UJI SITOTOKSISITAS BUAH MERAH,
MAHKOTA DEWA DAN TEMU PUTIH TERHADAP
SEL KANKER SERVIKS
Maksum Radji1, Hendri Aldrat1, Yahdiana Harahap1, Cosphiadi Irawan2
1Departemen Farmasi, FMIPA – UI, Depok
2 Rumah Sakit Kanker Dharmais, Jakarta
Korespondensi: Dr. Maksum Radji. M.Biomed.
Departemen Farmasi FMIPA Universitas Indonesia, Depok 16424 maksum@farmasi.ui.ac.id
ABSTRACT
The cytotoxic effect of herbal medicines has been examined using HeLa cells line (cervical cancer cell culture). The result showed that the LC50 value of buah merah [Pandanus
conoideus Lam.], mahkota dewa [Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.] and temu putih
[Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe] extracts were 421 µg/ml, 835µg/ml and 58,9 µg/ml after 24 hour incubation, whereas the LC50 of each extract were 276.79 µg/ml, 415,9 µg/ml
and 29.19 µg/ml after 48 hour incubation respectively. The cytotoxic activity of temu putih [Curcuma zedoaria (Berg.)] extract to HeLa cells was stronger than buah merah [Pandanus
conoideus Lam.] and mahkota dewa [Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.] extracts.
Keywords: HeLa cell, cytotoxicity, Pandanus conoideus, Phaleria macrocarpa, Curcuma zedoaria.
ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian efek sitotoksisitas ekstrak buah merah [Pandanus conoideus Lam.], mahkota dewa [Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.] and temu putih [Curcuma
zedoaria (Berg.) Roscoe] terhadap sel HeLa (kultur sel kanker serviks). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa nilai LC50 dari ketiga ekstrak tersebut masing-masing adalah 421
µg/ml, 835µg/ml and 58,9 µg/ml, setelah waktu inkubasi selama 24 jam, sedangkan LC50
setelah diinkubasi selama 48 jam adalah 276.79 µg/ml, 415,9 µg/ml and 29.19 µg/ml. Aktivitas sitotoksik temu putih [Curcuma zedoaria (Berg.)] terhadap sel HeLa lebih kuat dibandingkan dengan buah merah [Pandanus conoideus Lam.] dan mahkota dewa [Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.]
Kata kunci: sel HeLa, sitotoksisitas, buah merah, mahkota dewa, temu putih
PENDAHULUAN
Penelitian tentang khasiat obat herbal telah lama dilakukan, namun sampai saat sekarang masih banyak aspek-aspek obat herbal yang belum diungkapkan oleh para peneliti. Metoda
pendekatan penelitian etnobotani
terhadap penggunaan obat herbal yang digunakan oleh etnis tertentu, perlu
dibuktikan aktifitas farmakologisnya
secara eksperimental dan dilanjutkan dengan isolasi senyawa yang memiliki aktifitas biologis tersebut (1).
Salah satu pemanfaatan obat herbal yang sedang dikembangkan adalah
untuk membantu penyembuhan
penyakit kanker. Sampai saat ini penyakit kanker merupakan penyakit yang sulit untuk diobati. Salah satu
42
jenis kanker yang banyak ditemui adalah kanker serviks. Menurut laporan World Health Organisation (WHO), ada sekitar 466.000 kasus per tahun di seluruh dunia terutama di negara berkembang dan diperkirakan sekitar 231.000 orang meninggal setiap tahun. Kasus kanker serviks di USA tahun 2007 mencapai 11.150 orang penderita dan 3.670 diantaranya meninggal dunia (2). Di Indonesia, kasus kanker serviks termasuk ke dalam kasus kanker
terbanyak yang menyerang kaum
perempuan (3). Data yang dikumpulkan berdasarkan jumlah pasien rawat jalan untuk kasus baru per tahun dari Rumah
Sakit Kanker Dharmais (RSKD)
Jakarta, ada 147 kasus (17%) dari total 859 kasus kanker pada tahun 2002 dan 192 kasus (19%) dari total 859 kasus kanker pada tahun 2003. Kasus kanker
serviks menempati urutan kedua
setelah kanker payudara dari 10 kasus kanker terbanyak di RSKD.
Terapi kanker serviks yang
dilakukan saat ini khususnya
penggunaan kemoterapi masih
dirasakan belum efektif karena sering menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan oleh pasien. Oleh sebab itu berbagai upaya untuk mencari obat alternatif masih terus dilakukan oleh para peneliti guna menemukan bahan obat yang memiliki efektifitas tinggi
namun rendah efek sampingnya
terhadap pasien. Salah satu sumber dapat dimanfaatkan sebagai antikanker adalah obat herbal. Berbagai macam bahan alam yang telah diteliti mulai dari jamur sampai tumbuhan tinggi telah menunjukkan adanya khasiat sebagai
antikanker diantaranya Penicillium
brevicompactum, Streptomyces
peucetius, Podophyllum sp, Taxus brevifolia dan Rauwolfia sp (4). Ekstrak
buah-buahan seperti strawberry,
blueberry dan raspberry juga diuji
aktivitasnya sebagai anti kanker
payudara dan serviks (5). Jika ditinjau dari segi fitokimia, golongan senyawa kimia sering berkaitan dengan aktifitas
antikanker dan antioksidan diantaranya adalah golongan alkaloida, terpenoida, polifenol, flavonoida dan resin (6).
Di Indonesia berbagai obat herbal
telah digunakan sebagai terapi
alternatif untuk membantu pengobatan penyakit kanker. Beberapa diantaranya yang banyak digunakan oleh pasien kanker adalah buah merah, temu putih dan mahkota dewa (7, 8). Buah merah adalah tumbuhan jenis pandan yang berasal dari Pulau Papua yang secara
tradisional digunakan sebagai
makanan. Buah merah juga dilaporkan
digunakan untuk membantu
memperkuat stamina pasien AIDS (9).
Mahkota dewa secara empiris
digunakan untuk mengobati hepatitis B, diabetes mellitus dan asam urat (10). Penelitian tentang mahkota dewa yang telah dilakukan adalah uji sitotoksik Brine Shrimp Lethality Assay (BLST) dan bioassai antikankernya terhadap sel Leukemia L1210 yang hasilnya menunjukkan bahwa mahkota dewa
memiliki aktivitas biologis yang
bermakna (11). Temu putih secara
tradisional digunakan sebagai
karminatif, stimulan pencernaan, obat flu, insektisida, antifungi dan anti bakteri. (12, 13). Temu putih selain
mengandung kurkumin juga
mengandung senyawa kimia lainnya dan minyak atsiri.
Penelitian ini dilakukan untuk
menguji sitotoksisitas dari tiga jenis
obat herbal yaitu buah merah
(Pandanus conoideus), mahkota dewa (Phaleria macrocarpa) dan temu putih (Curcuma zedoaria) dalam kultur sel HeLa yang merupakan model in vitro untuk sel kanker serviks. Pada
penelitian ini diuji aktivitas
penghambatan pertumbuhan sel HeLa menggunakan ketiga ekstrak tumbuhan tersebut dengan berbagai konsentrasi.
METODE PENELITIAN
Alat
hitung sel, pipet ependrof 250 ml, pembakar Bunsen, labu kultur jaringan 40 ml, sentrifus, timbangan analitik, hemositometer, well plate 96 (tissue cultur plate), laminar air flow, ELISA plate reader dan alat-alat gelas.
Bahan
Ekstrak buah merah dari pasaran produksi I Made Budi, ekstrak air
mahkota dewa diperoleh dari
Laboratorium Indofarma dan ekstrak etanol temu putih yang rimpangnya berasal dari Klinik Karyasari. Sel HeLa (ATCC.No.CCL-2.2), medium RPMI 1640, FCS (fetal bovine serum) 12,5%,
streptomisin, fungison, dimetil
sulfoksida (DMSO), etanol 96%, MTT
[3-(4,5-dimetiltiazolil-2)-2,
5-difeniltetrazolium bromida], Sodium
Dodesil Sulfat (SDS) 1 %, tripsin, asam klorida dan air suling.
Cara kerja
Penyiapan ekstrak bahan uji: Ekstrak
temu putih dibuat dengan cara:
sebanyak 500 gram rimpang temu putih segar dirajang tipis dan dikering anginkan selama 3 hari sampai kering, kemudian rajangan diblender untuk
memperoleh serbuknya. Serbuk
dimaserasi dengan etanol 70% di dalam erlenmeyer, sambil dilakukan
pengocokan selama 3 jam
menggunakan shaker, setelah itu
ekstrak etanolnya dipindahkan ke
dalam labu rotary dan dilakukan pemekatan ekstrak dengan rotary evaporator. Ekstrak kental temu putih
yang diperoleh dilarutkan dalam
DMSO. Ekstrak buah merah berupa minyak, ekstrak air mahkota dewa dan ekstrak temu putih yang masing-masing telah dilarutkan dalam DMSO dibuat pengenceran untuk memperoleh berbagai konsentrasi dan difiltrasi
dengan filter 0,2 µm sebelum
dimasukkan ke dalam plat 96 sumuran. Penyiapan suspensi sel: Tabung sel
HeLa dikeluarkan dari tempat
penyimpanan di dalam tangki nitrogen
cair, kemudian tabung tersebut
dibenamkan ke penangas air pada 37°C beberapa menit sampai isi dalam tabung tersebut mencair. Ambil cairan yang ada di dalam tabung sel, masukkan ke dalam tabung baru dan tambahkan 5 ml medium RPMI, kemudian sentrifus 10 menit dengan
kecepatan 1500 rpm. Larutan
supernatan dibuang dan ke dalam peletnya ditambahkan medium dan FCS 20% hingga 5 ml, kemudian dimasukkan ke culture flask dan
inkubasi pada suhu 37°C, CO2 5%
selama 5 hari. Kultur sel diperiksa di
bawah mikroskop untuk melihat
kepadatan selnya.
Pengujian sitotoksisitas sampel
terhadap sel HeLa: Sebanyak 0,1 ml suspensi sel HeLa dimasukkan ke
dalam masing-masing sumuran
kemudian ditambahkan larutan uji sebanyak 0,1 ml dengan berbagai konsentrasi mulai dari konsentrasi 15,62 µg/ml sampai 1000 µg/ml tiap sumuran, sehingga total volume satu sumuran tersebut adalah 0,2 ml. Selanjutnya diinkubasi pada suhu 37°C, CO2 5% selama 24 dan 48 jam.
Setelah diinkubasi 24 jam, masing-masing sumuran dikeluarkan medianya sebanyak 170 µl. Suspensi yang tersisa 30 µl sengaja ditinggalkan agar sel-sel yang ada di dalam plat tidak ikut
terbuang. Kemudian ditambahkan
media sebanyak masing-masing 120 µl termasuk media kontrol dan tambahkan
MTT masing-masing sumuran
sebanyak 10 µl. Diinkubasi selama 4
jam di dalam inkubator, lalu
ditambahkan larutan SDS 1% untuk
menghentikan reaksi. Selanjutnya
didiamkan pada suhu kamar selama satu malam. Esok harinya plat dibaca
dengan menggunakan Elisa plate
reader pada panjang gelombang 540 nm. Pengerjaan untuk inkubasi 48 jam sama dengan cara inkubasi 24 jam.
44
Pengolahan Data
Data diolah dengan menggunakan analisis Probit untuk mendapatkan nilai LC50 dari masing-masing ekstrak. Nilai
LC50 menunjukkan persentase
kematian sel pada kultur sebanyak 50%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil pengukuran
serapan ekstrak uji dengan Elisa plate reader dapat diketahui bahwa telah terjadi kematian sel HeLa akibat pengaruh ekstrak uji. Kematian sel HeLa tertinggi untuk waktu inkubasi 24 dan 48 jam dengan konsentrasi ekstrak 500 µg/ml berturut-turut adalah temu putih 92,4% dan 97,0%, buah merah 71,3% dan 80,2% dan mahkota dewa 48,0% dan 58,6%. Nilai LC50 dihitung
menggunakan software analisis Probit diperoleh hasil masing-masing ekstrak untuk waktu inkubasi 24 jam adalah temu putih 58.90 µg/ml, buah merah 421,0 µg/ml dan mahkota dewa 835
µg/ml, sedangkan nilai LC50 untuk
waktu inkubasi 48 jam adalah temu
putih 29,19 µg/ml, buah merah
276,79µg/ml dan mahkota dewa
415,9µg/ml, seperti yang terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. LC50 ekstrak bahan uji dengan
masa inkubasi 24 dan 48 jam Masa inkubasi BM (ug/ml) MD (ug/ml) TP (ug/ml) 24 jam 421,0 835 58,90 48 jam 276,79 415,9 29,19
BM = ekstrak buah merah. MD = esktrak mahkota dewa TP = ekstrak temu putih
Sel HeLa yang digunakan
merupakan model untuk pengujian in vitro untuk kanker serviks. Kultur sel HeLa yang terpapar oleh ekstrak
tumbuhan uji akan mengalami
perubahan pertumbuhan tergantung
kepada kemampuan sitotoksisitas
sampel ujinya. Untuk membedakan
antara sel HeLa yang hidup dan yang mati ditambahkan larutan MTT. MTT
adalah garam tetrazolium
3-(4,5-dimetiltiazol-2-il)-2,5-difenil tetrazolium bromida. MTT masuk ke dalam sel dan
diubah menjadi formazan oleh
mitokondria di dalam sitoplasma.
Reaksi berlangsung tergantung dari
keutuhan mitokondria. Produk
formazan berkumpul di dalam sel, tidak dapat keluar melewati membran sel. Jika sel dilisiskan, maka formazan akan bebas dan segera dapat dideteksi dan
diukur dengan metoda kolorimetri
sederhana (14). Kristal formazan ini mengendap di dasar pelat dan tidak
larut dalam air, namun dengan
penambahan HCl 0,04 M sel akan lisis dan formazan menjadi larut. Disamping itu HCl juga berguna untuk mengubah merah fenol pada medium RPMI 1640 menjadi kuning, sehingga merah fenol tidak mengganggu pembacaan serapan formazan (15).
Hasil pengujian ketiga ekstrak obat herbal yang dilakukan menunjukkan
bahwa persentase kematian sel
semakin meningkat seiring
pertambahan dosis dan pertambahan waktu inkubasi. Ini menandakan bahwa semakin lama sel HeLa berinteraksi dengan ekstrak uji, semakin tinggi tingkat kematian selnya (Gambar 1 dan Gambar 2).
Ekstrak temu putih memiliki efek hambatan pertumbuhan kultur sel HeLa tertinggi dibandingkan dengan buah merah dan mahkota dewa baik pada waktu inkubasi 24 jam maupun 48 jam. Pada konsentrasi 250µg/ml ke bawah,
aktivitas sitotoksik buah merah
terhadap sel HeLa dibawah mahkota dewa, namun pada dosis yang tinggi, yakni 500µg/ml ternyata buah merah lebih sitotoksik dibandingkan dengan mahkota dewa. Aktivitas sitotoksik ekstrak buah merah menjadi 3,3 kali lipat jika konsentrasinya dinaikkan dari 250 µg/ml menjadi 500 µg/ml (Gambar 1 dan Gambar 2).
Inkubasi 24 jam 3.62.2 5.8 7.2 21.7 71.3 7.9 13.2 13.5 16.8 30.7 48 25.5 31.8 49.6 63.2 83 92.4 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 0 100 200 300 400 500 600 Konsentrasi (ug/ml) P e rs e n ta s e k e m a ti a n s e l BM MD TP DMSO
Gambar 1. Grafik hubungan persentase kematian sel HeLa terhadap
konsentrasi ekstrak buah merah (BM), mahkota dewa (MD), temu putih (TP) dan DMSO dengan waktu inkubasi 24 jam.
Inkubasi 48 jam 1.22.4 9.2 22.4 33.9 80.2 16.7 24.2 25.3 29.6 40.6 58.6 37.8 47.3 67 84.7 96.9 97 0 20 40 60 80 100 120 0 100 200 300 400 500 600 Konsentrasi (ug/ml) P e rs e n ta s e k e m a ti a n s e l BM MD TP DMSO
Gambar 2. Grafik hubungan persentase kematian sel HeLa terhadap
konsentrasi ekstrak buah merah (BM), mahkota dewa (MD), temu putih (TP) dan DMSO dengan waktu inkubasi 48 jam.
46
Penelitian sebelumnya diketahui
bahwa ekstrak air mahkota dewa memiliki aktivitas sitotoksik dengan
LC50 sebesar 196,74 dan 114,34 µg/ml
dengan waktu inkubasi 24 dan 48 jam. Penelitian tersebut juga menemukan
bahwa ekstrak buah lebih kuat
dibandingkan daunnya (16).
Sedangkan hasil LC50 dalam penelitian
ini untuk ekstrak mahkota dewa lebih tinggi, yakni 835µg/ml. Perbedaan hasil
ini dapat terjadi kemungkinan
disebabkan karena perbedaan proses ekstraksi, kualitas buah, tempat tumbuh
dan kerusakan ekstrak selama
pengolahan atau penyimpanan.
Kekuatan ekstrak air mahkota dewa dalam menghambat pertumbuhan sel HeLa lebih lemah jika dibandingkan dengan ektrak etanolnya yang dapat menghambat pertumbuhan sel kanker payudara MCF-7 dengan LC50 pada
konsentrasi 16 µg/ml (15). Ini
menunjukkan bahwa ekstrak mahkota dewa lebih sitotoksik terhadap sel
MCF-7 dibandingkan dengan sel
kanker HeLa. Aktivitas mahkota dewa
sebagai antikanker berhubungan
dengan adanya kandungan lignan, flavonoid dan tanin di dalam buahnya.
Ekstrak temu putih menunjukkan
aktivitas antisitotoksik yang tinggi. Pada plat kultur terlihat bahwa ekstrak
temu putih bisa menghambat
pertumbuhan sel HeLa pada sebanyak 92,4% dan 97,0% berturut-turut pada waktu inkubasi 24 dan 48 jam seperti yang terlihat pada Gambar 1 dan
Gambar 2.
Kemampuan menghambat
pertumbuhan sel HeLa oleh ekstrak temu putih sebesar 29,19 µg/ml dengan waktu inkubasi 48 jam menunjukkan kemampuan sitotoksik yang layak
dipertimbangkan. Hasil indentifikasi
konstituen kimia pada temu putih ditemukan adanya kandungan minyak atsiri, kurkumin dan kurkumenon dan beberapa senyawa lainnya. Kandungan
minyak atsiri temu putih seperti
epikurzerenona dan kurdiona
diperkirakan dapat mempengaruhi
proses apoptosis sel kanker manusia
Apoptosis merupakan mekanisme
penting dalam strategi melawan kanker
karena dalam tinjauan molekuler
kanker dapat terjadi disebabkan adanya kelainan regulasi apoptosis. Senyawa antikanker bisa berperan dalam membantu proses apoptosis sel (17).
Ekstrak temu putih juga
mengandung kurkumin sama seperti kunyit (Curcuma domestica). Kurkumin telah diuji oleh Huang MT et.al. (1997) terhadap kultur sel HeLa menunjukkan hasil yang kuat yakni 0,5-1 µM.
Diperkirakan mekanisme kerja
kurkumin dalam menghambat sel HeLa
adalah, pertama kurkumin
menghambat penggabungan [3H]
timidin kepada DNA sel HeLa; kedua, kurkumin menghambat penyatuan [3H] uridin kepada RNA dan yang ketiga, kurkumin juga menghambat penyatuan [3H] leusin kepada protein. Dengan demikian kurkumin merupakan inhibitor pada sintesis DNA dan RNA, namun
senyawa ini tidak menunjukkan
pengaruh terhadap sintesis protein
(18). Salah satu faktor yang
menyebabkan ekstrak temu putih
bersifat sitotoksik terhadap sel HeLa adalah karena adanya kandungan kurkumin.
Penelitian lebih lanjut perlu
dilakukan untuk menentukan senyawa-senyawa yang dikandung oleh ketiga
ekstrak yang memberikan efek
sitotoksik terhadap pertumbuhan sel HeLa. Dengan mengetahui mekanisme sitotoksisitas ekstrak temu putih, buah merah dan mahkota dewa dapat dijadikan batu pijakan untuk mencari
sumber obat baru yang dapat
dimanfaatkan sebagai obat antikanker atau penyokong terapi kanker.
KESIMPULAN
Ekstrak temu putih memiliki aktivitas sitotoksik yang paling kuat terhadap
kultur sel HeLa dibandingkan dengan buah merah dan mahkota dewa. Nilai
LC50 temu putih 58.9 µg/ml, buah
merah 421 µg/ml dan mahkota dewa 835 µg/ml, untuk waktu inkubasi 24 jam, sedangkan untuk waktu inkubasi
48 jam, nilai LC50 temu putih
29.19µg/ml, buah merah 276.79µg/ml dan mahkota dewa 415,9µg/ml.
DAFTAR RUJUKAN
1. Heinrich, M. Ethnobotany and natural products: the search for new molecules, new treatments of old diseases or a better understanding of indigenous cultures? Current Topics in Medicinal Chemistry 2003; 3: 29-42
2. Anonim. Fact Sheet Cervical Cancer. National Institutes of Health. September; 2007.
3. Tjindarbumi D, R.Mangunkusumo. Cancer in Indonesia, present and future. Japan J. Clin Oncol; 2002;
32(Supplement 1): S17-S21
4. Dewick, P.M. Medicinal Natural Products. John Wiley & Sons, Ltd. Chichester; 2002.
5. Wedge DE, K.M Meepagala, J.B Magee, S.H Smith, G Huang G, L.L Larcom. Anticarcinogenic activity of strawberry, blueberry, and raspberry extracts to breast and cervical cancer cells. J Med Food.; 2001; 4(1):49-51 6. Mills, S., K. Bone. Principles and
practice of phytotherapy. Churchill Livingstone. Edinburg; 2000.
7. Anonim. Kombinasi mahkota dewa, temu putih dan sambiloto redakan keganasan kanker serviks. Majalah Tanaman Obat Feb 2004
8. Anonim. Temu putih hilangkan gejala kanker serviks. Majalah Tanaman Obat Feb 2004.
9. Budi I.M, R. Hartono, I Setyanova. Tanya jawab seputar buah merah. Penebar Swadaya Jakarta; 2002.
10. Winarto, W.P., Mahkota dewa: Budi daya dan pemanfaatan untuk obat. Penebar Swadaya Jakarta; 2003. 11. Lisdawati, V. Brine Shrimp Lethality Test
(BLST), bioassay antikanker in vitro dengan sel Leukemia L1210 dan isolasi serta penentuan struktur molekul senyawa kimia dari buah mahkota dewa [Phaleria macrocarpa (Scheff.)Boerl,]. Tesis. Universitas Indonesia; 2005. 12. Wilson B, G. Abraham, V.S. Manju, M.
Mathew, B. Vimala, S. Sundaresan, B. Nambisan. Antimicrobial activity of Curcuma zedoaria and Curcuma malabarica tubers. J. of Ethnopharmacology 2005; 99: 147–151 13. Pandji C, C. Grimm, V. Wray, L. Witte,
P. Proksch. Insecticidal constituents from four species of the zingiberaceae. Phytochemistry 1993; 34(2): 415-119. 14. Mosmann T. Rapid colorimetric assay
for cellular growth and survival: application to proliferation and cytotoxicity assays. J.Immunol.Methods 1983; 65: 55-63.
15. Syafhan, N.F. Uji sitotoksitas sediaan jadi daging buah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boert) terhadap sel MCF-7 (sel kanker payudara) secara in vitro. Skripsi. Universitas Indonesia; 2005.
16. Sumastuti dan Sonlimar, Efek sitotoksik buah dan daun mahkota dewa (Phaleria macrocarpa(Scheff)Boerl.) terhadap sel HeLa. www.tempo.co.id/ medika/ arsip/122002/art-3.htm.
17. Lai EY, C.C. Chyau, J.L. Mau, C.C.Chen, Y.J. Lai, C.F. Shih, L.L. Lin. Antimicrobial activity and cytotoxicity of the essential oil of Curcuma zedoaria. Am J Chin Med. 2004; 32(2):281-90. 18. Huang MT, W Ma, P.Yen, J-G Xie, J
Han, K. Frenkel, D.Grunberger and A.H. Conney. Inhibitory effects of topical application of low doses of curcumin on 12-O-tetradecanoylphorbol-13-acetate-induced tumor promo-tion and oxidized DNA bases in mouse epidermis. Carcinogenesis 1997; 18 (1): 83–88.