• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembangunan Kota Ambon dan Papalele

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pembangunan Kota Ambon dan Papalele"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

Bab Empat

Pembangunan Kota Ambon

dan Papalele

Pengantar

Bab ini akan menguraikan tentang konteks papalele dalam pembangunan daerah dan kemajuan pembangunan di Kota Ambon. Sebagai kota perdagangan dan jasa, Kota Ambon terus membenahi diri terutama dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir. Perbaikan berbagai sarana dan prasarana publik, ber-kaitan dengan situasi pada saat konflik yang terjadi pada masa lalu, mengakibatkan kota Ambon mengalami kehancuran. Dalam proses pembangunan di Kota Ambon, papalele termasuk bagian dari multi persoalan pembangunan. Kontribusi papalele tidak serta-merta dinafikan, karena secara langsung maupun tidak langsung ada kontribusi yang diberikan bagi daerah. Apa saja kontribusi papalele dalam proses pembangunan daerah, bab ini akan menguraikannya.

Sebelum lebih jauh menjelaskan posisi papalele dan kontribusi bagi pembangunan daerah, terlebih dahulu akan diuraikan tentang sekilas sejarah dan istilah papalele. Sekilas sejarah dan istilah papalele tentu saja penting mengawali

(2)

bahas-an ini karena akbahas-an mudah dipahami perkembbahas-angbahas-an pemba-ngunan yang terjadi di Kota Ambon. Mengingat papalele sebagai satu istilah, telah menjadi simbol bagi masyarakat, khususnya mereka di wilayah perdesaan.

Sejarah penggunaan istilah papalele untuk pertama kali-nya nampakkali-nya belum tersedia cukup data. Mengingat pada masa lalu, berbagai penulisan penelitian sejarah tidak menyen-tuh secara langsung dinamika papalele dalam masyarakat. Pada beberapa tahun terakhir ini, baru kemudian bermunculan penelitian tentang papalele. Namun, tidak terdapat penulisan sejarah yang valid tentang asal-muasal kehadiran papalele. Namun demikian, patut diapresiasi bahwa ternyata, papalele memiliki sumber daya dan berkontribusi langsung pada sektor publik.

Di sisi lain, data statistik tidak mengakomodir papalele sebagai salah satu kegiatan ekonomi masyarakat yang turut memberikan kontribusi bagi pembangunan daerah. Data statis-tik hanya memuat katagori sektor Perdagangan; Perdagangan Lokal dari Pedagang Kecil, Pedagang Menengah dan Pedagang Besar (Kota Ambon Dalam Angka, 2007:195-200). Meskipun tidak ada statistik yang tersedia untuk mengkonfirmasi klaim tersebut, tetapi fakta membuktikan bahwa papalele berkontri-busi langsung kepada daerah melalui retriberkontri-busi yang dikenakan kepada mereka.

Makna dan Perkembangan

Papalele

Mencari asal dan awal mula perjalanan sejarah papalele di Maluku, hingga saat ini belum ditemukan. Bukti ilmiah peneli-tian publikasi atau yang tidak terpublikasi tidak tersedia. Terutama yang berkaitan dengan awal mula perjalanan sejarah dan terbentuknya lembaga papalele di masyarakat. Baik itu

(3)

dalam berbagai tulisan – penelitian sejarah dan hikayat Maluku yang terpublikasi maupun yang tidak terpublikasi. Hal ini hanya diperkuat tutur (oral) dan dukungan pendapat atau argumentasi dari pengungkapan sejarah perdagangan cengkih dan pala sebagai satu komoditas unggulan masa lalu.

Kesulitan pengungkapan asal-muasal istilah papalele hanya didasarkan pada pengetahuan para informan yang diperkuat oleh pendapat beberapa pihak tentang papalele. Pada awalnya konsep papalele lebih menitik-beratkan pemahaman pada “pas par makang” (cukup untuk makan)1. Pemahaman ini

lebih dimaksudkan untuk menggambarkan suatu keadaan tentang kelebihan hasil panen kebun (kabong) milik sendiri. Jika panen hasil kebun tersebut berlebihan, maka kami (katong) jual sadiki (sedikit). Karena itu, penjualan atas hasil kebun tidak dimaksudkan untuk mencari keuntungan semata. Tetapi penjualan kelebihan dari hasil kebun, maknanya untuk menjaga kekerabatan, antar keluarga terdekat, dan antar keluarga besar dan tetangga se desa dan atau antar desa bertetangga. Makna penjualan hasil kebun yang dilakukan agar hasil usaha berkebun dapat dinikmati oleh pihak lain, walaupun dijual dengan harga murah. Selain hasil kebun, kadang-kadang juga pembagian hasil kepada keluarga atau tetangga terdekat dari hasil tangkapan ikan laut yang berasal dari bubu2-manjala-tutup jaring3, atau

hasil memancing pada saat air laut surut (meti).

1 Wawancara dengan P.J. Pelupessy, dosen Jurusan Sosiologi Fakultas ISIP

Universitas Pattimura Ambon. Tanggal 12 November 2009.

2 Alat penangkap ikan di Makassar yang sejenis ini disebut Roppong. Roppong

merupakan alat penangkap ikan khas nelayan Mandar - Makassar. (Alimuddin, 2005: 80-94).

3 Sejenis rumpon yang dipasang ditengah laut untuk melokalisir ikan pada satu

lokasi. Demikian halnya dengan manjala-tutup jaring, merupakan cara yang dilakukan masyarakat pada satu lokasi tertentu di pesisir pantai dengan menggunakan jala agar ikan mudah ditangkap. Nama yang berbeda terhadap jenis alat tangkap ikan seperti ini ada juga pada nelayan Jawa Timur sekitar Selat Madura yang disebut dengan istilah ‘sero’. Di luar Pulau Jawa seperti

(4)

Menjual hasil kebun kepada tetangga se-desa dengan harga murah sebagai bentuk kemandirian keluarga. Karena hubungan persaudaraan dan kekerabatan yang kuat pada warga desa, kadang-kadang kelebihan hasil dibagi secara cuma-cuma ke sanak saudara dan tetangga. Pembagian itu tidak dilakukan secara terus menerus, sesuai dengan hasil panen pada jenis tanaman tertentu seperti sagu atau buah-buahan. Artinya kalau kelebihan hasil kebun diberikan begitu seterusnya, maka orang lain akan bersifat malas dan hanya menunggu pemberian (harap gampang). Nilai dasarnya, katong sama-sama rasa (kami sama-sama merasakan). Walaupun hasil pemberian itu sifatnya ter-batas dan sedikit tetapi “beta seng skakar par ale” (saya tidak pelit untuk kamu). Pihak yang diberi dan yang membeli juga tidak terus-menerus hanya meminta dan menunggu pemberian, sehingga menimbulkan perasaan tidak menyenangkan pada kedua pihak.

Keadaan tersebut yang kemudian membuat papalele tidak dapat berkembang. Karena mengutamakan dan mempertim-bangkan nilai kemanusiaan dalam lingkungan kekerabatan. Dari konsep ini, baru kemudian nilai-nilai papaplele mulai bergeser, dari beli barang dari orang lain dan jual kembali kepada pihak lain. Setelah itu, kembali dengan membawa barang lain, untuk dijual di sekitar lingkungan negeri dan negeri-negeri tetangga. Demikian terus papalele berkembang. Uraian ini setidaknya menggambarkan bahwa papalele yang pada awalnya hanya untuk membangun hubungan kekerabatan, bergeser pada kegiatan berjualan yang bersifat ekonomis. Orang-orang atau kelompok orang yang berjualan ini kemudian menjadi sapaan tradisi masyarakat dengan sebutan papalele.

Sulawesi Selatan disebut ‘bila’, dan di Kalimantan Barat alat ini disebut ‘belat jawa’ (Masyuri, 1995: 49-51).

(5)

Masyarakat berupaya untuk saling membantu memenuhi kebutuhan dengan cara barter. Barter adalah cara tradisional, saling menukar kebutuhan pokok (Souisa, 2001:67). Pertukaran in ditandai dengan saling memberikan hasil kebun seperti ubi atau buah-buahan antar keluarga. Dalam perkembangan sejarah itulah, terbukti bahwa kedua komoditas (cengkih dan pala) sebagai komoditas unggulan ini dijadikan sebagai sarana dan alat dalam kerangka membangun kekuatan politik ekonomi untuk menghegemoni masyarakat yang memang terkenal kaya dengan kedua sumber alam ini. Karena itulah banyak penelitian sejarah yang lebih difokuskan pada bagaimana peran negara ketika itu (penjajah) mendominasi seluruh proses perdagangan yang terjadi dalam masyarakat Maluku. Begitu kuat ketertarikan pada kedua hasil bumi ini, mengkibatkan proses aktivitas transaksi ekonomi – relasi sosial masyarakat ketika itu, luput dari perhatian berbagai pihak. Dalam posisi ini, rujukan pada sejarah kedatangan bangsa asing di Maluku untuk mengeksploitasi cengkih dan pala nampaknya dapat berkontribusi menguraikan tentang bagaimana dinamika ekonomi masyarakat terjadi ketika itu. Rujukan ini setidaknya dapat dijadikan sebagai penjembatanan kehadiran papalele dan sekaligus pintu masuk (entry point) memahami papalele pada aras masyarakat.

Konsep

Papalele

: Pengaruh Portugis dan Belanda

Sejarah papalele kemungkinan diawali dengan suasana kira-kira pada permulaan abad 16 ketika Maluku memiliki daya tarik pada hasil bumi melalui kepemilikan dan keberadaan cengkih dan pala. Pada abad ini kedatangan penjajah yang ingin menguasai hasil-hasil bumi di seluruh tanah Maluku tidak terelakkan lagi. Kepentingan penjajah tidak hanya untuk menguasai hasil bumi tetapi juga terselip di dalamnya untuk

(6)

melakukan ekspansi dan penyebaran ideologi (keagamaan). Kedatangan bangsa asing (penjajah) untuk mengusai hasil bumi di kepualuan Maluku yang dijelaskan oleh Ruhulessin (1993:36-50) dalam tiga skenario besar. Skenario pertama, permulaan sejarah Ambon pada permulaan abad itu memasuki suatu fase baru yang disebut sebagai arena ekspansi Portugis di kepulauan Maluku. Pada tahap ini, sejarah Ambon ditandai oleh perubahan-perubahan sosial yang signifikan, baik politik, ekonomi, keagamaan, dan kultural. Skenario ini diperlihatkan melalui bagaimana perjuangan untuk survive, menancapkan hegemoni di antara kesultanan Ternate dan Tidore, pedagang-pedagang Melayu, Jawa dengan para pedagang-pedagang Eropa (Portugis) untuk menguasai perdagangan dan produksi cengkih. Skenario kedua dimulai pertengahan abad ke 17 dan selama abad 18 dimana pada fase ini bagaimana masyarakat mengalami masa kesulitan yang sangat mencemaskan. Periode ini ditandai dengan masuknya era sistem monopoli VOC yang sangat mendominasi itu. Skenario ketiga yang disebut sebagai suatu masa yang ditandai dengan semakin jelasnya penetrasi dan kepentingan pedagang Eropa mulai mengkombinasikan antara kepentingan ekonomi – pengusaan hasil bumi dan kepentingan politik ekonomi.

Sementara itu, Leirissa (1973:84-85) juga menjelaskan bahwa untuk kepentingan perdagangan di Asia, pedagang-pedagang VOC mau tidak mau harus pula menghadapi orang-orang Portugis yang telah seabad sebelumnya berdagang di sana. Orang-orang Portugis pun telah mencoba cara perdagang-an monopoli tetapi sepertinya kehilperdagang-angperdagang-an daya. Pada kondisi kedatangan armada VOC yang dipimpin oleh Admiral Steven van der Haughen berhasil merebut benteng pertahanan Portugis, dan kemudian berupaya untuk menciptakan kekuatan baru melalui sebuah perjanjian – persekutuan dengan penduduk

(7)

lokal (negeri Hitu) pada tahun 1605. Leirissa kemudian menjelaskan pula bahwa perjanjian 1605 itu, hak monopoli VOC dirumuskan sebagai berikut; penjulan cengkeh oleh penduduk kerajaan Hitu hanya boleh dilakukan kepada VOC saja yang akan menempatkan agen-agennya di sana. Pedagang-pedagang lainnya dilarang campur tangan dalam perdagangan ini dan ditentukan bahwa penduduk tidak diperkenankan men-jualnya kepada mereka.

Yang dimaksud dengan pedagang-pedagang lain itu adalah mereka yang berasal dari Jawa, Sumatera, Semenanjung, Cina, Gujarat dan lain-lain. Mereka-mereka inilah yang telah lama berusaha di Maluku dan berdagang bersama-sama dengan orang Portugis. Oleh karenanya, Leirissa kemudian mengidenti-fikasi bahwa sebetulnya sebelum kedatangan orang-orang Portugis mereka telah mengunjungi kepulauan rempah-rempah ini. Perdagangan mereka biasanya merupakan perdagangan barter; bahan-bahan kebutuhan sehari-hari yang diperlukan penduduk di Maluku mereka angkut dari pelabuhan-pelabuhan lainnya di luar Maluku untuk ditukarkan dengan cengkih di Hitu atau pun di pelabuhan-pelabuhan di kerajaan-kerajaan di Maluku Utara. Sehingga dalam proses ini kemudian nilai ekonomis dari cengkih dan pala mulai mendapat tempat melalui perdagangan ini.

Bukti tentang eksploitasi tenaga masyarakat setempat terlihat pada pola kompensasi dari penugasan kepada setiap rumah tangga melalui raja negeri setempat mengatur hak-hak atas tanah pada setiap negeri. Pembagian dan pemanfaatan tanah tersebut terbagi ke dalam dati-dati. Menurut F. Valentijn yang adalah seorang misionaris (Ziwar, 1987:11) dati adalah hofdienst atau pada bulan-bulan dilaksanakannya pelayaran hongi setiap ‘rumah tangga’ diwajibkan menyerahkan seorang anak laki-laki selama kurang lebih satu bulan mengikuti

(8)

maskapai VOC melakukan tugas hongi. Alat kekuasaan VOC ini dikenal dengan nama armada kora-kora (Leirissa, 2004:58), atau yang dikenal dengan nama “hongitochten” (hongi = perang, tochten = ekspedisi). Masih menurut Leirissa, pengerahan tenaga laki-laki dari setiap keluarga untuk menjadi awak kora-kora untuk berperang, maka kompensasinya setiap keluarga mendapat sebidang tanah untuk mengusahakan makanannya (tanah dati). Kepergian laki-laki pergi berperang, mengaki-batkan kaum perempuan harus berperan mengolah lahan (kebun) untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sehingga bukan tidak mungkin, pada saat terjadi kelangkaan bahan makanan, barter antar keluarga atau tetangga mulai terjadi.

Pada bagian lain, Leirissa (2004: 65) sempat menyinggung tentang peran pedagang kecil yang dilakukan orang Cina di Ambon. Menurut Leirissa, perdagangan di Maluku Tengah pada umumnya dilakukan oleh warga kota keturunan Cina pada masa VOC. Baik pedagang kelontong maupun pedagang besar. Sehingga pemerintah saat itu mengangkat para pemimpin masyarakat Cina dari kalangan pedagang besar yang disebut Capitein der Chinesen dan Luitenant der Chinesen. Lebih lanjut Leirissa membahas bahwa pada umumnya orang Cina yang berdagang secara kelontong, berjalan kaki atau menggunakan perahu untuk mendatangi negeri-negeri, sambil menjajaki berbagai barang keperluan sehari-hari yang diimpor dari Batavia. Sebaliknya, mereka juga membeli berbagai barang dagangan yang laku di Kota Ambon, seperti sagu. Mungkinkah ini awal kehadiran papalele yang diadopsi dari pedagang Cina?.

Sementara itu, Souisa (1999:38-43) mencoba mengungkap asal muasal kemunculan papalele yang digambarkan sejarah papalele dalam tiga alur. Pertama, pada awalnya melalui mekanisme barter, kedua, kelompok perempuan yang disebut

(9)

jojaro4 melakukan perjalanan jauh secara bersama ke pasar, dan

ketiga, akibat ketimpangan sosial, budaya, ekonomi dan muncul identitas diri sebagai papalele.

Lintasan gambaran sejarah ini, jelas terlihat bahwa papalele atau pedagang kecil saat itu tidak dibicarakan secara tuntas. Pembicaraan diarahkan lebih kepada kondisi sosial politik serta kondisi perekonomian masyarakat secara umum. Fokus pembicaraan juga diarahkan pada taktik dan strategi pemerintahan penjajah dalam bidang politik ekonomi. Sekali lagi, masyarakat dan kegiatan berusahanya tidak mendapat perhatian.

Luputnya perhatian pada kehidupan ekonomi masyarakat, memungkinkan gambaran sejarah belum bisa menjelaskan tentang kehadiran awal mula berlangsungnya proses papalele dalam masyarakat. Situasi dan tekanan politik dan ekonomi model pemerintahan ketika itu, mengakibatkan masyarakat akan berupaya mencukupi kebutuhan ekonomisnya dengan berbagai cara, termasuk berdagang. Apakah itu secara terbuka dan atau secara tersembunyi untuk melindungi diri dari penjajah. Terlepas dari pandangan berbeda tentang awal mula kehadiran papalele, namun agaknya cukup untuk menjelaskan kehadiran awal papalele dalam masyarakat.

Berdagang Menurut Pemahaman Lokal

Pada umumnya istilah dan kata ‘papalele’ itu sendiri tidak banyak diketahui asal-usulnya. Pelaku papalele, dan masyarakat pada umumnya hampir tidak mengetahui secara pasti istilah ini pertama kali digunakan. Tetapi bagi masyarakat di Maluku istilah ini merupakan istilah lokal yang telah dikenal untuk mereka yang berusaha dengan cara menjajakan barang

(10)

an. Suatu bentuk perjumpaan antara penjual yang menjajakan barang-barang kebutuhan keseharian – biasanya dalam bentuk buah-buahan di wilayah pesisir Kota Ambon dan pembeli dengan berkeliling (baronda). Menjajakan barang tidak hanya secara berkeliling tetapi juga yang bersifat menetap pada satu lokasi tertentu. Pengistilahan ini sangat kuat melekat di masya-rakat yang kemudian dipahami bahwa yang melakukan peker-jaan ini adalah orang-orang yang asalnya dari wilayah perdesaan. Pada umumnya masyarakat dan para papalele itu sendiri, ketika ditelusuri asal mula kata ini tidak mengetahuinya secara pasti. Apakah ini adalah berasal dari bahasa-bahasa lokal ataukah merupakan kata yang diserap melalui bahasa dari bangsa Portugis dan atau Belanda yang ketika itu hadir dan mengapresiasi dan membentuk tatanan keseharian sosial ekonomi masyarakat ketika itu.

Dalam perkembangannya, papalele adalah orang-orang yang melakukan aktivitas ekonomi jual-beli kebutuhan tertentu bagi masyarakat5. Papalele selalu hadir dalam ruang publik

(public sphere) dan wilayah pasar (market sphere)6, yang pola

dan skala ekonomi yang masih bersifat tradisional. Aktivitas keseharian mereka memang hanya difokuskan pada bidang perdagangan (jual-beli) yang dijalankan dengan cara membeli suatu barang dan kemudian menjual kembali untuk mendapat keuntungan. Kalau kemudian sebagai istilah lokal ini, papalele ditinjau dari etimologi, maka ia terdiri dari dua kata yaitu papa yang berarti ‘membawa atau memikul’ dan lele yang berarti ‘keliling’. Jadi papalele berarti “berkeliling membawa atau

5Papalele sebetulnya dalam keseharian, mereka tidak bedanya sebagai

peda-gang perantara bagi pembeli (konsumen).

6 Thomas Janoski dalam bukunya “Citizhenship and Civil Society

(1998:11-14; Wiloso, 2009:34-36), mengkonseptualisasi dan membagi dunia kehidupan masyarakat dalam empat komponen interaktif yakni ruang negara (state

sphere), ruang publik (public sphere), wilayah pasar (market sphere) dan

(11)

memikul” (Souisa, 1999:38-39). Papalele juga dapat diartikan sebagai “melakukan kegiatan membeli barang, sesudah itu dijual lagi untuk mendapatkan sedikit keuntungan” (Mailoa, 2006:75).

Tidak cukup istilah ini berhenti sampai di situ, karena ada juga pandangan pihak lain yang mengatakan bahwa istilah papalele merupakan satu kata yang nampaknya dan mungkin pada mulanya berasal dari bahasa Portugis. Kehadiran bangsa Portugis ketika itu, yang hanya kurang dari seratus tahun dan digantikan dengan Belanda yang jauh lebih lama memang sangat mempengaruhi kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyakarat setempat (Cooley, 1973:122). Pergaulan dalam kurun waktu seperti itu, turut berpengaruh terhadap bahasa dan penggunaanya dalam pergaulan sehari-hari dan dalam berbagai bidang lain antara orang Portugis dan penduduk lokal. Pergaulan ini telah membawa dampak perubahan dan akibat masuknya unsur-unsur kebudayaan. Bahkan telah men-ciptakan suatu ikatan psikologis yang terus bertahan dalam masyarakat hingga saat ini7 (Abdulrahman, 1973: 45-79).

Pandangan tentang istilah papalele yang berasal dari serap-an bahasa Portugis. Perbincserap-angserap-an tentserap-ang asal-muasal istilah ‘papalele’ itu sendiri masih saling berbeda. Ada pandangan lain

7 Hubungan-hubungan dan penggunaan bahasa yang dipengaruhi oleh

hubungan geologis (klan) dan pengaruh lainnya sehingga terserap dari bahasa Portugis dapat disebutkan antara lain; Marga keluarga (Familyname): Alfons (‘Alfonso’), Kastanya (‘Gastanha’), Joris (‘Jorge’), Parera (‘Peirera’), Muskita, (‘Musquita’), Piris (‘Pires’), Soisa (‘de-souza’), Warela (‘Varella’), Lopies (‘Lopez’), de Fretes (‘de-Freytas’), de Lima (‘de-Lima’), Gomies (‘Gomez’). Istilah keluarga: ibu (‘Mai’), ayah (‘pai’), kunyado - ipar (‘cunhado’). Peralatan sehari-hari; kadera – kursi (‘cadeira’), meja (‘mesa’), garpu (‘garfo’), pekarang-an – halampekarang-an (‘kintal’). Cara pengawaten makanan: asapan (‘assar’). Yang berhubungan dengan aspek keagamaan: tempat khotbah (‘altar’), kain pikol – kain hitam-hitam (‘bandolir - bandoleira’). Nama-nama desa/wilayah: Hatiwe (‘Atuy’), Tawiri (‘Taury’), Kilang (‘Cuilan’), Soya (‘Soua’), Naku (‘Nacu’), Hatalai (‘Atala’), Seri (‘Puta-Sery’), Hutumury (‘Anthomori’), Rutong (‘Routon’), Halong (‘Ale’), Baguala (‘Baguelo’), Suli (‘Soul’) Waay (‘Vay’) dan lainnya (Abdulrahman 1973:45-79).

(12)

yang mengatakan bahwa istilah yang unsur kata serapan dari bahasa Portugis8. Terhadap kata ini sendiri, memang terdapat

beberapa pendapat yang mengakuinya sebagai bagian dari bahasa Portugis. Namun pendapat ini belum dapat dipastikan kebenarannya. Kalau kemudian anggapan ini benar, apakah dapat diterima bahwa kata papalele ini berasal dari serapan bahasa. Ternyata dalam kamus bahasa Portugis yang ditelusuri, tidak terdapat kata papalele, tetapi hanya kata ’papalvo’ dalam bahasa Portugues yang, artinya ‘individu yang sederhana’ (2000)9.

Istilah papalele mengalami pergeseran ‘ucapan’, karena sifat usaha yang sederhana. Sebagaimana dalam praksis sosial masyarakat Maluku ketika berinteraksi dan menerima unsur-unsur Portugis dalam kesehariannya yang sebelumnya telah diuraikan, maka bukan tidak mungkin papalele bisa dapat diartikan pula sebagai “suatu usaha individu yang sederhana”. Penggunaan ini sangat terkait dengan kondisi dan pola perilaku ekonomi yang sangat sederhana dalam berusaha. Kesederhana-an itu nampak pada bahKesederhana-an yKesederhana-ang dijual merupakKesederhana-an hasil kebun milik sendiri atau yang dibeli dari tetangga, kemudian dijual ke pihak lain. Bahan yang dibeli dan dijual dalam kuantitas yang kecil.

Selain itu sumber dana yang digunakan juga disesuaikan dengan kemampuan kepemilikan, dan peralatan pendukung sederhana. Sehingga dengan kesederhanaannya itu, mereka tetap eksis berjuang bagi kepentingan kesejehteraan ekonomi keluarga. Dalam perkembangannya secara sosial ekonomi yang terus berlajut hingga kini, mungkin juga terjadi pergeseran pemaknaan atas istilah yang digunakan. Pergeseran pemaknaan 8 Wawancara dengan Prof. J. Ayawaila, M.Dea. Guru Besar Antropologi

Fisipol Universitas Pattimura Ambon. Tanggal 28 November 2009.

(13)

istilah itu, tidak lagi dilihat pada ‘kesederhanaan’ itu, tetapi lebih dititik beratkan pada fungsi ekonomi dan sosialnya.

Jika menggunakan rujukan pengalaman sejarah dan dialek bahasa tersebut, maka paling tidak dapat dipahami bahwa memang di dalam masyarakat terjadi suatu dialetika sosial. Perjumpaan itu harus dilakukan dengan begitu kerasnya demi dan untuk mempertahankan kehidupan setiap keluarga. Bentuk perjuangan itu merupakan upaya yang didominasi kaum perem-puan guna pemenuhan ekonomi. Betapa tidak ketika orang laki-laki harus dipaksa bekerja keras untuk kepentingan penjajah, maka untuk menghidupi keluarga peran perempuan (ibu; mama) sangat menentukan. Mereka harus berjuang menafkahi anak dan keluarga sekaligus untuk mempertahakan kelang-sungan kehidupan. Sehingga papalele banyak dipahami sebagai pelaku ekonomi yang berkarakter feminism.

Mama

,

Tanta

dan

Papalele

Papalele adalah bentuk dari kegiatan ekonomi yang berfokus pada pola beli-jual. Perilaku ini memiliki keterkaitan yang signifikan dalam mengupayakan tambahan penghasilan bagi ekonomi rumah tangga. Aktor-aktor ekonomi ini hampir sebagian besar diperankan oleh kaum perempuan, sehingga mereka dengan mudah dikenali dalam ruang publik. Mudahnya masyarakat mengenal papalele, didukung pula oleh interaksi bersama mereka.

Panggilan dan sebutan akrab yang melekat pada mereka dalam keseharian telah terbiasa dipanggil dengan istilah “mama” yang mendahului nama asli mereka ataupun sapaan nama. Sebutan “mama” memang telah menjadi ciri khas bagi perempuan papalele. Kalau tidak ingin dipanggil papalele secara langsung, maka panggilan “mama” mendahului nama atau tidak

(14)

mendahului nama terkesan lebih dekat sebagai suatu bentuk kekerabatan dalam hubungan sosial. Kadang-kadang juga istilah “mama” bisa diganti dengan sapaan lain seperti “tanta” (tente). Suatu istilah panggilan dalam masyarakat bagi orang yang dianggap lebih dituakan, walaupun tidak terdapat hubungan keluarga (genealogis).

Konstatasi di atas juga dilihat oleh Julia Mosse (2007:38-39) yang mendalami sapaan (panggilan) dan pekerjaan serupa pada perempuan di Matabeleland Afrika bagian selatan. Baginya akal sehat tentu mengatakan bahwa menjadi “ibu” adalah alami10. Istilah “ibu” itu sendiri adalah istilah sosial sebagai

nama. Nama itu milik bahasa, sebuah hasil konstruksi manusia. Sebagai bentuk perilaku, menjadi ibu sangat variasi sehingga sangat sulit menentukan komponen terpenting dari pesan tersebut. Di Metabeleland, kata “ibu” tidak mesti berlaku semata-mata bagi satu ibu biologis. Paling tidak sapaan ini mengantar pemahaman kita bahwa peran perempuan tidak hanya sebatas pada lingkungan keluarga dalam proses penga-suhan keluarga, tetapi juga melakukan pekerjaan keras lainnya (bekerja) di luar keluarga.

Sejarah Pembangunan di Kota Ambon

Sub bagian ini akan mengantarkan kita untuk melihat deskripsi lintasan sejarah Kota Ambon dalam beberapa dekade terakhir. Paling tidak dengan selintas melihat sejarah Kota Ambon, dapat diketahui dinamika pembangunan yang telah, sedang dan akan terus berlangsung. Dinamika pembangunan ekonomi, sosial dan budaya akan turut mewarnai peran berba-10Julia Mosse (2007:38-39) menjelaskan tentang istilah ibu sebagai konstruksi

sosial sama seperti; Mama, Mae, Mutter, Moeder, Amma, Mere, Madre,

Matka, Makuahine, Ibu, Mamae, Ema, Aiti, Mor, Ame adalah frasa kata dunia

(15)

gai usaha ekonomi rakyat di dalamnya. Apakah itu tentang pedagang kecil, pedagang menengah maupun pedagang yang berkategori besar. Mereka semua merupakan bagian yang turut memberikan kontribusi bagi proses pembangunan di Kota Ambon.

Kota Ambon memiliki sejarah yang cukup panjang. Diawali pada tahun 1575, saat dibangunnya Benteng Portugis di Pantai Honipopu, yang disebut Benteng Kota Laha atau Ferangi, kelompok-kelompok masyarakat kemudian mendiami sekitar benteng. Kelompok-kelompok masyarakat tersebut kemudian dikenal dengan nama soa Ema, Soa Kilang, Soa Silale, Hative, Urimessing dan sebagainya (Leirissa, 2004:226-227). Kelompok-kelompok masyarakat inilah yang pertama kali mulai menjadi-kan cikal bakal Kota Ambon terbentuk. Dalam perkembangan-nya, menurut Leirissa, kelompok-kelompok masyarakat ini telah berkembang menjadi masyarakat genealogis territorial (Leirissa, 2004: 228).

Tanggal 7 September 1575 diputuskan sebagai hari lahirnya Kota Ambon, melalui suatu seminar di Kota Ambon11.

Atas inisiatif Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Ambon Alm. Letnan Kolonel Laut Matheos H. Manuputty12,

dibentuk-lah Panitia Khusus13 Sejarah Kota Ambon dengan tugas utama

11www.ambon.go.id. Dikunjungi tanggal 20 November 2010.

12 Merupakan Walikotamadya ke-9. Sebelum dam sesudahnya urutan

Walikota Ambon sejak Tahun 1964 sampai saat ini masing-masing: F.H. Pieter (1946-1950), E.J. Rehatta (1950-1953), W. Tutupoly (1953-1954), Z.M. Sitanala (1954-1956), C.K. Soselissa (1956-1957), Z.M. Sitanala (1957-1962), Drs. J.M.E. Soukotta (1962-1966), Drs. A. Malawat (1966-1969),M.H. Manuputty (1969-1975), Drs. S Assagaf (1975), A. Porwayla (1975-1986), J.D. Wattimena (1986-1991), J. Sudiono (1991-1996), Ch. Tanasale (1996-2001), Drs. H. Tuhumury (2001), Drs. M.J. Papilaja, MS dan Syarif Hadler, BA (2001-2006), Drs. M.J. Papilaja, MS dan Dra. Olivia Latuconsina (2006-2011).

13 Fakultas Keguruan Universitas Pattimura dipercayakan untuk membentuk

panitia melalui Surat Keputusan Dekan Fakultas Keguruan Universitas Pattimura tertanggal 1 Nopember 1972 nomor 4/1972 tentang pembentukan

(16)

menyelenggarakan suatu seminar ilmiah dalam rangka penentuan hari lahir Kota Ambon. Panitia tersebut dilegitimasi dengan Surat Keputusan Walikotamadya Kepala Daerah tingkat II Ambon tertanggal 10 Juli 1972 nomor 25/KPTS/1972 yang diubah pada tanggal 16 Agustus 1972. Diperkuat pula dengan suratnya tertanggal 24 Oktober 1972 nomor PK. I/4168 (Leirissa, 2004: 227).

Lebih lanjut dalam tulisan tentang sejarah kota Ambon menurut Leirissa (2004:228 dan Perda No 4 tahun 2004:9) ada tiga pertimbangan yang dipakai. Pertama, tentang penetapan tanggal 07 September didasarkan pada peninjauan fakta sejarah bahwa pada tanggal 07 September 1921, masyarakat Kota Ambon diberikan hak yang sama dengan Pemerintah Kolonial Belanda sebagai hasil manifestasi perjuangan Rakyat Indonesia asal Maluku di bawah pimpinan Alexander Yacob Patty untuk menentukan jalannya Pemerintahan Kota melalui wakil-wakil dalam Gemeeteraad (Dewan Kota) berdasarkan keputusan Gubernur Jenderal tanggal 07 September 1921 nomor 07 (Staatblad 92 Nomor 524). Kedua, ditinjau dari segi politik Nasional, momentum ini merupakan saat pengakuan dari Pemerintah Kolonial Belanda atas segala perjuangan rakyat Indonesia di Kota Ambon, yang sekaligus merupakan salah satu momentum kekalahan politis dari bangsa penjajah. Ketiga, bila Panitia Seminar Sejarah Kota Ambon. Seminar sejarah ini berlangsung dari tanggal 14 sampai dengan 17 Nopember 1972. Susunan Panitia Seminar dicatat sebagai berikut; Ketua: Drs. John Sitanala, Wakil Ketua Drs. John A. Pattikayhatu, Sekretaris Drs. Z. J. Latupapua, Seksi Persidangan yang terdiri dari tiga kelompok. Kelompok I diketuai Thos Siahay, BA, kelompok II diketuai Yoop Lasamahu, BA, kelompok III diketuai Ismail Risahandua, BA. Panitia Pengarah/Teknis Ilmiah diketuai oleh Drs. J.A. Pattikayhatu, dan anggota-anggota masing-masing: Drs. Tommy Uneputty, Drs. Mus Huliselan, Drs. John Tamaela, Dra. J. Latuconsina, Sam Patty, BA, dan I. A. Diaz. Pema-kalah terdiri dari 7 orang, 3 dari Pusat dan 4 dari daerah, masing-masing: Drs. Moh. Ali, Drs. Z. J. Manusama, Drs. I. O. Nanulaita, Drs. J. A. Pattikayhatu, Drs. T. J. A. Uneputty, Drs. Y. Tamaela dan, Dra. J. Latuconsina (Leirissa, 2004, dan www.ambon.go.id. Dikunjungi, 20 November 2010).

(17)

ditinjau secara yuridis formal, tanggal 07 September merupakan hari mulainya Kota Ambon memainkan peranannya di dalam pemerintahan dewasa itu.

Pembangunan di Kota Ambon

Secara geografis letak dan batas wilayah Kota Ambon berada pada sebagian besar dalam wilayah pulau Ambon, dan secara geografis terletak pada posisi: 3o-4o Lintang Selatan dan

128o-129o Bujur Timur, di mana secara keseluruhan Kota

Ambon berbatasan dengan Kabupaten Maluku Tengah (Kota Ambon Dalam Angka, 2007). Sementara batas wilayah Sebelah Utara, dengan Desa Hitu, Hila, Kaitetu, Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah, Sebelah Selatan dengan Laut Banda, Sebelah Timur dengan Desa Suli, Kecamatan Salahutu Kabu-paten Maluku Tengah, dan Sebelah Barat, dengan Desa Hatu, Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah. Sementara luas Kota Ambon mencapai 377 km2, luas daratan 359,45 km2

berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1979 (Kota Ambon Dalam Angka 2007 dan Pariela, 2008:78).

Ukuran luas wilayah darat yang tersaji di atas menun-jukkan bahwa ruang pemukiman dan aktivitas kegiatan masyarakat tentu sangat terbatas. Penduduk Kota Ambon dari tahun 2008 ke tahun 2009 mengalami pertumbuhan signifikan sebesar 16,06 persen. Tahun 2008, penduduk Kota Ambon berjumlah 302.095 jiwa, dan pada tahun berikutnya 2009 meningkat menjadi 350.604 jiwa14. Jumlah penduduk Kota

14 Laporan Walikota Ambon pada Rapat Paripurna Istimewa DPRD Kota

Ambon Dalam Rangka Penyampaian Pokok-Pokok Pikiran DPRD Dalam Bentuk Rekomendasi Terhadap Laporan Keterangan Pertangungjawaban (LKPJ) Walikota Ambon Tahun 2009. (Sumber:http://ambon.go.id/

(18)

Ambon merupakan daerah penduduk terbanyak di Provinsi Maluku. Tahun 2006 jumlah penduduk Provinsi Maluku sebanyak 1.384.58515 jiwa, dan Kota Ambon 25,32% dari total

tersebut.

Secara administatif Kota Ambon memiliki tiga kecamatan, 30 Desa dan 20 Kelurahan (Kota Ambon Dalam Angka 2007). Pada tahun 2006 Pemerintah Kota Ambon telah melakukan pemekaran terhadap tiga kecamatan tersebut, sebagai akibat dari berkembangnya kebutuhan masyarakat akan layanan publik. Untuk membantu masyarakat, maka Pemerintah Kota Ambon melakukan penambahan dua kecamatan baru, masing-masing Kecamatan Leitimur Selatan dan Kecamatan Teluk Ambon Baguala. Dengan demikian Kota Ambon hingga saat ini memiliki lima kecamatan masing-masing: Kecamatan Nusaniwe16, Kecamatan Sirimau17, Kecamatan Baguala18,

Kecamatan Teluk Ambon Baguala19 dan Kecamatan Leitimur

Selatan20 (Perda No. 6 Tahun 2006).

15 Sumber: http://maluku.bps.go.id/?pilih=mal. Dikunjungi, 7 Januari 2010. 16 Kecamatan Nusaniwe, terdiri dari: Kelurahan Silale, Kelurahan Urimessing,

Kelurahan Benteng, Kelurahan Wainitu, Kelurahan Kudamati, Kelurahan Waihaong, Kelurahan Mangga Dua, Kelurahan Nusaniwe, Desa Amahusu, Desa Nusaniwe, Desa Urimessing, Desa Latuhalat dan Desa Seilale.

17 Kecamatan Sirimau, terdiri dari: Kelurahan Waihoka, Kelurahan Amantelu,

Kelurahan Rijali, Kelurahan Karang Panjang, Kelurahan Batu Meja, Kelurahan Batu Gajah, Kelurahan Ahusen, Kelurahan Honipopu, Kelurahan Uritetu, Kelurahan Pandan Kasturi, Desa Galala, Desa Hative Kecil, Desa Batu Merah dan Desa Soya.

18 Kecamatan Baguala, terdiri dari: Desa Waiheru, Desa Nania, Desa Negeri

Lama, Desa Passo, Kelurahan Lateri, Desa Latta dan, Desa Halong.

19 Kecamatan Teluk Ambon, terdiri dari: Desa Laha, Desa Tawiri, Desa Hative

Besar, Desa Wayame, Desa Rumah Tiga, Kelurahan Tihu, Desa Poka dan Desa Hunuth/Durian Patah.

20 Kecamatan Leitimur Selatan, terdiri dari: Desa Hatalai, Desa Naku, Desa

Kilang, Desa Ema, Desa Hukurila, Desa Hutumuri, Desa Rutong dan Desa Leahari.

(19)

Kota Ambon sebagai pusat pemerintahan di Provinsi Maluku, memiliki kedudukan yang vital. Sehingga Pemerintah Kota Ambon meletakkan dasar pembangunan dalam Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kota Ambon (RPJP) 2006-2026 pada dua point utama yakni, pertama, Kota Ambon merupakan gerbang utama dari masuk keluarnya orang, barang, dan jasa ke seluruh Provinsi Maluku, kedua, Kota Ambon merupakan pusat aktivitas sosial budaya, ekonomi dan politik di Provinsi Maluku, sehingga kota ini menempati posisi sebagai trend setter bagi perkembangan wilayah-wilayah lainnya di Provinsi Maluku (Pariela, 2008:78-79).

Gambaran pembangunan Kota Ambon dalam beberapa tahun belakangan ini telah mengalami perkembangan yang signifikan. Dinamika pembangunan Kota Ambon semakin ber-geliat dengan berbagai sarana prasarana publik yang disediakan dan difasilitasi oleh pemerintah Kota Ambon untuk menunjang aktivitas masyarakat dapat diuraikan antara lain sebagai berikut.

Sebagai kota pulau, Kota Ambon memiliki potensi dan peluang pada bidang perikanan. Wilayah perairan Kota Ambon memiliki sumberdaya perikanan yang sangat potensial ditinjau dari besaran stok maupun peluang pemanfaatan dan pengem-bangannya. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian dan analisis terhadap kelimpahan stok potensi lestari. Untuk jenis ikan pelagis kecil kelimpahan stoknya adalah sebesar 1.470,7 ton per bulan dengan potensi lestari sebesar 735,4 ton per bulan, sementara pemanfaatannya sebesar 232 ton per bulan. Jenis-jenis ikan pelagis kecil yang memiliki potensi untuk dimanfaatkan dan dikembangkan adalah Stolephorus spp, Sardinela spp, Decapterus spp, Restrelliger spp serta Cypselurus spp.

Ikan pelagis besar tersebar pada wilayah ekologis pantai selatan Kota Ambon dengan kelimpahan stok sebesar 620,6 ton

(20)

per bulan dengan Maksimum Tangkap Lestari (maximum sustainable yield/MSY (Kahn, 2005:375), sebesar 310,3 ton per bulan dimana pemanfaatannya telah mencapai 127,1 ton per bulan atau sebesar 41% dari MSY. Ikan pelagis besar didominasi oleh Cakalang (Skipjack Tuna) dan Tatihu (Yellow Fin Tuna).

Perkembangan potensi perikanan ini memberikan pelu-ang pengembpelu-angan di masa mendatpelu-ang. Investasi untuk sektor perikanan dapat dalam bentuk perikanan budidaya dan perikan-an tperikan-angkap. Untuk perikperikan-anperikan-an tperikan-angkap, pada bagiperikan-an hulu dapat dikembangkan usaha pengadaan kapal, pasokan es dan Colt Strorage, sedangkan pada bagian hilir dapat dikembangkan usaha pengolahan komoditas ikan kaleng, komoditas ikan beku, dan komoditas ikan segar. Di samping adanya kegiatan peng-asapan ikan yang dapat dipasarkan untuk memasok kebutuhan lokal, regional (intra wilayah Maluku) dan nasional, selain itu juga dapat dikembangkan usaha rumah makan/restoran. Untuk perikanan budidaya usaha yang potensial dikembangkan adalah kolam pancing dan ekowisata.

Bidang Perdagangan dan jasa juga memiliki potensi dan peluang di masa mendatang. Sampai dengan tahun 2008 ada tiga usaha yang menonjol yaitu, Usaha Kecil dan Menengah seba-nyak 876 buah yang tersebar di Wilayah Kota Ambon, Perda-gangan dan Jasa sebanyak 949 buah serta Industri sebanyak 87 buah (Kota Ambon Dalam Angka, 2007). Di samping itu juga untuk menunjang aktifitas perekonomian masyarakat, telah tersedia satu buah Pusat Perbelanjaan Ambon Plaza, tujuh pasar tradisional dan satu kawasan baru untuk pengembangan pusat aktifitas perekonomian. Dengan adanya pengembangan kawas-an Passo sebaggai kota orde kedua, maka pelukawas-ang investasi pembangunan kawasan perdagangan dan jasa sangat menjanji-kan (Perda Nomor 4 Tahun 2006).

(21)

Sejalan dengan pengembangan Kawasan Passo sebagai Kota Orde Kedua memiliki akses yang sangat besar untuk menciptakan peluang bagi investor mengembangkan sektor perdagangan dan jasa. Karena kawasan ini akan didukung dengan ketersediaan terminal transit serta adanya alokasi ruang yang cukup serta potensial bagi pengembangan permukiman baru sehingga peluang investasi yang memiliki prospek adalah pembangunan kawasan perdagangan dan jasa21.

Bidang pariwisata juga menjadi sumber pendapatan eko-nomi kota Ambon. Pemerintah Kota Ambon terus mengupaya-kan peningkatan sarana dan prasarana wisata dalam rangka menarik wisatawan domestik maupun international berkunjung ke Ambon. Potensi wisata yang tersedia, lima wilayah ekologis perairan pesisir Kota Ambon memiliki potensi wisata bahari yang potensial. Dengan kondisi dan bentangan biofisik yang ada maka berbagai paket wisata bisa dirancang dan direncanakan untuk dikembangkan meliputi ekowisata, wisata pantai, wisata renang dan selam, serta wisata pancing. Hal ini turut didukung oleh kondisi alam pantai dengan panorama yang indah baik pada daerah pesisir pantai maupun daerah bawah laut yang memiliki beraneka ragam ikan hias dan terumbu karang yang langka di dunia.

Sampai dengan akhir tahun 2008, di Kota Ambon terdapat 39 objek wisata, berupa objek wisata alam 24 dan budaya 15 dengan penyebarannya yaitu untuk Kecamatan Nusaniwe 12 objek wisata alam (Laut 10, Darat 2) dan dua objek wisata sejarah serta budaya Kecamatan Sirimau, tiga objek wisata alam (darat) serta delapan objek budaya dan sejarah. Kecamatan Baguala objek wisata alam laut enam, darat satu lokasi dan budaya, serta sejarah empat objek lokasi. Sejumlah objek wisata

(22)

di dua Kecamatan yaitu di Kecamatan Teluk Ambon dan Kecamatan Leitimur Selatan, belum dikembangkan. Karena itu, potensi pengembangan cukup terbuka. Usaha pariwisata yang memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai investasi pada sektor hulu adalah pengembangan delapan potensi pariwisata di Kota Ambon yang belum dikembangkan dan pada bagian hilir adalah usaha biro perjalanan wisata dan usaha perdagangan produk-produk cenderamata. Skala usaha yang cocok dikembangkan adalah usaha kecil dan menengah, pembangunan hotel berbin-tang, usaha jasa perjalanan wisata serta pengembangan wisata bahari.

Untuk meningkatkan arus transportasi manusia, barang dan jasa, pemerintah Kota Ambon terus berupaya meningkat-kan sarana dan prasarana jalan. Jalan Raya: Jalan di Kota Ambon, terdiri dari jalan Negara yaitu: ruas jalan Ambon-Laha sepanjang 38 km, jalan Provinsi yaitu ruas jalan Passo-Hutumuri, Air Besar dan Soya serta Ambon-Latuhalat dengan panjang 46,31 Km, Sedangkan jalan Kota Ambon sepanjang 169,992 Km. Lapisan permukaan jalan terdiri dari jalan aspal 242,555 Km (95,38%) dan sisanya jalan kerikil dan tanah, dengan kondisi 28,26% tergolong baik 68,66 tergo-long rusak ringan dan 3,08% rusak berat, sedangkan jangkauan pelayanan telah menghubungkan semua kelurahan dan desa di Kota Ambon (Kota Ambon Dalam Angka, 2007).

Pemerintah Kota Ambon, pasca konflik terus bekerja keras bersama masyarakat menata pusat terminal angkutan darat. Mengingat semasa konflik, sarana dan prasarana yang tersedia pada terminal angkutan umum tersebut, hancur dan terbakar. Di Kota Ambon, untuk tahun 2007-2008, terdapat dua buah terminal yang berlokasi di kompleks pertokoan Mardika dan Batu Merah. Jumlah mobil angkutan umum, adalah sebanyak 1.117 kendaraan yang melayani 61 trayek.

(23)

Karena Kota Ambon dalam beberapa tahun belakangan ini mulai dipadati dengan kenderaan, maka Passo akan dikembangkan sebagai kota ordo kedua. Untuk menampung jumlah kenderaan angkutan umum yang terus meningkat. Oleh karena itu, Pemerintah Kota Ambon telah melakukan studi kelayakan untuk pembangunan terminal transit pada kawasan Passo, di atas lahan sekitar lima hektar. Terminal ini nantinya akan difungsikan untuk melayani kebutuhan angkutan penumpang dari Jezirah Leihitu dan Jezirah Salahutu, Maluku Tengah22.

Sebagai kota Transit Bisnis dan Perdagangan, Pemerintah Kota Ambon memfasilitasi bertambahnya sarana hotel dan penginapan di Kota Ambon. Jumlah Hotel di Kota Ambon tercatat 33 buah terdiri dari Hotel Bintang III sebanyak tiga buah dengan 197 kamar dan 251 tempat tidur, Hotel Bintang II sebanyak dua buah dengan 65 kamar dan 87 tempat tidur,Hotel bintang I sebanyak lima buah dengan 154 tempat tidur, sedangkan Hotel Non Bintang sebanyak 23 buah dengan 400 kamar dan 628 tempat tidur (Kota Ambon Dalam Angka, 2007). Dilengkapi dengan sarana-sarana Restaurant atau Rumah Makan dan Tempat Hiburan. Jumlah Restaurant dan Rumah Makan sebanyak 129, Rumah kopi 29, Cafe 24, Warung 36, dua Restauran Fried Chicken dan 26 hiburan Karaoke, sedangkan untuk tempat hiburan lainnya sebanyak 42 buah.

Untuk memperlancar arus transportasi antar provinsi di Indonesia, Kota Ambon memiliki satu Bandar Udara International Pattimura. Bandara Udara di Kota Ambon yaitu Bandara Udara Pattimura dengan fungsi sebagai Bandara Internasional, telah dilengkapi dengan berbagai fasilitas sesuai dengan peruntukannya sebagai Bandara Internasional. Beberapa

22

(24)

Maskapai penerbangan yang telah melayani penerbangan ke dan dari Ambon antara lain Maskapai Perbangan Garuda Indonesia Airlines, Lion Air, Sriwijaya Air, Batavia Air, Trigana Air. Lokasi Bandara berlokasi di Desa Laha Kecamatan Teluk Ambon, berjarak 36 Km dari pusat Kota Ambon.

Demikian halnya dengan sarana dan prasarana transport-tasi laut. Kota Ambon berada di antara pulau-pulau yang terse-bar di Provinsi Maluku. Tingkat kedatangan dan keberangkatan orang ke dan dari pulau-pulau meningkat. Kota Ambon telah tersedia Pelabuhan Laut. Pelabuhan (Dermaga) Nusantara Yos Soedarso tipe kelas 4, difungsikan sebagai Pelabuhan utama untuk kegiatan eksport dan import serta penumpang, sedangkan untuk mendukung kegiatan pelayaran antar pulau tersedia Pelabuhan Gudang Arang dan Pelabuhan Slamet Riyadi yang berfungsi sebagi pelabuhan lokal yang dikelola oleh PT. PELINDO.

Dari rangkaian gambaran pembangunan Kota Ambon dengan berbagai sarana dan prasarana publik yang telah tersedia, patut juga dikemukakan sejumlah sarana peribadahan di kota ini. Sebagai masyarakat plural, masyarakat di Kota Ambon terkenal sebagai kota yang damai dalam keberagamaan. Walaupun sempat dalam beberapa tahun lalu, Kota Ambon diliputi kerusuhan berbau suku dan agama. Namun, masa itu telah hilang dihancurkan oleh semangat ‘orang basudara’ atas dasar ‘pela-gandong’.

Berdasarkan data yang tersedia (Kota Ambon Dalam Angka, 2007), jumlah sarana rumah ibadah bagi kelima agama Kristen, Islam, Katolik, Hindu dan Budha bervariasi. Secara keseluruhan jumlah rumah ibadah sebanyak 342 unit. Masing-masing terdiri dari, Gerja Protestan 209 unit, Gereja Katolik 7

(25)

unit, Kapel 10 unit, Masjid 85 unit, Langgar 7 unit, Mussalah 18 unit. Pura dan Wihara masing-masing tersedia tiga unit.

Berdasarkan data yang tersedia pada Badan Pusat Statistik (BPS), Kota Ambon memberikan kontribusi terbesar pada Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Maluku selama periode tahun 2002-2006 (BPS, 2007). Selama tahun 2006, Ambon yang merupakan satu-satunya Kota di Maluku itu menghasilkan kontribusi sebesar 40,89% bagi PDRB. Sedangkan dua kabupaten lainnya yakni Maluku Tengah (Malteng) dan Maluku Tenggara Barat (MTB) berada di urutan kedua dan ketiga dengan kontribusi masing-masing yakni 14,74% dan 11,69%. Total kontribusi Kota Ambon serta Maluku Tengah dan Maluku Tenggara Barat (MTB) yakni 67,32%, sedangkan sisanya 32,68% disum-bangkan lima kabupaten lainnya, dan yang terkecil yaitu Seram Bagian Timur (SBT) dengan 3,68%23. Data

yang tersaji ini sesungguhnya dapat dipahami bahwa sebagai pusat pemerintahan dan perdagangan, pertumbuhan ekonomi Kota Ambon jauh lebih tinggi dibanding tujuh kabupaten lainnya di Maluku. Mengingat ekonomi non primer sebagai aspek utama penopang pertumbuhan. Sedangkan tujuh kabupaten lainnya masih mengandalkan sektor primer khususnya pertanian sebagai andalan utama pertumbuhan ekonomi. Sementara menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) laju pertumbuhan ekonomi kota Ambon di tahun 2009 mencapai 5,33 persen. Angka ini, lebih tinggi dari seluruh kabupaten/kota yang ada di Provinsi Maluku, bahkan lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi provinsi Maluku sendiri24.

Dari sederatan angka-angka tersebut patut dicatat bahwa peran

23 http://www.kapanlagi.com/h/old/0000172444.html. dikunjungi pada 02

Oktober 2010.

24http://ambon.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=236:di

targetkan-apbd-kota-ambon-tahun-2011-alami-surplus-rp-10 miliar&catid=

(26)

pedagang kecil, menengah dan besar, sebagai basis kewirausa-haan turut berkontribusi di dalamnya (Baumol et.al, 2010:13-14).

Salah satu aspek penting dalam menunjang proses pemba-ngunan dan pembiayaan program pembapemba-ngunan adalah sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Untuk mendukung PAD tentu masyarakat sebagai unjung tombak pembangunan sangat diper-lukan untuk mencapai kesamaan gerak dan irama dengan pihak swasta maupun pemerintah25. Sebagai bagian dari masyarakat,

pedagang kecil—papalele turut berkontribusi secara langsung. Kontribusi mereka melalui pembayaran retribusi yang dikena-kan setiap hari sebagai bentuk kompensasi penggunaan fasilitas publik yang disiapkan pemerintah daerah, seperti pasar, dan lokasi-lokasi perekonomian lainnya26. Lebih lanjut dikatakan

Walikota, semua pelaku ekonomi yang menggunakan fasilitas publik, tidak dilakukan diskriminasi, semua komponen pelaku ekonomi sama derajatnya dalam proses pembangunan. Retribusi yang dikenakan kepada para pedagang kecil per hari sebesar Rp200027, sesuai Peraturan Daerah (Perda) Nomor 6 Tahun

2001 tentang Pajak dan Retribusi.

Terkait dengan sumber pendanaan pembangunan, Penda-patan Asli Daerah (PAD) Kota Ambon tahun 2009 tercatat sebesar Rp.26.365.910.33028. Kontribusi retribusi sebesar 46,

67% atau senilai Rp 12.305.442.200. PAD mengalami pening-katan pada tahun 2010 sebesar Rp.47.385.642.86029, retribusi

25 Koran Suara Maluku, Rabu 30 Agustus 2006.

26 Wawancara dengan Walikota Ambon: Drs. M.J. Papilaja, MS, tanggal 7

Oktober 2009, dan wawancara dengan Sekretaris Kota Ambon: Dra. H.J. Hulisselan, M.Kes, tanggal 9 Oktober 2009.

27 Peraturan Daerah (Perda) Nomor 7 Tahun 2003, tentang Retribusi

Pelayanan Pasar, tertanggal 06 Maret 2003, dan Wawancara dengan Kepala Dinas Pendapatan Daerah Kota Ambon, tanggal 10 Oktober 2009.

28 Peraturan Daerah (Perda) Nomor 6 Tahun 2008, tanggal 27 Desember 2008. 29 Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2010, tanggal 27 Januari 2010.

(27)

daerah berkontribusi sebesar 36,17% atau senilai Rp.17.140.821.160. Pertanyaannya kemudian, apa hubungannya dengan papalele?.

Papalele sebagai pedagang kecil yang beraktivitas pada ruang publik, tidak ada dokumen—penelitian atau data statistik untuk mengidentifikasi keberadaannya. Selama ini belum ada satu pun data terkait jumlah papalele di Kota Ambon. Keter-batasan ini mengakibatkan kesulitan dalam mengidentifikasi apakah papalele sejak lama semakin bertambah atau sebaliknya semakin berkurang. Namun demikian, tidak adanya data terse-but tidak berarti sulit untuk memperhitungkan secara mate-matis kontribusi papalele bagi pembangunan. Secara umum, semua desa di Kota Ambon memiliki anggota masyarakat yang menjadi papalele. Desa Hatalai sebagai lokasi penelitian, terda-pat lebih kurang 35 orang yang bekerja sebagai papalele. Jika kita menghitung secara rata-rata di Kota Ambon ada 20 papalele per desa, maka terdapat sekitar 600 orang papalele. Dalam setahun kontribusi papalele untuk pemerintah Kota Ambon melalui retribusi daerah sebesar Rp.438.000.000. Dengan merujuk pada data retribusi tahun 2010, artinya papalele turut serta memberikan kontribusi senilai 2,6%. Prakiraan angka ini mungkin tergolong kecil, tetapi sesungguhnya tidak dapat dipungkiri bahwa kualitas kemajuan pembangunan Kota Ambon, tidak terlepas dari kontribusi papalele.

(28)

Referensi

Dokumen terkait

Formula tablet mukoadhesi vagina metronidazol Carbopol ® 940 20% menghasilkan tablet dengan karakteristik sebagai berikut: keseragaman bobot tablet 0,203 g keseragaman

Hasil yang didapatkan, 20 pasien (95,24%) memiliki skor yang tinggi pada kedua survey yang menandakan mereka memiliki health literacy dan medication knowledge yang baik.. Hanya ada

Selain beberapa hal diatas, untuk menjadi seorang guru yang sukses tidak hanya hadir disekolah dan menganggap tugas guru hanyalah mengajar tanpa melihat situasi dan

Nilai-nilai karakter yang akan diteliti dibatasi sebagai berikut; (1) religius, tindakan yang menunjukkan pikiran, perkataan, dan tindakan seseorang yang diupayakan

penelitian tentang pembentukan karakter santri di Pondok Pesantren.. Panggung Tulungagung, maka penulis dapat memberikan

 Menyedia, memasak, menghias, menghidang dan membuat pengiraan kos makanan siap masak yang ditambah nilai untuk

2. Using the dialogue, teacher gets pupils to read after. Pupils listen and read after teacher in TB page 12. Pupils complete the activity book with guidance... VOCABULARY

Berilah tanda checklist ( √) pada kolom yang tersedia dan pilihlah sesuai.. dengan keadaan