minimum untuk kepentingan masyarakatnya.

Kewirausahaan sosial adalah kewirausahaan yang ditujukan untuk kepentingan masyarakat bukan sekadar memaksimalkan keuntungan pribadi. Kewirausahaan sosial biasa disebut 'pengembangan masyarakat' atau “organisasi bertujuan sosial' (Tan, 2005). Menurut J. Gregory Dees (1984), Professor of Sosial Entrepreneurship at Duke University yang mengatakan bahwa wirausaha sosial adalah pelaku reformasi atau revolusi sektor sosial (pendidikan, kesehatan, pengembangan ekonomi, lingkungan, seni dan sebagainya). Menurut Bill Drayton, CEO and Chair of Ashoka, wirausaha sosial adalah individu yang memiliki solusi inovatif untuk mengatasi masalah sosial dengan cara mengubah sistem, memberikan solusi dan memengaruhi masyarakat untuk melakukan perubahan. Menurut Muhamad Yunus, Founder of Grameen Bank, wairausaha sosial adalah inisiatif (ekonomi atau non ekonomi, bertujuan profit atau non profit) inovatif untuk membantu masyarakat.

Paul C Light (2006) mengamati berbagai definisi yang ada pengusaha sosial dan memberikan definisi yang luas yang menganggap bahwa pengusaha sosial adalah individu, kelompok, jaringan, organisasi atau aliansi. Tapi berupaya secara berkelanjutan melalui ide-ide yang berbeda untuk mengatasi masalah-masalah sosial yang signifikan. Lynn Barendsen dan Howard Gardener (2004) menjelaskan bahwa Pemimpin yang baru sebagai pemimpin yang sadar akan kewajiban mereka. Mereka memiliki kemampuan untuk melihat hal-hal yang sifatnya positif. Gillian et al. berpendapat bahwa hanya keterampilan saja tidak membuat kewirausahaan dapat dikatakan sebagai seorang pengusaha sosial.

Sebaliknya seorang pengusaha sosial juga memerlukan persimpangan virtuousness, kesempatan sosial, pengakuan, dapat menghakimi, bersifat toleransi, dan inovasi. Robert Ronstadt kewirausahaan didefinisikan sebagai proses yang sifatnya dinamis namun dapat menciptakan kekayaan yang sifatnya penting. Dalam pandangan pengusaha, kekayaan diciptakan oleh orang-orang yang mengambil resiko besar dalam hal waktu, karier, dan

(23)

komitmen untuk memberikan nilai dalam beberapa produk atau layanan. Nilai diinfuskan dengan mengamankan dan mengalokasikan keterampilan yang diperlukan dan sumber daya.

Sarah H Alvord (2004) membuat analisis komparatif dari tujuh kasus kewirausahaan sosial yang secara luas telah diakui sebagai sesuatu yang dianggap sukses. Mereka mengenali perbedaan-perbedaan dalam bentuk tujuh organisasi yang memperkenalkan inovasi. Thomson mendefinisikan pengusaha sosial sebagai orang-orang dengan sikap pengusaha bisnis, tetapi beroperasi di masyarakat. Mereka bertindak lebih sebagai pengasuh dari masyarakat dan bukan sebagai pengusaha yang dengan mudah menghasilkan uang. Gregory Dees (1998) mengidentifikasikan pengusaha sosial sebagai pengusaha yang langka. Dia menggambarkan satu set ciri-ciri luar biasa pengusaha sosial dengan menekankan bahwa masyarakat harus mendorong dan memberi balasan kepada orang dengan kemampuan yang sifatnya unik.

Hal ini tentunya sangat bergantung kepada bagaimana isi dari gagasan yang kita tawarkan, pada dasarnya agar gagasan serta ide yang kita tawarkan bisa diterima oleh masyarakat kita harus memiliki misi sosial di dalamnya semata-mata hanya untuk membuat masyarakat dapat terbebaskan dari permasalahan yang terjadi. Dalam pelaksanaan pengimplementasian gagasan tersebut pastinya kita akan mendapatkan banyak sekali permasalahan, seorang jiwa wirausaha sosial (social entrepreneur) harus mempunyai kemampuan pengelolaan resiko (risk management) agar dapat menuntaskan apa yang menjadi idenya tersebut. Kemampuan mengelola resiko ini merupakan suatu hal yang penting agar kita dapat memastikan bahwa program yang ditawarkan berjalan secara berkelanjutan.

2.4.4   Karakteristik Pengusaha Sosial

Karakteristik yang dimiliki social entrepreneur menurut Borstein (2006) dijelaskan sebagai berikut:

1)   Orang-orang yang mempunyai visi untuk memecahkan masalah masalah kemasyarakatan sebagai pembaharu masyarakat dengan gagasan-gagasan yang sangat kuat untuk memperbaiki taraf hidup masyarakat.

(24)

2)   Umumnya bukan orang terkenal, misalnya: dokter, pengacara, insinyur, konsultan manajemen, pekerja sosial, guru dan wartawan.

3)   Orang-orang yang memiliki daya transformatif, yakni orang-orang dengan gagasan baru dalam menghadapi masalah besar, yang tak kenal lelah dalam mewujudkan misinya, menyukai tantangan, punya daya tahan tinggi, orang-orang yang sungguh-sungguh tidak mengenal kata menyerah hingga mereka berhasil menyebarkan gagasannya sejauh mereka mampu.

4)   Orang yang mampu mengubah daya kinerja masyarakat dengan cara terus memperbaiki, memperkuat, dan memperluas cita-cita.

5)   Orang yang memajukan perubahan sistemis: bagaimana mereka mengubah pola perilaku dan pemahaman.

6)   Pemecah masalah paling kreatif.

7)   Mampu menjangkau jauh lebih banyak orang dengan uang atau sumber daya yang jauh lebih sedikit, dengan keberanian mengambil risiko sehingga mereka harus sangat inovatif dalam mengajukan pemecahan masalah.

8)   Orang-orang yang tidak bisa diam, yang ingin memecahkan masalah masalah yang telah gagal ditangani oleh pranata (negara dan mekanisme pasar) yang ada.

9)   Mereka melampaui format-format lama (struktur mapan) dan terdorong untuk menemukan bentuk-bentuk baru organisasi.

10)   Mereka lebih bebas dan independen, lebih efektif dan memilih keterlibatan yang lebih produktif.

Ditambahkan lagi oleh Emerson (dalam Nicholls 2006) juga mendefinisikan tipe dari pelaku social entrepreneurship, yakni:

1)   Civic innovator (Inovator dari kalangan sipil)

2)   Founder of a revenue generating social enterprise (Pendiri social enterprise yang mampu meningkatkan penerimaan)

3)   Launcher of a related revenue generating activity to create a surplus to support social vision. (Para aktor yang melaksanakan aktivitas yang berhubungan dengan peningkatan penerimaan yang menciptakan surplus untuk mendukung visi sosial). 4)   Social Entrepreneurship (pengusaha sosial)

2.4.5   Bentuk Wirausaha Sosial

Ada beberapa bentuk wirausaha sosial menurut Tan (2005):

1)   Organisasi berbasis komunitas; Organisasi semacam ini biasanya dibuat untuk mengatasi masalah tertentu dalam komunitas (kelompok masyarakat), misalnya menyediakan fasilitas pendidikan untuk anak miskin, panti sosial dll.

2)   Socially responsible enterprises; Wirausaha sosial ini berbentuk lembaga yang melakukan usaha komersial untuk mendukung/ membiayai usaha sosialnya. Sebagian keuntungan yang diperoleh dari organisasi profit ditujukan untuk membiayai usaha sosialnya.

3)   Socio-economic atau dualistic enterprises; Wirausaha sosial ini berbentuk lembaga komersial yang menjalankan usahanya berdasarkan prinsip-prinsip sosial. Misalnya lembaga yang melakukan daur ulang sampah rumah tangga, organisasi yang mempekerjakan orang cacat, kredit mikro untuk masyarakat pedesaaan.

(25)

2.4.6   Sifat Wirausaha Sosial

Menurut Dees (2001), ada empat sifat wirausaha sosial, diantaranya: 1)   Agen perubahan sosial.

Mengadopsi misi untuk menciptakan dan mempertahankan nilai sosial (bukan nilai hanya pribadi); Mengenali dan mengejar peluang baru untuk mewujudkan misi tersebut; Melakukan proses inovasi yang berkelanjutan, adaptasi, dan belajar; Bertindak berani tanpa dibatasi oleh sumber daya yang dimiliki; dan Meningkatkan akuntabilitas pada konstituen yang dilayani dan hasil kerja.

2)   Kreatif dan inovatif.

Kreativitas merujuk kepada pembentukan ide-ide baru, sementara inovasi adalah upaya untuk menghasilkan mengatasi masalah dengan menggunakan ide-ide baru tersebut. Dengan demikian, kreativitas merupakan titik permulaan dari setiap inovasi. Inovasi adalah kerja keras yang mengikuti pembentukan ide dan biasanya melibatkan usaha banyak orang dengan keahlian yang bervariasi tetapi saling melengkapi.

3)   Disiplin dan Bekerja keras.

Seorang wirausaha melaksanakan kegiatannya dengan penuh perhatian. Rasa tanggung jawabnya tinggi dan tidak mau menyerah, walaupun dia dihadapkan pada rintangan yang mustahil diatasi. Menjalankan organisasi sosial bukan hal yang mudah. Ada banyak hambatan akan dihadapi seperti mengidentifikasi akar masalah sosial, mendapatkan modal, pendanaan, mengelola program, membangkitkan partisipasi masyarakat, serta mengkomunikasikan ide/gagasan pada pihak lain. Seluruh masalah itu hanya dapat diatasi dengan mental disiplin dan bekerja keras. 4)   Altruis.

Sikap moral yang memegang prinsip bahwa setiap individu memiliki kewajiban membantu, melayani dan menolong orang lain yang membutuhkan. Tujuan tindakannya adalah kesejahteraan masyarakat secara umum. Wirausaha sosial harus memiliki sifat altruis ini karena seluruh tindakannya didorong oleh keinginan mengatasi masalah sosial. Tentu saja karena bekerja, ia mendapatkan imbalan material namun imbalan ini bukan menjadi pendorong utama.

2.4.7   Indikator Orientasi Kewirausahaan Sosial

Dari hasil kajian tentang orientasi kewirausahaan sosial, pada penelitian ini diambil indikator orientasi kewirausahaan sosial menurut Paul C. Light (2004) dimana indikator yang digunakan sebagai instrumen yang dapat diukur adalah sebagai berikut:

1)   Wirausaha

Indikator wirausaha dipahami sebagai sikap seseorang yang memiliki talenta atau bakat, kreatif, dan memiliki motivasi yang besar.

2)   Ide/Gagasan

Indikator ini diterjemahkan sebagai suatu orientasi untuk mengurangi/ mengatasi masalah dan memiliki gagasan untuk melaksanakan kegiatan sosial.

3)   Peluang

Indikator ini dipahami sebagai sesuatu yang persisten, peka terhadap lingkungan sekitar serta keinginan untuk berubah ke arah yang lebih baik.

(26)

4)   Organisasi

Indikator organisasi dipahami sebagai pandai mengatur strategi, melaksanakan kegiatan secara masif serta berani mengambil keputusan (self determination).

2.5   Kinerja LPD

2.5.1   Rasionalitas Kinerja LPD

Salah satu tolok ukur tercapai atau tidaknya tujuan LPD adalah penilaian terhadap kinerja lembaga tersebut. LPD merupakan sebuah lembaga yang pengelolaannya identik seperti mengelola lembaga. Oleh karena itu dalam mengukur kinerja lembaga maka hampir sama dalam mengukur kinerja lembaga. Seluruh aktivitas lembaga dikerahkan untuk mencapai tujuannya. Artinya, tujuan lembaga merupakan hasil akhir yang dikejar melalui eksistensi dan seluruh operasi lembaga, dalam hal ini misalnya; kelangsungan atau kesinambungan, keuntungan, efisiensi, kepuasan dan pembinaan karyawan, mutu produk atau pelayanan kepada konsumen, pertanggungjawaban sosial, kepemimpinan pasar dan lain-lainnya (Gluck & Jauch 1988). Dengan demikian segala upaya lembaga untuk mencapai tujuan biasanya diukur melalui penilaiai atas kinerja lembaga tersebut.

Untuk memperdalam pemahaman tentang kinerja usaha, Carton & Hofer (2006) menyatakan bahwa konsepsi kinerja organisasi/lembaga didasarkan pada gagasan bahwa organisasi/lembaga merupakan sekumpulan aset produktif yang meliputi sumberdaya manusia, sumber daya fisik dan modal untuk mencapai tujuan bersama. Sehingga dalam konteks ini, kinerja usaha adalah menggambarkan hasil yang dicapai lembaga dari serangkaian pelaksanaan fungsi kerja atau aktivitas lembaga dalam periode waktu tertentu. Oleh sebab itu, kinerja usaha adalah cerminan keberhasilan atau kegagalan suatu lembaga. Lebih jauh dikatakannya bahwa; “Kinerja lembaga/ organisasi adalah konstruk multi-dimensi yang unsur-unsur pokoknya meliputi dimensi; profitabilitas, produktivitas, dasar operasional pasar, pertumbuhan, efisiensi, liquiditas, ukuran pertumbuhan, kehidupan lembaga dan lain-lainnya, dimana masing-masing dimensi ini masih mengandung sejumlah indikator.”

(27)

Keats & Hitt, (1988) menyatakan bahwa penilaian terhadap kinerja lembaga memiliki nilai penting karena, selain dapat dipergunakan sebagai ukuran keberhasilan lembaga dalam periode tertentu. Penilaian kinerja dapat juga dijadikan umpan balik untuk perbaikan atau peningkatan kinerja di masa yang akan datang. Oleh karena itu, penilaian terhadap kinerja suatu lembaga harus dilakukan, karena hasil penilaian ini dapat dijadikan dasar informasi untuk melakukan perbaikan kinerja usaha untuk masa-masa kedepannya. Beal (2000) menyatakan bahwa “Masih terdapat kontroversi mengenai pendekatan yang tepat untuk konseptualisasi dan pengukuran kinerja lembaga.”

Wiklund (1999), yang mengutip pernyataan Atkinson, et al (1995), menyatakan bahwa sistem pengukuran kinerja yang efektif, sebaiknya mengandung indikator-indikator kinerja, yaitu; memperhatikan setiap aktivitas organisasi/lembaga dan menekankan pada perspektif nasabah, menilai setiap aktivitas lembaga dengan menggunakan ukuran kinerja yang terkait dengan nasabah, memperhatikan semua aspek aktivitas kinerja secara komprehensif yang dapat mempengaruhi nasabah dan menyediakan informasi berupa umpan-balik untuk membantu anggota organisasi/ lembaga dalam mengenali permasalahan dan peluang untuk melakukan perbaikan. Sampai sejauh ini yang diakui sebagai konsep pengukuran kinerja lembaga yang bersifat komprehensif adalah konsepsi Balanced Scorecard.

Norton and Kaplan (1992), dalam tulisannya yang berjudul: The Balanced Scorecard – Measures that Drive Performance, mengemukakan empat perspektif penilaian kinerja usaha lembaga yaitu: perspektif keuangan, perspektif nasabah, perspektif proses bisnis internal dan perspektif Pertumbuhan dan Pembelajaran. Dengan menggunakan empat perspektif ini, dimaksudkan oleh penemunya agar dapat melakukan penilaian terhadap kinerja usaha lembaga dengan lebih menyeluruh.

(28)

2.5.2   Balanced Scorecard Sebagai Pengukuran Kinerja

Pengukuran kinerja usaha lembaga secara tradisional, ternyata masih memiliki kelemahan-kelemahan sehingga memunculkan kebutuhan akan pengukuran yang lebih luas dan tidak semata-mata didasarkan pada perspektif keuangan saja. Artinya ukuran keuangan lebih banyak menginformasikan tentang keuangan masa lalu yang kurang dapat menuntun lembaga untuk menciptakan nilai investasi melalui nasabah, karyawan, proses, teknologi dan besarnya peran inovasi.

Sesungguhnya, informasi non keuangan keberadaannya juga merupakan faktor kunci untuk menetapkan strategi yang dipilih untuk mencapai tujuan lembaga. Hal ini dapat dihubungkan dengan informasi keuangan dalam merancang sistem pengukuran kinerja. Biasanya, penggunaan informasi keuangan lebih banyak digunakan untuk pengendalian oleh pihak manajemen yang lebih tinggi, sementara penggunaan informasi non keuangan dipergunakan pada tingkat manajemen yang lebih rendah. Disinilah diperlukan kombinasi pengukuran kinerja dari perspektif keuangan dan non keuangan sehingga dapat digunakan pada berbagai tingkatan manajemen.

Balanced Scorecard adalah sistem pengukuran kinerja komprehensif yang meliputi kinerja keuangan dan kinerja non keuangan. Secara konseptual balanced scorecard memberi penekanan bahwa ukuran keuangan yang menunjukkan kinerja masa terhadulu yang dilengkapi dengan ukuran non keuangan yang menjadi penggerak bagi kinerja di masa yang akan datang. Tujuan pengukuran Scorecard berasal dari visi dan strategi perusahaan yang dikelompokkan dalam empat perspektif yaitu keuangan, pelanggan, proses bisnis internal dan pembelajaran dan pertumbuhan yang membentuk framework Balanced Scorecard. Paparan ini didukung oleh pernyataan Kaplan and Norton (1992): “The measures are balanced between outcome measures the results from past effort and measures that drive future performance”

(29)

Pada dasarnya balanced scorecard berusaha untuk menyeimbangkan antara pengukuran internal yang diterapkan pada proses bisnis, inovasi, pertumbuhan dan pembelajaran dalam lembaga dengan pengukuran eksternal yang berguna bagi pengusaha sendiri dan nasabah. Artinya, secara internal konsep ini akan menyajikan informasi untuk keputusan-keputusan bisnis lembaga dan secara eksternal menyajikan informasi yang dapat dijadikan dasar bagi pengusaha sendiri sebagai pemilik lembaga, nasabah. Aspek balance dalam hal ini memberi penekanan atas adanya penyeimbang antara pengukuran internal dan eksternal, penyeimbang antara hasil usaha pada masa terdahulu dengan hasil usaha yang diinginkan di masa yang akan datang, dan penyeimbang antara objektivitas berupa hasil analisis kuantitatif dengan unsur subjektif yang berupa pertimbangan rasional yang dinyatakan sebagai pemicu kinerja lembaga.

Secara mendasar, sistem balanced scorecard merujuk pada pola analisis kinerja lembaga yang mengindikasikan: 1) merupakan suatu aspek strategi perusahan; 2) menetapkan ukuran kinerja melalui mekanisme komunikasi antar tingkatan manajemen; dan 3) mengevaluasi hasil kinerja secara berkesinambungan untuk dapat dipergunakan sebagai pengukuran kinerja selanjutnya. Oleh sebab itu, balanced scorecard menggunakan empat perspektif dalam mengukur kinerja lembaga.

2.5.3   Empat Perspektif dalam Balanced Scorecard 1)   Perspektif Keuangan

Pencapaian keuntungan adalah tujuan utama lembaga. Secara umum, yang menjadi tujuan lembaga adalah memaksimalkan laba. Walau pun untuk mengukur tingkat keberhasilan pencapaian keuntungan setiap lembaga tidak dapat digunakan standar yang sama, karena masing-masing lembaga mempunyai kondisi tertentu dalam setiap siklus bisnis yang dialami oleh masing-masing lembaga. Artinya, pada siklus usaha yang berbeda tujuan keuangan lembaga bisa berbeda. Pada umumnya, siklus usaha dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu: tahap

(30)

pertumbuhan, tahap bertahan dan tahap memanen. Hakikatnya, kinerja keuangan mempunyai peran ganda. Selain merupakan tujuan akhir bagi sasaran dan ukuran perspektif lainnya, kinerja keuangan juga merupakan dasar informasi untuk perencanaan strategis lembaga. Sehingga kinerja keuangan digunakan sebagai fokus pada indikator dan tujuan oleh perspektif lain dalam scorecard. Artinya kinerja keuangan menunjukkan dasar evaluasi atas strategi lembaga, implementasi dan aktivitas lembaga, apakah telah memberikan kontribusi terhadap perbaikan yang mendasar.

2)   Perspektif Nasabah

Dengan perspektif ini, lembaga berkomitmen mengidentifikasi segmen nasabah dan pasar yang dimilikinya. Kenyataan empiris menunjukkan bahwa pasar potensial sangat beragam dan sesungguhnya lembaga pun mempunyai keterbatasan dalam memuaskan seluruh pasar potensialnya. Disinilah lembaga membuat kebijakan segmentasi pasar untuk memetakan pasar mana yang paling baik dan layak untuk dilayani dengan mempertimbangkan sumberdaya yang dimiliki.

Dengan dasar ini, tolok ukur kinerja lembaga dari perspektif nasabah dipilah menjadi dua bagian yaitu; kelompok inti (customers core measurement group) dan kelompok penunjang (customers value propositions). Kelompok inti ini, terdiri dari empat elemen yaitu: 1) market share adalah perluasan pasar yang diukur dengan asumsi jumlah nasabah, uang yang dibelanjakan dan volume satuan yang terjual ke nasabah; 2) customers retention yang diukur dengan seberapa banyak lembaga berhasil mempertahankan nasabah lama; 3) customers acquisition yang diukur dengan seberapa banyak lembaga dapat menarik dan mendapatkan nasabah baru; 4) customers satisfaction diukur dengan kemampuan lembaga dalam memuaskan nasabah atas produk dan layanan lembaga terhadap nasabah; dan 5) customers profitability diukur dengan tingkat keuntungan bersih yang didapat dari nasabah. Agar tolok ukur inti dapat diterapkan, diperlukan tolok ukur kelompok penunjang yang merupakan

(31)

aktivitas penentu sebagai penggerak, yang diuraikan menjadi tiga tolok ukur yaitu: 1) product and service attributes yaitu atribut produk dan pelayanan yang di diukur dengan fungsi, kualitas dan harga; 2) customers relationship yaitu menyangkut kualitas pelayanan dan perasaan penanganan saat menggunakan produk lembaga; dan 3) image and reputation yaitu atribut yang mencerminkan citra yang mengandung unsur intangible untuk menarik bagi nasabah.

3)   Perspektif Proses Internal Bisnis

Dalam perspektif ini, lembaga berupaya mengidentifikasikan proses-proses penting bagi tercapainya tujuan lembaga. Biasanya lembaga akan mengembangkan sasaran yang ada pada perspektif ini setelah lembaga terlebih dahulu menetapkan sasarannya dalam perspektif keuangan dan perspektif nasabah. Norton and Kaplan (1992) mengidentifikasikan tiga tolok ukur untuk perspektif proses bisnis internal lembaga yaitu proses inovasi, proses operasi/produksi dan layanan purna jual.

Proses inovasi dideskripsikan menjadi dua komponen yaitu pertama: lembaga menggunakan hasil riset pasar untuk mengenali sifat pilihan nasabah, dan harga barang atau jasa yang ditawarkan lembaga. Kedua lembaga juga meneliti keberadaan dan kesanggupan (daya beli) nasabah sebagai dasar proses inovasi. Hal ini meliputi keseluruhan kesempatan dan pasar baru untuk barang dan jasa yang ditawarkan lembaga, yang diukur dengan tingkat nilai tambah ekonomi yang disampaikan kepada nasabah melalui inovasi dengan mendahului pesaing-pesaingnya.

Hakikat layanan purna jual, merupakan upaya lembaga untuk dapat memberikan manfaat tambahan kepada para nasabah yang telah menggunakan barang atau jasa dalam berbagai bentuk layanan pasca transaksi. Dalam hal ini yang ingin diketahui adalah apakah upaya dalam pelayanan purna transaksi ini telah memenuhi harapan nasabahnya. Aspek ini

(32)

diukur dengan kualitas layanan kepada nasabah, biaya, dan kecepatan pelayanan kepada nasabah.

4)   Perspektif Pertumbuhan dan Pembelajaran

Sebagai elemen utama dalam perspektif ini adalah orang, sistem dan prosedur kerja organisasi yang disepakati berperan penting dalam pertumbuhan jangka panjang lembaga. Biasanya, hasil pengukuran menunjukkan adanya kesenjangan yang besar antara kenyataan yang ada tentang orang, sistem dan prosedur kerja yang diharapkan dapat memfasilitasi pencapaian kinerja yang handal untuk mewujudkan tujuan lembaga. Artinya, untuk memperkecil kesenjangan tersebut, lembaga harus melakukan investasi pada tiga elemen utama tersebut, untuk menjamin tujuan jangka panjang lembaga.

Perspektif ini adalah merupakan infrastruktur yang memfasilitasi pencapaian tiga perspektif lainnya. Ukuran keberhasilan kinerja dalam perspektif ini pilah ke dalam tiga kelompok yaitu: 1) kemampuan karyawan yang pencapaiannya diukur dengan: kepuasan karyawan, loyalitas karyawan dan produktivitas karyawan. Sesungguhnya elemen ini diukur dengan tingkat kepuasan kerja karyawan dan besarnya pendapatan per karyawan. 2) kemampuan sistem informasi. Kemampuan sistem informasi akan memberi dukungan kepada karyawan sebagai penyempurnaan proses pelaksanaan yang eksistensinya sebagai umpan balik yang cepat, tepat waktu dan teliti mengenai barang dan jasa yang dipasarkan oleh lembaga, Ukuran keberhasilan elemen ini adalah; tingkat ketersediaan informasi, tingkat ketepatan informasi dan jangka waktu memperoleh informasi yang dibutuhkan tentang keberadaan lembaga.

Kelompok ke tiga adalah motivasi, pemberdayaan dan keserasian dalam lembaga. Aspek ini merupakan pra syarat untuk mencapai perspektif pertumbuhan dan pembelajaran. Penerapannya: walaupun seorang karyawan telah mempunyai informasi yang luas, tidak akan memberi kontribusi kepada lembaga jika mereka tidak termotivasi untuk melakukan yang

(33)

terbaik bagi lembaga. Penumbuhan motivasi ini bisa dilakukan dengan menciptakan iklim dan budaya organisasi yang kondusif bagi motivasi karyawan. Tolok ukur keberhasilan kinerja komponen ini yakni intensitas penyaluran aspirasi, dengan implementasi saran dari karyawan.

Dalam era globalisasi dimana arus informasi yang menyebabkan persaingan semakin ketat, dan ketangguhan lembaga dalam menghadapi pesaing mulai berubah. Crossan & Berdrov, (2003) menyatakan bahwa: “Peningkatan persaingan, globalisasi dan ledakan teknologi, kapabilitas inovasi dan penciptaan pengetahuan muncul sebagai faktor-faktor dominan dari keunggulan bersaing”. Oleh sebab itu, lembaga harus benar-benar dapat memaksimalkan pemanfaatan sumberdaya yang dimiliki, dan melakukan efisiensi sehingga tujuan yang telah direncanakan dapat diwujudkan.

2.5.4   Indikator Kinerja LPD

Pada hakikatnya LPD, mempunyai karakteristik yang sangat spesifik. Sifatnya yang fleksibel, sangat dinamis termasuk keterbatasan dan kelemahan yang melekat padanya, seperti kualitas manajemen yang masih sangat rendah, keterbatasan sumberdaya manusia, menyebabkan dalam penilaian kinerjanya pun harus menggunakan pola tersendiri. Dalam kajian ini, kinerja usaha akan langsung dianalisis berdasarkan perspektif balanced scorecard, sehingga sebagai indikator kinerja usaha adalah: kinerja keuangan, kinerja nasabah, kinerja proses bisnis internal dan kinerja pertumbuhan dan pembelajaran. Paparan detail tentang indikator-indikator ini, diuraikan seperti berikut.

1)   Kinerja Keuangan

Indikator kinerja keuangan, dalam hal ini didasarkan pada pencapaian lembaga dalam aktivitas-aktivitasnya yang dilihat dari tercapainya target keuangan sebagaimana telah direncanakan oleh lembaga. Ukuran pencapaian kinerja ini adalah: tingkat pertumbuhan pendapatan operasional, besarnya laba kotor, tingkat pengembalian investasi, tingkat

(34)

pengembalian modal, besarnya nilai tambah ekonomi, dan akhirnya tingkat penurunan modal kerja.

2)   Kinerja Nasabah

Kinerja nasabah adalah prestasi kerja LPD dalam mengidentifikasi segmen pasar dan segmen nasabah dimana lembaga itu berkompetisi serta ukuran kinerja yang akan digunakan pada segmen tersebut. Biasanya ukuran mendasar yang digunakan untuk mengukur indikator ini yaitu; jumlah nasabah; keberhasilan mempertahankan nasabah lama; keberhasilan mendapatkan nasabah baru; dan keberhasilan memberi layanan yang memuaskan kepada nasabah.

3)   Kinerja Proses Bisnis Internal

Indikator kinerja proses bisnis internal, adalah akumulasi proses-proses penting dalam LPD bagi tercapainya tujuan lembaga. Indikator ini akan diukur dengan: tingkat keuntungan atau manfaat yang didapat oleh nasabah di masa mendatang; proses layanan terhadap nasabah, memberikan layanan kepada nasabah termasuk fleksibilitas program untuk memberikan nilai tambah ekonomi kepada nasabah.

4)   Kinerja pertumbuhan dan Pembelajaran

Indikator pertumbuhan dan pembelajaran adalah terkait dengan kinerja orang, sistem dan prosedur kerja dalam LPD. Kinerja indikator ini akan diukur dengan: 1) tingkat kemampuan karyawan yaitu kepuasan, loyalitas dan produktivitas karyawan yang ditunjukkan oleh besarnya pendapatan per karyawan; 2) kemampuan sistem informasi yang akan diukur dengan tingkat ketersediaan informasi untuk pelaksanaan tugas karyawan, tingkat ketetapan informasi yang tersedia dan jangka waktu untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan tentang barang atau jasa dan lembaga; 3) prosedur kerja yang merujuk motivasi, pemberdayaan dan keserasian individu dalam lembaga, yang diukur dengan jumlah saran-saran karyawan

(35)

yang diimplementasikan dan direalisasikan, serta banyaknya saran-saran yang berguna bagi kemajuan LPD.

Kajian-kajian ilmiah pada LPD, terutama untuk penilaian kinerja usaha biasanya tentunya harus menggunakan pendekatan campuran (financial dan non-financial) untuk mengukur sejauh mana suatu usaha dapat mencapai tujuan-tujuannya. Walaupun kadang data atau administrasi LPD kadang tidak lengkap. “Dalam konteks ini, Dess & Beard (1984) merekomendasikan bahwa: “Untuk mengantisipasi tidak tersedianya data kinerja yang riil, masih memungkinkan digali dengan pendekatan persepsi dari para pengelola LPD tersebut.” Selanjutnya ditegaskannya kembali, bahwa kondisi ini dianggap relevan untuk mengukur kinerja suatu lembaga dengan menggunakan persepsi.

Referensi

Dokumen terkait

1. Melaksanakan pembelajaran dan bimbingan secara efektif, sehingga setiap santri di harapkan dapat berkembang secara optimal, sesuai potensi yang dimiliki..

Ucapan Hari Raya 2021 Malam Raya Memasang Pelita Bagi Menyambut Syawal Yang Tiba Ucapan Raya Maaf Dipinta Semoga Tiada Mengguris Jiwa Bersama Kita Menghindarkan Diri Semoga

Terhadap semua anak ayam dan mencit yang mati dari mulai hari kesatu sampai hari ketujuh pasca penyuntikan telah dilakukan isolasi dan identifikasi kembali bakteri Salmonella sp.,

“ Jika suatu potensi bahaya telah diidentifikasi pada suatu tahapan dimana pengendalian diperlukan untuk menjamin keamanan produk, dan tidak ada upaya pengendalian

dikopling dengan fenol dan menghasilkan senyawa warna quinoneimina (chromagen). Besarnya intensitas warna yang dihasilkan oleh senyawa quinoneimina tersebut Besarnya

Rancang Bangun Graphical User Interface (GUI) terdiri dari komunikasi serial sebagai penghubung antara PC dan mikrokontroller, komunikasi Ethernet sebagai penghubung antara PC

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh positif dan signifikan antara jumlah pemberian kredit terhadap rentabilitas pada koperasi Balidita Gondol periode 2008-2012, tidak

Objek pada penelitian Hidayat (2008) bersumber pada media cetak yaitu surat kabar Jawa Pos,  sedangkan objek penelitian ini yaitu tuturan kru bus jurusan Solo-Semarang.  Alih