• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Pustaka Rinitis Alergi Hasma

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Tinjauan Pustaka Rinitis Alergi Hasma"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA RINITIS ALERGIKA

Tinjauan Pustaka Penyakit Terbanyak di Puskesmas Setia Budi

DISUSUN OLEH : HASMAWATI

2005730028

FAKULTAS KESEHATAN DAN KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

2009

(2)

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt karena berkat rahmat dan hidayah-Nya lah penulis dapat menyelesaikan pembuatan tinjauan pustaka yang berjudul Rinitis alergika Rinitis alergika merupakan salah satu penyakit yang termasuk dalam lingkup data penyakit saluran napas bagian atas atas lainnya pada pencatatan diagnosis sesuai ICD 9. Penyakit lain pada saluran napas bagian atas menduduki posisi keenam pada puskesmas kecamatan Setiabudi tahun 2006.

Ucapan terima kasih tak lupa penulis ucapkan kepada dokter pembimbing baik dari fakultas maupun dari puskesmas kecamatan Setia Budi dan rekan-rekan yang telah membantu penulis dalam pembuatan tinjauan pustaka ini.

Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan tinjauan pustaka ini masih banyak terdapat kesalahan. Untuk itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan guna perbaikan dalam pembuatan tinjauan pustaka selanjutnya.

Jakarta, 2009

Penulis,

(3)

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ………. i DAFTAR ISI ……… ii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ……… 1 1.2 Tujuan ………. 1 BAB II TEORI 2.1 Definisi ……… 2 2.2 Etiologi ……… 2 2.3 Patogenesis ………... 2 2.4 Faktor Resiko ……… 6 2.5 Kriteria Diagnosa ………. 6 2.6 Penatalaksanaan ……… 8 2.7 Komplikasi ……… 13 2.8 Prognosa ……… 13 DAFTAR PUSTAKA BAB I ii

(4)

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Rinitis alergika merupakan salah satu penyakit yang termasuk dalam lingkup data penyakit saluran napas bagian atas atas lainnya pada pencatatan diagnosis sesuai ICD 09. Penyakit lain pada saluran napas bagian atas menduduki posisi keenam pada puskesmas kecamatan Setiabudi tahun 2006.

Rinitis alergika telah terbukti berkaitan dengan insiden asma dan ekzema atopic. Sutau penelitian pada sekelompok mahasiswa dengan rinitis alergi memperlihatkan bahwa 17 hingga 19 persen dari mereka yang mederita asma; namun, 56 hingga 74 persen pasien asmatik ternyata menderita rinitis alergika. Tampaknya ada predisposisi herediter terhadap kondisi-kondisi ini 2.

Prevalensi rhinitis alergika pada berbagai studi epidemiology range-nya 3% - 19 %. Studi menunjukkan rhinitis alergi musiman (hay fever) ditemukan sekitar 10 – 20 % dari populasi yang ada. Sebuah studi menunjukkan bahwa prevalensi anak usia 6 tahun yang terdiagnosa rhinitis alergi mencaoai 42%. Secara keseluruhan, rhinitis alergi mengenai 20-40juta individu di US dalam setahun 3.

1.2 Tujuan

Setelah menyelesaikan pembuatan tinjauan pustaka ini diharapkan dapat mengetahui dan menjelaskan tentang rhinitis alergika mulai dari patogenesis, gejala klinis, kriteria diagnosis, hingga tindakan penatalaksanaan yang tepat.

(5)

BAB II TEORI 2.1 Definisi

Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on

Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin,

rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai Ig E1.

2.2 Etiologi

Rinitis alergika adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien yang atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut 1.

2.3 Patogenesis

Rhinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap provokasi/reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari dua fase yaitu Immediate

Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung

sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahna dan Late Phase Allergic

Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam

dengan puncak 6-8jam (fase hiper-reaktifitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam.

Pada kontak langsung pertama dengan alergen atau tahap sensitasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting

Cell/ APC akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa

hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan 1

(6)

bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper ( Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepaskan sitokin seperti interleukin 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th 1 dan Th 2. Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin sperti IL 3, IL 4, IL 5 dan IL 13. IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi Imunoglobulin E (IgE). IgE disirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor Ig E dipermukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitasi. Bila mukosa yang sudah tersensitasi terpapar dengan alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spasifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Preformed Mediators) terutama histamin. Selain histamine juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrin D4 (LT D4), Leukotrin C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin (IL3, IL4, IL5, IL6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony stimulating Factor) dll. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) 1.

Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamine merangsang ujung saraf vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adheesion Molecule 1 (ICAM 1).

Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respon ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6 – 8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan

(7)

jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil, dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan

Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM 1 pada

sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti

Eosinophilic Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP) dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini selain factor spesifik (alergen), iritasi oleh factor

non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi.

Bila dilihat pada gambaran mikroskopik, akan tampak adanya dilatasi pembuluh darah (vascular bad) dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mucus. Terdapat juga pembesaran ruang interselular dan penebalan membrane basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung.

Gambaran yang demikian terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus menerus/persisten sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjasi proliferasi jaringan ikat dan hyperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal.

(8)

1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya tungau debu rumah, (D. pteronyssinus, D.farinae,

B.tropicalis)I, kecoa, serpihan epitel kulit binatang (kucingm anjing),

rerumputan (Bermuda grass) serta jamur (Aspergillus, Alternaria). 2. Alergen ingestan yang masuk melalui saluran cerna, berupa makanan,

misalnya susu, sapi, telur, coklat, ikan laut, udang kepiting dan kacang-kacangan.

3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin dan sengatan lebah.

4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit dengan jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik, perhiasan.

Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran, sehingga member gejala campuran, misalnya tungau debu rumah yang member gejala asma bronchial dan rhinitis alergi.

Klasifikasi Rinitis alergika

Saat ini digunakan klasifikasi rhinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi :

1. Intermitten (kadang-kadang) : bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu

2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4 minggu

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rhinitis alergika dibagi menjadi :

(9)

1. Ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian, bersantai, berolah raga, belajar, bekerja, dan hal-hal lain yang mengganggu.

2. Sedang-berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.

2.4 Faktor Resiko

Faktor resiko rhinitis alergika antara lain 3: 1. Riwayat keluarga yang atopi

2. Serum IgE > 100 IU/mL sebelum usia 6 tahun 3. Sosioekonomi menengah keatas

4. Paparan terhadap alergen dalam ruangan (binatang dan debu) 5. Skin prick test positif

2.5 Kriteria Diagnosa

Membedakan rhinitis alergi dengan jenis rhinitis yang lain dapat menjadi susah karena kriteria diagnosis terhadap berbagai bentuk dari rhinitis tidak begitu jelas, penentuan diagnosis yang tepat sangat diperlukan karena terapi yang efektif bagi rhinitis alergi (misalkan antihistamin dan korticosteroid nasal) kemungkinan kurang efektif terhadap tipe rhinitis yang lain 4

Anamnesis

Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rhinitis alergika yang khas adalah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin meruppakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Gejala lainnya adalah keluar

(10)

ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat dan mata gatal, yang kadang-kadang dosertai dengan banyak airmata (lakrimasi). Sering kali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada anak. Kadang-kadang keluhan tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien. Evaluasi yang baik meliputi onset dan lamanya gejala, adanya keterkaitan dengan musim atau waktu tertentu, respon terhadap pengobatan, terpapar dengan alergen, dan keterkaitan dengan lingkungan 1,3.

Anamnesis yang dianjurkan untuk mendiagnosis rhinitis 3 :

- Gejala : durasi, waktu timbulnya efek setelah pajanan, efek terhadap kehidupan sehari-hari,

- Faktor Pencetus

- Lingkungan ; rumah, tempat kerja, sekolah, dan lain lain - Riwayat alergi yang lain ( asma, eksema, konjungtivitis)

5 6

(11)

- Riwayat pengobatan, trauma, dan terapi yang sedang dijalani saat ini - Riwayat makanan

- Riwayat keluarga, termasuk penyakit alergi - Gejala sistem lain

Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan pada nasal sebaiknya dilakukan pada pasien dengan riwayat rhinitis, termasuk pemeriksaan saluran nasal, sekresi, septum, aliran udara, dan menentukan apakah terdapat polyp nasi atau tidak.

Pada rinoskopi anterior, tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid disertai adanya secret encer yang banyak. Jika gejala persisten, mukosa inferior akan tampak hipertrofi. Gejala spesifik lain pada anak adalah terdapatnya bayangan gelapdidaerah bawah mata yang terjadi karena statis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner. Selain dari itu anak-anak akan tampak sering menggosok-gosok hidung (allergic salute), karena gatal dengan punggung tangan. Keadaan menggosok ini lama kelamaan akan membentuk garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah, yang disebut (allergic crease). Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi. Dinding posterior faring tampak granuler dan edema, serta dinding lateral faring menebal. Lidah tampak seperti gambar peta.

(12)

Pemeriksaan penunjang In vitro1 :

Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio immunosorbent test) seringkali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rhinitis alergika juga menderita asma bronchial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan RATS (Radio Immuno Sorbent

Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent assay Test). Pemeriksaan

sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (>5sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adnya infeksi bakteri.

In vivo 2:

Alergen dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point titration/SET), SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi. Untuk alergi makanan, uji kulit yang akhir-akhir ini dilakukan adalah

Intracutaneus provocative Dilutional Food Test (IPDFT), namun sebagai baku

emas dapat dilakukan dengan diet eliminasi dan provokasi (Challenge Test). Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan.

(13)

2.6 Penatalaksanaan Eliminasi alergen

Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan alergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi. Pasien yang peka terhadap debu harus hidup dalam lingkungan sebersih mungkin. Setiap ruangan harus sungguh-sungguh dijaga bebas dari benda-benda pengumpul debu seperti karpet dan gorden. Pasien yang peka terhadap kapang harus menghindari tidur di tempat yang lembab seperti, kamar tidur di lanatai bawah tanah. Jendela harus ditutup pada malam hari, karena udara malam sering kali mengandung kapang. Pasien yang peka terhadap asap harus menghindari ruangan penuh asap, serta menghindarkan beberapa makanan yang terkait dengan timbulnya gejala.

Medikamentosa

Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1, yang bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rhinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral.

◦ Anti histamin  Generasi pertama  CTM  Dws : 4 – 12 mg hs or 2 - 12 mg BID  Anak : 2 thn: 4 - 12 mg hs or 2 - 12 mg BID 6 -11 thn : 2 - 8 mg q d - BID, 12 mg/d max 2 -5 thn : 2 - 6 mg q d - BID 9

(14)

 Generasi kedua

 Fexofonadine : Dws :60mg bd atau 180mg 1kali sehari, anak >12 thn 60mg 2x/hari , 6-11thn 30mg 2x/hari

 Cetirizine : Dws : 5-10mg 1x/hari , anak >6 thn 5 – 10mg 1X/hari, 2-5thn : 2,5 atau 5 mg 1kali/hari ◦ Dekongestan

 Pseudoefedrin :

 D : 30-60 mg 4 – 6 jam sekali

 Anak : 6 – 11 thn : 30mg 4 – 6 jam sekali 2 – 5 thn : 15 mg 4 – 6 jam sekali

◦ Nasal dekongestan :  Mometasone :

◦ D : 4 semprot sebagai dosis single, anak 3-11thn : 2 semprot sebagai dosis single

Kombinasi antihistamin-dekongestan

Kombinasi antihistamin dengan dekongestan banyak digunakan. Kombinasi loratadine atau fexofenadin dengan pseudoefedrine banyak tersedia dan memberikan efek yang lebih baik dibandingkan pemberian antihistamin secara tersendiri.

Kortikosteroid

Preparat kortikosteroid topikal memiliki efek melalui mekanisme multipel, yaitu vasokontriksi dan mengurangi edema, menekan produksi sitokin dan 10

(15)

menghambat influks sel radang. Preparat ini merupakan terapi yang paling efektif pada rinitis alergi terutama derajat berat. Yang termasuk pada golongan kortikosteroid topikal ini yaitu budesonid, beklometason, flunisolid, flutikason, mometaso furoat dan triamnicolon asetonid. Tidak didapatkan efek samping sistemik yang signifikan pada dewasa, tetapi pada anak dilaporkan terdapat hambatan pertumbuhan pada pemakaian beclomethasone intranasal. Efek samping lokal yang timbul berupa kering dan iritasi pada mukosa hidung serta epistaksis ringan. Dalam pemakaiannya, harus diberitahukan kepada pasien agar dalam menyemprotkan obat tidak mengarah ke septum karena dapat terjadi erosi mukosa yang akhirnya menimbulkan perforasi septum.

Kortikosteroid oral digunakan pada kasus tertentu dengan gejala hidung yangsangat berat. Contoh obat yang digunakan yaitu prednison atau metiprednisolon.

Ipratropium Bromida

Ipratropium bromida intranasal dalam bentuk larutan 0,03% merupakan suatu agen antikolinergik yang cukup efektif dalammengurangi sekresi hidung, tetapi tidak signifikan terhadap gejala hidung yang lain. Pemberian preparat ini sangatt membantu bila rinore tidak dapat dikurangi dengan kortikosteroid topikal dan/atau antihistamin. Selain itu, dapat pula diberikan pada pasien yang mengalami rinore akut dengan sebab yang jelas sebagai profilaksis. Efek samping yang sering timbul yaitu iritasi hidung, timbulnya krusta dan epistaksis ringan.2,4 Sodium Kromoglikat

Sediaan sodium kromoglikat intranasal sudah tersebar penggunaannya dalam terapi rinitis alergi. Biasanya kurang efektif bila dibandingkan dengan antihistamin atau kortikosteroid. Pemberian optimal 4-6 kali sehari. Idealnya, obat ini diberikan sebelum gejala mayor timbul karena cara kerjanya sebagai stabilisator sel mast. Jika diberikan 4 kali sehari, obat ini sama efektif dengan antihistamin dalam mengurangi bersin, rinore dan gatal pada hidung. Selain itu,

(16)

dapat juga digunakan sebagai profilaksis akut sebelum terpapar dengan alergen yang sudah diketahui.

Leukotriene Modifier

Golongan obat ini merupakan antagonis reseptor leukotrien. Pengaruhnya terhadap gejala rinitis yaitu dengan dihambatnya produksi leukotrien dapat mengurangi gejala, terutama sumbatan hidung, karena diduga leukotrien berperan dalam menyebabkan sumbatan hidung pada rinitis alergi. Akan tetapi, obat ini bukan merupakan pilihan utama untuk rinitis.

Imunoterapi

Imunoterapi alergen sangat efektif dalam mengendalikan gejala rinitis alergi yang berat. Penelitian-penelitian pada dekade terakhir ini mengemukakan bahwa imunoterapi alergen menyebabkan toleransi terhadap limfosit T alergen spesifik dengan adanya penurunan pengeluaran mediator dan inflamasi jaringan. Pemberian imunoterapi dipertimbangkan pada pasien-pasien dengan :

(1) tidak responsif terhadap kombinasi pengendalian lingkungan dan medikasi (2) mengalami efek samping medikasi yang cukup berat

(3) mengalami gejala sepanjang tahun yang memerlukan terapi setiap hari, atau (4) menginginkan pengendalian jangka panjang terhadap gejala alergi.

2.7 Komplikasi

Komplikasi rhinitis alergi yang sering ialah 1: 1. Polip hidung

(17)

Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah satu factor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung.

2. Otitis media efusi yang residif, terutama pada anak-anak 3. Sinusitis paranasal

2.8 Prognosa

Gejala rhinitis alergi dapat ditangani dengan baik. Pada beberapa kasus ( terutama pada anak-anak) seiring dengan pertumbuhan, system imun menjadi kurang sensitive terhadap alergen. Meskipun, umumnya suatu substansi yang menyebabkan alergi pada seseorang, dapat terus mempengaruhi dalam waktu yang lama. Beberapa kasus rhinitis alergi yang parah membutuhkan imunoteraoy atau tindakan operatif untuk pada jaringan di dalam hidung atau sinus 5.

DAFTAR PUSTAKA

1 Irawati Nina, dkk. Rinitis Alergi. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Edisi keenam. Balai Penerbit FKUI. Jakarta, 2007: hlm. 128

2 Peter A. Hilger, M.D. Penyakit Hidung. BOIES Buku Ajar Penyakit THT Edisi6. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta, 1997: hlm.210

3 Mark S Dykewicz, MD, et al. Diagnosis and Management of Rhinitis: Complete Guidelines of the Joint Task Force on Practice Parameters in Allergy, Asthma and Immunology. Annals of allergy, asthma, & immunology. Volume 81, november (part II), 1998 : hlm. 478

4 Agency for Healthcare Research and Quality. Evidence report/technology assessment No. 54. Management of allergic and nonallergic rhinitis. May 2002.

(18)

Didapat dari : http://www.ahrq.gov/clinic/tp/rhintp.htm . Diunduh 17 Januari 2009

5 David M. Quillen, M.D , et al, Diagnosing Rhinitis: Allergic vs. Nonallergic. Didapat dari : http://www.aafp.org/afp/20060501/1583.htm . Diunduh 17 Januari 2009

6 Allergic Rhinitis, Medline plus, Update Date: 10/30/2006. Didapat dari :

http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000813.htm.Diunduh 17 Januari

Referensi

Dokumen terkait

Peta Lokasi Pumping Test Sumur Dalam Kota Denpasar (10 titik data primer dan 5 titik data sekunder) Sumber : Hasil pemetaan.. Peta Kontur Air Tanah Tertekan Kota Denpasar

Nilai-nilai budaya adalah sesuatu yang dirumuskan dan ditetapkanoleh penganut budaya yang dianggap baik atau buruk. Norma-norma budaya adalah suatu kaidah yang

selaku Ketua Program Studi Pendidikan Matematika Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surakarta yang telah memberi kesempatan untuk

Pada fraktur femur, pasien biasanya datang dengan gejala trauma hebat disertai pembengkakan pada daerah tungkai atas dan tidak dapat menggerakkan tungkai..

Klien : ( menarik nafas) Yang paling utama ialah sikap saya : ( menarik nafas) Yang paling utama ialah sikap saya sendiri iaitu masalah kewangan sebab saya ni memang sendiri

Sementara deaerators mekanis yang paling efisien menurunkan oksigen hingga ke tingkat yang sangat rendah (0,005 mg/liter), namun jumlah oksigen yang sangat kecil

Secara praktis, penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan para pakar hukum Islam atau dapat digunakan oleh praktisi hukum Islam dan pihak berwenang

Jika pada site sudah tidak ditemukan nilai counter yang dibawah standard threshold dan kualitas throughput sudah optimal, maka bisa diambil kesimpulan dari metode yang