• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kita semua pasti pernah melihat orang menari, baik menontonnya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kita semua pasti pernah melihat orang menari, baik menontonnya"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

K

ita semua pasti pernah melihat orang menari, baik menontonnya secara langsung, secara sambil lalu, atau melalui siaran tele­ visi. Bahkan mungkin kalian pernah menari, baik untuk diper­ tontonkan, ataupun hanya bertujuan senang­senang bersama teman; atau sekedar menggoyang­goyangkan badan sambil menyanyi dan bertepuk tangan. Jadi, sesungguhnya tari bukanlah hal yang asing bagi kehidupan kita semua. Tapi apakah berjingkrak­jingkrak termasuk menari? Apakah gerak jalan atau baris­berbaris dengan iringan musik juga termasuk tari? Apa bedanya menari untuk tujuan bersuka ria bersama teman, dengan menari untuk dipertontonakan di atas panggung? Apakah semua tari harus diatur? Haruskah ada penciptanya? Apakah gerak tari harus indah? Bagaimana ukurannya? Kriteria apa yang harus dimiliki seseorang untuk bisa disebut penari? Tentu masih banyak lagi pertanyaan yang tampaknya sederhana tapi kita perlu merenung untuk menjawabnya.

Secara umum, buku Tari Tontonan ini akan membahas banyak hal yang bertujuan untuk membuka kesadaran, wawasan, atau kepekaan kita dalam melihat suatu jenis kesenian yang terdapat di dunia, dimiliki oleh segenap kelompok masyarakat, dengan cara yang berbeda­beda. Lebih khusus, buku ini akan membicarakan jenis tarian yang dipertunjukkan. Jika ada tarian untuk ditonton, pasti ada tarian yang bukan untuk ditonton. Karena itu, buku ini akan menjelaskan pula jenis­jenis tarian lain.

Bab 1

(2)

yang memang berbeda seperti halnya antara suara (vokal) dan organ tubuh yang memproduksi suara.

Gerak dan suara adalah pertanda hidup. Ketika bayi lahir, ia bergerak dan bersuara (tangis). Karena itu pula, banyak orang berpendapat bahwa tari dan musik merupakan kesenian yang secara alamiah tumbuh bersamaan dengan sejarah kehidupan (manusia). Akan tetapi, tidak semua gerak tubuh dapat dikategorikan sebagai tari. Tentu ada beberapa hal yang membedakan antara gerak tari dan gerak yang bukan tari. Lalu apa perbedaannya? Bagaimana cara membedakannya? Dalam banyak hal, perbedaan itu mudah diterangkan, tapi dalam beberapa hal lainnya tidaklah mudah untuk dirumuskan.

1.1 Gerak Tubuh Alamiah

Ada dua aspek pokok dalam tari, yakni gerak dan irama. Kedua hal ini sudah mulai dikenal sejak usia balita, katakanlah pada usia setengah sampai satu tahun. Gerakan­gerakan anggota tubuh, seperti tangan dan kepala, biasanya dapat terangsang oleh bunyi­bunyian, seperti tepukan tangan yang ritmis atau nyanyian yang sederhana sekalipun. Peristiwa semacam ini biasa terjadi dalam ruang keluarga dengan suasana keceriaan.

Fenomena ini menunjukkan dua hal. Pertama, tari merupakan jenis kesenian yang relatif mudah direspons oleh anak­anak sejak dini. Coba saja amati perkembangan adik­adik kalian, atau anak­anak lain yang masih balita. Benarkah bayi­bayi yang belum bisa bicara lebih cepat merespons gerakan?

Pemahaman kedua, secara mendasar peristiwa yang terjadi di ruang keluarga tersebut sesungguhnya merupakan suatu peristiwa tontonan walaupun dalam situasi informal dan dalam tingkatan yang sederhana. Artinya, terdapat dua pihak dalam ruang keluarga itu, yaitu pihak yang ditonton dan yang menonton. Pihak yang ditonton adalah si anak balita

(3)

yang mengekspresikan perasaan lewat gerakan­gerakannya. Sedangkan penontonnya adalah anggota keluarga yang memperhatikan tingkah laku yang lucu dan menyenangkan dari si anak balita tersebut. Anak balita meng­ ekspresikan perasaan dan kebanggaannya karena menjadi obyek tontonan. Penonton juga merasa senang karena terhibur oleh ‘kepintaran’ si balita yang merespons rangsangan. Pada

saat itu terjadi interaksi antara yang menonton dan yang ditonton. Dengan demikian, betapapun seder­ hananya, di ruang keluarga itu telah terjadi “pertunjukan tari tontonan,” yang bersifat spontan.

Ungkapan­ungkapan spontan lewat gerak tubuh yang ekspresif dan ritmis tersebut juga sering terjadi pada orang dewasa. Ketika seseorang secara tiba­tiba mendapat berita menggembirakan misalnya ketika memperoleh hadiah undian atau juara perlombaan kemung­ kinan orang tersebut mengungkap­ kan perasaan kegembiraannya lewat gerakan­gerakan, seperti berjingkrak­jingkrak, tepuk tangan, dan sebagainya. Orang itu seringkali tidak menyadari dirinya menjadi tontonan. Yang “menonton” pun secara emosional seringkali ikut larut dengan ungkapan kegembira­ an orang tersebut.

Dua contoh kasus di atas mengawali pelajaran kita tentang tari tontonan. Hakikat dari seni ton­ tonan adalah adanya dua pihak yang memiliki peranan berbeda, yakni yang ditonton dan yang menonton. Dalam pertunjukan tari tontonan, pihak yang ditonton adalah penari, sedangkan yang menonton adalah yang memperhatikannya.

Gbr. 1-1: Bayi sudah bisa merespons dan berekspresi melalui gerakan tubuhnya.

Gbr. 1-2: Balita belajar duduk dengan riang.

Gbr. 1-3: Balita belajar berdiri dan melatih keseimbangan sambil bersuara.

(4)

Gbr. 1-8: Seorang anak sedang berdeklamasi dengan gerak-gerak yang variatif.

Gbr. 1-7: Dua anak laki-laki sedang “berlatih” silat atau tinju.

Gbr. 1-4: Anak seorang dalang wayang di Bali. Meski belum bisa bicara, tapi ia sudah mampu menirukan ayahnya dengan menyuarakan wayangnya.

Gbr. 1-5: Anak balita sedang menari-nari.

(5)

Gbr. 1-9: Seorang anak berpakaian seperti pemimpin adat atau dukun, menari dengan iringan gondang sembilan di Mandailing, Sumatera Utara.

Gbr. 1-10: Anak-anak di Bali sedang berlatih tari dengan mengikuti petunjuk gurunya.

Gbr. 1-12: Pertunjukan tarian anak-anak di Jawa.

Gbr. 1-11: Seorang anak dari masyarakat Dayak di Kalimantan Timur menarikan tari perang .

Gbr. 1-13: Tari Baris di Bali, merupakan tarian pertama yang harus dipelajari oleh anak laki-laki. Banyak anak usia 9-10 tahun yang sudah pandai menarikannya.

(6)

Gbr. 1-14: “Gerakan meloncat pada saat

menyeberang sungai.” Tanpa disadari, tubuh mengatur keseimbangan badan.

Gbr. 1-15: Atlet olah raga terlatih mengatur keseimbangan tubuh secara otomatis. (Foto penjaga gawang hokey, sejenis permainan bola di atas es dengan tongkat.

Tari tontonan dipertunjukkan dalam berbagai konteks sosial, tidak saja dalam bentuknya yang sederhana sebagaimana yang terjadi di ruang keluarga, melainkan juga di berbagai forum sosial, seperti: hiburan umum, ritual, festival, propaganda produk, kampanye politik, dan lain­lain. Tempat pertunjukannya bisa di gedung pertunjukan, di pendopo, di halaman rumah, di pasar, di lapangan terbuka, di atas kapal, dan sebagainya.

Sampai saat ini, tari tontonan berkembang dalam berbagai bentuk dan gaya, baik dari sisi teknik gerak, komposisi, pemanggungan, dan lain sebagainya. Pertumbuhan ini selaras dengan perubahan budaya atau kebutuhan masyarakatnya masing­masing, serta seiring dengan perkembangan peradaban secara keseluruhan.

1.2 Kehidupan Tari

Selama berabad­abad tari telah memainkan peranan yang penting di dalam kehidupan manusia. Tari dipertunjukkan pada berbagai peristiwa, seperti yang berkaitan dengan upacara (ritual) dan pesta untuk merayakan kejadian­kejadian penting pada suatu masyarakat. Walaupun kita tidak mengetahui secara persis kapan orang mulai menari, namun tari telah dikenal sejak manusia mengenal peradaban. Beberapa sumber tertulis

(7)

menjelaskan bahwa tari telah berperan penting dalam sistem sosial sejak zaman pra­sejarah. Data­data arkeologis menunjukkan adanya gambar­ gambar manusia sedang menari yang terdapat di dinding­dinding goa.

Budaya menari hidup dan berkembang di dalam berbagai kelompok

masyarakat. Hal inilah yang tampaknya melahirkan tarian­tarian tradisi

hingga kini. Tradisi menari, yang mulanya hanya diperuntukkan bagi kepentingan ritus sosial dan keagamaan, kemudian berkembang menjadi suatu seni pertunjukan.

Tari sebagai bagian dari kebudayaan manusia dengan mudah dapat dijumpai di berbagai belahan bumi ini, dalam berbagai bentuk dan fungsinya. Dengan mengamati bentuk dan gerak, kita dapat belajar mengenali keragaman budaya tari dari berbagai kelompok masyarakat yang tersebar di berbagai pelosok dunia, termasuk di Nusantara ini. Lihatlah misalnya tarian dari Papua dengan hentakan­hentakan kaki yang kuat; tarian dari Bugis (Pakarena) dengan gerak yang sangat lambat; tarian dari Aceh yang mengutamakan kekompakan kelompok seperti dalam tari Saman; tarian dari Minangkabau yang banyak mengandung gerakan­ gerakan Pencak­silat; tari Jawa dengan gerakan mengalir seolah tanpa titik henti; tari Bali dengan dasar posisi tubuhnya yang meliuk asimetris; dan sebagainya.

Demikian juga tari­tarian dari berbagai belahan dunia, yang sangat beragam coraknya. Tarian dari Muangthai (Thailand) dan Kamboja banyak terdapat tekukan­tekukan tangan menyiku bersamaan dengan tekukan kakinya yang mengangkat ke belakang. Tarian bertopeng di Jepang, yang disebut Noh, bergerak sangat lamban. Tarian itu kontras dengan tarian dalam opera Peking dari Cina yang sangat gesit dan akrobatis. Tari­tari Bharatanatyam dari India Selatan dengan banyak ker­ lingan mata, suara kerincing dari gelang kaki yang dihentak­hentakkan ke lantai dengan irama yang cepat, disertai posisi­posisi tangan dan jari yang memiliki arti seperti kata (mudra). Tari­tarian suku Indian di benua Amerika yang lebih menekankan pada gerak­gerak ritmis yang lembut pada kaki berjengket. Kontras dengan tari­tarian dari Afrika yang dominan hentakan kakinya, liukan tubuh bagian dada yang seperti ulat, dengan teriakan­teriakan penarinya dalam volume yang lebih keras.

Itu hanya berupa contoh yang sangat sedikit dari keragaman tari di dunia ini. Juga perlu diingat, bila di atas disebutkan kekhasan, yang boleh dikatakan sebagai identitas lokal dari suatu suku, wilayah, negara, atau benua, tidak berarti bahwa tarian di daerah tersebut semuanya demikian. Jika di Indonesia terdapat ribuan jenis tari yang sangat berbeda­beda, di negara lain pun mungkin memiliki hal yang sama.

(8)

Gbr. 1-16: (a) Posisi tubuh penari perempuan di Bali banyak meliuk asimetris.

(b) Tari Bharatanatyam dari India Selatan, menampakkan sikap tubuh meliuk asimentris. (c) Pemain akrobat Cina yang menunjukkan kemampuan pengaturan tenaga, keseimbangan, dan kelenturan tubuh yang luar biasa. (d) Tarian dari Thailand dengan tekukan tangan dan kaki yang menyiku.

(e) Gerak tari Saman dari Aceh terbentuk oleh kebersamaan.

(a) (b) (c)

(d)

(9)

(f) Tarian dari Tiongkok, yang mengeksplorasi bentuk-bentuk dari selendang panjang. (g) Tarian Noh dari Jepang, yang memakai topeng, dengan gerakan yang amat lambat. (h) Tari dari masyarakat Dayak yang membentuk gerakan dengan menggunakan kain dan menari di atas gong.

(i) Tarian anak-anak di Afrika Selatan, kreasi baru, yang membuat gerakan-gerakan kuat dengan kakinya.

(f)

(g)

(h)

(10)

spontan saja? Apakah menari harus dengan penuh perasaan? Perasaan seperti apakah yang harus dimunculkan?

Sejumlah pertanyaan di atas menuntut kita untuk membuat suatu batasan atau definisi. Akan tetapi, sampai sekarang pun belum ada satu definisi tari yang bisa menjelaskan secara tuntas. Jika definisi ketat, seluruh tari tidak akan terangkum. Sebaliknya, jika definisi tari longgar, gerakan­gerakan yang bukan termasuk tari akan terangkum sebagai tari. Misal, ada suatu definisi yang mengatakan, tari adalah “gerakan­gerakan indah yang berirama, untuk mengungkapkan perasaan, baik untuk dirinya sendiri, maupun untuk orang lain.” Yang menjadi pertanyaan dari definisi ini adalah apa yang disebut “gerakan indah.” Bukan saja bahwa keindahan itu relatif ukurannya, melainkan tidak semua gerakan tari diwujudkan secara “indah.” Gerakan mencangkul dalam tari Tani, umpamanya, belum tentu lebih indah dari gerakan orang yang sedang mencangkul di sawah atau ladang. Sebaliknya, jika kata indah dihilangkan dari definisi di atas, seorang anak yang menangis sambil menghentak­hentakkan kakinya (dan itu berirama) akan dianggap tari.

Dengan demikian, suatu definisi singkat tapi jelas dan benar, merupakan suatu hal yang tidak mungkin dapat dirumuskan. Karena itu, untuk memahami sesuatu, yang terpenting bukanlah adanya satu kalimat definisi, melainkan adanya sudut­sudut pandang yang lebih terfokus pada berbagai aspek yang berkenaan dengan subjeknya, sehingga cara pandang kita makin meluas dan tajam. Dengan itu, kepekaan kita dalam melihat tari pun akan makin meningkat. Demikian halnya dalam berbagai bidang ilmu, para ahli hampir tidak ada yang berlomba untuk membuat suatu definisi singkat, karena yang dipentingkan adalah pemahamannya. Tidaklah mungkin ada satu kalimat definisi yang membuat kita memahami sesuatu dengan baik.

Daripada merumuskan suatu kalimat definisi, lebih baik kita melihat suatu kenyataan, atau suatu pengalaman. Misalnya, jika kalian pernah menari atau melihat tari, pertanyakan: Bagaimana perasaan

(11)

kalian waktu mempertunjukkannya? Reaksi atau kesan apa yang muncul ketika menonton tari? Ingatan apa yang melekat setelahnya? Coba renungkan pertanyaan ini, dan carilah jawabannya. Jawaban­jawaban itu akan membantu untuk membuat suatu definisi. Meskipun jawaban­ jawaban tersebut tidak jelas dan tumpang­tindihnya, namun jika hal itu mengacu pada pengalaman personal pasti akan lebih bermakna ketimbang berpegang pada rumusan satu kalimat.

Misalnya saja, di antara jawaban kalian ada yang seperti berikut:

1. “Ketika menonton tari, saya tidak mengerti artinya. Tetapi saya

melihat tubuh penari seolah ringan sekali, sepertinya penari dengan mudah dan leluasa untuk bergerak.”

2. “Dari suatu pertunjukan tari, saya menangkap sesuatu yang baru, padahal

saya telah berkali­kali melihat tarian dengan penari yang berbeda; tubuh penari yang kecil, ketika menari kelihatan seperti besar.”

3. “Ketika menarikan suatu tarian yang jelas ceritanya, gerakan tubuh

saya merasa mampu mengungkapkan suasana batin yang saya bayangkan. Saya merasa lega karena berhasil menyampaikannya pada penonton.”

4. “Saya tak pernah mengetahui maksud tarian itu, tapi saya suka

mempertunjukkannya, karena dalam melakukan setiap gerakannya saya merasa nikmat. Tubuh saya pun kadang­kadang seperti berjalan dengan sendirinya, seperti terbawa oleh irama musiknya; walaupun harus mengeluarkan tenaga yang banyak tapi saya tidak merasa kelelahan.”

Tentu akan ada seribu­satu kemungkinan jawaban dari kalian, baik yang serupa maupun yang bertolak­belakang dengan yang di atas. Akan tetapi, dengan adanya jawaban­jawaban tersebut, timbul pertanyaan “Apakah yang dimaksud dengan tari?” akan menjadi makin bermakna, makin jelas apa yang dipertanyakannya.

Dari keempat jawaban di atas, sesungguhnya kita telah mendapat beberapa acuan untuk memahami apa itu tari. Ada 5 aspek yang terungkap: pertama adalah gerak tubuh (uraian nomor 1­4), kedua adalah irama (4), ketiga adalah tenaga (4), keempat adalah perasaan (1­4), dan kelima adalah makna (3). Jawaban­jawaban itu, satu sama lain telah menunjukkan lima aspek yang terkandung di dalam tari..

Dalam kajian tari, aspek gerak secara wujud atau bentuknya disebut ruang, iramanya disebut waktu, dan tenaganya disebut energi. Ketiganya (ruang, waktu, dan energi) disebut elemen dasar dalam tari, karena aspek fisik dalam tari akan menyangkut ketiga elemen ini. Sedangkan aspek rasa dan maknanya adalah isi yang terkandung di dalam aspek­aspek

(12)

tangan, misalnya, maka dengan sendirinya suatu ruang akan tercipta. Ruang dan imajinasi seperti apakah yang tercipta oleh suatu gerakan tari, akan dibicarakan lebih lanjut dalam Bab 3. Yang penting diutarakan di sini adalah yang berhubungan dengan batasan tari, serta gerakan­gerakan apa saja yang bisa dikategorikan tari.

Tentu saja, gerak tari itu boleh dikata tak terhingga bentuknya. Banyak penari yang melatih tubuhnya sampai dapat melakukan gerakan­ gerakan di luar kemampuan anatomis orang normal. Akan tetapi, gerak tari itu, seberapa pun sederhananya, dimaksudkan untuk “menari,” bukan untuk bekerja atau melakukan kegiatan lain­lainnya. Misalnya, ketika bangun pagi kalian menggeliat. Gerak menggeliat itu belum menjadi tari karena kalian tidak bermaksud untuk menari, walaupun di situ ada juga perasaan yang disalurkan melalui gerakannya. Jadi suatu gerak, walau mungkin tampak “bagus” dan terasa enak, belum menjadi tari jika dilakukan bukan untuk menari. Lain halnya jika kalian melakukan gerakan yang hampir sama dengan menggeliat itu pada saat pertunjuk­ kan di panggung. Jadi, gerak tari, adalah gerak yang dilakukan oleh seseorang untuk menari. Adapun gerakan seperti apa bentuknya, indah atau tidaknya, itu merupakan persoalan lain, dan akan bermacam­ macam pula kriterianya sesuai

dengan ukuran masing­masing.

Gbr. 1-17 (a) dan (b): Ketika tangan merentang ke atas, ruang tambahan secara imajiner pun akan tercipta, apalagi keduanya pada arah yang sama.

(13)

Gbr. 1-19: Dalam gerakan tertutup dan lembut, terbentuk pula ruang yang kecil, dan ekspresi yang meditatif menumbuhkan adanya suatu pergolakan di dalamnya.

Gbr. 1-18: Posisi gerak sembah dalam tari Sunda, dengan gerak yang menutup.

Gbr. 1-20: Tari Lumense dari Buton, Sulawesi Tenggara: ruang tercipta oleh hubungan penari dengan properti di luar dirinya (pohon pisang).

Gbr. 1-21: Tari Perang dari Dayak: properti tari, perisai dan pedang, turut menciptakan ruang tersendiri.

(14)

tari adalah gerakan yang berirama, yang diatur waktunya. Irama pada dasarnya adalah suatu pengorganisasian atau penyusunan waktu.

Akan tetapi, gerak bekerja atau gerak sehari­hari pun banyak yang terorganisasi waktunya. Ketika kalian berjalan, bersepeda, menulis, dan lain­lain, sesungguhnya juga berirama. Pengaturan waktunya, cepat lambatnya diatur sesuai dengan kebutuhan atau keadaannya. Kecepatan kalian bersepeda, akan

berbeda ketika lapar, ada yang diburu, bersantai­ santai bersama teman, atau berlomba. Dengan demikian, waktu bergerak yang teratur atau yang berirama itu pun belum tentu merupakan tari. Jadi, seperti halnya aspek ruang, waktu atau irama dalam menari diatur. Jika dalam menari kalian melakukan gerakan yang lambat, bukanlah karena santai atau lapar atau sebaliknya ketika ber­ gerak cepat bukan karena tergesa­gesa melainkan karena itulah waktu yang cocok untuk melakukan tariannya.

Gbr. 1-22: Tari pemimpin adat dari Batak Toba, membawa tongkat pusaka (tunggal panaluan). Dalam gambar ini kita mendapatkan imaji waktu, bukan hanya ruang.

Referensi

Dokumen terkait

Waduk Cirata merupakan waduk yang juga digunakan untuk pembangkitan listrik terletak kurang lebih 51 km di hilir Waduk Saguling. Waduk Cirata dengan luas DAS 4.119 km 2 dan

b) Pencegahan HIV/AIDS, kegiatannya dengan melakukan pencegahan penularan ibu ke anak, memberikan layanan kesehatan kepada para remaja, pemeriksaan dan pengobatan

PPKA Bodogol atau yang dikenal dengan Pusat Pendidikan Konservasi Alam Bodogol adalah sebuah lembaga konservasi alam di daerah Lido Sukabumi dan masih merupakan bagian dari

Menurut Wong (2008), seseorang yang mememiliki tingkat religiusitas tinggi dalam mengikuti aktivitas keagamaan serta memiliki sikap etis lebih baik dalam kehidupan

Kemudian perangkat egress dipergunakan untuk mengendalikan paket data yang keluar dari kartu ethernet, sehingga trafik download oleh komputer klien

Pada luka insisi operasi dilakukan infiltrasi anestesi local levobupivakain pada sekitar luka karena sekresi IL-10 akan tetap dipertahankan dibandingkan tanpa

Untuk mengestimasi dan meng-kuantisasi medan-medan vektor, sering dengan cara mengukur / kuantisasi aliran medan vektor tersebut ( atau netto aliran masuk dan keluar ). baik

Tegasnya, Syaykh Abd Aziz bin Abd Salam telah memberi suatu sumbangan yang besar terhadap metodologi pentafsiran kepada pengajian tafsir di Malaysia.. Sumbangan