Bell’s Palsy dan Manifestasinya pada Saraf Wajah Viqtor Try Junianto
102012414 / C2
Universitas Kristen Krida Wacana
Alamat Korespondensi : Jalan Terusan Arjuna Utara 6, Jakarta Barat Email : viqtor.junianto@civitas.ukrida.ac.id
Pendahuluan
Bell’s palsy, atau lebih tepatnya disebut kelumpuhan wajah idiopatik, adalah penyebab paling umum dari kelumpuhan wajah unilateral. Bell’s palsy merupakan suatu sindrom kelemahan wajah dengan tipe lower motor neuron yang disebabkan oleh keterlibatan saraf fasialis perifer yang bersifat unilateral di luar sistem saraf pusat, idiopatik, akut dan tidak disertai oleh gangguan pendengaran, kelainan neurologi lainnya atau kelainan lokal. Sir Charles Bell (1774-1842) dikutip dari Singhi dan Cawthorne adalah orang pertama yang meneliti tentang sindroma kelumpuhan saraf fasialis dan sekaligus meneliti tentang distribusi dan fungsi saraf fasialis. Oleh karena itu nama Bell diambil untuk diagnosis setiap
kelumpuhan saraf fasialis perifer yang tidak diketahui penyebabnya. Anatomi Nervus VII (Facialis)
Nervus fasialis atau saraf otak ke VII tersusun dari dua bagian yaitu saraf motorik dan saraf sensorik yang sering disebut dengan saraf intermedius. Inti motorik yang merupakan penyusun utama saraf fasialis terletak di pons. Serabutnya mengitari inti nervus VI dan keluar di bagian lateral pons, sedangkan saraf intermedius keluar di permukaan lateral pons. Kedua saraf ini kemudian bersatu membentuk berkas saraf yang berjalan dalam kanalis fasialis dan terus menuju os mastoid. Setelah melewati os mastoid kedua saraf keluar dari tulang
tengkorak melalui foramen stilomastoideus dan bercabang untuk mensarafi otot-otot wajah. Namun selain mensyarafi otot-otot ekspresi wajah, saraf fasialis juga membawa serabut parasimpatis ke kelenjar ludah dan air mata dan selaput mukosa rongga mulut dan
hidung, menghantar berbagai jenis sensasi, termasuk sensasi eksteroseptif dari daerah gendang telinga, sensasi pengecapan dari 2/3 bagian depan lidah.1
Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu :
I. Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah (kecuali m. levator palpebrae (N.III), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan stapedius di telinga tengah).
II. Serabut somato-sensorik, rasa nyeri (dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba) dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus trigeminus.
III. Serabut visero-motorik (parasimpatis) yang datang dari nukleus salivatorius superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum, rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula submaksilaris serta sublingual dan lakrimalis.
IV. Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua pertiga bagian depan lidah.
Gambar 1. Bagian-bagian serabut saraf fasialis (N.VII)2 Anamnesis
a. Identitas pasien
Identitas pasien yang berisikan nama, umur, jenis kelamin, agama, pekerjaan, alamat tempat tinggal.
Keluhan utama yang dirasakan oleh pasien dengan kondisi Bell’s palsy. Misalnya pasien merasa separuh/ satu sisi mukanya terasa tebal, muka yang asimetris, susah merasakan sensasi rasa(manis, asam, asin), susah untuk berbicara, dan susah untuk menelan makanan dan munuman karena setiap makanan yang dimakan akan terkumpul pada sisi yang sakit dan air liurselalu menetes.
c. Riwayat penyakit sekarang
Pasien mengeluh bibir sebelah tidak dapat bergerak, alis juga tidak bisa bergerak dan saat memejamkan mata tidak bisa rapat, wajah sebelah terasa kesemutan dan tebal-tebal, setelah pasien di berikan terapi berupa arus faradik dan laser. Kondisi pasien wajahnya mencong ke sebelah dan mengeluh telinga sebelah bagian belakang terasa nyeri.
d. Riwayat penyakit dahulu
Pasien pasti belum pernah mengalami penyakit yang sama sebelumnya. e. Riwayat penyakit penyerta
Tidak ada riwayat penyakit lain yang menyertai kondisi pasien. f. Riwayat keluarga
Riwayat keluarga diketahui bahwa tidak ada anggota keluarga pasien yang pernah menderita penyakit serupa.
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan n.VII yang umum diperiksa adalah:3
Pemeriksaan motorik: inspeksi wajah yaitu pada kerutan dahi, kedipan mata, lipatan nasolabial, dan sudut mulut serta beberapa gerakan volunter dan involunter reflektorik
Pemeriksaan vasomotor: misal lakrimasi
Pemeriksaan sensorik: cita rasa (kecap) lidah. a) Kerutan kulit dahi
Perhatikan kulit dahi pasien apakah tampak kerutan kulit dahi atau tidak
Pada kelumpuhan n. VII perifer (hemifasialis), kerutan kulit dahi pada sisi sakit akan hilang
Pada kelumpuhan n.VII sentral (hemifasialis), kerutan kulit dahi masih akan tampak.
b) Kedipan mata
Perhatikan apakah masih tampak kedipan mata
Pada sisi yang lumpuh kedipan mata lambat, tidak gesit dan tidak kuat. Disebut Lagoftalmos
Pada kelumpuhan sentral mata masih baik. c) Lipatan nasolabial
d) Sudut mulut
Sudut mulut pada sisi yang lumpuh tampak lebih rendah. e) Mengerutkan dahi
Pasien disuruh mengerutkan dahi unilateral dan bilateral. Pada kelumpuhan n. VII perifer pasien tidak mampu mengerutkan dahinya unilateral dan bilateral
Pada kelumpuhan n. VII sentral pasien masih mampu mengerutkan dahinya. Dalam hal ini pemeriksa hendaknya melakukan palpasi antara kanan dan kiri dan bandingkan sisi mana yang terkuat, akan didapatkan perbedaan tonus.
f) Menutup mata
Pasien disuruh menutup mata
Pada kelumpuhan perifer mata tidak dapat menutup
Pada kelumpuhan sentral unilateral mata masih bisa menutup. Dalam hal ini pasien disuruh menutup mata kuat-kuat, kemudian pemeriksa mencoba membuka mata pasien yang sedang dipejamkan tersebut, akan didapatkan perbedaan tonus kanan - kiri.
g) Lakrimasi
Dapat dinilai dari anamnesis maupun observasi langsung
Adanya paralisis fasialis perifer menyebabkan hiperlakrimasi, tampak nerocos.
h) Daya kecap lidah 2/3 depan
Diperlukan 4 rasa pokok: manis, asin, asam, pahit. Bahan rangsang sebaiknya cairan.
Pasien diminta menjulurkan lidahnya keluar, satu persatu rasa diteteskan
Penyebut tidak boleh menyebut rasa dengan bicara, melainkan dengan memberi kode berupa tulisan yang sudah disiapkan. Hal ini akan mencegah kacaunya identifikasi.
i) Gerakan fasial reflektorik
Reflek visuopalpebra
Ancaman colokan pada salah satu mata akan menimbulkan pejaman pada kedua mata
Reflek glabela
Pada orang normal setiap kali glabela diketuk akan menyebabkan kedua mata berkedip akan tetapi setelah berturut-turut diketuk (3 - 4 kali) kedipan mata tidak akan timbul lagi
Reflek aurikulopalpebra
Ialah gerak reflek berupa mata, jika terdengar suara keras dan tak terduga
Tanda Myerson
Pada orang normal ketukan pada pangkal hidung menyebabkan kedipan mata hanya sekali saja
Tanda Chovstek
Dengan palu atau ujung jari tangan, cabang-cabang n. fasialis di depan lubang telinga kita ketuk. Tanda Chovstek positif bila timbul reflek berupa kontraksi otot-otot rasialis sebagai jawaban atas pengetukan pangkal cabang-cabang n. Fasialis.
Pemeriksaan fisik bell’s palsy4 Pemeriksaan Penunjang
Bell’s palsy merupakan diagnosis klinis sehingga pemeriksaan penunjang perlu dilakukan untuk menyingkirkan etiologi sekunder dari paralisis saraf kranialis. Pemeriksaan radiologis dengan CT-scan atau radiografi polos dapat dilakukan untuk menyingkirkan fraktur, metastasis tulang, dan keterlibatan sistem saraf pusat (SSP). Pemeriksaan MRI dilakukan pada pasien yang dicurigai neoplasma di tulang temporal, otak, glandula parotis, atau untuk mengevaluasi sklerosis multipel. Selain itu, MRI dapat memvisualisasi perjalanan dan penyengatan kontras saraf fasialis.
Dalam mendiagnosis kelumpuhan saraf fasialis, harus dibedakan kelumpuhan sentral atau perifer. Kelumpuhan sentral terjadi hanya pada bagian bawah wajah saja, otot dahi masih dapat berkontraksi karena otot dahi dipersarafi oleh korteks sisi ipsi dan kontra lateral
sedangkan kelumpuhan perifer terjadi pada satu sisi wajah. Untuk menegakan diagnosis Bell’ Palsy harus ditetapkan dulu adanya paralisis fasialis tipe perifer. Untuk membuat diagnosis diperlukan beberapa pemeriksaan.
a. Pemeriksaan telinga dan audiometri, ini untuk menyingkirkan adanya infeksi telinga tengah dan kolestoma.
b. Pemeriksaan neurologi dan nervus kranial. Ini untuk mencari adanya Ca nasopharing atau tumor pada sudut serebelo pontin.
c. Pemeriksaan radiologi pada os temporal dan mastoid untuk mencari adanya mastoiditis dan fraktur os temporal.
Sistem penilaian yang dikembangkan oleh House dan Brackmann mengkategorikan Bell palsy pada skala I sampai VI, diantaranya sebagai berikut:
Diagnosis Banding i. Stroke iskemik
Stroke iskemik terjadi sebagai akibat dari obstruksi dalam pembuluh darah yang memasok darah ke otak. Kondisi yang mendasari untuk jenis obstruksi adalah
pengembangan deposit lemak yang melapisi dinding pembuluh. Kondisi ini disebut aterosklerosis.
ii. Transient ischemic attack (TIA)
TIA merupakan gangguan fungsi otak akibat berkurangnya aliran darah menuju ke otak untuk sementara waktu, akibat tersumbatnya pembuluh darah. TIA disebabkan oleh gumpalan darah; satu-satunya perbedaan antara stroke dan TIA adalah
penyumbatan pada TIA bersifat sementara. Gejala TIA terjadi dengan cepat dan bertahan relatif singkat. Kebanyakan TIA berlangsung kurang dari lima menit; rata-rata adalah sekitar satu menit. Ketika serangan TIA selesai, biasanya tidak
menimbulkan cedera permanen pada otak. iii. Paresis nervus VII sentral
Inti nervus fasialis juga dapat dibagi menjadi kelompok atas dan bawah. Inti bagian atas mensarafi otot wajah bagian atas dan inti bagian bawah mensarafi otot wajah bagian bawah. Inti nervus fasialis bagian bawah mendapat innervasi kontralateral dari korteks somatomotorik dan inti nervus fasialis bagian atas mendapat inervasi dari kedua belah korteks somatomotorik. Oleh karena itu, pada paresis nervus fasialis UMN (karena lesi di korteks atau kapsula interna) otot wajah bagian bawah saja yang jelas paretik, sedangkan otot wajah atas tidak jelas lumpuh. Sebaliknya, pada
kelumpuhan nervus fasialis LMN (karena lesi infranuklearis), baik otot wajah atas maupun bawah, kedua-duanya jelas lumpuh.
Etiologi
Ada 4 teori yang dihubungkan dengan etiologi Bell’s palsy yaitu: 1. Teori iskemik vaskuler
Terjadi gangguan regulasi sirkulasi darah ke N.VII. Terjadi vasokontriksi arteriole yang melayani N.VII sehingga terjadi iskemik, kemudian diikuti oleh dilatasi kapiler dan permeabilitas kapiler yang meningkat dengan akibat terjadi transudasi. Cairan transudat yang keluar akan menekan dinding kapiler limfe sehingga menutup. Selanjutnya akan menyebabkan keluar cairan lagi dan akan lebih menekan kapiler dan venula dalam kanalis fasialis sehingga terjadi iskemik.
2. Teori infeksi virus
Bell’s palsy sering terjadi setelah penderita mengalami penyakit virus,
bahwa perjalanan klinis bell’s palsy menyerupai viral neurophaty pada saraf perifer lainnya.5
3. Teori herediter
Penderita bell’s palsy kausanya herediter, autosomal dominan. Bell’s palsy terjadi mungkin karena kanalis fasialis yang sempit pada keturunan atau keluarga tersebut, sehingga menyebabkan predisposisi untuk terjadinya paresis fasialis.
4. Teori imunologi
Dikatakan bahwa Bell’s palsy terjadi akibat reaksi imunologi terhadap infeksi virus yang timbul sebelumnya atau sebelum pemberian imunisasi.
Berdasarkan teori ini maka penderita bell’s palsy diberikan pengobatan kotikosteroid dangan tujuan untuk mengurangi inflamasi dan edema di dalam kanalis Fallopii dan juga sebagai immunosupresor.
Epidemiologi
Di Amerika Serikat, kejadian tahunan Bell palsy adalah sekitar 23 kasus per 100.000 orang. Secara internasional, insiden tertinggi ditemukan pada sebuah penelitian di Seckori, Jepang, pada tahun 1986, dan kejadian terendah ditemukan di Swedia pada tahun 1971. Kebanyakan studi populasi umum menunjukkan kejadian tahunan dari 15-30 kasus per 100.000 penduduk.
Bell palsy diperkirakan mencapai sekitar 60-75% dari kasus kelumpuhan wajah akut unilateral, dengan persentase sisi kanan yang terkena adalah 63%. Hal ini juga dapat
berulang, dengan berbagai laporan kekambuhan yang mencapai 4-14%. Gejala Klinis
Gejala Bell palsy adalah sebagai berikut:
Onset akut kelumpuhan atas dan bawah wajah unilateral (selama periode 48-jam)
Sakit bagian belakang telinga
Otalgia
Hiperacusis
Gangguan pengecapan
Gejala awal adalah sebagai berikut:
Kesulitan menutup kelopak mata
Sakit telinga atau mastoid (60%)
Perubahan rasa (57%)
Hiperacusis (30%)
Kesemutan atau mati rasa pada pipi / mulut Patofisiologi
Proses akhir yang dianggap bertanggung jawab atas gejala klinik Bell’s palsy adalah proses edema yang selanjutnya menyebabkan kompresi nervus fasialis. Gangguan atau kerusakan pertama adalah endotelium dari kapiler menjadi edema dan permeabilitas kapiler meningkat, sehingga dapat terjadi kebocoran kapiler kemudian terjadi edema pada jaringan sekitarnya dan akan terjadi gangguan aliran darah sehingga terjadi hipoksia dan asidosis yang mengakibatkan kematian sel. Kerusakan sel ini mengakibatkan hadirnya enzim proteolitik, terbentuknya peptida-peptida toksik dan pengaktifan kinin dan kallikrein sebagai hancurnya nukleus dan lisosom. Jika dibiarkan dapat terjadi kerusakan jaringan yang permanen.
Salah satu nervus cranialis yang keluar dari otak adalah nervus VII (nervus fasialis). Nervus fasialis pada saat keluar dari tengkorak melalui lubang yaitu foramen
stylomastoideus. Bila terjadi pembengkakan di foramen stylomastoideus maka nervus VII tertekan pada foramen stylomastoideus. Penekanan ini berdampak pada kelemahan otot-otot yang diinervasi oleh nervus VII.6
Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan: (1) meningkatkan fungsi saraf wajah (saraf kranial ketujuh); (2) mengurangi kerusakan saraf; (3) mencegah komplikasi dari paparan kornea7
A. Terapi medika mentosa
Inflamasi dan edema saraf fasialis merupakan penyebab paling mungkin dalam patogenesis Bell’s palsy. Penggunaan steroid dapat mengurangi kemungkinan paralisis permanen dari pembengkakan pada saraf di kanalis fasialis yang sempit. Steroid, terutama prednisolon yang dimulai dalam 72 jam dari onset, harus
dipertimbangkan untuk optimalisasi hasil pengobatan. Dosis pemberian prednison (maksimal 40-60 mg/hari) dan prednisolon (maksimal 70 mg) adalah 1 mg per kg per hari peroral selama enam hari diikuti empat hari tappering off.
Kornea mata memiliki risiko mengering dan terpapar benda asing. Proteksinya dapat dilakukan dengan penggunaan air mata buatan (artificial tears), pelumas (saat tidur), kaca mata, plester mata, penjahitan kelopak mata atas, atau tarsorafi lateral
(penjahitan bagian lateral kelopak mata atas dan bawah). Rehabilitasi fasial secara komprehensif yang dilakukan dalam empat bulan setelah onset terbukti memperbaiki fungsi pasien dengan paralisis fasialis. Rehabilitasi fasial meliputi edukasi, pelatihan neuro-muskular, masase, meditasirelaksasi, dan program pelatihan di rumah. Terdapat empat kategori terapi yang dirancang sesuai dengan keparahan penyakit, yaitu
kategori inisiasi, fasilitasi, kontrol gerakan, dan relaksasi.
Kategori inisiasi ditujukan pada pasien dengan asimetri wajah sedang-berat saat istirahat dan tidak dapat memulai gerakan pada sisi yang lumpuh. Strategi yang digunakan berupa masase superfisial disertai latihan gerak yang dibantu secara aktif sebanyak 10 kali yang dilakukan 1-2 set per hari dan menghindari gerakan wajah berlebih.
Kategori fasilitasi ditujukan pada pasien dengan asimetri wajah ringan-sedang saat istirahat, mampu menginisiasi sedikit gerakan dan tidak terdapat
sinkinesis. Strategi yang digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak otot wajah yang lebih agresif dan reedukasi neuromuscular di depan kaca (feedback visual) dengan melakukan gerakan ekspresi wajah yang lambat, terkontrol, dan bertahap untuk membentuk gerakan wajah yang simetris. Latihan ini dilakukan sebanyak minimal 20-40 kali dengan 2-4 set per hari.
Kategori kontrol gerakan yang ditujukan pada pasien dengan simetri wajah ringan-sedang saat istirahat, masih mampu menginisiasi sedikit gerakan, dan terdapat sinkinesis. Strategi yang digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak dalam otot wajah dengan agresif, reedukasi neuromuskular di depan kaca seperti kategori fasilitasi, namun secara simultan mengontrol gerakan sinkinesis pada bagian wajah lainnya, dan disertai inisiasi strategi meditasi-relaksasi.
Kategori relaksasi yang ditujukan pada pasien dengan kekencangan seluruh wajah yang parah karena sinkinesis dan hipertonisitas. Strategi yang
digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak dalam otot wajah dengan agresif, reedukasi neuromuskular di depan kaca, dan fokus pada strategi meditasi-relaksasi yaitu meditasi dengan gambar visual atau audio difokuskan untuk melepaskan ketegangan pada otot yang sinkinesis. Latihan ini cukup dilakukan 1-2 kali per hari. Bila setelah menjalani 16 minggu latihan otot tidak
mengalami perbaikan, pasien dengan asimetri dan sinkinesis perlu
dipertimbangkan untuk menjalani kemodenervasi untuk memperbaiki kualitas hidupnya, baik gerakan, fungsi sosial, dan ekspresi emosi wajah. Pada keadaan demikian perlu dikonsultasikan ke bagian kulit atau bedah plastik. Konsultasi ke bagian lain, seperti Telinga Hidung Tenggorok dan kardiologi perlu
dipertimbangkan apabila terdapat kelainan pemeriksaan aufoskop atau pembengkakan glandula parotis dan hipertensi secara berurutan pada pasien. Komplikasi
Sekitar 5% pasien setelah menderita Bell’s palsy mengalami sekuele berat yang tidak dapat diterima. Beberapa komplikasi yang sering terjadi akibat Bell’s palsy :
a. Regenerasi motor inkomplit yaitu regenerasi suboptimal yang menyebabkan paresis seluruh atau beberapa muskulus fasialis.
b. Regenerasi sensorik inkomplit yang menyebabkan disgeusia (gangguan pengecapan), ageusia (hilang pengecapan), dan disestesia (gangguan sensasi atau sensasi yang tidak sama dengan stimuli normal).
c. Reinervasi yang salah dari saraf fasialis. Reinervasi yang salah dari saraf fasialis dapat menyebabkan :
i. Sinkinesis yaitu gerakan involunter yang mengikuti gerakan volunter, contohnya timbul gerakan elevasi involunter dari sudut mata, kontraksi platysma, atau pengerutan dahi saat memejamkan mata.
ii. Crocodile tear phenomenon, yang timbul beberapa bulan setelah paresis akibat regenerasi yang salah dari serabut otonom, contohnya air mata pasien keluar pada saat mengkonsumsi makanan.
iii. Clonic facial spasm (hemifacial spasm), yaitu timbul kedutan secara tiba-tiba (shock-like) pada wajah yang dapat terjadi pada satu sisi wajah saja pada stadium awal, kemudian mengenai sisi lainnya (lesi bilateral tidak terjadi bersamaan). Prognosis
Perjalanan alamiah Bell’s palsy bervariasi dari perbaikan komplit dini sampai cedera saraf substansial dengan sekuele permanen. Sekitar 80-90% pasien dengan Bell’s palsy sembuh total dalam 6 bulan, bahkan pada 50-60% kasus membaik dalam 3 minggu.11 Sekitar 10% mengalami asimetri muskulus fasialis persisten, dan 5% mengalami sekuele yang berat, serta 8% kasus dapat rekuren. Faktor yang dapat mengarah ke prognosis buruk adalah palsi
komplit (risiko sekuele berat), riwayat rekurensi, diabetes, adanya nyeri hebat post-aurikular, gangguan pengecapan, refleks stapedius, wanita hamil dengan Bell’s palsy, bukti denervasi mulai setelah 10 hari (penyembuhan lambat), dan kasus dengan penyengatan kontras yang jelas.
Faktor yang dapat mendukung ke prognosis baik adalah paralisis parsial inkomplit pada fase akut (penyembuhan total), pemberian kortikosteroid dini, penyembuhan awal dan/atau perbaikan fungsi pengecapan dalam minggu pertama.
Kesimpulan
Bells palsi adalah kelumpuhan fasialis perifer akibat proses supuratif, non-neoplasmitik, non-degeneratif primer namun sangat mungkin akibat edema jinak pada bagian nervus fasialis di foramen stilomastoideus atau sedikit proksimal dari foramen tersebut, yang mulainya akut dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan.
Penyebabnya tidak diketahui, umumnya dianggap akibat infeksi semacam virus herpes simpleks. Virus tersebut dapat dormant (tidur) selama beberapa tahun, dan akan aktif jika yang bersangkutan terkena stres fisik ataupun psikik. Sekalipun demikian Bell's palsy tidak menular.
Daftar Pustaka
1. Lumbantobing SM. Saraf Otak : Nervus Fasial. Dalam : Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta : FK Universitas Indonesia, 2010. 2. Holland NJ, Weiner GM. Recent developments in Bell's palsy. BMJ. Sep 4
2009;329(7465):553-7.
3. Peitersen E. The natural history of Bell’s palsy. Am J Otol. Oct 2009; 4(2):107-11. 4. House JW, Brackmann DE. Facial nerve grading system. Otolaryngol Head Neck
Surg. Apr 2009;93(2):146-7.
5. McCormick DP. Herpes-simplex virus as a cause of Bell’s palsy. Lancet. Apr 29 2009; 1(7757):937-9.
6. Baugh RF, Basura GJ, Ishii LE, Schwartz SR, Drumheller CM, Burkholder R, et al. Clinical Practice Guideline: Bell's Palsy Executive Summary. Otolaryngol Head Neck
Surg. Nov 2013;149(5):656-63.
7. Hashisaki GT. Medical management of Bell’s palsy. Compr Ther. Nov 2009;23(11):715-8.