55
PERANCANGAN AWAL OPTIK INFRA MERAH UNTUK SPEKTRUM
3,6 - 4,6 µm
(PRELIMINARY DESIGN OF INFRA RED OPTICAL FOR SPECTRUM
3.6 - 4.6
μm)
Irwan Priyanto1, Bustanul Arifin, Andi Mukhtar Tahir
Pusat Teknologi Satelit
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Jl. Cagak Satelit Km.04, Rancabungur, Bogor, Indonesia
1email: i.priyanto@gmail.com ABSTRACT
To support the development of cameras on a micro satellite requires a reliable optical system in order to function properly in accordance with the characteristics of the camera. In this paper we will discuss the initial design of infrared sensor lenses working on the spectral wavelength region of 3.6 - 4.6 μm. Based on the analysis, it is concluded that the initial design of this optic has a good optical design performance because it is close to the specified diffraction limit.
Keywords: infrared, optical, spectral, micro satellite
ABSTRAK
Untuk mendukung pengembangan kamera pada satelit mikro dibutuhkan sistem optik yang handal agar dapat berfungsi dengan baik yang sesuai dengan karakteristik dari kamera tersebut. Pada makalah ini akan dibahas perancangan awal lensa sensor infra merah yang bekerja pada daerah panjang gelombang spektral 3,6-4,6 µm. Berdasarkan analisis diambil kesimpulan bahwa perancangan awal optik ini memiliki kinerja desain optik yang cukup baik karena mendekati dengan limit difraksi yang telah ditentukan.
Kata kunci: infra merah, optik, spektral, satelit mikro
1 PENDAHULUAN
Program pengembangan satelit Mikro di LAPAN telah menjadi program nasional dalam rangka penguasaan di bidang teknologi antariksa khususnya satelit. Diawali dengan satelit LAPAN-TUBSAT yang dibangun pada tahun 2003-2005 dan telah diluncurkan pada tanggal 7 Januari 2007. Program satelit LAPAN berikutnya yang telah diluncurkan dan masih mengorbit serta berfungsi dengan baik hingga saat ini adalah satelit LAPAN-A2 dan LAPAN-A3. Menurut
roadmap perencanaan satelit LAPAN,
satelit yang akan diluncurkan mendatang yaitu satelit LAPAN-A4 dan LAPAN A-5. Seiring dengan hal tersebut, untuk mendukung pengembangan satelit mikro di masa mendatang dengan misi
penginderaan jauh termal dibutuhkan sistem optik yang handal agar dapat berfungsi dengan baik yang sesuai dengan karakteristik dari kamera tersebut. Pertimbangan desain utama adalah material optik, ukuran komponen, bentuk, dan toleransi manufaktur. Semua atribut ini bervariasi pada tahap desain dan dapat memiliki dampak signifikan pada biaya produksi lensa. Sebagai tahap awal kajian sistem optik penginderaan jauh infra merah termal, maka pada makalah ini akan dibahas perancangan awal optik sensor infra merah yang mendekati kanal sensor infra merah termal satelit TERRA-MODIS yang bekerja pada daerah panjang gelombang spektrum 3,6 - 4,6 µm.
Pada sebuah kamera, hubungan antara sampling detektor sensor dan
56
kinerja optik memainkan peranan yang penting dalam menentukan kualitas akhir citra dari suatu kamera. Kesesuaian resolusi optik yang terbatasi oleh difraksi dengan ukuran detektor yang tepat adalah suatu kebutuhan dasar dalam merancang sistem pencitraan digital (Tahir, 2012). Keberadaan sensor yang terpasang pada satelit biasanya memiliki kepekaan spektral/panjang gelombang tertentu untuk merekam radiasi gelombang elektromagnetik obyek bumi yang merupakan hasil interaksi antara sumber energi dengan obyek tertentu. Desain dari penggunaan spektral/panjang gelombang ditentukan oleh target dan misi yang diharapkan (Koretsky et al., 2013). Untuk kategori sensor infra merah, jangkauannya meliputi panjang gelombang 0.75 µm sampai dengan 14 µm. Sensor infra merah termal memanfaatkan kuantitas pancaran suhu dari suatu obyek di permukaan bumi. Kuantitas panas yang ditangkap oleh sensor infra merah termal dari tiap obyek dapat dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu: panjang gelombang (wavelength) sensor yang digunakan untuk mengukur atau menginderanya, suhu permukaan obyek, dan nilai energi pancaran dari obyek tersebut. Sensor infra merah pada umumnya digunakan untuk pengukuran temperatur obyek permukaan bumi, salah satunya untuk mendeteksi kebakaran hutan atau obyek panas yang lain. Satelit TERRA-MODIS memiliki sensor yang dilengkapi dengan kanal sensor infra merah yang bekerja pada daerah panjang gelombang 3,6 µm sampai dengan 4.6 µm yang dapat digunakan untuk mendeteksi kebakaran hutan dan pengukuran Suhu Permukaan Laut (SPL). SPL merupakan salah satu parameter oseanografi yang sangat penting untuk mempelajari gejala-gejala fisika di dalam laut serta kaitannya dengan kehidupan biota laut. Selain untuk mengukur SPL, saat ini telah banyak satelit-satelit yang dilengkapi sensor infra merah termal untuk penelitian aktivitas lava dan pemantauan parameter aktivitas gunung berapi (Arifin et al., 2014) (Arifin
et al., 2015). Pada makalah ini batasan
permasalahan yang digunakan adalah kriteria desain sistem optik yakni Difraksi polikromatik Modulation Transfer Function (MTF) pada frekuensi Nyquist di atas 0,5 dengan limit difraksi sebesar 2,44 λ F/# yaitu 26 µm dimana F/# adalah bilangan fokus atau F-number. F-number adalah nomor matematika yang menggambarkan diameter aperture dari sebuah lensa.
F-number biasa diterapkan pada sistem
optik untuk digunakan dengan obyek jauh seperti lensa kamera dan lensa obyektif teleskop (Tahir, 2009).
2 TEORI
Pada umumnya sistem optik menggunakan cermin memiliki kelebihan dibandingkan menggunakan lensa. Salah satu kelebihan cermin dibandingkan dengan lensa diantaranya adalah cermin memiliki aberasi yang lebih kecil dibandingkan dengan lensa dengan kondisi
focal length yang sama. Salah satu jenis
aberasi yang sering terjadi pada sebuah sistem optik adalah aberasi sferik. Aberasi sferik terjadi dikarenakan bentuk kelengkungan dari sebuah lensa/cermin. Aberasi sferik dari cermin cekung berlawanan tanda dengan lensa positif. sabagai solusi dari permasalahan ini, Maksutov dan Bowers dalam (Laikin, 2006) mengusulkan penggunaan lensa negatif lemah yang dihubungkan dengan cermin cekung. Sedangkan Hodges dalam (Malacara dan Malacara, 2004) mengusulkan korektor asferik lemah di pusat kelengkungan dari cermin asferik.
Perancangan sistem cermin tipe Cassegrain memiliki cermin primer dan cermin sekunder terpisah sejauh T, dan membentuk citra pada jarak sejauh B dari cermin sekunder, seperti yang diilustrasikan pada Gambar 2-1. Dengan asumsi T dan B bernilai positif dan Rp
dan Rs bernilai negatif maka diperoleh
perhitungan Efective Focal length (EFL) pada persamaan (2-1) sebagai berikut:
EFL =2R RpRs
57
Dengan menggunakan nilai H sebagai rasio tinggi sinar aksial paraksial pada cermin sekunder dibagi dengan tinggi pada cermin primer. Apabila obyek berada pada jarak tidak terhingga (infinity) maka dapat di definisikan persamaan (2-2) berikut:
H =Rs2TR
p (2-2)
Gambar 2-1: Sistem Cermin Cassegrain
3 METODOLOGI: Perancangan Awal
Sebelum merancang suatu sistem optik untuk aplikasi tertentu, hal yang terlebih dahulu dilakukan adalah menentukan spesifikasi rancangan termasuk batasan-batasannya, kemudian kita menentukan suatu titik awal perancangan. Langkah selanjutnya adalah melakukan perhitungan stray
light untuk mengetahui propagasi sinar
yang tidak dinginkan pada detektor sensor sistem optik yang berpeluang untuk menimbulkan masalah pada sistem tersebut (Peterson, 1999) (Kim et
al, 2006). Sebagai titik awal rancangan
kita bisa memakai literatur yang sudah dipatenkan atau beberapa database lain dari bentuk refractive, reflective atau
catadioptric untuk mendapatkan
konfigurasi yang sesuai dengan spesifikasi rancangan. Salah satu contohnya adalah model Cassegrain seperti pada Gambar 2-1.
Dalam makalah ini akan dilakukan desain optik menggunakan model cassegrain dengan menggunakan optik utama berupa 2 buah cermin dan ZnSe sebagai window. Kelebihan sistem optik
menggunakan cermin diantaranya mengurangi dimensi sistem optik dan mengurangi serta meniadakan aberasi kromatik pada sistem optik. Material
window yang digunakan menggunakan Zinc Selenide (ZnSe) yang memiliki nilai
indeks refraksi yang cukup tinggi yang diharapkan dapat mengurangi aberasi pada sistem optik. Untuk mendapatkan suatu rancangan awal optik infra merah yang memenuhi kriteria sistem optik yang baik, batasan yang digunakan dan menjadi kriteria desain yakni Difraksi polikromatik Modulation Transfer Function (MTF) pada frekuensi Nyquist di atas 0,5 dengan limit difraksi sebesar 2,44 λ F/# 26 x 10-6.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambar 4-1: Hasil perancangan optik
Gambar 4-1 menunjukkan hasil perancangan awal optik infra merah untuk spektrum 3,6 – 4,6 µm. Nilai EFL dari Gambar 4-1 berdasarkan persamaan 2-1 dan 2-2 diperoleh hasil EFL sebesar 5,7 inchi. Setiap sistem optik memiliki batas kinerja yang ditentukan oleh hukum fisika. Keterbatasan ini disebabkan oleh bilangan fokus/F-number (F/#) dari optik dan panjang gelombang (s) dari cahaya yang melewati sistem optik tersebut. Sistem optik yang telah di desain memiliki
Focal length sebesar 320mm, F-number
bernilai 3,33 dengan panjang dimensi sistem optik sebesar 13,13 cm. Salah satu keterbatasan lensa tersebut dikenal sebagai Limit difraksi, keterbatasan ini dinyatakan dengan satuan lp/mm yang
58
akan menentukan daya maksimum untuk menyelesaikan teoritis lensa dimana lensa yang sempurna tidak dibatasi oleh desain akan difraksi terbatas. Batas ini berupa titik di mana dua pola Airy (Pola lingkaran gelap dan terang) tidak lagi dibedakan satu sama lain. Untuk menghitung batas difraksi, kita dapat menggunakan rumus sederhana yang berhubungan dengan F-number dari lensa dan panjang gelombang cahaya. Setelah batas difraksi tercapai, lensa menjadi tidak mampu menyelesaikan frekuensi yang lebih besar. Pertama, sebagai aturan umum, sensor pencitraan tidak bisa mereproduksi informasi di atau dekat kontras 0%. Karena terdapat
noise pada sensor pencitraan standar,
nilai kontras umumnya harus di atas 10% agar dapat terdeteksi dengan handal. Untuk menghindari pencitraan komplikasi, dianjurkan untuk menargetkan kontras 20% atau lebih tinggi pada resolusi lp/mm dari nilai kritis aplikasi. Selain itu, penyimpangan lensa dan variasi terkait dengan toleransi manufaktur juga mengurangi kinerja. Kurva MTF digunakan untuk menentukan apakah sebuah optik secara efektif akan bekerja dan memenuhi persyaratan aplikasi yang diinginkan ini.
Salah satu tool analisis pada Zemax yang digunakan untuk mengevaluasi sistem optik adalah dengan menggunakan MTF. Berdasarkan Gambar 4-2, kurva MTF menunjukkan resolusi dan informasi kontras secara bersamaan yang memungkinkan lensa untuk dievaluasi berdasarkan persyaratan untuk aplikasi tertentu dan dapat digunakan untuk membandingkan kinerja beberapa lensa. Selain itu kurva MTF dapat membantu menentukan kelayakan sebuah aplikasi. Semakin besar nilai MTF akan menghasilkan resolusi yang lebih baik. Berdasarkan application note OSE001 yang dikeluarkan oleh Precision-Optical
Enginering, referensi yang digunakan
dalam analisis proses ini adalah difraksi polikromatik MTF pada frekuensi Nyquist di atas 0,5 dan bebas aberasi (free
aberration). Hasil yang diperoleh
menunjukkan bahwa polikromatik MTF memenuhi kriteria (batas) dalam desain ini (Gambar 4-2), dimana nilai yang terendah dari kurva MTF pada frekuensi Nyquist (detektor frekuensi cut off) 20 cycle/mm sebesar 0.5 FOV. Hal ini berarti melebihi target MTF yang diharapkan yakni sebesar 0,4. Nilai MTF pada sumbu axis 0,5 FOV tersebut sangat dekat dengan batas difraksi.
Modulation Transfer Function
Gambar 4-2: Hasil Grafik MTF
Gambar 4-3: Hasil Grafik Wavefront Error Vs Wavelength
Selain melihat kurva MTF, performa hasil desain optik dapat diketahui menggunakan grafik RMS wavefront
59
Hasil awal desain Optik secara umum sudah baik karena pada grafik kurva gelombang 3,6 - 4,2 𝜇𝜇𝜇𝜇 berada di bawah limit difraksi.
Sebagai salah satu alat analisis yang paling penting dalam Zemax adalah grafik Optical Path Diference (OPD). OPD mencerminkan perbedaan antara permukaan gelombang yang sebenarnya (real wavefront) yang sebenarnya dengan permukaan gelombang sferik sebagai referensi (Fischer, 2008). Permukaan
gelombang yang sesungguhnya merupakan permukaan gelombang sferik yang terkena aberasi pada lensa, sehingga dengan grafik OPD dapat diketahui sejauh mana sebuah optik mengalami
aberasi. Gambar 4-4 merupakan grafik hasil desain optik yang cukup kecil dengan maksimum skala 5.10-3 wave.
Grafik ini menjelaskan variasi Path
Diference dari permukaan gelombang
untuk rentang 3,6-4,6 µm. Berdasarkan Gambar 4-4 tersebut, OPD untuk panjang gelombang tengah 4,1µm adalah yang terbaik dibandingkan panjang gelombang yang lain. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat minimum aberasi pada panjang gelombang tengah pada desain optik ini. Secara umum, untuk perancangan awal, desain optik ini sudah bisa digunakan untuk aplikasi infra merah dengan rentang 3,6 - 4,6 µm.
Optical Path Difference (OPD)
Gambar 4-4: Grafik optical path diference
60
Berdasarkan uraian di atas disimpulkan bahwa telah diperoleh perancangan awal lensa infra merah dengan kinerja desain optik yang cukup baik karena memiliki minimum aberasi dengan grafik MTF mendekati dengan limit difraksi. Untuk tahap selanjutnya masih diperlukan iterasi perbaikan aberasi dan analisis straylight untuk meninjau kinerja optik lebih lanjut.
DAFTAR RUJUKAN
Application note OSE001, Transverse Ray Aberrations PRECISION-OPTICAL ENGINEERING.
Arifin, B., Tahir, A. M., and Priyanto, I, 2014. The Preliminary Analysis of Spectral Radiance Design of IR Bolometer Sensor for Wild Fire Detection in Indonesia, Proceedings of ICS 2014: Space for development.
Arifin, B., Tahir, A. M., and Priyanto, I., 2015. Analysis of Lapan's IR Micro bolometer Design for Volcano Activity, Proceedings of ICARES 2015, IEEE.
Fischer, B., Galeb, T., and Yoder, P., 2008. R Optical System Design, 2nd, Robert E. Ed, McGraw-Hill, NewYork.
Kim, Y., Bisschop, P. D., and Vandenberghe, G., 2006. Characterization of Straylight of Arf Lithographic Tools: Modeling of Power Spectral Density of an Optical Pupil, Microelectron. Eng. 83, 643-646. Koretsky, G. M., Nicoll J. F., and Taylor, M. S.,
2013m A Tutorial on Electro-Optical/ Infrared (EO/IR) Theory and System, Institute for Defense Analysis IDA Document D-4642.
Laikin, M., 2006. Lens Design, CRC Press. Malacara, D., and Malacara, Z., 2004.
Handbook of Optical Design, Marcel Dekker, Inc., New York.
Peterson, G.L., 1999. Straylight Calculation Methods with Optical Ray Trace Software, Proc. SPIE 3780, 132-137. Tahir, A.M., 2009. Rancangan Kamera Satelit
Mikro, Buku Ilmiah, Massma Sikumbang, Jakarta.
Tahir, A.M., 2012. Faktor Kualitas Kamera Digital Pada Satelit LAPAN A-2, Buku Ilmiah Pengembangan Satelit Mikro, IPB Press, Bogor.