• Tidak ada hasil yang ditemukan

LEGAL STANDING KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI (KPK) DALAM SENGKETA KEWENANGAN LEMBAGA NEGARA DI MAHKAMAH KONSTITUSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LEGAL STANDING KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI (KPK) DALAM SENGKETA KEWENANGAN LEMBAGA NEGARA DI MAHKAMAH KONSTITUSI"

Copied!
200
0
0

Teks penuh

(1)

SENGKETA KEWENANGAN LEMBAGA NEGARA DI

MAHKAMAH KONSTITUSI

I GUSTI AYU EVIANI YULIANTARI

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2015

(2)

i

SENGKETA KEWENANGAN LEMBAGA NEGARA DI

MAHKAMAH KONSTITUSI

I GUSTI AYU EVIANI YULIANTARI NIM : 1190561009

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2015

(3)

ii

Tesis Untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Studi Magister Studi Ilmu Hukum

Program Pascasarjana Universitas Udayana

I GUSTI AYU EVIANI YULIANTARI NIM : 1190561009

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(4)
(5)

iv

Panitia Penguji Tesis

Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana No.: 1224/UN14.4/HK/2015

Ketua : Prof. Dr. I Made Subawa, SH.MS Sekretaris : Dr. I Dewa Gede Palguna, SH.M.Hum Anggota : 1. Prof. Dr. I Wayan Parsa, SH.,M.Hum

2. Dr. I Nyoman Suyatna, SH., MH 3. Dr. I Gede Yusa., SH., MH

(6)
(7)

vi

Tuhan Yang Maha Esa, karena berkar Rahmat-Nyalah penulis dapat menyelesaikan Tesis yang berjudul: “Legal Standing Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) dalam Sengketa Kewenangan Lembaga Negara di Mahkamah Konstitusi”, tepat pada waktu yang telah ditentukan.

Dalam penyusunan Tesis ini, penulis tidak lepas dari bimbingan, arahan serta bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan yang baik dan terhormat ini, perkenankan penulis mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada Prof. Dr. dr. I Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD selaku Rektor Universitas Udayana, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh program Pascasarjana di Universitas Udayana. Ucapan terima kasih ini juga ditujukan kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S.(K)., yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh program Pascasarjana di Universitas Udayana. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH.MH. Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan rasa terima kasih yang setulus-tulusnya kepada Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana, Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH., M. Hum. LLM., yang juga telah berkenan memberikan masukan dalam penyusunan tesis ini serta memberikan bantuan dan dukungan kepada penulis selama mengemban pendidikan di Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana

(8)

vii

mengikuti perkuliahan. Ucapan terima kasih ini juga ditujukan kepada Dr. Putu Gede Arya Sumertha Yasa, SH., MH selaku Pembimbing Akademik yang telah membimbing dan mendukung penulis sepanjang mengemban pendidikan di Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Dalam kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada Prof. Dr. I Made Subawa, SH.MS., selaku Pembimbing I dan Dr. I Dewa Gede Palguna, SH.M.Hum.,selaku Pembimbing II yang senantiasa memberikan masukan, saran, motivasi dan bimbingan dengan ketulusan hati dan kecermatan serta kesabaran dalam membimbing penyusunan tesis penulis, sehingga tesis ini dapat terselesaikan.

Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Para penilai usulan penelitian dan penguji Tesis ini, Prof. Dr. I Made Subawa, SH.,MS., Dr. I Dewa Gede Palguna, SH. M.Hum., Prof. Dr. I Wayan Parsa, SH.,M.Hum., Dr. I Nyoman Suyatna, SH., MH., dan Dr. I Gede Yusa., MH., yang telah berkenan memberikan penilaian, masukan, dan saran demi kesempurnaan tesis ini, serta Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH., M. Hum. LLM., dan Dr. Putu Tuni Cakabawa, SH., MH yang telah berkenan menjadi penguji pengganti dan memberikan masukan serta saran kepada penulis pada saat pembimbing ataupun penguji tesis penulis berhalangan hadir. Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada guru besar/doktor dan desen-dosen pengajar di

(9)

viii

karyawan/karyawati pengelola administrasi akademik Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Udayanayang telah banyak membantu proses administrasi selama dan setiap berurusan administrasi.

Pada kesempatan ini pula penulis mengucapkan terima kasih kepada orang tua tercinta penulis I Gusti Ngurah Suparta, SH, Ibunda I Gusti Ayu Raka Parwati, SE dan adik semata wayang I Gusti Ngurah Adhi Pramudia, SH serta semua saudara dan orang-orang terdekat yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang senantiasa tanpa letih dan jemu memberikan kasih saying dan bimbingan serta dukungan baik secara materiil maupun imateriil kepada penulis sehingga tesis ini bisa terselesaikan. Kepada rekan-rekan Program Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas semangat, dukungan, kebersamaan dan pengalaman yang telah diberikan selama ini. Terima kasih penulis ucapkan kepada orang terkasih, sahabat, dan teman-teman yang selalu memberikan dukungan dan spirit untuk menyelesaikan Program Magister Ilmu Hukum serta dukungan moril sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis ini. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu dalam kesempatan ini, yang telah memberikan bantuan moril dan materiil sehingga penyusunan tesis ini dapat terselesaikan.

Penulis menyadari bahwa sebagai manusia yang penuh dengan kekurangan dan keterbatasan, tentulah penulisan Tesis ini masih jauh dari kesempurnaan,

(10)

ix

pahala dari Tuhan Yang Maha Esa/ Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Apabila ada kesalahan dalam penulisan tesis ini, mohon dimaklumi. Atas perhatiannya penulis ucapkan terima kasih.

Denpasar, 21 April 2015

(11)

x

Negara di Mahkamah Konstitusi”. Penelitian dalam Tesis ini membahas dua permasalahan yaitu yang berkaitan dengan legal standing Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang bisa menjadi Pihak dalam Sengketa Kewenangan Lembaga Negara di Mahkamah Konstitusi menurut UUD 1945 dan tentang Penyatuan Kewenangan Penyidikan dan Penuntutan di tangan KPK tidak bertentangan dengan prinsip pemisahan kekuasaan yang memuat gagasan Perlindungan Hak-Hak Konstitusional Warga Negara. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, karena penelitian ini berusaha untuk membahas atau mengkaji norma hukum dalam hal ini norma perundang-undangan untuk mengetahui sinkronisasi baik secara vertikal maupun horizontal. Tesis ini menjelaskan bahwa KPK tidak memiliki legal standing sebagai pihak pemohon maupun termohon dalam mengajukan gugatan di Mahkamah Konstitusi terkait dengan sengketa kewenangan lembaga negara karena kewenangan yang dimiliki KPK tidak diatur secara jelas dalam UUD 1945. Dan dalam tesis ini juga dijelaskan bahwa kewenangan penyidikan dan penuntutan oleh KPK sesuai dengan prinsip pemisahan kekuasaan, karena KPK masih berada dalam satu kekuasaan negara yaitu kekuasaan eksekutif sebagai kekuasaan yang menjalankan undang-undang. Selanjutnya juga dibahas mengenai checks and balances dan koordinasi antara lembaga negara agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan.

Kata kunci: Legal Standing, Lembaga Negara, dan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara

(12)

xi

Constitutional Court". The research in this thesis discusses two issues that are related to the legal standing of the Corruption Eradication Commission (KPK), which can be a Party to the Dispute Authority of State Institutions in the Constitutional Court in 1945 and about the unification of Investigation and Prosecution Authority in the hands of the Commission is not contrary to the principles which contains the idea of separation of powers Protection of the Rights of Citizens Constitutional. The method used in this research is normative legal research, because this research seeks to discuss or review the legal norm in this case the norms of legislation to determine the synchronization either vertically or horizontally. This thesis explains that the Commission has no legal standing as an applicant or respondent in a lawsuit filed in the Constitutional Court relating to dispute the authority of state institutions because of the competencies of the Commission is not expressly provided in the 1945 Constitution and in this thesis also explained that the powers of investigation and prosecution by the Commission in accordance with the principle of separation of powers, because the Commission is still in the power of the state, namely the executive power as the power that runs the legislation. Furthermore, also discussed about the checks and balances and coordination among state agencies in order to avoid overlapping of authority.

(13)

xii

BAB I, merupakan bagian awal Tesis ini menguraikan tentang latar belakang masalah melakukan penelitian yang berjudul “Legal Standing Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) dalam Sengketa Kewenangan Lembaga Negara di Mahkamah Konstitusi”, dimana terdapat kekosongan kekaburan norma yang mengatur tentang lembaga Negara yang diatur secara tegas dalam UUD 1945 dalam hal sengketa kewenangan lembaga Negara di Mahkamah Konstitusi.

BAB II, merupakan tinjauan umum yang merupakan landasan operasional dalam penelitian. Uraian dalam bab ini menguraikan tentang tindak pidana korupsi sebagai kejahatan luar biasa, pemberantasan tindak pidana korupsi di berbagai negara, selanjutnya menguraikan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dalam Instrumen Hukum Internasional, dan juga membahas mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.

BAB III merupakan hasil penelitian dari permasalahan pertama yakni tentang Legal Standing Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) dalam Sengketa Kewenangan Lembaga Negara di Mahkamah Konstitusi. Dalam Bab ini dijelaskan bahwa KPK tidak memiliki legal standing sebagai pihak termohon dan pihak termohon dalam mengajukan gugatan di Mahkamah Konstitusi karena KPK tidak diatur secara tegas dalam UUD 1945.

BAB IV merupakan hasil penelitian dari permasalahan kedua, yaitu tentang Penyatuan Kewenangan Penyidikan dan Penuntutan di tangan KPK tidak bertentangan dengan prinsip pemisahan kekuasaan yang memuat gagasan Perlindungan Hak-Hak Konstitusional Warga Negara. Penyatuan Kewenangan Penyidikan dan Penuntutan di tangan KPK tidak bertentangan dengan prinsip pemisahan kekuasaan yang memuat gagasan Perlindungan Hak-Hak Konstitusional Warga Negara. Hal tersebut dikarenakan KPK masih beraada dalam satu kekuasaan negara yaitu kekuasaan eksekutif. Selain itu, segala

(14)

xiii

Kejaksaan. Namun kewenangan KPK tersebut dilakukan apapiba kasus korupsi yang ditangani KPK lebih dari 1 milyar rupiah sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 11 huruf c undang-undang KPK.

BAB V, merupakan bagian penutup yang berisikan simpulan dan saran dari penulis berdasarkan penelitian dari permasalahan yang diperoleh. Dari dua permasalahan yang dibahas diperoleh simpulan yaitu perlu adanya penyempurnanya dalam UU MK dalam menetapkan lembga Negara yang menjadi pihak dalam sengketa kewenangan lembaga Negara secara tegas dan jelas, serta perlu juga dilakukaan koordinasi antar lembaga Negara agar tersipta system checks and balancese.

(15)

xiv

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS... iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT... v

UCAPAN TERIMA KASIH... vi

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT... ix

RINGKASAN ... x

DAFTAR ISI... xii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 10

1.3 Orisinalitas Penelitian ... 11

1.4 Landasan Teoritis ... 13

1.4.1 Landasan Teori... 14

a. Teori Negara Hukum... 14

b. Teori Hans Kelsen tentang Organ Negara (General Theory of Law & State)... 17

c. Teori Pemisahan Kekuasaan ... 19

d. Teori Kewenangan ... 22

1.4.2 Konseptual ... 27

a. Konsep Legal Standing ... 27

b. Konsep Lembaga Negara ... 30

c. Konsep Sengketa Kewenangan Lembaga Negara... 32

1.5 Tujuan Penelitian ... 34 1.5.1. Tujuan Umum ... 34 1.5.2. Tujuan Khusus ... 34 1.6 Manfaat Penelitian ... 35 1.6.1. Manfaat Teoritis ... 35 1.6.2. Manfaat Praktis ... 35 1.7 Metode Penelitian... 36 1.7.1. Jenis Penelitian... 36

1.7.2. Sumber Bahan Hukum ... 37

1.7.3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ... 40

1.7.4. Jenis Pendekatan ... 41

1.7.5. Teknik Analisis ... 42

BAB II TINJAUAN UMUM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI 2.1. Tindak Pidana Korupsi sebagai Kejahatan Luar Biasa ... 44

2.1.1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi ... 45

(16)

xv

2.2.3. Komisi Pemberantasan Korupsi Thailand ... 62

2.3. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam Instrumen Hukum Internasional... 63

2.3.1. Pengaturan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Tingkat Internasional... 65

2.3.2. Pengaturan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Tingkat Regional ... 67

2.4. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia... 70

2.4.1. Sebelum Terbentuknya KPK ... 71

2.4.2. Setelah Terbentuknya KPK ... 76

a. Latar Belakang Pembentukan KPK... 76

b. Kewenangan KPK ... 82

c. Hubungan KPK dengan Kepolisian dan Kejaksaan ... 93

BAB III LEGAL STANDING KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM SENGKETA KEWENANGAN LEMBAGA NEGARA DI MAHKAMAH KONSTITUSI MENURUT UUD NRI TAHUN 1945 3.1. Lembaga-Lembaga Negara Menurut Undang-Undang Dasar 1945... 98

3.1.1. Pengertian Lembaga Negara... 98

3.1.2. Lembaga Negara yang secara Tegas diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945... 102

3.1.3. Lembaga Negara yang tidak diatur secara Tegas dalam Undang-Undang Dasar 1945 ... 104

3.1.4. Pendapat Mahkamah Konstitusi tentang Lembaga Negara . 106 3.2. Sengketa Kewenangan Lembaga Negara dalam Hukum Positif Indonesia ... 108

3.2.1. Pengertian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara menurut Undang-Undang Mahkamah Konstitusi... 110

3.2.2. Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Memutus Sengketa Kewenangan Lembaga Negara ... 114

3.2.3. Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Konsepsi Kelembagaan Negara menurut UUD 1945... 116

3.3. Legal Standing KPK dalam Sengketa Kewenangan Lembaga Negara di Mahkamah Konstitusi... 120

3.3.1. Konsepsi Legal Standing dalam Proses Beracara di Mahkamah Konstitusi... 122

3.3.2. Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Hubungannya dengan Subjectum Litis Perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara ... 124

(17)

xvi

BAB IV PENYATUAN KEWENANGAN PENYIDIKAN

DAN PENUNTUTAN DI TANGAN KPK TERKAIT DENGAN LEGAL STANDING KPK SEBAGAI LEMBAGA NEGARA YANG BERSENGKETA DI MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM KAITAN DENGAN GAGASAN PERLINDUNGAN

HAK-HAK KONSTITUSIONAL WARGA NEGARA

4.1. Hakikat Pemisahan Kekuasaan Negara... 139 4.1.1. Pemisahan Kekuasaan Negara dalam Hubungannya

dengan Ajaran Negara Hukum ... 140 4.1.2. Pemisahan Kekuasaan Negara sebagai sarana

Pembatasan Kekuasaan Negara... 146 4.1.3. Pemisahan Kekuasaan Negara sebagai sarana

Perlindungan Hak-Hak Konstitusional Warga Negara ... 148 4.2. Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam

Kaitannya dengan Prinsip Pemisahan Kekuasaan Negara... 151 4.2.1. Tinjauan Umum Kewenangan Komisi Pemberantasan

Korupsi... 153 4.2.2. Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi terkait

dengan Kekhususan Tindak Pidana Korupsi... 161 4.3. Konsekuensi Penyatuan Kewenangan Penyidikan dan

Penuntutan pada Komisi Pemberantasan Korupsi ... 165 4.3.1. Terhadap Prinsip Pembatasan Kekuasaan Negara ... 167 4.3.2. Terhadap Gagasan Perlindungan Hak-Hak Konstitusional 169 BAB V PENUTUP

5.1. Simpulan ... 175 5.2. Saran... 176 DAFTAR PUSTAKA

(18)

1

Akhir-akhir ini salah satu lembaga negara popular di Indonesia yang dikenal melalui sepak terjangnya memberantas korupsi ramai dibicarakan. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) merupakan lembaga negara yang memiliki tugas memberantas korupsi di Indonesia. KPK memiliki kewenangan yang hampir sama dengan Kepolisian dan Kejaksaan dalam perkara tindak pidana korupsi. KPK memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, yang sebelumnya kewenangan tersebut juga dimiliki oleh Kepolisian dan Kejaksaan. Sehingga dalam hal ini perlu adanya koordinasi lembaga negara baik itu Kepolisian, Kejaksaan dan KPK untuk meminimalisasi terjadinya penyalahgunaan wewenang.

Kewenangan yang dimiliki KPK hampir sama dengan Kepolisian dan Kejaksaan dalam perkara tindak pidana korupsi dapat menimbulkan sengketa kewenangan lembaga negara tersebut. Untuk itu apabila terjadi sengketa kewenangan lembaga negara maka lembaga negara yang merasa kewenangannya diambil alih oleh lembaga negara lain dapat mengajukan permohonan sengekata kewenangan lembaga negara ke Mahkamah Konstitusi. Salah satu sengketa kewenangan lembaga negara yang pernah terjadi dan menjadi perhatian di masyarakat adalah sengketa kewenangan antara Kepolisian Republik Indonesia (yang selanjutnya disebut POLRI) dan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (yang selanjutnya disebut KPK) mengenai kewenangan untuk menangani

(19)

kasus korupsi pengadaan simulator SIM. Sengketa ini disebabkan karena antara kedua lembaga negara tersebut merasa bahwa penanganan kasus korupsi pengadaan simulator SIM merupakan kewenangannya, sehingga telah melaksanakan penyidikan terhadap kasus tersebut, bahkan telah menetapkan tersangka. Kasus ini semakin menjadi polemik karena melibatkan para perwira tinggi POLRI di dalamnya, bahkan KPK menetapkan beberapa perwira tinggi sebagai tersangka. Setelah polemik berkepanjangan dan atas desakan publik terus-menerus, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya mengeluarkan pernyataan untuk menengahi sengketa kewenangan antara POLRI dan KPK mengenai penanganan kasus korupsi simulator SIM tersebut. Presiden memerintahkan agar POLRI melimpahkan penanganan kasus korupsi simulator SIM pada KPK, dengan berpatokan pada ketentuan Pasal 50 ayat (3) Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Penanganan kasus yang berlarut-larut yang melibatkan KPK dan POLRI tersebut menimbulkan berbagai tanggapan oleh para ahli hukum di Indonesia, terkait dengan diselesaikannya sengketa kewenangan lembaga negara tersebut ke Mahkamah Konstitusi.1

Berkenaan dengan tugas dan wewenang Mahkamah Konstitusi, Pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (yang selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) menegaskan bahwa “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus

1 Tempo, Tiga Pokok Masalah Polri vs KPK versi SBY, http://www.tempo.co/read/new,

Diakses tanggal 10 Maret 2013. Lihat juga Merdeka, Perseteruan Panas Polri vs KPK di 2012, http://www.merdeka.com, Diakses tanggal 10 Maret 2013.

(20)

sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selain itu, Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD. Dalam rumusan pasal tersebut jelas tecantum bahwa salah satu kewenangan dari Mahkamah Konstitusi (MK) adalah memutus memutus sengketa kewenangan antar lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD. Dalam hal ini perlu diperjelas tentang

“lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD”.

”Sengketa kewenangan lembaga negara”, kata lembaga negara termuat

dalam pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, yang mengatur tentang

kewenangan Mahkamah Konstitusi, dimana satu diantaranya adalah ”memutus

sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar”. Dengan kata-kata yang sama hal tersebut diulangi lagi dalam pasal 10 ayat (1) UU Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dari ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa penyebutan adanya lembaga negara dalam UUD NRI Tahun 1945 belum dengan sendiri menentukan bahwa lembaga yang akan dibentuk itu merupakan organ konstitusi sebagai lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD NRI Tahun 1945. Ada kalanya penyebutan dalam UUD NRI Tahun 1945 merupakan penugasan kepada pembuat undang-undang untuk membentuk lembaga negara tersebut yang menyangkut kewenangan, susunan, kedudukan dan tanggung jawabnya dalam satu

(21)

undang-undang. Dalam hal demikian dia menjadi organ atau lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari undang-undang.

Secara definitif, lembaga negara adalah institusi-institusi yang dibentuk guna melaksanakan fungsi-fungsi negara. Sedangkan secara konseptual, tujuan diadakannya lembaga-lembaga negara adalah selain untuk menjalankan fungsi negara, juga untuk menjalankan fungsi pemerintahan secara aktual. Dengan kata lain, lembaga-lembaga itu harus membentuk suatu kesatuan proses yang satu sama lain saling berhubungan dalam rangka penyelenggaraan fungsi negara.2 Proses perubahan UUD NRI Tahun 1945 telah menyusun struktur ketatanegaraan baru, bahkan merubah paradigma pelaksanaan kekuasaan. Penegasan prinsip check and balance dalam pelaksanaan kekuasaan semakin membuka ruang bagi timbulnya sengketa. Oleh sebab itu, untuk lebih memperkuat prinsip konstitusionalisme, demokrasi dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, dibentuk beberapa lembaga negara baru baik melalui UUD NRI Tahun 1945 maupun peraturan perundang-undangan lainya. Pembentukan lembaga-lembaga negara yang baru tersebut sangat berpengaruh terhadap konsepsi lembaga negara dan hubungan lembaga negara. Dibentuknya Mahkamah Konstitusi sebagai badan kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung, yang salah satu kewenangannya menyelesaikan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD. Dengan dibentuknya Mahkamah Konstitusi, maka ada satu mekanisme penyelesaian sengketa lembaga negara melalui instrument pengadilan, yang diharapkan setiap sengketa dapat diselesaikan berdasarkan hukum dan

2 Firmansyah Arifin, dkk., 2005, Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antar

(22)

peraturan perundang-undangan yang ada. Namun yang menjadi permasalahannya yaitu tentang ketentuan yuridis yang menjadi pedoman Mahkamah Konstitusi dalam menyelenggarakan kewenangannya, tidak terdapat kejelasan status lembaga negara dan lembaga-lembaga yang dapat bersengketa di Mahkamah Konstitusi.

Secara konseptual Negara merupakan organisasi kekuasaan. Menurut doktrin trias politica, kekuasaan negara dibagi ke dalam tiga bidang kekuasaan yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Kekuasaan legislatif berfungsi membuat undang-undang; kekuasaan eksekutif melaksanakan undang-undang; dan kekuasaan yudikatif merupakan kekuasaan yang mengadili pelanggaran atas undang-undang.3 Ketiga bidang kekuasaan ini menurut Montesquieu harus dipisahkan satu sama lain, baik mengenai tugas (fungsi) maupun alat perlengkapan negara/lembaga negara yang menyelenggarakannya.4 Doktrin trias politica inilah yang juga diterapkan dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia, dimana kekuasaan negara dibagi ke dalam bidang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudisial. Masing-masing bidang kekuasaan tersebut dijalankan oleh lembaga-lembaga negara yang ada berdasarkan kewenangannya masing-masing. Koordinasi lembaga-lembaga negara dalam menjalankan kewenangannya diselenggarakan berdasarkan prinsip checks and balances, hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya monopoli kekuasaan. Meskipun setiap lembaga negara telah memiliki kewenangannya masing-masing, masih sering terjadi permasalahan mengenai sengketa kewenangan lembaga negara. Adanya permasalahan mengenai sengketa kewenangan lembaga negara di Indonesia juga ditunjukkan dengan

3Miriam Budiardjo, 1993, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,

hal. 152.

(23)

keberadaan lembaga Mahkamah Konstitusi (yang selanjutnya disebut MK), yang memiliki kewenangan konstitusional berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945. Sejarah pertama MK adalah diadopsinya ide mahkamah konstitusi yang diajukan Majelis Permusyaaratan Rakyat (MPR) sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24C UUD NRI Tahun 1945.5

Lembaga-lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, sebagaimana yang termuat dalam UUD NRI Tahun 1945 yaitu meliputi: MPR, DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, BPK, MA, MK, Komisi Yudisial, Pemerintahan Daerah, Bank Sentral, Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan Kepolisian Republik Indonesia. Selain itu, terdapat pula lembaga-lembaga yang bisa disebut sebagai komisi negara atau lembaga negara pembantu (state auxiliary agencies) yang dibentuk berdasarkan undang-undang ataupun peraturan perundang-undangan lainya. Beberapa lembaga komisi yang telah terbentuk misalnya, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Nasional untuk Anak, dan Komisi Nasioanl Anti Kekerasan terhadap Perempuan , Komisi Ombudsman Nasional (KHN), Komisi Untuk Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR),

5 I.B. Radendra Suastama, 2011, Ideologi di Balik Putusan-Putusan Mahkamah

(24)

dan Komisi Kejaksaan.6 Namun di Indonesia, keberadaan lembaga-lembaga negara yang dibentuk dan diadakan itu masih belum diletakkan dalam konsepsi ketatanegaraan yang lebih jelas menjamin keberadaan dari lembaga-lembaga negara tersebut. Amandemen UUD NRI Tahun 1945, sekalipun telah merubah desain kelembagaan negara, namun hal tersebut juga tidak memberikan kejelasan terhadap keberadaan lembaga-lembaga negara tersebut. Padahal, beberapa lembaga dan komisi negara yang dibentuk di luar ketentuan UUD disebut sebagai lembaga negara.

Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi misalnya, menyebutkan “Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenanganya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun”. Selain itu KPK sebagaimana yang tercantum dalam ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK adalah lembaga yang secara khusus dibentuk untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. KPK dibentuk untuk mengatasi, menanggulangi dan memberantas korupsi di seluruh Indonesia. Pembentukan KPK dikarenakan penegakan hukum dalam memberantas korupsi tidak berjalan dengan baik. Padahal korupsi di

(25)

Indonesia sudah merupakan kejahatan luar biasa karena telah meluas di seluruh Indonesia. Dampaknya jelas, negara dirugikan serta hak-hak sosial dan ekonomi masyarakatpun terabaikan. Oleh karena itu, pemberantasan korupsi perlu dilakukan melalui KPK yang bersifat independen dan diberi kewenangan yang luas. Sehingga pemberantasan korupsi diharapkan dapat dilakukan secara sistematis, efektif dan maksimal, serta dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhada upaya pemberantasan korupsi. KPK merupakan lembaga negara yang memiliki kewenangan atributif yang diperoleh berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK.

Berkaitan dengan pihak yang boleh berperkara di MK terkait dengan sengketa kewenangan lembaga negara, maka hal tersebut dapat dilihat berdasarkan legal standing dari lembaga negara tersebut. Berbeda dengan perkara pengujian undang-undang, dalam sengketa kewenangan lembaga negara, legal standing pemohon haruslah didasarkan pada adanya kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan. Dalam sengketa kewenangan lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD NRI Tahun 1945, legal standing diatur dalam Pasal 61 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, yang berbunyi sebagai berikut: “Pemohon adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mempunyai kepentingan

langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan”.

Penentuan legal standing tersebut berkaitan dengan lembaga negara yang menjadi pihak yang boleh berperkara di MK. Menurut Jimly Asshiddiqie

(26)

perubahan konsep lembaga negara dikarenakan adanya perubahan UUD 1945 yang menimbulkan berbagai macam penafsiran. Beliau mengatakan bahwa lembaga yang memiliki kedudukan sama tinggi dan menjalankan fungsi-fungsi kekuasaan yang bersifat primer yaitu Presiden, DPR, DPD, MPR, Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, dan BPK. Lebih lanjut beliau menyatakan bahwa selain lembaga utama yang telah disebutkan ada lembaga lain yang beragam dan secara eksplisit maupun implisit disebutkan dalam UUD NRI Tahun 1945, salah satunya yaitu Kejaksaan Agung yang perannya sama pentingnya dengan kepolisian yang disebutkan secara implisit dalam UUD NRI Tahun 1945. Karena alasan memiliki fungsi yang sama penting secara konstitusional, perlu dipertimbangkan pengertian yang lebih luas tentang lembaga negara yang diatur dalam konstitusi. Konstitusi dalam arti luas bukan hanya UUD secara tertulis, tetapi juga hal-hal di luar yang ditulis, dalam teks UUD, termasuk nilai-nilai, kesepakatan konvensional ketatanegaraan, yang semuanya termasuk dalam sumber Hukum Tata Negara.7

Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, yang mengatur tentang

kewenangan Mahkamah Konstitusi, dimana satu diantaranya adalah ”memutus

sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar”. Dengan kata-kata yang sama hal tersebut diulangi lagi dalam pasal 10 ayat (1) UU Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, jika dilihat kembali rumusan Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 sehubungan dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi, maka

7 Manuarar Siahaan, 2011, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,

(27)

penggunaan istilah lembaga negara bisa mengundang berbagai penafsiran dalam melihat dan mengimplementasikan istilah lembaga negara tersebut. Hal tersebut disebabkan karena UUD NRI Tahun 1945 tidak menegaskan tentang pengertian lembaga negara dan lembaga-lembaga mana saja yang merupakan lembaga negara yang memiliki kedudukan hukum dalam berperkara di Mahkamah Konstitusi terkait dengan sengketa kewenanan lembaga negara . Demikian pula dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, yang tidak menjelaskan lebih lanjut siapa yang dimaksud dengan lembaga negara. Dengan demikian telah terjadi kekaburan norma yang diakibatkan dari berbagai penafsiran mengenai penggunaan istilah lembaga negara yang tidak dijelaskan lebih lanjut baik dalam UUD NRI Tahun 1945 maupun Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.

Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, maka penulis mengangkat masalah ini dalam bentuk karya ilmiah berupa tesis yang berjudul

“Legal Standing Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK)

dalam Sengketa Kewenangan Lembaga Negara di Mahkamah Konstitusi”. 1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang masalah tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Apakah Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) memiliki legal standing sebagai Lembaga Negara yang bisa menjadi Pihak dalam Sengketa Kewenangan Lembaga Negara di Mahkamah Konstitusi menurut UUD 1945?

(28)

2. Apakah Penyatuan Kewenangan Penyidikan dan Penuntutan di tangan KPK terkait dengan legal standing KPK yang berperkara di Mahkamah Konstitusi tidak bertentangan dengan prinsip pemisahan kekuasaan yang memuat gagasan Perlindungan Hak-Hak Konstitusional Warga Negara? 1.3. Orisinalitas Penelitian

Usulan penelitian tesis ini murni merupakan hasil dari pemikiran penulis. Dalam penyusunan usulan penelitian ini penulis bekerja berpedoman pada peraturan perundang-undangan terkait dengan buku-buku serta beberapa artikel yang terdapat dalam internet. Adapun tesis yang menurut penulis hampir sama dengan penelitian ini yaitu:

a. Tesis dengan judul “Sinergi Antara Kepolisian, Kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi di Indonesia”. Tesis ini ditulis oleh Hendar Rasyid Nasution

mahasiswa Program Studi Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara Medan tahun 2010. Tesis ini secara garis besar membahas tentang Peranan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan, dan Kepolisian dalam sistem peradilan pidana di Indonesia dan bagaimana sinergi tugas , fungsi dan wewenang KPK, Kejaksaan dan Kepolisian dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia dalam kasus BLBI. Sedangkan tesis yang penulis susun lebih memfokuskan tentang kedudukan hukum yang dimiliki oleh KPK sebagai lembaga negara yang dapat berperkara di Mahkamah Konsitusi serta menelaah tentang penyatuan kewenangan penyidikan

(29)

dan penuntutan yang ada di tangan KPK agar tidak bertentangan dengan gagasan perlindungan hak-hak warga negara, mengingat di Indonesia terdapat pembagian kekuasaan menjadi eksekutif, legislatif dan yudisial.

b. Selanjutnya terdapat juga kajian mengenai kewenangan penyidikan tindak pidana korupsi yang dikemukakan oleh I Nyoman Sujana dengan judul Wewenang Komisi Pemeberantasan Korupsi (KPK) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Program Magister Program Studi Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, Denpasar tahun 2007. Tesis ini menelaah tentang Penyidikan Tindak Pidana Korupsi dengan melihat bagaimanakah hubungan koordinasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan penegak hukum lainnya dalam memberantas tindak pidana korupsi dan bagaimana bentuk pengawasan terhadap KPK. Sedangkan dalam penelitian ini penulis lebih membahas persoalan tentang legal standing atau kedudukan hukum KPK dalam sengketa kewenangan lembaga Negara di Mahkamah Konstitusi dan juga menelaah tentang Penyatuan Kewenangan Penyidikan dan Penuntutan di tangan KPK sesuai dengan Gagasan Perlindungan Hak-Hak Konstitusional Warga Negara.

c. Selain itu ada juga tesis dengan judul “Pluralisme dalam Penyidikan

Tindak Pidana Korupsi di Indonesia”. Program Magister Program

Studi Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, Denpasar tahun 2006. Tesis ini menelaah tentang Penyidikan Tindak

(30)

Pidana Korupsi dengan melihat bagaimana sinkronisasi dan koordinasi penyidikan dalam penyidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan Polisi, Jaksa, dan KPK di Indonesia dan cara penyelesaiannya, sedangkan dalam penelitian ini penulis juga mengangkat tentang hubungan antara kepolisian, kejaksaan dan KPK dalam pemberantasan korupsi di Indonesia tetapi dalam penelitian ini penulis lebih menekankan kepada aspek ketatanegaraannya yaitu apakah KPK memiliki kedudukan hukum dalam berperkara di Mahkamah Konstitusi dalam sengketa kewenangan lembaga negara menurut UUD NIR Tahun 1945.

1.4. Landasan Teoritis

Dalam rangka pemecahan masalah yang diuraikan dalam rumusan masalah, akan dipergunakan beberapa teori dan pendapat-pendapat para ahli tentang hukum dan juga beberapa konsep yang terkait dalam penelitian ini. Uraian tentang konsep yang digunakan dalam penelitian ini diperlukan agar tidak timbul perbedaan pemahaman terhadap beberapa istilah atau terminologi yang digunakan dalam penelitian ini. Berikut akan diberikan teori-teori dan pengertian atau konsep dari istilah atau terminologi dalam penelitian ini yaitu: yaitu Teori Negara Hukum, Teori Hans Kelsen tentang Organ Negara (General Theory of Law & State), Teori Pemisahan Kekuasaan, dan Teori Kewenangan, Konsep Legal Standing, Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara.

(31)

1.4.1. Landasan Teori

a. Teori Negara Hukum

Pada jaman modern dikenal dua Konsep negara hukum yaitu konsep negara hukum Eropa Kontinental yang disebut dengan

“rechtsstaat” dan konsep negara hukum anglo saxon yang disebut dengan “Rule of Law”. Teori negara hukum Anglo Saxon dikembangkan oleh A.V

Dicey yang menguraikan tiga ciri penting dalam setiap negara hukum yang

disebutnya dengan istilah “The Rule Of Law” yaitu:

1. Supremacy of Law. 2. Equality before the law. 3. Due Process of Law8

Teori negara hukum Eropah Kontinental pada jaman modern ini dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu “rechtsstaat’. Sebagaimana saat awal dikembangkannya, pada Abad Ke-19, Rechsstaat mengandung pengertian sebagai “suatu negara yang diatur

menurut hukum nalar” (a state governed by the law of reason), suatu

konsep yang menekankan kebebasan, persamaan, dan otonomi dari tiap-tiap individu di dalam kerangka suatu tertib hukum yang ditentukan oleh undang-undang dan dijalankan oleh pengadilan yang independen. Dalam

8 Moh, Kusnardi dan Bintan Saragih, 2000, Ilmu Negara, Edisi Revisi, Gaya Media

(32)

makna demikian, Rechsstaat juga sangat menekankan pentingnya kepastian hukum.9

Rule of Law (Rechtsstaat) mengandung pengertian yang jauh lebih mendalam yakni bahwa setiap orang terikat oleh hukum, termasuk pemerintah, bukan semata-mata karena hukum itu dibuat oleh mereka yang berwenang membuatnya dan telah diundangkan tetapi hukum itu sendiri harus baik dan adil.10 Jadi, paham Rechsstaat Jerman di Abad ke 19 itu dikatakan bersifat positivistic karena memandang undang-undang (statute law) sebagai hukum tertinggi (supreme law) sebab dinilai sebagai cerminan dari kehendak rakyat, sementara kehendak rakyat adalah basis utama gagasan Rechsstaat itu.11

Tujuan utama lahirnya konsep rechsstaat ialah bagaimana membatasi kekuasaan itu agar tidak menjadi sewenang-wenang. Untuk membatasi kekuasaan tersebut muncullah berbagai pandangan sebagaimana dikemukakan oleh J.J. Rosseau, Jhon Locke, maupun Montesquieu yaitu membagi atau memisahkan kekuasaan itu. Dengan membagi kekuasaan ke dalam tiga cabang kekuasaan, yakni kekuasaan legislatif atau kekuasaan membentuk undang-undang, kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan undang-undang, dan kekuasaan yudisial atau kekuasaan kehakiman (mengadili), maka diharapkan penyelenggaraan pemerintahan itu bisa dijalankan sesuai dnegan tuntutan rakyat yang

9

I Dewa Gede Palguna, 2013, Pengaduan Konstitusional (Constitutional complaint) Upaya hukum terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional Warga Negara, Sinar Grafika, Jakarta, h. 80.

10Ibid, h. 24.

(33)

bertumpu kepada adanya egalite (kesamaan), liberte (kebebasan), dan fraterrite (kemanusiaan).12

Menurut Jimlly Asshiddiqie ada 12 prinsip pokok yang menjadi pilar utama penyangga negara hukum:13

a. Supremasi hukum (supremacy of law)

b. Persamaan dalam hukum (equality before the law) c. Asas legalitas (due process of law)

d. Pembatasan kekuasaan.

e. Organ-organ pendukung yang independen. f. Peradilan bebas dan tidak memihak. g. Peradilan tata usaha negara.

h. Peradilan tata negara (constitutional court). i. Perlindungan Hak Asasi Manusia.

j. Bersifat demokratis (democratische rechsstaat).

k. Berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan bernegara ( welfare rechsstaat).

l. Transparansi dan kontrol sosial.

Dalam kenyataannya, isi aturan hukum tidak selalu berupa penuangan pikiran-pikiran ideal yang dikemukakan oleh ahli hukum, melainkan berupa apa yang ditetapkan sebagai aturan di dalam konstitusi atau peraturan perundang-undangan lainnya. Adakalanya orang menyalahkan suatu aturan hukum karena aturan itu tidak sesuai dengan pikiran ideal atau tak sesuai dengan teori. Padahal, apapun yang dituangkan di dalam bentuk dan dengan cara tertentu oleh pembentuk hukum itulah yang sebenarnya hukum yang berlaku, termasuk hukum tata Negara.14

Berdasarkan penjelasan umum angka 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menyatakan bahwa Negara

12

Aminudin Ilmar, 2014, Hukum Tata Pemerintahan, Kencana, Jakarta, h. 58.

13Ibid, h. 107-110.

14Mahfud MD, 2010, Membangun Politik Hukum menegakkan Konstitusi, Rajawali Pers,

(34)

Indonesia berdasarkan atas hukum tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka. Hal ini juga diperjelas melalui amandemen ke 3 UUD 1945 Pasal 1 ayat 3 yang menyebutkan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Sebagai Negara hukum maka Negara kita harus lebih mementingkan hukum diatas segalanya.

Konsep Negara dengan supremasi hukum yang dianut oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia mengedepankan UUD NRI Tahun 1945 sebagai hukum tertinggi yang harus dipakai sebagai rujukan semua peraturan perundang-undangan di bawahnya. Sehingga dalam tesis ini penulis lebih menggunakan teori negara hukum dengan konsep Rechsstaat yang menekankan kepada adanya pembatasaan kekuasaan atau bagaimana kekuasaan itu dibatasi sehingga tidak menjadi sewenang-wenang serta harus berlandaskan atas supremasi konstitusi.

b. Teori Tentang Organ Negara

Teori tentang organ negara dikemukakan oleh Hans Kelsen dalam bukunya yang berjudul General Theory of Law & State. Teori tentang organ Negara diperlukan dalam penelitian ini yaitu untuk membahas permasalahan yang penulis kemukakan dalam penelitian ini yaitu yang berkaitan dengan legal standing KPK sebagai lembaga negara yang menjadi pihak dalam sengketa kewenangan lembaga negara di Mahkamah Konstitusi menurut UUD 1945. Dengan menggunakan teori tentang organ negara penulis dapat memaparkan organ Negara/lembaga Negara apasaja yang dapat berperkara di Mahkamah Konstitusi terkait dengan sengketa

(35)

kewenangan lembaga negara. Secara definitif, alat-alat kelengkapan suatu negara atau lazim disebut sebagai lembaga negara adalah institusi-institusi yang dibentuk guna melaksanakan fungsi-fungsi negara.15

Hans Kelsen dalam bukunya berjudul General Theory of Law & State, menjelaskan tentang organ negara sebagai berikut:

Whoever fulfills a function determined by the legal order is an organ. The functions, be they of creating or of a norm-applying character, are all ultimately aimed at the execution of legal sanction. The parliament that enacts the penal code, and the citizens who elect the parliament, are organs of the State, as well as the judge who sentences the criminal and the individual who actually executes the punishment.16

Selanjutnya, Hans Kelsen juga memaparkan lebih lanjut bahwa:

The organ of the state, in this narrower sense, are called officials. Not every individual who actually function as an organ of the State in wider sense holds the position of an official.17

Lebih Lanjut, Hans Kelsen juga menjelaskan tentang pembentukan negara yaitu:

The State acts only through its organs. This often expressed and generally accepted truth means that the legal order can be created and applied only by designated by the order itself. An organ may be "created" by appointment, election or lot.

Sebagaimana yang dijelaskan oleh Hans Kelsen tentang organ negara, bahwa negara bertindak hanya melalui organ-organnya. Setiap organ-organ negara tersebut memiliki fungsi-fungsi sendiri dalam menjalankan pemerintahan. Organ negara sebagaimana dikemukakan oleh Hans Kelsen dalam arti sempit adalah pejabat, sehingga tidak setiap individu dapat dikatakan sebagai organ negara. Di Indonesia organ negara

15

Firmansyah Arifin, dkk., Op.Cit, h. 30.

16Hans Kelsen, 1949, General Theory of Law & State, (with a new introduction by A.

Javier Trevino), Mass: Harvard University Press, Cambridge, Page. 192.

(36)

dapat dibagi menjadi tiga kekuasaan yaitu eksekutif, legislatif, dan yudisial. Ketiga bidang kekuasaan tersebut merupakan bagian dari organ negara yang dalam hal ini dapat dikatakan sebagai pejabat negara.

c. Teori Pemisahan Kekuasaan

Teori pemisahan kekuasaan dikemukakan oleh Montesquieu. Teori pemisahan kekuasaan digunakan untuk memecahkan permasalahan yang penulis bahas dalam penulisan penelitian ini yaitu tentang penyatuan kewenangan penyidikan dan penuntutan yang dimiliki KPK agar tidak bertentangan dengan prinsip pemisahan kekuasaan negara yang memuat gagasan perlindungan hak-hak konstitusional warga negara. Dengan menggunakan teori pemisahan kekuasaan penulis dapat memaparkan dengan jelas tentang pemisahan kekuasaan negara serta memaparkan tentang kewenangan KPK yang tidak bertentangan dengan gagasan perlindungan hak-hak konstitusional warga negara. Dalam rangka penyelidikan tentang sumber kewenangan pejabat administrasi negara dalam bentu peraturan kebijakan, dengan sendirinya akan bersinggungan dengan teori-teori ketatanegaraan modern khususnya teori pendistribusian kekuasaan negara. Dalam teori ketatanegaraan yang modern, ada beberapa macam teori tentang pendistribusian kekuasaan. Salah satu diantaranya adalah teori Trias Politica yang sering disebut dengan Teori Pemisahan Kekuasaan.

Mark Ryan dalam bukunya yang berjudul: Unlocking Constitutional & Administrative Law, menjelaskan bahwa Montesquieu mengemukakan terdapat

(37)

pemisahan kekuasaan negara yang terdiri dari legislatif, eksekutif, dan yudisial, sebagai berikut:

“Montesquieu was concerned with avoiding a concentration of state power and ensuring that this power was limited. Although the principle of dividing the various functions and powers of the state predates Montesquieu, his description of the three branches of government, namely the legislature, executive and judiciary, has a modern resonance”.18

Selanjutnya Helen Fenwick dalam bukunya yang berjudul: Text, Caces & Materials on Public Law & Human Rights, juga membahas hal yang serupa tentang pemisahan kekuasaan yaitu:

“Reduced to its bare essentials, the doctrine of the separation of powers identifies three main organs of government – the legislature, the executive and the judiciary – and demands first thet each should be separete and to an extent independent of each other, and secondly that each organ should be vested with only one main function of government”.19

Lebih lanjut Montesquieu sebagaimana dikutip oleh Hillaire Barnett dalam buku Constitutional & Anministrative Law mengemukakan bahwa:

“When tha legislative and executive powers are unitedin the same person, or in the same body of magistrates, there can be no liberty… Again, there is no liberty if the power of judging is nor separeted from the legislative and executive. If it were joined with the legislative, the life and liberty of the subject would be exposed to arbitrary control; for the judge would than be the legislator. If it were joined to the executive power, the judge might behave with violence and oppression. There would be an end to everything, if the same man, or the same body, whether of the nobles or the people, were to exercise those threepowers, that of enacting laws, that of executing public affairs, and thet of trying crimes or individual causes”.20

Montesquieu mengemukakan bahwa pada dasarnya dalam setiap pemerintahan ada tiga jenis kekuasaan, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudisial.

18 Mark Ryan with contributioan from Stave foster, 2010, Unlocking Constitutional &

Administrative Law, 2ndedition, Hodder Education an Hachette UK compay, London, Page 60-61.

19

Helen Fenwick, and Gavin Phillipson, 2006, Text, Caces & Materials on Public Law & Human Rights, second edision, Cavendish Publishing Limited, London, Page 103.

20Hillaire Barnett, 2011, Constitutional & Anministrative Law, eighth edision, Routledge

(38)

Kekuasaan legislatif merupakan kekuasaan untuk membentuk undnag-undang. Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan untuk menjalankan undang-undang. Kekuasaan yudisial merupakan kekuasaan yang bertugas menindak setiap perbuatan yang melanggar (perintah) undang-undang.21

Ketiga cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudisial itu sama-sama sederajat dan saling mengontrol satu sama-sama lain sesuai dengan prinsip checks and balances. Dengan adanya prinsip checks and balances ini maka kekuasaan Negara dapat diatur, dibatasi bahkan dikontrol dnegan sebaik-baiknya sehingga penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penyelenggara Negara ataupun pribadi-pribadi yang kebetulan sedang menduduki jabatan dalam lembaga-lembaga Negara yang bersangkutan dapat dicegah dan ditanggulangi dengan sebik-baiknya.

Di Indonesia, kekuasaan juga terbagi menjadi kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudisial. Hal tersebut tertuang dalam pembagian bab-bab dalam UUD 1945 yang menyebutkan:

Bab III tentang kekuasaan pemerintahan negara (Eksekutif); Bab VII tentang Dewan Perwakilan Rakyat (Legislatif); dan Bab IX tentang kekuasaan kehakiman (Yudisial).

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa UUD NRI Tahun 1945 tidak menganut pemisahan kekuasaan dalam arti materiil (separation of power), melainkan menganut pemisahan kekuasaan dalam arti formal (division of power) yang lebih dikenal dengan pembagian kekuasaan negara. Dalam teori

21 Hotma P. Sibuea, 2010, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan, dan Asas-Asas

(39)

pemisahan kekuasaan, masing-masing cabang kekuasaan Negara, yaitu legislatif, eksekutif dan yudisial berada ditangan lembaga yang berbeda. Hal tersebut memberikan kesan bahwa tidak ada pengawasan oleh suatu cabang kekuasaan terhadap cabang kekuasaan negara yang lain. Hak tersebut dikarenakan baik fungsi dan kelembagaan masing-masing ketiga kekuasaan negara tersebut terpisah. Namun dalam kenyataannya, di dalam praktek penyelenggaraan negara modern, kerja sama di antara lembaga-lembaga negara justru merupakan hal yang mutlak harus ada karena tanpa kerja sama, masing-masing lembaga negara akan berjalan sendiri-sendiri sehingga tidak mustahil Negara akan semakin jauh menyimpang dari tujuan negara yang hendak diwujudkan. Disamping itu akan terjadi pula kesewenang-wenangan dalam penyelenggaraan pemerintahan yang diakibatkan karena tidak adanya koordinasi dan kerjasama antara lembaga negara yang satu dengan lembaga negara yang lainya.

d. Teori Kewenangan

Teori kewenangan penulis gunakan untuk membahas permasalahan tentang penyatuan kewenangan penyidikan dan penuntutan yang dimiliki KPK agar tidak bertentangan dengan prinsip pemisahan kekuasaan negara yang memuat gagasan perlindungan hak-hak konstitusional warga negara. Teori kewenangan penulis gunakan untuk memahami tentang kewenangan yang dimiliki KPK sebagai lembaga negara terkait dengan sengketa kewenangan lembaga negara.

(40)

Suatu negara yang berdasarkan atas hukum, maka tidak dapat dipungkiri bahwa asas legalitas menjadi dasar dalam setiap penyelenggaraan pemerintahannya. Begitu pula di Indonesia yang dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa: “Negara Indonesia adalah negara hukum.” Ketentuan pasal ini merupakan penegasan bahwa Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum dan menjunjung asas legalitas dalam setiap penyelenggaraan pemerintahannya. Konsekuensi dari ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 adalah kekuasaan negara yang berada pada alat kelengkapan negara harus dilaksanakan berdasarkan aturan hukum yang telah ditetapkan, atau dengan kata lain penyelenggaraan pemerintahan harus berdasarkan legitimasi, yaitu wewenang yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

F.A.M. Stroink mengemukakan pembahasan kewenangan merupakan konsep inti dalam hukum tata negara dan hukum administrasi negara (hukum publik). Dalam Hukum Tata Negara kewenangan dideskripsikan sebagai kekuasaan hukum (teehtement) atau yang berkaitan dengan kekuasaan.22 Sedangkan menurut Robert Bierstedt, wewenang adalah institutionalized power (kekuasaan yang dilembagakan).23

Bagir Manan berpendapat bahwa wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya mengambarkan hak

22 Agus Budi Susilo, 2007, Kontrol Yuridis PTUN dalam MenyelesaikanSengketa Tata

UsahaNegara di Tingkat Daerah, dalam Jurnal Hukum No. 1 Vol. 14 Januari 2007, h. 71, yang dikutip dari Philipus M.Hadjon dalam tulisannya di Gema Peratur Tahun VI No.12 Agustus 2000, MARI Lingkungan Peratun, hal. 103.

(41)

untuk berbuat atau tidak berbuat, sedangkan dalam hukum, wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban.24 Kewenangan adalah merupakan wujud nyata dari kekuasaan, dan kekuasan menurut Miriam Budiarjo adalah kemampuan untuk mempengaruhi tingkah laku pelaku lain sedemikian rupa, sehingga tingkah laku terakhir menjadi sesuai dengan keinginan dari pelaku yang mempunyai kekuasaan.25

Kekuasaan negara berdasarkan ajaran Trias Politica yang dikemukakan oleh Montesquieu dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudisial. Kekuasaan legislatif atau kekuasaan membuat undang-undang (rule making function), kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan undang-undang (rule application function), dan kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang (rule adjudication function).26 Dari klasifikasi yang dibuat oleh Montesquieu inilah dikenal pembagian kekuasaan modern dalam 3 (tiga) fungsi, yaitu legislatif (the legislative function), eksekutif (the executive or administrative function), dan yudisial (the judicial function).27

Tujuan dari teori trias politica, menurut Montequieu adalah untuk mewujudkan kemerdekaan individu dan kebebasan hak asasi manusia, karena hal itu akan dapat terwujud apabila ketiga kekuasaan negara tidak dipegang

24

Ridwan H.R., Ridwan H.R., 2011, Hukum Administrasi Negara Edisi Revisi, Jakarta : Rajawali Pers, h. 99.

25Firmansyah Arifin, dkk., Loc.Cit.

26 John Pieris dan Aryanthi Baramuli Putri, 2006, Dewan Perwakilan Daerah Republik

Indonesia, Studi, Analisis, Kritik, dan Solusi Kajian Hukum dan Politik, Pelangi Cendikia, Jakarta, hal. 29.

27Jimly Asshiddiqie, 2009, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Rajawali Press, Jakarta,

(42)

oleh satu orang atau satu organ, tetapi dipegang oleh tiga orang atau tiga organ yang terpisah. Dengan begitu, menurut Montesquieu, maka ketiga kekuasaan tersebut harus dipisahkan supaya tidak terjadi monopoli penyalahgunaan kekuasaan jika dipegang oleh satu orang atau satu organ.28

Ajaran Trias Politica tersebut diterapkan pula di Indonesia, namun tidak sepenuhnya menganut pemisahan kekuasaan dan lebih cenderung mengarah pada pembagian kekuasaan. Menurut Miriam Budiardjo, Undang-Undang Dasar di Indonesia tidak secara eksplisit mengatakan bahwa doktrin Trias Politika dianut tetapi undang-undang dasar memiliki jiwa dari demokrasi konstitusional, maka dapat disimpulkan bahwa Indonesia menganut Trias Politika dalam arti pembagian kekuasaan.29 Dalam ketentuan Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

Pembagian kekuasaan di Indonesia juga ditunjukkan dengan adanya kewenangan yang dilakukan bersama antara dua bidang kekuasaaan, contohnya kewenangan dalam hal pembentukan suatu undang-undang, dimana pembentukan suatu undang-undang membutuhkan persetujuan bersama DPR dan Presiden meskipun DPR yang memegang kekuasaan membentuk undang-undang.

Mengenai atribusi, delegasi dan mandat, H.D. van Wijk en Wilem Konijnenbelt mendefinisikan sebagai berikut:

a. attributie: toekenning van een bestuursbevoegheid door een wetgever aan een bestuursorgan; (atribusi adalah pemberian

28John Pieris dan Aryanthi Baramuli Putri, Op. Cit, h. 31.

29 Miriam Budiardjo, 2008, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia Pustaka Utama,

(43)

wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan),

b. delegatie: overdracht van een bevoegheid van het ene bestuursorgan aan een ander; (delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya),

c. mandaat: een bestuursorgan laat zijn bevoegheid names hem uitoefenen door een ander; (mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh orang lain atas namanya).30

Menurut H.D. van Wijk, atribusi hanya dapat dilakukan oleh pembentuk undang-undang. Sedangkan pembentuk undang-undang diwakilkan organ-organ pemerintah yang berhubungan dengan kekuasaan dilaksanakan secara bersama. Pendelegasian kekuasaan didasarkan pada amanat suatu konstitusi yang dituangkan dalam suatu peraturan pemerintah, yang tidak didahului oleh suatu pasal dalam undang-undang untuk diatur lebih lanjut. Dalam hal ini berbeda dengan atribusi, kewenangan terjadi karena pendelegasian diamanatkan oleh undang-undang atau peraturan pemerintah dan didahului oleh suatu pasal dalam undang-undang untuk dilanjutkannya. Kewengan atribusi hanya dapat dilakukan oleh pembentuk undang-undang (legislator) yang orsinil.31

Suwoto Mulyosudarmo mempunyai pandangannya sendiri mengenai kekuasaan. Menurut beliau, pada dasarnya pemberian kekuasaan dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu perolehan secara atributif, dan perolehan secara derivatif (delegasi dan mandat). Perolehan kekuasaan secara atributif, menyebabkan terjadinya pembentukan

30H.D. van Wijk, en Wilem Konijnenbelt, 1988, Hoofdstukken van Administratief Recht,

Uitgeverij Lemma B.V. Culemborg, Breda, Page 56. Lihat juga dalam Ridwan H.R., Op. Cit., h. 102.

31 Agussalim Andi Gadjong, 2007, Pemerintahan Daerah (Kajian Politik dan Hukum),

(44)

kekuasaan, karena berasal dari keadaan yang belum ada menjadi ada. Kekuasaan yang timbul karena pembentukan secara atributif bersifat asli dan menyebabkan adanya kekuasaan yang baru. Sedangkan perolehan kekuasaan secara derivatif adalah pelimpahan kuasa, karena dari kekuasaan yang telah ada dialihkan kepada pihak lain. Mengenai delegasi dan mandat, Suwoto Mulyosudarmo menjelaskan lebih lanjut bahwa dengan didelegasikannya suatu wewenang, maka tanggungjawab sepenuhnya beralih kepada subyek hukum yang lain. Sebaliknya pada mandat, mandataris hanya bertindak untuk dan atas nama mandans. Tanggung jawab akhir keputusan yang diambil mandataris tetap berada pada mandans.32

1.4.2. Konseptual

Berdasarkan uraian dalam kerangka teori, maka dapat diuraikan pengertian yang terkandung dalam konsep-konsep yang akan digunakan dalam penelitian ini:

a. Konsep Legal Standing

Tidak semua orang boleh mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi dan menjadi pemohon. Pihak yang dapat menjadi pemohon adalah pihak yang memiliki kepentingan hukum terkait dengan sengketa yang dipersengketakan.

Pengertian tentang standing dalam “Black Law Dictionary”, menjelaskan bahwa standing dalam hukum yaitu :

32 Suwoto Mulyosudarmo, 1997, Peralihan Kekuasaan Kajian Teoritis dan Yuridis

(45)

“A party’s right to make legal claim or seek judicial enforcement of a duty to right. To have standing in the federal court, a plaintiff mush show (1) that the challenged conduct has a caused the plantiff actual injury, and (2) thet the interest sought to be protected is whitin the zone of interest meant to be regulated by the statutory or constitutional guarantee in guestion”.33

Doktrin yang dikenal di Amerika tentang standing to sue diartikan bahwa pihak tersebut mempunyai kepentingan yang cukup dalam satu perselisihan yang dapat dituntut untuk mendapatkan keputusan pengadilan atas perselisihan tersebut. Standing adalah satu konsep yang digunakan untuk menentukan apakah satu pihak terkena dampak secara cukup sehingga satu perselisihan diajukan ke depan pengadilan. Ini adalah suatu hak untuk mengambil langkah merumuskan masalah hukum agar memperoleh putusan akhir dari pengadilan.34

Konsep legal standing yang terdapat di Mahkamah Konstitusi berbeda dengan konsep legal standing yang terdapat dalam hukum lingkungan. Legal standing dalam hukum lingkungan dapat dibagi menjadi private standing dan public standing. Private standing dalam hukum lingkungan disebut pula dengan citizen suit yaitu hak warga atau perorangan untuk bertindak karena mengalami kerugian atas masalah hak kepentingan umum. Sedangkan public standing berkaitan dengan hak gugat kepada organisasi lingkungan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup.35 Konsep legal standing dalam hukum lingkungan berkaitan dengan hak gugat, sedangkan dalam Mahkamah Konstitusi,

33 Bryan A. Garner, 2009, Black Law Dictionary, Ninth Edition, editor in Chief, West

Publishing CO, United States of America, p. 1536.

34Manuarar Siahaan, Op.Cit, h. 65.

35 N.H.T Siahaan,2004, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, edisi kedua,

(46)

konsep legal standing yang dimaksud adalah tentang kedudukan hukum dari pihak pemohon maupun termohon sebagai pihak yang berperkara.

Dalam sengketa kewenangan lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD 1945, legal standing diatur dalam Pasal 61 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah

Konstitusi, yang berbunyi sebagai berikut: “Permohon adalah lembaga

negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan”. Aturan Pasal 61 ayat (1) tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Baik pemohon maupun termohon harus merupakan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.

2. Harus ada kewenangan konstitusional yang dipersengketakan oleh pemohon dan termohon, dimana kewenangan konstitusional pemohon diambil alih dan/atau terganggu oleh tindakan termohon. 3. Pemohon harus mempunyai kepentingan langsung dengan

kewenangan konstutusional yang dipersengketakan.36

Legal standing yang dimaksud dalam sengketa kewenangan lembaga negara adalah kedudukan hukum dari pemohon dan termohon sebagai pihak yang bersengketa. Selanjutnya yang dimksud pemohon adalah lembaga negara yang menganggap kewenangan konstitusinya diambil, dikurangi, dihalangi, diabaikan dan/atau dirugikan oleh lembaga

(47)

negara yang lain. Pemohon harus mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan. Sedangkan termohon adalah lembaga negara yang dianggap telah mengambil, mengurangi, menghalangi, mengabaikan dan/atau merugikan pemohon.37

b. Konsep Lembaga Negara

Sejak awal kemerdekaan, bangsa dan negara Indonesia telah beberapa kali memiliki Undang-Undang Dasar, namun yang paling lama diberlakukan adalah Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Sementara itu rumusan UUD NRI Tahun 1945 tentang semangat penyelenggara negara belum cukup didukung dengan ketentuan konstitusi. Disisi lain terdapat pasal-pasal dalam UUD NRI Tahun 1945 yang terlalu “luwes” sehingga dapat menimbulkan multitafsir, dan hubungan antara lembaga negara dalam prakteknya tidak ada keseimbangan.

Lembaga negara sering pula diistilahkan dengan organ negara, alat-alat perlengkapan negara, atau yang lainnya. Keberadaan lembaga negara tersebut menjadi kesatuan yang tidak terpisahkan dengan keberadaan negara, karena lembaga negara digunakan untuk mengisi dan menjalankan negara dan sebagai mekanisme keterwakilan rakyat dalam menyelenggarakan pemerintahan.38 Lembaga negara adalah institusi-institusi yang dibentuk guna menjalankan fungsi-fungsi negara.39 Selain itu, tujuan diadakannya lembaga negara juga untuk menjalankan fungsi

37Bambang Sutiyoso, 2009, Tata Cara Penyelesaian Sengketa di Lingkungan Mahkamah

Konstitusi, UII Press, Yogyakarta, h. 46.

38Firmasyah Arifin, Op. Cit., hal. 14.

39 Moh, Kusnardi dan Bintan Saragih, 2000, Ilmu Negara, Edisi Revisi, Gaya Media

(48)

pemerintahan secara aktual.40 Secara definitif, alat-alat kelengkapan suatu negara atau lazim disebut sebagai lembaga negara adalah institusi-institusi yang dibentuk guna melaksanakan fungsi-fungsi negara.41

Organ atau lembaga negara itu hanya terbatas pada pengertian lembaga-lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UUD, UU, atau oleh peraturan yang lebih rendah. Lembaga negara yang dibentuk karena UUD yaitu Presiden, MPR, DPR, DPD, MK, MA, BPK, TNI, Polri, Bank Sentral, Komisi Penyelenggara Pemilu, dan Komisi Yudisial. Yang dibentuk karena undang-undang, misalnya adalah Komisi Penyiaran Indonesia, Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, dan sebagainya.42

Secara konseptual, tujuan diadakannya lembaga-lembaga negara adalah selain untuk menjalankan fungsi negara, juga untuk menjalankan fungsi pemerintahan secara aktual. Dengan kata lain, lembaga-lembaga itu harus membentuk suatu kesatuan proses yang satu sama lain saling berhubungan dalam rangka penyelenggaraan fungsi negara.43 Pembentukan lembaga negara akan selalu terkait dengan sistem penyelenggaraan negara, yang didalamnya termuat antara lain fungsi setiap organ yang dibentuk dan hubungan-hubungan yang dijalankan. Oleh karena itu dalam praktiknya tipe lembaga-lembaga negara yang diadopsi setiap negara bisa saja berbeda, secara konsep lembaga-lembaga tersebut

40Firmansyah Arifin, Op. Cit., hal. 31. 41

Firmansyah Arifin, dkk., Op.Cit, h. 30.

42 Jimly Asshiddiqie, 2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca

Reformasi, Setjen dan Kepanitraan MK RI, Jakarta, h. 40.

(49)

harus bekerja dan memiliki relasi sedemikian rupa sehingga membentuk suatu kesatuan untuk merealisasikan secara praktis fungsi negara dan secara ideologis mewujudkan tujuan negara sesuai dengan cita hukum bangsa Indonesia.

c. Konsep Sengketa Kewenangan Lembaga Negara

Hasil amandemen UUD 1945 telah membentuk dan memberikan kesatuan mekanisme penyelesaian sengketa lembaga negara, yaitu melalui MK. Salah satu kewenangan MK menurut UUD NRI Tahun 1945 adalah menyelesaikan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar.

Kewenangan konstitusional lembaga negara adalah kewenangan-kewenangan yang ditentukan oleh atau dalam undang-undang dasar berrkenaan dengan subjek-subjek kelembagaan negara yang diatur dalam UUD NRI Tahun 1945. Apabila dipandang dari sudut kewenangan maupun fungsi-fungsi kekuasaan yang diatur dalam UUD NRI Tahun 1945, akan tampak jelas bahwa organ-organ yang menyandang fungsi dan kewenangan konstitusional dimaksud sangat beragam. Jika kewenangannya bersumber dari undang-undang dasar, berarti lembaga negara tersebut mempunyai kewenangan konstitusional yang ditentukan dalam atau oleh undang-undang dasar.44 Lembaga negara dalam kategori yang kewenangannya diberikan oleh UUD inilah yang terkait dengan salah satu kewenangan MK untuk mengadilinya apabila dalam pelaksanaan

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu untuk membuat animasi iklan dibutuhkan dua komponen animasi yaitu animasi teks yang digunakan untuk menyampaikan informasi dan animasi twening objek yang

Langkah pertama pembuatan program ini adalah mengumpulkan elemen elemen yang dibutuhkan untuk membuat suatu aplikasi multimedia lalu dilanjutkan dengan menggabungkan elemen

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh kualitas pelayanan kesehatan berdasarkan kehandalan terhadap kepuasan pasien rawat inap peserta BPJS di Rumah

Diabetes melitus merupakan penyakit kronik yang disebabkan oleh ketidakmampuan organ pankreas untuk memproduksi hormon insulin dalam jumlah yang cukup, tubuh tidak

Latar Belakang saat ini belajar kurang memerhatiakan peran dan pengaruh emosi pada proses dan hasil belajar yang di capai seseorang, Tetapi sejak orang mulai

Puji syukur penulis ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan hidayah-Nya hingga penulis dapat menyusun hasil penelitian dengan judul, EVALUASI

TBK 0 (tidak kreatif) tidak memenuhi seluruhnya Untuk wawancara, data yang diperoleh selanjutnya ditranskip dan dikodekan dengan menggunakan suatu huruf

Demikian halnya dengan keluarga, adalah sebagai lembaga pendididkan pertama seorang anak, sebuah keluarga yang cendrung jauh dari dunia ilmu pengetahuan akan menghasilkan