• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I Skripsi Jurusan Komunikasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I Skripsi Jurusan Komunikasi"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS WACANA PEMBERITAAN MEDIA MASSA TENTANG ISU PRO KONTRA RENCANA PENGESAHAN RUU ANTI PORNOGRAFI DAN

PORNOAKSI (RUU APP) TAHUN 2006 (Kasus Di Majalah Berita Mingguan TEMPO)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

“Syariat Islam Di Jalur Lambat” demikian judul pada majalah Tempo edisi 8-14 Mei 2006 rubrik Nasional Syariat Islam Di Daerah. Dari pembahasannya memang Tempo secara detail mengungkapkan bagaimana pelaksanaan ‘Perda Syariat’ di kabupaten dan kota. Namun yang menarik adalah tampilan gambar ukuran setengah halaman pada majalah Tempo adalah gambar wanita yang melakukan demonstrasi seraya membawa foster betuliskan “Pornografi & Pornoaksi Membuat Rakyat Bejat”. Caption yang diberikan oleh Tempo bahwa demonstrasi tersebut dilakukan oleh mereka yang mendukung pengeahan RUU APP menjadi UU. Memang, dari gambar bendera yang terdapat pada foster itu dapat diketahui bahwa demonstran itu berasal dari Hizbut Tahrir organisasi Islam yang ingin menegakan khilafah Islamiyah/ideologi islam.

Berita di atas juga dilengkapi dengan pengungkapan hasil temuan yang dilakukan oleh Koalisi Perempuan Indonesia Dan Riset yang menunjukan bahwa 22 kota dan kabupaten memberlakukan peraturan daerah yang bernuansa syariat Islam.

Bagaimana Tempo melihat peraturan daerah yang bernuansa syariat ini, dapat dilihat pada judul lain. Berita dengan judul “Jika Malam Selalu Mencemaskan” Tempo mengungkapkan bagaimana pelaksanaan perda syariat yang dimaksud diterapkan dalam masyarakat. Dari lead beritanya Tempo mengungkapkan “melaksanakan peraturan antipelacuran, petugas ketertiban di kota Tenggerang sering salah tangkap. Karyawan perempuan jadi cemas pulang malam”. Pada berita ini Tempo menceritakan bagaimana Lia,

(2)

karyawan pabrik permen yang ditangkap oleh aparat kepolisian setelah pulang kerja karena dianggap pelacur. Berita Tempo ini terkesan tendensius, karena setalah membaca berita itu akan terbangun kesan bahwa pelaksanaan perarturan daerah yang bernuansa syariat itu tidak menciptakan keamanan sebagaimana tujuan pembuatan hukum itu tapi malah justru menimbulkan keresahan masyarakat khususnya wanita yang menjadi objek.

Lantas apa kaitannya penampilan gambar demonstran wanita yang mendukung pengesahan RUU APP menjadi UU itu dengan isu perda bernuansa syariat Islam. Secara sederhana dapat diambil kesimpulan bahwa Tempo melihat adanya hubungan antara rencana pengesahan RUU itu dengan syariat islam yang menurutnya “di jalur lambat” itu. Lalu bagaimana sikap Tempo terhadap rencana pengesahan RUU APP itu sendiri?

Tempo dalam hal ini tak bisa lepas dari pembahasan RUU APP yang tengah menghangat ini khususnya setelah Balkan Kaplale selaku ketua pansus RUU dari Partai Demokrat tersebut tancap gas untuk mengesahkannya. Namun, hingga kini RUU tersebut belum disahkan. Lambannya pengesahan RUU ini dari waktu yang ditergetkan (akhir Juli 2006) karena RUU itu menimbulkan perdebatan alot. RUU tersebut menimbulkan bipolarisasi dalam masyarakat, antara yang menolak pengesahannya dan yang mendukung.

Mereka yang menolak RUU APP antara lain terdiri dari Kelompok Masyarakat Arus Pelangi, Islam Liberal, Jiwa Merdeka, Srikandi Demokrasi Indonesia, Solaris, Aliansi Mawar Putih, JP Online, Pokja Perempuan Mahardhika, Yayasan Jurnal Perempuan, Senjata Kartini, Seknas Koalisi Perempuan Indonesia, Komnas Perempuan, Kalyanamitra, dan Kepak Perempuan1

Alasan mereka menolak RUU itu adalah karena bangsa Indonesia adalah negara multi-etnis dan multi-kepercayaan yang tentu saja memiliki banyak perbedaan di sana sini dalam mempersepsikan suatu hal. Mereka juga beralasan bahwa penyusunan RUU itu menggunakan paradigma berpikir yang "machoistik", bahwa lelaki selalu benar dan bahwa perempuanlah yang berkewajiban menjaga birahi dan moralitas laki-laki. RUU APP –kata mereka- bersifat misoginis, yaitu sikap membenci, menaklukkan, dan merepresi keberadaan budaya dan spiritualitas perempuan.

(3)

Logika pembuatan RUU itu-menurut mereka-adalah logika patriarkis, yaitu logika yang menganggap nilai-nilai yang melekat pada laki-laki lebih baik daripada perempuan. Menurut logika patriarkis atau phalus di dalam RUU ini, seksualitas dan tubuh penyebab pornografi dan pornoaksi merupakan seksualitas dan tubuh perempuan; bahwa dengan membatasi seksualitas dan tubuh perempuan maka akhlak mulia, kepribadian luhur, kelestarian tatanan hidup masyarakat tidak akan terancam; dan seksualitas dan tubuh perempuan didikotomikan sebagai kotor (perempuan) dan suci (Tuhan). Selain itu ada juga yang khawatir RUU ini menjadi sebentuk penerapan Hukum Islam.

Adapun mereka yang mendukung Undang-Undang Antipornogarfi Dan Pornoaksi antara lain Pengurus Pusat Muslimat Nahdlatul Ulama, Front Pembela Islam (FPI), Pengurus Besar Nahdlotul Ulama (PBNU), Muhammadiyyah, Hizbut Tahrir (HT), Majelis Ulama Indonesia (MUI), Hidayatullah, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Swaramuslim.net, Gema Nusa, KAMMI, Gerakan Angkatan Muda Muhammadiyah Antipornografi dan Pornoaksi (Geram APP).

Bagi mereka yang mendukung beralasan bahwa RUU APP itu justru berusaha melindungi dari berbagai macam exploitasi. wanita menjadi objek pornografi dan pornoaksi. Bahkan di dunia periklanan sendiri lebih banyak mengekploitasi wanita. Eksploitasi tubuh wanita seakan sudah menjadi prasyarat agar produk iklan itu sendiri digemari masyarakat. Di sini kaum wanita dipandang menarik, eksotis dan mengandung unsur seni. Semua kenyataan ini bukan mengangkat derajat wanita itu sendiri tapi justru wanita dijadikan tools untuk mendongkrak kepentingan mencari untung (profit).

Mereka berpandangan bahwa pornografi bukan urusan agama saja tapi negara. Hal ini pernah diungkapkan oleh Ade Armando Ketua Jurusan Komunikasi Universitas Indonesia. Dalam wawancara dengan Ulil Abshor Abdalla dari Jaringan Islam Liberal (JIL) tanggal 15 Mei 2003. Dia mengatakan bahwa pornografi itu bukan urusan agama saja. Bahkan, di negara-negara yang sangat sekuler pun, ada pengaturan masalah pornografi. Sebagai contoh, majalah Playboy dan Penthouse tidak akan ditemukan di Singapura karena

(4)

ada regulasi yang melarangnya. Begitu pula di negara-negara bagian di Amerika seperti Utah, Calipornia dan lain-lain. Yang penting (pengaturan) pornografi itu tidak merugikan masyarakat. Karena itu, harus ada kesepakatan tentang gradasi pornografi. Harus ada pornografi yang jelas disepakati oleh siapa pun sebagai sesuatu yang tidak boleh sama sekali. Intinya harus ada regulasi, dan regulasi itu yang mengeluarkan adalah pemerintah.2

Meraka para pendukung RUU APP menyatakan bahwa sanksi sosial selama ini tidak memadai sehingga perlu adanya RUU khusus yang mengatur masalah pornografi dan pornoaksi yang disertai sanksi tegas bagi pelanggarnya. Mereka merisaukan dampak negatif pornografi dan pornoaksi yang tak dapat dinafikan lagi. Hal ini pernah dilontarkan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dalam sikap resminya tentang Rancangan Undang Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP). Ormas Islam terbesar di Indonesia ini mendukung penuh agar RUU itu segera disahkan menjadi undang-undang. Sikap mendukung itu ditegaskan oleh Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi dalam pernyataan pers yang ditandatanganinya bersama Sekjen PBNU Endang Turmudzi, Rois Aam PBNU KH Sahal Mahfudz, dan Katib (Sekretaris) PBNU Nasaruddin Umar. Menurut Hasyim, “DPR tidak perlu ragu mengambil keputusan berdasar kepentingan bangsa yang mayoritas mutlak dengan penuh ketegaran dan kearifan, demi keselamatan moral masyarakat dan generasi muda”. Dalam pandangan PBNU, tambah Hasyim dalam pernyataan tertulis yang dikirimkan ke berbagai media massa itu, tidak ada satu agama pun yang menoleransi pornografi3.

Mereka berharap RUU APP itu menjadi dasar etika bangsa yang berakhlak dan beradab. Untuk menyelematkan generasi sekarang dan mendatang dari kerusakan moral. Pornografi dan pornoaksi --kata mereka—merupakan penyimpangan dalam mempertunjukkan sisi-sisi keindahan tubuh manusia sebagai karunia Tuhan dengan melanggar norma agama sebagai aturan Tuhan, dan mengikis budaya santun, serta malu yang merupakan watak budaya ketimuran. Penyimpangan seperti itu tidak selayaknya dibiarkan karena sikap itu sama saja dengan menjerumuskan masyarakat ke dalam kubangan kebebasan yang kebablasan dan membiarkannya terjerumus lebih dalam lagi

(5)

kepada pola hidup serba boleh. Penyakit pornografi dan pornoaksi yang ada di masyarakat telah mencapai stadium yang mengerikan.

Pengesahan RUU APP diyakini sebagai solusi atas berbagai masalah moral bangsa yang semakin merosot, meluasnya free sex, semakin maraknya aksi pornografi dan pornoaksi, kekerasan sekaligus pelecehan seksual kepada perempuan.

Bagi mereka yang mendukung RUU APP itu beralasan bahwa bahwa KUHP, RUU Perlindungan Anak, dan UU No. 40 tentang pers tahun 1999 jelas tidak memadai sebab jika UU itu memadai tentunya praktek pornografi dan pornoaksi tidak terjadi di Indonesia. Justru yang terjadi adalah semakin meluasnya dampak negatif pornografi seperti perilaku seksual bebas, pelecehan seksual, perilaku seks menyimpang, penyebaran HIV/AIDS, seks permisif di kalangan generasi muda, dan aborsi, sudah banyak dirasakan masyarakat. Intinya peraturan yang sudah ada tak cukup mampu menangani kasus pornografi dan pornoaksi dan karena itu pula perlu adanya regulasi khusus yang mengaturnya. Demikianlah polemik tentang rencana pengesahan RUU itu yang sampai saat ini masih terjadi. Lalu bagaimana politik pemberitaan yang dilakukan oleh majalah Tempo sebagai pengejawantahan dari sikapnya terhadap masalah RUU yang kontroversial itu.

Hal ini dapat dilihatat dari keseluruhan pemberitaan majalah Tempo tentang RUU APP. Sepanjang tahun 2006 majalah Tempo memberitakan masalah RUU APP antara bulan Januari samapai Mei. Format berita yang diturunkannnya lebih banyak berbentuk kolom yang ditulis oleh Jim Supangat (kurator seni rupa di Jakarta) Mudji Sutrisno ( budayawan, pengajar pada Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara), Radhar Panca Dahana (sastrawan), Jaya Suprana (budayawan, Ketua Pusat Studi Kelirumologi), Ayu Utami (penulis), Mohammad Guntur Romli (aktivis JIL), wawancara dengan Balkan Kaplale dan berita mendalam (Indepth News) tentang syariat Islam di daerah.

Bila dicermati politik pemberitaan Tempo, diketahui bahwa Tempo lebih banyak memuat wacana yang mendukung RUU APP dengan memuat pendapat-pendapat mereka yang menolak pengesahan RUU APP. Tidak satupun kolom yang berasal dari mereka yang mendukung RUU APP.

(6)

Mengapa pemberitaan Tempo seperti itu? Menjawab pertanyaan ini patut diungkap disini pendapat Antonio Gramsci (m.1891-1937). Menurutnya media menjadi arena pertarungan bagi kedua pihak yang bersebrangan. Gramsci melihat media sebagai ruang tempat berbagai ideologi direpresentasikan. Ini berarti di satu sisi media bisa menjadi sarana penyebaran ideologi penguasa, alat legitimasi, dan kontrol atas wacana publik. Namun, di sisi lain media bisa juga menjadi alat resistensi terhadap kekuasaan. Media bisa menjadi alat untuk membangun kultur dan ideologi yang dominan, sekaligus bisa juga menjadi instrumen perjuangan bagi kaum tertindas untuk membangun kultur dan ideologi tandingan. Media massa bukan sesuatu yang bebas, independen, tetapi memiliki keterkaitan dengan realitas sosial, lebih jelasnya ada kepentingan yang bermain dalam media massa.

Di samping kepentingan ideologi antara masyarakat dengan negara, dalam diri media massa juga terselubung kepentingan yang lain, misalnya kepentingan kapitalisme, pemilik modal, kepentingan keberlangsungan (sustainable) lapangan kerja bagi karyawan. Dalam kondisi dan profesi seperti ini, media massa tidak mungkin berdiri statis, di tengah-tengah. Dia akan bergerak dinamis di antara pusaran-pusaran kepentingan yang sedang bermain. Kenyataan inilah yang menyebabkan bias di media massa sulit dihindari4.

Dedi N. Hidayat mengatakan bahwa media memiliki fungsi ideologis dan melakukan manuver politik sesuai dengan fungsi ideologisnya. Ini akan mencakup masalah siapa, kepentingan apa, dan perspektif mana yang akan memeperoleh akses ke media.5

Majalah Tempo adalah salah satu dari sekian banyak media yang tak bisa lepas dari segala atribut kepentingannya. Tempo menjadi medium penyebaran ideologi dan kontrol atas wacana yang berkembang. Ketika menghadapi realitas media massa seperti ini, masyarakat pun harus mengimbanginya dengan cara menyikapinya secara kritis, tidak asal menerima berita yang disajikan tanpa reserve.

B. Perumusan Masalah

Ketika menghadapi realitas pemberitaan Tempo seperti digambarkan di latar belakang, konsekuensinya masyarakat pun harus mengimbanginya dengan cara menyikapinya secara kritis, tidak asal menerima berita yang disajikan tanpa reseve. Oleh karena itu, menguak

(7)

kepntingan/ideologi suatu media bukan hanya penting tapi juga perlu. Sebab, berangkat dan atas dasar inilah pemberitaan media massa mana pun dilakukan. Dengan begitu, social criticism yang emansipatoris dapat dilakukan.

Majalah Tempo adalah majalah berita yang terbesar di Indonesia dan juga majalah tertua. Selain itu Tempo juga tersebar ke beberapa negara Eropa dan Asia. Hal ini dapat dlihat dan dibuktikan dari pembuatan majalah Tempo dalam versi bahasa Jepang, Mandarin dan Inggris. Dengan begitu proses penyebaran wacana yang didasari oleh ideologi atau vested intersest itu dapat berjalan secara luas pula. Tentu menjadi kepentingan bersama untuk mengetahui ideologi atau kepentingan apa di balik semua wacana dalam pemberitaan majalah Tempo seputar RUU APP, wacana apa yang mendominasi dan dipinggirkan di majalah Tempo seputar rencana pengesahan RUU dan strategi apa yang digunakan olehnya untuk tujuan itu.

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bermaksud untuk mengetahui wacana dominan dan wacana yang dimarginalkan dalam pemberitaan majalah Tempo terkait rencana pengesahan RUU APP tahun 2006.

D. Manfaat Penelitian

a. Manfaaat Paraktis

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu masyarakat dalam memahami secara kritis wacana yang ada di media massa. Selain itu penelitian ini juga membantu menjelaskan wacana yang dikembangkan oleh Tempo terkait dengan isu pro kontra pengesahan Rancangan Undang-Undang Antipornogarfi dan Pornoaksi (RUU APP) tahun 2006.

a. Manfaat Teoretis

Secara teoritis penelitian ini bermaksud mengkaji penerapan analisis wacana sebagai salah satu teori analisis teks media dalam konteks penelitian media massa di Indonesia.

(8)

E. Kerangka Teori

Idologi Dalam Pandangan Markisme

Ideologi -Dalam konsepsi Marx6- adalah sebentuk kesadaran palsu (Fals Consciousness)7. Kesadaran seseorang, dan bagaimana mereka menghubungkan dirinya dengan masyarakat dibentuk diproduksi oleh masyarakat, tidak oleh biologi yang alamiah. Keasadaran kita tentang realitas sosial ditentukan oleh masyarakat, tidak oleh psikologi individu. Mark dan Engel -seperti dikutip oleh Douglas Kellner–mengarakterkan ideologi sebagai ide kelas penguasa (The Ruling Class) yang memperoleh dominasi (dominance) pada era tertentu.8

Seorang Marxis struktruralis, Louis Althusser berpandangan bahwa kehidupan manusia sebagai subjek identik dengan subjek bagi struktur, di mana struktur tadi bukan ciptaannya melainkan kelompok atau kelas tertentu. Karena struktur itu diciptakan untuk dan identik dengan kepentingan kelompok penciptanya, individu-individu di sini dikatakan sebagai subjek bagi struktur tidak lain adalah pelayanan kepentingan dari kelas tertentu yang menciptakan struktur tersebut.

Ideologi dalam pandangan Althusser bukan hanya membutuhkan subjek tetapi juga menciptakan subjek. Bagaimana caranya? Individu hanya eksis sebagai subjek dalam ideologi, menempatkan seseorang pada suatu identitas atau posisi imajiner tertentu. Dalam konsepsi Althusser, ideologi menempatkan seseorang bukan hanya posisi tertentu dalam suatu relasi sosial tetapi juga hubungan individu dengan relasi sosial tersebut. Dan relasi tersebut bersifat imajiner karena ia bekerja melalui pengenalan/pengakuan dan identifikasi untuk menempatkan atau menyapa seseorang dalam posisi tertentu. Ideologi menginterpelasi individu sebagai subjek dan menempatkan seseorang dalam posisi tertentu.

Interpelasi sebagaimana yang dikatakan oleh Althusser tadi bukan hanya terjadi pada pembicaraan interpersonal saja, tapi juga di media massa. Bahkan menurut Tolson seperti yang dikutip Eriyanto, teks media selalu menyapa seseorang dan menempatkan seseorang ketika harus membaca atau melihat suatu teks. Kenapa? Karena teks media pada

(9)

dasarnya ditujukan bukan untuk dirinya sendiri, pesan media pada dasarnya ditujukan untuk berkomunikasi dengan khalayak9.

Kalau dipahami teori interpelasi yang diajukan oleh Althusser (m.1918-1990), ia menekankan bagaimana kekuatan kelompok dominan mengontrol kelompok lain. Maka timbul pertanyaan, bagaimana penyebaran ideologi itu dilakukan? Menjawab pertanyaan ini, patut dikemukakan teori hegemoni yang dikemukakan oleh Anthonio Gramsci. Secara singkat, hegemoni melibatkan memenangkan dan memenangkan kembali secara terus menerus kesepakatan di kalangan mayoritas terhadap sistem yang menempatkan mereka sebagai subordinat.10. Jadi, dapat diambil kesimpulan bahwa teori Gramsci menekankan bahwa dalam lapangan sosial ada pertarungan untuk memperebutkan penerimaan publik.

Hegemoni diperlukan, dan harus bekerja begitu keras, karena pengalaman kelompok subordinat (apakah oleh kelas, gender, ras, umur atau pun faktor lain) terus menerus memberikan gambaran yang bertentangan dengan lukisan ideologi yang dominan yang di buat untuk mereka oleh mereka dan relasi sosialnya. Dengan kata lain ideologi dominan, terus menerus berhadapan dengan resistensi yang harus diatasinya dalam rangka memenangkan kesepakatan rakyat atas tatanan sosial yang dipromosikan.

Oleh karena itu, perlu usaha untuk untuk menyebarkan ideologi dan kebenarannya tersebut agar diterima tanpa perlawanan. Salah satu strategi kunci adalah mengkonstruksi “anggapan umum” (common sense). Jika ide atau gagasan dari kelompok dominan/berkuasa diterima sebagai anggapan umum (jadi tidak didasarkan pada kelas sosial), maka tujuan ideologisnya tercapai dan kerja ideologisnya pun tersembunyi.11. Hal senada dikemukakan oleh sejarawan asal Amerika, Todd Gitlin (1980) dengan mengacu pada hasil penelitiannya tentang berita di media massa. Gitlin mengemukakan bahwa,

“Hegemony is secured when those who control the dominant institutions impress their definitions upon the ruled. The dominant class controls ideological space and limits what is thinkable in society. Dominated classes participate in their domination, as hegemony enters into everything people do and think of as natural, or the product of common

(10)

sense-including what is news, as well as playing, working, believing, and knowing. Hegemonic ideology permeates the common sense that people use to understand the world and tries to become that common sense”12

Proses hegemoni ini terjadi dengan banyak cara dan terjadi di mana-mana. Intinya, ia terjadi manakala peristiwa atau teks ditafsirkan dengan cara yang mampu mengangkat kepentingan suatu terhadap yang lainnya. Ini dapat dibilang sebuah proses yang cerdik dengan menjadikan kepentingan kelompok subordinat menjadi pendukung kepentingan kelompok dominan.13

Walaupun istilah ideologi berbeda-beda, namun ia dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori, positif dan negatif. Secara positif ideologi dipersepsikan sebagai suatu pandangan dunia14 yang menyatakan nilai-nilai suatu kelompok tertentu untuk membela dan memajukan kepentingan-kepentingan mereka. Sedangkan secara negatif, ideologi dilihat sebagai kesadaran palsu, yaitu suatu kebutuhan untuk melakukan penipuan dengan cara memutarbalikan pemahaman orang mengenai realitas sosial. Demikianlah menurut Jorge Larrain (1996) ketika berbicara mengenai konsep ideologi15

Media: Representasi Kelompok Dominan

Jamess Lull mengatakan Ideologi adalah ungkapan yang paling tepat untuk mendeskripsikan nilai dan agenda publik dari bangsa, kelompok agama, kandidat dan pergerakan politik, organisasi bisnis sekolah, serikat buruh, bahkan regu olah raga profesional dan orkes rock.16 Termasuk juga media massa17.

Media massa setidak-tidaknya memiliki dua kepentingan utama di balik media, yaitu kepentingan ekonomi (economic interest) dan kepentingan kekuasaan (power interest), yang membentuk isi media (media content), informasi yang disajikan, dan makna yang ditawarkannya. Di antara dua kepentingan utama tersebut, ada kepentingan lebih dasar yang justru terabaikan, yaitu kepentingan publik. Media yang seharusnya berperan sebagai ‘ruang publik’ (public sphere), disebabkan oleh kepentingan-kepentingan di atas, justru mengabaikan kepentingan publik itu sendiri.

(11)

Kuatnya kepentingan ekonomi dan kekuasaan politik inilah yang sesungguhnya menjadikan media tidak dapat netral, jujur, adil, obyektif dan terbuka. Akibatnya, informasi yang disuguhkan oleh media telah menimbulkan persoalan ‘obyektivitas pengetahuan’ yang serius pada media itu sendiri. Kepentingan-kepentingan ekonomi dan kekuasaan politik akan menentukan apakah informasi yang disampaikan oleh sebuah media mengandung kebenaran (Truth) atau kebenaran palsu (Pseudo-Truth); menyampaikan obyektivitas atau subyektivitas; bersifat netral atau berpihak; merepresentasikan fakta atau memelintir fakta; menggambarkan realitas (Reality) atau mensimulasi realitas (simulacrum).

Karena peran yang penting dimainkan oleh media tersebut, menurut Stuart Hall, bahwa media massa adalah kunci utama dari sebuah pertarungan kekuasaan. Karena media massa adalah alat bagi kelompok The haves untuk mendapat dukungan dari kelompok the have-nots untuk memapankan status quo18. Stuart Hall yakin bahwa media berfungsi untuk melanggengkan dominansi mereka yang berada pada kekuasaan19. Dalam proses pembentukan realitas, Stuart Hall menekankan pada dua titik, yaitu bahasa dan penandaan politik. Penandaan politik disini diartikan sebagai bagaimana praktik sosial dalam membentuk makna, mengontrol, dan menentukan makna. Menurut Hall, media berperan dalam menandakan peristiwa atau realitas dalam pandangan tertentu, dan menunjukkan bagaimana kekuasaan ideologi di sini berperan – karena ideologi menjadi bidang di mana pertarungan dari kelompok yang ada dalam masyarakat20.

Dalam sebuah tulisannya, “The Rediscovery Of Ideology”: Return Of The Repressed In Media Studies.” Stuart Hall menyatakan, makna tidak tergantung pada struktur makna itu sendiri, tetapi lebih kepada praktek pemaknaan. Menurut Hall, makna adalah produksi sosial, suatu praktek konstruksi. Media massa menurut Hall, pada dasarnya tidak mereproduksi, melainkan menentukan (to define) realitas melalui pemakaian kata-kata terpilih. Makna tidak secara sederhana bisa dianggap suatu produksi dalam bahasa, tetapi sebuah pertentangan sosial (social struggle), sebuah pertentangan dalam memenangkan wacana. Maka itu, pemaknaan yang berbeda-beda merupakan arena pertarungan tempat memasukan bahasa di dalamnya (Hall, 1982:67)21. Karena pengaruh media yang besar tadi,

(12)

wajar kalau ada yang menyebut media sebagai Fourth Estate (kekuatan ke-empat) dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. Karl Deutsch menyebut media sebagai “urat nadi pemerintah” (The Nerves Of Government).

Apa yang dikatakan Stuart Hall pararel dengan apa yang dikemukakan oleh Raymond William dalam Marxisme And Literature (1977: 109) seperti dikutip oleh Pamela Shoemaker dan Stephen D. Reese dalam buku Mediating The Message: Theories Of Influences On Mass Media Content. Raymond William mengklasifikasikan penggunaan ideologi tersebut dalam tiga ranah salah satunya adalah ranah produksi makna dan ide22. Ideologi di sisni adalah istilah yang tepat untuk menggambarkan proses produksi makna23. Dalam produksi makna ini, tentu ideologi tak bisa dipisahkan dari pembahasan tentang bahasa.

Bahasa: Konstruktor Realitas

Persoalan ideologis pada bahasa muncul ketika apa yang disampaikan (dunia representasi) dikaitkan dengan kenyataan sosial (dunia nyata). Pertanyaannya adalah, apakah bahasa merupakan cermin atau refleksi, sari realitas; atau, sebaliknya, ia menceritakan separuh realitas dan menyembunyikan separuh lainnya?

Menurut Peter L. Berger & Thomas Luckman, di dalam The Social Construction of Reality, berbicara mengenai sebuah konsep sosiologi tentang realitas. Apa yang diterima sebagai realitas, sebagai pengetahuan, semuanya dikonstruksi secara sosial-artinya, dibentuk oleh masyarakat di mana realitas itu mengambil tempat. Manusia hidup di sebuah dunia, di mana pengetahuan direpresentasikan lewat tanda-tanda (sign), yang mempunyai makna (meaning) tertentu bagi manusia. Tanda-tanda tersebut disediakan oleh elite-elite (produser media) bagi anggota masyarakat untuk dipahami kode-kode (social code) dan maknanya, dan makna-makna tersebut akan 'mencetak' diri individu secara sosial24

Dari pernyataan Peter L. Berger & Thomas Luckman ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa bahasa tidak terlepas dari berbagai tekanan ideologi sehingga ketimbang menjadi cermin realitas bahasa lebih tepat disebut sebagai perumus realitas. Bagaimana mekanisme perumusan realitas? Tonny Bennet mengutarakan ada lima mekanisme perumusan realitas

(13)

dalam bahasa.25, yaitu:

Pertama, mekanisme oposisi biner, yaitu mekanisme penyusun kategori-kategori simbolik berdasarkan sistem kategori pasangan, dimana kelompok sosial tertentu mengidentifikasi dirinya sebagai kelompok simbolik kelas pertama (baik, benar, unggul), dan kelompok lawan pada kategori kedua (buruk, salah, jahat). Mekanisme oposisi biner biasanya digunakan oleh sebuah sistem kekuasaan dalam rangka mempertahankan kekuasaan, seperti pada sistem oposisi biner.

Kedua, mekanisme sentralisasi bahasa. Sistem politik yang sentralistis dan otoriter seperti Orde Baru, menghasilkan sistem bahasa yang cenderung dikomandokan dari atas, sehingga berbagai potensi bahasa yang plural tidak mendapatkan ruang untuk berkembang dan mengaktualisasikan dirinya di dalam berbagai bentuk ekspresi bahasa. Pengendalian bahasa dari atas cenderung menciptakan konflik-konflik kultural yang tersembunyi atau laten di antara berbagai kelompok-kelompok bahasa yang ada.

Ketiga, monologisme bahasa. Kekerasan simbolik menyebabkan sebuah sistem kekuasaan memusatkan diri pada egonya sendiri. Penguasa berbicara, tetapi tidak mau mendengarkan; ia mengucapkan kata-kata, tetapi tidak mau memahami. la menggunakan bahasa; sebagai alat perintah (petunjuk bapak, instruksi bapak), bukan sebagai alat dialog yang di dalamnya terjadi hubungan komunikasi dua arah. Padahal sikap dialogis tersebut diperlukan untuk menjaga hubungan yang seimbang atau hubungan simetris dalam interaksi antarbahasa.

Keempat, penyeragaman bahasa. Pengaturan kebudayaan dari atas telah memunculkan pula penyeragaman bahasa di dalam berbagai aspek kebudayaan. Proses pelembagaan keseragaman bahasa (bahasa istana, bahasa P4) menjadi sebuah faktor penghambat utama dari berkembangnya kemampuan berpikir kritis (critical thinking), yang kemudian menyebabkan tidak berkembangnya kemampuan kreativitas masyarakat pengguna bahasa.

Kelima, tafsiran monosemi. Dalam tirani penyeragaman dan sentralisasi tersebut di atas, masyarakat kita kehilangan sikap komunikatif di antara sesama subbudaya.

(14)

Masyarakat dipaksa untuk menerima tafsiran-tafsiran tunggal yang dibuat oleh penguasa dan tidak diberikan peluang untuk menafsirkan berbagai aspek budaya dengan sudut pandang yang beraneka ragam. Tafsiran tunggal tersebut telah menyumbat saluran komunikasi, baik antara penguasa dan rakyat maupun antara sesama kelompok masyarakat.

Mendukung apa yang dikatakan oleh Tonny Bennet, Teun Van Dijk mengemukakan bahwa media massa melakukan apa yang dikenal dengan delegitimasi simbolik. Tujuan Delegitimasi simbolik menurut -Teun Van Dijk dalam Ideology; Multidisciplinary Study adalah tidak hanya menghasilkan establishment suatu kekuasaan, tetapi juga dapat merefleksikan praktek dominasi dan penyalahgunaan kekuasaan.26 Delegitimasi simbolik menurut Teun A. Van Dijk dilakukan melalui tiga cara: pertama dengan memanfaatkan konteks produk, akses dan kegunaan wacana untuk menggugat konsistensi media yang menjadi musuhnya; kedua, dengan penekanan-penekanan, symptom-symptom negatif/destruktif pada wacana yang menjadi musuhnya; ketiga, memanfaatkan tokoh-tokoh otoritatif yang legitimate untuk membuat klasifikasi evaluasi moral & dakwaan-dakwaan terhadap kelompok lain27.

Dari pebjelasan Tony Bennet dan Teun A Van Dijk ini, dapat dipahami bahwa bahasa dipahami bukanlah sesuatu yang netral, tetapi bahasa dipahami sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subyek tertentu, tema-tema wacana tertentu, maupun strategi-strategi wacana di dalamnya. Di mata fenomenolog, bahasa bukan hanya diterima apa adanya, tetapi ditanggapi sebagai perantara bagi pengungkapan-pengungkapan maksud-maksud dan makna-makna tertentu. Bagi mereka wacana adalah suatu upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari sang subjek yang mengemukakan suatu pernyataan.28

Bahasa yang beroperasi pada teks media massa menjadi aparatus hegemoni dari sebuah sistem kekuasaan melalui dua cara. Pertama, ketika ia tidak memberi ruang hidup bagi bahasa-bahasa lain (yang plural) karena dianggap sebagai ancaman. Kedua, ketika ia digunakan untuk meniyampaikan informasi (atau versi informasi) yang sesuai dengan kepentingan kekuasaan. Bahasa di sini semata menjadi perpanjangan tangan dari sebuah sistem kekuasaan hegemonis, sebuah corong untuk menyebarluaskan gagasan-gagasan

(15)

ideologi dominan.

Bila istilah hegemoni digunakan dalam pengertiannya yang lebih luas, maka sesungguhnya bahasa merupakan bagian dan sebuah sistem medan perang simbolik. Di dalam medan tersebut terjadi perebutan dominasi bahasa di antara berbagai kepentingan lewat berbagai cara dan strategi. Di antara strategi yang kerap kali digunakan di dalam perebutan hegemoni adalah strategi kekerasan, khususnya apa yang disebut kekerasan simbol

Bila istilah hegemoni digunakan dalam pengertiannya yang lebih luas, maka sesungguhnya bahasa merupakan bagian dan sebuah sistem medan perang simbolik. Di dalam medan tersebut terjadi perebutan dominasi bahasa di antara berbagai kepentingan lewat berbagai cara dan strategi. Di antara strategi yang kerap kali digunakan di dalam perebutan hegemoni adalah strategi kekerasan, khususnya apa yang disebut kekerasan simbol dan kekerasan semiotika.29

Bahasa secara total (bersama bahasa tandingan) membentuk sebuah ruang tempat berlangsungnya sebuah perang bahasa atau perang simbol, dalam rangka memperebutkan penerimaan publik atas gagasan-gagasan ideologis yang diperjuangkan.

Untuk menjelaskan bahasa (dan media) sebagai alat kekuasaan, Bourdieu menggunakan istilah kompetensi, yang bermakna bahwa orang yang mempunyai kecakapan dan otoritas untuk berbicara, menafsirkan, menilai, atau melegitimasi bahasa. Kompetensi ini biasanya dikaitkan dengan kepemilikan apa yang disebut Bourdieu sebagai modal simbolik. Artinya, semakin besar seseorang (kelompok orang, negara) menguasai modal simbolik, semakin besar otoritasnya dalam menentukan arah pasar simbol. Seperti sebuah pasar pada umumnya, pasar simbol (baca: pasar bahasa) adalah sebuah ruang dimana posisi seseorang (kelompok orang, negara dan kesalingberkaitan di antaranya sangat ditentukan oleh distribusi kepemilikan modal simbolik Yang mereka miliki. 30

Beroperasinya ideologi di balik bahasa di media, tidak bisa dipisahkan dari mekanisme ketersembunyian dan ketidaksadaran yang merupakan kondisi dari keberhasilan sebuah ideologi. Artinya ideologi itu menyusup dan menanamkan pengaruhnya lewat

(16)

media secara tersembunyi (tidak terlihat dan halus), dan ia mengubah pandangan seseorang secara tidak sadar. Ada beberapa mekanisme beberapa mekanisme beroperasinya ideologi di dalam media, yaitu sebagai berikut.

Pertama, mekanisme oposisi biner (binnary opposition), yaitu penciptaaan distribusi makna simbolik berdasarkan sistem kategori pasangan yang bersifat polaristik dan kaku. Setiap hal digeneralisasi dan direduksi sedemikian rupa, sehingga ia hanya berada dalam satu kutub (makna simbolik) yang extrem, kalau tidak kutub extrem di seberangnya. Tidak ada pilihan-pilihan tanda, kode, makna dan bahasa yang beraneka ragam (polysemy). Yang ada hanya pilihan hitam putih. Mesin-mesin biner itu, menurut Deleuze & Parnet di dalam dialogue, biasanya digunakan oleh sistem kekuasaan yang represif dan totaliter dalam menciptakan segmentasi kultural. Secara kaku(dan keras) dengan berbagai cara. Mesin biner ini hanya memproduksi berbagai oposisi biner di dalam masyarakat31.

Kedua, akibat logis yang bisa ditimbulkan oleh mesin-mesin oposisi biner adalah berupa mekanisme paralogisme dan kekerasan simbolik di dalam media. Dalam hal ini, disebabkan otoritas kekuasaan yang dimilikinya, kelas dominan selalu mengidentifikasi diri mereka selalu mulia, baik, benar; sementara orang yang dikuasai /dimusuhi sebagai buruk, jahat, bersalah, subversif, kriminal. Kecendrungan pembenaran pada diri sendiri semacam ini pada penguasa ketika diartikulasikan di dalam media, menciptakan sebuah media yang didalamnya beroperasi apa yang di dalam teori politik informasi disebut Pierre Bourdieu sebagai kekerasan simbolik, yaitu sebuah kekerasan yang halus dan tak tampak yang menyembunyikan didalamnya pemaksaan dominasi.32

Ketiga, adalah apa yang disebut oleh Paul L. Jalbert di dalam language, image, media sebagai mekanisme de re/ de ricto. De re berarti tentang sesuatu hal, sedangkan de dicto berarti tentang apa yang dikatakan (tentang sesuatu hal). De re mengandung transparansi dan kejelasan fakta dan referensi, sedangkan de dicto mengandung kekaburan dan ambiguitas fakta dan referensi.

(17)

menyampaikan makna dan perhatian terhadap budaya populer. Untuk menganalisis besarnya peran media massa tadi yang dikuasai oleh ideologi tertentu sehingga dengan sendirinya suka atau tidak suka diorientasikan kepentingan kelompok dominan tertentu Di sinilah Teori Kritis sebagai studi media sangat tepat untuk melihat hubungan yang berkuasa (the powerfull) dengan yang tak berkuasa (the powerless)33.

a. Metode Penelitian

6. Jenis Dan Tipe Penelitian

Penelitian ini merupkan penelitian kualitatif, tidak bertumpu pada pengukuran, sebab penjelasan mengenai suatu gejala diperoleh pelaku (peneliti) sendiri yang menafsirkan mengenai wacana di media massa (Tempo). Adapun tipe penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu berusaha menggambarkan kondisi faktual yang terjadi pada pemberitaan majalah Tempo mengenai kasus rencana pengesahan draft/rencana Undang-Undang Anti Pornogarfi Dan Pornoaksi.

7. Sumber Data

Sumber data pada penelitian ini adalah teks berita di majalah Tempo yang menyampaikan wacana tentang isu pornografi dan pornoksi pra pengesahan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi tahun 2006.

8. Teknik Pengumpulan Data

Teknik yang akan digunakan oleh penulis yaitu teknik dokumentasi data dari majalah berita mingguan Tempo pada bulan Januari sampai Juli 2006 yang memberitakan tentang isu rencana pengesahan Undang-Undang Anti Pornogarfi Dan Pornoaksi.

9. Teknik Analisis Data

Analisis data untuk kepentingan penelitian ini menggunakan model analisis Teun A. Van Dijk. Ia mengelaborasi elemen-elemen analisisi wacana sehingga bisa digunakan dan dipakai secara praktis. Wacana oleh Van Dijk dikelompokan menjadi tiga dimensi/bangunan: teks, kognisi sosial dan konteks sosial. Inti analisis

(18)

wacana Van Dijk adalah menggabungkan ketiga aspek tersebut ke dalam kesatuan analisis. Tiga tingkatan wacana tersebut adalah:

41. Struuktur makro. Ini merupakan makna global atau umum dari suatu teks yang dapat dipahami dengan melihat topik dari suatu teks. Tema wacana ini bukan hanya isi, tetapi juga sisi tertentu dari suatu peristiwa.

42. Supra stuktur adalah kerangka suatu teks; bagaimana struktur dan elemen-wacana disusun dalam teks secara utuh

43. Struktur mikro adalah makna wacana yang dapat diamati dengan menganalisis kata, proposisi, anak kalimat, paraprase yang dipakai.

(19)

ELEMEN WACANA VAN DIJK 34

Struktur Wacana Hal yang Diamati Elemen

Struktur Makro Tematik

(apa yang dikatakan) Topik

superstruktur

Skematik

(bagaimana pendapat disusun dan dirangkai)

skema

Struktur mikro

Semantik

(makna yang ditekankan dalam teks berita)

Latar, detail, maksud, praanggapan,

nominalisasi

Struktur mikro Sintaksis

(bagaimana pendapat disampaikan)

Bentuk kalimat, koherensi, kata ganti

Struktur mikro Stilistik

(pilihan kata apa yang dipakai) leksikon Struktur mikro

Retoris

(bagaimana dan dengan cara apa penekanan dilakukan)

Grafis, metafora, ekspresi

Analisis Van Dijk di sini menghubungkan analisis tekstual –yang memusatkan melulu pada tekstual—ke arah analisis yang komprehensif bagaimana teks berita itu diproduksi baik dalam hubungannya dengan individu wartawan maupun dengan masyarakat.

Penelitian ini akan difokuskan pada analisis wacana dari dimensi teks. Menurutnya meskipun terdapat berbagai elemen, semua elemen tersebut merupakan satu kesatuan, saling berhubungan dan saling mendukung satu sama lainnya.

Berikut diuraikan satu persatu elemen wacana Van Dijk35. 1 Tematik

Elemen tematik menunjukan pada gambaran umum dari suatu teks. Bisa juga disebut gagasan inti, ringkasan atau yang utama dari suatu teks. Topik menggambarkan apa yang ingin diungkapkan oleh wartawan dalam

(20)

pemberitaannnya. Topik menunjukan konsep dominan, sentral dan paling penting dari isi suatu berita. Oleh karena itu, ia sering juga disebut tema atau topik. Topik menggambarkan tema umum dari suatu teks berita. Topik ini akan didukung oleh subtopik-subtopik yang saling mendukung terbentuknya topik umum. Subtopik ini juga didukung oleh serangkaian fakta yang ditampilkan yang menunjuk dan menggambarkan subtopik, sehingga dengan subbagian yang saling mendukung antara satu bagian dengan bagian yang lain, teks secara keseluruhan membentuk teks yang koheren dan utuh.36

2 Skematik

Teks atau wacana umumnya mempunyai skema atau alur dari pendahuluan sampai akhir. Alur tersebut menunjukan bagaimana bagian-bagian dari teks disusun dan diurutkan sehingga membentuk kesatuan arti meskipun mempunyai bentuk dan skema yang beragam, berita umumnya secara hipotetik mempunyai dua kategori skema besar. Pertama, summary yang umumnya ditandai dengan adanya dua elemen yakni judul dan lead. Elemen skema ini merupakan elemen yang dipandang elemen paling penting. Judul dan lead umumnya menunjukan tema yang ingin ditampilkan oleh wartawan dalam pemberitaannnya. Lead ini umumnya sebagai pengantar ringkasan apa yang ingin dikatakan sebelum masuk lengkap. Kedua story, yakni isi berita secara keseluruhan. Isi berita ini secara hipotetik juga mempunyai subkategori. Yang pertama berupa situasi yakni proses atau jalannya peristiwa, sedang yang kedua komentar yang ditampilkan dalam teks. Menurut Van Dijk, arti penting dari skema adalah strategi wartawan untuk mendukung topik tertentu yang ingin disampaikan dengan menyususn bagian–bagian dengan urutan tertentu. Skema memberikan tekanan mana yang didahulukan, dan bagian mana yang kemudian sebagai strategi untuk menyembunyikan informasi penting. Upaya penyembunyian dilakukan dengan menempatkan di bagian akhir agar terkesan kurang menonjol.37

(21)

3 Semantik

Semantik dalam skema Van Dijk dikategorikan sebagai makna lokal (local meaning), yaitu makna yang muncul dari hubungan antar kalimat, hubungan amtarposisi, yang membangun makna tertentu dalam suatu bangunan teks. Analisisi wacana banyak memusatkan perhatian pada dimensi teks seperrti makna yang explisit ataupun implisit dan bagaimana orang lain berbicara tentang hal itu. Semua strategi semantik selalu dimaksudkan untuk menggambarkan diri sendiri atau kelompok sendiri secara positif dan sebaliknya akan menggambarkan kelompok orang lain secara negatif.38 Elemen-elemen yang ada dalam strategi semantik ini adalah:

3.1. Latar

Latar merupakan bagian berita yang dapat mempengaruhi semantik (arti) yang ingin ditampilkan. Seorang wartawan ketika menulis berita biasanya mengemukakan latar belakang atas peristiwa yang ditulis. Latar yang dipilih menentukan ke arah mana pandangan hendak dibawa. latar dapat menjadi alasan pembenar gagasan yang diajukan dalam suatu teks. Oleh karena itu, latar merupakan elemen yang berguna karena dapat membongkar apa maksud yang ingin disampaikan oleh wartawan. Kadang, maksud atau isi utama tidak dibeberkan dalam teks, tetapi dengan melihat apa yang ditampilkan dan bagaimana latar tersebut disajikan, kita bisa menganalisis apa maksud tersembunyi yang ingin dikemukakan oleh wartawan seseungguhnya. Latar peristiwa itu dipakai untuk menyediakan dasar hendak ke mana teks dibawa. Ini merupakan cerminan ideologis, di mana wartawan dapat menyajikan latar belakang dapat juga tidak, tergantung pada kepentingan mereka.39

3.2. Detil

(22)

ditampilkan seseorang. Komunikator akan menampilkan secara berlebihan informasi yang menguntiungkan dirinya atau citra yang baik. Sebaliknya, ia akan menampilkan informasi dalam jumlah yang sedikit (bahkan kalau perlu tidak disampaikan) kalau hal itu merugikan kedudukannya. Informasi yang menguntungkan komunikator, bukan hanya ditampilkan secara berlebihan tetapi juga dengan detil yang lengkap kalau perlu dengan data-data. Detil yang lengkap dan panjang lebar merupakan penonjolan yang dilkaukan secara sengaja untuk menciptakan citra tertentu kepada khalayak. Elemen detil merupakan strategi bagaimana wartawan mengekspresikan sikapnya dengan cara yang implisit. Sikap atau wacana yang dikembangkan oleh wartawan kadangkala tidak perlu disampaikan secara terbuka, tetapi dari detil bagian mana yang dikembangkan dan mana yang diberitakan dengan detil yang besar, akan menggambarkan bagaimana wacana yang dikembangkan oleh media.40

3.3. Maksud

Elemen maksud melihat informasi yang menguntungkan komunikator akan diuraikan secara eksplisit dan jelas. Sebaliknya informasi yang merugikan akan diuraikan secara tersamar, implisit dan tersembunyi. Tujuannya adalah publik hanya disajikan informasi yang menguntungkan komunikator. Informasi yang menguntungkan disajikan secara jelas, dengan kata-kata yang tegas dan menunjuk langsung ke fakta. Sebaliknya informasi yang merugikan disajikan dengan kata tersamar, eufemistik, dan berbelit-belit. Dengan semantik tertentu, seorang komunikator dapat menyampaikan secara implisit informasi atai fakta yang merugikan dirinya, sebaliknya secara explisit akan menguraikan informasi yang

(23)

menguntungkan dirinya. Dalam konteks media, elemen maksud menunjukan bagaimana secara implisit dan tersembunyi wartawan menggunakan praktek bahasa tertentu untuk menonjolkan basis kebenarannya dan secara implisit pula menyingkirkan versi kebenaran lain. 41

(24)

3.4. Praanggapan

Elemen wacana praanggapan (presupposition) merupakan pernyataan yang digunakan untuk mendukung makna suatu teks. Kalau latar berarti upaya mendukung pendapat dengan jalan memberi latar belakang, maka praanggapan adalah upaya untuk mendukung pendapat dengan memberikan premis yang dipercaya kebenarannya. Praanggapan hadir dengan pernyataan yang dipandang terpercaya sehingga tidak perlu dipertanyakan. Teks pada umumnya mengandung banyak sekali praanggapan. Praanggapan ini merupakan fakta yang belum terbukti kebenarannya, tetapi dijadikan dasar untuk mendukung gagasan tertentu42

3.5. Nominalisasi, nominalisasi merupakan strategi yang dapat memberikan sugesti kepada khalayak adanya generalisasi. Elemen yang hampir sama dengan nominalisasi adalah abstraksi – berhubungan dengan pertanyaan apakah komunikator memandang objek sebagai sesuatu yang tunggal berdiri sendiri ataukah sebagai suatu kelompok komunitas.

4 Sintaksis43

4.1. Koherensi Koherensi adalah pertalian atau jalinan antarkata, atau kalimat dalam teks. Dua kalimat yang menggambarkan fakta yang berbeda dapat dihubungkan sehingga nampak koheren, sehingga fakta yang tidak berhubungan sekalipun dapat menjadi berhubungan ketika seseorang menghubungkannya. Koherensi ini secara mudah dapat diamati diantaranya dari kata hubung (konjungsi) yang dipakai untuk menghubungkan fakta. Apakah dua kalimat dipandang sebagian hubungan kausal (sebab-akibat), hubungan keadaan, waktu, kondisi dan sebagainya. Koherensi merupakan elemen yang menggambarkan bagaimana peristiwa dihubungkan atau dipandang saling terpisah oleh

(25)

wartawan. Koherensi dibagi menjadi dua jenis. Pertama, Koherensi Kondisional. Ini ditandai dengan pemakaian anak kalimat sebagai penjelas. Di sini ada dua kalimat, di mana kalimat kedua menjadi penjelas atau keterangan dari proposisi pertama, yang dihubungkan dengan kata hubung (konjungsi) seperti “yang” atau “dimana”. Kalimat kedua fungsinya dalam kalimat semata hanya penjelas (anak kalimat), sehingga ada atau tidak ada anak kalimat tidak mempengaruhi arti kalimat. Anak kalimat itu menjadi kepentingan komunikator karena ia dapat memberikan keterangan yang baik/ buruk terhadap suatu pernyataan. Koherensi ini dalam banyak hal seringkali menggambarkan kepada kita bagaimana sikap wartawan atas peristiwa, kelompok atau seseorang yang ditulis. Bagaimana sikap tersebut dilekatkan dan tanpa disadari menggiring pembaca pada pemahaman atau pemaknaan tertentu. Kedua, Koherensi Pembeda ini berhubungan dengan pertanyaan bagaimana dua peristiwa atau fakta itu hendak dibedakan. Dua buah peristiwa dapat dibuat seolah-olah saling bertentangan bersebrangan (contrast) dengan koherensi ini. Efek koherensi pembeda ini bermacam-macam. Akan tetapi yang terlihat nyata adalah bagaimana pemaknaan yang diterima oleh khalayak berbeda. Karena satu fakta atau realitas dibandingkan dengan realitas yang lain. Di sini yang harus dikritisi adalah bagaimana realitas yang perbandingkan dan dengan cara apa perbandingan itu dilakukan. Apa efek dari perbandingan tersebut, apakah membuat satu fakta menjadi lebih baik atau bertambah buruk.

4.2. Bentuk kalimat Bentuk kalimat adalah segi sintaksis yang berhubungan dengan cara berfikir logis, yaitu prinsip kasualitas. Di mana ia menanyakan apakah A yang menjelaskan B ataukah B yang menjelaskan A. Logika kasualitas ini kalau diterjemahkan ke dalam bahasa menjadi susunan subjek (yang menerangkan) atau objek (yang

(26)

diterangkan). Bentuk kalimat ini bukan hanya teknis kebenaran tata bahasa, tetapi menentukan makna yang dibentuk oleh susunan kalimat. Dalam kalimat yang berstruktur aktif, seseorang menjadi subjek dari pernyatannnya, sedangkan dalam kalimat pasif seseorang menjadi objek dari pernyataannya. Bentuk lain adalah dengan urutan pemakaian kata-kata yang mempunyai dua fungsi sekaligus. Pertama, menekankan atau menghilangkan dengan penempatan dan pemakaian kata atau frase yang mencolok dengan menggunakan permainan semantik. Yang juga penting dalam sintaksis selain bentuk kalimat adalah proposisi dalam kalimat. Bagaimana proposisi-proposisi diatur dalam rangkaian kalimat. Proposisi mana yang yang ditempatkan diawal kalimat, dan mana yang diakhir kalimat. Penempatan itu dapat mempengaruh makna yang timbul karena akan menunjukan bagian mana yang lebih ditonjolkan kepada khalayak. 4.3. Kata ganti Elemen kata ganti merupakan elemen yang

memanipulasi bahasa dengan menciptakan suatu komunitas imajinatif. Kata ganti merupakan alat yang dipakai oleh komunikator untuk menunjukan di mana posisi seseorang dalam wacana. Dalam mengungkapkan sikapnya, seeorang dapat menggunakan kata ganti “saya” atau “kami” yang menggambarkan bahwa sikap tersebut merupakan sikap resmi komunikator semata-mata. Akan tetapi ketika memakai kata ganti “kita” menjadikan sikap tersebut sebagai representasi sikap bersama dalam komunitas tertentu. Batas antara komunikator dan khalayak dengan sengaja dihilangkan untuk menunjukan apa yang menjadi sikap komunikator juga menunjukan sikap komunitas secara keseluruhan. Pemakaina kata jamak seperti kata “kami” atai “kita” mempunyai imlikasi menumbuhkan solidaritas, aliansi, perhatian publik, serta mengurangi kritik dan oposisi (hanya) kepada diri sendiri

(27)

wacana yang menggambarkan bagaimana wartawan menyembunyikan apa yang ingin diekspresikan secara implisit. Dalam arti yang umum, pengingkaran menunjukan seolah wartawan menyetujui sesuatu, padahal ia tidak setuju dengan memberikan argumentasi atau fakta yang menyangkal persetujuannya tersebut. Dengan kata lain, pengingkaran merupakan bentuk strategi wacana di mana wartawan tidak secara tegas dan eksplisit menyampaikan pendapat dan gagasannya kepada khalayak.pengingkaran adalah sebuah elemen di mana kita bisa membongkar sikap atau ekspresi wartawan yang disampaikan secara tersembunyi itu dilakukan oleh wartawan seolah ia menyetujui pendapat, padahal yang ia inginkan adalah sebaliknya. Oleh karena itu, perlu dikritisi apa maksud yang sesungguhnya dari penulis atau wartawan dan bagaimana pengingkaran itu dilakukan. Umumnya pengingkaran itu dilakukan di bagian akhir, di mana wartawan wartawan sebelumnya menampilkan pendapat umum terlebih dahulu, pendapat pribadi disajikan sesudahnya. .

5 Stlistik

Elemen wacana yang masuk dalam kategori Stlistik yaitu Leksikon Pada dasarnya elemen ini menandakan bagaimana seseorang melakukan pemilihan kata atas berbagai kemungkinan kata yang tersedia. pemilihan kata bukan terjadi secara kebetulan tetapi juga secara ideologis menunjukan bagaimana pemaknaan seseorang terhadap fakta atau realitas.44

6 Retoris45

61. Grafis Elemen ini merupakan bagian untuk memeriksa apa yang ditekankan atau yang ditonjolkan (yang berarti dianggap penting) oleh seseorang yang diamati dari teks. Dalam wacana berita, grafis ini biasanya muncul lewat tulisan atau

(28)

bagian yang ditulis lain dibandingkan dengan lain. Pemakaian hurup tebal, hurup miring, pemakaian garis bawah, hurup yang dibuat dengan ukuran hurup yang lebih besar.Termasuk didalamnya pemakaian caption, raster, grafik, gambar, atau tabel yang memandang arti penting sesuatu pesan. Bagian-bagian yang ditonjolkan ini menekankan kepada khalayak pentingnya bagian tersebut. Bagian yang dicetak berbeda adalah bagian yang dipandang penting oleh komunikator, di mana ia menginginkan khalayak menaruh perhatian lebih pada bagian tersebut. Elemen grafis juga muncul dalam bentuk foto, gambar atau tabel yang mendukung gagasan atau bentuk lain yang tidak diinginkan. Pemakaina angka-angka dalam berita diantaranya digunakan untuk mensugestikan kebenaran, ketelitian, dan posisi dari suatu laporan.

62. Metafora Dalam suatu wacana, seorang wartawan tidak hanya menyampaikan pesan pokok mlewat teks, tetapi juga kiasan, ungkapan, metafora, juga sebagai ornamen atau bumbu dari suatu berita. Akan tetapi pemakaian metafora tertentu bisa jadi menjadi petunjuk utama untuk mengerti makna suatu teks. Metafora tertentu dipakai oleh wartawan secara strategis sebagai landasan berfikir, alasan pembenar atas pendapat atau gagasan tertentu kepada publik. Wartawan menggunakan kepercayaan masyarakat, ungkapan, sehari-hari, peribahasa, petuah leluhur,

(29)

kata-kata kuno, atau bahkan dari ayat-ayat suci— yang semuanya dipakai untuk memperkuat pesan utama.

(30)

3. www.republika.com diakses Sabtu 5 Agustus 2006. Pukul 14:33 WIB

4 . Alex Sobur. 2003. Analisis Teks Media, Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotika,

Dan Analisis Framing. PT Remaja Rosda Karya: Bandung, hal 30

5 . ibid, hal X

6 . Karl Marx (m.1818-1883), lahir di Treves (daerah Rhin) ayahnya Yahudi yang kemudian memeluk agama Protestant dan menjadi pengacara liberal. Tahun m.1843 ia menikah dengan Jenny Von Westphallent yang memberinya tiga orang anak perempuan. Buku yang pernah ia tulis adalah: La Quetion Juive, Critique

De La Philosophi Du Droit De Hegel, La Sainte Famille, L’ideologie Allemande, Travail Sallarie Et Capital, Manifesto Du Parti Communiste, Capial I. Kemudian Engel (m.1820-1895)lah yang menulis Capital II dan Capital III. Ia meninggal tanggal 14 Maret 1883 M. Ia adalah tokoh sosialis revolusioner

yang banyak menulis naskah filsafat di bidang kehidupan masyarakat. Dalam dunia akademis Marx sering disebut Marx Muda dengan tulisan-tulisannya yang sarat dengan pemikiran-pemikiran filsafatnya, dan sebagai Marx Tua dengan tulisan terapannya dalam bidang sosial ekonomi. Marx lewat tulisan-tulisannya tersebut sangat berpengaruh pada perkembangan sosialisme modern dan komunisme sebagai ideologi dunia yang menguasai lebih dari sepertiga penduduk bumi. Dikutip dari Poespowardojo, Soerjanto. Juli 1993. Strategi Kebudayaan, Pendekatan Praktis. PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta hal 161. Ideologi itu sendiri untuk kali pertama ditulis Marx dan Engel dalam buku The German Ideologi.

7 . Suatu bentuk kesadaran-yaitu seperangkat kepercayaan, sikap-sikap, disposisi-disposisi batin, motivasi-motivasi, preferensi-preferensi, dst. Disebut palsu bila secara epistemis mengklaim dirinya satu-satunya yang paling benar yang secara fungsional melanggengkan, menstabilkan atau melegitimasikan dominasi dan secara genetis berasal dari kepentingan-kepentingan penguasaan tertentu. Dikutip dari “Kritik

Ideologi Pertautan Pengetahuan Dan Kepentingan”, Francisco Budi Hardiman, Kanisius: Yogyakarta, hal

191

8 . Doglas Kellner.1995. Media Culture Culture, Identity And Politics Between The Modern And

The Posmodern. Routledge: London. Hal 57.

9. Eriyanto. 2003. Analisis Wacana:Pengantar Analisis Teks Media. Lkis: Yogyakarta, hal 101

10 . John Fiske. Alih bahasa: Yosal Iriantara dan Idi Subandri Ibrahim. 2004. Introduction To

Communication Study, 2nd. Jalasutra: Yogyakarta, hal 243. Juga dijelaskan oleh Eriyanto (2003) dalam

buku Analisis Wacana:Pengantar Analisis Teks Media. Lkis: Yogyakarta hal 107 11. ibid., hal 243.

12 . Paul Grosswoler, Jorge Reina Schement (eds). 2001. Cultural Study dalam Encyclopedia Of

Communication And Information, 1st volume. Macmillan Library reference: USA. Hal 201.

13 . Stephen W. Littlejohn.1996. Theories Of Human Communication, 5th Edition. Wadsworth Publishing Company: California, USA., Hal 229. Bunyinya; “The process of hegemony can occur in many ways and in

many settings. In essence, it happens when events or texts are interpretated in a way that promotes the interests of one group over those of another. This can be a subtle process of co-opting the interests of a subordinate group into supporting those of dominant one”.

14. Bahasa Inggrisnya worldview; Bahasa Jermannya Weltanschauung/weltansicht

15 . Dalam buku “Analisis Wacana Ideologi Gender Media Anak-Anak” Semarang. Diterbitkan atas kerjasama penerbit Mimbar dan Yayasan Adikarya ikapi serta Ford Foundation. Tahun 2001 Hal 31

16. Agus Sudibyo. 2001. Politik Media Dan Pertarungan Wacana Lkis Yogyakarta, hal 65

17 . Hal senada juga dinyatakan oleh Everett M. Roger dalam bukunya yang berjudul A history of

Communication Study: A Biografical Approach seperti dikutip oleh Eriyanto, mengemukakan bahwa “media bukanlah entitas yang netral, tetapi bisa dikuasai oleh kelompok dominan”. Eriyanto (2003) dalam buku Analisis Wacana:Pengantar Analisis Teks Media. Lkis: Yogyakarta hal 48

18 . Dalam Emory Griffin. 1991. A First look At Communication Theory. McGrow-Hill: USA, Stuart Hall menulis: “Critical theorists view the mass media as a means by which the haves of society gain the willing

(31)

teks, sebab yang dia temukan dan yang hadapi secara langsung adalah pesan dalam teks. Makna itu diproduksi lewat proses yang aktif dan dinamis, baik dari sisi pembuat maupun khalayak pembaca”.

21. ibid hal 48

22 . Kedua ranah tempat beroperasinya ideologi yang adalah 1) Sebuah sistem kepercayaan yang dimiliki oleh kelompok atau kelas tertentu. Menurutnya Ideologi bukan sistem unik yang dibentuk oleh pengalaman seseorang, tetapi dibentuk oleh masyarakat di mana ia hidup, posisi sosial dia, pembagian kerja, dan sebagainya. 2) Sebuah sistem kepercayaan yang dibuat—ide palsu atau kesadaran palsu—yang bisa dilawankan dengan pengetahuan ilmiah. Ideologi dalam hal pengertian ini adalah seperangkat kategori yang dibuat dan kesadaran palsu di mana kelompok yang berkuasa atau dominan menggunakannya untuk mendominasi kelompok lain yang tidak dominan. Kelompok dominan mengeontrol kelompok lain dengan perangkat ideologi yang disebarkan ke dalam masyarakat yang akan membuat membuat kelompok yang didominasi melihat hubungan itu nampak natural dan diterima sebagai kebenaran. Eriyanto, Hal 88, 92 23 . Kedua ranah tempat beroperasinya ideologi yang adalah 1) Sebuah sistem kepercayaan yang dimiliki

oleh kelompok atau kelas tertentu. Menurutnya Ideologi bukan sistem unik yang dibentuk oleh pengalaman seseorang, tetapi dibentuk oleh masyarakat di mana ia hidup, posisi sosial dia, pembagian kerja, dan sebagainya. 2) Sebuah sistem kepercayaan yang dibuat—ide palsu atau kesadaran palsu—yang bisa dilawankan dengan pengetahuan ilmiah. Ideologi dalam hal pengertian ini adalah seperangkat kategori yang dibuat dan kesadaran palsu di mana kelompok yang berkuasa atau dominan menggunakannya untuk mendominasi kelompok lain yang tidak dominan. Kelompok dominan mengeontrol kelompok lain dengan perangkat ideologi yang disebarkan ke dalam masyarakat yang akan membuat membuat kelompok yang didominasi melihat hubungan itu nampak natural dan diterima sebagai kebenaran. Eriyanto, Hal 88, 92

24 . Peter L. Berger & Thomas Luckman. 1981. The Social Construction of Reality. Penguin Books. Hal 49-61

25 . Tonny Bennet (1982) Media Reality Signification. dalam Mitchel Gurevitch (ed) Culture Society &

Media Methuen hal 289

26 . Agus Sudibyo. 2001.Politik Media Dan Pertarungan Wacana. Lkis: Yogyakarta, hal 183

27 . ibid, hal 182-183.

28. Hikam, dalam latif dan Ibrahim, Ed., 1996:81 hal 22

29 . Yasraf A Piliang. 2005. Transpolitika Dinamika Politik Di Era Virtualitas. Jalasutra:Yogyakarta Hal 98

30. Pierre Bordieu. 1992. Language And Symbolic Power. Polity Press, hal 14

31 . Yasraf A Piliang. 2005. Transpolitika Dinamika Politik Di Era Virtualita. Jalasutra: Yogyakarta hal 220

32 . ibid, hal 221

33 . Hanno Hardth. 2004. Crtical Communication Studies: Sebuah Pengantar Comprehensif Sejarah

Perjumpaan Tradisi Kritis Eropa Dan Tradisi Pragmatis Amerika. Jalasutra:Yogyakarta. Hal xvi-xvii

34 . Alex Sobur, 2003. Analisis Teks Media, Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotika

Dan Analisis Framing. PT Remaja Rosda Karya: Bandung, Hal 78

35 . Uraian mengenai struktur wacana ini didasarkan pada tulisan Van Dijk seperti dikutip Eriyanto. 2003.

Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media Lkis: Yogyakarta

36 . ibid, hal 230

37. ibid,hal 233-234

38 . op. cit. Hal 78

39. op. cit. hal 235-236

40 . ibid, hal 238

41. ibid , hal 240

42. ibid, hal 256

43. ibid, hal 242-247

44. op. cit. Hal 253

Referensi

Dokumen terkait

Bluetooth adalah sebuah teknologi komunikasi wireless (tanpa kabel) yang beroperasi dalam pita frekuensi 2,4 GHz unlicensed ISM (Industrial, Scientific and Medical) dengan

Peran Kepemimpinan dalam upaya kebangkitan kembali di KSPS BMT BEN TAQWA dengan mengimplementasikan sifat Rasulullah dalam memimpin seperti sifat sidiq, amanah, fathanah

Ada juga musik yang merakyat di Indonesia yang dikenal dengan nama dangdut yaitu musik beraliran Melayu modern yang dipengaruhi oleh musik India sehingga musik dangdut ini

Kendala Pada Tata Kelola Program PUMP Meskipun klasifikasi keragaan pada dimensi tata kelola sangat baik, namun tidak semua anggota kelompok penerima manfaat program

Gambar Alat Prototype Kontrol Temperatur Pada Sebuah Inkubator

Alhamdulillah, puji dan syukur Penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala rahmat, taufik dan hidayah-nya, sehingga dapat terselesaikannya