• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. untuk mencegah, menyatakan, menolak, atau membatalkan keputusan. 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. untuk mencegah, menyatakan, menolak, atau membatalkan keputusan. 1"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

16

BAB II

KAJIAN PUSTAKA A. Tinjauan Hak Veto

Hak Veto ditinjau dari strukturnya terdiri atas dua kata, yakni hak dan veto. Penafsiran secara leksikal menunjukkan bahwa arti kata hak adalah kekuasaan untuk berbuat sesuatu karena telah mendapatkan legalitasnya dalam peraturan perundang-undangan, sedangkan makna veto adalah hak konstitusional penguasa untuk mencegah, menyatakan, menolak, atau membatalkan keputusan.1

Secara terminologis, arti kata hak sebagaimana dikutip oleh Achmad Ali dan Wiwie Heryani atas pernyataan Dias adalah suatu tuntutan yang karena adanya suatu kaidah hukum yang dipunyai oleh seseorang terhadap orang lain, agar orang lain tersebut berbuat menurut suatu kaidah tertentu.2 Pada kata veto, makna secara terminologisnya diutarakan oleh Setiawan Widagdo sebagai perbuatan melarang, tidak mengizinkan, atau menolak.3

Tatkala dua terminologi di atas digabungkan, maka kurang lebih arti daripada hak veto adalah kekuasaan yang diberikan oleh peraturan

1 Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Republik Indonesia. 2016. Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring.

https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/hak diakses pada 21 April 2020 pukul 21.56 WIB.

2 Achmad Ali & Wiwie Heryani, 2015. Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata. Jakarta.

Prenadamedia Group. Hal 34.

3 Setiawan Widagdo, 2012. Kamus Hukum. Jakarta. Prestasi Pustaka Publisher. Hal 582.

(2)

17 perundangundangan kepada pemegang jabatan tertentu untuk melarang, mencegah atau membatalkan sebuah keputusan.

Konteks ketatanegaraan biasanya mengidentikkan hak veto dengan kewenangan Presiden untuk menolak suatu rancangan undang-undang tatkala akan disahkan. Hal ini dipahami dengan mengambil contoh sistem pemerintahan presidensial di Amerika Serikat. Seorang Presiden di Amerika Serikat demi menyelenggarakan kesejahteraan rakyat berhak menggunakan hak veto untuk menolak undang-undang yang sudah disetujui oleh Congress.4

Pengertian hak veto sebagai kewenangan Presiden, selaras dengan pengertian yang tercantum pada Black’s Law Dictionary:5

“What is veto? I forbid. Tlie veto-power is power vested in the executive

officer of some goverments to declare bis refusal to assent to any bill or measure which has been passed by the legislature. It is either absolute or qualified, according as the effect of it’s exercise is either to destroy the bill finally, or to prevent it’s becoming law unless again passed by a started proportion of votes or with other formalities”.

Pada konteks yang lainnya dalam hukum internasional juga dikenal hak veto bagi negara-negara besar anggota tetap Dewan Keamanan Perserikatan BangsaBangsa (PBB) atau yang biasa disebut the big five (Amerika Serikat, Inggris,

4 Sirajuddin & Winardi, 2015. Dasar-Dasar Hukum Tata Negara Indonesia. Malang. Setara

Press. Hal 76.

5 Black’s Law Dictionary Free Second Edition & The Law

(3)

18 Perancis, Cina dan Rusia). Hak veto bagi the big five merupakan hak istimewa untuk menolak suatu keputusan yang berhubungan dengan kewenangan Dewan Keamanan PBB.6

B. Teori Pembagian Kekuasaan

Lintasan sejarah membuktikan pembagian kekuasaan dan hak asasi manusia berjalan selaras. Pembagian kekuasaan dalam menyelenggarakan pemerintahan diniscayakan agar kekuasaan tidak hanya beredar pada satu subyek tertentu, karena dengannya penyimpangannya akan semakin besar. Lord Acton menyebutkan “Power tends to corrupt but absolute power corrupt absolutely”.

Secara tegas melalui gagasannya di era rasionalisme (pertengahan abad ke17 hingga akhir abad ke-18) John Locke menyatakan bahwa kekuasaan atas negara yang dimiliki pemerintah tidak boleh mengganggu hak-hak dari individu. Hal ini diketahuinya melalui metode empirisme dalam meninjau lahirnya suatu negara dan hukum.7

John Locke menyebutkan bahwa pada fungsi negara terhadap rakyat dibagi tiga cabang kekuasaan, yakni legislatif, eksekutif dan federatif. Kekuasaan

6 Ade Ichsan Yasir Nasution, 2012. Hak Veto oleh Negara Anggota Tetap Dewan Keamanan PBB dan Implikasinya Terhadap Upaya Keamanan dan Perdamaian Dunia: Studi Kasus Konflik Israel – Palestina. Bandung. Skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pasundan. Hal 56.

(4)

19 legislatif berperan untuk membentuk undang-undang yang tetap berdasarkan atas hukum alam saja.

Pada kekuasaan eksekutif, adalah kekuasaan untuk melaksanakan undangundang demi kepentingan umum (termasuk kekuasaan mengadili). Sedangkan kekuasaan federatif adalah kewenangan untuk mengambil keputusan menyatakan perang dan mengadakan perdamaian, membuat kontrak dengan negara lain dan kerjasama.8

Montesquie mengembangkan lebih lanjut pemikiran John Lock dalam bukunya L’Esprit des Lois (the Spirit of the law) membagi dalam tiga cabang kekuasaan, yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif dimana kekuasaan tersebut harus terpisah satu sama lain, baik mengenai tugas (fungsi) maupun alat pelengkap (organ) yang menggerakannya. 9

Kekuasaan legislatif adalah kekuasaan untuk membuat undang-undang, kekuasaan eksekutif meliputi penyelenggaraaan undang-undang (diutamakan tindakan di bidang politik luar negeri), sedangkan kekuasaan yudikatif merupakan kekuasaan mengadili atas penyelenggaraan undang-undang.10

Perbedaan pendapat antara John Lock dan Montesque terletak pada kekuasaan yudikatif. John Lock memasukan kekuasaan yudikatif (mengadili)

8 Ibid. Hal 84.

9 Miriam Budiardjo, 2010. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama.

Hal . 282

(5)

20 dalam lembaga eksekutif, sedangkan Montesque memisahkan secara tegas kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif. Namun, sebaliknya Montesque memasukan kekuasaan hubungan luar negeri pada kekuasaan eksekutif, sedangkan John Lock memasukan kekuasaan hubungan politik luar negeri pada kekuasaan federasi.

Terkait pandangan Montesque, Jimly Assiddiqie menyatakan:11

“Konsepsi Trias Politica yang diidealkan oleh Montesque jelas tidak relevan bagi dewasa ini, mengingat tidak mungkin lagi mempertahankan bahwa ketiga organisasi tersebut hanya berurusan secara eksklusif dengan salah satu dari ketiga fungsi kekuasaan tersebut. Kenyataan dewasa ini menunjukan bahwa hubungan antar cabang kekuasaan itu tidak mungkin tidak saling bersentuhan, dan bahwa ketiganya bersifat sederajat dan saling mengendalikan satu sama lainnya sesuai dengan prinsip checks and balance.”

Maka dengan pandangan Jimly secara harfiah dapat ditafsirkan Trias

Politica cenderung pada “pembagian kekuasaan” (division of power / distribution of power) yang diartikan bahwa hanya fungsi pokok yang dibedakan menurut sifatnya

serta diserahkan kepada badan yang berbeda (distinct hands), tetapi untuk selebihnya kerja sama antar fungsi-fungsi tersebut tetap diperlukan untuk kelancaran organisasi.12

11 Saldi Isra. Op.,Cit. Hal 76

(6)

21 Perter L. Strauus cenderung mempersamakan distribution of power dengan check

and balance. Dikutip dalam bukunya ”The Place of Agencies in Goverment: Separation of Powers and Fourth Branch”, menjelaskan:

“Unlike the saparation of powers, the check and balance idea does not suppose a radical divisin of gofernmentinto three part, with particular functions neartly parceled out aming them. Rather, focus is on relationship and interconnections, on maintaining the conditions in which the inteded struggle at the apex may continue” 13

(Tidak seperti pemisahan kekuasaan, gagasan check and balance tidak mengandaikan pembagian radikal pemerintahan menjadi tiga bagian, dengan fungsi-fungsi tertentu yang dibagikan dengan rapi di antara mereka. Sebaliknya, fokusnya adalah pada hubungan dan interkoneksi, pada mempertahankan kondisi di mana perjuangan keras di puncak dapat berlanju)

Berdasarkan pendapat Perter L. Strauus, check and balance lebih menekankan pada upaya membangun mekanisme perimbangan untuk saling mengontrol antar cabang kekuasaan negara. Sepanjang terdapat pijakan konstitusional guna mencegah kemungkinan terjadinya penyalagunaan kekuasaan oleh cabang kekuasaan, mekanisme check and balance dapat dilaksanakan.

Kesewenang-wenangan yang mungkin akan terjadi tatkala tidak dibatasi, – sebagaimana usaha Montesqieu yang telah merumuskan pemisahan kekuasaan negara – oleh Thomas Jefferson, John Jay, Hamilton dan beberapa perumus

(7)

22 Konstitusi Amerika Serikat lainnya dikembangkan pada konsep Check and

Balances. Bagi mereka, sebuah kekuasaan yang sudah diperoleh oleh tiga cabang

kekuasaan harus dirumuskan secara tumpang tindih.14

Arti tumpang tindih yang dimaksud oleh Thomas Jefferson dan beberapa penyusun Konstitusi Amerika Serikat adalah setiap cabang kekuasaan diberikan oleh Konstitusi kekuasaan cabang kekuasaan lainnya. Sebagai contoh adalah Presiden yang sebagai cabang kekuasaan eksekutif memiliki sedikit kekuasaan legislatif, secara konkret di Amerika Serikat kendati Congress yang memiliki kewenangan untuk membentuk undang-undang, akan tetapi Presiden berhak melaksanakan hak vetonya untuk menolak pengesahan undang-undang yang sudah dilakukan pembahasan tersebut.15

1. Pembagian Kekuasaan berdasarkan UUD 1945 (sebelum amandemen)

Undang-Undang Dasar 1945 tidak secara eksplisit mengatakan bahwa Indonesia menganut doktrin Trias Politica. Namun, dapat disimpukan bahwa UUD 1945 sebelum amandemen menganut sistem pembagian kekuasaan, karena:

1) UUD 1945 tidak membatasi secara tajam, bahwa setiap kekuasaan itu harus dilakukan oleh satu organ/badan tertentu yang tidak boleh saling campur tangan.

14 Margarito Kamis. 2014. Jalan Panjang Konstitusionalisme Indonesia. Malang: Setara Press.

Hal 59.

(8)

23

2) UUD 1945 tidak membatasi kekuasaan itu dibagi atas tiga bagian saja dan juga tidak membatasi pembagian kekuasaan dilakukan oleh tiga organ/badan saja.

3) UUD 1945 tidak membagi habis kekuasaan rakyat yang dilakukan oleh MPR (Pasal 1 ayat 2), kepada lembaga negara lainnya16

Pendapat diatas dikuatkan dengan pendapat Jimly Assidiqqie dimana sistem yang dianut oleh UUD 1945 sebelum amandemen itu dianggap sebagai pembagian kekuasaan (dicion of power) dalam konteks pengertian yang bersifat vertikal.17

Lembaga pemerintah dalam sistem pemerintahan republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen ada 6 (enam) yaitu : MPR, DPR, Presiden, DPA, BPK, dan MA.

Lembaga-lembaga tersebut memegang kekuasaan negara masingmasing. Berdasarkan ajaran Trias Politic ayang membagi kekuasaan negara menjadi 3 (tiga) yaitu Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif, maka darike 6 (enam) yaitu : MPR, DPR, Presiden, DPA, BPA.18 Untuk itu akan dilakukan dianalisis sebagai berikut:

1) Kekuasaan Legislatif (Legislative Power)

Kekuasaan Legislatif, adalah pembuat undang-undang. Legislatif di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Tahun

16 Sri Nur Hari Susanto, 2014. Pergeseran Kekuasaan Lembaga Negara, Semarang: Masalah-

Masalah Hukum. Jilid 43 No. 2. Hal. 281

17 Jimly Assidiqqie. Op.Cit. Hal 288

18 Efi Yulistyowati. 2016 Penerapan Konsep Trias Politica Dalam Sistem Pemerintahan Republik Indonesia: Studi Komperatif atas Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Sebelum dan Sesudah

(9)

24 1945 sebelum amandemen adalah terdiri dari Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

2) Kekuasaan Eksekutif (Executive Power)

Kekuasaan Eksekutif (Executive Power) adalah kekuasaan menlaksanakan undang-undang. Kekuasaan Eksekutif di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebelum amandemen adalah Presiden. Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen, Presiden memegang kekuasaan pemerintahan (Pasal 4), memegang kekuasaan atas ApD, AL, dan AU (Pasal 10), menyatakan perang (Pasal 11), menyatakan keadaan bahaya (Pasal 12), mengangkat dan menerima duta dan konsul (Pasal 13), member grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi (Pasal 14), dan member gelar, tanda jasa dan lain-lain tanda kehormatan (Pasal 15).

3) KekuasaanYudikatif

Kekuasaan Yudikatif atau Kekuasaan Kehakiman (Yudicative Powers) adalah kekuasaan kekuasaan yang berkewajiban

Amandemen.Semarang. Jurnal Dinamika Sosial Budaya: Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada

Masyarakat. Vol 18, No 2. Hal. 334

mempertahankan undang-undang dan berhak memberikan peradilan kepada rakyatnya. Badan Yudikatif adalah yang berkuasa memutus perkara, menjatuhkan hukuman terhadap setiap pelanggaran

(10)

25 undangundang yang telah diadakan dan dijalankan. Di Indonesia berdasarkan Pasal 24 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebelum amandemen adalah MA.

2. Pembagian Kekuasaan Berdasarkan UUD NRI Tahun 1945 (Setelah Amandemen)

4) Kekuasaan Konsultatif

Kekuasaan Konsultatif adalah kekuasaan yang memberikan nasehat dan pertimbangan kepada Eksekutif selaku pelaksana undang - undang. Di Indonesia berdasarkan Pasal 16 Undang - Undang Dasar Tahun 1945 sebe lum amandemen adalah DPA

5) Kekuasaan Eksaminatif

Kekuasaan Eksaminatif adalah kekuasaan terhadap pemeriksaan keuangan negara. Di Indonesia berdasarkan Pasal 23 Undang - Undang Dasar Tahun 1945 sebelum amandemen adalah BPK.

UUD 1945 Presi dem D PR MA D PA B PK slatif

Legi Yudi katif kutif

Ekse Konsultatif Eksaminat

(11)

26 Berdasarakan UUD NRI Tahun 1945 (Setelah Amandemen) lembaga negara atau lembaga negara republik Indonesia ada 7 (tujuh) yakni: Presiden, MPR, DPR, DPD, BPK, MA, dan MK dimana lembaga dengan lembaga yang lainnya memiliki kekuassaan negara masing-masing.

Berdasarkan Trias Politica yang membagi kekuasaan menjadi 3 (tiga) yakni Legislatif, Ekseutif, dan Yudikatif yang selanjutnya dianalisis sebagai berikut:

1) Kekuasaan Legislatif (Legislative Power)

Kekuasaan Legislatif, adalah pembuat undang-undang. Legislatif di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sesudah amandemen adalah terdiri dari Majelis Permusyawaratan Rakyat

(MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

2) Kekuasaan Eksekutif (Executive Power)

Kekuasaan Eksekutif (Executive Power) adalah kekuasaan menlaksanakan undang-undang. Kekuasaan Eksekutif di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sesudah amandemen adalah Presiden.

3) Kekuasaan Yudikatif

Kekuasaan Yudikatif adalah kekuasaan kekuasaan yang berkewajiban mempertahankan undang-undang dan berhak memberikan peradilan kepada rakyatnya. Badan Yudikatif adalah yang berkuasa memutus

(12)

27 perkara, menjatuhkan hukuman terhadap setiap pelanggaran undangundang yang telah diadakan dan dijalankan. Yudikatif di Indonesia berdasarkan Pasal 24 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945

sebelum amandemen adalah MA dan M K

4) Kekuasaan Eksaminatif

Kekuasaan Eksaminatif adalah kekuasaan terhadap pemeriksaan keuangan negara. Kekuasaan Eksamina tif di Indonesia berdasarkan Pasal 23 Undang - Undang Dasar NRI Tahun 1945 sesudah amandemen adalah BPK.

(13)

28 “Kata penyusunan berasal dari kata dasar susun yang artinya kelompok atau kumpulan yang tidak beberapa banyak, sedangkan pengertian dari penyusunan adalah merupakan suatu kegiatan atau kegiatan memproses suatu data atau kumpulan data yang dilakukan oleh suatu organisasi atau perorangan secara baik dan teratur”.

Pembagian kekuasaan dalam sistem pemerintahan republik Indonesia secara implisit menerapkan pembagaian kekuasaan berdasarkan konsep Trias

Politica Montesquieu di mana adanya pembagian kekuasaan berdasarkan

fungsi negara baik Legislatif, Eksekutif dan Yudik atif, namun selain dari 3 (tiga) fungsi tersebut, masih di bagi lagi ke dalam Kekuasaan Eksaminatif .

C. Pembentukan Undang - Undang

Penyusunan adalah proses, cara, perbuatan dan menyusun. Menurut Kamus Bahasa Indonesia mengemukakan pengertian tentang penyusunan adalah sebagai berikut :

UUD NRI Tahun 1945

M PR D PR D PD Pre side MA MK BPK slatif

Legi Eksekutif Yudikatif Eksaminatifif Trias Politica

(14)

29 Dari penegertian diatas dapat simpukan bahwa penyusunan adalah kegiatan dalam memproses data yang dilakukan oleh suatu organisasi atau perorangan secara baik dan teratur.

Penyusunan dalam padangan beberapa pengertian yang dibagi menjadi 2 yakni pengertian secara luas dan sempit. Pertama, pengertian secara luas dapat dilihat dalam Sulardi yang mengemukan:

“Dalam penyusunan undang-undang berdasar UUD Negara RI tahun 1945 ini terdapat lembaga perwakilan yang tidak mendapatkan tugas dan wewenang secara proposional, yakni Dewan Perwakilan Daerah ( DPD). Kewenangan DPD dalam penyusunan undang-undang sangat terbatas, yakni dapat mengajukan rancangan undang-undang pada DPR.”19

Secara imsplisit yang dimaksut penyusunan dilihat dari ‘Kewenangan DPD dalam penyusunan undang-undang sangat terbatas, yakni dapat mengajukan rancangan undang-undang pada DPR”, bahwasanya penyusunan yang dimaksut dari pendapat diatas adalah “pembentukan undang-undang” itu sendiri. Kedua, dalam arti sempit dapat dilihat dalam Undang-undang Pasal 15 tahun 2019 yang menyatakan bahwasannya dalam pembentukan UU meliputi beberapa tahap utama yakni, (1) perencanaan; (2) penyusunan; (3) pembahasan, (4) pengesahan atau penetapan; dan (5) pengundangan, dalam pernyataan tersebut dapat diambil sebuah makna yakni “penyusunan” adalah sebuah tahapan yang berada dalam

tahap pembentukan undang-undang

19 Sulardi. 2013. Mewujudkan Cheks and Balance dalam Penyusunan Undang-Undang.

(15)

30 Pembentukan undang-undang merupakan pengaturan lebih lanjut dari UUD NRI Tahun 1945, yang materinya mencakup aspek-asoek (1) hak asasi manusia (HAM), (2) hak dan kewajiban warga negara, (3) pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara, (4) wilayah negara dan pembagian daerah, (5) kewarganegaraan dan kependudukan, serta (6) keuangan negara.20

Kebijakan terkait pembentukan undang-undang dilandasi oleh tujuan yang jalas yakni sebagi berikut:

1. Mendukung upaya ke arah mewujudkan supremasi hukum, terutama penggantian terhadap peraturan perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat. 2. Menyempurnakan peraturan perundang-undangan yang sudah ada selama ini

namun tidak sesuai dengan tuntunan dan kebutuhan masyarakat.

3. Membentuk peraturan perundang-undangan baru yang sesuai dangan tuntutan dan kebutuhan masyarakat. 21

MPR berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebelum amandemen, bertugas menetapkan Undang Undang Dasar, sedangkan DPR dalam Pasal 20, 21, 22, bertugas menyetujui, memajukan rancangan undang-undang, dan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.

Dilihat dari ketentuan UUD 1945 sebelum amandemen, Pasal 4 ayat (1) bahwa Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. menunjukan Presiden memiliki kekuasaan pemerintahan (lembaga eksekutif)..

20 Aziz Syamsuddin. 2013. Proses dan Teknik Penyusunan Undang-Undang. Jakarta. Sinar

Grafika. Hal 2

(16)

31 Dilihat dalam UUD Tahun 1945, fungsi utama DPR lebih merupakan lembaga pengawas daripada lembaga legislatif dalam arti yang sebenarnya.22 Presiden disamping memegang kekuasaan pemerintahan (kepala eksekutif, Pasal 4 ayat 1), juga memegang kekuasaan membentuk undang-undang dan peraturan pemerintah (kekuasaan legislatif, Pasal 5), sementara fungsi DPR dalam membentuk undang-undang bersifat pasif yaitu sebatas memberikan persetujuan (Pasal 20).23

Bab dalam UUD NRI Tahun 1945 terdapat pembagian kekuasaan. Misal, Bab III tentang Kekuasaan Pemerintah Negara, Bab VII tentang Dewan Perwakilan Rakyat , Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman. 24 Kekuasaan eksekutif dijalankan oleh Presiden dibantuh menteri-menteri, Kekuasaan legislatif dijalankan oleh Presiden bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat, sedangkan kekuasaan yudikatif dijalankan oleh Makamah Agung dan lain-lain badan kehakiman.

Kekuasaan pembentukan Undang-Undang bergeser ke Dewan Perwakilan Rakyat. Hal ini diatur dalam Pasal 20 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun

1945, yang menentukan: “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.”

22 Jimly Assiddiqie,2006 Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta , Konstitusi

Press, Hal. 166.

23 Sri Nur Hari Susanto. Op.Cit. Hal. 218 24 Miriam. Budiardjo. Op.,Cit. Hal 288

(17)

32 Berdasarkan pada ketentuan tersebut, maka kekuasaan pembentukan undang-undang sekarang ada pada DPR, sedangkan Presiden bukan lagi pemegang kekuasaan pembentukan undang-undang, tetapi hanya berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Meskipun

demikian, dalam pembentukan undang-undang tidak berarti DPR bisa jalan sendiri tanpa melibatkan Presiden (pemerintah).25

Secara berurutan, proses pembentukan undang-undang mengacu pada ketentuan pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (selanjutnya disebut UU No. 12 Tahun 2011), meliputi tahapan, yaitu (1) Perencanaan, (2) penyusunan, (3) pembahasan, (4) pengesahan atau penetapan, (5) pengundangan.

1. Perencanaan

Ketentuan pada tahap perencanaan RUU diatur dalam Pasal 16 sampai dengan Pasal 23 UU No. 12 Tahun 2011 yang dimana terdapat di perubahan

25 Wicipto Setiadi. 2004. Makna Persetujuan Bersama dalam Pembentukan Undang-Undang Serta Penandatangan oleh Presiden atas Rancangan Undang-Undang yang telah Mendapat

Persetujuan Bersama. Jurnal Legislasi Indonesia. Volume 1 Nomor 2. Hal. 21

dalam UU No. 15 Tahun 2019, Perencanaan RUU yang dilakukan dalam Prolegnas (Program Legislasi Nasional) diatur dalam Pasal 16 UU No 12

(18)

33 Tahun 2011. Selanjutnya berdasarakan Pasal 17 UU No.12 Tahun 2011, Prolagnas merupakan skala prioritas program pembentukan UU dalam rangka mewujudakan sistem hukum nasional.

Ketentuan Pasal 18 UU No.12 Tahun 2011, penyusunan daftar Rancangan UndangUndang didasarkan atas:

a) perintah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b) perintah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c) perintah Undang-Undang lainnya;

d) sistem perencanaan pembangunan nasional; e) rencana pembangunan jangka panjang nasional; f) rencana pembangunan jangka menengah;

g) rencana kerja pemerintah dan rencana strategis DPR; dan h) aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat.

Dengan dasar itu, Pasal 19 ayat (1), (2), dan (3) UU No. 12 Tahun 2011 menggarikan, dalam Prolegnas dimuat program pembentukan UU dangan judul RUU, materi yang diatur, serta keterkaitannya dengan Peraturan Perundang-undangan lainya.

Materi yang diatur yang diatur dan keterkaitannya dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya adalah keterangan mengenai konsepsi setiap RUU, meliputi latar belakang dan tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan, serta jangkauan dan arah setiap pengaturan dari setiap UU yang

(19)

34 akan dibentuk. Materi tersebut dituangkan dalam Naska Akademik setelah melalui pengkajian dan penyelarasan25.

Lebih jauh lagi diatur dalam pasal 20 ayat (1), (2), (3), (4) dan (5) UU No. 15 Tahun 2019 bahwa Prolegnas disusun oleh oleh DPR, DPD, dan Pemerintah.Prolegnas ditetapkan untuk jangka menengah dan tahunan berdasarkan skala prioritas pembentukan RUU.

Penyusunan dan penetapan Prolegnas jangka menengah dilakukan pada awal masa keanggotaan DPR sebagai Prolegnas untuk jangka waktu 5 (lima) tahun. Sebelum men5rusun dan menetapkan Prolegnas jangka menengah, DPR, DPD, dan Pemerintah melakukan evaluasi terhadap Prolegnas jangka menengah masa keanggotaan DPR sebelumnya.

Prolegnas jangka menengah dapat dievaluasi setiap akhir tahun bersamaan dengan penyusunan dan penetapan Prolegnas prioritas tahunan. Prolegnas prioritas sebagai pelaksanaan Prolegnas jangka menenga disusun dan ditetapkan setiap tahun sebelum penetapan Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Tahap awal penyusunan Prolegnas dilakukan secara paralel baik dilingkungan DPR maupun dilingkungan Pemerintahan.26 Di lingkungan DPR

25 Aziz. Op.cit. Hal .9 26 Ibid. Hal 10

(20)

RI, penyusunan Prolegnas dikoordinasikan oleh Badan Legislasi. Sedangkan di lingkungan Pemerintahan dikoordinasikan oleh menteri atau kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Penyusunan Prolegnas antara DPR dan Pemerintah dikoordinasikan oleh DPR melalui alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi. Penyusuan Prolegnas dilakukan secara terkoordinasi, terarah, dan terpadu berdasarkan rumusan dan kesepakatan bersama.27

Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 21 UU No.15 Tahun 2019 yang berbunyi, sebagai berikut:

(1) Penyusunan Prolegnas antara DPR dan Pemerintah dikoordinasikan oleh DPR melalui alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang

legislasi.

(2) Penyusunan Prolegnas di lingkungan dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPR khusus menangani bidang legislasi. DPR yang

(21)

(3) Penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan mempertimbangkan usulan dari fraksi, komisi, anggota DPR, DPD, dan/atau masyarakat.

(4) Penyusunan Prolegnas di lingkungan Pemerintah dikoordinasikan oleh menteri atau kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Prolegnas

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (21, dan ayat (3) diatur dengan Peraturan DPR.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perusunan Prolegnas di lingkungan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Presiden.

Ketentuan Pasal 22 UU No. 12 Tahun 2011 menyatakan bahwa “hasil penyusunan Prolegnas antara DPR dan Pemerintah disepakati menjadi

(22)

Prolegnas dan ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPR”. Keputusan DPR RI Rapat Paripurna DPR RI dituangkan sebagai dokumen resmi Prolegnas.28

Prolegnasjuga bisa daftar kumulatif terbuka yang terdiri atas: (a) pengesahan perjanjian internasional tertentu; (b) akibat putusan Mahkamah Konstitusi; (c) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; (d) pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota; dan (e) penetapan/pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. (dapat dilihat ketentuan Pasal 23 ayat (1) UU No.12 Tahun 2011)

Selanjutnya Pasal 23 ayat (2) UU No. 15 Tahun 2019 menyatakan bahwa dalam keadaan tertentu, DPR atau Presiden dapat mengajukan Rancangan Undang-Undang di luar Prolegnas mencakup:

a. untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam; dan

b. keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu Rancangan Undang- Undang yang dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi dan menteri atau kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

(23)

2. Penyusunan

Ketetuan pada tahapan Penyusunan UU diatur dalam Pasal 43 sampai dengan Pasal 51 UU No. 12 Tahun 2011 dan terdapat beberapa perubahan pada UU No. 15 Tahun 2019. Pasal 43 ayat (1) sampai dengan (5) UU No 12 Tahun 2011 menggarisbawahi beberapa ketentuan, yakni:

• RUU dapat berasal dari DPR RI atau Presiden;

• RUU yang berasal dari DPR RI dapat berasal dari DPD;

• RUU yang berasal dari DPR RI, Presiden atau DPD harus disertai Naska Akademik; dan

• Untuk RUU APBN, RUU penetapan Perpu menjadi UU, dan RUU pencabutan UU atau pencabutan Perppu tidak harus disertai Naska Akademik, namun harus disertai dengan keterangan yang memuat pokok pikiran dan materi yang diatur.29

(24)

Sesuai dengan ketentuan pada Pasal 44 ayat (1) dan (2) UU No. 12 Tahun 2011, Penyusunan Naskah Akademik sebuah RUU harus sesuai dengan Teknik Penyusunan Naska Akademik yang juga telah dicantumkan sebagi Lampiran I, dan menjadi bagian tidak terpisahkan dari undang-undang ini (UU tentang Peraturan Pembentukan Perundang-Undangan)

Selanjutnya ketentuan pada Pasal 45 ayat (1) dan (2) UU No 12 Tahun 2011 menyatakan, RUU baik yang berasal dari DPR maupun Presiden serta Rancangan UndangUndang yang diajukan DPD kepada DPR disusun berdasarkan Prolegnas. RUU yang berasal dari DPR maupun Presiden berkaitan dengan:

a. otonomi daerah;

b. hubungan pusat dan daerah;

c. pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah;

d. pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya; dan e. perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Prosedur pengajuan RUU oleh DPR diatur dalam ketentuan Pasal 46 ayat (1) sampai dengan (3) UU No. 12 Tahun 2011, yang berbunyi:

(1) Rancangan Undang-Undang dari DPR diajukan oleh anggota DPR, komisi, gabungan komisi, atau alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi atau DPD.

(25)

(2) Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan DPR

Mekanisme terkait pengajuan RUU oleh DPD kepada DPR dijabarkan lanjut oleh Pasal 48 ayat (1), (2), (3), dan (4) UU No, 2011. Ditentukan, RUU dari DPD disampaikan kepada DPR disampaikan secara tertulis oleh DPD dan harus disertai Naska Akademik.

Dalam melakukan pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsep RUU, alat kelengkapan DPR tersebut dapat mengundang pimpinan alat kelengkapan DPD yang mempunyai tugas dibidang perancangan UU untuk membahas usulan RUU yangdimaksud.

Pada tahap akhir, alat kelengkapan DPR menyampaikan laporan secara tertulis mengenai hasil pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU kepada pimpinan DPR untuk selanjutnya diumumkan pada Rapat Paripurna DPR.

(26)

12 Tahun 2011 bahwa, Pimpinan DPR menyampaikan RUU dari DPR dengan surat kepada Presiden. Selanjutnya, Presiden menugaskan menteri yang mewakili untuk membahas RUU bersama DPR dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak surat dari pimpinan DPR diterima.

Menteri yang ditugaskan oleh presiden kemudian mengoordinasikan persiapn pembahasan dengan menteri yang menyelenggarakan pemerintahan di bidang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Adapun prosedur pengajuan RUU oleh Presiden diataur dalam ketentuan Pasal 47 ayat (1) sampai dengan (4) UU No. 15 Tahun 2019 yang berbunyi sebagai berikut:

(1) Rancangan Undang-Undang yang diajukan oleh Presiden disiapkan oleh menteri atau pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian sesuai dengan lingkup tugas dan tanggung jawabnya.

(2) Dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang, menteri atau pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian terkait membentuk panitia antar kementerian dan atau antar nonkementerian.

(3) Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang yang berasal dari Presiden dikoordinasikan oleh menteri atau kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

(27)

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.

(28)

Selanjutnya, RUU dari Presiden diajukan dengan surat Presiden kepada pimpinan DPR. Surat Presiden memuat penunjukan menteri yang ditugasi mewakili Presiden dalam melakukan pembahasan Rancangan Undang-Undang bersama DPR. DPR mulai membahas RUU dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak surat Presiden diterima. 30

Untuk keperluan pembahasan RUU di DPR, menteri atau pimpinan lembaga pemrakarsa memperbanyak naskah RUU tersebut dalam jumlah yang diperlukan. (ketentuan Pasal 50 ayat (1), (2), (3), dan (4) UU No 12 Tahun 2011). Lebih lanjut lagi dalam Pasal 51 menyatakan bahwa:

“Apabila dalam satu masa sidang DPR dan Presiden menyampaikan

Rancangan Undang-Undang mengenai materi yang sama, yang dibahas adalah Rancangan Undang-Undang yang disampaikan oleh DPR dan Rancangan Undang-Undang yang disampaikan Presiden digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan.”

3. Pembahasan

Ketentuan tentang pembahasan UU diatur dalam Pasal 65 dan Pasal

(29)

71 UU No. 12 Tahun 2011 dan Pasal 71A No. 15 Tahun 2019 yang terangkum

dalam Bab VII (Pembahasan dan Pengesahan Rancangan Undang-Undang), Bagian “Pembahasan Rancangan Undang-Undang”.

Dinyatakan dalam ketentuan Pasl 65 ayat (1) sampai dengan (5) UU No. 12 Tahun 2011, pembahasan RUU dilakukan oleh DPR bersama Presiden atau menteri yang ditugasi, serta mengikutsertakan DPD untuk RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran,dan penggabungan daerah, pengelolahan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, dan perimbangan kekuatan pusat daerah.

Berdasarkan ketentuan Pasal 66 dan 67 UU No. 12 Tahun 2011, bawasannya pembahasn RUU dilakukan dalam 2 (dua) tingkat pembicaraan yang terdiri dari:

(1) Pembicaraan Tingkat I dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan anggaran atau rapat Panitia Khusus;

(2) Pembicaraan Tingkat II dalam rpat paripurna. DPD dapat memberikan perimbangan kepada DPR atas RUU tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, agama.

(30)

Pembicaraan Tingkat I meputi kegiatan-kegiatan pengantar musyawarah, pembagasan Dafta Investaris Masalah (DIM), dan

penyampaian pendapat mini (ketetuan dalam Pasal 68 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011).

32 Ibid. Hal.15

Ketentuan selanjutnya pada Pasal 68 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 bahwa, dalam pengantar musyawarah:

a. DPR memberikan penjelasan dan Presiden menyampaikan pandangan jika Rancangan Undang-Undang berasal dari DPR;

b. DPR memberikan penjelasan serta Presiden dan DPD menyampaikan pandangan jika Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) berasal dari DPR;

c. Presiden memberikan penjelasan dan fraksi memberikan pandangan jika Rancangan UndangUndang berasal dari Presiden; atau

d. Presiden memberikan penjelasan serta fraksi dan DPD menyampaikan pandangan jika Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) berasal dari Presiden.

(31)

Dalam pembahasan DIM ada mekanisme yang diatur secara khusus. Jika RUU berasal ari DPR, maka DIM diajukanoleh Presiden. Sebaliknya, apabila RUU berasl dari DPR, maka DIM diajukan oleh DPR, dangan mempertimbangan usul dari DPD sepanjang RUU terkait dengan wewenang DPD.31

(32)

Penyampaian pendapat mini disampaikan pada akhir pembicaraan tingkat I oleh: a. fraksi; b. DPD, jika Rancangan Undang-Undang berkaitan dengan kewenangan DPD; dan c. Presiden (ketentuan Pasal 65 ayat 4).

Pembicaraan Tingkat II merupakan pengambilan keputusan dalam rapat paripurna DPR, ini termuat dalam Pasal 69 ayat 1 UU No. 12 Tahun 2011, yakni meliputi:

a. penyampaian laporan yang berisi proses, pendapat mini fraksi, pendapat mini DPD, dan hasil pembicaraan tingkat I;

b. pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiaptiap fraksi dan anggota secara lisan yang diminta oleh pimpinan rapat paripurna; dan

c. penyampaian pendapat akhir Presiden yang dilakukan oleh menteri yang ditugasi.

Selanjutnya apabila dalam hal persetujuan tidak dapat dicapai secara musyawara untuk mufakat, pengambilan putusan dilakukan berdasarakn suara terbanyak (berdasarakan ketentuan Pasal 69 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011)

Dalam hal RUU yang tidak mendapat persetujuan bersama antara DPR dan Presiden diatur dalam ketetuan Pasal 69 ayat (3) UU No. 12 Tahun 2011, yang menyatakan bahwa:

“Dalam hal Rancangan Undang-Undang tidak mendapat persetujuan bersama antara DPR dan Presiden, Rancangan Undang-Undang tersebut tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.”

(33)

Terkait pembahasan RUU tentang Pencabutan PerPu dilakasanakan melalui suatu mekanisme khusus. Ketentuan mekanisme khusus dimaksud tertuang dalam Pasal 71 ayat (3) UU No. 12. Tahun 2011.

4. Pengesahan atau Penetapan

Ketentuan tahapan pengesahan atau penempatan UU diatur dalam Pasal 72 sampai dengan Pasal 74 UU No.12 Tahun 2011.

Pasal 72 ayat (1) dan (2) dapat di maknai bawah RUU yang sudah mendapat persetujuan bersama oleh DPR dan Presiden kemudian diampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi UU, penyampain RUU dilakukan dalam jangka waktu paling lam 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.

Selanjutnya, melihat ketentuan Pasal 73 ayat (1) bawasanya, pengesahan RUU menjadai UU ditandain oleh tanda tangan oleh Presiden. Namun, apabila tidak ditandatangani oleh Presiden dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak RUU disetujui bersama, maka RUU tersebut sah menjadi UU dan wajib diundangkan. (ketentuan Pasal 73 ayat (2) UU No.12 Tahun 2011).

5. Pengundangan

Kententuan terhadap pengundangan RUU diatur dalam Pasal 81 sampai dengan Pasal 87 UU No. 12 Tahun 2011 yang tedapat perubahan beberapa pasal dalam UU No. 15 Tahun 2019.

(34)

Agar setiap orang mengetahuinya, maka setiap UU harus diundangkan dengan menempatakan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia disetai nomor dan tahunnya, dan menempatkan Penjelasan (Umum dan Pasal demi Pasal) dari UU tersebut dalam Tambatan Lembaran Negara Republik Indonesia dengan memberikan nomor.32

Berdasarkan ketentuan Pasal 85 UU No. 15 Tahun 2019, pengundangan UU dalam Lembaran Negara Republik Indonesia

dilaksanakan oleh menteri yang menyelengarakan urusan pemerintahan dibidanng Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Pengundangan dan penempatan UU dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dimaksudkan agar UU tersebut dapat berlaku mengikat umum. Pada dasarnya, UU mulai berlaku dan memiliki kekuatan mengikat pada tanggal diundangkan kecuali ditentukan lain dalam UU yang bersangkutan.

D. Fungsi Undang-Undang Dasar

Penyeenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa serta bernegara yang berlandaskan konstitusi adalah suatu keniscayaan dalam sebuah negara yang menganut paham demokrasi dan konstituionalisme. 33 Menurut Struyeken, konstitusi adalah undang-undang dasar, dimana konstitusi memuat garis-garis

32 Ibid. Hal 17

(35)

besar dan asas-asas besar terkait organisasi negara.34 Jimmly Assiddiqie juga menjabarkan bahwa dengan demikian, konstitusi tidak perlu mencerminkan seluruh masalah yang penting secara lengkap, sebab konstitusi semacam itu akan mengalami kesu;itan dalam mengikuti perkembangan jaman.35

Dengan pemhaman demikian bahwa Undang-Undang Dasar memiliki

34 Op.Cit. Jimly Asshiddiqie. Hal. 113 35 Ibid. Hal. 113

peran sentral didalam peran sentral didalam penyelenggaraan negara. Und ang - Undang Dasar sebagai pijakan dibentuknya seluruh norma hukum peraturan perundang - undangan diIndonesia, yang menjadi landasan oprasional dan teknis dalam mengambil kebijakan.

Referensi

Dokumen terkait

Identifikasi terhadap ketersediaan ruang terbuka hijau perlu di lakukan berdasarkan fungsi ekologis dilihat dari kesesuaian karakteristik vegetasi serta identifikasi

Setelah dilakukan penelitian diperoleh hasil pada siklus I terjadi peningkatan dalam hasil belajar siswa, sebanyak 13 siswa atau sebesar 48,1% sudah termasuk

5) Apakah keluarga mengetahui akibat masalah kesehatan yang dialami anggota dalam keluarganya bila tidak diobati/dirawat : Ya Tidak 6) Pada siapa keluarga biasa

Dalam penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Amin Rahmanurrasjid (2008) dengan judul “Akuntabilitas dan Transparansi dalam Pertanggungjawaban

Tata cara e-Purchasing diatur pada angka 5 Surat Edaran Kepala LKPP nomor 5 Tahun 2015 yang tahapannya mulai dari penyampaian permintaan secara tertulis dari PPK yang mengacu

Dalam hal ini penulis akan menyampaikan sedikit tentang isi dari skripsi yang berjudul “Penolakan KH.Hasyim Asy’ari terhadap praktek para muryid tarekat tentang

Herlina (2018) mengatakan didalam proses kegiatan perdagangan ekspor yang dilakukan Indonesia khususnya terhadap Amerika Serikat terkadang terjadi kendala

Semakin maju pertumbuhan suatu perusahaan akan menunjukkan bahwa power dari perusahaan tersebut berkaitan dengan kinerja yang meliputi keuangan maupun non-keuangan juga