5 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Sambiloto (Andrographis paniculata (Burm.f.) Nees) 2.1.1 Klasifikasi tanaman
Divisi : Spermatophyta
Sub Divisi : Angiospermae
Classis : Dicotyledoneae
Ordo : Solanaceae
Familia : Acanthaceae
Genus : Andrographis
Spesies : Andrographis paniculata (Burm.f.) Nees
(Sivananthan and Elamaran, 2013) 2.1.2 Morfologi tanaman
Sambiloto atau dikenal juga dengan sebutan Kalmegh, Kalafath, Kan-jang, Alui, Charita, Sambilata, Andrograpidis banyak ditemukan dan dibudidayakan di daerah tropis dan subtropis Asia, Asia Tenggara dan India (Benoy et al., 2012). Tanaman sambiloto memiliki tinggi 40 cm sampai 90 cm, percabangan banyak dengan letak yang berlawanan, cabang berbentuk segi empat dan tidak berambut. Bentuk daun lanset, ujung daun dan pangkal daun tajam atau tegak tajam, tepi daun rata, panjang daun 3 cm sampai 12 cm dan lebar 1 cm sampai 3 cm, panjang tangkai daun 5 mm sampai 25 mm; daun bagian atas bentuknya seperti daun pelindung. Perbungaan tegak bercabang-cabang, gagang bunga 3 mm sampai 7
mm, panjang kelopak bunga 3 mm sampai 4 mm. Bunga bibir bentuk tabung, panjang 6 mm, bibir bunga bagian atas berwarna putih dengan warna kuning di bagian atasnya, bibir bunga bawah lebar, berwarna ungu. Bentuk buah jorong dengan ujung yang tajam, bila tua akan pecah menjadi 4 bagian (DepKes RI, 1979).
Gambar 2.1 Herba sambiloto. 1. Tanaman sambiloto, 2. Bunga sambiloto yang berpigmentasi, 3. Bunga sambiloto dengan warna ungu, 4. Buah berbentuk jorong, 5. Biji sambiloto yang telah tua (Benoy et al.,2012)
2.1.3 Habitat tanaman
Sambiloto merupakan herba tegak yang tumbuh secara alami di daerah dataran rendah hingga ketinggian 1600 dpl, dengan habitat tumbuh di tempat terbuka seperti ladang, pinggir jalan, tebing, saluran atau sungai, semak belukar, di bawah tegakan pohon jati atau bambu. Sambiloto tumbuh baik pada curah
hujan 2.000 – 3.000 mm pertahun, Suhu udara 25 – 32 0C serta kelembaban yang
dibutuhkan antara 70 – 90 %. Tumbuhan sambiloto dapat tumbuh pada semua jenis tanah, yang subur, mengandung banyak humus, tata udara dan pengairan
yang baik. Sambiloto tumbuh optimal pada pH tanah 6 – 7 (netral) (Pujiasmanto dkk., 2007).
2.1.4 Kandungan kimia tanaman
Secara kimia sambiloto mengandung diterpen, flavonoid, stigmasterol, alkane, keton, aldehid dan mineral (kalsium, natrium, kalium) (Rosidah et al., 2012). Beberapa jenis diterpen telah teridentifikasi dalam herba sambiloto diantaranya yaitu andrografolid, deoksiandrografolid, neoandrografolid, 14-deoksi-11, 12-didehidroandrografolid, isoandrografolid, dan 3,19-dihydroxy-15-methoxy-entlabda-8(17),11,13-trien-16,15-olide (Song et al., 2013). Komponen utamanya adalah andrografolid yang merupakan senyawa diterpen lakton (Rosidah et al., 2012).
2.2 Andrografolid
Andrografolid termasuk kedalam kelompok trihidroksilakton berupa kristal tak berwarna dan mempunyai rasa yang sangat pahit dengan rumus molekul C20H30O5 (Chao dan Lin, 2010).
Andrografolid mudah larut dalam metanol etanol, piridin, asam asetat, dan aseton, tetapi sedikit larut dalam eter dan air. Secara fisika memiliki titik leleh
228-230oC (Ratnani dkk., 2012). Spektrum ultraviolet Andrographis paniculata
(Burm.f.) Nees dalam metanol dengan panjang gelombang maksimal 230 nm (Depkes RI, 2010). Andrografolid dalam bentuk kristalnya akan terdekomposisi apabila disimpan pada suhu 70˚C dengan kelembaban relatif sebesar 75% selama
3 bulan (Lomlim et al., 2003).
Andrografolid tersebar sekitar 4%, 0,8-1,2% dan 0,5-6% pada ekstrak herba yang dikeringkan, batang, dan daun (Chao dan Lin, 2010). Di dalam daun, kadar senyawa andrografolid memiliki jumlah tertinggi yaitu sebesar 2,5-4,8% dari berat keringnya (Prapanza dan Marito, 2003).
Gambar 2.3 Spektrum KLT-Spektrofotodensitometri dari andrografolid pada panjang gelombang 235 nm (Pawar, 2010)
Andrografolid telah dilaporkan memiliki beragam efek farmakologi seperti antidiabetes (Reyes-Balaguer et al., 2005; Yu et al., 2008), anti-agregasi platelet (Amroyan et al., 1999), antimalaria (Dua et al., 2000), antihiperglikemi (Kumar et
al., 2012), imunostimulan (Xu et al., 2007), hepatoprotektif (Singha et al., 2007), antihiperlipidemia (Sivananthan and Elamaran, 2013).
2.3 Ekstraksi Senyawa Bahan Alam
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair (Depkes RI, 2000). Pelarut yang digunakan harus dapat mengekstrak substansi yang diinginkan tanpa melarutkan material lainnya.
Pada proses ekstraksi pada dasarnya dibedakan menjadi dua fase yaitu fase pencucian dan fase ekstraksi.
1. Fase Pencucian (Washing Out)
Pada saat penggabungan pelarut dengan simplisia, maka sel-sel yang rusak karena proses pengecilan ukuran langsung kontak dengan bahan pelarut. Komponen sel yang terdapat pada simplisia tersebut dapat dengan mudah dilarutkan dan dicuci oleh pelarut. Dengan adanya proses tersebut, maka dalam fase pertama ini sebagian bahan aktif telah berpindah ke dalam pelarut. Semakin halus ukuran simplisia, maka semakin optimal jalannya proses pencucian tersebut (Voigt, 1994).
2. Fase Ekstraksi (Difusi)
Untuk melarutkan komponen sel yang tidak rusak, maka pelarut harus masuk ke dalam sel dan mendesak komponen sel tersebut keluar dari sel. Membran sel simplisia yang mula-mula mengering dan menciut harus diubah terlebih dahulu agar terdapat suatu perlintasan pelarut ke dalam sel. Hal ini
dapat terjadi melalui proses pembengkakkan, dimana membran mengalami suatu pembesaran volume melalui pengambilan molekul bahan pelarut. Kemampuan sel untuk mengikat pelarut menyebabkan struktur dinding sel tersebut menjadi longgar, sehingga terbentuk ruang antarmiselar yang memungkinkan bahan ekstraksi mencapai ke dalam ruang dalam sel (Voigt, 1994).
Penggunaan pelarut bertitik didih tinggi menyebabkan adanya kemungkinan kerusakan komponen-komponen senyawa penyusun pada saat pemanasan. Pelarut yang digunakan harus bersifat inert terhadap bahan baku, mudah didapat dan harganya murah (DepKes RI, 1986). Menurut Stahl (1969), polaritas pelarut sangat berpengaruh terhadap daya larut. Indikator kelarutan pelarut dapat ditentukan dari nilai konstanta dielektrik dan nilai polaritas pelarut. Besarnya nilai polaritas pelarut proporsional dengan konstanta dielektriknya.
Srijanto et al. (2012) melakukan penelitian mengenai ekstraksi sambiloto dengan ekstraksi cair-cair. Ekstraksi cair-cair dilakukan dengan variasi waktu (10 menit, 15 menit dan 20 menit) dan variasi jumlah pelarut dengan perbandingan ekstrak etanol sambiloto : etil asetat, v/v (1:1, 1:2 dan 1:3). Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan waktu ekstraksi memberikan pengaruh pada kadar andrografolid di dalam ekstrak etanol sambiloto terpurifikasi. Semakin lama waktu ekstraksi maka semakin besar kadar andrografolid di dalam ekstrak etanol sambiloto terpurifikasi sampai pada batas tertentu. Sementara itu, semakin besar nisbah pelarut-bahan baku maka kadar andrografolid di dalam ekstrak etanol
sambiloto terpurifikasi akan semakin meningkat dan akan menurun seiring dengan pertambahan jumlah pelarut.
Metode ekstraksi dipilih berdasarkan beberapa faktor seperti sifat dari bahan mentah obat, daya penyesuaian dengan tiap macam metode ekstraksi dan kepentingan dalam memperoleh ekstrak yang sempurna (Ansel, 1989). Menurut DepKes RI (2000), ekstraksi dengan dapat dilakukan dengan cara dingin dan cara panas. Cara dingin yaitu metode maserasi dan perkolasi, sedangkan cara panas antara lain dengan refluks, sokletasi, digesti, dekok dan infus.
2.3.1 Maserasi
Maserasi ialah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada tempratur ruangan (kamar). Maserasi kinetik berarti dilakukan pengadukan yang kontinyu (terus-menerus) dan remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama dan seterusnya (DepKes RI, 2000). Pada metode ekstraksi dengan maserasi, cairan penyari akan masuk ke dalam sel melewati dinding sel. Isi sel akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan di luar sel. Larutan yang konsentrasinya tinggi akan terdesak keluar dan diganti oleh cairan penyari dengan konsentrasi rendah (proses difusi). Simplisia yang akan diekstraksi ditempatkan pada wadah atau bejana yang bermulut lebar bersama larutan penyari yang telah ditetapkan, bejana ditutup rapat kemudian dikocok berulang-ulang sehingga memungkinkan pelarut masuk ke seluruh permukaan simplisia (DepKes RI, 1986).
Menurut Pratiwi (2010) rendemen yang diperoleh dari ekstraksi andrografolid pada Andrographis paniculata (Burm.f.) Nees menggunakan metode maserasi berkisar antara 5,7-7,0%. Rendemen terendah terdapat pada waktu maserasi 4 jam, dan rendemen tertinggi terdapat pada waktu maserasi 24 jam. Rata-rata rendemen yang diperoleh yaitu 6,4%. Hal ini menunjukkan bahwa semakin lama maserasi, maka rendemen yang dihasilkan pun semakin tinggi. Pada metode ini dipengaruhi oleh waktu kontak yang lama antara pelarut dan simplisia, sehingga pelarut dapat lebih mudah masuk ke dalam sel dan menarik senyawa-senyawa secara maksimal. Adanya pengadukan juga sangat membantu mempermudah pelarut dalam melarutkan senyawa-senyawa tersebut.
2.3.2 Refluks
Refluks merupakan ekstraksi dengan pelarut pada tempratur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik (DepKes RI, 2000).
Gambar 2.4 Alat refluks (Houghton dan Raman, 1998) Kondensor
Pelarut Sampel
Prinsip kerja pada metode refluks yaitu penarikan komponen kimia yang dilakukan dengan cara sampel dimasukkan ke dalam labu alas bulat bersama-sama dengan cairan penyari lalu dipanaskan, uap-uap cairan penyari terkondensasi pada kondensor bola menjadi molekul-molekul cairan penyari yang akan turun kembali menuju labu alas bulat, akan menyari kembali sampel yang berada pada labu alas bulat, demikian seterusnya berlangsung secara berkesinambungan sampai penyarian sempurna (Akhyar, 2010). Cara ini digunakan untuk simplisia yang kandungan zat aktifnya tahan terhadap pemanasan. Pemanasan dimaksudkan untuk mempermudah cairan penyari menembus dinding sel simplisia karena dengan pemanasan sel simplisia mengalami pengembangan sehingga rongga-rongga selnya terbuka dengan demikian pelarut mudah mencapai zat aktif di dalam dan diluar sel cepat tercapai (Sudjadi, 1986).
Keuntungan menggunakan teknik ini adalah membutuhkan alat yang sederhana dengan biaya murah dan waktu ektraksi yang diperlukan lebih cepat dibandingkan dengan ekstraksi menggunakan maserasi dengan perolehan kembali yang tinggi (Pratiwi, 2010; Mohan et al., 2013). Sedangkan kerugiannya adalah sulitnya mencapai ekstraksi yang sempurna meskipun penggunaan pelarut yang cukup banyak dan seringkali melarutkan oligomer yang lebih rendah. Metode ini juga hanya dapat dilakukan pada senyawa yang tahan terhadap pemanasan (Bart, 2005).
Menurut penelitian yang telah dilakukan Mohan et al. (2013) melaporkan ekstraksi andrografolid dari sambiloto (Andrographis paniculata (Burm.f.) Nees) menggunakan metode refluks selama 12 jam diperoleh rendemen sebanyak
19,004% hingga 19,060% menggunakan pelarut air dan 18,396% hingga 19,210% menggunakan pelarut metanol. Pada penelitian tersebut menunjukkan pelarut metanol mampu memberikan rendemen paling tinggi dengan kadar andrografolid sebanyak 1,654%.
2.4 Identifikasi Andrografolid dengan Metode KLT-Spektrofotodensitometri
Kromatografi lapis tipis ialah metode pemisahan fisiko kimia. Lapisan yang memisahkan terdiri atas bahan berbutir-butir (fase diam), ditempatkan pada penyangga berupa plat gelas, logam, atau lapisan yang cocok. Campuran yang akan dipisah berupa larutan, ditotolkan berupa bercak atau pita (awal). Setelah plat atau lapisan ditaruh di dalam bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang yang cocok (fase gerak), pemisahan terjadi selama perambatan kapiler (pengembangan). Selanjutnya, senyawa yang tidak berwarna harus ditampakkan atau dideteksi (Stahl, 1985).
Densitometer atau Thin Layer Chromato Scanner sudah banyak digunakan secara luas. Densitometri adalah metode analisis instrumental yang berdasarkan interaksi radiasi elektromagnetik dengan analit yang merupakan noda pada KLT. Densitometri lebih dititikberatkan untuk analisis kuantitatif analit-analit dengan kadar yang sangat kecil yang perlu dilakukan pemisahan terlebih dahulu dengan KLT (Mulja dan Suharman, 1995).
Gambar 2.5 Spektrofotodensitometer yang dihubungkan ke PC (Mulja dan Suharman, 1995)
Farmakope Herbal Indonesia (FHI) menggunakan KLT sebagai metode untuk identifikasi penentuan senyawa andrografolid pada herba sambiloto. Sistem
KLT yang digunakan adalah fase diam silika gel 60 F254 dan fase gerak kloroform
P : metanol (9:1). Senyawa pembanding yang digunakan sebagai senyawa identitas herba Andrographis paniculata (Burm.f.) Nees adalah andrografolid 0,1% dalam etanol P dengan nilai Rf sebesar 0,55. Pendeteksian dilakukan dengan menggunakan lampu UV 230 nm (DepKes RI, 2010).
Pawar et al. (2010) melaporkan pengembangan dan validasi metode penetapan kadar andrografolid dari Andrographis paniculata (Burm.f.) Nees menggunakan metode HPTLC secara sederhana, cepat, reprodusibel dan selektif. Hasil yang diperoleh pada validasi metode yang dilakukan menunjukkan nilai yang sesuai dengan persyaratan.
Gambar 2.6 Hasil KLT herba Andrographis paniculata (Burm.f.) Nees pada pengamatan di bawah lampu UV 254 nm dan 366 nm. Sampel ekstrak etanol dari sambiloto (T1, T2, T3 dan T4), standar andrografolid (S2 dan S3) (Pawar et al., 2010)
Pada gambar 2.6 menunjukkan KLT pada pengamatan dibawah lampu UV 254 nm dan 366 nm. Pada penelitian tersebut digunakan plat KLT silika gel 60
GF254 dengan toluene : etil asetat : asam formiat (5:4,5:0,5) v/v sebagai fase gerak.
Pemisahan tersebut menunjukkan andrografolid berada pada Rf 0,38 di bawah lampu UV 254 dengan warna spot abu-abu gelap dan pada UV 366 nm tidak menunjukkan pita secara signifikan (Pawar, 2010).
2.5 Validasi Metode
Validasi metode analisis adalah suatu tindakan penilaian terhadap parameter tertentu, berdasarkan percobaan laboratorium, untuk membuktikan bahwa parameter tersebut memenuhi persyaratan untuk penggunaannya (Harmita, 2004). Validasi metode menurut United States Pharmacopeia (USP) dilakukan untuk
menjamin bahwa metode analisis akurat, spesifik, reprodusibel, dan tahan pada kisaran analit yang akan dianalisis.
2.5.1 Ketepatan (Akurasi)
Akurasi merupakan ketelitian metode analisis atau kedekatan antara nilai terukur dengan nilai yang diterima baik nilai konvensi, nilai sebenarnya, atau nilai rujukan (Gandjar dan Rohman, 2007). Akurasi dapat pula diartikan sebagai ukuran yang menunjukkan derajat kedekatan hasil analisis dengan kadar analit yang sebenarnya (Harmita, 2004).
Kecermatan ditentukan dengan dua cara, yaitu metode simulasi (spiked-placebo recovery) atau metode penambahan baku (standard addition method).
a. Metode Simulasi (Spiked Placebo Recovery)
Sejumlah analit bahan murni ditambahkan ke dalam plasebo (semua campuran reagen yang digunakan minus analit), lalu campuran tersebut dianalisis dan hasilnya dibandingkan dengan kadar standar yang ditambahkan (kadar yang sebenarnya). Recovery dapat ditentukan dengan cara membuat sampel plasebo (eksepien obat, cairan biologis) kemudian ditambah analit dengan konsentrasi tertentu (biasanya 80% sampai 120% dari kadar analit yang diperkirakan), kemudian dianalisis dengan metode yang akan divalidasi (Harmita, 2004).
b. Metode Penambahan Baku (Standard Addition Method)
Bila tidak memungkinkan membuat sampel plasebo karena matriksnya tidak diketahui seperti obat-obatan paten, atau karena analitnya berupa suatu senyawa endogen, maka dapat dipakai metode adisi. Metode adisi dapat
dilakukan dengan menambahkan sejumlah analit dengan konsentrasi tertentu pada sampel yang diperiksa, lalu dianalisis dengan metode tersebut. Persen perolehan kembali ditentukan dengan menentukan berapa persen analit yang ditambahkan dapat ditemukan (Harmita, 2004).
2.5.2 Keseksamaan (Presisi)
Keseksamaan adalah ukuran yang menunjukkan derajat kesesuaian antara hasil uji individual, diukur melalui penyebaran hasil individual dari rata-rata jika prosedur diterapkan secara berulang pada sampel-sampel yang diambil dari campuran yang homogen. Keseksamaan diukur sebagai simpangan baku atau simpangan baku relatif (koefisien variasi). Suatu data dikatakan memenuhi keseksamaan bila nilai KV < 2% (Harmita, 2004).
Jika hasil analisis adalah x1, x2, x3, x4,...xn, maka nilai simpangan bakunya (SD) dapat dihitung sesuai dengan persamaan 2.1 berikut.
1 2
n x x SD ... persamaan 2.1 Keterangan: SD = simpangan baku n = jumlah sampelSedangkan nilai simpangan baku relatif/koefisien variasi (KV) dapat dihitung sesuai dengan persamaan 2.2 sebagai berikut.
𝐾𝑉 = 𝑆𝐷
𝑥̅ × 100% ……... persamaan 2.2 Keterangan:
KV = koefisien variasi
2.5.3 Linearitas dan rentang
Linearitas adalah kemampuan metode analisis yang memberikan respon yang secara langsung atau dengan bantuan transformasi matematik yang baik, proporsional terhadap konsentrasi analit dalam sampel. Rentang metode adalah pernyataan batas terendah dan tertinggi analit yang sudah ditunjukkan dapat ditetapkan dengan kecermatan, keseksamaan dan linieritas yang dapat diterima. Di dalam pustaka, sering ditemukan rentang konsentrasi yang digunakan antara 50 – 150% kadar analit dalam sampel. Parameter yang diamati adalah nilai r dari
persamaan linier dan simpangan baku residual ( x
Sy ). Suatu data dikatakan linier
apabila nilai r = 1 atau -1 (Harmita, 2004). Untuk menghitung nilai x Sy digunakan persamaan 2.3. 2 2 1 1
N y y x Sy ... persamaan 2.3 Keterangan:y1= AUC senyawa yang terukur alat (respon detektor)
ŷ1= AUC hasil perhitungan berdasarkan persamaan garis lurus (ŷ1 = a+bx)
N = jumlah standar yang diukur 2.5.4 Spesifisitas/Selektifitas
Spesifisitas (selektifitas) merupakan kemampuan untuk menaksir dengan seksama keberadaan komponen yang diharapkan untuk ada, misalnya membedakan antara pengotor, matriks dan komponen lain yang ada dalam sampel (ICH, 2005). Dengan kata lain, spesifisitas merupakan kemampuan metode
analisis untuk dapat mengukur respon analit diantara komponen-komponen yang mungkin ada dalam sampel (Huber, 2010).
Dalam identifikasi analit, menurut ICH (2005) ujii dentifikasi yang sesuai harus dapat membedakan komponen dengan berbagai struktur yang kemungkinan terdapat dalam sampel. Perbedaan dapat dicari dengan membandingkan hasil dari sampel yang mengandung analit (dapat dicari dari pustaka) dengan hasil dari sampel yang tidak mengandung analit (ICH, 2005). Parameter selektivitas yang baik yaitu memiliki nilai resolusi > 1,5 (Pescok dkk, 1976).
2.5.5 LOD (Limit of Detection) dan LOQ (Limit of Quantification)
Batas deteksi (LOD) adalah jumlah terkecil analit dalam sampel yang dapat dideteksi yang masih memberikan respon signifikan dibandingkan dengan blangko. Batas deteksi merupakan parameter uji batas. Batas kuantitasi (LOQ) merupakan parameter pada analisis renik dan diartikan sebagai kuantitas terkecil analit dalam sampel yang masih dapat memenuhi kriteria cermat dan seksama. LOD dan LOQ dapat dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:
LOD = slope x Sy 3 …...persamaan 2.4 LOQ = slope x Sy 10 ...persamaan 2.5 Keterangan:
LOD = Limit of Detection
LOQ = Limit of Quantification
x
Sy = simpangan baku residual
Slope = kemiringan