• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyadapan Sebagai Instrumen Hukum Dalam Menjerat Pelaku Tindak Pidana Korupsi (Studi Pustaka)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penyadapan Sebagai Instrumen Hukum Dalam Menjerat Pelaku Tindak Pidana Korupsi (Studi Pustaka)"

Copied!
53
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KETENTUAN ALAT BUKTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Tindak Pidana Korupsi dan Perkembangan Pengaturannya

Korupsi sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru di Indonesia, karena telah ada sejak tahun 1950-an. Korupsi seolah telah menjadi bagian dari kehidupan, menjadi suatu sistem dan menyatu dengan penyelenggaraan pemerintahan Negara.24 Fenomena korupsi di Indonesia sesungguhnya sudah ada sejak lama dalam kehidupan masyarakat, bahkan jauh sebelum zaman penjajahan. Salah satu bukti yang menunjukkan hal tersebut adalah dengan adanya tradisi memberikan upeti oleh beberapa golongan masyarakat tertentu kepada penguasa setempat atau kepada penjajah pada masa itu.25

Kemudian setelah perang dunia kedua, muncul era baru, gejolak korupsi ini meningkat di Negara yang sedang berkembang, Negara yang baru memperoleh kemerdekaan. Masalah korupsi ini sangat berbahaya karena dapat menghancurkan jaringan sosial, yang secara tidak langsung memperlemah ketahanan nasional serta eksistensi suatu bangsa. Reimon Aron (seorang sosiolog) berpendapat bahwa korupsi dapat mengundang gejolak revolusi, alat yang ampuh untuk mengkreditkan suatu bangsa.26

24

Penanggulangan korupsi di Era 50-an tersebut dengan menggunakan perangkat perundang-undangan yang ada masih banyak menemui egagalan. (http://id.shvoong.com/law-and-politics/law/2027081, Opcit.)

25

http://agusthutabarat.wordpress.com/2009/11/06/tindak-pidana-korupsi-di- indonesia-tinjauan-uu-no-31-tahun-1999-jo-uu-no-20-tahun-2001-tentang-pemberantasan-tindak-pidana-korupsi/halaman 1

26

(2)

Di Indonesia sendiri praktik korupsi sudah sedemikian parah dan akut. Telah banyak gambaran tentang praktik korupsi yang terekspos ke permukaan. Di negeri ini sendiri, korupsi sudah seperti sebuah penyakit kanker ganas yang menjalar ke sel-sel organ publik, menjangkit ke lembaga-lembaga tinggi Negara seperti legislatif, eksekutif dan yudikatif hingga ke BUMN. Apalagi mengingat di akhir masa orde baru, korupsi hampir kita temui dimana-mana. Mulai dari pejabat kecil hingga pejabat tinggi.27

1. Istilah Tindak Pidana Korupsi

Penggunaan istilah korupsi dalam peraturan tersebut terdapat pada bagian konsideransnya, yang antara lain enyebutkan, bahwa perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian Negara yang oleh khalayak ramai dinamakan korupsi.28 Korupsi pertama kali dianggap sebagai tindak pidana di Indonesia berdasarkan Undang-Undang No. 24 Prp. Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Selanjutnya, Undang-Undang ini dicabut dan diganti dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan terakhir sejak tanggal 16 Agustus 1999 diganti denga Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.29

Tujuan pemerintah dan pembuatan undang-undang melakukan revisi atau mengganti produk legislasi tersebut merupakan upaya untuk mendorong institusi

27

Rohim, SH, Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi, Pena Multi Media, Jakarta, 2008, halaman 3

28 H. Elwi Danil.

Opcit, halaman 5 29

(3)

yang berwenang dalam pemberantasan korupsi, agar dapat menjangkau berbagai modus operandi tindak pidana korupsi dan meminimalisir celah-celah hukum, yang dapat dijadikan alasan untuk dapat melepaskan pelaku dari jeratan hukum.30 Pemahaman atas hal tersebut sangat membantu mempermudah segala tindakan hukum dalam rangka pemberantasan korupsi, baik dalam bentuk pencegahan (preventif) maupun tindakan (represif). Pemberantasan korupsi tidak hanya memberikan efek jera bagi pelaku, tetapi juga berfungsi sebagai daya tangkal.

Pemahaman tentang korupsi perlu dijelaskan, karena korupsi merupakan bagian dari tindak pidana itu sendiri. Secara umum pertbuatan korupsi adalah suatu perbuatan yang melanggar norma-norma kehidupan bermasyarakat dimana dampak yang ditimbulkan sangat merugikan masyarakat dalam arti luas dan jika dibiarkan secara terus menerus, maka akan merugikan keuangan Negara/ perekonomian Negara yang mengakibatkan Negara tersebut gagal dalam mencapai tujuan pembangunannya, yaitu menciptakan suatu masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera.

Black „s Law Dictionary mendefenisikan korupsi sebagai perbuatan yang

dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak resmi dengan hak-hak dari pihak lain secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain, berlawanan dengan kewajibannya dan hal-hak dari pihak lain.31

Syed Husein Alatas mengemukakan pengertian korupsi dengan menyebutkan benang merah yang menjekujuri dalam ativitas korupsi, yaitu

30

Ibid.

31

(4)

subordinasi kepentingan umum di bawah kepentingan tujuan-tujuan pribadi yang mencakup pelanggaran norma-norma, tugas, dan kesejahteraan umum, dibarengi dengan kerahasiaan, penghianatan, penipuan dan kemasabodohan yang luar biasa akan akibat yang diderita oleh masyarakat.32

Modus operandi dan pelaku dari tindak pidana korupsi, kejahatan korupsi bisa dikategorikan sebagai white collar crime dalam kategori kejahatan jabatan (occupational crime). Kejahatan jabatan dapat ditujukan terhadap berbagai kepentingan hukum, baik kepentingan hukum dari masyarakat maupun kepentingan hukum dari individu-individu. Suatu cirri yang bersifat umum dari kejahatan jabatan tampak pada kenyataan bahwa semua kejahatan tersebut juga ditujukan terhadap kepentingan hukum dari Negara.33

Secara harfiah, menurut Sudarto, kata korupsi menunjuk pada perbuatan yang rusak, busuk, tidak jujur yang dikaitkan dengan keuangan. Di dalam Konvensi PBB Menentang Korupsi, 2003 United Nation Convention Againts Corruption 2003 (UNCAC), yang telah diratifikasi Pemerintah RI dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006, ada beberapa perbuatan yang dikategorikan korupsi, yaitu sebagai berikut.34

1. Penyuapan, janji, tawaran, atau pemberian kepada pejabat public atau swasta, permintaan atau penerimaan oleh pejabat public atau swasta atau internasional, secara langsung atau tidak langsung, manfaat yang tidak semestinya untuk pejabat itu sendiri atau orang atau badan lain yang ditujukan agar pejabat itu bertindak atau berhenti bertindak dalam

32

http://definisipengertian.com/2012/pengertian-definisi-korupsi-menurut-para-ahli/ halaman 1

33

P.A.F. Lamintang & Theo Lamintang, Delik-delik Khusus Kejahatan Jabatan dan Kejahatab Jabatan tertentu Sebagai Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, halaman 7

34

(5)

pelaksanaan tugas-tugas resmi mereka untuk memperoleh keuntungan dari tindakan tersebut.

2. Penggelapan, penyalahgunaan atau penyimpangan lain oleh pejabat public/swasta/internasional.

3. Memperkaya diri sendiri dengan tidak sah.

Pengertian korupsi secara hukum adalah “tindak pidana sebagaimana

yang dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi”.35

Syed Hussein Alatas mengemukakan secara sosiologis ada tiga tipe fenomena yang tercakup dalam istilah korupsi, yakni penyuapan (briebery), pemerasan, dan nepotisme.36

Rumusan-rumusan yang terkait dengan pengertian tindak pidana korupsi tersebut tentu saja akan memberi banyak masukan dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sehingga sanksi hukuman yang diancamkan dan ditetapkan akan membantu memperlancar upaya penanggulangan Tindak Pidana Korupsi.

Syed Hussein Alatas menjelaskan ciri-ciri korupsi antara lain sebagai berikut:37

a. Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang;

b. Krupsi pada umumnya dilakukan secara rahasia, kecuali korupsi itu telah merajalela dan begitu dalam sehingga individu yang berkuasa dan mereka yang berada dalam lingkungannya tidak tergoda untuk menyembunyikan perbuatannya;

c. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik. Kewajiban dan keuntungan yang dimaksud tidak selalu berupa uang;

35

Firman Wijaya, Opcit, halaman 7 36

Ibid.

37

(6)

d. Mereka yang mempraktikan cara-cara korupsi biasanya berusaha untuk menyelubungi perbuatannya dengan berlindung dibalik pembenaran hukum; e. Mereka yang terlibat korupsi menginginkan keputusan yang tegas dan mampu

untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu;

f. Setiap perbuatan korupsi mengandung penipuan, biasanya dilakukan oleh badan public atau umum (masyarakat);

g. Setiap tindakan korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan.

Selanjutnya ia mengembangkan 7 (tujuh) tipologi korupsi sebagai berikut:38

1. Korupsi Transaktif, yaitu korupsi yang terjadi atas kesepakatan di antara seorang pendonor denga resipien untuk keuntungan kedua belah pihak;

2. Korupsi Ekstortif, yaitu korupsi yang melibatkan penekanan dan pemaksaan untuk menghindari bahaya bagi mereka yang terlibat atau orang-orang yang dekat dengan pelaku korupsi;

3. Korupsi Investif, yaitu korupsi yang berawal dari tawaran yang merupakan investasi untuk mengantisipasi adanya keuntungan di masa datang;

4. Korupsi Nepotistik, yaitu korupsi yang terjadi karena perlakuan khusus baik dalam pengangkatan kantor public maupun pemberian proyek-proyek bagi keluarga dekat;

5. Korupsi Otogenik, yaitu korupsi yang terjadi ketika seorang pejabat mendapat keuntungan karena memiliki pengetahuan sebagai orang dalam (insiders information) tentang berbagai kebijakan public yang seharusnya dirahasiakan;

38 Chaerudin Dkk (Editor Aep Gunarsa),

(7)

6. Korupsi Supportif, yaitu perlindungan atau penguatan korupsi yang menjadi intrik kekuasaan dan bahkan kekerasan; dan

7. Korupsi Defensif, yaitu korupsi yang dilakukan dalam rangka

mempertahankan diri dari pemerasan.

(8)

dan tidak sah dalam situasi yang nyata dan melihat pada contoh-contoh yang kongkrit.39

Adawi Chazawi membagi tindak pidana korupsi kedalam beberapa criteria/bagian, yaitu:

a) Atas dasar substansi objek tindak pidana korupsi; b) Atas dasar subjek hukum tindak pidana korupsi; c) Atas dasar sumbernya;

d) Atas dasar tingkah laku/perbuatan dalam perumusan tindak pidana;

e) Atas dasar dapat tidaknya merugikan keuangan dan atau perekonomian negara.

1. Atas Dasar Substansi Objek Tindak Pidana Korupsi

Atas dasar subtansi objeknya, tindak pidana korupsi dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu:

a) Tindak Pidana Korupsi Murni

Tindak pidana korupsi murni adalah tindak pidana korupsi yang substansi objeknya mengenai hal yang berhubungan dengan perlindungan hukum terhadap kepentingan hukum yang menyangkut keuangan Negara, perekonomian Negara dan kelancaran pelaksanaan tugas/pekerjaan pegawai negeri atau pelaksana pekerjaan yang bersifat publik. Tindak pidana yang masuk dalam kelompok ini dirumuskan dalam Pasal : 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10,

39

(9)

11, 12, 12B, 13, 15, 16, dan 23 (menarik Pasal 220, 231, 421, 422, 429, 430 KUHP).40

b) Tindak Pidana Korupsi Tidak Murni

Tindak pidana korupsi tidak murni adalah tindak pidana yang substansi objek mengenai perlindungan hukum terhadap kepentingan hukum bagi kelancaran pelaksanaan tugas-tugas penegak hukum dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Tindak pidana yang dimaksudkan disini hanya diatur dalam 3 Pasal, yakni Pasal 21, 22, dan 24 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut dengan UU PTPK).41

2. Atas Dasar Subjek Hukum Tindak Pidana Korupsi

Atas dasar subjek hukum atau si pembuatnya, maka tindak pidana korupsi dapat dibedakan menjadi 2 kelompok, yakni:42

a) Tindak Pidana Korupsi Umum

Tindak pidana korupsi umum adalah bentuk-bentuk tindak pidana korupsi yang ditujukan tidak terbatas kepada orang-orang yang berkualitas sebagai pegawai negeri, akan tetapi ditujukan kepada setiap orang termasuk korporasi. Rumusan norma tindak pidana korupsi umum berlaku untuk semua orang yang termasuk dalam keompok tindak pidana korupsi umum ini, ialah tindak pidana korupsi yang dirumuskan dalam Pasal-Pasal 2, 3, 5, 6, 7, 13, 15, 16, 21, 22, 24, dan Pasal 220 dan 231 KUHP Jo Pasal 23.

40

Adami Chazawi, hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia, Bayumedia Publishing, Malang, 2005, halaman 20

41

Ibid, halaman 22 42

(10)

b) Tindak Pidana Korupsi Pegawai Negeri dan atau Penyelenggaraan Negara Tindak pidana korupsi pegawai negeri atau tindak pidana korupsi pejabat adalah tindak pidana korupsi yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas sebagai pegawai negeri atau penyelenggara Negara. Artinya, tindak pidana yang dirumuskan itu semata-mata dibenntuk untuk pegawai negeri atau penyelenggara Negara. Orang yang bukan pegawai negeri tida dapat melakukan tindak pidana korupsi pegawai negeri ini. Disini, kualitas pegawai negeri meupakan unsure esensalia tindak pidana.43

3. Atas Dasar Sumbernya

Atas dasar sumbernya tindak pidana korupsi dikelompokkan menjadi dua kelompok, yakni:

a) Tindak pidana korupsi yang bersumber pada KUHP

Tindak pidana korupsi yang bersumber pada KUHP dibedakan lagi menjadi dua macam, yaitu:44

1. Tindak pidana korupsi yang dirumuskan tersendiri dalam UU PTPK. Rumusan tersebut berasal atau bersumber dari rumusan tindak pidana dalam KUHP. Formula rumusannya agak berbeda dengan rumusan aslinya dalam pasal KUHP yang bersangkutan, tetapi substansinya sama. Yang termasuk dalam kelompok ini antara lain tindak pidana korupsi sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12. 2. Tindak pidana korupsi yang menunjuk pada Pasal-Pasal tertentu dalam

KUHP yang ditarik menjadi tindak pidana korupsi dengan mengubah

43

Ibid, halaman 23 44

(11)

ancaman dan sistem pemidanaannya. Termamsuk dalam kelompok tindak pidana ini antara lain tindak pidana korupsi yang disebutkan dalam pasal 23 yang merupakan hasil saduran dari pasal 220, 231, 421, 422, 429, dan 430 KUHP menjadi tindak pidana korupsi.

b) Tindak pidana korupsi yang oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dirumuskan sendiri sebagai tindak pidana korupsi. Tindak pidana ini berupa tindak pidana asli yang dibentuk oleh Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Termasuk dalam kelompok ini ialah tindak pidana korupsi sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 2, 3, 12B, 13, 15, 16, 21, 22, dan 24.45

4. Atas Dasar Tingkah Laku/Perbuatan dalam Rumusan Tindak Pidana.

Dilihat dari sudut unsur tingkah laku dalam rumusan tindak pidana, maka tindak pidana korupsi dapat dibedakan antara lain:

a. Tindak pidana korupsi aktif

Tindak pidana korupsi aktif atau tindak pidana korupsi positif ialah tindak pidana korupsi yang dalam rumusannya mencantumkan unsur perbuatan aktif. Perbuatan aktif atau perbuatan materil yang bisa disebut juga perbuatan jasmani adalah perbuatan yang untuk mewujudkannya diperlukan gerakan tubuh atau bagian dari tubuh orang.46

b. Tindak pidana korupsi pasif atau tindak pidana korupsi negative

45

Ibid, halaman 25 46

(12)

Tindak pidana korupsi pasif atau tindak pidana korupsi negatif adalah tindak pidana yang unsure tingkah lakunya dirumuskan secara pasif. Sebagaimana diketahui bahwa tindak pidana pasif itu adalah tindak pidana yang melarang untuk tidak berbuat aktif (disebut perbuatan pasif). Dalam kehidupan sehari-hari ada kalanya seseorang berada dalam situasi tertentu dan orang itu diwajibkan (disebutkan kewajiban hukum) hukum melakukan suatu perbuatan (aktif) tertentu. Apabila ia tidak menuruti kewajiban hukumnya untuk berbuat (aktif) tertentu tersebut artinya dia melanggar kewajiban hukumnya untuk berbuat tadi, maka dia dipersalahkan melakukan sesuatu tindak pidana pasif tertentu.47

Tindak pidana pasif dalam doktri hukum pidana dibedakan menjadi (a) tindak pidana pasif murni dan (b) tindak pidana pasif yang tidak murni. Tindak pidana pasif murni ialah tindak pidana pasif yang dirumuskan secara formil atau yang pada dasarnya semata-mata unsur perbuatannya adalah berupa perbuatan pasif. Tindak pidana korupsi pasif menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001 semuanya adalah berupa tindak pidana pasif murni. Sedangkan tindak pidana pasif yang murni adalah berupa tindak pidana yang pada dasarnya berupa tindak pidana aktif, tetapi dapat dilakukan dengan cara tidak berbuat atau tidak melakukan perbuatan aktif.48

5. Atas Dasar Dapat Tidaknya Merugikan Keuangan dan atau Perekonomian Negara.

47

Ibid, halaman 28 48

(13)

Atas dasar seperti itu tindak pidana korupsi dapar dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu (a) tindak pidana korupsi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara dan (b) tindak pidana korupsi yang tidak mensyaratkan dapat menimbulkan kerugian keuangan Negara atau prekonomian Negara. Haruslah dipahami bahwa tindak pidana korupsi yang dapat membawa kerugian Negara pada sub (a) tersebut bukanlah tindak pidana materil, melainkan tindak pidana formil. Terjadinya tindak pidana korupsi secara sempurna tidakperlu menunggu timbulnya kerugian Negara. Asalkan dapat ditafsirkan menurut akal sehat bahwa suatu perbuatan dapat menimbulkan kerugian Negara, maka perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Bentuk-bentuk tindak pidana korupsi baik sub (a) maupun sub (b) dirumuskan secara formil atau merupakan tindak pidana formil dan tidak ada yang dirumuskan secara materil atau berupa tindak pidana materil.49

2. Sejarah Perundang-undangan Korupsi di Indonesia

Sejarah perundang-undangan korupsi di Indonesia dapat dikelompokkan dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang pernah lahir berkaitan dengan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, diantaranya:

1. Delik-delik Korupsi dalam KUHP;

2. Peraturan Pemberantasan Korupsi Penguasa Perang Pusat (Angkatan Darat dan Laut);

49

(14)

3. Undang-undang No. 24 (PRP) Tahun 1960 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

4. Undang-undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

5. Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

6. undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tuhan 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

1) Delik-delik korupsi dalam KUHP

Sejarah perundang-undangan pidana korupsi erat kaitannya dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht) yang berlaku sejak 1 Januari 1918. KUHP sebagai suatu kodefikasi dan unifikasi berlaku bagi semua golongan penduduk di Indonesia sesuai dengan asas konkordansi (diselaraskan dengan WvS tahun 1981 di Belanda).50 KUHP merupakan hasil karya sarjana-sarjana hukum, yaitu Stibbe, Veenstra, Hagen, dan Scheur yang tergabung dalam panitia pembuat rencana unifikasi pada tanggal 14 Juli 1909.51

KUHP merupakan suatu sistem dimana segala Pasal serta bab yang ada didalamnya terikat dengan sistem itu. Sehingga ditarik 19 buah Pasal untuk dimasukkan dalam sistem yang lain, yaitu UU PTPK. Delik korupsi yang masuk dalam delik jabatan tercantum dalam Bab XXVIII Buku II

50

Ibid, halaman 33 51

(15)

KUHP, sedangkan delik korupsi yang ada kaitannya dengan delik jabatan seperti Pasal 210 (orang yang menyuap pegawai negeri atau lazim disebut

active omkoping), berada dalam bab lain, tetapi juga berada dalam buku II KUHP.52

Perincian delik-delik korupsi yang berasal dari KUHP telah disebut dalam Bab I Pendahuluan. Semua merupakan kejahatan biasa, artinya bukan kejahatan ringan atau pelanggaran sebagaimana dikenal dalam hukum pidana. Begitu pula dalam code penal, delik jabatan seperti itu termasuk dalam buku tentang kejahatan biasa.53

2) Peraturan Pemberatasan Korupsi Penguasa Perang Pusat (Angkatan Darat dan Laut)

Peraturan pemberantasan korupsi yang pertama adalah Peraturan Penguasa Militer tanggal 9 April 1957 Nomor Prt/ PM/ 06/ 1957, tanggal 27 Mei 1957 dalam konsiderannya mengatakan sebagai berikut:

Bahwa berhubungan tidak adanya kelancaran dalam usaha-usaha memberantas perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian Negara, yang oleh khalayak ramai dinamakan korupsi, perlu segera menetapkan suatu tata cara kerja untuk dapat menerobos kemacetan dalam usaha-usaha memberantas korupsi,….dan seterusnya.54

Penting untuk diketahui dari peraturan perundangan-undangan tersebut adalah bahwa adanya usaha untuk pertama kalinya memakai istilah-istilah korupsi sebagai istillah hukum dan member batasan pengertian korupsi

sebagai berikut “perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan

52

Ibid, halaman 38 53

Ibid.

54

(16)

perekonomian Negara”.55

Kemudian peraturan penguasa militer ini digantikan dengan Peraturan Pemberantasan Korupsi Penguasa Perang Pusat Nomor: Prt/ Peperpu/ 013/ 1958 yang ditetapkan dan diumumkan pada tanggal 16 April 1958.56

Bagian yang menanrik dari peraturan penguasa perang pusat (AD/AL) tersebut ialah tentang pengertian korupsi yang tersebut pada bagian 1 Pasal 1 yang juga dijabarkan dalam Pasal 1dan 2, ahwa perbuatan korupsi terdiri atas:57

1) Perbuatan korupsi pidana

2) Perbuatan korupsi lainnya (Pasal1) Perbuatan korupsi pidana antara lain:

a. Perbuatan seseorang denga atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian Negara atau daerah atau merugikan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan Negara atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran masyarakat.

b. Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau suatu badan dan yang dilakukan dengan menyalah gunakan jabatan atau kedudukan.

55

Ibid, halaman 42 56

Ibid.

57

(17)

c. Kejahatan-kejahatan yang tercantum dalam Pasal 41 sampai 50 Peraturan Penguasa Perang Pusat ini dan dalam Pasal 209, 210, 418, 419, dan 420 KUHP (Pasal 2).

3) Undang-undang Nomor 24 (PRP) Tahun 1960 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-undang Nomor 24 (PRP) Tahun 1960 ini pada awalnya berbentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang yang kemudian disahkanenjadi undang. Dasar pengesahan tersebut adalah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang Penetapan semua Undang-undang-Undang-undang darurat dan semua peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang sudah ada sebelum tanggal 1 Januari 1961 menjadi undang-undang.58

Defenisi perbuatan pidana korupsi menurut undang-undang tersebut dirumuskan dalam Pasal 1 yang menyatakan:59

Pertama, “tindakan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan tau perekonomian Negara tau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari Negara atau masyarakat”

Kedua, “perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau badan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan…”

Ketiga, “kejahatan yang tercantum dalam Pasal 17 dan Pasal 21 peraturan ini dan dalam Pasal 209, 210, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425, dan 432 KUHP”

58

Dani Krisnawati Dkk (Editor Eddy O. S. Hiariej), Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006, halaman 48

59

(18)

4. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Rumusan tindak pidana korupsi menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 187160 mencakup perbuatan-perbuatan memperkaya diri sendiri dan orang lain atau badan yang dilakukan secara melawan hukum yang secara langsung ataupun tidak langsung dapat merugikan keuangan Negara dan perekonomian Negara, atau diketahui atau patut disangka bahwa bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.61

Rumusan sebagaimana tersebut diatas mensyaratkan bentuk kesalahan

pro parte dolus pro parte culpa. Artinya, entuk kesalahan disini tidak saja diisyaratkan adanya kesengajaan, tetapi cukup adanya kealpaan berupa patut disangka dapat merugikan keuangan atau perekonomian Negara sudah dapat menjerat pelaku.62

Secara tegas perbuatan korupsi menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 dirumuskan sebagai berikut:63

1. Barang siapa dengan melawan hukum melaukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan Negara dan perekonomian Negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan atau perekonomian Negara;

60

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 ini selanjutnya diubah dan digantikan dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kemudian diubah ladi dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

61

Ibid, halaman 53 62

Ibid, halaman 54 63

(19)

2. Barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak langnsung dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara; 3. Barang siapa melakukan kejahatan yang tercantum dalam Pasal-Pasal 209,

210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, dan 435 KUHP;

4. Barang siapa yang member hadiah atau janji kepada Pegawai Negeri seperti dimaksud pada Pasal 2 dengan mengingat suatu kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatannya atau kedudukannya atau oleh sipemberi hadiah atau janji dianggp melekat pada jabatan atau kedudukkan ini;

5. Barang siapa dengan tanpa alasan yang wajar, dalam waktu sesingkat-singkatnya setelah menerima pemberian atau janji yang diberikan kepadanya, seperti yang tersebut dalam Pasal-Pasal 418, 419, dan 420 KUHP tidak melaporkan pemberian tersebut kepada yang berwajib;

6. Barang siapa melakukan percobaan dan pemufakatan untuk melakukan tindak pidana-tindak pidana tersebut dalam ayat (1) a, b, c, d, e Pasal ini.

Rumusan formulasi dan ruang lingkup tindak pidana korupsi didalam Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 ini kemudian berkembang menjadi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

3. Perkembangan Pengaturan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

(20)

perkembangan dan proses pembaruan hukum pidana pada umumnya. Pembaruan hukum pidana itu sendiri erat kaitannya dengan sejarah perkembangan bangsa Indonesia terutama sejak proklamasi kemerdekaan sampai pada era pembangunan dan era reformasi seperti sekarang ini.64

Barda Nawawi Arief menegaskan bahwa latar belakang dan urgensi dilakukannya hukum pidana dapat ditinjau dari aspek sosiopolitik, sosiopilosofik, maupun dari aspek sosiokultural. Disamping itu dapat pula ditinjau dari aspek kebijakan, baik kebijakan social (social policy), kebijakan kriminal (criminal policy) maupun dari aspek kebijakan penegakan hukum pidana (criminal law enforcement).65

Pembentukan sebuah undang-undang baru sebagai sebuah instrument hukum pidana dalam penanggulangan korupsi, dapat didekati dan di analisis atas dasar 3 alasan utama, yaitu:66

1. Alasan Sosiologis

Krisis kepercayaan dalam setiap segemn kehidupan yang melanda bangsa Indonesia, secara umum bermuara pada suatu penyebab besar, yaitu belum terciptanya suatu pemerintahan yang baik, bersih dan bebas dari korupsi. Sikap pemerintah yang terkesan belum konsisten dalam menegakkan hukum, mengakibatkan bangsa ini harus membayar mahal, sebab realitas korupsi telah menghancurkan perekonomian Negara.

Bertolak dari berbgai relitas sosial, maka secara sosiologis adalah wajar dilakukan kebijakan legislative untuk memperkuat landasan hukum dalam

64

Elwi Danil, Opcit, halaman 17 65

Ibid, halaman 31 66

(21)

menciptakan pemerintahan yang bersih bebas korupsi. Esensi pemikiran yang demikian dapat diterapkan dalam kerangka filosofi penyusunan suatu undang-undang tentang pemberantasan korupsi. Kerangka filosofi tersebut disamping guna memperkuat landasan hukum pemberantasan korupsi yang semakin canggih dan sulit pembuktiannya, juga dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kerugian yang lebih besar terhadap keuangan dan perekonomian Negara.

2. Alasan praktis

Alasan dan latar belakang pementukan suatu undang-undang dapat diketahui antara lain dari bunyi konsiderannya. Demikian pula dengan UU Nomor 31 tahun 1999 yang dibentuk dengan konsideran dan pengakuan bahwa tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia selama ini sangat merugikan keuangan Negara. Korupsi telah menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut adanya efisiensi tinggi dalam rangka mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur sebagai tujuan kebangsaan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, maka korupsi harus diberantas.

Pertimbangan lainnya adalah bahwa undang-undang korupsi sebelumnya dianggap sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan dianggap sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan hukum di masyarakat. Oleh karena itu, perlu diganti dengan undang-undang yang baru sehingga akan lebih efektif dalam mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi dimasa mendatang.

(22)

Kebijakan legislasi yang diwujudkan dengan lahirnya peraturan perundang-undangan secara politis pada akhirnya dapat ditempatkan dalam rangka memberantas tindak pidana korupsi. Undang-undang korupsi dalam hal ini memiliki kedudukan sebagai peraturan yang memayungi undang-undang lain dalam upaya menciptakan pemerintahan yang bersih bebas dari korupsi (good governance). Artinya, kebijakan pembentukan peraturan perundang-undangan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi ini dapat digambarkan sebagai suatu perwujudan politik hukum nasional dalam penanggulangan masalah korupsi.

4. Unsur-unsur Tindak Pidana Korupsi yang Terkait dengan Kerugian

Keuangan Negara

Unsur-unsur tindak pidana korupsi tidak akan terlepas dari unsur-unsur yang terdapt dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagai berikut:

Pasal: Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan denda paling sedikit dua ratus juta rupiah dan paling banyak satu milyar rupiah. Pasal 3: Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang

(23)

Firman Wijaya menguraikan unsur-unsur delik korupsi yang terdapt dalam Pasal 2 UU PTPK tersebut sebagai berikut:67

1. Setiap orang;

2. Secara melawan hukum;

3. Perbuatan memperkaya diri sendiri dan orang lain atau suatu korporasi; 4. Dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian negara.

Sementara itu, dalam Pasal 3 UU PTPK tersebut unsur-unsur deliknya adalah sebagai berikut:

1. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;

2. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan;

3. Dapat merugikan keuangan negara dan perekonomian negara.

Penjelasan lebih lanjut unsur-unsur tersebut antara lain sebagai berikut:

1) Penjelasan Pasal 2 UU PTPK

1) Setiap orang

Pengetian setiap orang selaku subjek hukum pidana dalam tindak pidana korupsi ini adalah merupakan orang perseorangan atau termasuk korporasi.68 Berdasarkan pengertian tersebut, maka tindak pidana korupsi dapat disimpulkan menjadi orang perseorangan selaku manusia pribadi dan korporasi. Korporasi

67

Firman Wijaya, Opcit, halaman 18-19.

(24)

yang dimaksudkan disini adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.69

2) Secara melawan hukum

Pengertian secara melawan hukum dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.70

a) Sifat melawan hukum formil

Suatu perbuatan dikatakan melawan hukum secara formil adalah apabila perbuatan tersebut bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku (hukum tertulis). Maka, suatu perbuatan bersifat melawan hukum adalah apabila telah terpenuhi unsur-unsur yang telah disebutkan dalam rumusan delik. Dengan demikian, jika semua unsur-unsur tersebut telah terpenuhi, maka tidak perlu lagi diselidiki apakah perbuatan tersebut dirsakan sebagai perbuatan yang tidak patut dilakukan.

D. Schaffmeister mengemukakan bahwa ssifat melawan hukum dalam arti formil bermakna bahwa suatu perbuatan telah memenuhi semua rumusan delik dari undang-undang. Dengan kata lain terdapatnya melawan hukum

69

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 1 Butir 1

(25)

secara formil apabila semua bagian yang tertulis dari rumusan suatu tindak pidana telah terpenuhi.71

b) Sifat melawan hukum materil

Pengertian melawan hukum secaara materil adalah bahwa suatu perbuatan disebut sebagai perbuatan melawan hukum tidaklah hanya sekedar bertentangan dengan ketentuan hukum tertulis saja. Di samping memenuhi syarat formil, perbuatan tersebut haruslah benar-benar dirsakan masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut dilakukan. Dengan demikian, suatu perbuatan dikatakan sebagai melawan hukum apabila perbuatan tersebut telah dipandang tercela oleh masyarakat.

Sifat melawan huku materil berarti suatu tindak pidana itu telah melanggar atau membahayakan kepentingan umum yang hendak dilindungi oleh pembentuk undang-undang dalam rumusan tindak pidana tertentu.72 Bersifat melawan hukum materil bahwa tidak hanya bertentangan dengan hukum yang tertulis, tetapi juga bertentangan dengan hukum tidak tertulis.73

Loebby Logman mengemukakan bahwa ukuran untuk mengatakan suatu perbuatan melwan hukum secara materil bukan didasarkan pada ada atau tidaknya ketentuan dalam suatu undang-undang, akan tetapi ditinjau dari nilai yang ada dalam masyarakat. Pandangan yang menitik beratkan melawan hukum secara formil cenderung melihat sifat dari sisi objek atau perbuatan pelaku. Artinya, apabila perbuatannya telah cocok dengan rumusan tindak

71 D. Schaffmeister et.al.

Hukum Pidana, Yogyakarta: Liberti, Cetakan ke-3, 2004, halaman 39

72

D. Schaffmeister et.al., Opcit, halaman 41 73 Roeslan Saleh,

(26)

pidana yang didakwakan, maka tidaklah perlu diuji apakah perbuatan itu perbuatan melawan hukum secara materil atau tidak. Sebaliknya secara materil, merupakan pandangan yang menitik beratkan melawan hukum dari segi subjek atau pelaku. Dari sisi ini, apabila perbuatan telah cocok dengan rumusan tindak pidana yang didakwakan, maka tindakan selanjutnya adalah perlu dibuktikan ada atau tidaknya perbuatan melawan hukum secara materil dari sisi diri si pelaku.74

Ajaran melawan hukum secara materil hanya mempunyai arti dalam mengecualikan perbuatan-perbuatan yang meskipun termasuk dalam rumusan undang-undang dan karenanya dianggap sebagai tindak pidana. Artinya, suatu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dapat dikecualikan oleh aturan hukum tidak tertulis sehingga tidak menjadi tindak pidana. Dengan kata lain, hal ini disebut sebagai fungsi negatif dari ajaran melawan hukum materil.

Sedangkan fungsi positif ajaran melawan hukum formil berfungsi positif, yaitu walaupun perbuatan tersebut didalam undang-undang tidak ada diatur tetapi jika masyarakat memandang sebagai suatu perbuatan tercela maka perbuatan tersebut dapat menjadi tinda pidana. Fungsi ajaran positif ini tidak memungkinkan untuk dilakukan mengingat Pasal 1 Ayat (1) KUHP yang mengandung asas legalitas didalamnya.

Mahkamah Konstitusi RI dalam Putusan Nomor 003/PUU-IV/2006 sehubungan dengan sifat melawan hukum materil ini menyatakan bahwa pengertian melawan hukum materil sebagaimana yang dirumuskan dalam

74 Loebby Logman,

(27)

Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK sepanjang frasa yang berbunyi: “yang

dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam Pasal ini mencakup

perbuatan melawan hukum dala arti formil maupun dalam arti materiil, yakni

meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan

perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak

sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam

masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana” adalah bertentangan

denga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan oleh karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.75

3. Unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi

Secara harfiah, “memperkaya” artinya menjadikan bertambah kaya.

Sedangkan “kaya” artinya “mempunyai banyak harta (uang dan sebagainya),”

demikian juga dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia buah tangan Poerwadarminta. Dapat disimpulkan bahwa memperkaya berarti menjadikan orang yang belum kaya menjadi kaya, atau orang yang sudah kaya menjadi bertambah kaya.76

Berdasarkan UU TIPIKOR terdahulu, yaitu dalam penjelasan UU PTPK 1971, yang dimaksud dengan unsur memperkaya dalam Pasal 1 ayat (1) sub (a)

75

Majelis Hakim MK dalam salah satu pertimbangannya menyatakan alasannya bahwa konsep melawan hukum materiil (materiels wederechtlijk), yang merujuk pada hukum tidak tertulis dalam ukuran kepatutan, kehati-hatian dan kecermatan yang hidup dalam masyarakat, sebagai suatu norma keadilan, adalah merupakan ukuran yang tidak pasti, dan berbeda-beda dari satu lingkungan masyarakat tertentu ke lingkungan masyarakat lainnya, sehingga apa yang melawan hukum di satu tempat mungkin di tempat lain diterima dan diakui sebagai sesuatu yang sah dan tidak melawan hukum, menurut ukuran yang dikenal dalam kehidupan masyarakat setempat. Oleh karenanya penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK kalimat pertama tersebut, merupakan hal yang tidak sesuai dengan perlindungan dan jaminan kepastian hukum yang adil yang dimuat dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

76 Andi Hamzah,

(28)

adalah “memperkaya diri sendiri” atau “orang lain” atau “suatu badan” dalam ayat

ini dapat dihubungkan dengan Pasal 18 ayat (2) yang memberi kewajiban kepada terdakwa untuk memberikan keterangan tentang sumber kekayaan sedemikian rupa sehingga kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau penambahan kekayaan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat keterangan saksi lain bahwa telah melakukan tindak pidana korupsi. (Pasal 37 ayat (4) UU PTPK Tahun 1999)

Penjelasan undang-undang tersebut terutama kata-kata “….kekayaan yang tidak seimbang dengan pernghasilannya atau penambahan kekayaan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat keterangan saksi lain bahwa telah melakukan tindak pidana korupsi…” dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:77

a) Ketidak mampuan untuk membuktikan keseimbangan antara kekayaan dan pengahasilannya tidak otomatis membuktikan terdakwa telah melakukan perbuatan korupsi, yaitu memperkaya diri sendiri, tetapi itu hanya memperkuat keterangan saksi lain. Jadi penuntut umum harus mencari bukti lain, misalnya keterangan terdakwa yang mengatakan bahwa kekayaannya yang ada yang tidak seimbang dengan penghasilannya itu diperoleh sebagai warisan dari orang tua. Hal ini mendorong penuntut umum untuk menyelidiki keterangan tersebut. Apabila diperoleh keterangan melalui saksi-saksi atau alat bukti lain yang menyatakan keterangan tertuduh tidak benar, itu merupakan ketidakmampuan terdakwa untuk membuktikan sumber kekayaannya. Ini tidak memadai untuk memidana terdakwa. Keterangan tersebut hanya memperkuat

77

(29)

keterangan saksi lain, misalnya ada keterangan yang menyatakan bahwa terdakwa pernah menerima komisi atas pesanan barang yang diperuntukkan bagi negara.

b) Menjadi keharusan penuntut umum untuk mengetahui kemudian membuktikan berapa besar penghasilan terdakwa yang sesungguhnya dan berapa besar pertambahan kekayaannya secara konkret.

c) Uraian diatas hanya berlaku jika penuntut umum tidak hanya dapat membuktikan suatu jumlah uang dan harta benda secara pasti yang langsung diperoleh dari perbuatan melawan hukum. Kiranya cukup jika penuntu umum dapat membuktikan sejumlah uang dan harta benda tertentu yang diperoleh secara langsung dari perbuatan melawan hukum sebagai suatu hal yang memperkaya terdakwa.

4. Unsur dapat merugikan keuangan negara dan perekonomian negara

Kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan atau perekonomian

negara” yang terdapat dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun

1999 yang sebagaimana diperbaharui UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil. Dengan demikian adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.

(30)

yang dipisahkan atau tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena:78

a) Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggung jawaban pejabat Lembaga Negara, baik ditingkat pusat, maupun tingkat daerah;

b) Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban BUMN/BUMD, yayasan, badan hukum, dan perusahan yang menyertakan modal negara atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.

Arti dari perekonomian negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan pemerintah, baik ditingkat pusat, maupun didaerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memebrikan manfaat kemakmuran dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat.79

2) Penjelasan Pasal 3 UU PTPK

1) Perbuatan menyalahgunakan kewenangan karena jabatan atau kedudukan Sejak Peraturan Penguasaan Militer tahun 1957 hingga sekarang yang dimasukkan dalam bagian inti delik (bestanddeel delict) dalam tindak pidana korupsi adalah penyalahgunaan wewenang. Akan tetapi peraturan peundang-undangan tidak ada memberikan penjelasan yang memadai mengenai penyalahgunaan wewenang, sehingga membawa implikasi interprestasi yang beragam. Berbeda dengan penjelasan mengenai “melawan hukum”

78

Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

79

(31)

(wederrechtelijkheid) yang dirasakan cukup memadai walaupun dalam penerapannya masih debatable.80

Sampai saat ini para sarjana atau pakar hukum pidana tidak memberikan defenisi atau batasan pengertian tentang penyalahgunaan wewenang secara memadai. Selain itu tidak ada satupun pernyataan dari pakar hukum pidana yang menyatakan bahwa penyalahgunaan wewenang merupakan ranah dari hukum administrasi, tetapi dalam praktik peradilan pembuktian penyalahgunaan wewenang dilakukan dengan konsep-konsep dan parameter yang berlaku dalam hukum administrasi.81

Kewenangan yang digunakan secara salah untuk melakukan perbuatan tertentu, itulah yang disebut menyalahgunakan kewenagan. Artinya, menyalahgunakan kewenangan dapat didefinisikan sebagai perbuatan yang dilakukan oleh orang yang sebenarnya berhak unutk melakukannya, tetapi dilakukan secara salah atau diarahkan pada hal yang salah dan bertentangan dengan hukum atau kebiasaan.

2) Perbuatan menyalahgunakan kesempatan karena jabatan atau kedudukan

Kesempatan adalah peluang yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku tindak pidana korupsi dan tercantum dalam ketentuan-ketentuan tentang tata kerja yang berkaitan dengan jabatan atau kedudukan yang dijabat oleh pelaku. Pada umumnya, kesempatan ini bisa terjadi akibat adanya kekosongan atau kelemahan dari ketentuan-ketentuan tentang tata kerja atau kesengajaan menafsirkan secara

80

Arief Ussama, Penyalahgunaan Wewenang dalam Tindak Pidana Korupsi, Forum Kajian Hukum UNPAK, Bogor, 2008, halaman 48

81

(32)

salah pada ketentuan-ketentuan tersebut.82 Orang yang karena jabatan atau kedudukannya itu mempunyai peluang atau waktu untuk melakukan perbuatan-perbuatan tertentu berdasarkan jabatan atau kedudukannya itu jika digunakan untuk melakukan perbuatan lain yang tidak seharusnya dia lakukan dan bertentangan dengan tugas pekerjaannya, maka disini telah terdapat menyalahgunakan kesempatan karena jabatan atau kedudukan.

3) Perbuatan menyalahgunakan sarana karena jabatan atau kedudukan.

Sarana adalah segala sesuatu yang dapt dipergunakan sebagai alat dalam mencapai tujuan. Orang yang memiliki jabatan atau kedudukan juga memiliki sarana atau alat yang digunakan untuk mendukung pelaksanaan tugas jabatan dengan sebaik-baiknya. Sarana yang ada pada dirinya karena jabatan atau kedudukan itu hanya digunakan semata-mata untuk melaksanakan pekerjaan yang menjadi tugas dan tanggungjawabnya, tidak digunakan untuk perbuatan diluar tujuan yang berhubungan dengan jabatan atau kedudukan. Dikatakan perbuatan yang menyalahgunakan sarana karena jabatan atau kedudukannya, adalah apabila seseorang menggunakan sarana yang ada pada dirinya karena jabatan atau kedudukan untuk tujuan-tujuan lain diluar tujuan yang berhubungan denga tugas pekerjaan yang menjadi kewajibannya.

4) Yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya

Apa yang dimaksud dengan “ada padanya karena jabatan atau kedudukannya”

tiada lain adalah kewenangan, kesempatan, dan sarana karena jabatan atau kedudukan yang dimiliki seseorang. Dengan demikian, antara keberadaan

82 R. Wiryono,

(33)

kewenangan, kesempatan, atau sarana haruslah memiliki hubungan dengan jabatan atau kedudukan. Jabatan atau kedudukan menjadikan seseorang mempunyai kewenangan, kesempatan, dan sarana yang timbul karena jabatan atau kedudukan tersebut. Jika jabatan atau kedudukan tersebut hilang, maka serta merta juga kewenangan, kesempatan, dan sarana juga hilang karenanya. Dengan demikian, tidaklah mungkin ada penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana karena jabatan atau kedudukan yang sudah tidak dimilikinya.

5) Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara

Unsur ini telah disebutkan secara cukup jelas pada pembahasan tindak pidana korupsi “memperkaya diri” (Pasal 2) di bagian depan, maka mengenai unsur ini

tidak dibahas lagi.

5. Subjek Hukum dalam Tindak Pidana Korupsi

Subjek hukum tindak pidana korupsi di Indonesia pada dasarnya adalah orang pribadi sebagaimana seperti yang tercantum dalam hukum pidana umum. Hal ini tidak mungkin ditiadakan, namun ditetapkan pula suatu badan yang dapat menjadi subjek hukum tindak pidana korupsi sebagaimana dimuat dalam pasal 20 Jo Pasal 1 dan 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999.83 Subjek hukum tindak pidana korupsi terdiri dari subjek hukum orang dan subjek hukum korporasi. 1. Subjek hukum orang

Subjek hukum tindak pidana tidak terlepas dari sistem pembebanan tanggung jawab pidana yang dianut. Dalam hukum pidana umum (KUHP) adalah

83

(34)

pribadi orang. Pertanggung jawaban bersifat pribadi, artinya orang yang dibebani tanggung jawab pidana dan dipidana hanyalah orang atau pribadi yang melakukan tindak pidana tersebut. Pertanggung jawaban pribadi tidak dapat dibebankan pada orang yang tidak berbuat atau subjek hukum yang lain (vicarious liability).

Hukum pidana di Indonesia yang menganut asas concordantie dari hukum pidana Belanda menganut sistem pertanggungjawaban pribadi.84 Sangat jelas dari setiap rumusan tindak pidana dalam KUHP dimulai dengan perkataan “barang siapa (hij die), yang dalam hukum pidana khusus adakalanya menggunakan perkataan “setiap orang” yang dimaksudnya adalah orang pribadi

misalnya Pasal 5 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

Sistem pertanggungjawaban pribadi sangat sesuai dengan kodrat manusia, sebab hanya manusia yang berpikir dan berakal serta berperasaan. Dari kemampuan pikir dan akal serta perasaan seseorang menetapkan kehendak untuk berbuat yang kemudian diwujudkan. Apabila perbuatan itu berupa perbuatan yang bersifat tercela dan bertentangan dengan hukum, maka orang itulah yang dipersalahkan dan bertanggung jawab atas perbuatannya. Kemampuan pikir dan kemampuan menggunakan akal dalam nenetapkan kehendak untuk berbuat hanya dimiliki oleh orang dan yang dijadikan dasar untuk menetapkan orang sebagai subjek hukum tindak pidana.85

Subjek hukum orang dalam UU PTPK ditentukan melalui dua cara antara lain:86

84

Ibid, halaman 342 85

Ibid, halaman 342-343 86

(35)

a) Cara pertama disebutkan sebagai subjek hukum orang pada umumnya, artinya tidak ditentukan kualitas pribadinya. Kata permulaan dalam kalimat rumusan tindak pidana yang menggambarkan atau menyebutkan subjek hukum tindak pidana orang pada umumnya, yang in casu87 tindak pidana korupsi diseutkan dengan perkataan “setiap orang” (misalnya Pasal

2, 3, 21, 22), tetapi juga subjek hukum tindak pidana juga diletakkan di tengan rumusan (misalnya Pasal 5, 6).

b) Sedangkan cara kedua menyebutkan kualitas pribadi dari subjek hukum orang tersebut, yang in casu ada banyak kualitas pembuatnya antara lain (1) pegawai negeri; Penyelenggara Negara (misalnya Pasal 8, 9, 10, 11, 12 huruf a, b, e, f, g, h, i); (2) pemborong ahli bangunan (Pasal 7 ayat 1 huruf a); (3) hakim (Pasal 12 huruf c); (4) advokat (pasal 12 huruf d); (5) saksi (pasal 24), bahkan (6) tersangka bisa juga menjadi subje hukum (Pasal 22 Jo 28).

2. Subjek hukum korporasi

Peraturan perundang-undangan di Indonesia mulai mengenal korporasi sebagai subjek tindak pidana yaitu dalam Undang-Undang Drt No. 7 Tahun 1951 tentang penimbunan barang-barang secara luas dikelan dengan Undang-Undang Drt. No. 7 Tahun 1955 Tentang Tindak Pidana Ekonomi.88 Secara etimologis, kata korporasi berasal dari kata “corporatio” dalam bahasa latin yang berasal dari

kata kerja “corporare” yang banyak dipakai orang pada abad pertengahan sesudah

87Arti kata dari

in casu se diri adalah dalam hal ini, dalam perkara ini (http://www.arti-definisi.com/in%20casu halaman 1)

88 Mahmud Mulyadi & Feri Antoni Surbakti,

(36)

itu. “corporare” sendiri berasal dari kata corpus yang berarti memberikan badan

atau membadankan. Dengan demikian, corporatio adalah hasil pekerjaan yang membadankan, atau dengan kata lain badan yang dijadikan orang, badan yg diperoleh dengan perbuatan manusia yang terjadi menurut alam.89

Menurut terminologi Hukum Pidana, bahwa korporasi adalah suatu badan atau usaha yang mempunyai identitas sendiri, kekayaan sendiri terpisah dari kekayaan anggota.90 Sutan Remy Sjahdeni mengemukakan bahwa korporasi dilihat dari bentuknya dapat diberi arti luas dan sempit. Dalam arti sempit korporasi adalah badan hukum, sedangkan dalam arti luas korporasi adalah dapat berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum. Satjipto Rahardjo menyatakan korporasi adalah suatu badan hasil ciptaan hukum, yang diciptakannya itu terdiri dari corpus yaitu struktur fisiknya dan kedalamnya hukum memasukkan unsur

animus yang membuat badan itu mempunyai kepribadian. Oleh karena badan hukum itu merupakan ciptaan hukum maka kecuali penciptaanya, kematiannya pun juga ditentukan oleh hukum.91

Ronal A. Anderson, et.al., mengemukakan bahwa korupsi dapat digolongkan dengan didasarkan kepada hubungannya dengan public, sumber kekuasaan, dan sifat aktivitas dari korporasi itu sendiri. Penggolongan tersebut adalah sebagai berikut:92

89

Ibid, halaman 11 90

Ibid, halaman 12 91

Ibid, halaman 12 92

(37)

1. Korporasi Publik, adalah sebuah korporasi yang didirikan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan untuk memenuhi tugas administrasi di bidang urusan publik, contohnya Pemerintahan Kabupaten dan Kota;

2. Korporasi Privat, yaitu korporasi yang didirikan untuk kepentingan pribadi yang dapat bergerak di bidang industry dan perdagangan, contohnya PT. Garuda, Tbk;

3. Korporasi Publik quasi, atau yang lebih dikenal dengan korporasi yang melayani kepentingan umum (public service), contohnya PT. Kereta Api Indonesia, Perusahaan Air Minum, dan PLN.

Sehubungan dengan konsep pengaturan korporasi sebagai subjek Hukum Pidana, dapat dikemukakan bahwa didalam ketentuan umum KUHP yang digunakan sampai saat ini masih menganut bahwa delik hanya dapat dilakukan oleh manusia (naturalijk person),93 hal ini dapat dilihat dalam Pasal 59 KUHP yang isinya:

Dalam hal menentukan hukuman karena pelanggaran terhadap pengurus, anggota salah satu pengurus atau komisaris maka hukuman tidak dijatuhkan atas pengurus atau komisaris jika nyata bahwa pelanggaran itu telah terjadi di luar tanggungannya.94

Hukum pidana khusus (hukum pidana diluar KUHP) yang sifatnya melengkapi hukum pidana umum pada dasarnya sudah tidak lagi berpegang teguh pada prinsip pertanggungjawaban pidana secara pribadi yang dianut dan dipertahankan sejak terbentuknya WvS Belanda 1881.

93

Ibid, halaman 16 94

(38)

Beberapa peraturan perundang-undangan Indonesia tampaknya telah menganut sistem pertanggungjawaban strict liability (pembebanan tanggungjawab pidana tanpa melihat kesalahan) dan vicarious liability (pembebanan tanggungjawab pidana pada selain si pembuat) dengan menarik badan atau korporasi ke dalam pertanggungjawaban pidana.95 Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh suatu korporasi dalam UU PTPK dirumuskan dalam Pasal 20 yang menyatakan sebagai berikut:

1. Dalam hal tindak pidana korupsi oleh atau nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya;

2. Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama;

3. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi tersebut diwakili oleh pengurus;

4. Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat diwakili oleh orang lain;

5. Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan;

95

(39)

6. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan unutk menghadap dan penyerahan surat tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat penguru berkantor;

7. Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda, dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (satu per-tiga).

Ketentuan yang ada didalam Pasal 20 ini terdapat tiga hal yang benar-benar harus dpahami dalam menetapkan subjek hukum korporasi yang telah melakukan tindak pidana korupsi, yakni:

1) Indicator kapan telah terjadi tindak pidana korupsi oleh korporasi; 2) Hukum acaranya, dan;

3) Mengenai pembebanan tanggungjawab pidananya.

Pertama, tentang indikator mengenai kapan telah terjadinya tindak pidana korupsi oleh korporasi ialah apabila korupsi tersebut dilakukan oleh orang-orang (baik yang berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain) bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri-sendiri maupun bersama (ayat 2).96

Kedua, mengenai bagaimana penanganannya (hukum acaranya), walaupun sangat sumir97, tetapi setidaknya telah memberikan sedikit keterangan yakni dalam hal tejadinya tindak pidana korupsi oleh korporasi, maka tuntutan penjatuhan pidananya dilakukan terhadap korporasinya dan atau pengurusnya (ayat1). Namun, apabila tuntutan dilakukan terhadap korporasi, maka korporasi

96

Ibid, halaman 346-347 97Arti kata “u ir i i adalah

(40)

diwakilkan oleh pengurusnya (ayat 3) atau diwakilkan pada orang lain (ayat 4). Begitu juga di dalam hal persidangan. Sehingga, memang penguruslah yang ada pada kenyataannya sebagai subjek hukum yang dapat dipanggil, dapat menghadap, dan dapat member keterangan.98

Korporasi hanya dapat dituntut secara pidana dan dijatuhi pidana denda saja. Siapa yang dimaksud dengan pengurus korporasi oleh penjelasan mengenai Pasal 20 ayat (2) terdapat keterangan bahwa, yang dimaksud dengan pengurus adalah organ korporasi yang menjalankan kepengurusan korporasi yang bersangkutan sesuai dengan anggaran dasar, termasuk mereka yang dalam kenyataannya memiliki kewenangan dan ikut memutuskan kebijakan korporasi yang dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi.99

Ketiga, tentang bagaimana pembenan tanggungjawab pidananya jika tindak pidana korupsi ini dilakukan oleh korporasi ditentukan pada ayat (7) yang menyatakan bahwa pembebanan tanggungjawab terhadap korporasi hanya dapat dijatuhi pidana pokok denda yang dapat diperberat dengan ditambah sepertiga dari ancaman maksimum denda pada tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi tersebut. Pada kenyataannya, tidak mungkin dipidana yang intinya hilang kemerdekaan (sanksi dalam hukum pidana), melainkan hanyalah pidana denda.100

98

Ibid, halaman 347 99

Ibid.

100

(41)

Korporasi sebagai subjek tindak pidana dan dibebani pertanggungjawaban pidana memiliki 3(tiga) sistem pertanggungjawaban, yaitu:101

1. Pengurus korporasi sebagai pembuat, dan yang bertanggung jawab; 2. Korporasi sebagai pembuat, dan pengurus yang bertanggung jawab; 3. Korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggung jawab.

Korporasi yang dapat menjadi subjek hukum tindak pidana korupsi diterangkan didalam Pasal 1 UU PTPK yang menyatakan bahwa “korporasi

adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum mauoun bukan badan hukum”. Berdasarkan pengertian korporasi

yang menjadi subjek hukum tindak pidana korupsi sejauh ini jauh lebih luas dari pada pengertian recht person yang umumnya diartikan sebagai badan hukum atau suatu korporasi yang oleh peraturan perundang-undangan ditetapkan sebagai badan hukum yang didirikan dengan cara memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh hukum.102

B. Alat Bukti dalam Tindak Pidana Korupsi

Hukum pembuktian adalah merupakan sebagian dari hukum acara pidana yang mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem yang dianut dalam pembuktian tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan menilai suatu pembuktian.103

101

Mahmud Mulyadi & Feri Antoni Surbakti, Opcit. Halaman 9 102

Adami Chazawi, Opcit. halaman 349 103 Hari Sasangka & Lily Rosita,

(42)

Pada umumnya, seperti Negara Anglo-Saxon, memerlukan penerapan asas pembalikan beban pembuktian (Omkering van het Bewijslast)104. Asas ini hanya diterapkan terhadap perkara-perkara tertentu (certain cases) yaitu yang berkaitan dengan delik korupsi, khususnya terhadap delik baru tentang pemberian (gratification) dan yang berkaitan dengan penyuapan (bribery).105

Berkenaan dengan polemic mengenai Asas Pembalikan beban pembuktian yang dikenal secara luas sebagai asas “Pembuktian Terbalik” ternyata

tetap dipertahankan, meski pun pada saat proses pembahasan ada kehendak untuk menghapuskan atau mencabut ketentuan asas tersebut. Alasan yang ditekankan untuk menghapuskan asas pembalikan beban pembuktian tersebut adalah alasan-alasan sosiologis dan praktis yang mungkin kelak akan ditemukan dalam kehidupan praktik pemberantasan tindak pidana korupsi.106

Ketentuan Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, mengisyaratkan bahwa hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang akan menentukan sah tidaknya alat bukti yang diajukan di muka persidangan, baik yang diajukan oleh jaksa penuntut umum maupun oleh terdakwa sendiri (dengan mekanisme pembuktian terbalik). Ikhwal “pembuktian terbalik” diatur dalam Pasal 37 ayat (1) UU PTPK yang

104

Asas ini merupakan penyimpangan asas umum Hukum Pidana yang menyatakan bahwa siapa ya g e u tut dialah ya g harus e uktika ke e ara tu tuta ya. Dala hal Pe alika Be a Pe uktia , terdakwalah yang harus membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah, jika ia tidak dapat membuktikannya maka dianggap bersalah (Indrayanto Seno Adji, Opcit. halaman 193) 105 Indrayanto Seno Adji,

Opcit. halaman 192-193 106

(43)

menyatakan, terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa dia tidak melakukan tindak pidana korupsi.107

Pembuktian terbalik bersifat premium remedium dan sekaligus mengandung sifat prevensi khusus terhadap pegawai negeri, yang diberlakukan pada tindak pidana baru tentang gratifikasi dan pada tuntutan perampasan harta benda terdakwa yang diduga berasal dari salah satu tindak pidana (predicate crime).108

Defenisi dari alat bukti itu sendiri adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan sesuatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya sutu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa.109

Pembuktian itu sendiri mempunyai tujuan dan fungsi bagi para pihak yang terlibat dalam proses pemeriksaan persidangan sebagai berikut:110

a. Bagi penuntut umum, pembuktian adalah merupakan usaha untuk meyakinkan hakim yakni berdasarkan alat bukti yang ada, agar menyatakan seseorang terdakwa bersalah sesuia dengan surat atau catatan dakwaan.

b. Bagi terdakwa atau penasihat hukum, pembuktian merupakan usaha sebaliknya, untuk meyakinkan hakim yakni berdasarkan alat bukti yang ada, agar menyatakan terdakwa dibebaskan atau dilepaskan dari tuntutan hukum

107

Aziz Syamsuddun, Opcit. halaman 168-169 108

Ibid, halaman 169

109 Hari Sasangka & Lily Rosita,

Opcit. halaman 11 110

(44)

atau meringankan pidananya. Biasanya alat bukti yang dihadirkan disebut dengan bukti kebalikan.

c. Bagi hakim, atas dasar pembuktian tersebut yakni dengan adanya alat-alat bukti yang ada dalam persidangan baik yang berasal dari penuntut umum ataupun yang berasal dari penasihat hukum/terdakwa dibuat berdasarkan untuk membuat keputusan.

Sistem pembuktian mengenal 4 (empat) teori, yaitu:111

1. Conviction in time

Teori ini adalah ajaran pembuktian yang menyandarkan pada keyakinan hakim semata. Hakim dalam menjatuhkan putusan tidak terikat dengan alat bukti yang ada. Ia hanya boleh menyimpulkan dari alat bukti yang ada atau mengabaikan alat bukti yang ada dipersidangan. Akibatnya hakim memutuskan menjadi sujektif sekali dan tidak perlu menyebutkan alasan-alasan yang menjadi dasar putusannya.112

2. Conviction in raison

Ajaran pembuktian ini masih menyandarkan pada keyakinan hakim dan tidak terikat pada alat bukti yang ditetapkan undang-undang. Hakim juga bisa mempergunakan alat bukti diluar yang ditentukan oleh undang-undang. Namun hakim dalam mengambil keputusannya haruslah didasari oleh alasan-alasan yang jelas dan harus dapat diterima oleh akal (reasonable).113

3. Sistem pembuktian negatif

111

Ibid, halaman 14 112

Sistem pembuktian ini dipergunakan dalam sistem peradilan juri (Jury Rechtspraak) (Ibid, halaman 14-15)

113

(45)

Sistem pembuktian ini sangat mirip dengan sistem pembuktian

conviction in raisone dimana hakim dalam mengambil keputusan terikat dengan alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang dan keyakinan hakim sendiri. Alat bukti yang telah ditentukan undang-undang tidak bisa ditambah dengan alat bukti lain, serta berdasarkan alat bukti yang diajukan di persidangan seperti yang ditentukan undang-undang belum bisa memaksa seorang hakim menyatakan terdakwa bersalah telah melakukan tindak pidana yang didakwakan.

4. Sistem pembuktian positif

Sistem pembuktian positif ini adalah sistem yang menyandarkan diri pada alat bukti saja, yakni alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang. Alat bukti yang ditentukan undang-undang adalah penting, keyakinan hakim sama sekali diabaikan. Intinya, apabila seorang terdakwa sudah memenuhi cara-cara pembuktian dan alat bukti yang sah yang ditentukan oleh undang-undang maka terdakwa tersebut bisa dinyatakan bersalah dan harus dipidana.

Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP menyebutkan bahwa dalam membuktikan suatu tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang atau korporasi bersalah atau tidak terdapat 5 (lima) jenis alat bukti, yaitu:

1) Keterangan Saksi;114

Dalam memberikan keterangan oleh saksi pada proses pengadilan ada syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi saksi, yaitu:115

114

Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan saksi mengena suatu peristiwa pidana yang ia dengan sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu (Ibid, halaman 22)

115

(46)

a) Setiap orang yang melihat, mendengar atau mengalami sendiri suatu peristiwa yang ada sangkut pautnya dengan tindak pidana dapat menjadi saksi ( Pasal 1 Butir 26 KUHAP);

b) Keterangan saksi sebisa mungkin objektif dalam arti tidak memihak atau merugikan terdakwa, dalam hal ini KUHAP membagi dalam 3 (tiga) golongan pengecualian, yaitu:

1. Golongan A

Tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi (Pasal 168 KUHAP):

a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa;

b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga;

c. Suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.

2. Golongan B

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tingkat konsumsi konsumen, menganalisis preferensi konsumen serta untuk menganalisis kombinasi atribut yang paling disukai konsumen

Pada siklus I ini hanya 34 peserta didik yang menjadi responden dari 35 peserta didik, dikarenakan satu siswa sedang sakit pada saat tes siklus dilaksanakan. terdiri dari

Selain itu, komunikasi merupakan bagian dari strategi politik untuk membangun citra partai yang inklusif dan menghilangkan citra partai yang eksklusif, menghilangkan stigma miring

Berdasarkan pertemuan pertama dan kedua dari hasil pengamatan observer sesuai dengan indikator pengamatan aktivitas guru dan siswa dalam proses pembelajaran tari pendek

Activities Implementation Locations Project Implementation Unit Construction works and services North Sumatra Province State Electricity

tidak sekedar berpartisipasi, tidak sekedar sebagai mitra sejajar melainkan bersama-sama Perum Perhutani sebagai pelaku utama dalam melakukan pengelolaan sumber daya

Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata

RKPD Provinsi Jawa Timur Tahun 2017 merupakan penjabaran RPJMD Provinsi Jawa Timur tahun 2014- 2019 dengan mengacu pada Undang-undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJPN dan Rencana