POLA KONSUMSI PANGAN, AKTIVITAS FISIK, RIWAYAT PENYAKIT, RIWAYAT DEMENSIA KELUARGA DAN KEJADIAN DEMENSIA PADA LANSIA DI PANTI WERDHA TRESNA BOGOR
CHAIRUNNISA UTAMI PRATIWI
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Pola konsumsi pangan, aktivitas fisik, riwayat penyakit, riwayat demensia keluarga dan kejadian demensia pada lansia di Panti Werdha Tresna Bogor” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2013
Chairunnisa Utami Pratiwi
ABSTRAK
CHAIRUNNISA UTAMI PRATIWI. Pola Konsumsi Pangan, Aktivitas Fisik, Riwayat Penyakit, Riwayat Demensia Keluarga dan Kejadian Demensia Pada Lansia di Panti Werdha Tresna Bogor. Dibimbing oleh SRI ANNA MARLIYATI dan MELLY LATIFAH.
Demensia merupakan gangguan kognitif dan memori yang dapat mempengaruhi aktivitas sehari-hari. Demensia bukanlah sekedar penyakit biasa, melainkan kumpulan gejala yang disebabkan beberapa penyakit atau kondisi tertentu sehingga terjadi perubahan kepribadian dan tingkah laku. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pola konsumsi pangan, aktivitas fisik, riwayat penyakit, riwayat demensia keluarga, dan kejadian demensia pada lansia di Panti Werdha Tresna, Bogor. Desain penelitian ini adalah cross sectional dengan subyek penelitian sebanyak 42 lansia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan (p<0.05) antara tingkat pendidikan, tingkat kecukupan vitamin A, vitamin B1, vitamin B2, , vitamin B6, vitamin C, riwayat penyakit diabetes mellitus, dan aktivitas fisik dengan kejadian demensia pada lansia. Tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.05) antara usia, tingkat kecukupan asam folat, riwayat hipertensi, dan riwayat demensia keluarga dengan kejadian demensia pada lansia.
Kata kunci: demensia, kognitif, memori, aktivitas fisik, pola konsumsi
ABSTRACT
CHAIRUNNISA UTAMI PRATIWI. Patterns of Food Consumption, Physical Activity, History of the Disease, Family History of Dementia, and Incidence of Dementia in Elderly in Tresna Werdha Nursing, Bogor. Supervised by SRI ANNA MARLIYATI and MELLY LATIFAH.
Dementia can be defined as cognitive and memory disorder that can affect daily activities. Dementia is not just a disease, but rather a collection of symptoms caused by some illness or certain conditions so that there is a change of personality and behavior. The study objective was to analyze the patterns of food consumption, physical activity, history of disease, family history of dementia, and incidence of dementia in elderly in Werdha Tresna, nurshing home, Bogor. Research design was cross sectional study with 42 elderly as subjects. The results showed that there were significant correlation (p < 0.05) between the level of education, adequacy of level vitamin A, vitamin B1, vitamin B2, vitamin B6, vitamin C, history of diabetes and physical activity with incidence of dementia in elderly. There were no significant correlation (p > 0.05) between age, adequacy of level folic acid, history of hypertension, and family history of dementia with incidence of dementia in elderly.
Keywords: dementia, cognitive, memory, physical activity, patterns of consumption
RINGKASAN
CHAIRUNNISA UTAMI PRATIWI. I14090104. Pola Konsumsi Pangan, Aktivitas Fisik, Riwayat Penyakit, Riwayat Demensia Keluarga, dan Kejadian Demensia pada Lansia di Panti Werdha Tresna Bogor. Dibawah bimbingan SRI ANNA MARLIYATI dan MELLY LATIFAH.
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis pola konsumsi pangan, aktivitas fisik, riwayat penyakit, riwayat demensia keluarga, dan kejadian demensia pada lansia di panti Werdha Tresna, Bogor. Tujuan khusus penelitian ini adalah 1) mengidentifikasi karakteristik lansia yang meliputi usia dan tingkat pendidikan; 2) mengidentifikasi pola konsumsi lansia yang meliputi energi, protein, vitamin A, vitamin B1, vitamin B2, vitamin B6, asam folat, vitamin C, fosfor dan besi; 3) mengidentifikasi aktivitas fisik dan riwayat penyakit lansia; 4) mengidentifikasi kejadian demensia dalam keluarga contoh; 5) menganalisis hubungan antara pola konsumsi pangan dengan kejadian demensia 6) menganalisis hubungan antara aktivitas fisik dengan kejadian demensia; 7) menganalisis hubungan antara riwayat penyakit dengan kejadian demensia; dan 8) menganalisis hubungan antara faktor genetik dengan kejadian demensia.
Penelitian ini menggunakan desain penelitian cross sectional. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara purposive, yaitu di rumah perlindungan sosial Panti Werdha Tresna Sukmaraharja, Bogor dengan mempertimbangkan lokasi, kemudahan perizinan, dan penyelenggaraan makan yang sama untuk setiap individu yang berada di Panti Werdha. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret-Mei 2013.
Contoh dalam penelitian ini adalah lansia yang tinggal di Panti Werdha Tresna Sukmaraharja, Bogor. Contoh ditentukan secara purposive dengan kriteria atau persyaratan bahwa contoh sehat, dapat berkomunikasi dengan baik, bersedia untuk menjadi subjek penelitian. Dari total contoh yang berjumlah 60 orang dari panti, terpilih 42 orang yang dapat digunakan dalam penelitian ini. Pengambilan contoh dalam penelitian ini dilakukan dengan mencari contoh yang memenuhi kriteria serta dengan mempertimbangkan jika ada contoh yang drop out selama penelitian berlangsung.
Data karakteristik contoh (nama, umur, status gizi, besar keluarga, status pernikahan, dan tingkat pendidikan) dan variabel lain seperti faktor genetik, riwayat penyakit, tingkat kecukupan zat gizi, dan aktivitas fisik dianalisis secara deskriptif menggunakan Microsoft Excell. Faktor genetik dari masing- masing contoh didapat dari kuesioner yang ditanyakan kepada contoh. Setelah itu dapat diketahui apakah ada keluarga dari contoh yang mengalami demensia. Selain itu, data riwayat kesehatan contoh yang ada di panti juga direkap untuk mengetahui riwayat penyakit yang pernah dialami oleh contoh. Hubungan antar variabel diuji dengan menggunakan uji korelasi Spearman dan uji pengaruh menggunakan Regresi Logistik menggunakan SPSS version 16.0.
Lansia yang menjadi contoh dalam penilitian berjumlah 42 orang dengan kisaran usia antara 60 tahun sampai 82 tahun. Sebagian besar lansia yang mengalami demensia dan tidak mengalami demensia berusia diatas 65 tahun. dengan tingkat pendidikan sampai jenjang Sekolah Dasar (SD). Sebagian besar lansia memiliki status pernikahan menikah, dengan rata-rata keluarga dengan kategori kecil yaitu ≤4 orang. Lansia yang mengalami demensia dan tidak mengalami demensia sebagian besar memiliki status gizi normal.
Pola konsumsi lansia dalam penelitian ini dilihat melalui 3 aspek, yaitu kebiasaan makan, konsumsi berbagai jenis pangan, dan tingkat kecukupan zat gizi lansia. Sebagian
besar lansia yang mengalami demensia dan tidak mengalami demensia memiliki frekuensi makan 3 kali sehari. Sebagian besar lansia lebih banyak mengkonsumsi nasi sebagai pangan sumber karbohidratnya. Pangan sumber hewani yang banyak dikonsumsi lansia adalah telur ayam, sedangkan pangan nabati yang biasa dikonsumsi adalah tahu dan tempe. Sayuran yang biasa dikonsumsi lansia dipanti Werdha Tresna adalah diantaranya bayam, kangkung, sawi, wortel, kol, daun singkong, dan daun papaya. Buah- buahan yang biasa dikonsumsi adalah diantaranya jambu, papaya, mangga, pisang, melon, rambutan, jeruk, dan apel.
Tingkat kecukupan energi sebagian besar lansia yang mengalami demensia tergolong lebih, dan untuk lansia yang tidak mengalami demensia tergolong normal atau cukup. Tingkat kecukupan ptotein sebagian besar lansia yang mengalami demensia tergolong defisit berat, dan untuk lansia yang tidak mengalami demensia tergolong cukup. Seluruh lansia memiliki tingkat kecukupan vitamin A yang cukup (≥77% AKG). Tingkat kecukupan vitamin B1, vitamin B2, asam folat sebagian besar lansia dari kedua kelompok (mengalami demensia dan tidak mengalami demensia) tergolong defisit, yaitu <77% AKG harian. Tingkat kecukupan vitamin B6 dan vitamin C sebagian besar lansia yang mengalami demensia tergolong defisit, yaitu <77% AKG harian, dan untuk lansia yang tidak mengalami demensia tergolong cukup, yaitu ≥77% AKG harian. Tingkat kecukupan fosfor dan besi sebagian besar lansia dari kedua kelompok (mengalami demensia dan tidak mengalami demensia) tergolong cukup, yaitu ≥77% AKG harian.
Sebagian besar lansia yang mengalami demensia sudah tidak aktif, yaitu sebesar 66.7%, dan lansia yang tidak mengalami demensia sebagian besar masih aktif, yaitu sebesar 55.6%. Sebagian besar lansia dari kedua kelompok (mengalami demensia dan tidak mengalami demensia) tidak ada riwayat penyakit. Sebagian besar lansia yang mengalami demensia tidak diketahui riwayat demensia keluarganya, yaitu sebesar 50%. Sebesar 25% lansia yang mengalami demensia diketahui tidak ada riwayat keluarga yang mengalami demensia dan ada riwayat keluarga yang mengalami demensia. Lansia yang tidak mengalami demensia sebagian besar tidak ada riwayat keluarga yang mengalami demensia yaitu sebesar 72.2%. sebagian kecil atau sebsar 16.7% dan 11.1% lansia yang tidak mengalami demensia memiliki riwayat demensia keluarga dan tidak diketahui riwayat demensia keluarganya.
Berdasarkan uji korelasi spearman, diketahui terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat kecukupan vitamin A, vitamin B1, vitamin B2, vitamin B6, vitamin C, tingkat pendidikan, riwayat diabetes mellitus, dan aktivitas fisik dengan kejadian demensia, dan yang berpengaruh terhadap kejadian demensia adalah aktivitas fisik.
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi
dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat
HUBUNGAN ANTARA POLA KONSUMSI PANGAN, AKTIVITAS FISIK, RIWAYAT PENYAKIT DAN RIWAYAT DEMENSIA KELUARGA DENGAN KEJADIAN DEMENSIA PADA
LANSIA DI PANTI WERDHA TRESNA BOGOR
CHAIRUNNISA UTAMI PRATIWI
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Skripsi Pola konsumsi pangan, aktivitas fisik, riwayat penyakit, riwayat demensia keluarga, dan kejadian demensia pada lansia di Panti werdha Tresna, Bogor
Chairunnisa Utami Pratiwi 114090104
Disetujui oleh
Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, MS Pembimbing I
Ir. Melly atifah, M.Si Pembimbing II
Judul Skripsi : Pola konsumsi pangan, aktivitas fisik, riwayat penyakit, riwayat demensia keluarga, dan kejadian demensia pada lansia di panti werdha Tresna, Bogor
Nama : Chairunnisa Utami Pratiwi
NIM : I14090104
Disetujui oleh
Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, Msi Pembimbing I
Melly Latifah, Ir., M.Si. Pembimbing II
Diketahui oleh
Dr. Ir. Budi Setiawan, MS Ketua Departemen
PRAKATA
Segala puji bagi Allah SWT atas segala kemudahan dan izin-Nya sehingga skripsi dengan judul “Hubungan antara pola konsumsi pangan, aktivitas fisik, riwayat penyakit dan riwayat demensia keluarga dengan kejadian demensia pada lansia di Panti Werdha Tresna Bogor” dapat diselesaikan dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan program Strata-1 Program Studi Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Penulis menyadari dalam penyusunan skripsi ini tidak akan selesai tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Dr. Ir. Budi Setiawan, MS selaku kepala Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. 2. Ibu Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, Msi, selaku Dosen Pembimbing I yang
telah memberikan bimbingan, dukungan, dan motivasinya.
3. Ibu Melly Latifah, Ir., M.Si, selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, dukungan, dan motivasinya.
4. Bapak dan Ibu Dosen Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan ilmunya kepada penulis.
5. Seluruh staff Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan dukungan moril kepada penulis.
6. Orangtua, saudara- saudara serta keluarga penulis yang telah memberikan kasih sayang, motivasi, perhatian, dan dukungan baik moril maupun ma\teril.
7. Teman-teman Ilmu Gizi Institut Pertanian Bogor (IPB) 2009 yang telah memberikan dukungan dan motivasi kepada penulis.
8. Seluruh sivitas akademika Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan dukungan moril kepada penulis.
Bogor, Juli 2013
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vi DAFTAR GAMBAR vi DAFTAR LAMPIRAN vi PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 3 Manfaat Penelitian 3 KERANGKA PEMIKIRAN 3 METODE 6Desain, tempat, dan waktu penelitian 6
Jumlah dan cara penarikan contoh 6
Jenis dan cara pengambilan data 6
Pengolahan dan analisis data 7
DEFINISI OPERASIONAL 11
HASIL DAN PEMBAHASAN 11
Gambaran Umum Lokasi Penelitian 11
Karakteristik lansia 12
Status gizi lansia 14
Pola konsumsi pangan 14
Aktivitas fisik 32
Riwayat penyakit 33
Riwayat demensia keluarga 34
Keadaan kognitif lansia 35
Hubungan antara tingkat kecukupan vitamin A dengan kejadian demensia 38 Hubungan antara tingkat kecukupan vitamin B1 dengan kejadian demensia 39 Hubungan antara tingkat kecukupan vitamin B2 dengan kejadian demensia 39 Hubungan antara tingkat kecukupan vitamin B6 dengan kejadian demensia 39 Hubungan antara tingkat kecukupan asam folat dengan kejadian demensia 40 Hubungan antara tingkat kecukupan vitamin C dengan kejadian demensia 40
Hubungan antara tingkat pendidikan dengan kejadian demensia 41 Hubungan antara aktivitas fisik dengan kejadian demensia 42 Hubungan antara riwayat demensia keluarga dengan kejadian demensia 42 Hubungan antara riwayat penyakit dengan kejadian demensia 42 Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian demensia 43
SIMPULAN DAN SARAN 43
Simpulan 43
Saran 44
DAFTAR PUSTAKA 45
RIWAYAT HIDUP 47
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Data, jenis data, dan cara pengumpulan data ... 7
Tabel 2 Jenis dan kategori variabel pengolahan data ... 8
Tabel 3 Sebaran lansia berdasarkan karakteristik dan kondisi demensia ... 12
Tabel 4 Sebaran lansia berdasarkan lama tinggal di panti ... 17
Tabel 5 Sebaran lansia berdasarkan status gizi ... 15
Tabel 6 Kebiasaan makan lansia ... 16
Tabel 7 Frekuensi konsumsi bagan pangan per minggu ... 19
Tabel 8 Rata-rata konsumsi dan tingkat kecukupan energi dan zat gizi ... 24
Tabel 9 Sebaran lansia berdasarkan tingkat kecukupan energi ... 25
Tabel 10 Sebaran lansia berdasarkan tingkat kecukupan protein ... 26
Tabel 11 Sebaran lansia berdasarkan tingkat kecukupan vitamin A ... 27
Tabel 12 Sebaran lansia berdasarkan tingkat kecukupan vitamin B1 ... 28
Tabel 13 Sebaran lansia berdasarkan tingkat kecukupan vitamin B2 ... 29
Tabel 14 Sebaran lansia berdasarkan tingkat kecukupan vitamin B6 ... 29
Tabel 15 Sebaran lansia berdasarkan tingkat kecukupan asam folat ... 30
Tabel 16 Sebaran lansia berdasarkan tingkat kecukupan vitamin C ... 31
Tabel 17 Sebaran lansia berdasarkan tingkat kecukupan fosfor ... 32
Tabel 18 Sebaran lansia berdasarkan tingkat kecukupan besi ... 32
Tabel 19 Sebaran lansia berdasarkan tingkat aktivitas fisik ... 33
Tabel 20 Sebaran lansia berdasarkan riwayat penyakit ... 34
Tabel 21 Sebaran lansia berdasarkan riwayat demensia keluarga ... 35
Tabel 22 Distribusi lansia berdasarkan keadaan kognitif ... 37
Tabel 23 Hubungan antara tingkat kecukupan vitamin dengan demensia ... 39
Tabel 24 Hubungan antara beberapa variabel dengan demensia ... 71
DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka pemikiran penelitian 5
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Lansia (Usia lanjut) merupakan seseorang yang karena usianya mengalami perubahan biologis, fisik, kejiwaan, dan sosial yang nantinya akan mempengaruhi fungsi dan kemampuan badan secara keseluruhan. Berdasarkan kriteria yang dikeluarkan Depkes RI (2006), seseorang dikatakan usia lanjut dini apabila usianya mencapai 60-64 tahun dan dikatakan lansia beresiko tinggi untuk menderita berbagai penyakit degeneratif apabila berusia diatas 65 tahun. Menurut Undang- Undang Republik Indonesia nomor 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia, pasal 1 ayat 2, yang dimaksud lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun keatas (Hamid 2007).
Di Indonesia sendiri pada tahun 2000, jumlah lansia meningkat mencapai 9.99% dari seluruh penduduk Indonesia dengan usia harapan hidup 65-70 tahun. Jumlah ini akan terus meningkat dan pada tahun 2020 diproyeksikan jumlah lansia akan mencapai 11.34%. Pada tahun 2020 diperkirakan akan mencapai 30 juta orang dengan usia harapan hidup 70-75 tahun (Badan Penelitian Statistik 2000). Peningkatan usia harapan hidup di Indonesia akan meningkatkan jumlah penduduk usia lanjut. Perlu diwaspadai adanya peningkatan penyakit yang berhubungan dengan proses degeneratif, diantaranya demensia, yang gejalanya berupa ketidakmampuan untuk hidup mandiri dan akan menjadi beban keluarga, masyarakat dan negara. Proses penuaan otak abnormal merupakan bagian dari proses degenerasi pada seluruh organ tubuh. Hal ini akan menimbulkan berbagai gangguan neuropsikologis dan masalah yang terbesar adalah demensia (Saunderajen 2012).
Demensia merupakan suatu gangguan kognitif dan memori yang dapat mempengaruhi aktivitas sehari-hari. Penderita demensia seringkali menunjukkan beberapa gangguan dan perubahan pada tingkah laku harian (behavioral symptom) yang mengganggu ataupun tidak menganggu (Volicer, Hurley, Mahoney 1998). Grayson (2004) menyebutkan bahwa demensia bukanlah sekedar penyakit biasa, melainkan kumpulan gejala yang disebabkan beberapa penyakit atau kondisi tertentu sehingga terjadi perubahan kepribadian dan tingkah laku. Demensia sangat berkaitan dengan lanjut usia.
Demensia adalah kumpulan gejala klinik yang disebabkan oleh berbagai latar belakang penyakit dan ditandai oleh hilangnya memori jangka pendek, gangguan global fungsi mental (termasuk fungsi bahasa), mundurnya kemampuan berpikir abstrak, kesulitan merawat diri sendiri, perubahan perilaku, emosi labil, dan hilangnya pengenalan waktu dan tempat. Tanda- tanda yang telah muncul tersebut menimbulkan gangguan dalam pekerjaan, aktivitas harian dan lingkungan sosial. Demensia dapat disebabkan oleh berbagai keadaan dan sebagian diantaranya bersifat reversible. Diketahui orang- orang yang beresiko mengalami demensia adalah pengidap hipertensi yang berusia 40 tahun ke atas, orang yang kurang berolahraga, orang yang memiliki tingkat kolesterol yang tinggi, serta faktor keturunan (mempunyai keluarga yang mengidap penyakit ini pada usia 50 tahunan) (Saunderajen 2012).
2
Pola makan atau pola konsumsi pangan merupakan susunan jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang pada waktu tertentu. Pola makan yang baik dan beraneka ragam dapat memperbaiki mutu gizi makanan seseorang (Slamet 2009). Zat gizi mikro diketahui berkaitan dengan kejadian demensia pada lansia, terutama vitamin B kompleks. Kekurangan vitamin B kompleks pada lansia dapat meningkatkan resiko terjadinya demensia. Vitamin B kompleks berperan dalam metabolisme energi (ATP) yang diperlukan sel-sel otak dan memperbaiki fungsi verbal memory dan nonverbal abstract
reasoning sel-sel otak. Asam folat berpengaruh pada kemampuan kognitif otak
dan mood. Kekurangan asam folat, niasin, dan vitamin B12 dapat memperparah demensia.
Zat besi memiliki beberapa fungsi esensial dalam tubuh seperti alat angkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh, sebagai alat angkut elektron dalam sel, dan sebagai bagian dari berbagai reaksi enzim dalam jaringan tubuh. Kekurangan zat besi akan meningkatkan resiko terjadinya demensia pada lansia. Mineral zat besi (Fe) berperan sebagai kofaktor esensial dalam sintesis neurotransmitter dan mielinisasi sel-sel otak. Kekurangan pasokan Fe berakibat anemia dan otak mengalami gejala “4L”, cepat lelah, letih, lemah, dan lesu.
Selain zat besi ada pula vitamin A dan vitamin C yang berkaitan dengan kejadian demensia. Vitamin A dan Vitamin C dikenal sebagai antioksidan yang berperan untuk mengurangi jumlah LDL teroksidasi dalam darah yang menjadi pemicu terbentuknya arterosklerosis. Berkurangnya jumlah LDL teroksidasi dalam darah akan turut menurunkan resiko terjadinya strok yang merupakan faktor resiko dari demensia.
Menurut Sjostrom et al. (2008), aktivitas fisik merupakan bentuk dari perilaku yang menghasilkan pengeluaran energi (energi expenditure) karena pergerakan otot tubuh termasuk lengan dan kaki. Aktifvitas fisik diketahui berkaitan dengan kejadian demensia pada lansia. Berdasarkan meta-analisis dari 18 studi, melakukan senam atau aerobik dan latihan kekuatan dapat mencegah terjadinya demensia (Ham et al. 2007).
Berdasarkan hasil studi epidemiologi diketahui bahwa faktor usia merupakan faktor terkuat untuk terjadinya demensia pada lansia. Berkaitan dengan usia, riwayat keluarga dengan demensia juga menjadi faktor resiko untuk terjadinya demensia; seseorang dengan kedua orangtua yang mengalami demensia memiliki resiko 54% lebih besar untuk mengalami demensia pada usia 80 tahun. Resiko ini 1.5 kali lebih besar apabila dibandingkan dengan seseorang yang memiliki salah satu orangtua yang mengalami demensia dan sekitar 5 kali lebih besar apabila dibandingkan dengan seseorang dengan kedua orangtua yang tidak mengalami demensia. (Ham et al. 2007).
Saat ini perhatian dan pengetahuan masyarakat akan demensia masih sangat kurang. Demensia dianggap sebagai bagian dari proses menua yang wajar. Penderita baru dibawa berobat pada stadium lanjut dimana sudah terjadi gangguan kognitif yang berat dan gangguan perilaku sehingga penatalaksanaannya tidak memberikan hasil memuaskan. Oleh karena itu, pola konsumsi pangan, aktivitas fisik, riwayat penyakit, riwayat demensia keluarga dan kejadian demensia pada lansia peril diketahui.
3 Tujuan Penelitian
Tujuan umum
Tujuan umum penelitian ini adalah menganalisis hubungan antara pola konsumsi pangan, aktivitas fisik, riwayat penyakit dan riwayat demensia keluarga dengan kejadian demensia pada lansia di panti Werdha Tresna, Bogor.
Tujuan khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mengidentifikasi karakteristik lansia yang meliputi usia, besar keluarga, status pernikahan,tingkat pendidikan, dan lamanya lansia tinggal di panti. 2. Mengidentifikasi pola konsumsi lansia yang meliputi energi, protein,
vitamin A, vitamin B1, vitamin B2, vitamin B6, asam folat, vitamin C, fosfor dan besi.
3. Mengidentifikasi aktivitas fisik, status gizi dan riwayat penyakit lansia. 4. Mengidentifikasi kejadian demensia dalam keluarga contoh.
5. Menganalisis hubungan antara pola konsumsi pangan dengan kejadian demensia.
6. Menganalisis hubungan antara aktivitas fisik dengan kejadian demensia. 7. Menganalisis hubungan antara riwayat penyakit dengan kejadian demensia. 8. Menganalisis hubungan antara riwayat demensia keluarga dengan
kejadian demensia.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi atau pengetahuan mengenai hubungan antara pola konsumsi pangan, aktivitas fisik, riwayat penyakit, dan riwayat demensia keluarga dengan kejadian demensia pada lansia. Penelitian ini juga diharapkan mampu memberikan penjelasan mengenai pola konsumsi pangan yang baik untuk meningkatkan status kesehatan pada lansia. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan mampu mencegah kejadian demensia pada lansia dengan adanya faktor resiko yang terlibat didalamnya.
KERANGKA PEMIKIRAN
Lanjut usia merupakan seseorang yang karena usianya mengalami perubahan biologis, fisik, kejiwaan, dan sosial yang nantinya akan mempengaruhi fungsi dan kemampuan badan secara keseluruhan. Seiring dengan bertambahnya usia kemampuan kognitif juga berubah. Sekitar 50% dari seluruh populasi lansia menunjukkan penurunan kognitif sedangkan sisanya tetap memiliki kemampuan kognitif sama seperti usia muda. Penurunan kognitif tidak hanya terjadi pada individu yang mengalami penyakit yang berpengaruh terhadap proses penurunan kognitif tersebut, namun juga terjadi pada individu lansia yang sehat. Pada beberapa individu, proses penurunan fungsi kognitif tersebut dapat berlanjut sedemikian hingga terjadi gangguan kognitif atau demensia.
4
Demensia adalah kumpulan gejala klinik yang disebabkan oleh berbagai latar belakang penyakit dan ditandai oleh hilangnya memori jangka pendek, gangguan global fungsi mental, termasuk fungsi bahasa, mundurnya kemampuan berpikir abstrak, kesulitan merawat diri sendiri, perubahan perilaku, emosi labil, dan hilangnya pengenalan waktu dan tempat, tanpa adanya gangguan tingkat kesadaran atau situasi stress, sehingga menimbulkan gangguan dalam pekerjaan, aktivitas harian dan sosial.
Berdasarkan hasil studi epidemiologi diketahui bahwa faktor usia merupakan faktor terkuat untuk terjadinya demensia pada lansia. Berkaitan dengan usia, riwayat keluarga dengan demensia juga menjadi faktor resiko untuk terjadinya demensia; seseorang dengan kedua orangtua yang mengalami demensia memiliki resiko 54% lebih besar untuk mengalami demensia diusia 80 tahun. Resiko ini 1.5 kali lebih besar apabila dibandingkan dengan seseorang yang memiliki salah satu orangtua yang mengalami demensia dan sekitar 5 kali lebih besar apabila dibandingkan dengan seseorang dengan kedua orangtua yang tidak mengalami demensia. Beberapa faktor resiko lain diantaranya adalah mutasi gen berupa riwayat down syndrome, riwayat trauma pada kepala, faktor resiko kardiovaskular seperti hipertensi, hiperlipidemia, dan diabetes mellitus juga diketahui berkaitan dengan kejadian demensia. Selain faktor resiko ada pula
protective factor atau faktor penunjang untuk mengurangi resiko demensia,
diantaranya yaitu tingkat pendidikan, aktivitas fisik, dan diet (Ham et al. 2007). Hipertensi adalah keadaan dimana tekanan darah seseorang berada diatas batas normal, yaitu dimana sistol berada diatas 140 mmHg dan diastol berada diatas 90 mmHg (JNC 2007). Tekanan darah yang melebihi batas normal atau biasa disebut hipertensi akan meningkatkan resiko terjadinya strok. Apabila strok telah terjadi maka resiko dari terjadinya demensia pada lansia akan meningkat. Menurut Final Report dari pemerintah Australia (2005) penyakit strok merupakan faktor resiko besar untuk terjadinya demensia. Penelitian yang dilakukan tahun-tahun sebelumnya menyatakan bahwa sekitar 70% penderita strok mengalami gangguan kognitif (ringan-berat) dan sekitar 25-30% diantaranya berkembang menjadi demensia.
Tingkat pendidikan, aktivitas fisik, dan diet diketahui berhubungan dengan kejadian demensia pada lansia. Dalam sebuah penelitian perbandingan antara lansia usia diatas 75 tahun dengan minimal 8 tahun pendidikan dan kurang dari 8 tahun pendidikan, diketahui lansia dengan pendidikan dibawah 8 tahun mengalami demensia lebih banyak 2.6 kali apabila dibandingkan dengan lansia yang memiliki pendidikan minimal 8 tahun (Ham et al. 2007). Aktivitas fisik diketahui mampu menopang aliran darah ke otak dengan meurunkan tekanan darah, dan menurunkan kadar lipid dalam darah. Aliran darah yang lancar ke otak mampu menutrisi otak dengan baik sehingga dapat menurunkan resiko terjadinya lesi pada otak.
Pola konsumsi pangan dapat diartikan sebagai cara seseorang atau sekelompok orang dalam memilih dan mengkonsumsi pangan sebagai tanggapan terhadap pengaruh fisiologis, psikologi, budaya, sosial, dan ekonomi (Riyadi 2006). Konsumsi pangan adalah sejumlah pangan yang dimakan oleh seseorang atau keluarga dengan tujuan tertentu. Dalam aspek gizi, tujuan konsumsi pangan adalah memperoleh sejumlah zat gizi yang diperlukan oleh tubuh (Hardinsyah & Martianto 1992). Konsumsi pangan harus dilihat dari pola konsumsi secara
5 keseluruhan. Zat gizi mikro diketahui berkaitan dengan kejadian demensia pada lansia, terutama vitamin B kompleks. Kekurangan vitamin B kompleks pada lansia dapat meningkatkan resiko terjadinya demensia. Vitamin A dan Vitamin C dikenal sebagai antioksidan yang berperan untuk mengurangi jumlah LDL teroksidasi dalam darah yang menjadi pemicu terbentuknya arterosklerosis. Berkurangnya jumlah LDL teroksidasi dalam darah akan turut menurunkan resiko terjadinya stroke yang merupakan faktor resiko dari demensia. Besi memiliki beberapa fungsi esensial dalam tubuh seperti alat angkut oksigen dari paru- paru ke jaringan tubuh, sebagai alat angkut elektron dalam sel, dan sebagai bagian dari berbagai reaksi enzim dalam jaringan tubuh.
Untuk lebih jelasnya, hubungan antar variabel dalam penelitian ditampilkan dalam gambar 1 dibawah ini.
Protective Factors
Tingkat Pendidikan Aktivitas fisik Pola konsumsi
Demensia Diabetes Melitus Usia Resiko kardiovaskular Riwayat demensia di keluarga Riwayat trauma kepala Hipertensi Hiperlipidemia Risk Factors
6
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian Keterangan :
: Variabel yang diteliti : Hubungan yang diteliti : Variabel yang tidak diteliti : Hubungan yang tidak diteliti
METODE
Desain, tempat, dan waktu penelitian
Penelitian ini menggunakan desain penelitian cross sectional. Hal ini berarti penelitian dilakukan pada satu titik waktu untuk menentukan apakah paparan berkaitan dengan terjadinya penyakit, dimana hasil penyakit dan paparan diukur pada saat yang sama.Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara purposif, yaitu di Panti Werdha Tresna, Bogor, dengan mempertimbangkan lokasi, kemudahan perizinan, akses dan populasi yang homogen. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret-Mei 2013.
Jumlah dan cara penarikan contoh
Contoh yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh lansia yang tinggal di Panti Werdha Tresna, Bogor. Contoh harus memiliki kriteria sebagai berikut, bersedia untuk menjadi subjek penelitian, sehat, dan memiliki tingkat kesadaran yang masih baik. Contoh yang sudah tidak dapat berkomunikasi dengan baik dan memiliki gangguan pendengaran tidak dimasukkan dalam penelitian.
Jenis dan cara pengambilan data
Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer meliputi karakteristik contoh (nama, umur, besar keluarga, status pernikahan, tingkat pendidikan, dan lamanya tinggal di panti), pola konsumsi (recall 2x24 jam, FFQ, dan kebiasaan makan), aktivitas fisik, dan riwayat demensia keluarga. Data primer yang meliputi pola konsumsi, aktivitas fisik, riwayat penyakit lansia, dan riwayat demensia keluarga dikumpulkan dengan cara wawancara menggunakan kuesioner. Data sekunder meliputi data profil panti, menu makanan, dan riwayat penyakit penghuni Panti Werdha Tresna, Bogor. Data, jenis data, dan cara pengumpulan data ditunjukkan pada Tabel 1 dibawah ini, sedangkan kuisioner penelitian disajikan pada lampiran 1.
7 Tabel 1 Data, jenis data, dan cara pengumpulan data
Variabel Data Jenis
Data Cara Pengumpulan Data Karakteristik Contoh - Umur - Tingkat pendidikan - Besar keluarga - Status pernikahan - Lamanya tinggal di panti
Primer Wawancara menggunakan kuesioner Status Gizi Contoh - Berat Badan (BB) - Tinggi Badan (TB) - Tinggi lutut (TL)
Primer Pengukuran Langsung
Pola konsumsi - Jumlah pangan
- Jenis pangan - Frekuensi makan
- Suplemen makanan yang dikonsumsi
- Kebiasaan makan
Primer Food frequency
quetionnaire (FFQ)
Recall 2x24 jam Kuesioner kebiasaan
makan Aktivitas fisik - Durasi melakukan aktivtas fisik
- Kebiasaan Olahraga
Primer Wawancara
menggunakan kuesioner Riwayat penyakit - Hipertensi
- Diabetes mellitus
- Hipertensi dan diabetes melitus - Hipertensi dan struk
Primer Pemeriksaan kesehatan oleh pengurus panti
Riwayat demensia keluarga
Ada atau tidaknya orangtua lansia yang mengalami demensia
Primer Wawancara
menggunakan kuesioner Keadaan kognitif - Daya ingat
- Orientasi - Kehidupan
bermasyarakat
- Penilaian dan pemecahan masalah
- Hobi dan rumah tangga - Perawatan diri Primer Wawancara menggunakan kuesioner Keadaan umum lokasi
- Profil Panti Werdha
- Riwayat Kesehatan Penghuni Panti
Sekunder Pengurus Panti Werdha
Pengolahan dan Analisis Data
Data primer yang telah didapatkan dianalisis secara statistik. Tahapan pengolahan data dimulai dari pengkodean (coding), pemasukan data (entry), pengecekan ulang (cleaning) dan selanjutnya dilakukan analisis. Tahapan pengkodean (coding) dilakukan dengan cara menyusun code-book sebagai panduan entri dan pengolahan data. Setelah dilakukan pengkodean (coding) kemudian data dimasukan ke dalam tabel yang telah ada (entry). Setelah itu, dilakukan pengecekan ulang (cleaning) untuk memastikan tidak ada kesalahan dalam memasukkan data. Untuk tahapan analisis data diolah dengan menggunakan program komputer Microsoft Excel dan SPSS versi 16.0.
8
Data karakteristik contoh (nama, umur, besar keluarga, status pernikahan, tingkat pendidikan, dan lamanya lansia tinggal di panti) dan variabel lain seperti status gizi, keadaan kognitif, riwayat demensia keluarga, riwayat penyakit, tingkat kecukupan zat gizi, keadaan kognitif, dan aktivitas fisik dianalisis secara deskriptif menggunakan Microsoft Excel. Hubungan antar variabel diuji dengan menggunakan uji korelasi Spearman dan uji pengaruh menggunakan Regresi Logistik menggunakan SPSS version 16.0. Pengkategorian variabel-variabel dalam penelitian disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Jenis dan Kategori Variabel Pengolahan Data
N
Variabel Kategori Pengukuran Literatur
Data Primer
1
Usia 60-64 tahun
≥65 tahun
DEPKES 2006 Status gizi <18.5 kurus
18.5-25.0 normal >25 gemuk
DEPKES 2005
3
Pendidikan Tidak Tamat SD/Tidak sekolah
SD SMP SMA
Perguruan Tinggi
Sebaran contoh
Status pernikahan Menikah
Tidak menikah Cerai mati Cerai hidup
Sebaran contoh
Besar keluarga ≤4 kecil 5-6 sedang ≥7 besar
BKKBN 1998
4
Aktivitas fisik Sedentary
Low active Active Very active Krause’s food and nutrition therapy 2008 5 Riwayat demensia keluarga
Ada faktor genetic
Tidak ada riwayat demensia keluarga Sebaran contoh Lamanya tinggal di panti 0-5 tahun 5-10 tahun 10-15 tahun >15 tahun Sebaran contoh 6 -Tingkat kecukupan zat gizi makro (energi dan protein)
-Tingkat Kecukupan zat gizi mikro (vitamin A, B1, B2, B6, C, asam folat, fosfor, dan besi)
Defisit berat (<70%AKG) Defisit sedang (70-80% AKG) Defisit ringan (80-90% AKG) Normal (90-120% AKG) Lebih (>120% AKG) Kurang (<77% AKG) Cukup (≥77% AKG)
9 Tabel 2 Jenis dan Kategori Variabel Pengolahan Data (lanjutan)
Variabel Kategori Pengukuran Sumber Data
7
Keadaan kognitif 2 0 normal
0.5 questionable demensia
3 1 demensia ringan
2 demensia sedang 3 demensia berat
CDR
Riwayat penyakit 4 (0) tidak ada riwayat penyakit
5 (1) hipertensi
6 (2) diabetes melitus
7 (3) strok
8 (4) hipertensi dan diabetes melitus
9 (5) hipertensi dan struk
Sebaran contoh Data Skunder 8 - Lokasi Penelitian - Menu Makanan Lansia Riwayat Kesehatan
Sesuai data yang tersedia di Panti Wherda Tresna Bogor
Berat badan adalah massa tubuh dalam satuan kilogram yang ditimbang menggunakan timbangan bathroom scale merk camry. Tinggi Badan adalah pengukuran tinggi badan contoh dengan cara pengukuran tinggi badan dengan menggunakan microtoise dengan ketelitian 0.1.Data tinggi badan didapat melalui pengukuran langsung. Lansia yang sudah tidak dapat berdiri diukur tinggi badannya melalui konversi dari pengukuran tinggi lutut. Konversi tinggi badan dari tinggi lutut didapat melalui rumus Chumlea (1984) berikut :
TB wanita = 84,88 – (0,24 x usia dalam tahun) + (1,83 x tinggi lutut dalam cm) Data konsumsi pangan diketahui melalui metode recall 2x24 jam dan FFQ. Metode recall 2x24 jam dipilih utnuk mengetahui data konsumsi pangan contoh dan FFQ digunakan untuk melihat/ memperoleh gambaran pola konsumsi pangan contoh yang diharapkan mampu memperkuat data yang telah didapat dari recall 2x24 jam. Data konsumsi pangan yang telah didapatkan dari recall 2x24 jam dikonversikan ke dalam satuan energi, protein, vitamin A, vitamin B1, vitamin B2, vitain B6, asam folat, vitamin C, fosfor, dan besi, merujuk pada Daftar Komposisi Bahan Makanan dan Nutri Survey Indonesia. Konversi dihitung dengan menggunakan rumus (Hardinsyah dan Briawan 1994) sebagai berikut:
KGij = (Bj/100) x Gij x (BDDj/100) Keterangan:
KGij = Kandungan zat gizi i dalam bahan makanan j Bj = Berat makanan j yang dikonsumsi (g)
Gij = Kandungan zat gizi dalam 100 gram BDD bahan makanan j BDDj = Bagian bahan makanan j yang dapat dimakan
Setelah mengetahui zat-zat gizi dari pangan yang dikonsumsi sampel, maka disesuaikan dengan AKG (2004) masing- masing zat gizi (zat gizi makro dan zat gizi makro), apakah sudah memenuhi atau belum. Zat gizi makro dikatakan cukup apabila berada pada rentang 90-119% AKG, dikatakan defisit
10
berat apabila hanya memenuhi <70% AKG, defisit sedang apabila memenuhi 70-79% AKG, defisit ringan apabila memenuhi 80-89% AKG, berlebih apabila memenuhi >120% AKG. Zat gizi mikro dikatakan normal apabila memenuhi >77% AKG dan kurang apabila <77% AKG (Gibson 2005).
DEFINISI OPERASIONAL
Lansia merupakan seseorang yang karena usianya mengalami perubahan biologis, fisik, kejiwaan, dan sosial yang nantinya akan mempengaruhi fungsi dan kemampuan badan secara keseluruhan, usianya diatas 60 tahun.
Contoh adalah lansia yang tinggal di Panti werdha tresna Bogor, bersedia menjadi subjek penelitian, sehat, dan memiliki kesadaran yang masih baik.
Pola Konsumsi Pangan adalah susunan jenis dan frekuensi konsumsi makan yang dapat dilihat dari kebiasaan mengkonsumsi jenis-jenis pangan meliputi makanan pokok, pangan hewani, pangan nabati, sayur, buah, dan air putih dengan menggunakan Food Frequencies Questionnaries
(FFQ), serta tingkat kecukupan energi, protein, vitamin A, vitamin B1,
vitamin B2, vitamin B6, asam folat, vitamin C, fosfor, dan besi contoh yang dihitung melalui perbandingan konsumsi yang didapat melalui
Recall 2x24 jam dengan angka kecukupan zat gizi menurut WKNPG
(2004).
Status Gizi adalah keadaan kesehatan tubuh contoh yang dipengaruhi oleh asupan zat gizi masa lampau yang ditentukan berdasarkan IMT (kg/m2) yang mengacu pada Depkes (2005).
Karakteristik contoh adalah data-data lansia yang meliputi usia, jenis kelamin, dan tingkat pendidikan.
Tekanan darah adalah kuatnya darah menekan dinding pembuluh darah saat dipompa dari jantung menuju keseluruhan jaringan.
Riwayat demensia keluarga adalah informasi mengenai orangtua lansia apakah ada yang mengalami demensia.
Demensia merupakan suatu kondisi dimana terjadi gangguan kognitif dan memori yang dapat mempengaruhi aktivitas sehari-hari.
Diabetes melitus merupakan suatu kondisi dimana glukosa darah berada diatas batas normal, glukosa darah puasa berada diatas 120 mg/dl dan glukosa darah 2 jam sesudah makan berada diatas 200 mg/dl.
Konsumsi merupakan suatu kegiatan untuk memasukkan makanan dalam tubuh untuk keberlangsungan kegiatan sehari- hari.
Zat gizi mikro adalah zat- zat yang dibutuhkan tubuh untuk menjaga agar tubuh tetap sehat meliputi vitamin (Vitamin A, Vitamin B, Vitamin C) dan mineral (fosfor dan besi).
Tingkat pendidikan merupakan perbedaan pendidikan yang ditempuh oleh masing- masing contoh.
Aktivitas fisik merupakan seluruh kegiatan harian lansia yang meliputi mandi, makan, berjalan, tidur, olahraga, beribadah, mencuci, berjalan, dan lain- lain.
11
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Panti werdha yang djadikan lokasi penelitian adalah Rumah Perlindungan Sosial Tresna Werdha (RPSTW) yang berlokasi Jl Pulo Empang RT 004/05 Paledang, Bogor Tengah, Bogor 16122 Jawa Barat. Rumah Perlindungan Sosial Tresna Werdha menampung sekitar 60 orang lansia. Panti Werdha Tresna atau biasa disebut Rumah Perlindungan Sosial Tresna Werdha Bogor merupakan lembaga atau satuan kerja yang berfungsi untuk memberikan pelayanan sosial bagi penyandang masalah sosial lanjut usia terlantar. Rumah perlindungan sosial Tresna Werdha Bogor merupakan pelaksana dari UPTD Balai Perlindungan Sosial Tresna Werdha Ciparay Bandung dan pemeliharaan Taman Makam Pahlawan yang mempunyai fungsi dan tanggung jawab dalam rangka pelaksanaan pembangunan kesejahteraan sosial baik yang bersifat administratif maupun teknis terhadap sasaran pelayanan secara langsung kepada para lansia. Sumber dana Rumah Perlindungan Sosial Tresna Werdha Bogor bersumber dari DPA Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat, Yayasan Dharmais, dan bantuan tidak tetap dari donatur.
Lansia yang menjadi sasaran pelayanan di RPSTW adalah lanjut usia yang berusia 60 tahun keatas dengan karakteristik seperti berikut : lanjut usia yang nyata-nyata terlantar baik karena tidak ada atau tidak diketahui keluarganya, maupun mereka yang tidak diurus keluarganya sebagaimana layaknya, lanjut usia yang karena suatu sebab tertentu mereka tidak mau hidup di lingkungan keluarganya melainkan ingin dilayani di RPSTW. RPSTW mampu menampung hingga 60 lansia. Kegiatan yang ada di panti beragam, ada kegiatan kerohanian seperti pengajian dan shalat bersama, kegiatan senam lansia yang dilaksanakan dua kali dalam seminggu, kegiatan keterampilan seperti memasak dan membuat pernak pernik, serta kegiatan hiburan maupun kegiatan lain dari donatur.
Luas lahan RPSTW sekitar 1.810 m² dengan sarana dan fasilitas yang tersedia seperti berikut ini : asrama I ukuran 28,7 m x 7,25 m = 286 m², asrama II ukuran 3m X 12m = 36 m², asrama III ukuran 3m x 12 m = 36 m², asrama IV ukuran 4m x 24m = 96m ², aula 4m x 7 m = 28m², gasibu 2,5 m x 5 m = 12,5 m2, dapur 1 buah, 4m x 5m² = 20 m², kamar mandi 5 buah, ukuran 1,85 m X 2 m = 18m², kamar emergensi 3 buah, ukuran 1,85m x 2 m = 28,7m², mushola 1 buah, 4 m x 5m = 20 m², dan tempat pemakaman 1000 m².
Pelayanan yang diberikan di rumah perlindungan sosial Tresna Werdha Bogor kepada para lansia melalui berbagai tahapan, mulai dari tahapan pendekatan awal, tahap pengungkapan dan pemahaman masalah, tahap penyusunan rencana dan program, tahapan pelaksanaan pelayanan sosial, tahap evaluasi dan diakhiri dengan tahap terminasi dan rujukan. Proses pelayanan berdasarkan tahapan-tahapan itu, merupakan suatu upaya untuk mewujudkan terbina dan berkembangnya tata kehidupan dan penghidupan para lansia di rumah perlindungan sosial Tresna Wherda Bogor yang merupakan bagian dari tugas pembangunan bagian kesejahteraan sosial sebagai bagian integral dari pembangunan Nasional yang dilaksanakan pemerintah yang bertujuan untuk
12
memperbaiki, membina, dan mengembangkan kelayakan taraf hidup dan penghidupan manusia, terutama mereka yang mengalami hambatan sosial baik fisik maupun mental psikologis para lansia yang disebabkan oleh berbagai hal.
Karakteristik lansia Usia
Lansia yang menjadi contoh dalam penelitian berjumlah 42 orang dengan kisaran usia antara 60 tahun sampai 82 tahun. Pengelompokan usia dibagi menjadi dua, yaitu rentang usia 60 sampai 64 tahun dan usia diatas 65 tahun berdasarkan kriteria Depkes tahun 2006. Pengelompokan juga dibedakan berdasar kejadian demensia pada lansia, yaitu demensia dan tidak demensia, seperti terlihat pada Tabel 3. Sebagian besar lansia berusia diatas 65 tahun dengan persentase sebesar 83.3% untuk lansia yang mengalami demensia dan sebesar 72.2% untuk lansia yang tidak mengalami demensia. Rata-rata usia lansia adalah 69.5 ± 6.1 tahun.
Tabel 3 Sebaran lansia berdasarkan karakteristik dan kondisi demensia
Variabel Demensia Tidak demensia Total
n % n % n % Usia 60-64 4 16.7 5 27.8 9 21.4 >65 20 83.3 13 72.2 33 78.6 Total 24 100 18 100 42 100 Tingkat pendidikan Tidak sekolah 13 54.2 4 22.2 17 40.5 Tidak tamat SD 1 4.2 1 5.6 2 4.8 SD 5 20.8 6 33.3 11 26 SMP 2 8.3 5 27.8 7 16.7 SMA 2 8.3 2 11.1 4 9.6 Perguruan tinggi 1 4.2 0 0.0 1 2.4 Total 24 100 18 100 42 100 Status pernikahan Menikah 8 33.3 8 44.4 16 38.1 Tidak menikah 5 20.8 2 11.1 7 16.7 Cerai hidup 2 8.3 3 16.7 5 11.9 Cerai mati 9 37.5 5 27.8 14 33.3 Total 24 100 18 100 42 100 Besar keluarga Kecil 18 75.0 12 66.7 30 71.4 Sedang 6 25.0 4 22.2 10 23.8 Besar 0 0.0 2 11.1 2 4.8 Total 24 100 18 100 42 100
13 Tingkat pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu unsur penting untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mencapai kehidupan yang lebih baik. Pendidikan di masa yang akan datang akan menciptakan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Hasil Susenas Juli 2009 memperlihatkan pendidikan penduduk lansia yang relatif masih rendah, yaitu tidak/belum pernah sekolah dan tidak tamat SD. Penduduk lansia yang tamat SD hanya sebesar 23.01 persen, persentase penduduk lansia yang tamat SMP hanya sebesar 5.85 persen, SMA sebesar 6.83 persen dan Perguruan Tinggi (PT) hanya sebesar 2.51 persen. Rendahnya tingkat pendidikan penduduk lansia memperlihatkan kualitas SDM lansia yang rendah.
Tingkat pendidikan lansia pada penelitian ini berkisar antara tidak sekolah sampai perguruan tinggi, dimulai dari tidak sekolah, tidak tamat SD, SD, SMP. SMA, dan perguruan tinggi. Pengelompokan tingkat pendidikan didasarkan pada sebaran tingkat pendidikan lansia dan keadaan demensia, seperti terlihat pada Tabel 3. Sebagian besar lansia yang mengalami demensia tidak sekolah (54.2%) dan sebagian besar lansia yang tidak mengalami demensia merupakan tamatan Sekolah Dasar (33.3%).
Status pernikahan
Status pernikahan lansia dikelompokkan menjadi 4, yaitu menikah, tidak menikah, cerai hidup, dan cerai mati. Pengelompokkan juga dibedakan berdasar kejadian demensia pada lansia, yaitu demensia dan tidak demensia seperti terlihat pada Tabel 3. Sebagian besar lansia dari kedua kelompok memiliki status pernikahan menikah, yaitu sebesar 33.3% untuk lansia yang mengalami demensia dan sebesar 44.4% untuk lansia yang tidak mengalami demensia.
Besar keluarga
Besar keluarga adalah banyaknya atau jumlah anggota keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, anak, dan anggota keluarga lain dari pengelolaan sumber daya yang sama. Menurut BKKBN (1998), besar keluarga dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu keluarga kecil (≤4 orang), keluarga sedang (5-6 orang), dan keluarga besar (≥7 orang). Berdasarkan pengelompokkan tersebut, diketahui sebagian besar lansia dari kedua kelompok memiliki besar keluarga yang tergolong kecil yaitu ≤4 orang. Lansia yang mengalami demensia diketahui sebesar 75% dan lansia yang tidak mengalami demensia diketahui sebesar 66.7%.
Lama tinggal di panti
Lansia yang tinggal di panti biasanya berusia diatas 60 tahun. Berdasarkan data yang didapat dari panti werdha Tresna, Bogor, diketahui bahwa sebagian besar lansia baik yang demensia maupun yang tidak demensia sudah tinggal di panti selama 0-5 tahun (Tabel 4). Hanya sebagian kecil lansia yang tinggal diatas 15 tahun di panti. Lansia yang tinggal di panti werdha biasanya mengalami
14
kesulitan pada penyesuaian diri dengan peran sosial secara luwes. Lansia merasa asing dengan lingkungan sosialnya yang baru pada saat Lansia tersebut dipindahkan ke panti werdha yang sebelumnya belum pernah mereka tinggali. Disana mereka bertemu banyak teman seusia yang beragam sifat dan karakternya. Menurut Hurlock (1980), salah satu perubahan mental yang terjadi pada lansia adalah mental yang kaku sehingga mereka juga membutuhkan usaha yang lebih untuk beradaptasi dengan situasi baru di Panti werdha. Hal tersebut biasanya disebabkan oleh ketidakcocokan sifat dan karakter pada masing-masing individu. Hal inilah yang menghambat afeksi dan emosi positif serta evaluasi kognitif Lansia sehingga Lansia tersebut menjadi tidak sejahtera.
Tabel 4 Sebaran lansia berdasarkan lama tinggal di panti Lama tinggal di panti Demensia Tidak demensia
(tahun) n % n % 0 – 5 16 66.7 12 66.7 5 – 10 3 12.5 4 22.2 10 – 15 4 16.7 1 5.6 >15 1 4.2 1 5.6 Total 24 100 18 100
Status gizi lansia
Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat- zat gizi (Almatsier 2009). Menurut Riyadi (2003), status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan, dan penggunaan zat gizi. Indeks masa tubuh (IMT) merupakan alat atau cara yang sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa, khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan. Penentuan batasan berat badan normal pada orang dewasa berdasarkan penilaian indeks masa tubuh dihitung menurut rumus berat badan dalam kilogram dibagi tinggi badan dalam meter persegi. Batas ambang nilai IMT menurut Depkes (2005) untuk orang Indonesai adalah <18.5 kg/m2 termasuk dalam kategori kurus, 18.5-25.0 kg/m2 untuk kategori normal, dan >25 kg/m2 untuk kategori gemuk.
Berdasarkan hasil pengelompokkan terebut, dapat dilihat persentase lansia berdasar status gizi seperti yang disajikan pada Tabel 5. Sebagian besar lansia dari kedua kelompok memiliki status gizi normal, yaitu diketahui sebesar 62.5% untuk kelompok lansia yang mengalami demensia dan 55.6% untuk lansia yang tidak mengalami demensia. Persentase terbesar kedua dari kelompok lansia yang mengalami demensia memiliki status gizi kurus (33.3%), sedangkan kelompok lansia yang tidak mengalami demensia memiliki status gizi gemuk (33.3%).
15 Tabel 5 Sebaran lansia berdasarkan status gizi
Status gizi Demensia Tidak demensia
n % n %
Kurus 8 33.3 2 11.1
Normal 15 62.5 10 55.6
Gemuk 1 4.2 6 33.3
Total 24 100 18 100
Pola konsumsi pangan
Pola konsumsi pangan dapat diartikan sebagai cara seseorang atau sekelompok orang dalam memilih dan mengkonsumsi pangan sebagai tanggapan terhadap pengaruh fisiologis, psikologi, budaya, sosial, dan ekonomi (Riyadi 2006). Menurut Suhardjo (1989), kebiasaan makan adalah suatu istilah untuk menggambarkan kebiasaan dan perilaku yang berhubungan dengan makanan dan makan, seperti tata krama makan, frekuensi makan seseorang, pola makanan yang dimakan, kepercayaan tentang makanan, distribusi makanan diantara anggota keluarga, penerimaan terhadap makanan, dan cara pemilihan bahan makanan yang hendak dimakan sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologik, psikologik, sosial, dan budaya. Pola konsumsi pangan lansia dalam penelitian ini dilihat melalui 3 aspek, yaitu kebiasaan makan, konsumsi berbagai pangan, dan tingkat kecukupan zat gizi lansia.
Kebiasaan makan Frekuensi makan sehari
Pola konsumsi pangan adalah berbagai informasi yang memberikan gambaran mengenai jenis, frekuensi dan jumlah bahan pangan yang dimakan tiap hari oleh satu orang atau merupakan ciri khas untuk sesuatu kelompok masyarakat tertentu (Santoso 2004). Frekuensi makan lansia dalam sehari dapat dilihat pada Tabel 6. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui sebagian besar lansia memiliki frekuensi makan 3 kali sehari, yaitu sebesar 90% untuk lansia yang mengalami demensia dan 58.3% untuk lansia yang tidak mengalami demensia. Lansia yang memiliki frekuensi makan 3 kali sehari biasa dilakukan pada pagi, siang, dan sore hari. Lansia yang memiliki frekuensi makan 2 kali sehari biasanya dilakukan pada siang dan sore hari, sedangkan lansia yang memiliki kebiasaan makan >3 kali sehari biasa dilakukan pada pagi, siang, sore, dan malam hari.
16
Tabel 6 Kebiasaan makan lansia
Kebiasaan makan Klasifikasi Demensia Tidak demensia
n % n %
Frekuensi makan sehari (kali) 1-2 1 4.2 5 27.8
3 23 95.8 11 61.1
>3 0 0.0 2 11.1
Kebiasaan sarapan pagi Selalu 20 83.3 14 77.8
kadang- kadang 3 12.5 4 22.2
Jarang 1 4.2 0 0.0
tidak pernah 0 0.0 0 0.0
Waktu sarapan pagi 05.30 - 06.30 17 70.8 14 77.8
06.31 - 07.30 7 29.2 2 11.1
> 07.30 0 0.0 2 11.1
Menu sarapan nasi dan lauk pauk 29 96.7 12 100.0
Roti 1 3.3 0 0.0
Minuman yang biasa diminum teh manis 16 66.7 6 33.3
pagi/ malam air putih 3 12.5 9 50.0
lainnya (kopi/
sirup) 5 20.8 3 16.7
Kebiasaan minum rutin Selalu 8 33.3 12 66.7
kadang- kadang 6 25.0 5 27.8
Jarang 10 41.7 1 5.6
tidak pernah 0 0.0 0 0.0
Waktu terbiasa konsumsi susu Balita 5 20.8 9 50.0
SD 2 8.3 4 22.2
SMP 1 4.2 0 0.0
SMA 0 0.0 0 0.0
baru baru ini 15 62.5 5 27.8
tidak pernah 1 4.2 0 0.0
Frekuensi konsumsi susu 0 3 12.5 5 27.8
(minggu) 1 12 50.0 3 16.7
2 9 37.5 7 38.9
3 0 0.0 2 11.1
7 0 0.0 1 5.6
Kebiasaan makan siang Selalu 23 95.8 15 83.3
kadang- kadang 1 4.2 3 16.7
Jarang 0 0.0 0 0.0
tidak pernah 0 0.0 0 0.0
Menu makan siang N+LH+LN+S 21 87.5 16 88.9
N+LH+S 0 0.0 0 0.0
N +S 0 0.0 0 0.0
N+LH+LN+S 1 4.2 1 5.6
N+LH 0 0.0 1 5.6
17 Tabel 6 Kebiasaan makan lansia (lanjutan)
Kebiasaan makan Klasifikasi
Demensia Tidak demensia
n % n %
N+LH/LN+kecap 1 4.2 0 0.0
Kebiasaan ngemil Selalu 8 33.3 10 55.6
kadang- kadang 5 20.8 5 27.8
Jarang 10 41.7 3 16.7
tidak pernah 1 4.2 0 0.0
Konsumsi air putih sehari 8 gelas 1 4.2 6 33.3
5 gelas 3 12.5 6 33.3
3 gelas 15 62.5 4 22.2
<3 gelas 5 20.8 2 11.1
Membeli makanan diluar panti selalu 3 12.5 8 44.4
kadang- kadang 6 25.0 4 22.2 jarang 4 16.7 5 27.8 tidak pernah 11 45.8 1 5.6 Keterangan : N : Nasi LH : Lauk hewani LN : Lauk nabati S : Sayuran Kebiasaan sarapan
Sarapan (makan pagi) adalah suatu kegiatan yang penting sebelum melakukan aktivitas fisik pada pagi hari (Khomsan 2005). Khomsan (2005) menegaskan bahwa dengan melakukan sarapan dapat menyumbangkan 25% dari kebutuhan total energi harian. Ada dua manfaat sarapan diantaranya yaitu sarapan pagi dapat menyediakan karbohidrat yang siap digunakan untuk meningkatkan kadar glukosa darah. Kadar glukosa darah yang terjamin normal, maka gairah dan konsentrasi kerja bisa lebih baik, sehingga berdampak positif terhadap produktifitas kerja. Manfaat sarapan yang kedua adalah sarapan dapat memberikan kontribusi penting terhadap beberapa zat gizi yang diperlukan tubuh, seperti protein, lemak, vitamin, dan mineral. Melewatkan sarapan menyebabkan tubuh kekurangan glukosa, sehingga menimbulkan rasa pusing, gemetar, dan rasa lelah. Jika hal ini terjadi maka tubuh akan membongkar persediaan tenaga yang ada dalam jaringan lemak tubuh.
Kebiasaan sarapan yang menjadi fokus dalam pengambilan data adalah kebiasaan sarapan, waktu sarapan, dan menu sarapan. Sebagian besar lansia yang mengalami demensia dan tidak mengalami selalu sarapan pagi, yaitu sebesar 80% untuk lansia yang mengalami demensia dan sebesar 83.3% untuk lansia yang tidak mengalami demensia. Waktu sarapan pagi dikelompokkan berdasar sebaran pada lansia. Sebagian besar lansia yang mengalami demensia dan tidak demensia melakukan sarapan pagi pada pukul 05.30-06.30, yaitu sebesar 61.1% untuk lansia yang mengalami demensia dan sebesar 95.8% untuk lansia yang tidak mengalami demensia. Hal ini berkaitan dengan penyediaan sarapan oleh panti dilakukan
18
sekitar pukul 06.00 pagi. Menu sarapan pagi dikelompokkan berdasar sebaran kebiasan menu sarapan pada lansia. Sebagian besar lansia yang mengalami demensia dan keseluruhan lansia yang tidak mengalami demensia memiliki menu sarapan nasi dan lauk pauk.
Kebiasaan minum
Asupan air pada lansia harus lebih diperhatikan karena osmoreseptor kurang sensitif sehingga mereka kerap tidak merasa haus. Kecukupan asupan air, meskipun telah dihitung secara cermat, harus dipantau melalui ekskresi urin; volume urin sehari minimal setengah liter. Jenis minuman sebaiknya sari buah, karena disamping memasok cairan, sari buah juga menyuplai vitamin (Arisman 2004).
Sebagian besar lansia yang mengalami demensia memiliki kebiasaan minum rutin yang tergolong jarang (41.7%), sedangkan lansia yang tidak mengalami demensia sebagian besar selalu memiliki kebiasaan minum yang tergolong rutin (66.7%). Minuman yang biasa diminum lansia ketika pagi atau malam adalah teh manis dan air putih. Sebesar 66.7% lansia yang mengalami demensia biasa minum teh manis ketika pagi atau malam hari, dan sebesar 50% lansia yang tidak mengalami demensia biasa minum air putih ketika pagi atau malam hari. Konsumsi air putih rata-rata untuk lansia yang mengalami demensia sebagian besar adalah sebanyak 3 gelas sehari, dan 5 sampai 8 gelas sehari untuk lansia yang tidak mengalami demensia.
Susu merupakan salah satu bahan pangan sumber protein hewani yang baik bagi tubuh. Konsumsi susu untuk lansia yang mengalami demensia lebih sedikit apabila dibandingkan dengan lansia yang tidak mengalami demensia. Hal ini terlihat dari frekuensi konsumsi susu dalam seminggu. Sebagian besar lansia yang mengalami demensia, yaitu sebesar 50% mengkonsumsi susu 1 kali dalam seminggu, sedangkan lansia yang tidak mengalami demensia mengkonsumsi susu sebanyak 2 kali dalam seminggu. Lansia yang mengalami demensia sebagian besar mulai terbiasa mengkonsumsi susu baru-baru ini atau ketika baru masuk panti, sedangkan lansia yang tidak mengalami demensia sebagian besar terbiasa mengkonsumsi susu sejak balita.
Kebiasaan ngemil
Makanan ringan atau dikenal dengan sebutan snack food adalah makanan yang dikonsumsi diantara waktu makan utama dan umumnya sudah merupakan bagian yang tidak ditinggalkan dalam kehidupan sehari-hari, terutama pada kalangan anak-anak dan remaja (Muchtadi et al. 1988). Lansia yang mengalami demensia sebagian besar jarang ngemil, yaitu sebesar 41.7%. Hal ini berkaitan dengan menurunnya fungsi kognitif yang diiringi dengan penurunan untuk melakukan aktivitas meliputi makan. Lansia yang tidak mengalami demensia sebagian besar selalu ngemil dan jajan keluar panti. Lansia yang tidak mengalami demensia masih memiliki nafsu makan yang baik.
19 Konsumsi bahan pangan sumber karbohidrat
Tujuan mengisi FFQ adalah melengkapi data konsumsi makanan yang tidak dapat diperoleh melalui ingatan 24 jam. Contoh diberi tugas untuk melaporkan frekuensi makanan yang lazim dikonsumsi berdasarkan daftar makanan dalam periode waktu tertentu. Data yang didapat dengan FFQ merupakan data frekuensi : berapa kali sehari, seminggu, atau sebulan orang menyantap makanan tertentu (Arisman 2004). Frekuensi konsumsi bahan pangan lansia dapat dilihat pada Tabel 7, dimana diketahui rata-rata konsumsi bahan pangan dalam seminggu, maksimum konsumsi bahan pangan dalam satu minggu, dan minimum konsumsi bahan pangan dalam satu minggu. Frekuensi konsumsi tersebut didapat dari konsumsi bahan pangan dalam sebulan terakhir.
Berdasarkan hasil wawancara dengan kuesioner FFQ, diketahui sebagian besar lansia yang mengalami demensia dan tidak mengalami demensia lebih banyak mengkonsumsi nasi sebagai pangan sumber karbohidratnya. Rata-rata sebanyak 20 sampai 21 kali dalam seminggu lansia yang mengalami demensia dan tidak mengalami demensia mengkonsumsi nasi. Minimum dan maksimum konsumsi nasi dalam seminggu untuk lansia yang mengalami demensia dan tidak mengalami demensia adalah sebanyak 14 kali dan 21 kali. Bahan pangan sumber karbohidrat lain yang juga dikonsumsi lansia adalah jagung, singkong, biskuit dan mie. Rata-rata konsumsi bahan pangan tersebut jauh lebih sedikit apabila dibandingkan dengan rata-rata konsumsi nasi. Banyaknya rata-rata konsumsi nasi dalam seminggu berkaitan dengan makanan yang disediakan panti Werdha Tresna untuk lansia. Bahan pangan sumber karbohidrat yang disediakan sehari-hari adalah nasi. Lansia yang mengalami demensia rata-rata hanya mengkonsumsi jagung, singkong, dan biskuit sebanyak 1 sampai 2 kali dalam seminggu, dan mie hanya 1 kali dalam seminggu. Lansia yang tidak mengalami demensia rata-rata hanya mengkonsumsi jagung dan singkong sebanyak 2 sampai 3 kali seminggu, biskuit sebanyak 3 sampai 4 kali seminggu, dan mie sebanyak 1 kali seminggu.
Tabel 7 Frekuensi konsumsi bahan pangan per minggu
No. Jenis pangan
Demensia Tidak demensia
Rata-rata ± standar deviasi Min;Maks
Rata-rata ± standar deviasi Min;Maks
1. Serealia dan umbi
1. Nasi 20.7 ± 1.43 14;21 20.2 ± 2.26 14;21 2. Biskuit 1.67 ± 2.340;7 0;7 3.90 ± 2.74 0.25;7 3. Jagung 1.25 ± 0.94 0;3 2.27 ± 0.75 0;3 4. Singkong 1.16 ± 1.49 0;7 2.14 ± 1.51 0.5;5 5. Mie 0.38 ± 0.89 0;4 1 ± 0.87 0;2 2. Pangan hewani 1. Telur ayam 6.5 ± 2.4 0;14 4.4 ± 3.58 0;14 2. Daging ayam 2.12 ± 0.89 0;4 3.16 ± 1.69 0;7
20
Tabel 7 Frekuensi konsumsi bahan pangan per minggu (lanjutan)
No. Jenis pangan Demensia Tidak demensia
Rata-rata ± standar deviasi Min;Maks
Rata-rata ± standar deviasi Min;Maks 3. Susu bubuk 1.4 ± 0.65 0;2 1 ± 0.98 0;2 4. Ikan mas 1.2 ± 0.87 0;2 1.55 ± 1.25 0;3 5. Ikan nila 0.76 ± 0.66 0;2 1 ± 0.9 0;2 6. Ikan asin 0.6 ± 0.68 0;3 1 ± 1.3 0;4 7. Daging sapi 0.3 ± 0.27 0;1 0.59 ± 0.41 0;1
8. Ikan laut segar 0.2 ± 0.35
0;1 1.23 ± 1.09 0;4 9. Susu Cair 0.2 ± 0.64 0;3 1.2 ± 3.35 0;14 10. Ikan lele 0.03 ±0.08 0;0.25 0 ± 0 0;0 11.Daging kambing 0.02 ± 0.07 0;0.25 0 ± 0 0;0 3. Kacang-kacangan 1. Tempe 8.2 ± 3.4 7;21 6.33 ± 3.1 0;14 2. Tahu 7.6 ± 2.8 7;21 6.33 ± 3.1 0;14 3. Kc. Buncis 1.88 ± 0.67 0;3 2.28 ± 1.53 0;4 4. Kc. Tanah 1.8 ±0.88 0;3 0.77 ± 1.22 0;3 5. Kc. Hijau 1.2 ± 0.58 0;3 1.5 ± 0.92 0;3 6. Oncom 0.5 ± 0.7 0;3 1 ± 1.07 0;3
4. Sayur dan Olahannya
1. Wortel 2.5 ± 1.2 0;4 2.5 ± 1.15 0;4 2. Kol 2.5 ± 1.3 0;4 2.56 ± 1.8 0;4 3. Sawi 1.7 ± 0.8 0;3 2.1 ± 1.26 0;4 4. Bayam 1.5 ± 1 0;4 2 ± 1.86 0;5 5. Kangkung 0.7 ± 0.5 0;1 0.3 ± 0.57 0;2 6. Daun singkong 0.5 ± 0.57 0;2 1.22 ± 1.04 0;3 7. Daun pepaya 0.47 ± 0.37 0;1 0.59 ± 0.47 0;1
21
Tabel 7 Frekuensi konsumsi bahan pangan per minggu (lanjutan)
No. Jenis pangan Demensia Tidak demensia
Rata-rata ± standar deviasi Min;Maks
Rata-rata ± standar deviasi Min;Maks 5. Buah 1. Pisang 1.8 ± 0.6 1;3 1.44 ± 0.78 0;3 2. Pepaya 1.4 ± 0.6 0;2 1.66 ± 0.77 0;2 3. Jeruk 0.9 ± 0.95 0;4 1.87 ± 1.28 0;4 4. Mangga 0.2 ±0.4 0;1 0.18 ± 0.38 0;1 5. Melon 0.11 ± 0.18 0;0.5 1 ± 2.21 0;7 6. Jambu 0.06 ± 0.1 0;0.25 0.36 ± 0.43 0;1 7. Rambutan 0.05 ±0.12 0;0.5 0.09 ± 0.13 0;0.25 8. Apel 0.01 ± 0.05 0;0.25 0.03 ± 0.12 0;0.5 6. Jajanan 1. Pisang goreng 1.2 ± 1.79 0;7 2.25 ± 3.01 0;7 2. Bakwan 1.1 ± 0.7 0;3 2.13 ± 2.24 0;7 3. Bakso 0.02 ± 0.07 0;0.25 0.28 ± 0.56 0;3 4. Siomay 0.02 ± 0.08 0;0.5 0.13 ± 0.28 0;1 7. Lain-lain 1. Gula 13 ± 2.8 3;14 12.6 ± 5.27 0;21 2. Teh 6.8 ± 1.9 3;14 5.8 ± 4.95 0.25;21 3. Kerupuk 5.58 ± 4.99 0;21 5.3 ± 2.59 0;7 4. Kopi 0.86 ± 2.09 0;7 2.8 ± 4.17 0;14
Konsumsi bahan pangan sumber protein hewani
Protein adalah suatu zat gizi yang berperan sebagai penghasil energi, pembentuk jaringan baru, dan mempertahankan jaringan yang telah ada (Winarno 2002). Sumber protein bisa berasal dari pangan hewani dan nabati. Pangan hewani yang biasa dikonsumsi oleh lansia di panti Werdha Tresna diantaranya daging ayam, daging sapi, daging kambing, ikan laut segar, ikan mas, ikan lele, ikan nila, ikan asin, telur ayam, dan susu. Berdasarkan Tabel 7, diketahui sebagian besar lansia yang mengalami demensia dan tidak mengalami demensia lebih banyak mengkonsumsi telur ayam sebagai pangan sumber hewani. Rata-rata sebanyak 6 sampai 7 kali dalam seminggu lansia yang mengalami demensia mengkonsumsi telur ayam, sedangakan lansia yang tidak mengalami demensia rata-rata sebanyak
22
4 sampai 5 kali dalam seminggu. Konsumsi telur ayam yang tinggi ini berkaitan dengan menu yang disediakan di panti lebih banyak berbahan baku telur ayam. Hampir setiap harinya menu yang disediakan salah satunya berbahan baku telur ayam. Selain telur ayam, konsumsi pangan hewani yang cukup banyak yaitu daging ayam. Sebanyak 2 sampai 3 kali dalam seminggu lansia yang mengalami demensia mengkonsumsi daging ayam, sedangkan lansia yang tidak mengalami demensia mengkonsumsi daging ayam sebanyak 3 sampai 4 kali dalam seminggu. Konsumsi pangan hewani terendah adalah daging kambing. Maksimum konsumsi daging kambing untuk lansia yang mengalami demensia adalah sebanyak 1 kali dalam sebulan, dan lansia yang tidak mengalami demensia tidak ada yang mengkonsumsi daging kambing dalam sebulan terakhir. Hal ini berkaitan dengan banyaknya lansia yang mengidap hipertensi sehingga pemilihan bahan pangan dibatasi untuk daging kambing.
Konsumsi bahan pangan sumber protein nabati
Sumber protein tidak hanya berasal dari pangan hewani namun juga berasal dari pangan nabati. Pangan nabati yang biasa dikonsumsi lansia di panti Werdha Tresna diantaranya tahu, tempe, oncom, kacang tanah, dan kacang hijau. Sebagian besar lansia yang mengalami demensia dan tidak mengalami demensia lebih banyak mengkonsumsi tempe dan tahu sebagai pangan nabatinya. Rata-rata konsumsi tempe dalam seminggu untuk lansia yang mengalami demensia lebih tinggi apabila dibandingkan dengan lansia yang tidak mengalami demensia. Hal ini terlihat dari rata-rata konsumsi tempe dalam seminggu untuk lansia yang mengalami demensia adalah sebanyak 8 sampai 9 kali, sedangkan untuk lansia yang tidak mengalami demensia adalah sebanyak 6 sampai 7 kali. Minimum konsumsi tempe dalam seminggu untuk lansia yang mengalami demensia adalah sebanyak 7 kali dan sebanyak 0 kali untuk lansia yang tidak mengalami demensia. Maksimum konsumsi tempe dalam seminggu untuk lansia yang mengalami demensia adalah sebanyak 21 kali atau dapat dikatakan satu hari sebanyak 3 kali, sedangkan untuk lansia yang tidak mengalami demensia adalah sebanyak 14 kali dalam seminggu. Rata-rata konsumsi tahu dalam seminggu untuk lansia yang mengalami demensia lebih tinggi apabila dibandingkan dengan lansia yang tidak mengalami demensia. Hal ini terlihat dari rata-rata konsumsi tahu dalam seminggu, dimana untuk lansia yang mengalami demensia sebanyak 7 sampai 8 kali sedangkan untuk lansia yang tidak mengalami demensia sebanyak 6 sampai 7 kali.
Konsumsi buah dan sayur
Menurut Almatsier (2004), porsi buah yang dianjurkan sehari untuk orang dewasa adalah sebanyak 200-300 gram atau 2-3 potong sehari sedangkan porsi sayuran dalam bentuk tercampur yang dianjurkan sehari adalah 150-200 gram atau 1½-2 mangkok sehari. Umumnya buah-buahan mempunyai kadar air yang tinggi, yaitu 65-90%, tetapi rendah dalam kadar protein dan lemak kecuali buah alpukat. Vitamin yang umumnya terdapat dalam buah adalah vitamin C dan vitamin A, disamping vitamin B1 serta beberapa macam mineral seperti kalsium dan zat besi (Muchtadi & Sugiyono 1992). Buah biasanya dihidangkan setelah