• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Di bawah pemerintahan Barack Obama, Amerika Serikat mengalami banyak perubahan terhadap praktek politik Amerika Serikat baik di level domestik dan internasional. Secara khusus, Obama mengumumkan adanya perubahan arah kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap Iran. Setelah selama ini berada dalam pola hubungan yang konfliktual, Obama bermaksud untuk mengubah status quo dengan memulai kembali hubungan diplomatik dengan Iran. Melalui kebijakan dual-track strategy, pemerintah Amerika Serikat mengupayakan normalisasi hubungan dengan Iran sekaligus membangun kerja sama untuk menyelesaikan isu nuklir Iran. Implementasi dari kebijakan dual-track strategy ini akan menjadi fokus bahasan penulis dengan menyoroti dinamika politik domestik Amerika Serikat sekaligus politik internasional dan kaitannya terhadap proses negosiasi kesepakatan nuklir Iran.

Dalam proses implementasinya, kebijakan dual-track strategy ini mendapat banyak tentangan dari kongres Amerika Serikat. Munculnya hambatan di level domestik ini tidak lepas dari masa lalu hubungan Amerika Serikat dan Iran. Paska terjadinya peristiwa penyanderaan terhadap 52 warga sipil Amerika Serikat di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Tehran, Iran dan Amerika Serikat kehilangan hubungan kerjasama yang telah terbina sejak dulu. Sebelumnya, Amerika Serikat memiliki kedekatan khusus dengan Iran yang kala itu berada di bawah pemerintahan Syah Reza Pahlevi. Berubahnya Iran menjadi negara teokrasi membawa kelompok Islamis yang sebelumnya termarjinalisasi ke dalam kursi pemerintahan. Berbeda dengan pemerintah Syah Reza yang menunjukkan sikap pro-Amerika, di bawah pemerintahan Ayatollah Khomeini, Iran menunjukkan sikap yang sebaliknya. Amerika Serikat dianggap telah terlalu banyak mencampuri urusan domestik Iran serta mengikis nilai-nilai keislaman di Iran. Sikap anti-Amerika inilah yang kemudian mendorong peristiwa penyekapan pada 4 November 1979.1 Menyikapi insiden ini, Presiden Carter tidak hanya menjatuhkan sanksi ekonomi yang meliputi dibekukannya aset-aset Iran di Amerika Serikat dan embargo dagang terhadap impor langsung dan tidak langsung produk barang dan jasa

1

D.R. Farber, Taken Hostage: The Iran Hostage Crisis and America's First Encounter with Radical

(2)

Iran ke Amerika namun juga mengambil kebijakan untuk memutus hubungan diplomatik Amerika Serikat dengan Iran.2

Paska kurang lebih 35 tahun sejak insiden penyanderaan yang dilakukan Iran, hubungan Amerika Serikat dengan Iran tidak menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Hubungan kedua negara ini semakin diperparah dengan retorika Presiden Bush yang memberikan

branding ‘the axis of evil’ terhadap Iran. Besarnya pengaruh kelompok neo-konservatif dalam

era pemerintahan Presiden Bush berdampak pada kebijakan luar negeri Amerika Serikat yang cenderung asertif, agresif, serta militeristik, khususnya dalam menyikapi isu terorisme termasuk dalam kebijakan luar negerinya terhadap Iran.

Naiknya Barack Obama menjadi presiden ke-44 Amerika Serikat pada Desember 2008 dibarengi dengan wacana perubahan pada kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Secara umum, Obama menggambarkan kebijakan luar negeri Amerika akan lebih mengutamakan prinsip multilateralis serta mengedepankan equality among nations dalam menjalin hubungan dengan negara-negara lain.3 Dalam konteks hubungan bilateral dengan Iran, Presiden Obama menjanjikan adanya perubahan dengan mengupayakan terbukanya jalur diplomatik dan kerja sama dengan negara ini melalui proses engagement. Hillary Clinton menggambarkan strategi kebijakan luar negeri Amerika Serikat dibawah Obama melalui konsep smart power yang dijabarkannya sebagai kombinasi dari hard power dan soft power.4 Salah satu implementasi dari smart power ini dapat dilihat dari kebijakan dual-track yang diadopsi pemerintahan Obama sebagai strategi pendekatan terhadap Iran. Dalam konsep

dual-track policy, diplomasi dan sanksi menjadi dua alat utama dalam politik luar negeri

Amerika Serikat terhadap Iran.5 Menurut Amerika Serikat, dual-track policy ini menjadi strategi ideal dalam upayanya untuk melakukan engagement terhadap Iran. Jalur diplomasi menjadi platform utama untuk membawa Iran ke meja negosiasi, sedangkan sanksi akan menjadi alternatif Amerika Serikat untuk mendorong Iran ke meja negosiasi dan memastikan komitmen Iran untuk memulai hubungan baru dengan Amerika Serikat.

2

M. Aghazadeh, “A Historical Overview of Sanctions on Iran and Iran’s Nuclear Program,” Journal of Academic Studies, Vol. 14, No. 56, 2013, p. 137.

3 “Barack Obama’s Speech on Race”, The New York Times (daring), 18 Maret 2008,

<http://www.nytimes.com/2008/03/18/us/politics/18text-obama.html>, diakses pada 19 November 2015. 4 M. Nurruzzaman, “President Obama’s Middle East Policy, 2009-2013,” Insight Turkey, Vol. 17, No. 2, 2015 p. 178.

5 T.A. Parsi, Single Roll of The Dice: Obama’s Diplomacy With Iran, Yale University Press, London, 2012, p. 49.

(3)

Keputusan Obama untuk melakukan engagement terhadap Iran menjadi salah satu poin yang membedakan Obama dari pendahulu-pendahulunya. Melihat lamanya konflik antara Amerika Serikat dan Iran ini telah berjalan, hostility diantaranya dapat dikatakan telah mengakar kuat. Hal ini terlihat dari skeptisme publik Amerika Serikat terhadap wacana

engagement terhadap Iran. Dari polling yang dilakukan oleh CNN dan Opinion Research

Center (ORC), sebanyak 59% dari 1.012 sampel mengutarakan ketidaksetujuannya terhadap wacana ini.6 Polling lain menunjukkan sebanyak 49% sampel melihat Iran sebagai ancaman serius bagi keamanan Amerika Serikat dan Internasional.7 Skeptisme masyarakat ini dapat dipahami sebagai hostility yang telah mengakar kuat sebagai dampak dari konflik berkepanjangan yang melingkupi hubungan Amerika Serikat dan Iran. Minimnya dukungan publik Amerika Serikat terhadap rencana kebijakan luar negeri Amerika Serikat ini membuat penulis tertarik untuk lebih lanjut menyoroti proses implementasi dari strategi dual-track

policy ini.

1.2 Pertanyaan Penelitian

Berangkat dari latar belakang yang telah dijabarkan, penulis akan menyoroti proses implementasi dual-track policy Amerika Serikat dan melihat kaitan antara politik domestik Amerika Serikat terhadap arah kebijakan luar negerinya. Pertanyaan penelitian yang akan diangkat di dalam skripsi ini adalah “Bagaimana politik domestik Amerika Serikat memengaruhi implementasi dual-track policy pemerintahan Obama dalam perundingan Iran

Nuclear Deal?” Untuk itu, penulis akan lebih menyoroti dinamika politik domestik Amerika

Serikat terkait kebijakan dual-track policy.

1.3 Landasan Konseptual

Untuk menjawab pertanyaan penelitian, penulis akan menguraikan proses negosiasi yang berkaitan dengan implementasi dual-track policy Amerika Serikat terhadap Iran. Lebih lanjut, penulis akan berfokus untuk menyoroti dinamika negosiasi dari sisi Amerika Serikat. Untuk melihat kaitan antara politik domestik dan kebijakan luar negeri, penulis menggunakan konsep two-level games. Konsep two-level games yang dicetuskan oleh Robert D. Putnam ini menjelaskan bahwa dalam diplomasi, proses negosiasi tidak hanya terjadi di level internasional namun juga di level domestik. Diplomasi sendiri didefinisikan sebagai process

6

J. Agiesta, “Poll: Americans Skeptical Iran will Stick to Nuclear Deal”, CNN (daring), 13 September 2015, < http://www.cnn.com/2015/09/13/politics/iran-nuclear-deal-poll/>, diakses pada 19 November 2015.

(4)

of strategic interaction in which actors simultaneously try to take account of and, if possible, influence the expected reactions of other actors, both home and abroad.8 Poin pertama dari

pemaparan Putnam adalah pemetaan proses negosiasi ke dalam dua level, yaitu level I yang menggambarkan proses di taraf internasional dan level II yang menggambarkan proses negosiasi di level domestik. Seorang pengambil kebijakan, menurut Putnam, harus mampu memenuhi ekspektasi dan kepentingan di dua level sekaligus.9 Dalam ranah internasional, pengambil kebijakan berperan sebagai representasi negara bertugas untuk memenuhi kepentingan nasional negaranya dan merespon situasi internasional. Poin keberhasilan di level ini dilihat dari tercapai atau tidaknya sebuah kesepakatan internasional. Sedangkan di ranah domestik, pengambil kebijakan merupakan perwakilan dari konsituennya dan membawa kepentingan publik. Berhasil atau tidaknya ratifikasi dari kesepakatan yang telah dicapai di level I menjadi poin penentu keberhasilan diplomasi secara keseluruhan. Oleh karena itu, adanya kesesuaian antara kepentingan di dua level ini menjadi faktor krusial yang menentukan keberhasilan kebijakan luar negeri negara tersebut. Dalam konteks implementasi

dual-track policy Amerika Serikat, proses di level I merujuk pada proses negosiasi antara

Amerika Serikat dan koalisinya yang beranggotakan Rusia, Prancis, Inggris, Cina dan Jerman (P5+1) dengan Iran. Tim negosiator Amerika Serikat sendiri sempat dipimpin oleh William J. Burns, Susan Rice, dan Wendy Sherman. Burns memimpin tim negosiator dalam proses negosiasi fuel-swap dengan Iran.10 Sedangkan Susan Rice merupakan negosiator utama dalam negosiasi terkait ditetapkannya sanksi multilateral dengan Dewan Keamanan PBB.11 Wendy Sherman dibawah komando Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, John Kerry, memimpin tim negosiator dalam rangkaian panjang negosiasi nuklir Iran.12 Proses negosiasi inilah yang kemudian berakhir dengan disepakatinya Joint Comprehensive Plan of Action antara koalisi P5+1 dan Iran.

Pada level II, proses negosiasi yang terjadi dalam dimensi politik domestik melibatkan kongres Amerika Serikat, administrasi Obama, serta kelompok kepentingan di Amerika Serikat. Dalam studi kasus yang diangkat, kelompok kepentingan yang kerap kali terlibat

8 A. Moravcsik, “Introduction: Integrating International and Domestic Theories of International Bargaining,” dalam P.B. Evans, H.K. Jacobson, R.D. Putnam (ed.), Double-Edged Diplomacy: International Bargaining and

Domestic Politics, University of California Press, California, 1993, p. 15.

9

R.D. Putnam, “Diplomacy and Domestic Politics: The Logic of Two-Level Games,” International

Organization, Vol. 82, No. 03, 1988, p. 434. 10 Parsi, p. 98.

11 Parsi, p. 110. 12

A. Shah, “Who Made The Iran Deals Happen? Here Are Some Of The People Behind The Scenes,” Public

Radio International (daring), 14 Juli 2015,

(5)

dalam proses negosiasi di level domestik Amerika Serikat merujuk pada kelompok-kelompok Yahudi-Amerika seperti the American Israel Public Affairs Committee (AIPAC) dan the

Israel Project (TIP).

Poin kedua adalah win-sets, yang digambarkan Putnam sebagai poin penghubung antara proses negosiasi di level I dan II. Win-sets merupakan himpunan dari opsi-opsi yang mungkin akan disetujui oleh konstituen di level II.13 Dalam negosiasi di level I, win-sets berfungsi sebagai panduan bagi negosiator.14 Segala kesepakatan yang tercapai di level I harus berada dalam jangkauan win-sets masing-masing negara yang terlibat negosiasi. Terciptanya kesepakatan di level I yang berada di luar jangkauan win-sets akan menimbulkan kemungkinan terjadinya defection, baik yang terjadi secara voluntary maupun involuntary.

Voluntary defection mengacu pada ketidakmampuan negarawan untuk memenuhi atau

mengimplementasikan kesepakatan internasional karena kegagalan ratifikasi di level domestik. Sedangkan involuntary defection merujuk pada keadaan yang menggambarkan pengambil kebijakan di level domestik mengesampingkan atau menggagalkan hasil kesepakatan yang telah dicapai di level I.15 Karena itu, besar kecilnya jangkauan win-sets sangat berpengaruh terhadap peluang tercapainya konsesi baik di level I maupun level II. Lebih lanjut, Putnam memaparkan tiga determinan penting yang memengaruhi jangkauan

win-sets, yaitu preferensi, koalisi dan distribusi kekuasaan di level II; institusi politik di level

II; dan strategi negosiator di level I.16

Dalam konsep two-level games, kebijakan yang tengah dinegosiasikan diasumsikan sebagai alternatif dari status quo sehingga koalisi yang terbentuk di level II akan didasarkan pada perhitungan untung-rugi terhadap kebijakan alternatif ini (the cost of no-agreement). Berdasar asumsi ini, kemungkinan pola konflik yang muncul adalah konflik homogen atau konflik heterogen. Dalam konflik homogen, pihak yang terlibat dalam negosiasi tidak memeliki preferensi yang berseberangan sedangkan dalam konflik heterogen, pihak yang berkonflik memiliki preferensi yang bertentangan. Konflik heterogen, yang mengacu pada konflik faksional, akan memiliki alternatif penyelesaian yang lebih banyak daripada konflik homogen yang tentu saja berpengaruh terhadap jangkauan win-sets. Dalam studi kasus yang diangkat, kebijakan yang tengah dinegosiasikan oleh pemerintah Amerika Serikat adalah

re-engagement serta tercapainya kesepakatan mengenai program nuklir Iran. Koalisi yang 13 Putnam, p. 437. 14 Putnam, p. 437. 15 Moravcsik, p. 28. 16 Putnam, p. 442.

(6)

terbentuk kemudian berdasar pada pro dan kontra terhadap wacana kebijakan. Koalisi tersebut dapat disimplifikasikan ke dalam dua kelompok yaitu kelompok liberal yang cenderung mendukung kebijakan ini dan kelompok konservatif yang bersikukuh untuk tetap menjatuhkan sanksi terhadap Iran dan menolak adanya kesepakatan dengan negara ini.

Distribusi kekuasaan antara dua faksi ini turut memengaruhi jangkauan win-sets. Dalam sistem politik Amerika Serikat, terdapat dua partai dominan yaitu Partai Republikan dan Partai Demokrat. Parta Republikan yang berasal dari golongan konservatif menduduki mayoritas kursi di Dewan Perwakilan dan Senat Amerika Serikat. Sementara itu, politisi dari Partai Demokrat lebih memiliki kendali dalam pemerintahan mengingat Barack Obama sendiri berasal dari golongan liberal ini. Distribusi kekuasaan antara golongan konservatif dan liberal ini memengaruhi proses tarik menarik kepentingan antara kongres dan pemerintah. Dalam negosiasi mengenai wacana re-engagement terhadap Iran, kongres yang mayoritas diduduki oleh kelompok konservatif kerap kali mengambil oposisi terhadap pemerintahan Obama. Proses negosiasi yang terjadi diantara keduanya inilah yang nantinya akan memengaruhi jangkauan win-sets yang dibawa negosiator Amerika Serikat ke perundingan internasional.

Determinan kedua yaitu institusi politik di level II mengacu pada kondisi pemerintahan suatu negara, Bentuk pemerintahan negara akan berpengaruh terhadap mekanisme pengambilan kebijakan di negara tersebut yang tentu saja memengaruhi proses ratifikasi kebijakan. Semakin besar otonomi yang dimiliki pengambil kebijakan terhadap konstituennya berpengaruh terhadap semakin luasnya jangkauan win-sets. Pada negara yang menganut sistem demokrasi, seperti Amerika Serikat, pemerintah memiliki hambatan domestik yang cukup ketat. Proses pengambilan kebijakan harus melalui persetujuan dua kamar dalam kongres, yaitu Senat dan Dewan Perwakilan sehingga proses ratifikasi akan menjadi lebih rumit. Selain kedua determinan yang disebutkan oleh Putnam, Andrew Moravcsik memaparkan bahwa pemerintah dapat memanipulasi win-sets di level II untuk meningkatkan probabilitas keberhasilan. Manipulasi yang dimaksud Moravcsik adalah bahwa pengambil kebijakan dapat memanfaatkan wewenang yang ia miliki di level domestik untuk memengaruhi tingkat penerimaan masyarakat akan suatu isu.

Terdapat 3 strategi yang dapat diterapkan, yaitu dengan mengskploitasi kekuasaan otonom yang dimiliki, dengan memanfaatkan propaganda dan agenda-setting, dan

(7)

mengadopsi strategi-strategi untuk memodifikasi win-sets.17 Salah satu contoh penerapannya

dapat dilihat dari strategi agenda-setting yang dimainkan oleh Israel dan AIPAC. Israel melalui perdana menterinya, Benjamin Netanyahu, kerap kali mengeluarkan statemen-statemen yang menyerang kebijakan Amerika Serikat terhadap Iran ke media. Tidak hanya melalui media, Netanyahu juga beberapa kali bertemu langsung dengan anggota kongres untuk menyampaikan keberatannya atas opsi diplomasi Obama. Selain Netanyahu, organisasi Yahudi-Amerika, AIPAC, memanfaatkan basis masanya yang besar di Amerika Serikat untuk mendorong kongres agar menekan pemerintah Amerika Serikat untuk memilih opsi sanksi terhadap Iran.

Besar kecilnya jangkauan win-sets tidak berbanding lurus dengan peluang keberhasilan negosiasi, yang lebih menentukan adalah strategi yang digunakan oleh negosiator untuk mengelola win-sets yang dimiliki. Jika win-sets yang dimiliki lawan lebih besar, negosiator berasumsi bahwa lawannya akan lebih fleksibel untuk melakukan konsesi. sehingga negosiator akan lebih leluasa untuk menggali alternatif-alternatif dalam negosiasi. Dalam proses negosiasi di level I, negosiator memiliki dua opsi strategi, yaitu memanfaatkan

win-sets lawan atau memanipulasi win-win-sets yang ia miliki. Opsi yang biasanya lazim digunakan

ialah tying hands strategy. Pada strategi ini, negosiator memanfaatkan sempitnya jangkauan

win-sets yang dimilikinya untuk mendorong lawan negosiasi untuk berkonsesi.18 Dengan memanfaatkan tekanan dari kongres, Obama berusaha mendorong Iran untuk berkonsesi. Dalam perundingan nuklir Iran pada Maret 2015, Obama mengeluarkan statemen bahwa pihaknya akan untuk meninggalkan meja negosiasi jika kedua belah pihak tidak kunjung mencapai kesepakatan. Statemen ini disampaikan Obama untuk mendorong terciptanya kesepakatan awal antara koalisi P5+1 dan Iran.

1.4 Argumen Pokok

Asumsi dasar dari gagasan two-level games adalah bagaimana Putnam melihat negara bukan sebagai sebuah entitas tunggal melainkan sebagai kesatuan dari kelompok-kelompok di dalamnya. Berdasar pemikiran ini, kebijakan luar negeri yang diambil negara tidak hanya dipandang sebagai langkah negara untuk memenuhi kepentingan nasionalnya namun juga sebagai hasil dari proses negosiasi kelompok-kelompok di level domestik. Oleh karena itu,

17 Moravcsik, pp. 24-27. 18 Moravcsik, p. 28.

(8)

menurut Putnam, dimensi politik internasional dan politik domestik secara simultan mempengaruhi kebijakan luar negeri negara.

Sesuai dengan pemaparan Putnam, preferensi, koalisi, distribusi kekuasaan serta institusi politik mempengaruhi jangkauan win-sets di level II. Selama proses implementasi

dual-track strategy, hambatan dominan yang dimiliki pemerintah adalah oposisi yang

ditunjukkan oleh kongres di level domestik. Adanya perbedaan preferensi serta kuatnya koalisi oposisi ini berpengaruh terhadap jangkauan win-sets yang dimiliki pemerintah. Pada masa pemerintahan pertama, hambatan win-sets pemerintah didominasi oleh tenggat waktu yang ditetapkan oleh kongres. Baik dalam proses negosiasi kesepakatan fuel swap dengan Iran maupun proses negosiasi sanksi multilateral dengan Dewan Keamanan PBB, pemerintah selalu disulitkan oleh tenggat waktu dari kongres. Selain dihambat oleh win-sets domestiknya, kegagalan diplomasi pada pemerintahan pertama Obama juga dipengaruhi oleh

win-sets yang dimiliki Iran. Instabilitas politik domestik Iran membuat pemerintah Iran tidak

dapat leluasa untuk mengambil kebijakan.

Memasuki periode pemerintahan kedua, pemerintah Amerika Serikat dihadapkan pada oposisi kongres yang semakin menguat. Dikuasainya kursi kepemimpinan Senat dan Dewan Perwakilan oleh Republikan. Perubahan distribusi kekuasaan ini membuat kongres menjadi semakin agresif dalam upayanya untuk menggagalkan proses negosiasi kesepakatan nuklir Iran. Tidak hanya menetapkan tenggat waktu bagi diplomasi, kongres turut menuntut untuk dihentikannya segala aktivitas nuklir Iran. Dua tuntutan kongres ini semakin mengetatkan ruang gerak negosiator Amerika Serikat pada perundingan di level I. Meski semakin disulitkan oleh keterbatasan win-sets, pemerintah Amerika Serikat diuntungkan oleh sikap kooperatif Iran selama proses negosiasi. Faktor-faktor inilah yang dominan mempengaruhi proses negosiasi kesepakatan nuklir Iran.

1.5 Metode Penelitian

Metode penelitian yang akan digunakan dalam menjawab permasalahan dalam skripsi ini adalah metode desk study dengan memanfaatkan sumber-sumber data yang telah ada sebelumnya. Peneliti menggunakan data-data kualitatif baik sumber primer maupun sekunder. Data-data kualitatif yang akan digunakan diantaranya adalah transkrip wawancara dan pidato dari Presiden Obama, jajaran administrasinya, dan anggota-anggota kongres Amerika Serikat mengenai kebijakan dual-track Amerika Serikat terhadap Iran serta sumber-sumber seperti buku, jurnal, laporan terbitan pemerintah, laporan berkala terbitan organisasi

(9)

yang bersangkutan serta artikel baik cetak maupun daring yang menyajikan informasi mengenai proses negosiasi, baik yang terjadi dalam politik domestik maupun politik internasional.

Penelitian akan melihat bagaimana dinamika politik domestik Amerika Serikat berpengaruh terhadap proses implementasi dual-track strategy Amerika Serikat terhadap Iran dalam negosiasi kesepakatan nuklir Iran. Dalam melihat dinamika implementasi dual-track

strategy, penulis akan lebih berfokus untuk menyoroti konteks politik domestik Amerika

Serikat. Tetapi juga tidak mengesampingkan pertimbangan dan posisi Iran serta faktor-faktor lain yang sekiranya memengaruhi hubungan kedua negara ini. Data-data yang didapat akan dikaitkan dengan konsep two-level games dengan menyoroti proses negosiasi serta mengidentifikasi peristiwa-peristiwa penting selama proses negosiasi. Penulis akan menyoroti dinamika implementasi dual-track strategy Amerika Serikat sejak pemerintahan Obama di periode pertama dan kedua. Dengan memfokuskan penulisan terhadap proses perundingan nuklir, penulis akan membatasi pembahasan sejak proses formulai kebijakan

dual-track strategy di tahun 2008 hingga Oktober 2015 saat hasil dari kesepakatan nuklir Iran

resmi diimplementasikan.

1.6 Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini dibagi menjadi lima bab. Bab I berisi pendahuluan yang terdiri latar belakang, rumusan masalah, landasan konseptual, argumen pokok, metode penelitian, serta sistematika penulisan. Bab II memaparkan mengenai konteks historis hubungan Amerika Serikat dengan Iran sekaligus menjelaskan tentang kebijakan dual-track Amerika Serikat terhadap Iran. Bab III memaparkan mengenai dinamika proses negosiasi yang terjadi dalam implementasi strategi dual-track policy Amerika Serikat pada pemerintahan pertama Obama tahun 2008-2012. Bab IV memaparkan dinamika proses negosiasi sebagai kelanjutan dari implementasi strategi dual-track policy Amerika Serikat pada pemerintahan kedua Obama tahun 2012 hingga Oktober 2015. Bab V sebagai penutup berisi kesimpulan dari penjelasan yang telah dijabarkan pada bab-bab sebelumnya.

Referensi

Dokumen terkait

Terdapat perbedaan hasil penelitian terdahulu yang menggunakan trading volume activity sebagai variabel penelitian, yaitu hasil penelitian Munthe (2016), Asriningsih (2015),

Namun demikian penelitian yang berhubungan dengan kajian bandingan Nilai-nilai Budaya Novel Wastu Kancana karya Yoseph Iskandar dan Niskala Gajah Mada

Selain itu, WHO juga telah menggariskan lapan elemen bagi kesihatan primer dan diantaranya ialah, pendidikan kesihatan, makanan berkhasiat, program imunisasi,

Pemodelan penyelesaian permasalahan penjadwalan ujian Program Studi S1 Sistem Mayor-Minor IPB menggunakan ASP efektif dan efisien untuk data per fakultas dengan mata

Kebutuhan sekunder adalah kebutuhan yang pemenuhannya setelah kebutuhan primer terpenuhi, namun tetap harus dipenuhi, agar kehidupan manusia berjalan dengan baik. Contoh: pariwisata

untuk liabilitas keuangan non-derivatif dengan periode pembayaran yang disepakati Grup. Tabel telah dibuat berdasarkan arus kas yang didiskontokan dari liabilitas

Pemisahan yang tegas antara transaksi operasi (nonpemilik) dan transaksi pemilik yang berakibat pemisahan secara tegas antara modal setoran dan laba ditahan

Berdasarkan hasil penelitian dan pem- bahasan yang dilakukan maka kepatuhan pajak WPOP yang terdaftar pada KPP Batu dan Kepanjen terbukti dipicu oleh niatnya untuk