• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PROPORSI TEPUNG BERAS DAN KULIT PISANG TERHADAP KARAKTERISTIK PIGMEN ALAMI YANG DIHASILKAN OLEH MONASCUS PURPUREUS KARYA TULIS ILMIAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH PROPORSI TEPUNG BERAS DAN KULIT PISANG TERHADAP KARAKTERISTIK PIGMEN ALAMI YANG DIHASILKAN OLEH MONASCUS PURPUREUS KARYA TULIS ILMIAH"

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

TERHADAP KARAKTERISTIK PIGMEN ALAMI YANG DIHASILKAN OLEH MONASCUS PURPUREUS

KARYA TULIS ILMIAH

OLEH

YOHANA RAFIQAH NIM 12.049

AKADEMI ANALIS FARMASI DAN MAKANAN PUTRA INDONESIA MALANG

(2)

PENGARUH PROPORSI TEPUNG BERAS DAN KULIT PISANG TERHADAP KARAKTERISTIK PIGMEN ALAMI YANG DIHASILKAN

OLEH MONASCUS PURPUREUS

KARYA TULIS ILMIAH Diajukan kepada

Akademi Analis Farmasi dan Makanan Putra Indonesia Malang Untuk memenuhi salah satu persyaratan

dalam menyelesaikan program D-3 bidang Farmasi

OLEH

YOHANA RAFIQAH NIM 12.049

AKADEMI ANALIS FARMASI DAN MAKANAN PUTRA INDONESIA MALANG

(3)

memberi kelancaran dan memberikanku ilmu sehingga Karya Tulis Ilmiah ini dapat

terselesaikan dengan baik. Sholawat dan salam selalu tercurahkan pada Rasullah

Muhammad SAW.

Kupersembahakan karya ini kepada orang yang sangat kukasihi dan kusayangi..

My Beloved Parents..

Sebagai tanda bakti dan terima kasih yang tiada terhingga kupersembahkan karya tulis

yang sederhana ini pada Ayah dan Bunda yang selalu memberikan kasih sayang,

menghiburku disaat terpuruk, memberikan motivasi, nasihat dan selalu mendoakan segala

yang terbaik bagiku. Semoga ini menjadi salah satu awal untuk membahagiakan Ayah dan

Bunda.

My Family..

Adikku yang selalu jadi teman bertengkar di rumah setiap aku pulang ke Gresik, temen

nonton Running Man. Semoga karya ini bisa menjadi gambaran tentang kuliah, karena

habis ini kamu bakal kuliah. Tanteku terima kasih sudah mau di repotkan selama aku

tinggal di rumah kakek

My Teacher..

Bu Ambar Fidyasari S.TP selaku dosen pembimbing KTI, dosen pembimbing PKL, dan

dosen wali, terima kasih bu.. atas bantuannya, atas kesabarannya menghadapi saya, sudah

diberi nasihat, motivasi, dan diajari. Terima kasih banyak untuk seluruh Dosen

AKAFARMA PIM yang telah memberikan ilmu dan didikan yang bermanfaat bagi kami.

My Best Friend’s..

Teman seperjuangan Monascus (Dewi, Makpet) terima kasih atas bantuannya selama

praktikum dan penulisan KTI. Buat Anyak yang sering ngajak makan dan candaan yang

gila,

gomapta..

itu bisa menghilangkan stressku. Ayuk temen dari awal kuliah sampai

sekarang,

Thank You

. Temen seperjuangan PKL BBTPPI dan Interbat,

thanks a lot guys..

sudah mau mendengarkan keluh kesahku, maaf mungkin ada salah selama kita satu kamar.

Terima kasih semua teman AKAFARMA ’12 semoga pertemanan kita tidak putus.

Teman yang jauh di sana.. Acid, Ai, & Singkek.

Thanks guys

, sudah mendengarkan keluh

kesahku, jadi penghibur dengan kegilaan kalian. Delapan tahun kita bersahabat meski

berpencar menggapai cita-cita, kita masih bisa men-support satu sama lain.

Keep it up

guys..

(4)
(5)
(6)

i ABSTRAK

Rafiqah, Yohana. 2015. Pengaruh Proporsi Tepung Beras dan Tepung Kulit

Pisang terhadap Karakteristik Pigmen Alami yang Dihasilkan oleh Monascus Purpureus. Karya Tulis Ilmiah. Akademi Analis Farmasi dan

Makanan Putra Indonesia Malang. Pembimbing: Ambar Fidyasari, S.TP., MP.

Kata Kunci : Tepung Beras, Kulit Pisang, Monascus purpureus, Pigmen Alami.

Kulit pisang merupakan salah satu limbah yang belum banyak dimanfaatkan dan kandungan karbohidrat dalam kulit pisang masih tergolong tinggi sehingga dapat digunakan sebagai media untuk pertumbuhan kapang Monascus purpureus. Kapang Monascus purpureus dapat menghasilkan pigmen. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh tepung beras terhadap karakteristik pigmen yang dihasilkan dari kulit pisang. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Akademi Analis Farmasi dan Makanan Putra Indonesia Malang dan Laboratorium Mikrobiologi FMIPA Universitas Brawijaya. Metode yang digunakan adalah fermentasi padat dengan menggunakan inokulum berupa starter cair. Hasil penelitian menunjukkan derajat kemerahan yang paling tinggi adalah perbandingan 1:1, pada hasil intensitas warna perbandingan 1:1 yang memiliki nilai intensitas yang tinggi yaitu 0,8297, selain itu pada uji kelarutan pigmen terhadap air didapatkan hasil tertinggi 0,4116 pada pigmen yang dihasilkan dengan media 1:1, dan pada uji kestabilan pigmen terhadap suhu didapatkan hasil 0,2184 pada pigmen yang dihaislkan oleh media dengan perbandingan 1:1. Kesimpulan dari praktikum ini tepung beras berpengaruh terhadap karakteristik pigmen yang dihasilkan Monascus purpureus dari kulit pisang.

(7)

ii

hidayah, serta kasih sayang-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah yang berjudul “Pengaruh Kosentrasi Tepung Beras terhadap Karakteristik Pigmen Alami yang Dihasilkan oleh Monascus Purpureus dari Kulit Pisang” ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan penulisan Karya Tulis Ilmiah ini adalah sebagai persyaratan untuk menyelesaikan program D-3 di Akademi Analis Farmasi dan Makanan Putra Indonesia Malang.

Sehubungan dengan terselesaikannya penulisan Karya Tulis Ilmiah ini, penulis mengucapkanterima kasih kepada beberapa pihak, yaitu sebagai berikut. 1. Ibu Dra. Wigang Solandajari selaku Direktur Akademi Analis Farmasi dan

Makanan Putra Indonesia Malang.

2. Ibu Ambar Fidyasari, S.TP., MP. selaku dosen pembimbing 3. Ibu Dra. Wahyu Wuryandari, M.Pd. selaku dosen penguji I. 4. Ibu Ernanin Dyah W, S.Si., MP. selaku dosen penguji II.

5. Bapak dan Ibu dosen Akademi Analis Farmasi dan Makanan beserta seluruh staf.

6. Kedua orang tua yang telah memberikan motivasi dan doa.

7. Seluruh rekan mahasiswa dan pihak – pihak yang secara langsung maupun tidak langsung telah memberikan bimbingan, bantuan, arahan, serta motivasi kepada penulis.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa Karya Tulis Ilmiah ini masih mempunyai banyak kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran akan sangat diharapkan. Semoga Karya Tulis Ilmiah ini dapat bermanfaat dan berguna untuk seluruh pihak.

Malang, 31 Juli 2015

(8)

iii DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Rumusan Masalah ... 4 1.3 Tujuan Penelitian ... 4 1.4 Kegunaan Penelitian ... 5 1.5 Asumsi Penelitian ... 5

1.6 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ... 6

1.7 Definisi Istilah dan Singkatan ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1 Tinjauan tentang Pewarna ... 8

2.2 Tinjauan tentang Monascus Purpureus ... 9

2.3 Tinjauan tentang Pigmen Monascus purpureus ... 14

2.4 Tinjauan tentang Kulit Pisang ... 16

2.5 Tinjauan tentang Tepung Beras ... 17

2.6 Tinjauan tentang Color Reader ... 19

2.7 Kerangka Teori ... 22

2.8 Hipotesis ... 24

BAB III METODE PENELITIAN ... 25

3.1 Rancangan Penelitian ... 25

3.2 Populasi dan Sampel ... 26

3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 26

3.4 Definisi Operasional Variabel ... 27

(9)

iv

3.6 Pengumpulan Data ... 28

3.7 Analisis Data ... 34

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 35

4.1 Analisis Starter Angkak ... 35

4.2 Tepung Kulit Pisang ... 36

4.3 Fermentasi Monascus ... 37

4.4 Serbuk Monascus ... 38

4.5 Analisis Warna ... 38

4.6 Intensitas Pigmen ... 41

4.7 Kelarutan Pigmen dalam Air ... 43

4.8 Stabilitas Pigmen terhadap Suhu ... 45

BAB V PENUTUP ... 47

5.1 Kesimpulan ... 47

5.2 Saran ... 47

DAFTAR RUJUKAN ... 49

(10)

v

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Mikroorganisme Penghasil Pigmen...10

Tabel 2.2 Kompososi Kimia Kulit Pisang...17

Tabel 2.3 Komposisi Zat Gizi Tepung Beras...18

Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel...27

Tabel 4.1 Hasil Perhitungan Sel Kapang Monascus purpureus Menggunakan Haemocytometer...35

Tabel 4.4 Hasil Serbuk Pewarna dari Fermentasi...38

(11)

vi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Struktur kimia pigmen poliketida dari Monascus...11

Gambar 2.2 Kapang Monascus purpureus...13

Gambar 2.3 Morfologi M. purpureus 3090 dilihat dengan foto mikroskop fase-kontras (x 1000)...15

Gambar 2.4 Alat Color Reader...21

Gambar 3.1 Penutupan Alat Haemocytometer Dengan Gelas Penutup...29

Gambar 3.2 Haemocytometer yang Diamati dengan Menggunakan Mikroskop...29

Gambar 3.3 Titik Perhitungan Spora...30

Gambar 3.4 Alur Perhitungan Spora...30

Gambar 4.5 Grafik Hasil Rerata Analisis Warna...40

Gambar 4.6 Grafik Rerata Intensitas Pigmen Merah...42

Gambar 4.7 Grafik Rerata Kelarutan Pigmen Merah dalam Air dengan Berbagai Suhu...43

(12)

vii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Perhitungan Sel Kapang Menggunakan Haemocytometer...52

Lampiran 2. Perhitungan Pembuatan Nutrisi...53

Lampiran 3. Perhitungan Perbandiangan Media yang Digunakan...54

Lampiran 4. Dokumentasi Fermentasi Monascus purpureus...55

Lampiran 5. Dokumentasi Selama Praktikum...56

(13)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bahan tambahan makanan merupakan salah satu komponen yang sering ditambahkan ke dalam makanan. Banyaknya bahan tambahan pangan dalam bentuk lebih murni dan tersedia secara komersil dengan harga relatif murah mendorong meningkatnya pemakaian bahan tambahan pangan yang berarti meningkatkan konsumsi bahan tambahan pangan tersebut. Salah satu bahan tambahan makanan yang sering ditambahkan adalah pewarna. Pewarna yang ditambahkan pada makanan bertujuan agar tampilan makanan terlihat menarik. Pewarna makanan yang digunakan saat ini adalah pewarna makanan sintesis, kelebihan dari pewarna sintesis adalah karena mudah didapat, harganya lebih murah bila dibandingkan dengan pewarna alami, warnanya lebih konsisten, kuat dan stabil.

Penelitian saat ini menunjukkan bahwa konsumsi pewarna sintesis pada sampel makanan dan minuman tergolong tinggi. Pengguna pewarna sitesis di atur dalam Permenkes RI No 722/Menkes/Per/IX/88. Seiring dengan berjalannya waktu semakin banyak para produsen makanan yang menggunakan pewarna sistesis lebih dari takaran yang telah ditentukan, terlebih lagi mereka mulai menggunakan pewarana tekstil yang dipergunakan untuk pewarna kain. Hasil penelitian Trestiati, 2003 ditemukan kandungan Rhodamin B pada makanan

(14)

2

jajanan siswa SD di Kecamatan Margaasih Kabupaten Bandung. Selain itu penelitian tentang pewarna sintesis yang ternyata dapat membahayakan kesehatan manusia seperti menyebabkan efek hiperaktifitas pada anak, menyebabkan ruam kulit, asma, pada orang yang menderita asma atau orang yang sensitif terhadap aspirin (Nugraheni, 2014). Sehingga perlu alternaltif pewarna yang lebih aman untuk di konsumsi salah satunya adalah pewarna alami.

Pewarna alami dapat didapatkan dari tumbuhan ataupun hewan. Pada tumbuhan contohnya adalah buah bit, daun suji, cabai, kunyit dan masih banyak lainnya. Selain itu pewarna pada hewan juga didapatkan dari hasil fermentasi mikroorganisme seperti jamur Monascus, Serratia, Phaechilomyces dan

Steptomyces. Tetapi dari sejumlah spesies tersebut yang paling banyak

dimanfaatkan adalah jamur Monascus. Jamur Monascus yang sering digunakan fermentasi untuk menghasilkan pigmen warna adalah Monascus purpureus.

Pigmen yang dihasilkan oleh jamur Monascus purpureus tergolong aman

digunakan sebagai pewarna makanan selain itu pigmen mikroorganisme ini tergolong stabil (Fabre et al., 1993; Sheu et al., 2000). Berdasarkan hasil penelitian warna pada saus dan pasta yang diaplikasikan dengan pigemen merah

Monascus masih bertahan 92-98% setelah penyimpanan 3 bulan dengan suhu 4C. Namun pigmen ini tidak stabil jika terpapar cahaya dan panas (Fabre et al., dalam Andarwulan & Faradilla, 2012). Lama fermentasi Monascus purpureus berkisar antara 14-16 hari (Kusumawati et al. 2005). Jamur Monascus purpureus telah sering digunakan untuk pembentukan pigmen warna dengan proses fermentasi baik pada media padat atau cair.

(15)

Substrat yang baik bagi pertumbuhan Monascus purpureus adalah substrat yang mengandung kadar amilosa tinggi dibandingkan dengan kadar amilopektin (Kasim et al., 2006), sedangkan beras yang sangat pulen mempunyai kandungan amilosa (9-20 %), dan beras struktur pulen berintensitas (20-25 %). Selain itu vitamin B1 juga berperan penting dalam produksi pigmen pada Monascus

purpureus (Linn, 1973 dalam Kasim et al., 2006 dan Purwanto, 2011). Vitamin

B1 dapat berperan sebagai koenzim untuk mengkatalis pembentukan asetil CoA yang diperlukan dalam menghasilkan metabolit sekunder, zinc dalam jumlah banyak akan menghambat pertumbuhan Monascus purpureus namun akan menstimulasi pembentukan metabolit sekunder dimana dapat meningkaktan intensitas pigmen yang dihasilkan (Zubaidah & Sari 2015). Pigmen warna yang dihasilkan Monascus purpureus umumnya menghasilkan warna kuning, orange, dan merah.

Tepung beras merupakan salah satu hasil olahan dari beras yang digiling. Menurut penelitian Kusumawati et al., (2005) dan Zubaidah et al., (2015) tepung beras dapat digunakan sebagai media pertumbuhan Monascus purpureus, pigmen yang dihasilkan menggunakan media tepung beras menghasilkan warna yang cerah.

Limbah kulit pisang belum banyak dimanfaatkan, kebanyakan hanya diolah menjadi makanan ternak. Kulit pisang memiliki kandungan gizi yang cukup banyak yaitu karbohidrat, protein, lemak, kalsiumm fosfor, zat besi, vitamin B1, vitamin C, dan air. Kandungan karbohidrat yang ada pada kulit pisang yaitu sekitar 18,50 g/100 g (Zuhrina 2011). Selain itu amilosa yang terdapat pada kulit pisang sebesar 20,5 % hampir sama dengan kandungan

(16)

4

amilosa pada beras. Menurut penelitian Nur Ashidah (2013) kulit pisang dapat digunakan sebagai substrat pembentukan pigmen oleh Monascus purpureus yang menghasilkan warna kuning.

Berdasarkan paparan di atas peneliti ingin meneliti pigmen warna yang dihasilkan oleh Monascus purpureus dengan substrat kulit pisang dengan menambahkan proporsi tepung beras yang berbeda. Kulit pisang memiliki kandungan pati dan Vitamin B1 tetapi disamping itu kulit pisang memiliki kandungan zink yang dapat menghambat produksi pigmen sehingga memerlukan tepung beras yang memiliki kandungan amilosa lebih tinggi sebagai media pertumbuhan Monascus purpureus agar dapat menghasilkan jenis pigmen yang maksimal.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan pendahuluan di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut.

Bagaimanakah pengaruh penambahan kosentrasi tepung beras terhadap karakteristik pigmen alami yang dihasilkan dari kulit pisang?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini sebagai berikut.

Mengetahui pengaruh penambahan kosentrasi tepung beras terhadap karakteristik pigmen alami yang dihasilkan oleh Monascus purpureus dari kulit pisang.

(17)

1.4 Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini sebagai berikut. 1.4.1 Kegunaan untuk Peneliti

Digunakan sebagai aplikasi ilmu analisa farmasi dan makanan yang telah didapat dengan memproduksi pewarna alami yang dihasilkan dari jamur

Monascus purpureus menggunakan substrat kulit pisang dengan perbedaan

proporsi tepung beras.

1.4.2 Kegunaan untuk Instansi

Digunakan sebagai tambahan wawasan di bidang pangan, terutama pemanfaatan jamur Monascus purpureus sebagai produsen pewarna alami.

1.4.3 Kegunaan untuk Masyarakat

Dapat menjadi alternatif pewarna alami untuk menggantikan pewarna sintesis dengan nilai yang lebih ekonomis kerena berbahan dasar pemanfaatan limbah.

1.5 Asumsi Penelitian

Adapun asumsi dari penelitian ini sebagai berikut:

1. Jamur Monascus purpureus dapat menghasilkan zat warna pada media yang mengandung karbohidrat.

2. Pigmen warna yang dihasilkan Monascus purpureus dapat dianalisis menggunakan Spektrofotometri UV-Vis.

(18)

6

1.6 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Adapun ruang lingkup dari penelitian ini adalah pembuatan campuran substrat dari tepung kulit pisang dan tepung beras, proses fermentasi Monascus

purpureus dengan menggunakan perbedaan proporsi tepung beras dan tepung

kulit pisang sebagai substrat, hasil pigmen yang didapat di uji menggunakan spektrofotometri untuk mengetahui jenis pigmen dari masing-masing perbedaan media.

Keterbatasan dalam penelitian ini adalah jamur Monascus purpureus didapatkan di Universitas Brawijaya Malang. Limbah kulit pisang yang diperoleh tidak ditentukan jenisnya. Pigmen warna yang dihasilkan tidak diuji kadar lovastatin karena yang menjadi tujuan utama penelitian ini adalah pigmen yang dihasilkan dari proses fermentasi. Uji yang dilakukan meliputi uji warna, intensitas pigmen, kelarutan pigmen dalam air, dan kestabilan pigmen terhadap suhu.

1.7 Definisi Istilah dan Singkatan

1. Monascus purpureus merupakan salah satu spesies kapang merah yang termasuk dalam kerajaan Fungi, kelas Ascomycetes, keluarga Monascidae, ordo Plectascales, genus Monascus, spesies Purpureus.

2. Pigmen alami adalah zat warna alami dari segolongan senyawa yang berasal dari tanaman, hewan, atau dari sumber-sumber mineral (Nugraheni 2014).

(19)

3. Fermentasi adalah mengaktifkan pertumbuhan dan metabolisme dari mikroorganisme yang dibutuhkan sehingga membentuk produk baru yang berbeda dengan bahan bakunya (Winarno dkk., 1980).

4. Intensitas merupakan ukuran atau tingkatan tertingi yang dimiliki oleh suatu benda atau sesuatu yang diuji.

5. Karakteristik pigmen adalah sifat-sifat dari pigmen yang dihasilkan dari proses fermentasi meliputi intensitas pigmen, sifat kelarutan dalam air, dan kestabilan dalam suhu.

(20)

8 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan tentang Pewarna

Zat pewarna merupakan bahan tambahan pangan yang dapat memperbaiki penampilan makanan. Penambahan bahan pewarna makanan mempunyai beberapa tujuan, diantaranya adalah memberi kesan menarik bagi konsumen, menyeragamkan dan menstabilkan warna, serta menutupi perubahan warna akibat proses pengolahan dan penyimpanan. Zat pewarna makanan terbagi tiga bagian yaitu pewarna alami, dan pewarna sintetis

2.1.1 Pewarna Alami

Pewarna alami adalah zat warna alami (pigmen) yang diperoleh dari tumbuhan, hewan, atau dari sumber-sumber mineral. Zat warna ini telah digunakan sejak dulu dan umumnya dianggap lebih aman dari pada zat warna sintetis, seperti annato sebagai sumber warna kuning alamiah bagi berbagai jenis makanan begitu juga tannin, antosianin, antoxantin, karoten dan klorofil, Quonin, xanthon, heme, flavonoid. Dalam daftar FDA pewarna alami dan pewarna identik alami tergolong dalam ”uncertified color additives” karena tidak memerlukan sertifikat kemurnian kimiawi. Keterbatasan pewarna alami adalah seringkali memberikan rasa dan flavor khas yang tidak diinginkan, konsentrasi pigmen rendah, stabilitas pigmen rendah, keseragaman warna kurang baik dan spektrum warna tidak seluas pewarna sintetik.

(21)

Pewarna alami yang berasal dari tumbuhan dapat ditemukan pada akar, buah atau batang tanaman termasuk itu pada annato ( warna kuning coklat yang diambil dari biji tanaman Bixa orrelana), caramel (coklat), khlorofil ( hijau), cochineal, saffron, dan turmeric (Rahmayani 2008)

2.2 Tinjauan tentang Monascus Purpureus

Monascus adalah salah satu kapang yang memiliki sifat aerob dan termasuk kelompok Ascomycetes. Pada tahun 1884, nama Monascus pertama kali diperkenalkan oleh Philippe van Tieghem, dengan nama species M. ruber. Kemudian pada tahun 1895, Went mengisolasi M. purpureus dari angkak di Jawa. Ada tiga species Monascus, yaitu M. purpureus Went, M. ruber van Tieghem, dan M. Pilosus Sato ex Hawksw & Pitt. Selanjutnya, Cannon et al., (1995) menambahkan dua species tambahan yang diisolasi dari sedimen suatu sungai di Iraq, yaitu M. pollens dan M. sanguineus. Species yang paling banyak diteliti adalah M. purpureus. Ada banyak jenis strain yang dilaporkan dalam berbagai publikasi, beberapa diantaranya sering dianggap sebagai spesies tersendiri (K.H.Timotius 2004).

Monascus membentuk spora seksual (askospora) dan aseksual (konidia). Ada tiga macam konidia, yaitu aleuriokonidia, klamidokonidia, dan artrokonidia. Aleuriokonidia dihasilkan pada ujung hifa secara soliter (tunggal) atau berentetan (berantai), berbentuk bulat atau oval. Klamidokonidia dan artrokonidia dibentuk oleh miselium secara interkalar.

(22)

10

Strain-strain unggul yang mampu menghasilkan pigmen dalam jumlah banyak (hyper producing pigment strain) dan strain albino juga telah ditemukan. Ada tiga kelompok strain atau mutan, yaitu: merah, kuning, dan putih (albino). Ada juga mutan yang mampu memproduksi banyak pigmen jika diberi perlakuan dengan sinar UV. Untuk mempercepat pertumbuhannya, telah dilakukan fusi protoplas antara M. anka dengan A. oryzae, sehingga dihasilkan heterokarion yang tumbuh lebih cepat, tetapi ternyata produksi pigmennya lebih rendah, yaitu hanya 3,4 % dari induknya (Yongsmith et al., 2000; Lakrod et al., 2003)

Tabel 2.1 Mikroorganisme penghasil pigmen (telah digunakan sebagai pewarna alami makanan atau berpotensi tinggi di bidang pewarna) (Liu & Nizet 2009)

Mikroorganisme Pigmen Colour Status*

Bakteri Agrobacterium Aurantiacum Astaxhantin Pink-red RP Paracoccus Carotinifaciens Astaxhantin Pink-red RP Bradyrhizobium sp. Canthaxhantin Dark-red RP Streptomyces echinoruber Rubrolone Red DS

Flavobacterium sp. Zeaxanthin Yellow DS

Paracoccus

Zeaxanthinifaciens

Zeaxanthin Yellow RP

Fungi

Monascus sp. Ankaflavin Yellow IP

Monascus sp. Monascorubramin Red IP

Penicillium Oxalicum

Anthraquinone Red IP

Blakeslea trispora Lycopene Red DS

Fusarium Sporotrichioides

Lycopene Red RP

Cordyceps unilateralis Naphtoquinone Deep blood-red RP

Ashbya gossypi Riboflavin Yellow IP

Monascus sp. Rubropunctatin Orange IP

Blakeslea trispora ß-carotene Yellow-orange IP

Fusarium Sporotrichioides

ß-carotene Yellow-orange DS

Neurospora crassa ß-carotene Yellow-orange RP

(23)

Blakesleeanus Penicillium Purpurogenum Unknown Red DS Yeast Saccharomyces Neoformans var. Nigricans Black Melanin RP Xanthophyllomyces Dendrorhous Astaxanthin Pink-red DS

Rhodotorula sp. Torularhodin Orange-red DS

*Industrial production (IP), development stage (DS), research project (RP)

Pigmen Monascus dibedakan menjadi dua, yaitu pigmen intraseluler (tidak larut air), dan pigmen ekstraseluler (larut air). Pigmen poliketida Monascus disebut juga azaphilone. Struktur molekul berbagai pigmen yang dibentuk oleh Monascus dapat dilihat pada Gambar 2.1.

(24)

12

Ankaflavin dan monascin adalah pigmen kuning. Rubropuktatin dan monaskurubrin adalah pigmen oranye. Sedangkan rubropuktamin dan monaskorubramin adalah pigmen coklat. Pigmen tersebut dapat membentuk kompleks dengan senyawa-senyawa lain, misalnya asam glutamat sehingga lebih mudah larut dalam air. Pigmen merah, kuning dan jingga (oranye) tidak larut air, tetapi dapat bereaksi dengan gugus amino yamg kemudian menghasilkan cincin piran sehingga larut air. Reaksi pigmen dengan gugus amino membuat daya larutnya pada air tinggi. Wong et al., (1981) melaporkan bahwa perubahan warna terjadi bila pigmen oranye bereaksi dengan asam amino tertentu sehingga terbentuk pigmen merah (K.H.Timotius 2004).

Ragi Monascus dapat mengonversi pati menjadi beberapa senyawa metabolit, diantarnya alkohol, antibiotik, antihipertensi, enzim, asam lemak, flavor, flocculant, keton, asam-asam organik, vitamin, dan pigmen. Produksi pigmen oleh Monascus dipengaruhi oleh tipe substrat yang digunakan dan kondisi selama produksi angkak seperti pH, temperatur, kadar air (Carvalho et al.,2005). Monascus spp. Dapat berkembang pada temperatur 15-18 (minimum) hingga 45⁰ C (maksimum) pada kondisi pH sekitar 2,5-8 dengan pH optimum 4,0-7,0. Selain itu, penambahan 1-10% bahan-bahan sumber karbon (glukosa, maltosa, atau etanol) dan 0,1-0,5% sumber nitrogen (pepton dan amonium nitrat) pada substrat, dapat meningkatkan kemampuan inokulum dalam memproduksi pigmen (Andarwulan & Faradilla 2012)

(25)

2.2.1 Klasifikasi

Gambar 2.2 Kapang Monascus purpureus (Tanggara 2013) Divisio : Amastigomycotina

Sub Divisio : Ascomycotina Classis : Ascomycetes

Sub Classis : Plectomycetidae Ordo : Eurotiales

Familia : Trichocomaceae Genus : Monascus

Spesies : Monascus purpureus

2.2.2 Kondisi Fermentasi Monascus sp.

Kondisi fermentasi yang berpengaruh terhadap pigmen yang dihasilkan telah dipelajari secara menyeluruh. Misalnya optimum pada suhu 30⁰C, pH 6, fermentasi selama 9 sampai 10 hari, kecepatan aerasi 1.5 rpm, dan kecepatan agitasi 300 rpm.

Monascus sp dapat dikultivasi pada media PDA (Potato Dextrose Agar),

agar Sabouraud atau Czapek agar selama 10 hari pada temperatur 29-32⁰C. Kultur akan tumbuh dengan cepat dan meluas pada permukaan media. Diameter, perbedaan warna dan luas tekstur miselium semuanya tergantung pada media kultur, strain jamur dan kondisi kultur (Purwanto 2011).

(26)

14

2.3 Tinjauan tentang Pigmen Monascus purpureus

Pigmen merah terbentuk karena keluarnya cairan granular melewati ujung-ujung hifa Monascus purpureus. Ketika kultur masih muda, cairan ekskresinya tidak berwarna, tetapi secara bertahap terjadi perubahan menjadi kemerahan. Hal ini terjadi karena pada waktu kultur masih muda, semua nutrisi dipakai untuk pertumbuhan dan setelah dewasa sebagian nutrisi dipakai untuk membentuk pigmen angkak.

Selama pertumbuhan Monascus sp, substrat pati terurai menjadi beberapa metabolit. Struktur pigmen sebagai metabolit sekunder substrat tergantung pada jenis dan faktor spesifik lainnya selama budidaya seperti pH, suhu, dan kadar air.

Sumber karbon (glukosa, maltosa, etanol) dan sumber nitrogen (pepton dan amonium nitrat) dapat digunakan untuk merangsang penghasilan pigmen dalam Monascus purpureus.

Menurut Maolinang et al (2001), jamur Monascus memproduksi sedikitnya enam pigmen utama yang dapat dikategorikan menjadi 3 kelompok berdasarkan warnanya, yaitu: (1) pigmen kuning monaskin (C21H26O5) dan ankaflavin (C23H30O5), (2) pigmen merah monaskorubrin (C23H26O5) dan rubropuntatin (C21H22O5), dan (3) pigmen ungu monaskorubramin (C23H27NO4) dan rubropuntamin (C21H23NO4).

Pigmen kuning, oranye dan merah jamur Monascus sp dapat dideteksi dengan menggunakan spektrofotometer, masing-masing dengan panjang gelombang 400, 470, dan 500 nm (Purwanto 2011).

(27)

Gambar 2.3 Morfologi M. purpureus 3090 dilihat dengan foto mikroskop fase-kontras (x 1000). A. Bagian morfologi menghasilkan pigmen kuning (garis = 1,5 m); B. Bagian ascomata menghasilkan pigmen jingga (orange) (garis = 2,5 m); dan C. Bagian ascomata dewasa menghasilkan pigmen merah (garis = 4 m). (Permana et al,. 2004)

2.4.1 Karakteristik Pigmen

Hasil penelitian Carvalho et al., (2005) menunjukkan efek pH dan jenis larutan terhadap kestabilan pigmen. Pigmen yang dilarutkan dalam air pada kisaran pH 4-8 dan diinkubasi pada temperatur yang sama mengalami degradasi yang bervariasi. Sampel dengan pH yang lebih rendah mengalami degradasi warna yang lebih cepat dibandingkan sampel dengan pH yang lebih tinggi. Efek pH terhadap degradasi pigmen ini tidak tampak untuk sampel dengan pelarut etanol. Hal ini kemungkinan karena asam meningkatkan interaksi air dengan pigmen. Interaksi ini dapat berupa pemutusan ikatan ester pada rubropunctamin atau monascorubramin. Pada sampel dengan pelarut etanol, keberadaan air sangat sedikit atau tidak ada sehingga pH larutan tidak mempengaruhi kestabilan pigmen. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pigmen angkak tidak cocok diaplikasikan pada makanan asam berair seperti susu fermentasi. Sebaliknya,

(28)

16

pigmen angkak cocok digunakan pada pangan kering atau minuman berbasis alkohol (Carvalho et al., 2005)

2.4 Tinjauan tentang Kulit Pisang

Kulit pisang merupakan bahan buangan (limbah buah pisang) yang cukup banyak jumlahnya. Pada umumnya kulit pisang belum dimanfaatkan secara nyata, hanya dibuang sebagai limbah organik saja atau digunakan sebagai makanan ternak. Jumlah kulit pisang yang cukup banyak akan memiliki nilai jual yang menguntungkan apabila bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku makanan.

Menurut Basse (2000) jumlah dari kulit pisang cukup banyak, yaitu kira- kira 1/3 dari buah pisang yang belum dikupas. Kandungan unsur gizi kulit pisang cukup lengkap, seperti karbohidrat, lemak, protein, kalsium, fosfor, zat besi, vitamin B, vitamin C dan air. Unsur-unsur gizi inilah yang dapat digunakan sebagai sumber energi dan antibodi bagi tubuh manusia (Zuhrina 2011)

2.5.1 Kandungan Kimia Kulit Pisang

Buah pisang adalah komoditas unggulan dibeberapa daerah, namun, pemanfaatan buah pisang tentunya menyisakan limbah yang selama ini dikategorikan sebagai sampah yang tidak berharga, yaitu kulit pisang, Sehingga perlu dilakukan proses lebih lanjut pada kulit pisang tersebut. Sebagai produk samping industri pengolahan buah pisang, proporsi kulit pisang adalah sebesar 30-40 g/ 100 g berat buah. Menumpuknya kulit pisang yang belum termanfaatkan dapat menimbulkan permasalahan bagi lingkungan.

(29)

Tabel 2.2 Kompososi Kimia Kulit Pisang (Wachirasiri et al., 2009) Komponen Kadar (g/100 g berat kering)

Protein 8.6±0.1

Lemak 13.1±0.2

Pati 12.78±0.9

Abu 15.25±0.1

Total serat pangan 50.25±0.2

Karbohidrat atau Hidrat Arang yang dikandung oleh kulit pisang adalah amilum. Amilum atau pati ialah jenis polisakarida karbohidrat (karbohidrat kompleks). Amilum (pati) tidak larut dalam air, berwujud bubuk putih, tawar dan tidak berbau. Pati merupakan bahan utama yang dihasilkan oleh tumbuhan untuk menyimpan kelebihan glukosa (sebagai produk fotosintesis) dalam jangka panjang. Hewan dan manusia juga menjadikan pati sebagai sumber energi yang penting. Amilum merupakan sumber energi utama bagi orang dewasa di seluruh penduduk dunia, terutama di negara berkembang oleh karena di konsumsi sebagai bahan makanan pokok. Disamping bahan pangan kaya akan amilum juga mengandung protein, vitamin, serat dan beberapa zat gizi penting lainnya (Zuhrina 2011)

2.5 Tinjauan tentang Tepung Beras

Beras merupakan salah satu sumber protein yang penting di wilayah Asia, dan menyumbang sekitar 30-80% dari kebutuhan akan protein. Dilihat dari fraksi kelarutannya, protein beras terdiri dari 5% albumin (protein larut air), 10% globulin (protein larut garam), kurang dari 5% prolamin (protein larut alkohol) dan lebih dari 8% glutelin (protein larut dalam basa). Selain itu beras kaya akan vitamin B, sedikit lemak dan mineral.

(30)

18

Selain digunakan sebagai makanan pokok, beras dapat dimanfaatkan untuk keperluan lain dengan cara digiling menjadi tepung beras. Tepung beras terdiri dari tepung beras pecah kulit dan tepung beras sosoh. Tepung beras sangat luas penggunaannya, yaitu sebagai tepung bergizi campuran (composite flour), bihun, dan mie, berbagai jenis makanan kecil, jajanan dan merupakan komponen penting dari makanan bayi dan anak sapihan. Komposisi zat gizi tepung beras dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.3 Komposisi Zat Gizi Tepung Beras per 100 gram Bahan (Andhora 2003)

Kandungan Unsur Gizi Komposisi

Energi (kalori) 364 Protein (gram) 7 Lemak (gram) 0,5 Karbohidrat (gram) 80 Kalsium (mg) 5 Fosfor 140 Besi (mg) 0,8 Vitamin B1 (mg) 0,12 Air 12,0

Standar mutu tepung beras ditentukan menurut Standar Industri Indonesia (SII). Syarat mutu tepung beras yang baik adalah : kadar air maksimum 10%, kadar abu maksimum 1%, bebas dari logam berbahaya, serangga, jamur, serta dengan bau dan rasa yang normal. Di Amerika, dikenal dua jenis tepung beras, yaitu tepung beras ketan dan tepung beras biasa. Tepung ketan mempunyai mutu lebih tinggi jika digunakan sebagai pengental susu, pudding dan makanan ringan.

Proses pembuatan tepung beras dimulai dengan penepungan kering dilanjutkan dengan penepungan beras basah (beras direndam dalam air semalam, ditiriskan, dan ditepungkan). Alat penepung yang digunakan adalah secara

(31)

tradisional (alu, lesung, kincir air) dan mesin penepung (hammer mill dan disc mill).

2.6 Tinjauan tentang Color Reader

Color reader adalah alat pengukur warna yang didesain dengan tiga reseptor sehingga mampu membedakan warna akurat antara terang dan gelap. Warna penting bagi banyak makanan, baik bagi makanan yang tidak diproses maupun bagi yang dimanufaktur. Bersama-sama dengan bau rasa dan tekstur, warna memegang peranan penting dalam keterimaan makanan. Selain itu, warna dapat memberi petunjuk mengenai perubahan kimia dalam makanan, seperti pencoklatan dan pengkaramelan (de Man, 1997).

Ada beberapa sistem penggolongan warna, yang paling penting ialah sistem CIE (Commission International de l’Enclairage – Komisi Pencahayaan Internasional). Sistem CIE adalah alat objektif yang lebih spesifik, yang digambarkan dalam sistem tristimulus sebagai definisi standar observasi dan sistem koordinat partikel. Sistem CIE merupakan sistem trikromati, yaitu berdasarkan pada kenyataan bahwa warna apapun dapat dicocokkan dengan campuran yang sesuai dari 3 warna utama, yaitu merah, hijau, dan biru. Dalam sistem CIE warna hijau, merah dan biru diindikasikan dengan X,Y dan Z (Weaver dan Daniel, 2003).

Sistem CIE dapat diklasifikasikan dalam 3 jenis, yakni warna kromatik, akromatik dan kromatik non spektrum. Warna akromatik ialah putih, hitam, dan abu-abu. Hitam dan abu-abu hanya berbeda dengan putih dalam pemantulan sinar jatuh. Lembayung adalah warna kromatik nonspektrum. Semua warna lain

(32)

20

kromatik, misalnya, coklat adalah kuning yang penerangan dan kejenuhannya rendah (de Man, 1997).

Pengukuran warna sistem CIE didasarkan pada penginderaan warna oleh mata manusia. Sistem CIE yang dipakai secara luas untuk kolorimetri makanan ialah sistem L, a, b Hunter. Dalam mekanisme pengalihan ini tanggapan merah dibandingkan dengan hijau dan menghasilkan dimensi warna merah ke hijau. Tanggapan hijau dibandingkan dengan biru menghasilkan dimensi warna kuning ke biru. Kedua dimensi warna ini dinyatakan dengan lambang a dan b. Dimensi warna ketiga adalah kecerahan (L) yang sifatnya tidak linier (de Man, 1997).

Weaver dan James., 2003 menerangkan bahwa color reader adalah suatu alat pengukur warna yang sangat praktis dimana alat tersebut didesain dengan tristimulus/tiga reseptor sehingga mampu membedakan warna secara lebih akurat antara 2 range warna yakni terang dan gelap. Color reader merupakan pemaparan warna berdasarkan sistem CIE Hunter. Pengukuran warna sistem CIE didasarkan pada penginderaan warna oleh mata manusia. Hal ini mengakui bahwa mata mengandung tiga reseptor yang peka terhadap cahaya. Reseptor warna yang digunakan dalam color reader adalah reseptor L, a, b Hunter. Lambang a-b menunjukan dimensi warna kemerahan atau kehijauan (a) dan (b) kekuningan atau kebiruan. Sementara dimensi warna ke-3 adalah L yang menunjukan tingkat kecerahan (berdasar sinar putih).

Hal pertama yang dilakukan dalam penggunaan alat ini adalah set power pada color reader pada posisi on. Kemudian tekan tombol Lab untuk memilih pengukuran warna dengan sitem Lab. Kemudian ujung reseptor alat ditempelkan pada sampel kemudian tombol penguji (measuring tombol) ditekan. Pengukuran

(33)

dilakukan sebanyak 3 kali untuk mendapatkan nilai terbaik Hasil pengukuran dapat dilihat dilayar sehingga dapat dilihat nilai L, a, b dengan nilai maksimum terang dan nilai minimum gelap 0.

Gambar bagian dari alat color reader adalah sebagai berikut :

Gambar 1. Alat color reader (dokumen pribadi) Color reader terdiri dari:

1. Tombol on/off :berfungsi untuk menghidupkan atau mematikan alat 2. Reseptor :mendeteksi warna yang terkandung dalam suatu sampel 3. Display :menampilkan hasil pengukuran warna

4. Control panel :terdiri atas berbagai tombol untuk mengatur proses pengukuran warna. Terdiri atas :

a. Tombol Lab :pengukuran warna menggunakan sistem L,a,b Hunter b. Tombol LCh :pengukuran warna menggunakan sistem LCh

1

2

3

4

(34)

22

c. Tombol target :ditekan ketika reseptor sudah menyentuh sampel yang diinginkan

Dibagian depan alat ini terdapat 3 tombol dan display. Masing-masing tombol tersebut adalah Lch, Lab dan target. Tombol target digunakan untuk menghapus ketentuan target yang lama dan digantikan oleh target yang baru yang akan diukur warnanya. Tombol Lab digunakan untuk memilih pengukuran warna dengan sitem L, a, b. Tombol Lch digunakan untuk memilih pengukuran warna dengan sitem L, c, h, namun dalam praktikum ini tidak digunakan karena pada percobaan ini digunakan sistem CIE Hunter sehingga menngunakan L,a,b.

Skala nilai L adalah 100-0, dimana jika angka mendekati nilai 100 maka warna semakin cerah atau mendekati warna putih, sedangkan jika hasil mendekati nilai 0 maka warna tersebut semakin gelap mendekati warna hitam. Pomeranz dan Meloans (1994) menyatakan axis a* menunjukkan intensitas warna merah (+) atau hijau ). Sedangkan axis b* menunjukkan intensitas warna kuning (+) atau biru (-)

2.7 Kerangka Teori

Pewarna merupakan salah satu bahan tambahan pangan yang sering ditambahkan ke dalam makanan untuk menarik konsumen atau orang yang memakannya. Pewarna yang sering digunakan saat ini adalah pewarna sintesis yang memiliki potensi bahaya terhadap kesehatan manusia sehingga dianjurkan mengunakan pewarna alami. Sumber dari pewarna alami sendiri sebenarnya banyak dan dapat ditemui sehari-hari. Sumber pewarna alami tidak hanya dari

(35)

daun, buah dan bahan lainnya dari tanaman tetapi juga bisa didapat dari hasil fermentasi salah satunya menggunakan jamur Monascus purpureus.

Monascus purpureus dapat berkembangbiak dengan adanya kandungan

karbohidrat yang tinggi, terutama karbohidrat yang kandungan amilosanya termasuk tinggi (Kasim et al. 2006). Selain karbohidrat Vitamin B1 juga berperan sebagai koenzim untuk mengkatalis pembentukan asetil CoA yang diperlukan dalam menghasilkan metabolit sekunder. Zat yang dapat menghambat pertumbuhan Monascus purpureus adalah zink (Zubaidah & Sari 2015).

Kulit pisang digunakan sebagai substrat bagi Monascus purpureus dengan penambahan tepung beras yang berbeda proporsinya. Tepung beras sebelumnya telah digunakan sebagai media pada penelitian Kusumawati et al., (2005) dan Zubaidah et al., (2015) dalam pembentukan pigmen oleh jamur Monascus

purpureus. Berdasarkan hasil penelitian tepung beras dapat menghasilkan pigmen

dari Monascus purpureus dengan kondisi baik, warnanya cerah seperti warna pigmen yang menggunakan media beras. Alasan inilah yang mendasari perlunya ditambahkan tepung beras pada kulit pisang yang belum pernah digunakan dalam fermentasi jamur Monascus purpureus.

Pigmen Monascus merupakan cairan berwarna merah yang keluar dari ujung hifanya (Kumalaningsih dan Hidayat, 1995 dalam Kusumawati, 2004). Menurut Kusumawati (2004) pada waktu kultur ini masih muda, cairan ini tidak berwarna, tetapi seiring dengan pertumbuhan umur kultur, cairan tersebut berubah menjadi merah. Cairan tersebut akan terdifusi keseluruh substrat setelah keluar dari ujung hifanya. Kusumawati (2004) menyatakan bahwa selain dikeluarkan dari ujung-ujung hifanya, pigmen ini juga terdapat di dalam hifa.

(36)

24

Untuk mengetahui pengaruh penambahan tepung beras terhadap kulit pisang yang digunakan untuk produksi pigmen oleh Monascus purpureus dilakukan beberapa uji meliputi uji organoleptis selama proses fermentasi, analisis warna, uji intensitas warna, uji kelarutan warna dalam air, dan uji kestabilan warna terhadap suhu.

2.8 Hipotesis

Terdapat pengaruh variasi tepung beras terhadap kulit pisang yang digunakan sebagai substrat oleh Monascus purpureus dalam memproduksi pigmen.

(37)

25 BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen, yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh perbedaan proporsi tepung beras dan tepung kulit pisang yang tepat bagi Monascus purpureus dalam menghasilkan pigmen. Rancangan penelitian ini terdiri dari 3 tahap , yaitu tahap persiapan. tahap pelaksanaan, dan tahap akhir.

Tahap persiapan dilakukan dengan menentukan populasi dan sampel yang akan digunakan, menetukan waktu dan lokasi penelitian, serta menghitung kebutuhan bahan yang digunakaan dan mempersiapkan alat yang dibutuhkan saat praktikum.

Tahap pelaksanaan meliputi pembuatan substrat dari tepung beras dan kulit pisang, selain itu dilakukan pengumpulan data. Setelah dilakukan pengumpulan data menganalisis pigmen yang dihasilkan dari proses fermentasi. Pada perkembangbiakan jamur Monascus purpureus digunakan penambahan tepung beras pada kulit pisang dengan perbandingan 1:1, 1:2, dan 1:3.

Tahap terakhir yaitu analisa data yang diperoleh, diolah dan diinterpretasikan terhadap hasil penelitian untuk mengetahui bagaimana pengaruh

(38)

26

penambahan tepung beras terhadap pigmen yang dihasilkan Monascus purpureus dari kulit pisang.

3.2 Populasi dan Sampel 3.2.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah kulit pisang yang didapat dari limbah pengolahan pisang.

3.2.2 Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah kulit pisang yang diambil dan diolah sebanyak 102 g.

3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.3.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Akademi Analis Farmasi dan Makanan Putra Indonesia Malang, dan Laboratorium Teknologi Pangan Universitas Brawijaya.

3.3.2 Waktu Penelitan

Waktu Penelitian ini dimulai dari proses penyusunan proposal bulan November 2014 sampai dengan penyelesaian laporan KTI.

(39)

3.4 Definisi Operasional Variabel Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel

Variabel Sub

Variabel

Definisi Operasional Indikator Alat Ukur Hasil

ukur Skala Ukur Penambahan tepung beras pada kulit pisang sebagai substrat 1:1 1:2 1:3 Banyaknya tepung beras yang ditambahkan pada kulit pisang sebagai substrat bagi Monascus purpureus. Jumlah tepung beras tidak melebihi tepung kulit pisang Timbangan Analitik gram Nominal Karakteristik Pigmen

Warna Proses pengukuran warna meliputi tingkat kecerahan dan tingkat kemerahan pada sampel. 0-100 untuk kecerahan dan +100 untuk kemerahan Color reader - Rasio Intensitas Pigmen Tingkatan nilai absorbansi pigmen yang dihasilkan dari fermentasi tepung biji alpukat. Absorbansi pigmen semakin meningkat semakin bagus. Spektrofot ometri UV-Vis Absorba nsi Rasio Kelarutan Pigmen dalam Air Kelarutan pigmen yang dihasilkan terhadap air dengan suhu 25ºC, 60ºC, 80ºC dan 100ºC. Absorbansi pigmen semakin meningkat semkain bagus. Spektrofot ometri UV-Vis pada λ 500 nm Absorba nsi Rasio Kestabilan Pigmen terhadap Suhu Kestabilan pigmen terhadap suhu 25ºC, 70ºC, 121ºC, dan 180ºC dengan cara dioven selama 1 jam.

Absorbansi pigmen pada suhu ruang Spektrofot ometri UV-Vis pada λ 500 nm Absorba nsi Rasio 3.5 Instrumen Penelitian 3.5.1 Alat

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : timbangan analitik, pisau, inkubator, autoklaf, cawan petri, mikro pipet, gelas ukur, lampu spirtus, kassa, kaki tiga, shaker, spektrofotometri UV-Vis, haemocytometer.

(40)

28

3.5.2 Bahan

Bahan yang digunakan antara lain kulit pisang, tepung tapioka, biakan

Monascus purpureus, PDA, aquades, kertas coklat, KOH, HCl, NH4NO3, MgSO4.7H2O, dan KH2PO4.

3.6 Pengumpulan Data 3.6.1 Pembuatan Starter

1. Dilarutkan tepung beras 4% (b/v), NH4NO3 0,15% (b/v), MgSO4.7H2O 0.1% (b/v), dan KH2PO4 0.25 (b/v) dalam 100 mL akuades

2. Diatur pH larutan mencapai pH 6.0 menggunakan 0.25M KOH atau 0.1M HCl.

3. Disterilisasi media menggunakan autoklaf selama 15 menit pada suhu 121ºC

4. Didinginkan hingga suhu ±30ºC.

5. Diinokulasikan 2 ose spora Monascus purpureus yang berusia 1 minggu pada media yang telah disterilisasi.

6. Diinkubasi selama 1 minggu dengan suhu ±30 ⁰C. 3.6.2 Perhitungan Kapang dengan Haemocytometer

1. Dipipet 1 ml starter yang telah dibuat.

2. Diencerkan dengan penambahan 10 ml aquades steril. 3. Dihomogenkan dengan cara divortex.

(41)

4. Dipipet dan diteteskan satu tetes kedalam bidang hitung haemocytometer dan ditutup dengan gelas penutup.

Gambar 3.1 Penutupan Alat Haemocytometer Dengan Gelas Penutup (Sumber : (Yuliani 2013)

5. Dengan menggunakan perbesaran 400x, spora M.purpureus dapat terhitung dibawah mikroskop.

6. Spora yang dihitung hanya pada daerah dengan nomor 3 dengan bidang hitung (1+2+3+4+5) seperti yang tersaji pada Gambar 3.2

Gambar 3.2 Haemocytometer yang Diamati dengan Menggunakan Mikroskop (Yuliani 2013)

(42)

30

7. Pada daerah dengan nomor tiga terdapat 25 kotak. Dari 25 kotak tersebut dipilih lima kotak saja yang dijadikan tempat perhitungan spora M.

purpureus, yaitu kotak A, B, C, D dan E. Seperti yang tersaji dalam

Gambar 3.3

Gambar 3.3 Titik Perhitungan Spora (Yuliani 2013)

8. Setiap kotak A, B, C, D memiliki enambelas kotak kecil. Perhitungan spora seperti yang terdapat pada Gambar 3.4

Gambar 3.4 Alur Perhitungan Spora (Yuliani 2013)

9. Setelah didapat jumlah spora, lalu dihitung jumlah spora/ml pada bidang hitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

(43)

S = R x K x F Keterangan :

S = Jumlah spora (rata-rata)

R = Jumlah rata-rata spora pada 5 bidang pandang haemocytometer K = Konstanta koefisien alat (2,5 x 105)

F = Faktor Pengenceran yang dilakukan 3.6.3 Pembuatan Tepung Kulit Pisang

1. Dibersihkan kulit pisang sebanyak yang dibutuhkan

2. Kulit pisang dipotong kecil-kecil dengan ukuran lebih kurang 1 cm x 0,5 cm dengan pisau

3. Kulit pisang direndam dalam air.

4. Dikeringkan dengan oven pada suhu 50⁰C selama 2x24 jam 5. Setelah kering, dibelender sampai halus.

6. Diayak dengan ayakan ukuran 20 mesh. 3.6.4 Fermentasi Monascus purpureus

1. Disiapkan tepung kulit pisang sebanyak 102 gram 2. Disiapkan tepung beras sebanyak 18 gram

3. Dicampurkan tepung beras dan kulit pisang dengan perbandingan 1:1, 1:2, dan 1:3 dengan berat masing-masing 10 gram, tiap perlakuan direplikasi 3 kali.

4. Dibuat kontrol positif berupa tepung kulit pisang sebanyak 10 gram, direplikasi 3 kali.

5. Dimasukkan masing-masing substrat ke dalam cawan petri.

6. Ditambahkan larutan nutrien NH4NO3 0,15% (b/v), MgSO4.7H2O 0.1% (b/v), dan KH2PO4 0.25 (b/v) dalam 12.5 mL akuades pada masing-masing substrat.

(44)

32

7. Diatur pH hingga 6 dengan HCL 0,1 M atau KOH 0,25 M.

8. Disterilkan masing-masing substrat menggunakan autoklaf dengan suhu 121 ⁰C selama 15 menit.

9. Setelah sterilisasi berakhir substrat didinginkan ±30 ⁰C

10. Diinokulasi 4 ml starter yang telah dibuat pada masing-masing substrat. 11. Diinkubasi selama 14 hari dengan suhu 30 ⁰C

12. Diamati setiap hari untuk mengetahui perubahan dari proses fermentasi. Jika sampai hari ke-14 belum menghasilkan pigmen maka fermentasi dilanjutkan sampai hari ke -20.

3.6.5 Preparasi Pengambilan Pigmen

1. Angkak hasil fermentasi hari ke-14 dikeringkan dengan oven suhu 70ºC selama 24 jam

2. Diambil bagian permukaan substrat yang mengandung pigmen.

3. Dihancurkan menggunakan blender kering hingga diperoleh serbuk angkak

3.6.6 Identifikasi Pigmen 3.6.6.1 Analisis Warna

1. Dimasukkan serbuk hasil fermentasi ke dalam plastik transparan

2. Kemudian target pembacaan a* (deajat kemerahan) dan L* (kecerahan) ditentukan.

3. Dicatat hasil yang tertera dalam color reader. (Danuri 2008)

(45)

1. Ditimbang serbuk hasil fermentasi 0.05 gram dan diekstrak menggunakan 10 mL metanol 96%.

2. Diinkubasi dengan shaker kecepatan 3000 rpm selama 1 jam. 3. Dipisahkan dari residu dengan menggunakan kertas saring.

4. Diperoleh filtrat yang kemudian diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer pada λ 500 nm

(Zubaidah dan Tedjautama, 2014) 3.6.6.3 Uji Kelarutan Pigmen dalam Air

1. Dalam 4 tabung reaksi diisi dengan air masing-masing 10 mL bersuhu 25ºC, 60ºC, 80ºC dan 100ºC.

2. Ditambahkan serbuk hasil fermentasi sebanyak 60 mg pada masing-masing tabung dan divortex selama 30 detik.

3. Disaring larutan menggunakan kertas saring dan filtrat yang diperoleh kemudian diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer pada λ 500 nm

(Danuri 2008)

3.6.6.4 Uji Kestabilan Pigmen terhadap Suhu

1. Dilarutkan 600 mg serbuk hasil fermentasi dalam 100 mL air dan disaring. 2. Dipindahkan larutan ke dalam 4 tabung reaksi yang masing-masing berisi

10 mL larutan filtrat.

3. Dipanaskan masing-masing tabung dalam oven dengan suhu 25ºC, 70ºC, 121ºC, dan 180ºC selama 1 jam dan diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer pada λ 500 nm

(46)

34

3.7 Analisis Data

Data yang diperoleh dari hasil identifikasi pigmen yang dihasilkan jamur

Monascus purpureus pada kulit pisang dengan berbagai proporsi tepung beras

dilakukan pengolahan data menggunakan metode RAL dengan satu faktor sehingga dianalisis menggunakan one way ANOVA untuk uji warna dan uji intensitas warna. Sedangkan uji kelarutan pigmen dalam air dan kestabilan pigmen dalam suhu menggunakan two way ANOVA karena terdapat dua faktor yang mempengaruhi. Data ini diolah menggunakan program SPSS 16.

(47)

35 BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Analisis Starter Angkak

Penelitian pewarna alami dari tepung kulit pisang ini menggunakan kapang Monascus purpureus . Panda et. al.,2009 menyatakan bahwa Pigmen yang dihasilkan oleh Monascus purpureus saat fermentasi bersifat stabil, tidak toksik, dan tidak menimbulkan alergi sehingga banyak digunakan sebagai pewarna alami. Sebelum fermentasi starter Monascus purpureus yang telah di inkubasi selama 1 minggu dihitung jumlah spora kapang yang terdapat pada starter menggunakan alat haemocytometer dan dilihat pada mikroskop dengan perbesaran 400x, hal ini dilakukan untuk mengetahui tiap mL dari starter mengandung berapa banyak spora kapang Monascus purpureus. Hasil pengulangan perhitungan menggunakan haemocytometer dapat dilihat pada Tabel 4.1. Tabel 4.1 menunjukkan bahwa jumlah spora Monascus purpureus dalam kultur cair berkisar antara 2,8x107 sel/mL sampai 2,95x107 sel/mL

Tabel 4.1 Hasil Perhitungan Spora Kapang Monascus purpureus Menggunakan Haemocytometer

Pengulangan Jumlah Spora (sel/mL)

1 2,6x107

2 2,8x107

3 2,9x107

Penambahan inokulum yang dianjurkan untuk fermentasi padat adalah sebanyak 2x106 sel/mL hingga 2x108 sel/mL (Zubaidah & Sari, 2015), sehingga hasil perhitungan spora yang telah dilakukan memenuhi syarat untuk proses fermentasi Monascus purpureus. Fermentasi angkak yang menggunakan media

(48)

36

padat sebaiknya menggunakan inokulum dalam jumlah yang tinggi untuk mencegah tumbuhnya kontaminan (Zubaidah & Sari, 2015). Starter yang dihasilkan berwarna merah cerah dan didalamnya terdapat koloni-koloni dari kapang yang tampak berwarna merah.

4.2 Tepung Kulit Pisang

Kulit pisang yang akan digunakan sebagai media diolah terlebih dahulu menjadi tepung dengan cara dikeringkan, agar permuakannya lebih luas sehingga mempermudah pada saat diberi nutrisi untuk penyerapan selain itu agar lebih mudah diolah ketika menggunakan pewarna yang dihasilkan dan lebih mudah ketika dilarutkan ke dalam air. Tepung kulit pisang yang awalnya berwarna kuning kehijauan setelah dioven menjadi berwarna coklat tua, hal ini disebabkan karena kulit pisang tersebut teroksidasi. Kulit pisang banyak mengandung vitamin yang mudah teroksidasi. Menurut penelitian Zulfahnur et. al., 2009 irisan buah pisang juga mengalami kecoklatan setelah menit ke-15. Warna kulit pisang menjadi coklat juga disebabkan adanya proses pencoklatan enzimatis. Dimana reaksi pencoklatan ini dimulai dengan reaksi gugus amino pada asam amino, peptida atau protein dengan gugus hidroksil glikosidik pada karbohidrat sehingga diakhiri dengan pembentukan polimer nitrogen berwarna coklat atau melanoidin (de Man, 1997) hal inilah yang menyebabkan warna tepung kulit pisang berubah menjadi coklat.

(49)

4.3 Fermentasi Monascus

Media yang telah dibuat ditimbang sesuai dengan ketentuan, data perhitungan dapat dilihat pada lampiran 2. Setelah itu diberi nutrisi yang terdiri dari NH4NO3 sebagai sumber nitrogen, MgSO4 dan KH2PO4 kemudian di autoklaf selama 15 menit. Setelah di autoklaf media dikondisikan pada pH 6 karena Monascus purpureus menghasilkan pigmen optimal pada pH 4-7 (Andarwulan & Faradilla, 2012). Selain itu penambahan 1-10% bahan-bahan sumber karbon (glukosa, maltosa, atau etanol) dan 0,1-0,5% sumber nitrogen (pepton dan ammonium nitrat) pada substrat dapat meningkatkan kemampuan Monascus purpureus dalam memproduksi pigmen (Andarwulan & Faradilla, 2012). Setelah pengkondisisan media, media dituangi starter sebanyak 4 ml menggunakan gelas ukur, karena beberapa bagian dari starter berupa gumpalan koloni kapang

Monascus purpureus, penyebaran kapang pada media tidak dapat merata

meskipun telah diratakan menggunakan alat spreader. Hal ini lah yang menyebabkan kapang hanya menyebar pada satu sisi. Setelah itu di mediadi inkubasi dengan suhu 30°C, karena suhu optimumpertumbuhan Monascus purpureus adalah 30°C-37°C (Timostius, 2004)

Media mulai terbentuk hifa putih pada hari ke-4, kemudian pada hari ke-7 hifa tersebut berwarna jingga, pada hari ke-10 kapang yang ada di media mulai sedikit menyebar meskipun membentuk koloni-koloni yang sangat kecil. Pada hari ke-12 kapang berwarna merah cerah sampai pada hari ke-14. Hal ini sesuai dengan penelitian Irdawati, 2010 dimana sebagai pewarna alami kapang

Monascus purpureus mampu menghasilkan pigmen-pigmen polipeptida seperti

(50)

38

pigmen kuning oleh kapang Monascin dan Ankaflavin serta pigmen merah oleh Monascorubraminne dan Rubropunctamine. Dari beberapa penilitian sebelumnya proses fermentasi Monascus purpureus dilakukan sampai hari ke 14 (Zubaidah & Sari, 2015). Dokumentasi hasil inkubasi kapang Monascus purpureus dapat dilihat pada lampiran 4.

4.4 Serbuk Monascus

Setelah dilakukan fermentasi terhadap kapang selama 14 hari, media yang ditumbuhi kapang di ambil bagian hasil fermentasinya. Hasil fermentasi tersebut di oven 24 jam dengan suhu 70ºC agar tidak merusak zat warna dan komponen mikro lainnya, sehingga menghasilkan pewarna kering yang kemudian ditumbuk untuk dijadikan serbuk.

Tabel 4.4 Hasil Serbuk Pewarna dari Fermentasi

Serbuk yang dihasilkan bila dilihat secara kasat mata memiliki warna yang sama dari masing-masing perbandingan media oleh karena itu perlu dilakukan pengujian lanjut untuk mengetahui karakteristik pigmen yang dihasilkan.

4.5 Analisis Warna

Analisis warna dilakukan untuk mengetahui jenis warna dan kecerahan dari masing-masing hasil fermentasi yang dihasilkan oleh media yang berbeda. Derajat kecerahan (L*) berbanding terbalik terhadap intensitas pigmen merah, sehingga jika derajat kecerahan memiliki nilai yang tinggi maka nilai intensitas

Media Serbuk yang dihasilkan

1:1 1,1140 g

1:2 1,2929 g

1:3 2,3737 g

(51)

semakin menurun.Menurut Pomeranz dan Meloans, 1994 dalam Satriyanto et al, 2012 nilai L* menyatakan tingkat gelap terang dengan kisaran 0-100 dimana nilai 0 menyatakan kecenderungan warna hitam atau sangat gelap, sedangkan nilai 100 menyatakan kecenderungan warna terang/putih. Rata-rata hasil derajat kecerahan dapat dilihat pada Gambar 4.5.

Tabel 4.5 Hasil Rerata Analisis Warna Menggunakan Color reader

Sampel Warna L* a* b* 1:1 28,3 13,2 6 1:2 28,9 12,1 6 1:3 29,5 12,1 6,2 Kulit Pisang 29,6 11,3 6,3

Hal ini terjadi diduga karena jika nilai intensitas tinggi maka warna akan menjadi semakin pekat sehingga nilai derajat kecerahan semakin menurun karena tidak dapat menembus kepekatan dari warna. Kecerahan merupakan spektrum warna dasar, adanya penambahan warna lain pada suatu objek akan menurunkan derajat kecerahan. (Zubaidah & Sari, 2015). Sehingga pewarna yang memiliki kecerahan yang paling tinggi adalah yang menggunakan kulit pisang.

Derajat kemerahan (a*) memiliki nilai yang sejajar dengan nilai intensitas warna, dimana nilai derajat kemerahan tinggi maka nilai intensitas warna juga akan tinggi (Zubaidah & Sari, 2015). Rerata derajat kemerahan (a*) dapat dilihat pada gambar 4.5. Pomeranz dan Meloans (1994) menyatakan axis a* menunjukkan intensitas warna merah (+) atau hijau (-). Sedangkan axis b* menunjukkan intensitas warna kuning (+) atau biru (-)

(52)

40

Ket :

L*= Kecerahan a*= Kemerahan b*= Kekuningan

Gambar 4.5 Grafik Hasil Rerata Analisis Warna

Hasil analisis disajikan secara statistik menggunakan uji one way ANOVA untuk mengetahui hasil dari masing-masing sampel menghasilkan perbedaan secara nyata atau tidak. Pada hasil derajat kecerahan f hitung yang dihasilkan 27,917, sedangkan nilai f tabel 4,066. Jika nilai f hitung > f tabel maka Ho ditolak yang berarti terdapat perbedaan kecerahan dari pigmen yang dihasilkan Monascus

purpureus menggunakan perbandingan media yang berbeda antara tepung beras

dengan tepung kulit pisang. Hal yang sama juga terjadi pada derajat kemerahan yang memiliki nilai f hitung 73,046 dan nilai f tabel 4,066. Nilai f hitung lebih besar dari nilai f tabel sehingga terdapat perbedaan kemerahan antar pigmen yang dihasilkan dari media yang berbeda.

Proses pembentukan pigmen pada Monascus sp diawali dari tetraketida yang terbentuk melalui reaksi kondensasi satu molekul asetil-CoA dengan tiga molekul malonil-CoA. Tetraketida memperoleh satu molekul malonil-CoA membentuk pentaketida kemudian pentaketida mendapat satu lagi molekul malonil-CoA dan membentuk heksaketida dan akhirnya terbentuk pigmen merah (Hajjaj et al., 1999). 1:1 1:2 1:3 Kulit Pisang L* 28,3 28,9 29,5 29,6 a* 13,2 12,1 12,1 11,3 b* 6 6 6,2 6,3 0 5 10 15 20 25 30 35 Ska la N ila i

(53)

4.6 Intensitas Pigmen

Intensitas Pigmen menurun seiring dengan berkurangnya penambahan tepung beras. Semakin cerah atau semakin pekat warna yang dihasilkan maka nilai absorbansi akan semakin tinggi (Zubaidah & Sari, 2015) sebaliknya jika warna memudar atau cenderung bening maka nilai absorbansinya akan semakin menurun. Nilai absorbansi tertinggi terdapat pada perbandingan 1:1 dimana komposisi tepung beras dengan kulit pisang sama. Hal ini dapat terjadi dikarenakan amilosa dan kandungan karbohidrat yang terdapat pada tepung beras lebih banyak dari pada perbandingan 1:2 dan 1:3 karena kedua media tersebut lebih didominasi oleh kulit pisang. Selain kandungan pati, kadar amilosa dalam substrat juga berpengaruh terhadap pembentukan pigmen. Danuri (2008) menyatakan bahwa amilosa berperan terhadap pembentukan pigmen. Semakin tinggi amilosa maka akan semakin tinggi pigmen angkak yang dihasilkan. Tingginya kandungan pigmen yang dihasilkan pada substrat dengan perbandingan 1:1 disebabkan karena tepung beras mempunyai kadar amilosa yang tinggi. Nilai absorbansi terendah ada pada media kulit pisang karena media ini tidak menggunakan campuran dari tepung beras sehingga pertumbuhan kapang kurang maksimal dan tidak menghasilkan warna yang intens.

Semakin tinggi proporsi tepung beras yang di berikan maka warna akan semakin cerah hal disebabkan oleh proses fermentasi yang merombak glukosa sehingga dihasilkan etanol. Adanya etanol digunakan kapang untuk menghasilkan asetil-KoA selama fermentasi berlangsung. Asetil-KoA dimanfaatkan dalam pembentukan metabolit sekunder melalui jalur poliketida (Juzlova et. al., 2004)

(54)

42

Gambar 4.6 Grafik Rerata Intensitas Pigmen Merah

Pada analisis intensitas pigmen ini menggunakan methanol sebagai pelarutnya, karena methanol bersifat polar tetapi kepolarannya tidak setinggi air, sedangkan pigmen yang dihasilkan Monascus purpureus juga mengasilkan senyawa metabolit sekunder yaitu lovastatin yang memiliki sifat semi polar sehingga lebih larut pada metanol. Serbuk pewarna yang dilarutkan dengan methanol warnanya lebih merah jika dibandingkan dengan pelarut air. Pada pelarut air warna yang terlihat adalah jingga. Menurut Zubaidah dan Tedjautama, 2014 Pigmen yang terbentuk dapat mengindikasikan produksi lovastatin yang dihasilkan. Pembentukan pigmen dan lovastatin memiliki prekursor yang sama yaitu poliketida yang akan disintesis menjadi pigmen dan lovastatin. Berdasarkan pada hasil penelitian Zubaidah dan Tedjautama, 2014 pigmen yang memiliki nilai intensitas warna yang paling tinggi, kandungan lovastatin yang terdapat juga tinggi.

Warna yang dihasilkan setelah dilarutkan dengan methanol memilki perbedaan berdasarkan perbandingan dari media yang digunakan. Pada media 1:1 warna yang dihasilkan merah cerah, sedangkan media 1:2 menghasilkan warna merah yang agak memudar, pada media 1:3 terbentuk warna jingga yang cerah, terakhir pada media kulit pisang dihasilkan warna jingga yang pudar.

1:1 1:2 1:3 Kulit Pisang Absorbansi (500 nm) 0,8297 0,6882 0,6343 0,4316 0,0000 0,2000 0,4000 0,6000 0,8000 1,0000 In te n si tas (500 n m )

(55)

Hasil statistik menggunakan one way ANOVA didapatkan nilai f hitung 1719134,082 sedangkan nilai f tabel 4.066, karena f hitung memiliki nilai lebih besar dari pada nilai f tabel maka terdapat perbedaan intensitas pigmen dari hasil fermentasi menggunakan media yang berbeda.

4.7 Kelarutan Pigmen dalam Air

Serbuk angkak yang dihasilkan dari proses fermentasi selanjutnya di uji kelarutan pigmen dalam air dengan suhu 25ºC, 60ºC, 80ºC, dan 100ºC. Serbuk angkak ditentukan kelarutannya menggunakan panjang gelombang 500 nm. Nilai absorbansi yang didapatkan merupakan intensitas pigmen merah yang terlarut dalam aquades dengan berbagai suhu.

Gambar 4.7 Grafik Rerata Kelarutan Pigmen Merah dalam Air dengan Berbagai Suhu

Kelarutan atau solubilitas adalah kemampuan suatu zat kimia tertentu, zat terlarut (solute), untuk larut dalam suatu pelarut (solvent). Kelarutan dinyatakan dalam jumlah maksimum zat terlarut yang larut dalam suatu pelarut pada kesetimbangan. Kelarutan pigmen merah meningkat seiring dengan peningkatan suhu air. Hal ini dikarenakan pada suhu tinggi akan meningkatkan energi kinetik sehingga partikel-partikel bergerak lebih cepat yang menyebabkan kontak antara

0,0000 0,1000 0,2000 0,3000 0,4000 0,5000

suhu 25 suhu 60 suhu 80 suhu 100

A bsor bans i 500 nm 1:1 1:2 1:3 Kulit Pisang

(56)

44

partikel air dengan serbuk menjadi lebih efektif dan sering, sehingga kelarutan lebih meningkat. (Zubaidah & Sari, 2015). Sedangkan pada suhu 25ºC kelarutan pewarna kurang larut karena pada suhu rendah tidak meningkatkan energi kinetik sehingga partikel air dengan serbuk bergerak lambat dan pergesekan antar partikel jarang terjadi sehingga yang terjadi kelarutan kurang maksimal. Menurut de Man 1997, Kelarutan zat padat dalam air semakin tinggi bila suhunya dinaikkan. Adanya panas (kalor) mengakibatkan semakin regangnya jarak antar molekul zat padat. Merengangnya jarak antar molekul zat padat menjadikan kekuatan gaya antar molekul tersebut menjadi lemah sehingga mudah terlepas oleh gaya tarik molekul-molekul air.

Pigmen yang dihasilkan menggunakan media 1:1 memiliki nilai absorbansi kelarutan yang paling tinggi dengan menggunakan air bersuhu 100ºC hal ini dapat dipengaruhi oleh proporsi tepung beras yang tinggi dibandingkan dengan media lainnya sehingga amilosa lebih tinggi dan warna yang pekat mempengaruhi hasil absorbansi kelarutan karena pigmen yang terlarut lebih banyak bila dibandingkan dengan pigmen hasil media lainnya.

Hasil statistik menggunakan two way ANOVA menunjukkan nilai f hitung pada corrected model 374735,397, sedangkan f tabel 4,066 ini membuktikan bahwa adanya pengaruh antara variabel independen (suhu, perbandingan media, suhu*perbandingan media) terhadap variabel dependen (kelarutan). Sehingga perbandingan media yang menghasilkan pigmen memiliki pengaruh terhadap kelarutan, begitu sebaliknya suhu juga memiliki pengaruh terhadap kelarutan.

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Dari 12 tumbuhan yang ada, serealia (jagung dan shorgum), umbi-umbian (ubi jalar, ubi kayu, talas, porang atau suweg), polong-polongan (kacang hijau dan kacang

Namun pada saat sangka-kala kedatangan Tuhan berbunyi, kelompok yang tidak menyediakan bahkan tidak memperdulikan minyak ini menyadari bahwa mereka telah berbuat kesalahan

Subsidi atau bantuan yang disalurkan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi berupa sarana penangkapan secara lengkap, seperti pemberian bantuan armada

Persoalan ini perlu difikirkan melalui kajian secara terperinci untuk mengetahui tahap semangat perpaduan golongan muda, iaitu dengan mengukur tahap pengetahuan tentang Rukun

Hasil penelitian yang diperoleh adalah Evaluasi Ergonomi dengan menggunakan metode ergoceklist belum diterapkan di PT Pertamina (Persero) RU IV Cilacap, Kondisi

Secara khusus tujuan penelitian adalah untuk medapatkan kejelasan penerapan metode demonstrasi untuk meningkatkan aktivitas belajar pada materi menentukan bilangan

- jalan udara penting di Sabah dan Sarawak kerana kebanyakan Bandar terletak jauh antara satu sama lain dan kurang pengangkutan darat -

Dosis awal harus dikurangi 50% pada pasien yang sudah dapat diuretik, yang kekurangan cairan, atau sudah tua sekali karena risiko hipotensi, dapat menyebabkan hiperkalemia