• Tidak ada hasil yang ditemukan

Suasana pemakaman sepi, harum bunga kamboja

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Suasana pemakaman sepi, harum bunga kamboja"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

S

uasana pemakaman sepi, harum bunga kamboja menusuk hidung. Mendung ikut menemani suasana duka. Ah, kematian. Kematian selalu saja datang tiba-tiba. Entah ingin atau tidak kematian pasti selalu datang.

Tanah yang masih merah, menandakan baru saja ada orang yang baru dikubur. Bunga-bunga duka masih terlihat segar. Dan, orang yang duduk meratapi pastilah si orang yang sangat mencintainya.

Bangga as-Salam Wafat: 18-08-2007

”Oh Allah, mengapa cepat Kau panggil dia? Umurnya masih terlalu muda,” ratap perempuan itu.

Sebenarnya, tak ada gunanya menangis dan meratap seperti itu. Hanya akan menambah luka yang sulit terobati. Hanya akan menyulitkan jalan di alam

(2)

zakh. Perempuan itu me-mandang langit yang hitam. Dengan berlinang air mata, ia mengangkat tangannya dan berdoa,

“Allahummagh-firlaha warhamha wa’aafiha wa’fu’anha.”

Selesai berdoa, ia mengapit kedua kruknya dengan susah payah berdiri lalu berjalan tertatih. Apakah semua ini takdir? Apakah ini sudah menjadi kehendak-Nya? Tuhan yang mempertemukan dirinya dengan Bangga. Bangga yang mengubah jalan hidupnya hingga mencapai seratus delapan puluh derajat. Lelaki itu pula yang mampu membuatnya terbaring gelisah di tempat tidur setiap malam, yang menghantui pikirannya. Bangga dan Bangga. Setiap hembusan napasnya ada nama Bangga. Setiap jam, setiap menit, setiap detik, hanya ada Bangga.

Kini, pria itu berubah menjadi seonggok daging yang tak bernyawa. Sendirian di alam kubur. Sedang apa dia di dalam sana? Apa mendapat siksa ataukah kenikmatan? Kalau boleh memilih, lebih baik yang kedua saja.

Andai tak ada kematian. Andai Allah tak mencabut nyawa manusia, pasti indah hidup ini. Pasti tak ada tangis kesedihan dari orang yang ditinggalkan.

Andai tak ada kematian. Andai Allah tak mencabut nyawa manusia, pasti indah hidup ini. Pasti tak ada tangis kesedihan dari orang yang diting-galkan.

(3)

Sejak berpulangnya Bangga kemarin sore, perut perempuan itu belum terisi apa pun. Dari pagi hingga sore, ia terus berada di dekat makam Bangga. Enggan rasanya meninggalkan tempat itu. Ia tak ingin apa-apa selain berada di dekat Bangga. Mengelus dan mengusap nisan Bangga sepanjang hari. Nafsu untuk hidup hilang sudah. Ia tak ingin apa-apa selain mati menyusul Bangga.

Langkah kakinya mencapai jalan raya yang penuh lalu lalang mobil tak beraturan. Pikirannya melayang dan matanya nyalang. Hatinya pun tak keruan. Hingga ia….

(4)
(5)

Carissa. Menurut para saksi, korban menyeberang sambil melamun. Hingga saat ini, korban masih dalam penanganan medis di RSUD Indah.”

Kisi Carissa terbaring lemah. Setelah ia bersedih di makam, kini ganti ia yang mengundang kesedihan keluarganya. Oh begitu cepatkah takdir Tuhan? Tadi, sejam yang lalu, ia menyalahkan takdir Tuhan dan sekarang ia malah tak berani menantang Tuhannya dengan tubuh yang remuk redam. Kini, ia hanya bisa menanti kemurahan Tuhannya agar memberinya kesempatan kedua menjalani hidupnya. Apakah masih bisa diteruskan skenario Tuhan yang rumit ini?

Napasnya terputus dan jantungnya berhenti berdenyut. Para dokter mengerumuninya bagai berebut sepotong kue. Keluarganya pun pasrah. Malaikat Izrail memanggil namanya berulang kali lewat kidung

2

(6)

kematian yang bergema pada setiap sudut dinding rumah sakit. Apa ia akan mati? Tegakah ia pada orang tuanya untuk pergi selamanya? Senangkah ia bertemu dengan orang yang dicintainya? Siapkah ia dengan segala amal perbuatannya? Siapkah ia bertemu dengan Rabb-nya yang Maha Agung?

“Oh Allah, apa aku akan mati?” pekiknya sedih dan senang.

Dan pikirannya, kembali ke masa itu…. ***

Pagi-pagi Kisi udah marah-marah. Wah, wah, bisa gawat nih!

“Aduh, papa mana sih, Ma? Kok belum pulang juga? Kisi kan mau sekolah. Nanti telat!” omel Kisi sambil mondar-mandir di depan pintu rumah. Matanya kembali melirik jam tangan Tweety pemberian papa pada ulang tahun ketiga belasnya. Lucu memang kalau anak SMA masih pakai jam yang model begituan.

“Sabar dong. Papa kan shift tiga, Sayang. Pulangnya baru lima menit lagi. Lagian baru pukul enam. Bel masuk kan pukul tujuh,” bujuk mama seraya mendekati anak gadisnya itu.

“Ah, Mama! Kisi ada janji dengan Agus mau menyebarkan majalah baru sebelum pelajaran dimulai.

(7)

Udah deh, Kisi naik angkot aja!” kata Kisi lalu mencangklong tasnya di meja.

“Tapi, Kis….”

“Nggak ada waktu lagi, Ma. Nanti Pak Slamet marah lagi sama Kisi karena nggak menepati janji. Kisi berangkat ya, Ma. Bye!”

“Bye juga….”

Dengan bergegas, Kisi menuju depan gang. “Aduh, udah sepi. Kok aneh ya?” batinnya. Ekor matanya kembali melirik jam tangan.

“Astaganaga kecebur kali!” Ia berseru kaget. “Tweety-ku mati! Pantas dari tadi kok jam enam terus. Waduh, pasti mama belum liat jam dinding nih! Pasti papa lembur. Mana angkotnya ya?”

Dengan bingung, Kisi muter-muter kayak angin tornado di depan gang. Dan sejenak, ia berhenti di depan wartel milik Pak Toni yang baru buka. Terlihat di sana Mbak Nona lagi menata jualannya.

“Pagi, Mbak Nona,” sapa Kisi sambil mendekat. Yang disapa pun tersenyum manis.

“Pagi juga, Kis. Nggak sekolah?” tanya Mbak Nona heran. “Tumben ini bocah mampir ke sini. Biasanya melirik saja enggak,” batin Mbak Nona.

“Sekolah sih, cuma jamku rusak. Mau numpang lihat jam.”

(8)

“Boleh-boleh saja, Kis. Masa’ melihat jam nggak boleh? Tuh!” tunjuk Mbak Nona ke arah dinding.

“Hah?! Jam setengah tujuh?! Ya amplop! Agus pasti marah-marah nih! Udah ya, Mbak, makasih!”

Secepat kilat Kisi kembali ke depan gang dan langsung menyetop sebuah angkot. “Ah, syukur, masih ada angkot lewat.” Ia bernapas lega. Tapi tunggu, angkot itu bukan jurusan ke sekolah. Ke mana? Oh rupanya ke terminal!

“Lho Pak, kok belok sini sih?” tanya Kisi.

“Ke mana lagi, Mbak? Ini pelabuhan terakhir,” canda si sopir. Tapi, Kisi tak berniat untuk bergurau.

“N…ng…nggak ke Tunas Bangsa?” tanya Kisi di luar angkot.

“Mbak, kalau mau ke Tunas Bangsa pakai angkot warna putih-abu-abu itu. Kalau ini sih, ke sini saja, Mbak. Bensin irit!”

“Ah aku kan biasanya diantar papa! Nih, uangnya, makasih, Pak! Jalannya ke mana ya, Pak?”

“Lurus saja, Mbak. Ada gang terus masuk, belok kiri lurus.”

“Makasih, Pak!”

Kisi berlari dengan cepat. Kalau lebih teliti, ia bisa saja naik angkot yang berhenti tepat di depan sekolah. Dan, itu lebih hemat tenaga, tapi menguras dompet juga

(9)

sih. Lho? Ya iyalah, mana mau abang sopir ngasih gratisan? Ya mesti bayar dong! Tapi, Kisi nggak ambil pusing dengan hal itu. Kini, ia sampai di depan SMA Tunas Bangsa dengan napas ngos-ngosan. Eh, tunggu deh, makhluk kece

yang tadi duduk di depan Kisi ternyata turun di depan sekolahnya. Mereka hampir saja bertabrakan.

“Aduh, sori, maaf ya!” kata Kisi. Badannya limbung, namun cepat-cepat ia pegangan pada gerbang sekolah. Ia mengatur napasnya baik-baik.

“Nggak apa-apa kok. Daripada kamu lari-lari lebih baik tadi naik angkot warna oranye. Permisi.”

Kisi tertegun. Suara itu begitu dalam dan tulus. Kisi memandang punggung pria itu. Siapa sih dia? Jadi penasaran deh. Ah masa bodoh. Yang terpenting sekarang menemui Agus dan Pak Slamet. Pasti mereka marah besar nih.

Kisi tiba di depan ruang majalah. Hatinya deg-degan karena takut. Bel masuk pun sudah berbunyi dari tadi. Tapi, ia nggak peduli. Ia harus tetap menemui Agus. Dengan pelan, Kisi membuka pintu dan masuk.

Kisi tiba di depan ruang majalah. Hatinya deg-degan karena takut. Bel masuk pun sudah ber-bunyi dari tadi. Tapi, ia nggak peduli. Ia harus tetap menemui Agus.

(10)

“Dari mana saja kamu?!” teriak Agus marah. “Nih liat, majalah belum didistribusikan padahal udah banyak yang antre di depan pintu! Di mana tanggung jawabmu sebagai kepala pendistribusian dan kepala jurnalistik?” Aduh, Agus kalau marah serem! Kisi jadi meng-keret. Pakai menunjuk-nunjuk lagi! Untung Pak Slamet lagi nggak di tempat. Coba kalau ada di situ juga, wah, bisa berabe!

“Sori Gus, tadi salah naik angkot. Nggak ada yang mengantar. Tweety-ku rusak. Dan…dan…kamu kan tahu aku nggak pernah naik angkot,” ucap Kisi lirih. Agus jadi tersentuh. Bagaimana juga, Kisi udah seperti saudaranya sendiri. Udah bersahabat sejak lama.

“Oke deh, aku maklum. Kamu kan anak papa. Nggak pernah tahu jalan. Sekarang, kamu mesti buat rubrik khusus tentang kegiatan rohis di sekolah kita.” Suara agus melunak dan Kisi bernapas lega. Dia kemudian duduk di depan Agus. Tapi, matanya terbelalak saat telinganya mendengar kata “rohis”. Makanan jenis apa itu?

“Apaan tuh, kok baru dengar?”

“Kegiatan ekskul baru di sekolah kita. Berdiri baru beberapa hari. Kegiatannya tentang kajian Islam kepada remaja.”

(11)

“Kamu tulis segala kegiatannya, apa yang dibicara-kan setiap Jum’at. Mengerti nggak sih?!” Agus kembali gemas.

“Tadi kamu kan udah ngomong kalau kegiatannya tentang kajian agama Islam. Terus kenapa mesti dibuat rubrik khusus?”

“Itu kan cuma intinya doang. Secara garis besar belum. Kajian agama Islam kan banyak, Kis. Sekalian kamu bikin kuisioner. Buat, alasan apa mereka ikut ekskul itu. Oke?”

“Oke bos. Aku ke kelas dulu ya! Jum’at besok aku beroperasi.” Kisi membuka pintu. Tapi sebelum ia menutupnya, ia berbalik dan menatap Agus. Agus jadi heran.

“Ada yang perlu ditanyakan?”

“E…anu…i…itu…tempat ekskulnya di mana?” “Ya di masjid sekolah dong! Di mana lagi? Masa’ di kantin? Namanya juga kajian Islam. Kamu Islam kan?” “He…he…he…jelas dong! Cuma kalau tentang kajian Islam aku nggak tahu. See you…!”

Brak!!! Pintu pun tertutup dengan keras. Kisi

melenggang santai ke kelas. Kegiatan apa tadi? Mukhlis? Rukhis? Aduh apa ya tadi? Ro...rohis. Ya, rohis. Kok aneh ya? Di ujung lorong, hati Kisi tambah deg-degan begitu akan melewati kelas 1.6. Lho apa hu-bungannya dengan hatinya? Karena, itu kelas cowok

(12)

impiannya. Dengan gugup, Kisi berjalan melewati kelas itu. Kisi melirik dari jendela kaca. Ia bisa melihat si idaman hati. Ah…kuch-kuch hota hai! Kisi menatapnya dan….

Braaakkk!!! Bug…!!!

“Maaf…!”

***

Malamnya, Kisi sedang asyik duduk-duduk di depan rumah bersama papa.

“Pa, Kisi itu manja banget ya?” tanya Kisi bersandar di pundak papanya.

“Nggak usah diomongin pun kamu tuh udah manja. Memang kenapa? Tumben tanya-tanya?” Papa membelai rambut Kisi.

“Nggak kenapa-kenapa sih. Begini, tadi kan Papa telat datang, eh Kisi juga ikutan telat. Mana salah naik angkot lagi. Jadinya ya, Kisi ngos-ngosan saat sampai di sekolah. Kisi mulai besok berangkat sendiri saja, ya, biar bisa mandiri. Nggak manja terus.”

“Nah gitu dong! Kalau begini kan, Papa kalau pergi bisa tenang.”

“Maksud Papa?” Kisi menegakkan tubuhnya dan menatap papanya.

(13)

“Dengan begini, kalau papa nggak ada, kamu bisa menjaga mama.”

“Iya, iya, Kisi bakal menjaga mama. Eh, Pa, masa tadi di sekolah Kisi ditabrak sama orang. Jatuh deh!”

“Makanya kalau jalan liat-liat. Nggak boleh banyak melamun. Untungnya bukan truk. Lagi pula, mata kamu pasti kelayapan ke mana-mana, jadinya nggak lihat di depan ada orang.”

“Ye…, nggak salah di Kisi semua dong, Pa! Mungkin itu orang juga lagi melamun. Tapi, mata Kisi nggak kelayapan ke mana-mana kok pa, tetap di rongga mata,” elak Kisi.

“Mata kamu memang masih situ, maksud papa, kamu pasti lagi meleng. Melihat cowok-cowok yang lagi belajar di kelas. Iya kan?”

“Iya, iya Kisi yang meleng. Kisi salah. Udah deh, Pa, nggak usah dibahas lagi. Kisi mau tidur, capek!”

Kisi pun langsung menuju kamarnya meninggalkan papa seorang diri di teras rumah yang kemudian ditemani mama hingga larut. Di kamar, Kisi nggak langsung tidur. Ia merebahkan tubuhnya di atas kasur dan membuka buku hariannya dan jemarinya mulai menari di atas buku hariannya itu.

Referensi

Dokumen terkait

• Falsafah lebih berkaitan dengan pandangan hidup yang spontan ada pada diri kita semua dan sering tidak dieksplisitkan, tetapi tersirat?. Sebagai pandangan hidup,

Kelompok ini mencakup jenis usaha jasa pangan yang bertempat di sebagian atau seluruh bangunan permanen yang menjual dan menyajikan makanan dan minuman untuk umum di tempat

Berdasarkan hasil penelitian menggunakan uji Anova secara komputerisasi terhadap 11 sampel diperoleh nilai rata-rata kadar klorin setelah 1 kali pencucian sebesar 0,0176 %, setelah

Saluran tataniaga beras di desa Cihideung Ilir dari petani hingga konsumen akhir melibatkan beberapa lembaga tataniaga yaitu pedagang pengumpul yang terdiri dari

Data tabel tersebut menunjukkan bahwa proses pembelajaran menulis teks report melalui writing process menunjukkan peningkatan rata-rata skor dari 1,88 pada siklus I menjadi

Sementara di bagian belakang smartphone DG Note Q ini tertanam sebuah kamera utama yang tentunya menjadi nilai lebih dari henpon ini dengan kualitas 8 MP yang dilengkapi juga

Kesimpulan dari penelitian terhadap Implementasi konsep etika bisnis islam menurut imam Al-Ghazali pada pelaksanaan program Advertising oleh PT takaful Indonesia

Para dosen dan asisten dosen serta karyawan dan karyawati Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAIN Antasari Banjarmasin yang telah banyak memberikan ilmu dan layanan yang