• Tidak ada hasil yang ditemukan

MANAJEMEN KESEHATAN DAN PENYAKIT PADA TERNAK BABI. Oleh: drh. Kadek Karang Agustina, MP. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MANAJEMEN KESEHATAN DAN PENYAKIT PADA TERNAK BABI. Oleh: drh. Kadek Karang Agustina, MP. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Oleh: drh. Kadek Karang Agustina, MP

Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana

PENDAHULUAN

Babi memiliki banyak keunggulan dibandingkan ternak lain yaitu laju pertumbuhan yang cepat, mudah dikembangbiakkan, mudah mencari sumber pakan serta nilai karkas cukup tinggi sebagai penyedia protein hewani bagi manusia. Cara pemeliharaan ternak babi juga tidaklah terlalu sulit, namun begitu beberapa penyakit pada babi perlu mendapatkan perhatian serius. Bila ingin berhasil dalam beternak babi tentunya harus menguasai manajemennya, baik itu perkandangan, penyakit maupun pemasaran. Pengendalian penyakit adalah salah satu bagian dari manajemen pemeliharaan ternak babi yang tidak bisa disepelehkan.

Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan usaha pengembangan ternak babi dari aspek manajemen adalah faktor kesehatan atau pengendalian penyakit. Ternak babi sangat peka dan rentan terhadap penyakit. Penyakit menyebabkan kerugian ekonomi dalam pengertian mortalitas dan morbiditas laju pertumbuhan, konversi makanan yang buruk, biaya pengobatan meningkat serta gangguan kontinuitas produksi. Memiliki pengetahuan tentang penyakit yang lazim atau penyakit yang sering muncul akan sangat membantu dalam mengambil tindakan pencegahan dan pengendalian penyakit.

Babi mudah terserang penyakit baik infeksi maupun non infeksi. Penyakit infeksius yang sering menyerang babi umumnya diakibatkan oleh agen berupa Virus, Bakteri maupun Parasit. Selain dari organism pembawa penyakit, manajemen pemeliharaan yang kurang baik turut berpengaruh pada kesehatan ternak babi. Memiliki pengetahuan tentang penyakit yang lazim atau penyakit yang sering muncul pada ternak babi akan sangat membantu dalam mengambil tindakan pencegahan dan pengendalian penyakit.

(3)

PENYAKIT INFEKSIUS YANG UMUM MENYERANG BABI DI BALI 1. Penyakit yang disebabkan oleh virus

a. Kolera babi /Hog cholera

Hog cholera adalah penyakit menular pada babi yang disebabkan oleh virus hog cholera. Virus Hog cholera termasuk famili flaviviridaedan genus pestvirus.

Gejala klinis:

Penyakit ini ditandai dengan demam tinggi, kejang, dan pendarahan bagian permukaan kulit dan bagian dalam (limpa, ginjal, dan usus) pada babi. Babi yang terserang virus tersebut akan meninggal dalam waktu 15 hari.

Pencegahan:

Pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan Vaksinasi. Dapat juga didukung dengan mengupayakan kandang dalam keadaan kering dan bersih dan komposisi makanan yang sesuai dengan berat badan babi supaya stamina babi terjaga. Penanganan:

Isolasi babi yang sakit, kandang yang bersih diberikan desinfektan. Sediakan air minum yang bersih

Pemberian antibiotika dan multivitamin untuk mencegah infeksi ikutan dari bakteri. 2. Penyakit yang disebabkan oleh Bakteri

a. Demam Streptococcus

Selama 20 tahun terakhir Streptococcus telah diketahui menjadi bakteri patogen paling penting dalam industri ternak babi. Bakteri yang tergolong kedalam kelompok gram-positif ini menyebabkan berbagai penyakit klinis pada babi dan hewan domestik lainnya serta kerugian ekonomi yang tinggi diakibatkan oleh tingginya angka morbiditas dan mortalitas ternak babi. Streptococcus khususnya spesies Streptococcus

suis adalah patogen oportunistik yang bersumber dari ternak babi, merupakan

zoonosis patogen yang mengancam kesehatan manusia. Manusia dapat terinfeksi oleh

S. suis ketika mereka menangani bangkai atau daging babi terinfeksi, terutama dengan

luka terbuka dan lecet di tangan mereka. Infeksi pada manusia bisa berakibat parah, dengan gejala meningitis, septikemia, endokarditis, bronchopneumonia dan tuli permanent sebagai dampak dari infeksi S. suis.

(4)

yang paling umum adalah kebengkakan sendi kaki depan maupun belakang, kebengkakan ini umumnya bersifat tunggal tetapi dapat pula lebih dari satu kaki yang terserang.suhu rectal babi meningkat dan babi tdak mau makan. Kemeahan pada kulit sering terlihat baik pada babi putih maupun hitam, diikutidengan gejala saraf, ingusan dan ngorok. Beberapa kasus memperlihatkan gejala konstipasi dengan kotoran/feses yang keras. Batuk darah kadang ditemukan beberapa saat sebelum hewan mati. Apabila babi mampu melewati masa akut, akan terlihat gejala kelumpuhan dan kaki tampak diseret ketika berjalan.

Pencegahan:

Jaga kebersihan kandang babi, pakan yang baik, rutin pemberian multivitamin (khususnya pada musim pancaroba)

Penanganan:

Isolasi babi yang sakit (kandang bersih, kering dan hangat), gunakan daun kering, sekam atau jerami untuk alas kandang.

Segera panggil dokter hewan untuk mendapatkan penanganan medis (pemberian antibiotika, anti radang dan vitamin), jangan menunggu banyak babi yang sakit. b. Pneumonia/radang paru-paru

Suatu penyakit yang bisa menyerang segala binatang, termasuk ternak babi. Bila tanpa pengobatan, 50-70% ternak babi akan mati.

Penyebab: Mikroorganisme, Virus, cacing paru-paru (lungworms) Gejala:

Batuk-batuk, pernapasan berbunyi dan terengah-engah, pernapasan cepat dan dangkal. Kaki nampak terbuka lebar, konstipasi, nafsu makan hilang, temperatur tubuh tinggi, moncong dan hidung panas serta kering, kulit dan bulu kasar, kering.

Pencegahan dan pengobatan:

Pemeliharaan yang baik terutama kebersihan didalam kandang dan sekelilingnya. Ternak babi yang sakit ditempatkan di tempat yang bersih, dan tak berangin. Panggil dokter hewan untuk mendapatkan penanganan medis (pemberian antibiotika, anti radang dan vitamin), jangan menunggu banyak babi yang sakit.

c. Diare putih/Colibacillosis

Colibacillosis adalah penyakit pada hewan, terutama yang berumur muda yang disebabkan oleh bakteri Escherichia coli (E.coli). E.coli pertama diisolasi oleh

(5)

Escheric pada tahun 1885 dan feses manusia pada anak muda. Penyebaran bakteri ini sangat luas, lazim ditemukan dalam usus (terutama usus bagian bawah) baik pada hewan maupun manusia. Penyakit ini umumnya menyerang babi muda yang masih menyusu dengan induknya. Penyakit ini muncul seiring dengan kebersihan kandang yang kurang baik sehingga kuman tumbuh disana.

Gejala klinis:

Diare berwarna putih, bulu kusam, nafsu makan menurun, kekurusan, penyakit yang kronis dapat mengakibatkan kematian.

Pencegahan:

Menjaga kebersihan kandang, ketersediaan air bersih untuk minum, kandang yang kering.

Penanganan:

Bila ditemukan anak babi yang menderita diare putih, segera hubungi dokter hewan untuk mendapatkan penanganan medis (pemberian antibiotika, anti peristaltik dan vitamin). Jaga kebersihan kandang dan tetap kering, gunakan alas/litter berupa sekam. d. Mastitis/Radang ambing

Penyakit ini adalah penyakit babi induk yang habis melahirkan dimana mengalami kegagalan didalam mengeluarkan atau memproduksi air susu. Penyebabnya: Kuman Eshericho coli, Staphilococcus agalactia.

Gejala klinis:

Gejala pertama biasanya nampak 3 hari sesudah melahirkan, walaupun sering dapat terlihat belum melahirkan atau sebelum anak-anak disapih. Demam, tidak nafsu makan, anak babi menjerit-jerit karena tidak mendapatkan air susu, rasa sakit pada ambing (disembunyikan/tidur telungkup).

Anak babi biasanya terserang diare akibat meminum air yang kotor (haus karena tidak menadpatkan air susu induknya).

Pencegahan:

Pakan yang baik, pemberian herbal pelancar air susu serta kebersihan kandang dijaga Penanganan:

Pemberian herbal pelancar air susu, pengobatan menggunakan antibiotika dikomninasi hormone pelancar air susu.

(6)

3. Penyakit yang diakibatkan oleh Parasit a. Kecacingan

Kecacingan sangat umum menyetrang babi. sangat terkait dengan manajemen pemeliharaan dan kebersihan kandang babi. Penyakit ini pada stadium awal tidak terdeteksi (tanpa gejala) sehingga tidak mendapatkan perhatian serius bagi peternak. Namun dampak yang ditimbulkan cukup besar akibat keterlambatan pertumbuhan babi, serta merupakan sumber penyakit bagi manusia.

Penyebab: Cacing gelang, cacing cambuk, cacing nodul. Gejala klinis:

Diare, pertumbuhan babi terhambat, bulu kusam, difeses kadang ditemukan cacing Pencegahan dan penanganan:

Rutin diberikan obat cacing setiap 2-3 bulan, jaga kebersihan kandang. b. Desentri

Penyakit ini ditandai dengan diare berdarah pada babi. Penyebabnya adalah protozoa (Entamoeba). Penyakit ini sangat dipengaruhi oleh manajemen peternakan yaitu kebersihan kandang, serta hygiene pakan dan air minum babi.

Gejala klinis:

Diare berlendir, kadang bercampur darah, bulu kusam, nafsu makan menurun, kekurusan hingga kematian pada babi muda.

Pencegahan:

Jaga hygiene pakan dan air minum, kebersihan kandang. Pengobatan:

Hubungi dokter hewan untuk memperoleh penanganan medis (Pemberian antibiotika golongan Sulfa, rehabilitasi akibat dehidrasi dan anemia, serta multivitamin).

c. Kudis

Penyakit ini sangat umum dijumpai. Penyebabnya adalah tungau yang hidup dibawah kulit (subkutan) dan dibagian pangkal bulu/rambut. Tungau ini menghisap darah. Gejala klinis:

Babi akan mengalami gatal-gatal, menggaruk-garukkan badannya dikandang, bulu akan patah bahkan tercabut, terlihat bintik-bintik merah pada kulit, penyakit kronis ditandai adanya keropeng pada tubuh babi.

(7)

Jaga kebersihan kandang, hindari kontak dengan anjing/kucing liar yang merupakan sumber infeksi.

Pengobatan

Hubungi dokter hewan untuk memperoleh penanganan medis (Obat yang diberikan adalah golongan Ivermectin dikombinasi dengan anti histamine dan anti radang)

PENYAKIT NON INFEKSIUS Anemia (Penyakit Kekurangan Darah)

Penyakit ini banyak dialami oleh babi-babi kecil, sekitar umur 3 minggu. Penyebab:

- Biasanya kekurangan zat besi dan tembaga, dimana babi tak ada kesempatan mendapatkan tambahan mineral dari dalam tanah;

- Babi induk air susunya hanya sedikit mengandung zat besi. Gejala klinis:

- Pucat

- Diare (mencret)

- Pertumbuhan terganggu dan kekurangan berat badan

- Babi banyak berbaring dan buang kotoran disekitar tempat mereka berbaring. Pencegahan dan Pengobatan:

- Babi bunting diberi makanan tambahan mineral yang bnayak mengandung zat besi dan tembaga;

- Anak babi bisa diberi zat besi dan tembaga dengan jalan injeksi: misalnya pigdex, dengan dosis: untuk anak babi umur 2 - 4 hari 1cc / ekor (tindakan pencegahan), umur 5 - 28 hari 1-2 cc / ekor dengan cara injeksi intramuscular dibagian pantat (untuk tindakan penyembuhan).

Catatan:

- Anemia yang akut dapat menimbulkan kematian dengan tiba-tiba;

(8)

Aarestrup FM, Rasmussen SR, Artursson K, Jensen NE. 1998. Tends in a resistance to antimocrobial agent of S. suis isolates from Denmark and Sweden. Vet Microbiol, 63: 71-80.

Ahira, A. 2011. Industri dan Peternakan Babi. http://www.anneahira.com/babi.htm

Agustina KK. 2013. Identifikasi dan Prevalensi Cacing Tipe Strongyle pada Babi di Bali. Bul

Vet Udayana, 5(2): 131-138

Agustina KK, Dharmayudha AAGO, Oka IBM, Dwinata IM, Kardena IM, Dharmawan NS, Damriyasa IM. 2016. Case of Entamoebiasis in Pigs Raised with a Free Range Systems in Bali, Indonesia. J Vet, 17(4): 570-575.

Bijanti R, Yuliani MGA, Wahjuni RS, dan Utomo RB. 2010. Buku Ajar Patologi Klinik Veteriner. Edisi Pertama. Airlangga University Press: Surabaya.

Budiarta S dan Suardana IW. 2007. Epidemiologi & Ekonomi Veteriner. Penerbit Universitas Udayana: Denpasar.

Carter GR, Cole JR. 1990. Diagnostic Procedures in Veterinary Bacteriology and Mycology. 5th ed. Academic Press.

Chanter N, Jones RW, Alexande TJL. 1993. Meningitis in Pigs Caused by Streptococcus suis. A Speculative Review. Vet Microbiol, 36: 39-41.

Daniel WW. 1999. Biostatistics: a foundation for analysis in the health sciences. 7thEd, New York

Deptan, 2012. Pedoman Pelaksanaan Penataan Usaha Budidaya Babi Ramah Lingkungan Tahun 2012.

Dharma DMN, Dartini NL, Soeharsono, Supartika E, Dibia N. 1994. Wabah Streptococcal Meningitis Pada Babi dan Kera di Bali. Bul Sain Vet, 10(26) 110-121.

Dharma DMN, Putra AAG. 1997. Penyidikan Penyakit Hewan. CV Bali Media Adhikarsa: Denpasar.

Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2012. Informasi Data Peternakan Provinsi Bali Tahun 2011. Denpasar

Disnak. 1999. Pemeliharaan Babi, Bagian Proyek Pembinaan Pembangunan Peternakan Bali, Dinas Peternakan Propinsi DaTi I Bali.

Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2014. Manual Penyakit Hewan Mamalia. Subdit Pengamatan Penyakit Hewan, Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian: Jakarta. hlm. 284-288.

DPKP Bali, 2012. Potensi Babi di Bali. Indonesia Investment Coordinating Board. Direktorat Pengembangan Potensi Daerah BKPM.

Fendriyanto A, Dwinata IM, Oka IBM, Agustina KK. 2015. Identifikasi dan Prevalensi Cacing Nematoda Saluran Pencernaan pada Anak Babi di Bali. Indon Med Vet, 4(5): 465-473.

Fongcom A, Pruksakorn S, Netsirisawan P, Pongprasert R, Onsibud P. 2009. Streptococcus

suis infection : A prospective study in northern Thailand. Southeast Asian J Trop Med Public Health 40(3): 511-517.

Galina L, Pioan C, Sitjar M, Christianson WT, Roscow K, Collins JE. 1994. Interaction Between Streptococcus suis serotype 2 and Porcine Reproductive and Respiratory Syndrome Virus in Specific Phatogen Free Piglets. Vet Rec, 15: 60-61.

Gottschalk M, Segura M. 2000. The Pathogenesis of the Meningitis Caused by Streptococcus suis: The Unresolved Questions. J Vet Microbiol 76: 259-272.

Gottschalk M, Xu J, Calzas C, Segura M. 2010. Streptococcus suis: a new emerging or an old neglected zoonotic pathogen? Future Microbiol. 5: 371-391.

(9)

Hardie JM. 2004. Identification of Streptococcus species and Morphology Similar Organism. UK Standard for Microbiology Investigations.

Higgins R, Gottschalk M. 1990. Review article: An update on Streptococcus suis identification. J Vet Diagn Invest 2: 249-252.

Huang YT, Teng LJ, Ho SW, Hsueh PR. 2005. Streptococcus suis infection. J Microbiol Immunol Infect. 38 (5): 306-313.

Hui AC, Ng KC, Tong PY, Mok V, Chow KM, Wu A, et al. 2005. Bacterial meningitis in Hong Kong: 10-years’ experience. Clin Neurol Neurosurg, 107: 366-370

Jawetz, Melnick, Adelberg's. 2007. Medical Microbiology. Mc Graw Hill.

Kerdsin A, Akeda Y, Hatrongjit R, Detchawna U, Sekizaki T, Hamada S, Gottschalk M, Oishi K. 2014. Streptococcus suis serotyping by a new multiplex PCR. J Med

Microbiol, 63, 824-830.

Lun ZR, Wang QP, Chen XG, Li AX, Zhu XQ. 2007. Streptococcus suis: an emerging zoonotic pathogen. Lancet Infect Dis, 7: 201-209.

Mai NT, Hoa NT, Nga TV, Linh LD, Chau TT, Sinh DX, et al. 2008. Streptococcus suis meningitis in adults in Vietnam. Clin Infect Dis, 46: 659-667.

Nghia HD, Tu Le TP, Wolbers M, Thai CQ, Hoang NV, Nga TV, et al. 2011. Risk factors of

Streptococcus suis infection in Vietnam. A case–control study. PLoS One, 6: e17604

Ngo TH, Tran TB, Tran TT, Nguyen VD,Campbell J, Pham HA, et al. 2011. Slaughterhouse pigs are a major reservoir of Streptococcus suis serotype 2 capable of causing human infection in southern Vietnam. PLoS One, 6: e17943.

Ngo TH, Chieu TTB, Dung SD, Thanh N, Long, Hieu TQ, Luc NT, Nhuong PT, Huong VTL, Trinh DT, Wertheim HFL, Kinh NV, Campbell JI, Farrar J, Chau NVV, Baker S, Bryant JE. 2013. Streptococcus suis and Porcine Reproductive and Respiratory Syndrome, Vietnam. Emerg Infect Dis, 19 (2): 331-333.

Nugroho E, Whendrato I. 1990. Beternak Babi. Eka Offset, Semarang.

Okwumabua O, Connor MO, Shull E. 2003. A polymerase chain reaction (PCR) assay specific for Streptococcus suis based on the gene encoding the glutamate dehydrogenase. FEMS Microbiol Let, 218: 79-84.

Owusu-Asiedu A, Nyachoti CM, Baidoo SK, Marquardt RR dan Yang X. 2003. Response of Early-weaned Pigs to an Enterotoxigenic Escerichia coli (K88) Challenge When Fed Diets Containing Spray-dried Porcine Plasma or Pea Protein Isolate Plus Egg York Antibody. J. Anin Sci. 81:1781-1789.

Salasia SIO, Haryanto BD, Suarjana IGK, Purwanto A, Haryadi M, 2002. Potensi Zoonotik

Streptococcus equi subsp. zooepidemicus: Karakterisasi Isolat Asal Manusia, Kera

dan Babi di Bali. J Sain Vet, 20(1): 48-52.

Salasia SIO, Nugroho W, Ruff N. 2011. Streptococcus suis infection of pigs in Papua.

Humboldt Kolleg-ICONS 2011. Malang. July 9-11, 2011

Salasia SIO, Artdita CA, Slipranata M, Artanto S. 2015. Diagnosis Infeksi Streptococcus suis serotipe-2 pada Babi Secara Serologi dengan Muramidase Released Protein. J Vet, 16(4): 489-496.

Silva LM, Baums CG, Rehm T, Wisselink HJ, Goethe R, Valentin-Weigand P. 2006. Virulence-associated gene profling of Streptococcus suis isolates by PCR. Vet

Microbiol 115(1-3): 117-127

Smith TC, Capuano AW, Boese B, Myers KP, Gray GC. 2008. Occupational Exposure to

Streptococcus suis among US Swine Workers. Emerg Infect Dis, 14(12): 1925-1927.

Sriskandan S, Slater JD. 2006. Invasive Disease and Toxic Shock due to Zoonotic

Streptococcus suis: An Emerging Infection in the East? Plos Med, 3(5): e187:

(10)

present. Vet Res Commun. 21: 381-407.

Suarjana IGK, Asmara W. 2012. Karakterisasi molekuler dan uji patogenesitas streptococcus patogen isolat asal bali. Bul Vet Udayana, 4(1): 1-8.

Sumantra IP. 2011. Bali Tidak Lagi Datangkan Babi Dari Luar. Antara News. Sunday. July 3 2011.

Syibli M, Lubis N, Syafrison, Yulianti S, Kartika ND, Yohana CK, Setianingsih E, Nurhidayah, Efendi D, Saudah E. 2014. Manual Penyakit Hewan Mamalia. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian. Jakarta, pp: 284-288.

Vecht U, Arends JP, van der Molen EJ, van Leegoed LAMG. 1989. Differences in Virulence Between Two Strain of Streptococcus suis Type II After Experimentally Induced Infection of Newborn Germ-Free Pigs. Am J Vet Res, 50(7): 1037-1039

Vecht U, Wisslink HJ, Jellema ML, Smith HE. 1991. Identification of Two Proteins Associated with Virulence of Streptococcus suis Type 2. Infection and Immunity, 59(9): 3156-3162

Vecht U, Wisslink HJ, van Dijk JL, Smith HE. 1992. Virulence of Streptococcus suis type 2 Strains in Newborn Germfree Pigs Depends on Phenotype Infection and Immunity, 60(2): 550-556

Watkins EJ, Brooksby P, Schweiger MS, Enright SM. 2001. Septicaemia in a pig-farm worker. Lancet Infect Dis, 357: 38

Wertheim HF, Nghia HD, Taylor W, Schultsz C. 2009. Streptococcus suis: an emerging human pathogen. Clin Infect Dis 48(5): 617-625.

Wisselink HJ, Smith HE, Stockhofe-Zurwieden N, Peperkamp K, Vecht U. 2000. Distribution of capsular types and production of muramidasereleased protein (MRP) and extracellular factor (EF) of Streptococcus suis strains isolated from diseased pigs in seven European countries. Vet Microbiol 74: 237-248.

Xie C, Hou YX, Zhao YT, Cai XH, Li CY, Li PF, Li YZ, Su X, Yue XW, Wang SJ, Liu YG, Yang WJ, Yuan CL, Cu L, Hua XG, Yang ZB. 2014. Histopathological and Cytopathological Findings in Minipigs Infected with Streptococcus suis serotype 2.

Bull Vet Inst Pulawy 58: 201-209.

Yu H, Jing H, Chen Z, Zheng H, Zhu X, Wang H, et al. 2006. Human Streptococcus suis outbreak, Sichuan, China. Emerg Infect Dis, 12: 914-920.

Referensi

Dokumen terkait

Pencantuman alokasi belanja bantuan sosial dalam KUA Tahun Anggaran 2016 telah didasarkan pada hasil verifikasi dan evaluasi proposal oleh SKPD teknis dan telah

JABATAN FUNGSIONAL BIDANG PENGELOLAAN KAWASAN HUTAN SEKSI PERENCANAAN KEHUTANAN SEKSI BINA PENGEMBANGAN PEMANFAATAN & PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN SEKSI PROMOSI INVESTASI

Berarti tidak ada hubungan yang nyata antara tingkat pengetahuan responden dengan peran serta masyarakat Desa Semuntai dalam pelaksanaan kegiatan community

Fluida kerja yang digunakan adalah air , karena mudah didapat serta memenuhi syarat utama sebagai fluida kerja, yaitu tidak bereaksi dengan material pipa maupun struktur sumbu

HUBUNGAN DUKUNGAN SUAMI DENGAN TINGKAT DEPRESI PASIEN KANKER PAYUDARA PASKA MASTEKTOMI DI RSUP H.ADAM MALIK

(1) Penyebab utama kesulitan belajar dan kesalahan berbahasa dalam mempelajari bahasa kedua adalah interferensi bahasa ibu, (2) kesulitan belajar itu disebabkan

Jika jarak celah ke layar 0,5 m, maka jarak antara terang pusat dengan terang pertama pada layar adalah ..... Mobil polisi bergerak dengan kecepatan 20 m.s –1 sambil

Dewan penyunting kembali mengajak kita semua bersyukur ke hadirat Allah SWT, berkat izin dan Inayah-Nya serta dorongan semua pihak, Jurnal Saintikom Volume 10, Nomor 1, Januari