• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Geokimia Minyak dan Gas Bumi pada Batuan Induk Formasi X Cekungan Y. Proposal Tugas Akhir. Oleh: Vera Christanti Agusta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Analisis Geokimia Minyak dan Gas Bumi pada Batuan Induk Formasi X Cekungan Y. Proposal Tugas Akhir. Oleh: Vera Christanti Agusta"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

Analisis Geokimia Minyak dan Gas Bumi pada Batuan Induk Formasi “X” Cekungan “Y”

Proposal Tugas Akhir

Oleh:

Vera Christanti Agusta 270110100068

Ditujukan kepada:

FAKULTAS TEKNIK GEOLOGI UNIVERSITAS PADJADJARAN

JATINANGOR 2014

(2)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Minyak dan gas bumi saat ini masih menjadi sumber energi utama yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari, baik digunakan pada kegiatan rumah tangga ataupun pada kegiatan industri. Hal tersebut mengakibatkan banyaknya industri minyak dan gas bumi yang bergerak untuk mencari, mengelola dan mengembangkan cadangan minyak dan gas bumi di dunia. Industri minyak dan gas bumi merupakan salah satu industri yang berkembang sangat pesat karena perannya yang sangat penting sebagai penghasil minyak dan gas bumi yang masih banyak digunakan saat ini. Perkembangan industri minyak dan gas bumi juga disebabkan oleh kelebihan yang dimiliki oleh sumber energi minyak dan gas bumi dibandingkan dengan sumber energi yang lainnya. Kelebihan dari sumber energi minyak dan gas bumi dibandingkan dengan sumber energi seperti kandungan energi yang dihasilkannya besar dan wujud energinya yang berupa fluida. Oleh sebab itu, meskipun telah banyak berkembang penemuan mengenai sumber energi terbarukan, namun sumber energi minyak dan gas bumi tetap menjadi sumber energi yang paling banyak digunakan di dunia.

Dalam memenuhi kebutuhan minyak dan gas bumi di dunia, dibutuhkan pengembangan dalam mengeksplorasi dan memproduksi minyak dan gas bumi tersebut. Maka mulai dikembangkan teknologi-teknologi yang akan mendukung dalam kegiatan tersebut. Dan sejalan dengan perkembangan teknologi tersebut, dibutuhkan juga tenaga-tenaga profesional yang dapat memahami, menjalankan, dan mengembangkan diri dalam kemajuan industri minyak dan gas bumi, termasuk dalam perkembangan penelitian geokimia minyak dan gas bumi.

Dengan uraian diatas, maka penulis mengajukan tema tugas akhir ini, yaitu:

Analisis Geokimia Minyak dan Gas Bumi pada Batuan Induk Formasi “X” Cekungan “Y”

(3)

1.2 Indentifikasi Masalah

Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, yaitu :

1. Bagaimana kualitas, kuantitas dan kematangan material organik pada batuan induk ?

2. Apakah hidrokarbon yang terdapat pada suatu cekungan sedimen sama tipenya dan berasal dari batuan induk yang sama ?

3. Apakah suatu batuan induk pada cekungan sedimen dapat menghasilkan tipe hidrokarbon yang berbeda-beda ?

4. Bagaimana jalur migrasi dari hidrokarbon yang terakumulasi ?

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian

Dalam indutri minyak dan gas bumi, diperlukan beberapa penelitian dalam menentukan keekonomisan suatu sumber energi yang baru ditemukan. Oleh karena itu, maksud dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui, mengidentifikasi dan menginterpretasi kuantitas dan kualitas suatu material organik dalam batuan induk dan hubungannya dengan tingkat kematangan suatu hidrokarbon.

Adapun tujuan dari penetian ini, yaitu:

1. Mengetahui kualitas, kuantitas dan kematangan material organik pada batuan induk.

2. Mengetahui tipe dan asal hidrokarbon yang berasal dari cekungan yang sama.

3. Mengetahui bagaimana suatu cekungan dapat menghasilkan tipe hidrokarbon yang berbeda.

4. Mengetahui jalur migrasi dari suatu hidrokarbon hingga terakumulasi.

1.4 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian akan dilakukan berdasarkan data pada Formasi ―X‖ Cekungan ―Y‖ yang sekiranya akan dilakukan selama tiga bulan dimulai dari bulan Maret hingga bulan Mei dan bertempat di kantor PT Pertamina EP, atau disesuaikan dengan waktu pelaksanaan tugas akhir yang diberikan oleh perusahaan.

(4)

1.5 Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian yang dilakukan adalah:

1. Memberikan pengetahuan,pengalaman, serta wawasan dunia industri dalam menjalankan kegiatan eksplorasi dan produksi migas.

2. Mengetahui penerapan konsep-konsep aplikatif dan integratif yang dijalankan dalam melakukan eksplorasi maupun produksi.

3. Memberikan kontribusi khususnya bagi perkembangan Ilmu Geologi serta bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang pada saat ini.

4. Mendapatkan pemahaman tentang perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang pada dunia migas Indonesia saat ini.

(5)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Geokimia Minyak dan Gas Bumi

Geokimia minyak dan gas bumi merupakan salah satu cabang ilmu geologi yang menerapkan prinsip-prinsip dasar kimia untuk mempelajari asal terbentuknya, migrasi, akumulasi dan alterasi minyak bumi. Dengan menggunakan ilmu ini, maka dapat diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan, migrasi dan akumulasi minyak bumi. Geokimia minyak dan gas bumi juga dapat digunakan untuk:

1. Mengetahui batuan induk dan menentukan jumlah, tipe dan tingkat kematangan dari material organiknya

2. Mengevaluasi waktu terjadinya migrasi minyak dan gas bumii dari batuan induk

3. Memperkirakan jalur migrasi minyak dan gas bumi

4. Mengkorelasikan minyak dan gas bumi yang terdapat pada reservoir untuk mengetahui asal terbentuknya.

A. Batuan Induk

Dalam petroleum system telah dipelajari beberapa komponen penting seperti batuan induk, migrasi, reservoir, trap dan batuan perangkap. Batuan induk merupakan batuan yang mengandung material organik dengan kompisisi kimia tertentu dan dalam jumlah yang cukup untuk membentuk dan mengeluarkan hidrokarbon (Miles, 1989). Batuan induk yang dapat menghasilkan hidrokarbon harus mengalami pengendapan dan memiliki tingkat kematangan yang cukup. Dan batuan induk yang baik juga harus memiliki material organik dengan kualitas dan kuantitas yang baik.

Material organik pada batuan induk dinyatakan dalam Total Organik Carbon (TOC) yang dibagi menjadi dua kelompok, yaitu:

(6)

1. Bitumen : material organik larut yang hanya sedikit menunjukan TOC 2. Kerogen : material organik yang tidak larut yang lebih menunjukkan TOC

B. Bitumen

Bitumen merupakan fraksi material organik pada batuan yang dapat larut dalam pelarut organik. Komposisi bitumen memiliki kesamaan dengan mnyak bumi pada umumnya tetapi proporsinya berbeda yang meliputi hidrokarbon jenuh, hidrokarbon aromatic dan komponen non-hidrokarbon seperti resin dan aspaltene.

C. Kerogen

Kerogen merupakan fraksi material organik dalam batuan yang tidak dapat larut dalam pelarut organik karena molekulnya berukuran besar ( Tissot dan Welte, 1984). Unsur utama pembentuk kerogen berupa karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen dan sulfur.

Pembentukan kerogen dilakukan secara berturut-turut dalam dua tahap yaitu tahap polimerisasi yang melibatkan pembentukan geopolimer dari geomonomer yang terjadi setelah organisme mati dan penyusun kembali komposisi kerogen yang terjadi setelah geopolimer pertama terbentuk dan akan terus berlangsung selama kerogen masih ada. Tahap selanjutnya adalah pembentukan kerogen yang diawali dengan terjadinya diagenesis pada kolom air, tanah dan sedimen yang menyebabkan ukuran molekul geopolimer menjadi lebih besar dengan susunan struktur yang lebih kompleks dan makin tidak teratur karena hilangnya air, CO2 dan amonia dari geopolimer asalnya.

1. Komposisi kerogen

Komposisi kerogen dipengaruhi oleh proses pematangan termal yang terjadi pada material organik yaitu diagenesis, katagenesis dan metagenesis. Tahap diagenesis menyebabkan hilangnya nitrogen dan lepasnya oksigen dalam bentuk air, CO dan CO2 yang biasanya terjadi pada temperatur <70-800C. Pada

tahap katagenesis terjadi kehilangan hidrogen dalam bentuk hidrokarbon, minyak berat terbentuk lebih dulu kemudian hidrogen yang lebih ringan, kondensat dan

(7)

kemudian baru dihasilkan dry gas. Kemudian tahap metagenesis terjadi reorganisasi dari struktur aromatic pada kerogen sisa menjadi struktur grafit ada suhu >1500C. Pada tahap ini terbentuk metana, H2S dan nitrogen.

2. Tipe kerogen

Kerogen menyusun sebagian besar dari material organik. Berdasarkan analisis mikroskopis dari material – material (maseral), kerogen dapat dibagi menjadi 4 kelompok yaitu :

a. Grup alginit

Didominasi oleh maseral alginit yang merupakan alga air tawar, bersifat menghasilkan minyak (oil –prone)

b. Grup eksinit

Didominasi oleh maseral eksinit (spora, polen), kutinit (kutikula dari tumbuhan darat), resinit(resin dari tumbuhan darat, getah dammar), dan liptinit (lemak dari tumbuhan darat dan alga marin), bersifat oil-gas prone

c. Grup vitrinit

Didominasi oleh maseral vitrinit (material selulosa dari tumbuhan berkayu) bersifat gas-prone

d. Grup inertinit

Didominasi oleh arang kayu (charcoal), material organik yang teroksidasi dan terbawa dari tempat lain (reworked), sulit menghasilkan hidrokarbon.

Berdasarkan material organik dan analisis kimia, kerogen dibagi menjadi

empat tipe yaitu:

a. Kerogen Tipe I

 Berasal dari alga danau dan terbatas pada danau anoksik

 Memiliki kandungan hidrogen tertinggi di antara tipe kerogen yang lain tetapi mengandung oksigen jauh lebih rendah dibandingkan tipe III dan

(8)

IV karena terbentuk dari material lemak yang miskin oksigen, misalnya fitoplankton yang tak mengandung lignin atau selulosa

 Cenderung menghasilkan minyak (oil prone) b. Kerogen Tipe II

 Berasal dari sedimen laut dengan kondisi reduksi dengan jenis sumber yang berbeda, yaitu dari alga laut, polen, spora, lapisan lilin tanaman, fosil resin dan lemak tanaman

 Kandungan hidrogen relatif tinggi dan cenderung bersifat oil prone c. Kerogen Tipe III

 Berasal dari material organik darat yang sedikit mengandung lemak (fat) dan lilin (wax)

 Memiliki kandungan oksigen karena sumber material mengandung lignin dan selulosa

 Kandungan hidrogen rendah dan cenderung menghasilkan gas d. Kerogen Tipe IV

 Terdiri dari material teroksidasi yang berasal dari berbagai sumber dan mengandung sejumlah besar oksigen

 Mengandung sistem aromatik dan mempunyai kandungan hydrogen terendah, sehingga tak menghasilkan hidrokarbon

Tipe Kerogen Maseral Material Organik Asal

I

Alginit Eksinit Kutinit

Alga air tawar Polen, Spora

Lapisan lilin tanaman

II Resinit

Liptinit

Resin tanaman

Lemak tanaman, alga laut

III Vitrinit Material tanaman keras (kayu, selulosa)

IV Inertinit Arang, material tersusun ulang yang teroksidasi Pembagian Tipe Kerogen (Waples, 1985)

(9)

Berdasarkan produk yang dihasilkan, kerogen dapat digolongkan menjadi berikut:

a. Oil prone kerogen

Kerogen golongan ini memiliki material lipid dan hidrogen yang kaya serta cenderung menggenerasikan minyak (molekul C6+) ketimbang gas (molekul

C1-5), suhunya berkisar antara 100 – 1500 C dibawah permukaan bumi.

b. Gas prone kerogen

Kerogen golongan ini didominasi oleh lignin dan sedikit hidrogen serta cenderung menggenerasikan gas (molekul C1-5) pada suhu berkisar antara 150 –

2300 C dibawah permukaan bumi.

3. Kematangan Kerogen

Kematangan kerogen dikontrol oleh dua faktor utama yaitu suhu dan waktu. Pengaruh suhu tinggi dalam waktu yang singkat atau sebaliknya akan menyebabkan kerogen terubah dan menghasilkan hidrokarbon. Selain suhu dan waktu, terdapat faktor umur batuan yang berkaitan dengan proses pemanasan dan jumlah panas yang diterima batuan induk.

Kematangan material organik pada umumnya ditentukan dengan:

a. Pemantulan vitrinit (Ro %)

Analisis ini didasari pada suatu pengertian bahwa kematangan pada kerogen akan mengakibatkan perubahan pada fisik kerogen yang dibarengi dengan kemampuannya memantulkan cahaya. Vitrinit sendiri adalah jenis maseral utama penyusun batubara yang juga tersebar luas pada sedimen. Peningkatan pantulan vitrinit akan meningkat seiring panambahan kematangan dan kedalaman.

b. Skala alterasi termal (Thermal Alteration Scale-TAS)

Merupakan salah satu analisis penentuan kematangan material organik yang berbasis pada adanya pengaruh kematangan termal terhadap perubahan fisik pada fosil dari kelompok spora dan polen.

(10)

c. Penentuan temperature maksimum (Tmax) dan indeks produksi minyak (Oil Production Index-OPI)

Tmax merupakan suhu maksimum pada saat pembentukan hidrokarbon yang terjadi selama pirolisis kerogen, sedangkan indeks produksi adalah rasio antara hidrokarbon dalam batuan dan hidrokarbon yang dihasilkan sebagai akibat perubahan kerogen menjadi bitumen selama pembentukan hidrokarbon. OPI akan bertambah seiring meningkatnya material organik.

Tipe Kerogen Hidrogen Indeks

(mg HC/g TOC) S2 / S3

Jenis Hidrokarbon yang Dihasilkan

I >600 >15 Minyak

II 300-600 10-15 Minyak

II/III 200-300 5-10 Campuran minyak

dan gas

III 50-200 1—5 Gas

IV <50 <1 Tidak ada

hidrokarbon Tipe Kerogen dan Kecenderungan Jenis Hidrokarbon Berdasarkan

Hidrogen Indeks dan S2/S3 (Peters & Cassa, 1994)

Tingkat Kematangan

Termal

Mikroskopis Rock-Eval Pirolisis

Ro (%) TAS Tmax (0C) OPI

S1/(S1+S2) Belum matang 0.2-0.6 2 – ¾ <435 <0.10 Matang Awal 0.6-0.65 ¾ - 4/5 435-445 0.10 – 0.15 Puncak 0.65-0.9 ¾ - 4/5 445-450 0.25 – 0.40 Akhir 0.9-1.35 5 – 6 450-470 >0.40 Lewat matang >1.35 >6 >470 -

Klasifikasi Tingkat Kematangan Material Organik Berdasarkan Analisi Mikroskopis dan Rock-Eval Pyrolisis (Peters & Cassa, 1994)

(11)

2.2 Lingkungan Pengendapan dan Kematangan Material Organik

Penentuan lingkungan pengendapan dari material organik dapat menggunakan parameter biomarker. Biomarker merupakan senyawa organik komleks yang terdiri dari karbon, hidrogen dan unsur-unsur lain. Biomarker sering digunakan sebagai indikator kematangan material organik dalam batuan induk, karena perubahan komponen dalam batuan dipengaruhi oleh laju perubahan temperature di bawah permukaan dan lama waktu yang dibutuhkan biomarker untuk mengalami pemanasan.

Terdapat beberapa biomarker yang biasa digunakan dalam penentuan lingkungan pengendapan, yaitu isoprenoid, triterpana dan sterena.

1. Isoprenoid adalah suatu senyawa yang terdiri dari atom karbon rantai lurus dengan kelompok metil (CH3) yang terikat pada setiap atom karbon keempat.

Senyawa isopenoid yang umum digunakan adalah pristan dan fitan yang berkaitan dengan aktifitas bakteri yang hidup saat proses fotosintesa, berasosiasi dengan porfirin dan menunjukkan lingkungan metasalin sampai hipersalin. Batuan induk karbonat seringkali memperlihatkan rasio pristan dan fitan < 1 yang menunjukkan bahwa material organik pada batuan induk tersebut terendapkan dalam lingkungan anoksik.

2. Triterpana adalah senyawa yang terdiri dari lima atom karbon segi enam yang berkaitan dengan kelompok metil. Senyawa triterpana terbentang dari C27

sampai C35, tetapi yang sering digunakan adalah norhopana (C29) dan hopana

(C30). Untuk menunjukkan lingkungan pengendapan harus dilakukan

perbandingan terhadap konsentrasi C29 dan C30. Jika konsentrasi C29 > C30, maka

material organik berasal dari lingkungan karbonat, sebaliknya jika konsentrasi C29

< C30, maka material organik berasal dari serpih yang terendapkan di lingkungan

laut. Menurut Peters dan Moldowan (1991), tingginya konsentrasi C35 secara

spesifik menunjukkan lingkungan laut, sedangkan lingkungan karbonat atau hipersalin ditandai dengan dominasi C34 dan C35. Dalam hal ini jika C35 >C34,

(12)

yang berasosiasi dengan lingkungan yang sangat reduksi (Moldowan et al, 1992). Apabila dalam fragmentogram massa terdapat hopana panjang (C31-C35) yang

semakin mengecil dengan penambahan jumlah karbon, maka pada umumnya material organik tersebut berasosiasi dengan kondisi lingkungan yang oksik.

Pada senyawa triterpana terdapat pula parameter kematangan, yaitu trisnorneohopana (Ts, terdapat pada C27 akibat proses termal) dan trisnorhopana

(Tm, terdapat pada C27 akibat hasil biologis), dimana apabila Ts > Tm maka

diasumsikan batuan sudah matang. Selain pada C27, parameter kematangan juga

didapat pada C31, C32 dan C33, yaitu jika S (sinister) > R (rectus), maka batuan

sudah matang.

3. Sterana adalah senyawa yang terdiri dari tiga lingkar atom karbon segienam dan satu lingkar atom karbon segilima yang saling berkaitan. Senyawa ini terdapat pada C21,C22, C27,C28, dan C29 pada fragmentogram massa.

Lingkungan karbonat atau hipersalin diketahui berdasarkan konsentrasi C21,C22>

C27,C28, dan C29 (Ten Havern et al, 1985 dan Mello et al, 1988). C27 akan

mendominasi pada material organik yang berasal dari alga atau lingkungan laut, sedangkan kontribusi alga danau ditunjukkan dengan kehadiran C28<C27 dan C29.

Material organik yang berasal dari tanaman keras atau merupakan material darat ditunjukkan dengan dominasi C29, sementara itu dominasi C30 mengindikasikan

pengaruh kondisi laut (Moldowan et al, 1985). Pada senyawa sterana juga terdapat suatu parameter kematangan, yaitu pada C29 yang ditunjukkan dengan notasi 20 R

dan 20 S, dimana 20R > 20 S maka batuannya belum matang.

Selain itu untuk mengetahui tingkat kehadiran karbon dalam material organik digunakan suatu biomarker berupa n-alkana yang nerupakan seri hidrokarbon yang paling sederhana karena tidak memiliki cabang yang dapat pula digunakan sebagai indikator kematangan material organik. Tingkat kehadiran karbon (Carbon Preferences Index-CPI) didasari pada tingkat konsentrasi karbon C23, C24, C25, C26, C27, C28, C29, C30, C31 dan dirumuskan sebagai berikut :

CPI = (C23 + C25 + C27 + C29) + (C25 + C27 + C29 + C31)

(13)

Property Carbonate Marine Shale Deltaic Shale Bulk properties API gravity Sulfur, wt% Sat/Arom CPI 10 – 30 >0.6 0.3 – 1.5 <1 25 – 40 0.2 – 0.5 1 – 2 1 – 1.5 35 – 45 <0.2 >2 >1.5 Biomarker properties Pr/Ph Ph/nC18 Steranes Steranes/hopanes C24Tetra-/C26Tric.Trep C29/C30 hopanes C35/C30 hopanes Gammacerane <1 >0.3 C27>C29 Low Medium-high High (>1) High High 1.1 – 1.8 <0.3 C27<C29 High Low-medium Low Low Low 2 – 4 <0.1 C27<C29 High Low Low Low Low

Klasifikasi Lingkungan Pengendapan Berdasarkan Karakter Kimia (Peters & Moldowan, 1994)

2.3 Aplikasi Biomarker pada Geokimia Minyak dan Gas Bumi

Dalam eksplorasi minyak dan gas bumi, biomarker sering digunakan untuk antara lain:

1. Mengetahui jumlah relative material organik yang bersifat oil-prone dan gas-prone pada kerogen

2. Mengetahui umur batuan

3. Mengetahui lingkungan pengendapan 4. Mengetahui tingkat kematangan termal

5. Mengetahui korelasi hidrokarbon dengan batuan induk

Terdapat empat kelompok biomarker utama yang sering digunakan yaitu terpane, sterane, steroid aromatic dan porfirin.

(14)

1. Terpane

a. m/z 191 fingerprint

Sebagian besar dari senyawa golongan terpane pada hidrokarbon berasal dari lipid pada membran bakteri. Senyawa ini meliputi beberapa seri yang homolog seperti komponen asiklik, bisiklik (drimane), trisiklik, tetrasiklik dan pentasiklik (mis. hopane).

Komponen terpane (m/z 191) seperti trisiklik, tetrasiklik, hopane biasanya digunakan untuk mengkorelasikan minyak dengan batuan induk (Seifert et al., 1980). Terpane trisiklik berkisar dari C19 hingga C45. Trisiklik C28 dan C29

sering digunakan untuk melakukan korelasiminyak dan bitumen. Terpane trisiklik (<C30) kemungkinan berasal dari isoprenoid C30 reguler yang

merupakan penyusun membran prokariotik. Diterpane trisiklik (C19-C20)

diyakini berasal dari diterpenoid seperti asam abietik yang dihasilkan oleh tumbuhan vaskuler.

Terpane bisiklik terdapat pada hampir semua sedimen dan minyak mentah sehingga dianggap berasal dari mikroba. Terpane tetrasiklik C24-C27

nampaknya merupakan hopane yang terdegradasi. Tetrasiklik terpane lebih resistan terhadap biodegradasi dan maturasi ketimbang hopane.

Hopane merupakan triterpane pentasiklik yang biasanya mengandung 27-35 atom karbon pada struktur naftenik yang tersusun atas empat cincin segi enam dan satu cincin segi lima. Hopane berasal dari prekursor membran bakteri.

b. Homohopane

Homohopane (C31-C35) diyakini berasal dari bakteriohopanetetrol dan

hopanoid C35 lain yang terdapat pada organisme prokariotik. Homohopane

sering diaplikasikan sebagai indikator potensial redoks dari sedimen laut selama diagenesis, tetapi dipengaruhi oleh efek maturasi.

(15)

Rasio Pr/Ph yang tinggi (>3) mengindikasikan material organik terestrial dengan kondisi oksik, sedangkan nilai yang rendah (<0.6) mengindikasikan lingkungan anoksik, umumnya hipersalin. Rasio Pr/Ph akan meningkat seiring dengan meningkatnya kematangan.

d. Botryococcane menunjukkan lingkungan lakustrin atau brackish karena berasal dari alga Botryoccus braunii.

e. Oleanane/C30 Hopane (Indeks Oleanane) mengindikasikan input dari

tumbuhan tingkat tinggi berumur Kapur atau lebih muda.

f. Gammacerane merupakan triterpane C30 yang mengindikasikan kondisi

hipersalin.

g. β-Carotane mengindikasikan lingkungan lakustrin.

h. Cardinane mengindikasikan input material resin dari tumbuhan tingkat tinggi.

i. Tetrasiklik diterpane mengindikasikan input material organik terestrial terutama konifer.

j. Trisiklik terpane/hopane tahan terhadap biodegradasi. Konsentrasi yang rendah pada minyak dan bitumen dari batuan karbonat.

k. Tetrasiklik terpane tahan terhadap biodegradasi. Konsentrasi C24 yang

tinggi mengindikasikan lingkungan karbonat atau evaporit.

2. Sterane

a. -hopane

Rasio sterane dengan hopane merefleksikan input dari material eukariotik (alga dan tumbuhan tingkat tinggi) dengan prokariotik (bakteri). Rasio sterane/hopane >1 menunjukkan lingkungan marin dengan alga.

(16)

b. Sterane C27-C28-C29

Nilai C27-C28-C29 dapat diplot pada suatu diagram segitiga untuk

menentukan lingkungan pengendapan. Diaram ini dapat digunakan untuk membedakan hidrokarbon dari batuan induk yang berbeda atau fasies organik berbeda pada batuan induk yang sama.

c. C30/ (C27-C28-C29-C30)

Rasio sterane C30/ (C27-C28-C29-C30) jika diplot dengan rasio

oleanane/hopane akan dapat mengidentifikasi input material darat dengan marin. Lingkungan pengendapan lagoon yang salin dicirikan oleh rendahnya rasio sterane C30/(C27-C28-C29-C30) ketimbang rasio pada lingkungan laut

terbuka. Nilai rasio sterane C30/(C27-C28-C29-C30) yang nol menunjukkan

minyak nonmarin. Tidak terdapatnya sterane C30 pada hidrokarbon yang lebih

tua dari 500 juta tahun lalu diinterpretasikan sebagai gap evolusi saat munculnya sterol C30 pada organisme laut atau dominasi dari biota marin oleh

spesies yang tak mengandung sterol C30.

d. Diasterane C27-C28-C29

Aplikasi penting dari plot Diasterane C27-C28-C29 pada diagram segitiga

adalah untuk identifikasi minyak yang terbiodegradasi dimana sterane teralterasikan, sementara diasterane tidak.

e. Diasterane/sterane

Aplikasi utamanya adalah untuk membedakan hidrokarbon yang berasal dari material karbonat dengan yang berasal dari material klastik. Rasio diasterane/sterane yang rendah menunjukkan batuan induk karbonatan poor clay yang anoksik, sedangkan batuan induk yang kaya akan clay ditunjukkan oleh rasio sebaliknya. Nilai rasio yang tinggi juga dapat disebabkan oleh efek maturasi dan biodegradasi.

(17)

3. Steroid Aromatik

Biomarker aromatik dapat memberikan informasi input material organik serta berguna dalam oil-source correlation dan identifikasi maturasi termal.

a. Steroid monoaromatik (MA) C27-C28-C29

Diagram segitiga dari steroid MA dan sterane memberikan bukti korelasi yang lebih kuat karena mempresentasikan komponen dari asal yang berbeda, sehingga dapat memberikan bukti independen dalam korelasi. Selain itu, lokasi plot dari diagram ini tidak berubah secara signifikan di sepanjang oil window.

b. Steroid triaromatik (TA) C26-C27-C28

Aplikasinya serupa dengan steroid monoaromatik hanya saja steroid TA lebih sensitif terhadap efek maturasi karena steroid TA sendiri merupakan produk maturasi dari proses aromatisasi steroid MA.

c. Benzohopane

Benzohopane memiliki kisaran rantai karbon mulai dari C32-C35. Minyak

dan bitumen dari batuan induk karbonat dan evaporit menunjukkan konsentrasi benzohopane yang tinggi meskipun hanya ditemukan sebagai trace pada batuan induk dan hidrokarbon

4. Porfirin

Porfirin merupakan komponen organometalik tetrapirolik yang tersusun atas vanadium dan nikel pada hidrokarbon (Boduszynski, 1987). Komponen ini cukup resistan terhadap biodegradasi. Rasio V/(V+Ni) porfirin menunjukkan kondisi pengendapan batuan induk pada kondisi reduksi.

2.4 Korelasi Sumber Minyak dan Gas Bumi

Oil-source correlation didefinisikan sebagai hubungan kausal antara minyak dengan fasies batuan sumbernya berdasarkan integrasi data geologi dan

(18)

geokimia (Jones, 1987). Hubungan kausal ini didasarkan pada kondisi saat batuan induk menghasilkan minyak, bukan didasarkan pada perubahan yang terjadi terhadap komposisi batuan induk dan minyak. Jadi, tugas dari seorang ahli geokimia dalam melakukan oil-source correlation adalah untuk mengisolasi dan mengidentifikasi perubahan komposisi yang terjadi baik pada batuan induk maupun minyak setelah minyak meninggalkan batuan induknya serta membuat kompensasi dari perubahan tersebut yaitu pada saat belum terjadi perubahan komposisi (Curiale, 1993).

Suatu korelasi batuan induk dengan minyak yang baik harus dapat memperkirakan volume minyak yang dihasilkan serta menentukan jalur migrasinya. Apabila peta-peta lokasi dan geokimia minyak baik yang didapat dari indikasi permukaan (oil seep), sumur, dan akumulasi minyak yang komersial tersebut dibandingkan dan ternyata memiliki kesamaan, maka dapat disimpulkan bahwa seluruh minyak yang terdapat di lokasi tersebut berasal dari sumber yang sama.

Apabila data geokimia mengindikasikan hubungan genetik antara minyak dengan batuan induk, atau jika hasil korelasinya positif, maka dapat ditentukanlah petroleum system di suatu tempat. Peta distribusi daripada minyak dan batuan induk ini menunjukkan lingkup stratigrafi dan geografi dari petroleum system tersebut.Sedangkan jalur migrasi berada diantara batuan induk dan lingkup geografi dari sistem tersebut dan volume dari minyak yang dihasilkan dapat diperkirakan.

Dalam melakukan korelasi minyak dengan batuan induk, fosil geokimia atau biomarker memiliki peranan yang sangat penting. Data tersebut diperoleh dari hasil analisis Gas Chromatography-Mass Spectrometry (GC-MS). Selain itu informasi penting untuk melakukan korelasi juga didapat dari data rasio isotop karbon.

(19)

BAB III

METODE PENELITIAN

Analisis Geokimia Minyak dan Gas Bumi biasanya digunakan untuk mengetahui kuantitas, kualitas dan tingkat kematangan suatu material organic yang terdapat pada suatu batuan induk, dan bisa digunakan untuk mengetahui korelasi hidrokarbon dengan batuan induk.

Pada pengerjaan tugas akhir ini, diperlukan proses identifikasi dan deskripsi untuk mengetahui kondisi daerah penelitian dan analisis hasil laboratorium. Pada bab ini akan membahas mengenai objek penelitian, tahap penelitian, tahap persiapan, tahap pembahasan dan penyusunan laporan.

3.1 Objek Penelitian

Objek penelitian merupakan data lapangan berupa sampel tanah atau batuan yang digunakan sebagai data primer, dan datsa hasil laboratorium yang merupakan data sekunder.

3.2 Tahap Penelitian

Tahap penelitian merupakan tahap pengerjaan yang meliputi tahap persiapan dan tahap analisis.

3.2.1 Tahap Persiapan

Tahap persiapan dimulai dengan pembuatan usulan penelitian. Kemudian dilakukan pekerjaan yang bersifat menunjang kelancaran tahap analisis data. Persiapan yang dilakukan berupa studi pustaka yaitu mencari studi literatur tentang daerah penelitian dari peneliti terdahulu, bacaan dari laporan penelitian, text book, publikasi, dan makalah.

(20)

Tahap analisis dilakukan berdasarkan hasil data laboratorium. analisis yang diperlukan yaitu analisis kuantitas, analisis kualitas dan analisis tingkat kematangan material organic, juga korelas hidrokarbon dengan batuan induk.

1. Analisis Kuantitas Material Organik

Kuantitas atau jumlah hidrokarbon yang dihasilkan pada suatu batuan induk, pada prinsipnya berhubungan dengan kandungan material organk di dalamnya. Faktor kuantitas material organic umumnya disebut Karbon Organik Total atau Total Organik Carbon (TOC). Nilai TOC dapat diperoleh dari proses pemanasan. Kandungan TOC yang tinggi menunjukkan batuan cukup mampu untuk memproduksi hidrokarbon. Kandungan TOC yang rendah tidak perlu dilakukan analisis karena tidak menghasilkan hidroarbon yang baik.

Kandungan TOC yang cukup untuk memproduksi hidrokarbon adalah 0.5% untuk batuan serpih atau non karbonat dan 0.3% untuk batuan karbonat (Tissot dan Welte, 1984 ).

%TOC KUALITAS <0.5 Sangat Buruk 0.5 – 1 Buruk 1 – 2 Cukup 2 – 4 Baik 4 – 12 Sangat Baik

>12 Serpih Minyak / Batubara Nilai Kuantitas dan Kualitas Material Organik pada Suatu Batuan

(Waples,1985) 2. Analisis Kualitas Material Organik

Rock-Eval Pyrolysis dilakukan untuk mengetahu tipe dan kematangan dari material organik dan untuk mengetahui potensi hidrokarbon. Analisis ini terdiri dari pemanasan temperatur pada oven pirolisis dengan sedikit sampel yang secara kuantitatif dan selektif menentukan kandungan hidrokarbon bebas pada sampel

(21)

dan kandungan senyawa hidrokarbon dan oksigen (CO2) yang lepas selama

peretakan kandungan organik yang tidak bisa diekstraksi pada sampel.

Selama pemanasan, hidrokarbon yang sudah ada pada batuan (S1) yang

dianggap setara dengan jumlah bitumen pada batuan tersebut akan tervolatilisasikan untuk pertama kali. Kemudian pirolisis berlanjut hingga munculnya aliran hidrokarbon kedua dari penguraian termal (S2). Temperatur

teringgi pada saat aliran hidrokarbon S2 mencapai maksimum disebut Tmax. S2

merupakan indikator penting dalam penentuan kualitas material organik karena mengindikasikan kemampuan kerogen dalam memproduksi hidrokarbon saat ini. Selain mengeluarkan hidrokarbon, pada proses pirolisis kerogen juga mengeluarkan sejumlah karbon dioksida (S3).

Diagram Skematik Rock-Eval Pyrolisis (Diadaptasi dari Waples, 1985) Setelah parameter S1, S2, S3 dan Tmax didapat, maka dapat dihitung

Oxygen Index (OI) dan Hidrogen Index (HI) dalam kerogen serta nilai Oil Production Index (OPI) dan Potential Yield (PY). Dengan memplot nilai OI dan HI pada diagram Van Krevelen didapat jalur evolusi kerogen.

(22)

Berikut rumus perhitungan Hidrogen Index (HI), Oxygen Index (OI), Oil Production Index (OPI), dan Potential Yield (PY)

HI = (100 x S2) / TOC

OI = (100 x S3) / TOC

OPI = S1 / (S1+S2)

(23)

Tipe Kerogen Hidrogen Indeks (mg HC/g TOC) S2 / S3 Jenis Hidrokarbon yang Dihasilkan I >600 >15 Minyak II 300-600 10-15 Minyak II/III 200-300 5-10 Campuran minyak dan gas III 50-200 1—5 Gas IV <50 <1 Tidak ada hidrokarbon

Tipe Kerogen dan Kecenderungan Jenis Hidrokarbon Berdasarkan Hidrogen Indeks dan S2/S3 (Peters & Cassa, 1994)

Setelah diperoleh nilai HI dan OI, nilai tersebut kemudian diplot kedalan diagram Van Krevelen, sehingga diperoleh jalur evolusi kerogen atau tipe kerogen yang dihasilkan.

(24)

dalam Tissot, 1978)

3. Analisis Tingkat Kematangan Material Organik

Evolusi termal dari batuan induk selama diagenesis, katagenesis dan metagenesis dapat merubah parameter fisika dan kimia dari material organik.Parameter tersebut dapat dianggap sebagai indikator maturasi/ kematangan yang diperoleh dari hasil pengamatan optikal dari kerogen, analisis fisikokimia dari kerogen serta analisis kimia dari bitumen (oil).

a. Vitrinite Reflectance (Ro)

Pengukuran pemantulan vitrinit dilakukan dengan mengamati vitrinit pada sinar langsung yang kemudian diukur pantulannya oleh sebuah alat fotometer. Untuk mengetahui tingkat kematangan batuan induk digunakan dua parameter tingkat suhu pematangan berdasarkan hasil pengukuran refleksitansi vitrinit dan suhu pematangan (Tmax) dari pirolisis batuan

b. Penentuan Tmax pada Rock-Eval Pyrolisis

Hidrokarbon akan mulai terbentuk apabila temperatur maksimumnya telah terapai. Oleh sebab itu temperatur maksimum dapat digunakan sebagai salah satu indikator kematangan. Nilai Tmax diperoleh bersamaan dengan pencatatan parameter S1, S2 dan S3 pada Rock-Eval Pyrolisis, dan Tmax adalah puncak S2.

Tingkat Kematangan

Termal

Mikroskopis Rock-Eval Pirolisis

Ro (%) TAS Tmax (0C) OPI

S1/(S1+S2) Belum matang 0.2-0.6 2 – ¾ <435 <0.10 Matang Awal 0.6-0.65 ¾ - 4/5 435-445 0.10 – 0.15 Puncak 0.65-0.9 ¾ - 4/5 445-450 0.25 – 0.40 Akhir 0.9-1.35 5 – 6 450-470 >0.40 Lewat matang >1.35 >6 >470 -

(25)

Klasifikasi Tingkat Kematangan Material Organik Berdasarkan Analisi Mikroskopis dan Rock-Eval Pyrolisis (Peters & Cassa, 1994) c. Penentuan Carbon Preference Index (CPI)

CPI merupakan salah satu indikator kematangan material organik yang diperoleh dari kromatografi pada bitumen.CPI adalah rasio n-alkana bernomor ganjil dengan genap. Dominasi n-alkana nomor ganjil terdapat pada sedimen di lingkungan dangkal. Dominasi ini akan berkurang seiring penambahan kematangan sampai jumlah n-alkana ganjil seimbang dengan n-alkana genap yang menunjukkan late mature - post mature.

4. Korelasi Hidrokarbon dengan Batuan Induk

Teknik korelasi geokimia secara garis besar dapat dibagi menjadi dua metode utama yaitu bulk methods dan molecular methods. Bulk methods meliputi karakteristik fisik, fraksinasi komposisi, konsentrasi elemen dan rasio isotop. Sedangkan molecular method melibatkan paramater fosil geokimia atau yang sering disebut biomarker.

a. Bulk Methods

Karakteristik fisik meliputi warna, nilai API gravity dan viskositas. Penggunaan parameter karakter fisik sebagai alat korelasi memiliki keterbatasan karena bersifat sangat kasar dan sangat terpengaruh oleh efek non-genetic seperti biodegradasi, maturasi, migrasi dan water washing.

Fraksinasi komposisi merupakan separasi fraksi komposisional dari minyak dan ekstrak batuan serta perbandingan dari distribusi fraksi-fraksi tersebut baik pada minyak maupun pada batuan sumber yang diperkirakan menggenerasikan minyak tersebut. Tahap ini meliputi analisis komposisi SANA (saturate, aromatic, NSO, aspalten) dan SBC (hidrokarbon rantai lurus). Fraksi ini merupakan parameter korelasi kimia pertama yang masih sangat rentan dipengaruhi oleh faktor non genetik, sehingga belum memadai untuk digunakan sebagai alat korelasi.

(26)

Konsentrasi elemen cukup umum digunakan sebagai parameter korelasi. Teknik ini merupakan pengukuran konsentrasi sulfur dan elemen transisi lain seperti vanadium dan nikel. Meskipun teknik ini sudah umum digunakan, tetapi konsentrasi elemen juga rentan berubah karena pengaruh proses alterasi, sehingga penggunaan teknik ini juga harus berhati-hati terhadap faktor biodegradasi dan alterasi termal pada reservoir.

Dari keseluruhan parameter korelasi dengan bulk method, maka rasio isotop adalah parameter yang paling dapat dipercaya. Rasio isotop karbon yang stabil pada minyak, ekstrak batuan induk, kerogen, dan fraksi kromatografi gas merupakan alat korelasi yang baik. Ada aturan yang mengatakan bahwa minyak harus lebih ringan secara isotopis sekitar 0.5-1.5% dibandingkan kerogen sumbernya (Peters et.al, 1989). Rasio isotop karbon dari fraksi komponen yang bersifat soluble seperti hidrokarbon aromatik relatif tidak terpengaruh oleh migrasi dan biodegradasi ringan sampai sedang, sedangkan rasio isotop karbon dari fraksi yang lain seperti hidrokarbon alifatik dapat bervariasi karena dipengaruhi oleh proses non genetic

b. Molecular Methods

Molecular methods yang merupakan metode yang cukup terpercaya dalam melakukan korelasi melibatkan penggunaan biomarker yang diperoleh dari Gas Chromatography-Mass Spectrometry (GCMS). Pada dasarnya parameter biomarker untuk korelasi haruslah mudah diisolasi dan dikarakterisasi, tetapi memiliki properti fisika dan kimia yang serupa seperti polaritas, kelarutan dan berat molekul. Steroid dan triterpenoid merupakan biomarker yang cukup dapat dipercaya untuk melakukan korelasi.

Gas Chromatography-Mass Spectrometry merupakan metode yang digunakan untuk mengevaluasi biomarker dengan prinsip kerja, yaitu:

1. Separasi komponen oleh kromatografi gas

2. Transfer dari komponen yang terseparasi ke ruang ionisasi dari spektrometri massa

(27)

3. Ionisasi

4. Analisis massa

5. Deteksi ion oleh electron multiplier

6. Akuisisi, pemrosesan, dan penyajian data oleh computer

GCMS dapat digunakan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi komponen berdasarkan waktu retensi, pola elusi dan pola fragmentasi spektrum massa yang mencirikan strukturnya. Data GCMS diperoleh dengan menggunakan kolom kapiler beresolusi tinggi (sekitar 50 m), spektrometer massa dan rapid scanning (Peters dan Moldowan, 1993)

Pada kromatografi gas, fraksi aromatik atau jenuh disuntikan melalui suatu syringe. Molekul yang lebih besar akan terperangkap pada fase stasioner pada kepala GC, proses ini disebut ―cold trapping‖. Suhu dinaikkan secara bertahap oleh oven sehingga komponen yang terperangkap akan bergerak maju. Pada GC, setiap sampel yang diinjeksi akan diuapkan dan dicampur dengan gas pembawa yang inert seperti He. Gas ini (fase mobile) dan sampel bergerak melewati kolom kapiler tipis yang panjang yang bagian dalamnya dilapisi film tipis dari cairan nonvolatil (fase stasioner). Komponen-komponen akan diseparasikan saat sampel ditangkap oleh fase stasioner dan dilepaskan ke fase mobile.

Setelah komponen dipisahkan oleh GC, maka selanjutnya akan ditransfer ke spektrometer massa (MS) untuk dianalisis. Molekul yang masuk akan diionisasi dengan cara ditembak oleh elektron sehingga akan membentuk ion molekuler. Ion ini akan dianalisis berdasarkan rasio massa dengan muatannya (m/z). Hasilnya adalah pola fragmentasi atau spektrum massa dari molekul tersebut. Setelah dilakukan korelasi terhadap parameter seperti pada, dilakukanlah integrasi dengan data seismik dan data log geokimia atau data log geofisika untuk merekonstruksi peta distribusi source rock (geochemical map).

Log geokimia biasanya berisi data Rock-Eval Pyrolisis, Total Organic Carbon (TOC), Vitrinite Reflectance (Ro), serta litologi yang berguna dalam

(28)

mengidentifikasi keterdapatan batuan induk, evolusi termal, serta keterdapatan hidrokarbon in-situ maupun yang telah bermigrasi.

Peta distribusi source rock (geochemical map) dapat direkonstruksi dari beberapa log geokimia yang dikombinasikan dengan data seismik. Dengan data seismik, maka dapat diperkirakan perkiraan distribusi source rock serta kemungkinan terjadinya migrasi sekunder baik melalui mekanisme pensesaran (faulting) maupun perangkap stratigrafi.

3.4 Tahap Pembahasan dan Penyusunan Laporan

Tahap ini merupakan hasil akhir dari penelitian yang berupa pembahasan dari awal hingga akhir penulis membuat Tugas akhir ini yang secara sistematis disusun dalam sebuah laporan yang terdiri dari pendahuluan, tinjauan pustaka, metode penelitian, pembahasan, dan kesimpulan serta saran.

(29)

PENUTUP

Demikian proposal tugas akhir ini saya ajukan dengan harapan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam pengajuan Program Tugas Akhir yang ditujukan kepada PT Pertamina EP. Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan berkah dan kelancaran pada kegiatan ini sehingga dapat berjalan dengan lancar dan memberikan manfaat bagi semua pihak. Atas perhatian yang telah diberikan, saya ucapkan terima kasih.

REKOMENDASI :

Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran, Jl. Raya Bandung – Sumedang KM.21 Jatinangor 45363 Telp./Fax. : (022) 7796-545 email : ftg@unpad.ac.id

Jatinangor, 24 Januari 2014 Mahasiswa Pemohon,

Vera Christanti Agusta 270110100068

(30)

DAFTAR PUSTAKA

Koesoemadinata, R. P., 1980, Geologi Minyak dan Gas Bumi, Penerbit ITB, Bandung

Lewan, 1986, dalam Heru Tanjung, 2007, Skripsi kualitas, kuantitas dan kematangan material organik pada batuan induk. Universitas Padjajaran, Bandung.

Peters, KennethE., and J. Michael Moldowan, 1993, The Biomarker Guide, Prentice-Hall Inc, New Jersey

Tissot and Welte, 1984, dalam Heru Tanjung, 2007, Skripsi kualitas, kuantitas dan kematangan material organik pada batuan induk. Universitas Padjajaran, Bandung.

Tearpock dan Biscke, 1991, dalam Heru Tanjung, 2007, Skripsi kualitas, kuantitas dan kematangan material organik pada batuan induk. Universitas Padjajaran, Bandung.

Waples.1985, dalam Heru Tanjung, 2007,Skripsi kualitas, kuantitas dan kematangan material organik pada batuan induk, Universitas Padjajaran, Bandung.

(31)

CONTACT PERSON:

VERA CHRISTANTI AGUSTA NPM 270100100068

No.HP : 085692058508

Gambar

Diagram Skematik Rock-Eval Pyrolisis (Diadaptasi dari Waples, 1985)  Setelah  parameter  S 1 ,  S 2 ,  S 3   dan  Tmax  didapat,  maka  dapat  dihitung  Oxygen  Index  (OI)  dan  Hidrogen  Index  (HI)  dalam  kerogen  serta  nilai  Oil  Production Index  (
Diagram Van Krevelen (Dimodifikasi dari Espitalie et al., 1977

Referensi

Dokumen terkait

Evaluasi pembelajaran menggunakan komputer berbasis multimedia dapat dibuat dengan Flash sebagai interface atau front-end, dimana pengguna memasukkan data dan

Aplikasi game ini menggunakan teknologi voice recognition sehingga user dapat bermain dengan karakter anjing Dug dan inter-devices connection menggunakan Bluetooth untuk

Mahasiswa dan dosen pada saat menggunakan ruang kelas dan mendapatkan beberapa peralatan pendukung kegiatan belajar mengajar rusak atau tidak berfungsi dengan baik dan

Pengembangan sistem teknologi online dalam melakukan proses pelayanan dan kegiatan operasional perusahaan agar setiap Kantor Wilayah dan Kantor Cabang atau UPC

Berdasarkan hal tersebut, maka dalam persepsi dapat dikemukakan karena perasaan, kemampuan berpikir, pengalaman-pengalaman individu tidak sama, maka dalam mempersepsi sesuatu

Sebagai media pertanggung jawaban kinerja, Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Badan Perencanaan, Penelitian dan Pengembangan (Bapelitbang) Kabupaten Rote

sama huria ni tuhatta amєn addoraŋ so tajaha jamita on adoŋ go sada carita ni paddita nami tikki naposo au tariŋot tu parpasar pagi ŋa leleŋ on ŋa tahapal ra on alai apala pas

oleh suatu proses tidak bisa sembarangan diambil dari proses tersebut, melainkan harus dilepaskan dengan sendirinya oleh proses. Æ Circular Wait : setiap proses menunggu