• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG MASALAH

Netralitas birokrasi merupakan konsep penting dan telah sejak lama mendapat perhatian dari para ahli dan praktisi. Sejak konsep birokrasi diperkenalkan oleh Max Weber (1864-1920), konsep tersebut telah banyak dipergunakan dalam sistem pelaksanaan pemerintahan di negara-negara di belahan dunia ini. Menurut Weber, birokrasi diposisikan sebagai sebuah mesin yang dijalankan oleh pejabat-pejabat pemerintah untuk mewujudkan tujuan negara. Untuk itu, birokrasi pemerintah bertindak sebagai kekuatan yang netral dari pengaruh kepentingan kelas atau kelompok tertentu. Birokrasi dibentuk independen dari kekuatan politik atau diposisikan sebagai kekuatan yang netral yang berada di luar atau di atas aktor politik yang saling berkompetisi. Netralitas birokrasi diartikan lebih mengutamakan kepentingan rakyat dan negara dibanding kepentingan yang lain1.

Sebelumnya, pada tahun 1801, Wilson mengemukakan konsep netralitas (politik) dengan mendesak kelompok kecil administrator negara untuk mengesampingkan pertimbangan politik dalam merumuskan keputusan administratif mereka. Konsep tersebut pada tahun 1883 (82 tahun kemudian) diberi kekuatan hukum dengan ditetapkannya UU Pedleton2. Pada tahun 1907, konsep netralitas itu dikuatkan oleh Presiden Theodore Roossevelt dengan civil

service rule I (CSR-I). Pada tahun 1939 CSR-I oleh pemerintah AS disempurnakan

dengan mengeluarkan UU Kegiatan Politik (UU Hatch). UU Hatch telah menjadikan lebih dari lima juta pegawai federal dan yang bekerja proyek federal

1 Thoha, Miftah. 2014. Birokrasi Politik & Pemilihan Umum Di Indonesia. Prenadamedia Group,

Jakarta: 21; dan Thoha, Miftah (2008). Birokrasi Pemerintah Indonesia Di Era Reformasi. Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

(2)

terhambat partisipasi politiknya dalam pemilu, sehingga pada tahun 1976 Konggres AS mencabut secara penuh UU tersebut dengan mengalahkan veto Presiden Ford (Henry, 1988: 323-325).

Pencabutan UU Hatch menunjukkan bahwa dalam konteks pemerintahan AS, netralitas birokrasi tidak diartikan sebagai hilangnya partisipasi politik pegawai dalam pemilu. Jika dikombinasikan dengan konsep Weber maka netralitas birokrasi adalah kondisi birokrasi yang tidak berpihak pada partai politik, lebih mengutamakan kepentingan rakyat.

Beberapa pemikiran dan hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan netralitas birokrasi hingga saat ini masih pro dan kontra antara yang sepakat dan yang meyakini bahwa konsep netralitas yang digagas oleh Weber tidak dapat diwujudkan. Selden et al (1999)3 menyakini bahwa meskipun netralitas dapat diwujudkan namun para administrator publik memilih untuk meninggalkan bahasan tersebut dan menjadikannya sebagai bagian dari diskresi birokrasi. Sultana (2012)4 mengemukakan bahwa sampai hari ini untuk dapat memahami netralitas birokrasi sebagaian besar sarjana masih mengacu pada Max Weber yang merupakan orang pertama yang mengemukakan konsep birokrasi. Mengutip pendapat O.P. Dwivedi dan R.B. Jain, ia menjelaskan bahwa netralitas tidak sekedar meniadakan aktivitas politik dari birokrasi namun lebih pada bagaimana birokrasi dapat merespon keinginan pemerintah. Implikasi dari pelaksanaan konsep netralitas birokrasi adalah: 1) kepercayaan masyarakat dalam pelayanan; 2) kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi dan jajarannya; dan 3) moralitas yang tinggi yang a.l. didasarkan pada kepercayaan bahwa promosi jabatan akan diberikan atas dasar kompetensi prestasi kerja dan bukan karena pertimbangan politik.

3Reconciling Competing Values In Public Administration Understanding The Administrative

Role Concept by Sally Coleman Selden Syracuse University Gene A. Brewer Jeffrey L. Brudney University Of Georgia Dalam Administration & Society, Vol. 31 No. 2, May 1999 pp.

171-204 .

4 Bureaucratic Accountability Towards Good – Governance by Syeda Arifa Sultana (Research

Scholar, Singhania University) dalam IJCAES Special Issue On Basic, Applied & Social Sciences, Volume II, July 2012.

(3)

Namun hasil penelitian yang dilakukan oleh Mengistu dan Vogel (2006) 5 misalnya menemukan bahwa terkait dengan netralitas birokrasi, dalam kepemimpinan

birokrasi eksekutif Ethiopia (yang tidak netral) mendorong secara kuat terjadinya birokrasi partisan dan spoils system yang akhirnya menjadi ciri dari para pejabat pemerintah yang senantiasa hanya mementingkan keuntungan pribadi. Temuan yang hampir sama

disampaikan oleh Meier dan O'Toole Jr (2006)6, yang menyatakan bahwa pejabat politik senantiasa mengontrol birokrasi.

Meskipun beberapa kajian menunjukkan bahwa netralitas birokrasi sulit untuk diwujudkan namun pemerintah Indonesia sejak era reformasi tahun 1998 berusaha untuk menerapkan konsep tersebut. Pada era reformasi, pemerintahan Habibie mengeluarkan kebijakan netralitas birokrasi melalui UU Nomor 43 Tahun 1999. Kata ‘netralitas’ dicantumkan pada penyempurnaan undang-undang kepegawaian yaitu pada Pasal 3 UU Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. UU Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Adapun yang tertulis pada Pasal 3 tersebut adalah sebagai berikut:

(1) Pegawai Negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil, dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan, dan pembangunan.

(2) Dalam kedudukan dan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pegawai Negeri harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik serta tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

(3) Untuk menjamin netralitas Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Pegawai Negeri dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik.

5Bureaucratic Neutrality among Competing Bureaucratic Values in an Ethnic Federalism: The

Case of Ethiopia by Berhanu Mengistu, Elizabeth Vogel (Old Dominion University) dalam

Public Administration Review • March | April 2006,pp.212.

6 Political Control versus Bureaucratic Values: Reframing the Debate; Author(s): Kenneth J.

Meier and Laurence J. O'Toole Jr. dalam Public Administration Review, Vol. 66, No. 2 (Mar. -

(4)

Bentuk pelaksanaan dari netralitas dimaksud antara lain: 1) PNS dilarang menjadi anggota dan atau pengurus Partai Politik (PP Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Larangan PNS Menjadi Anggota Partai Politik); 2) Larangan bagi calon kepala daerah untuk melibatkan PNS, TNI, POLRI, Hakim, Pejabat BUMN/D, dan Kades dalam kampanye Pilkada (PP Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, Dan Pemberhentian Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah); 3) Kewajiban menyerahkan surat pernyataan mengundurkan diri dari jabatan negeri bagi PNS yang oleh Parpol/gabungan Parpol didaftarkan sebagai Calon Kepala/Wakil Kepala Daerah (Pasal 59 Ayat (5) Huruf G UU Nomor 32 Tahun 2004 dan Pasal 42 Ayat (2) Huruf F PP Nomor 6 Tahun 2005).

Dalam perkembangan selanjutnya UU Nomor 43 Tahun 1999 diganti dengan UU Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara dimana netralitas birokrasi atau intervensi politik menjadi salah satu pertimbangan utamanya dan salah satu asas penyelenggaraan kebijakan dan manajemen aparatur sipil negara. Pengertian netralitas bagi ASN adalah setiap pegawai ASN

tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun (Penjelasan huruf f Pasal 2 UU Nomor 5 Tahun 2014 Tentang

Aparatur Sipil Negara).

Ada beberapa alasan yang mendasari pemerintah Indonesia mengadopsi konsep netralitas birokrasi. Pertama, tidak berfungsinya mekanisme promosi jabatan karier yang ada dalam struktur pemerintahan akibat kebijakan menempatkan orang-orang parpol yang sesuai dengan selera menteri yang bersangkutan. Kedua, menciptakan rasa anti-pati dengan orang-orang yang tidak berasal dari parpol yang sama sehingga fungsi utama birokrasi sebagai sarana untuk melayani kepentingan masyarakat menjadi terabaikan. Ketiga, secara tidak langsung tidak mengindahkan bekerjanya prinsip meritokrasi dalam pelaksanaan tugas birokrasi akibat kebijakan memberikan orang-orang parpol sebuah jabatan penting di pemerintahan. Keempat, cenderung membuat kebijakan yang

(5)

menguntungkan parpolnya akibat orang-orang parpol diberi jabatan penting di pemerintahan sebagaimana terjadi di era orde baru (Tjokrowinoto, 2004).

Menurut Utomo (2005)7 ketidaknetralan birokrasi di atas akan berimplikasi pada terjadinya: 1) Diskriminasi dalam pelayanan birokrasi; birokrasi berfungsi sebagai alat pengendali masyarakat dan alat mobilisasi masyarakat; 2) Terlalu banyak political appointment pada jabatan karier birokrasi dan munculnya yang bersifat partisan birokrasi; 3) Pengabaian prinsip meritokrasi dan berkembangnya praktek koneksi dan praktek-praktek rekrutmen, promosi, dan demosi yang lebih didasarkan pada faktor-faktor askriptif; dan 4) Pelembagaan conflict of interest dan munculnya birokrasi berbisnis.

Namun beberapa hasil kajian terhadap implementasi kebijakan netralitas menunjukkan bahwa netralitas birokrasi di Indonesia belum dapat diwujudkan. Pertama, penelitian oleh Lembaga Administrasi Negara (2004) berjudul ‘Netralitas Birokrasi’ menyimpulkan: 1) Faktor yang mempengaruhi netralitas birokrasi adalah: a) peraturan perundangan yang tidak memberikan batasan yang jelas antara domain politik dan administrasi; b) intervensi dari parpol yang wakil-wakilnya duduk di legislatif; c) intervensi dari kelompok dimasyarakat, seperti: media dan pengusaha yang memanfaatkan kelemahan masyarakat dan pemerintah; d) kebijakan yang dirumuskan masih disisipi kepentingan kelompok; e) masih terdapat kecenderungan untuk mengutamakan kepentingan individual pejabat negara maupun pegawai negeri dalam pelaksanaan kebijakan; f) terdapat peraturan perundangan yang kurang jelas dan tidak mempunyai sanksi yang tegas; 2) Munculnya permasalahan netralitas disebabkan oleh: a) kekuasaan yang tidak seimbang antara legislatif dan eksekutif; b) tidak jelasnya batasan kewenangan pejabat politis; c) lemahnya sanksi pelanggaran netralitas8.

7 Utomo, Warsito (2005). Administrasi Publik Indonesia Di Era Demokrasi Lokal Bagaimana Semangat

Kompatibilitas Menjiwai Budaya Birokrasi. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada

FISIPOL UGM, Yogyakarta.

(6)

Kedua, Hartoto (2004) dalam penelitian tesis tentang studi pola hubungan

penyelenggaraan birokrasi di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, menyimpulkan: 1) Terjadi intervensi politik terhadap birokrasi daerah (politisasi birokrasi) untuk kepentingan politik pada aspek perencanaan dan pelaksanaan anggaran; 2) Adanya ketergantungan pejabat birokrasi terhadap pejabat politik dalam penyelenggaraan birokrasi didaerah terutama karena peraturan kepegawaian yang menempatkan Bupati (pejabat politik) sebagai pejabat pembina kepegawaian yang menentukan karier pejabat birokrasi dibawahnya; 3) Belum ada formulasi yang jelas pola hubungan tugas, wewenang, tanggung jawab, dan kode etik yang menjamin terselenggaranya pola hubungan yang harmonis dalam penyelenggaraan pemerintah daerah sehingga masih memberi ruang yang besar untuk upaya politisasi birokrasi di daerah.

Ketiga, penelitian tesis Putranti (2004) tentang Proses Pemilihan Kepala

Daerah Di Bawah UU Nomor 22 Tahun 1999: Studi Kasus Pemilihan Bupati/ Wakil Bupati Karanganyar, Jawa Tengah, menyimpulkan bahwa: 1) proses pemilihan Bupati dan Wakil Bupati kurang sesuai dengan UU Nomor 22 Tahun 1999 dan PP Nomor 151 Tahun 2000; 2) terdapat partisipasi masyarakat yang besar dalam pelaksanaan pilkada kabupaten karanganyar tahun 2002; 3) rekrutmen calon bupati oleh elite politik dilakukan secara tertutup sehingga membatasi calon yang berasal dari luar partai. 4) ada intervensi pemerintah pusat yang mengakibatkan kewenangan DPRD untuk memilih dan menetapkan kepala daerah dan wakilnya sangat terbatas. 5) panitia pemilihan tidak sesuai dengan ketentuan PP Nomor 151 Tahun 2000 yang mengakibatkan dibatalkannya pembuktian hasil uji publik oleh Mendagri.

Keempat, penelitian tesis Wahyuni (2006)9 mengenai netralitas PNS dalam Pilkada Langsung di Kabupaten Tabanan, Bali menunjukkan bahwa perilaku

9 Wahyuni, Gusti Agung Sri (2006). Netralitas Pegawai Negeri Sipil Dalam Pemilihan Kepala Daerah

(7)

birokrasi tidak netral disebabkan karena kurangnya integritas, komitmen, profesionalitas, dan kompetensi PNS10.

Kelima, Sudiman (2009) dalam disertasi berjudul ‘Netralitas Birokrasi Dalam

Politik: Studi Kasus Tentang Netralitas PNS Dalam Pemilihan Kepala Daerah Sulawesi Selatan Tahun 2007 dan Banten Tahun 2006’ menyimpulkan: 1) Implementasi netralitas aparatur birokrasi yaitu PNS pada kedua kasus Pilkada tidak terbukti. PNS yang seharusnya berlaku netral dalam Pilgub menjadi partisan dengan keterlibatannya untuk memberikan dukungan kepada cagub dan cawagub ; 2) Faktor yang mempengaruhi terjadinya pelanggaran netralitas PNS adalah isu primordialisme dan patron-client; 3) Bentuk pelanggaran netralitas PNS adalah penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan melalui penggunaan fasilitas dan penggunaan anggaran untuk pemenangan.

Keenam, Azhari (2011) meneliti intervensi pejabat politik terhadap pejabat

birokrasi di Indonesia dan Malaysia. Dalam penelitian disertasi berjudul ‘Mereformasi Birokrasi Publik Indonesia: Studi Perbandingan Intervensi Pejabat Politik Terhadap Pejabat birokrasi di Indonesia dan Malaysia’ tersebut menyimpulkan: 1) Sabah mengikuti model bureaucratic sublation dari Carino; 2) Sulawesi Tenggara mengikuti model executive ascendency.

Dari beberapa penelitian di atas diketahui bahwa ketidak-netralan birokrasi di lingkungan pemerintah daerah dapat terjadi pada saat pemilihan kepala daerah (Putranti, 2004; Wahyuni, 2004; Sudiman, 2009) dan setelah kepala daerah terpilih (LAN, 2004; Hartoto, 2004; Azhari, 2011). Dari hasil penelitian-penelitian itu juga diketahui bahwa netralitas birokrasi sulit untuk diwujudkan.

Berdasarkan hasil beberapa penelitian yang telah disebutkan, penulis mengajukan judul penelitian disertasi yaitu: Pola Netralitas Birokrasi Pemerintah:

Studi Kasus Pemilihan Kepala Daerah Di Kabupaten Karanganyar Propinsi Jawa Tengah Tahun 1997-2008 (Era Orde Baru, Era Transisi, dan Era Reformasi).

10 Penelitian tesis netralitas birokrasi oleh Herdhayana, Agus (2002). Netralitas Birokrasi: Studi

Kasus Birokrasi Pemerintah Kota Cirebon, Tesis MAP-UGM, Yogyakarta, menyimpulkan bahwa

(8)

Alasan pemilihan momentum Pilkada sebagai kegiatan kenegaraan untuk studi netralitas birokrasi adalah karena Pilkada merupakan entry point hadirnya pemimpin birokrasi dari domain politik. Netralitas birokrasi pada momentum saat pemilihan kepala daerah meliputi dua kejadian, yaitu proses sebelum dan pada saat pemilihan berlangsung. Sedangkan momentum setelah kepala daerah terpilih adalah melihat bagaimana tindakan kepala daerah terhadap mesin birokrasi yang dipimpinnya.

Kedua momentum itu sama penting karena pada proses sebelum dan saat pemilihan merupakan proses awal rekrutmen seorang pemimpin tertiggi disuatu pemerintah daerah yang akan sangat menentukan perjalanan selanjutnya. Jika pada proses perekrutan pemimpin itu telah mengindahkan kaidah-kaidah netralitas birokrasi maka diyakini kepala daerah terpilih akan dapat melaksanakan amanah jabatan dengan maksimal, memberikan yang terbaik untuk rakyat. Namun jika tidak netral maka ia akan tersandera oleh janji, kesanggupan, maupun deal-deal tertentu dengan pihak partai atau kekuatan politik sehingga kepentingan rakyat sebagai tujuan utama terabaikan. Hal yang sama juga terjadi pada momentum setelah kepala daerah terpilih, maksudnya jika kepala daerah tidak netral dalam melaksanakan tugasnya maka kepentingan rakyat sebagai tujuan utama akan terabaikan pula.

Alasan pemilihan Kabupaten Karanganyar sebagai lokus studi netralitas birokrasi adalah:

1) Besarnya jumlah pemerintah daerah di Indonesia yang terdiri atas 34 provinsi, 410 kabupaten, dan 98 kota tidak mungkin untuk diteliti semuanya. Dari ketiga jenis pemerintah daerah, Kabupaten merupakan jenis Pemda yang paling banyak jumlahnya;

2) Di Indonesia, jumlah Kabupaten terbanyak terdapat di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur, yaitu masing-masing 29 Kabupaten11. Di Provinsi Jawa Tengah dari 29 terdapat empat Kabupaten yang dipimpin oleh kaum wanita

(9)

dimana hal tersebut merupakan hal yang relatif baru sebagai dampak positif laju demokratisasi yang tengah berlangsung di Indonesia. Empat Kabupaten yang dimaksud adalah Brebes (Idza Priyanti-Bupati Brebes 2012-2017), Kendal (Widya Kandi Susanti-Bupati Kendal 2010-2015), Kebumen (Rustriningsih-Bupati Kebumen 2000-2005 dan 2005-2010), dan Karanganyar (Rina Iriani-Bupati Karanganyar 2003-2008 dan 2008-2013).

3) Kabupaten Kebumen dan Karanganyar memiliki kesamaan, yaitu: Bupatinya wanita, memimpin dua periode, dan pemilihan mereka terjadi pada dua era yang berbeda. Sedangkan perbedaannya adalah bahwa di Kabupaten Karanganyar saat Pilkada tahun 2002 (era transisi) ditengarai terjadi ketidaknetralan birokrasi yang nyata oleh ketua DPRD akibat intervensi pimpinan partai politik sehingga mengakibatkan penundaan pelantikan bupati selama setahun.

Selanjutnya, persamaan dan perbedaan penelitian yang telah disebutkan dengan disertasi ini adalah sebagai berikut:

1) Penelitian ‘Netralitas Birokrasi’ oleh Tim Peneliti Lembaga Administrasi Negara (LAN) Tahun 2004.

Persamaan:

Persamaan penelitian yang dilakukan Tim Peneliti LAN dengan disertasi ini adalah pada tema penelitian, yaitu mengenai netralitas birokrasi.

Perbedaan:

Perbedaan penelitian yang dilakukan Tim Peneliti LAN dengan disertasi ini adalah:

Tujuan penelitian LAN adalah: 1) Mengidentifikasi faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi netralitas birokrasi; 2) Menyusun strategi yang perlu dikembangkan untuk menumbuhkan netralitas birokrasi. Tujuan tersebut dijawab dengan menggali informasi tentang: 1) Intervensi kelompok kepentingan khusus aspirasi politik Pegawai Negeri, yaitu melihat ada

(10)

tidaknya tekanan dari atasan (yang merupakan pejabat politik) kepada PNS untuk memilih salah satu partai politik pada saat Pemilu, pelayanan birokrasi, dan pembuatan kebijakan; 2) Intervensi kelompok kepentingan umum aspirasi pegawai negeri, yaitu melihat ada tidaknya tekanan dari kelompok masyarakat atau umum kepada PNS untuk memilih salah satu parpol saat Pemilu, pelayanan birokrasi, dan pembuatan kebijakan; 3) Kompetensi/Profesionalitas birokrasi dalam perumusan pilihan kebijakan, yaitu melihat tingkat pelibatan masyarakat terhadap penyusunan kebijakan pemerintah dan prosentase pejabat yang sudah mengikuti diklat penjenjangan. Penelitian dilakukan di: 1) Prov. Maluku Utara; 2) Kota Ternate; 3) Kab. Halmahera; 4) Prov. Sumatera Barat; 5) Kota Padang; 6) Kota Sawah Lunto; 7) Prov. Jambi; 8) Kota Jambi; 9) Kab. Batanghari; 10) Prov. Sulteng; 11) Kota Palu; dan 12) Kab. Donggala. Sedangkan tujuan penelitian disertasi ini adalah: 1) Menganalisis pola netralitas birokrasi pemerintah yang terjadi dalam penyelenggaraan Pilkada Kabupaten Karanganyar tahun 1997-2008; 2) Menganalisis faktor yang menyebabkan sulitnya mewujudkan netralitas birokrasi dalam penyelenggaraa Pilkada Kabupaten Karaganyar.

2) Penelitian ‘Pejabat Politik dan Pejabat Birokrasi: Studi Pola Hubungan Penyelenggaraan Birokrasi di Kabupaten Sukaharjo, Jawa Tengah’ oleh Hartoto Tahun 2004 (Tesis MAP UGM).

Persamaan:

Persamaan penelitian yang dilakukan Hartoto dengan disertasi ini adalah pada tema penelitian, yaitu mengenai netralitas birokrasi dengan cara melihat ada tidaknya intervensi politik terhadap birokrasi daerah. Salah satu kesimpulan dari hasil penelitian tersebut adalah bahwa terjadi intervensi politik terhadap birokrasi daerah (politisasi birokrasi) untuk kepentingan politik pada aspek perencanaan dan pelaksanaan anggaran.

(11)

Perbedaan:

Penelitian yang dilakukan Hartoto berfokus pada penyelenggaraan birokrasi di Kab. Sukoharjo Prov. Jawa Tengah, sedangkan disertasi ini fokus pada penyelenggaraan pemilihan kepala daerah.

3) Penelitian ‘Proses Pemilihan Kepala Daerah Di Bawah Undang-Undang Nomor 22

Tahun 1999 (Studi Kasus Pemilihan Bupati/Wakil Bupati Karanganyar). oleh

Dwiputranti Tahun 2004 (Tesis MAP UGM). Persamaan:

Persamaan penelitian yang dilakukan Dwiputranti dengan disertasi ini adalah keduanya mencermati Proses Pemilihan Kepala Daerah Kab Karanganyar Tahun 2002.

Perbedaan:

Selain mencermati Proses Pemilihan Kepala Daerah Kab Karanganyar Tahun 2002, disertasi ini juga mencermati Proses Pemilihan Kepala Daerah Kab Karanganyar Tahun 1997 dan 2008.

4) Penelitian ‘Netralitas Pegawai Negeri Sipil Dalam Pemilihan Kepala Daerah Secara

Langsung: Studi Kasus di Kabupaten Tabanan’ oleh Gusti Agung Sri Wahyuni

Tahun 2006 (Tesis MAP UGM). Persamaan:

Persamaan penelitian yang dilakukan Gusti Agung Sri Wahyuni dengan disertasi ini adalah keduanya mencermati Proses Pemilihan Kepala Daerah (Bupati dan Wakil Bupati).

Perbedaan:

Penelitian Wahyuni mencermati Proses Pemilihan Kepala Daerah Kab Tabanan (satu kali pemilihan), sedangkan disertasi mencermati tiga proses Pemilihan Kepala Daerah Kab Karanganyar yaitu Tahun 1997, 2002, dan 2008.

(12)

5) Penelitian ‘Netralitas Birokrasi Dalam Politik: Studi Kasus Tentang Netralitas PNS

Dalam Pemilihan Kepala Daerah Sulawesi Selatan Tahun 2007 dan Banten Tahun 2006’ oleh Sudiman Tahun 2009 (Disertasi FISIPOL UI).

Persamaan:

Persamaan penelitian yang dilakukan Sudiman dengan disertasi ini adalah pada tema penelitian, yaitu mengenai netralitas birokrasi dalam pemilihan Kepala Daerah.

Perbedaan:

Penelitian Sudiman mencermati Netralitas PNS Dalam Pemilihan Kepala Daerah (Gubernur dan Wakil Gubernur) di dua provinsi, yaitu Prov. Sulawesi Selatan Tahun 2007 dan Prov. Banten Tahun 2006, sedangkan disertasi mencermati tiga proses Pemilihan Kepala Daerah Kab Karanganyar yaitu Tahun 1997, 2002, dan 2008.

6) Penelitian ‘Mereformasi Birokrasi Publik Indonesia: Studi Perbandingan Intervensi

Pejabat Publik Terhadap Pejabat Birokrasi di Indonesia dan Malaysia’ oleh Azhari

Tahun 2011 (Disertasi FISIPOL UGM). Persamaan:

Azhari mengambil tema penelitian yang hampir sama dengan penelitian disertasi ini yaitu intervensi pejabat publik terhadap pejabat birokrasi.

Perbedaan:

Azhari mencermati intervensi pejabat publik terhadap pejabat birokrasi yang terjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi Sulawesi Tengah dan Negara Bagian Sabah Malaysia sebagai perbandingan. Sedangkan disertasi mencermati netralitas birokrasi pemerintah yang terjadi pada tiga proses Pemilihan Kepala Daerah Kab Karanganyar yaitu Tahun 1997, 2002, dan 2008.

(13)

1.2. PERUMUSAN MASALAH

Sesuai identifikasi yang telah disampaikan di latar belakang bahwa netralitas birokrasi di Indonesia pada umumnya belum dapat diwujudkan. Untuk itu, tesis yang dikemukakan adalah bahwa dalam penyelenggaraan Pilkada Kabupaten Karaganyar dari sistem otoritarian orde baru tahun 1997, ke sistem politik transisi tahun 2002, dan sistem demokrasi era reformasi tahun 2008 terjadi perubahan pola netralitas birokrasi.

Dari tesis tersebut dirumuskan masalah dalam penelitian ini, yaitu:

Apakah terjadi perubahan pola netralitas birokrasi dalam pergeseran penyelenggaraan pilkada Kabupaten Karanganyar Provinsi Jawa Tengah dari sistem otoritarian orde baru ke sistem politik transisi, dan demokrasi era reformasi ?

Untuk menjawab pertanyaan penelitian yang utama tersebut, dibuat tiga sub pertanyaan yaitu:

a. Bagaimana pola netralitas birokrasi dalam Pilkada Kab. Karanganyar era otoritarian orde baru, transisi, dan reformasi ?

b. Apakah netralitas birokrasi terwujud dalam Pilkada Kab. Karanganyar Tahun 1997-2008 ?

c. Mengapa terjadi hambatan dalam melaksanakan netralitas birokrasi?

1.3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

Tujuan dan manfaat dari penelitian ini adalah:

1.3.1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian terdiri atas tujuan umum (praktis) dan khusus (akademis). Tujuan umum penelitian adalah mengetahui penyebab terjadinya perubahan pola netralitas birokrasi dalam pergeseran penyelenggaraan pilkada Kabupaten Karanganyar Tahun 1997-2008. Sedangkan tujuan khusus penelitian adalah:

(14)

a. Menganalisis pola netralitas birokrasi yang terjadi dalam penyelenggaraan Pilkada Kabupaten Karanganyar tahun 1997- 2008.

b. Mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan sulitnya mewujudkan netralitas birokrasi dalam penyelenggaraan Pilkada Kabupaten Karanganyar Tahun 1997-2008.

1.3.2. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

a. Updating informasi fakta pola netralitas birokrasi dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah dalam sistem otoritarian orde baru, transisi, dan sistem demokrasi era reformasi bagi pengembangan ilmu manajemen dan kebijakan publik.

b. Sumbangan pemikiran tentang netralitas birokrasi dalam penyelenggaraan Pilkada Kabupaten secara langsung bagi perumusan kebijakan.

c. Sebagai salah satu persyaratan untuk menyelesaikan Program Doktor Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada.

Referensi

Dokumen terkait

hubungan yang memuaskan pada kondisi pasar pembeli, nasabah dapat memilih macam tawaran produk atau jasa bank, bank harus dapat memberikan kualitas pelayanan yang baik dan

Gagasan merupakan proses permulaan yang memiliki beberapa tahap yaitu pengenalan dan pembatasan masalah yang dilakukan dengan interview atau wawancara. Dalam proses

Untuk itu guna mengantisipasi akan adanya kegagalan proses maka PT.XYZ menerapkan Quality management System ISO/TS 16949 dengan tools yang digunakan seperti FMEA (

Apabila ditemukan pasien mengantisipasi dan mencegah terjadinya pasien jatuh dengan hasil screening dengan skor berisiko jatuh maka dengan atau tanpa cidera perlu

Sesuai dengan fokus masalah yang akan diteliti yaitu bagaimana erotisme ditampilkan dalam lirik lagu “Cinta Satu Malam”, “Mojok di Malam Jumat”, dan “Aw Aw”

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan yaitu data analog gelombang otak dapat digunakan sebagai perintah untuk menghidupkan atau

Struktur pasar monopolistik terjadi manakala jumlah produsen atau penjual banyak dengan produk yang serupa/sejenis, namun di mana konsumen produk tersebut

Jika tim lapangan tidak dapat menggunakan transek sama sekali akibat kondisi lingkungan yang ekstrim, kami merekomendasikan metode survei renang jauh yang didesain khusus