• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konflik Budaya Suami-Istri di Jemaat GKI Lachai Roi Wamena dari Perspektif Konseling Lintas Budaya T1 752014016 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konflik Budaya Suami-Istri di Jemaat GKI Lachai Roi Wamena dari Perspektif Konseling Lintas Budaya T1 752014016 BAB II"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

10

mana masing-masing pihak menginginkan sesuatu yang tidak ingin diberikan oleh pihak yang

lain.2 Konflik dalam pemahaman ini menempatkan pihak-pihak yang berkonflik dalam suatu

persimpangan yaitu persimpangan pertama menuju pada suatu situasi positif yang menghasilkan adanya suatu kreatifitas untuk menciptakan keadaan yang nyaman. Dan di

persimpangan lain adanya situasi negatif yang akan menciptakan keadaan yang tidak nyaman karena terjadinya tindak kekerasan. Persimpangan ini terjadi karena konflik tersebut tidak dikelolah dengan baik.

Konflik merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia dan tidak pernah diselesaikan sepanjang sejarah umat manusia. Konflik mengambil posisi dan peran

penting dalam perkembangan emosi, kepribadian dan perilaku dalam kehidupan manusia. Konflik dapat dikategorikan sebagai konflik interpersonal, antarpersonal, antarkelompok,

antaretnik3 dan seterusnya. Pada umumnya konflik diakibatkan oleh adanya perbedaan

pendapat, pemikiran, ucapan sampai pada perbuatan. Sikap dasar yang memicu munculnya konflik adalah tidak ingin menerima dan menghargai adanya perbedaan.

1

Konflik adalah (1) percekcokan; perselisihan; pertentangan; (2) ketegangan atau pertentangan di dalam cerita rekaan atau drama (pertentangan antara dua kekuatan, pertentangan dalam diri satu tokoh, pertentangan antara dua tokoh, dan sebagainya).

2

Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin, Teori Konflik Sosial-Seri Psikologi Sosial, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004), p. 4

3

(2)

11

1.2. Konflik Budaya Suami-Istri

Sikap dasar manusia yang memicu lahirnya konflik adalah karena tidak menerima dan

menghargai adanya perbedaan diantara manusia. Artinya hubungan antar manusia memerlukan adanya pertemuan dan komunikasi antara orang-orang dengan latar belakang

budaya yang berbeda supaya mereka saling mengenal dan memahami keperluan dan kebutuhannya masing-masing secara obyektif. Untuk itu orang-orang dari budaya yang berbeda-beda itu harus berkomunikasi seorang dengan yang lain secara kontinyu. Menurut

Paul R. Kimmel, dengan berkomunikasi perbedaan budaya dasar orang-orang yang berbeda budaya akan memahami perbedaan budaya dasar mereka dan menciptakan komunitas yang

akan memfasilitasi komunikasi dan pemecahan masalah.4

Konflik budaya suami istri dapat saja terjadi karena faktor miskomunikasi dan penerimaan kebiasaan dalam sikap dan tingkah laku hidup dari kedua pihak sebagai suami

istri. Karena hal saling menghargai dan mempertahankan cinta mereka, maka dapat saja terjadi bahwa hal-hal kecil yang dilakukan keliru baik oleh suami maupun istri dianggap

sebagai kebisaan riil yang terjadi tiap-tiap hari. Tidak perlu ditanggapi dan dibiarkan saja. Misalnya dalam hal makan-minum atau sapaan waktu pergi dan pulang kantor baik oleh

suami maupun istri. Jika hal-hal kecil ini tidak dikomunikasikan maka akan berkembang menjadi hal besar dan bahkan menjadi pemicu lahirnya konflik.

Sarwono mengatakan bahwa manusia tidak dapat dilepaskan dari budaya. Manusia

tidak lahir dengan membawa budayanya, melainkan budaya tersebut diwariskan dan

dikomunikasikan dari generasi ke generasi.5 Kimmel menyebutkan hal ini dengan

mengatakan bahwa individu dilahirkan tanpa budaya. Mereka mempelajari budaya mereka

4

Paul R. Kimmel, Budaya dan Konflik, Dalam : Morton Deutsch (dkk), Handbook Resolusi Konflik. (Bandung : Nusa Media, 2016), p. 709

5

(3)

12 dengan tumbuh dan terisolasikan di dalamnya. Melalui penggunaan bahasa dan komunikasi

nonverbal, manusia berpartisipasi dalam dan membentuk budaya bersama mereka.6

Demikanlah kehidupan suami istri bukan saja yang beda budaya, yang sama budaya pun berlaku hal tersebut. Suami istri yang beda budaya telah terbentuk budayanya dan mereka

masing-masing terisolasi dalam budaya kolektifnya dan membentuk kebenaran-bekenaran yang akan terus dipertahankan dalam kehidupan berkeluarga.

Dalam kehidupan keluarga yang baru, suami istri telah membentuk budaya baru,

setelah meninggalkan komunitas kehidupan mereka yang lama dalam kehidupan bersama orang tua masing-masing. Inilah masa transisi kehidupan suami istri yang mestinya dibangun

melalui komunikasi-komunikasi timbal-balik antara suami istri untuk terus

mengkomunikasikan budaya mereka masing-masing dimasa lalu. Komunikasi ini perlu dan penting dilakukan untuk menemukan makna baru dalam kehidupan keluarga mereka. Jika

komunikasi tersebut tidak dibangun bahkan tidak mendapat tempat dalam kehidupan bersama suami istri, maka lambat laun akan terjadi miskomunikasi sehingga memicu lahirnya konflik

budaya suami istri dalam bentuk emosi, kepribadian dan perilaku.

2. Budaya Sebagai Penyebab Konflik

Budaya yang menjadi pokok bahasan dalam tesis ini terkait dengan manusia secara menyeluruh, yaitu manusia dalam hubungan dengan emosi dan kepribadiannya maupun

tindakan-tindakan sebagai perilakunya dalam kelompok atau masyarakatnya serta faktor-faktor yang mempengaruhi proses kehidupan antarmanusia. Atas dasar itu penulis akan

menyajikan secara garis besar bagaimana manusia terbentuk emosi, kepribadian dan perilakunya dalam konteks kelompok dan masyarakatnya dari perspektif antropologi, soiologi

6

(4)

13 maupun psikologi. Yang dimaksud dengan perspektif antropologi yaitu memahami budaya, sebagai cara bagaimana manusia sebagai individu mempertahankan budayanya pada saat

mengintegrasikan dirinya ke dalam konteks kehidupan bersama masyarakat dengan individu

lainnya.7 Sementara perspektif sosiologi hendak memahami budaya sebagai akibat dari proses

pembentukan dan perkembangan sistim hubungan antarmanusia dalam konteks kelompok dan

masyarakatnya.8 Sedangkan perspektif psikologi, khususnya psikologi lintas budaya

memahami tingkah laku manusia sebagai budaya, karena budaya tidak terjadi secara lahiriah

tetapi diturun-alihkan dari generasi ke generasi.9 Artinya secara psikologis budaya

membentuk dan dibentuk oleh tingkah laku individu dalam kelompok dan masyarakatnya.

2.1. Pemaknaan Budaya

2.1.1. Perspektif Antropologi

Pederson mengartikan budaya adalah bagian yang tidak dapat disingkirkan dari kehidupan manusia, karena itu budaya mengendalikan kehidupan kita dan mendefinisikan

kenyataan untuk diri kita, dengan atau tanpa ijin, serta dalam situasi dan keadaan sadar atau

pun tidak.10 Melalui definisi ini Pederson hendak menyampaikan tiga hal yaitu : (1) Budaya

merupakan subjek dalam diri seorang manusia yang kemudian mengendalikan perilakunya; (2) Budaya memberi makna kepada seorang manusia untuk menyesuaikan dirinya dengan lingkungan hidupnya; (3) Budaya melahirkan pengetahuan berdasarkan pengalaman hidup

dan pengetahuan untuk memahami apa yang terjadi dan mengapa sesuatu terjadi sebagai yang berlaku dalam kenyataan.

7

Hendar Putranto, Budaya dan Integrasi Sosial. Menelusuri jejak karya Talcott Parsons, dalam: Mudji Sutrisno & Hendar Putranto, Teori-Teori Kebudayaan. (Yogyakarta: Kanisius, 2005), p.51-61.

8

Astrid S. Susanto, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial. (Jakarta: Binacipta, 1995), p.2-4.

9

Sarlito W. Sarwono, Psikologi Lintas Budaya, p.1-9.

10

(5)

14 Dari pemahaman diatas dapat disimpulkan bahwa supaya manusia dapat bertahan hidup dalam suatu budaya, maka ia membutuhkan pengetahuan tertentu mengenai tata kerja

hal-ihwal dunia sekelilingnya. Pengetahuan tersebut diperoleh dari pengalaman yang tidak membutuhkan penjelasan dan pengetahuan teori untuk menjelaskan fenomena dalam

kehidupan.11 Di sini kebudayaan bukan hanya merupakan kebiasaan tetapi telah menjadi

sesuatu yang dilakukan dalam menghadapi dan menjalani kenyataan hidup, seperti yang dikatakan Pederson “budaya mengendalikan perilaku seseorang dengan atau tanpa izin

kita”.12

Van Baal menyebutkan bahwa setiap individu dalam arti yang sangat harafiah adalah

wakil dari kebudayaannya,13 yang berarti bahwa setiap manusia mempunyai sikap yang

berbeda karena keadaannya, pengalamannya dan kepribadiannya yang selalu unik.14 Karena

itu budaya selalu dinyatakan sebagai suatu proses individual dalam kelompok dan

masyarakatnya, sehingga tidak ada seorang pun yang mempunyai kebudayaan yang sama

dengan kebudayaan individu lainnya.15 Masyarakat pada umumnya mengenal budaya

sebagai akibat dari interaksi antar individu yang dipengaruhi oleh interaksi dalam keluarga, pendidikan dan masyarakat. Budaya juga dikenal pada tataran subkultur yang meliputi ilmu

pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kebiasaan yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh masyarakat, tetapi budaya pun lahir dari kebiasaan

11

Lihat : David Kaplan dan Robert A. Manners, Teori Budaya. (Yogya : Pustaka Pelajar. 2012), p. 15

12

Paul B. Pederson, Resolusi Konflik Multibudaya; dalam : Morton Deutsch (eds), Handbook Resolusi Konflik. (Bandung : Nusa Media, 2016), p.749

13

J. Van Baal. Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya-Hingga Dekade 1970- Jilid 2. (Jakarta : Gramedia, 1988 ), p. 157

14

Bandingkan : Aart Martin Van beek, Konseling Pastoral. Sebuah buku Pegangan bagi para Penolongdi Indonesia, (Semarang: Satya Wacana, 1987), p. 123

15

(6)

15 setiap individu yang dipengaruhi oleh kebiasaan interaksi dengan keluarga, pendidikan, dan

masyarakat.16

Dalam pemahaman tersebut di atas sebenarnya Van Baal hendak mengatakan bahwa kebudayaan lahir sebagai suatu proses pengaruh mempengaruhi antar individu yang terjadi

dalam lingkup keluarga, pendidikan dan masyarakat tempat individu itu berada dan berinteraksi. Alat yang dipergunakan supaya proses pengaruh mempengaruhi itu terjadi disebutkannya dengan istilah subkultur, yaitu ilmu pengetahuan, kepercayaan dan agama,

seni, hukum adat maupun kebiasaan yang berlaku dalam keluarga dan kelompok atau masyarakat.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa budaya pada dasarnya merupakan jati diri

yang melekat dalam diri setiap individu sebagai akibat dari suatu proses interaksi dalam

lingkungan hidupnya, supaya individu tersebut dapat memahami segala hal yang sedang

terjadi sehingga mempengaruhi proses kehidupan sosial budaya seorang individu di

lingkungan keluarga, pendidikan dan masyarakat, sehingga ia dapat menyesuaikan diri

dengan lingkungan dimana ia hidup, berada dan berinteraksi.

2.1.2. Perspektif Sosiologi

Kneller mendefinisikan budaya dari sudut pandang sosiologi sebagai semua cara

hidup yang dilakukan seseorang dalam suatu masyarakat.17 Artinya budaya merupakan

keseluruhan cara hidup bersama dari sekelompok orang yang meliputi cara berpikir, berbuat

dan merasakan yang diekspresikan.18 Karena itu kebudayaan adalah suatu sistem pengetahuan

16

Abu Ahmadi. Antropologi Budaya: mengenal kebudayaan dan suku-suku bangsa di Indonesia. (Surabaya: Pelangi, 1986), p. 97

17

George.F. Kneller, Educational Anthropology : An Introduction. (New York John Wiley

And Sons, Inc. 1965), p. 88

18

(7)

16

yang meliputi ide atau gagasan dalam pikiran manusia.19 Wujud dari budaya adalah

benda-benda yang diciptakan oleh manusia, seperti ukiran bermotif, rumah-rumah bernuansa khas,

dan perilaku yang bersifat nyata, misalnya dalam sikap, bahasa, komunikasi, cara berpikir, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain. Semuanya itu ditujukan supaya

membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.20 Dengan demikian

budaya tidak terbatas pada ras, etnis, dan suku tetapi juga meliputi cara berpikir, berbicara atau berkomunikasi, berbahasa, berelasi, pendidikan, kepercayaan, moral,

kebiasaan, bersikap, maupun seni.

Dalam pemahaman ini dimengerti bahwa budaya adalah cara hidup seseorang dalam

masyarakat yang muncul sebagai akibat dari proses pembentukan dan perkembangan sistim hidup antarmanusia dalam konteks kelompok dan masyarakatnya. Cara hidup ini terbentuk melalui proses interaksi maupun proses sosial. Proses interaksi adalah hubungan timbal-balik

antar indivudu atau manusia, sedangkan proses sosial adalah proses pengaruh mempengaruhi antar individu maupun kelompok dalam masyarakat. Kedua proses ini dimungkinkan oleh

adanya komunikasi.21 Dalam kaitan dengan komunikasi ini maka Tili dan Barker

mengemukakan bahwa kebanyakan manusia pada zaman ini hidup di luar tempat

kelahirannya atau keluarga dan kota asalnya. Ini membawa akibat pada interaksi dalam masyarakat yang berasal dari tempat yang berbeda, cara relasi antar manusia yang berbeda,

sampai dengan perkawinan beda budaya.22 Kondisi semacam ini menurut Tili dan Barker

akan membawa dampak pada wajah perkawinan yang unik, komunikasi antar budaya,

19

Wahyu, Ramdani. Ilmu Budaya Dasar, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), p. 97

20

Ibid

21

Bandingkan : Astrid S. Susanto, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, p.15-23.

22

(8)

17 komunikasi keluarga dan konflik komunikasi karena hal-hal itu merupakan area

komunikasi.23

Jika ada proses interaksi dan sosial antarmanusia maka akan terjadi rangsangan (stimulus) diantara pihak-pihak yang melaksanakan komunikasi tersebut. Kemudian

muncullah tanggapan dari satu pihak terhadap pihak lain berbentuk jawaban dalam arti tertentu. Proses sosial inipun mulai terjadi dan mempengaruhi cara berpikir, berperilaku, hingga cara mengalami dan merasakan suatu situasi tertentu. Proses ini selanjutnya

diwujudkan dalam bentuk keberadaan dan tindakan baik perilaku maupun dalam wujud benda-benda.

2.1.3. Perspektif Psikologi

Bakker menjelaskan tentang budaya dari perspektif psikologi sebagai suatu bentuk penyesuaian diri (adjustment) manusia kepada alam sekelilingnya maupun kepada

syarat-syarat hidup. 24 Artinya bahwa manusia berusaha untuk mengetahui apa yang dialaminya dan

mengartikannya untuk menemukan makna dari kehidupan yang sesungguhnya sebagai suatu

penyesuaian diri.

Sarwono menjelaskan tentang penyesuaian diri manusia kepada alam lingkungannya

ditunjang oleh perkembangan kognitif (pengertian) berdasarkan pengalaman hidup yang dialaminya dan diwariskan secara turun-temurun. Perkembangan kognitif tersebut sangat

terkait erat dengan representasi mental terhadap alam lingkungannya.25 Maksudnya bahwa

manusia dalam melakukan penyesuaian diri dengan lingkungan hidupnya ia akan

23

Tiffani R. Tili & Gina. Barker, Communication in Intercultural Marriages : Managing Cultural Differences and Conflict. Dalam : Southern Communication Journal Vol. 80, Juli-Agustus 2015,p.189-190.

24

J. W.M. Bakker. Filsafat kebudayaan-Sebuah pengantar. (Yogya : kanisius BPK GM, 1984), p. 28

25

(9)

18 merepresentasikan pengalaman dan konteks tersebut untuk memberi makna bagi kehidupannya dalam bentuk sikap dan perilaku. Maka budaya berarti cara dan tindakan

seseorang untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan hidupnya baik dalam lingkup keluarga, kelompok komunitas maupun masyarakat. Proses penyesuaian ini didukung oleh

pengertian individu yang diwariskan secara turun temurun dalam keluarga, kelompok komunitas maupun masyarakat dimana ia hidup dan berada. Itu berarti bahwa jika seseorang dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan hidupnya, maka ia dapat hidup secara bebas dan

utuh di dalamnya. Hal ini dapat terjadi melalui suatu proses mengetahui tentang apa yang sedang dialaminya, kemudian mengartikan pengalaman itu berdasarkan pengertian (kognitif)

yang diwariskan, sehingga ia dapat menemukan makna dari konteks hidup alam sekitarnya untuk menyesuaikan diri dalam kehidupan ini.

2.2. Kepekaan Budaya

Salah satu bentuk konflik yang berpengaruh besar dalam kehidupan berumat dan

bermasyarakat adalah konflik suami-istri khususnya pada pasangan yang berbeda budaya,

karena itu diperlukan cara atau gaya penyelesaian konflik.26 Para konselor yang berkeinginan

untuk menolong pasangan yang demikian perlu memiliki kepekaan budaya. Hal ini disebabkan karena konselor memiliki budaya yang berbeda dengan pasangan suami istri. Keperbedaan budaya ini harus disadari dan diperhatikan.

Bryan Strong menyatakan bahwa pernikahan dan keluarga tersusun atas perbedaan

kepribadian, ide, nilai, rasa, dan tujuan.27 Oleh sebab itu setiap individu tidak selalu cocok

dengan individu lain dalam keluarga karena setiap individu memiliki perbedaan-perbedaan, dan memicu timbulnya konflik. Apabila konselor tidak memperhatikan perbedaan perbedaan

26

Pra penelitian, Desember 2015.

27

(10)

19 budaya, yaitu tidak peka terhadap adanya keperbedaan itu, maka konflik dapat saja tidak teratasi sehingga memicu lahirnya konflik. Setiap orang memerlukan penyesuaian dengan

maksud untuk mendatangkan perubahan dalam proses pengelolahan perbedaan budaya tersebut.

Thompskin menyebut kondisi tersebut sebagai kepekaan budaya, yaitu suatu kemampuan seseorang untuk melihat keluar dari dirinya sendiri dan menyadari akan

nilai-nilai budaya individu lain.28 Kepekaan budaya tersebut merupakan suatu proses menjadi

sadar akan nilai yang dimiliki, bias dan keterbatasan mengikuti eksplorasi diri pada budaya sehingga seseorang belajar bahwa perspektifnya terbatas, memihak, dan relatif pada latar

belakang diri sendiri.29 Konflik budaya suami-istri karena perbedaan budaya perlu dipahami

sebagai suatu proses kemampuan seseorang untuk memahami, menyadari, dan mengakui adanya nilai-nilai budaya dan perilaku manusia diluar diri sendiri sehingga ia (suami-istri

yang berkonflik) belajar mengenal dirinya dan memahami bahwa perspektifnya terbatas,

memihak dan relatif pada latar belakang diri sendiri. 30 Dalam realitas konflik suami istri dan

dalam proses konseling, sadar ataupun tidak, sang konselor maupun konseli (suami istri) selalu membawa serta karakteristisk-karakteristik psikologisnya seperti kecerdasan, bakat,

sikap, motivasi, kehendak dan tendensi-tendensi kepribadian lainnya. Tetapi kurang memberi perhatian kepada latar belakang budaya dari masing-masing pihak yang telah membentuk

karakteristik psikologisnya itu.31

28Willia Wu de le. 006. Th ough the Le s of Cultu al a a e e

ss: a Primer for US Armed Forces Deploying to a a a d Middle Easte Cou t is . Combat studies Institute Press, USA.

(11)

20

2.3. Bias Budaya

Komunikasi memainkan peranan penting dalam pemahaman setiap individu terhadap

budaya dan pengaruh budaya dalam perilaku individu sehari-hari.32 Komunikasi yang

dilakukan antar individu dalam kehidupan manusia tersebut biasanya melalui simbol-simbol,

sebab manusia adalah makhluk yang memahami simbol-simbol dan bagaimana menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari. Sarwono menyebutkan adanya tiga macam

simbol pada manusia, yaitu : Pertama, simbol yang konservatif terdapat pada mitologi dan

agama. Misalnya dalam mitologi Jawa dipercaya bahwa Dewi Sri adalah simbol kesuburan,

atau dalam agama dipercaya bahwa Tuhan adalah zat yang maha kuasa. Kedua, simbol yang

relatif terdapat dalam bahasa, karena melalui bahasa manusia mendeskripsi dan merumuskan berbagai kenyataan hidup yang dialaminya. Misalnya apakah itu ? apakah ini baik atau tidak

baik ? Ketiga, simbol yang progresif terdapat dalam seni dan ilmu pengetahuan. Misalnya

lahirnya teknologi informasi dan komunikasi.33

Komunikasi melalui simbol-simbol tersebut selalu menggunakan bahasa untuk mendeskripsikan sesuatu kenyataan dan kemudian merumuskannya dalam bentuk kata atau

kalimat yang dapat dimengerti oleh individu-individu yang terlibat dalam proses komunikasi tersebut. Bahasa dalam konteks ini merupakan media komunikasi dalam kehidupan manusia, sekaligus bahasa menciptakan budaya sehingga budaya mempengaruhi bahasa. Jika proses

mendeskripsi dan merumuskan kenyataan melalui bahasa dapat dimengerti oleh pihak lain yang sedang berkomunikasi maka komunikasipun berhasil. Di pihak lain, jika proses

komunikasi tersebut kemudian dimengerti dengan cara bertentangan karena perbedaan budaya maka di sinilah terjadi bias budaya.

32

Sarlito W. Sarwono, Psikologi Lintas Budaya, p.59.

33

(12)

21 Shiraev dan Levy menyebutkan tentang empat bias budaya yang mempengaruhi

pemikiran seseorang dalam komunikasi, yaitu :34

1) Bias Bahasa. Dalam berbahasa seseorang mendeskripsi dan merumuskan

kenyataan yang dialaminya berdasarkan pengalaman budaya di tempat tertentu, misalnya orang Papua kulitnya hitam berambut keriting, tetapi kenyataannya ada orang Papua yang kulitnya sawo matang (terang/cerah)

berambut gelombang bahkan lurus. Inilah yang disebut bias bahasa satu ukuran untuk semua.

2) Bias asimilasi yaitu memandang dunia melalui skema diri sendiri. Artinya

memodifikasi data dari kenyataan supaya sesuai dengan skema diri individu,

dimana individu menggabungkan informasi baru dengan keyakinan dirinya sendiri. Disini terjadi proses penggabungan antara apa yang kelihatan ke dalam

skema konseptual, yaitu usaha mencocokan satu dengan yang lainnya. Bias asimilasi ini selalu menjadi hambatan untuk berpikir kritis dalam memecahkan

masalah secara efektif.

3) Bias keterwakilan adalah cara memberikan penilaian terhadap realitas dan

fenomena yang terjadi dalam kehidupan secara cepat karena keperluan tertentu

yang diwakili oleh individu tertentu. Akibatnya sesorang menggunakan keterwakilannya untuk mengidentifikasi kenyataan maupun fenomena di dalam suatu lingkungan dengan cara membandingkan kenyataan dan fenomena

(menyangkut orang, obyek, peristiwa atau ideologi) dengan representasi

34

(13)

22 dirinya. Di sini terjadi upaya pencocokan kenyataan maupun fenomena tersebut dengan skema diri.

4) Bias ketersediaan adalah cara memberikan penilaian terhadap realitas dan

fenomena yang terjadi dalam kehidupan berdasarkan apa yang tersedia yang dapat dilihat, dipikirkan dan dideskripsi secara cepat. Akibatnya sesorang menggunakan apa yang tersedia dalam kenyataan atau pemikiran sesaatnya

(cara pintas) untuk mengidentifikasi kenyataan maupun fenomena di dalam suatu lingkungan dengan cara meremehkan, mengecilkan atau mengabaikan

informasi kenyataan dan fenomena (menyangkut orang, obyek, peristiwa atau ideologi). Di sini terjadi pengalihan kenyataan maupun fenomena kepada apa atau siapa yang disukai, tertarik, menonjol, terkenal ataupun mencolok.

Bias budaya ini paling sering terjadi dalam pelaksanaan konseling, misalnya dalam hal mengerti setiap kata atau kalimat baik oleh konselor maupun konseli. Jika konselor

kurang memberi perhatian kepada pembicaraan konseli bahkan kurang mengerti setiap kalimat yang diucapkan konseli, begitu juga sebaliknya maka akan terjadi salah pengertian

terhadap masalah yang dihadapi konseli, ataupun sebaliknya konseli kurang memahami maksud konselor. Demikian juga kadang terjadi bahwa konselor akan menggunakan skema dirinya untuk mengerti apa yang sedang dialami konseli, maka terjadilah asimilasi skema diri

(14)

23

3. Konseling Lintas budaya

3.1. Makna Konseling Lintas Budaya

Istilah konseling dari bahasa Inggris to counsel yang secara hurufiah berarti memberi

arahan, nasehat. Orang yang melakukan konseling adalah konselor. Dalam bahasa Inggris

konselor mempunyai arti penasehat dalam hubungan dengan tugas ahli-ahli hukum.35 Van

Beek mengatakan bahwa konseling diartikan sebagai seorang yang berusaha menolong

seorang konseli lewat pendekatan psikologis.36

Pdt. J.D. Engel mengatakan bahwa konseling adalah proses pertolongan antara seorang penolong (konselor) dan yang ditolong (konseli) dengan maksud untuk meringankan

penderitaan konseli. Keberhasilan seorang konselor diukur bukan dari banyaknya orang yang

datang kepadanya, tetapi banyaknya orang yang merasakan sentuhan pelayanannya.37 Dengan

demikian konseling berarti usaha dan proses pendampingan38 yang dilakukan oleh konselor

untuk menolong dan menasehati konseli dalam rangka menata kehidupannya secara baru dan benar. Adhiputra memberikan pengertiannya tentang konseling lintas budaya untuk

menegaskan bahwa adanya saling hubungan antar-budaya yang beragam. Demikian ia

menulis :39

“Konseling lintas budaya (cross-cultural counseling acros cultures,

multicultural counseling) adalah konseling yang melibatkan konselor dan klien yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan karena itu proses

konseling sangat rawan oleh terjadinya bias-bias budaya (cultural biases) pada

pihak konselor yang mengakibatkan konseling tidak berjalan efektif (Draguns,

35

J.D. Engel, Konseling. Suatu Fungsi Pastoral. (Salatiga : Tisara Grafika, 2007), p.1.

36

Aart M. Van Beek, Konseling Pastoral. Sebuh Buku Pegangan bagi para penolong di Indonesia. (Semarang : Satya Wacana, 1987), p. 4

37

J.D. Engel, Konseling. Suatu Fungsi Pastoral, p.1.

38

Totok S. Wiryasaputra, Pengantar Konseling Pastoral, (Salatiga : AKPI, 2013). p, 64-70, menyebutkan pendampingan sebagai konteks konseling pastoral dalam rangka merawat, mengasuh, memelihara dan mengurus sesuatu atau seseorang dengan penuh perhatian dan kepedulian.

39

(15)

24 1986: Pedersen,1986: dalam pidato pengukuhan Guru Besar Prof. Dr. H. Dedi Supriadi, 2001). Agar berjalan efektif, maka konselor dituntut untuk memiliki kepekaan budaya dan melepaskan diri dari bias-bias budaya, dan memiliki ketrampilan-ketrampilan yang responsif secara kultural. Dari segi ini maka konseling pada dasarnya adalah sebuah “perjumpaan budaya” (cultural encounter) antara konselor dan klien yang dilayaninya.”

Konseling lintas budaya di sini bukan saja terkait dengan konseli atau suami istri yang

beda budaya, tetapi terkait juga dengan konselor yang beda budaya dengan konseli tersebut. Oleh sebab itu konseling lintas budaya dapat menggunakan teori, pendekatan dan prinsip konseling yang berasal dari suatu konteks budaya tertentu di dalam konteks budaya lain yang

berbeda. Dalam konteks ini konseling lintas budaya memiliki tiga sisi budaya yang melekat erat dan terjalin menjadi satu pekerjaan pelayanan, yaitu budaya konselor, budaya suami

sebagai konseli dan budaya istri sebagai konseli.

Dalam kaitan dengan proses konseling lintas budaya maka sepatutnya konselor memperhatikan kekhasan dari setiap kebudayaan di Indonesia pada umumnya dan di Papua

pada khususnya, serta sekaligus mencari keunikan budaya pada diri konseli. Aart M. Van Beek menemukan bahwa acap kali konselor dan konseli memandang suatu masalah dengan

perspektif budaya yang berbeda. Untuk itu ia menyarankan supaya mulai awal proses konseling antar budaya diharapkan konselor mencari suatu titik pertemuan yang dapat

mempersatukan konseli dengan konselor dalam pandangan perspektif yang mirip.40

3.2. Strategi dan Pola Konseling Lintas Budaya

Perkembangan masyarakat yang begitu cepat sejalan dengan lajunya proses modernisasi dan pembangunan di segala bidang kehidupan telah melahirkan keberagaman

gaya hidup manusia yang diperlihatkan melalui sikap dan perilaku setiap orang untuk memperlihatkan budaya dirinya. Dalam konteks masyarakat majemuk dan multibudaya inilah

40

(16)

25 gereja dan jemaat kristen hidup serta mengalami interaksi seorang dengan yang lain berdasarkan ciri budaya masing-masing. Diperlukan sikap saling menerima dan menghargai

seorang akan yang lain dalam keperbedaan sosial budaya jika gereja menghendaki adanya kenyamanan dan kedamaian dalam hidup pribadi, keluarga maupun kelompok komunitas

dalam masyarakat.

Pelaksanaan konseling lintas budaya oleh pelayan jemaat/gereja dalam konteks masyarakat majemuk dan multibudaya ini perlu memiliki strategi dan pola pendekatan yang

terstruktur dan konstruktif supaya dapat menolong warga jemaat menjalani kehidupannya. Pelaksanaan konseling secara terstruktur artinya konseling dilaksanakan secara bertahap,

sedangkan konstruktif artinya konseling diatur dan direncanakan secara profesional oleh konselor bersama konseli.

Adhiputra mengutip kerangka umum konseling lintas budaya yang disarankan oleh

Pedersen sebagai strategi pelaksanaan konseling lintas budaya (multikultural) untuk menjadi

panduan bagi para konselor sebagai berikut :41

1. Like all other persons artinya konselor sedapat-dapatnya menyadari tentang apa yang berlaku untuk semua manusia secara universal. Maksudnya konselor perlu

mengakui adanya perbedaan dalam diri setiap orang sebagai potensi yang harus diakui dan dihargai.

2. Like some other persosns artinya konselor sedapat-dapatnya memahami tentang

apa yang dimiliki sebagian manusia dengan budayanya yang tidak dimiliki oleh yang lain.

41

(17)

26 3. Like no other persons artinya konselor dalam pelaksanaan tugas konseling haruslah dapat mengembangkan ciri-ciri budaya yang unik padadiri setiap

individu.

Strategi konseling lintas budaya ini dapat dilaksanakan melalui beberapa langka

sebagai bagian dari pola pelaksanaan konseling keluarga seperti yang dikemukakan oleh

Willis sebagai berikut :42

Langkah 1, Memilih pendekatan konseling yang hendak digunakan konselor, yaitu

pendekatan kepribadian, perubahan tingkah-laku atau rational emotive.

Langkah 2, Mengatur proses pelaksanaan konseling bersama konseli yang berkaitan dengan

waktu dan tempat pelaksanaannya.

Langkah 3, Proses pelaksanaan konseling secara bertahap.

Langkah 4, Proses deskripsi hasil konseling.

Langkah 5, Pelaksanaan dialog antara teori dan hasil yang dicapai untuk mendapatkan cara dan pola bagi pengembangan proses konseling lintas budaya untuk penanganan

konflik budaya suami istri.

3.3. Pendekatan Rational Emotive dalam Konseling Lintas Budaya

Tujuan konseling keluarga secara umum adalah membantu anggota-anggota keluarga untuk belajar dan menghargai kehidupan keluarga seorang akan yang lain sebagai bapak, ibu,

maupun anak-anak. Menyadari bahwa jika satu anggota keluarga bermasalah maka hal itu akan mempengaruhi interaksi dan komunikasi antar anggota keluarga lainnya.

42

(18)

27 Mengembangkan segala potensi yang ada dalam kehidupan keluarga pada diri bapak, ibu

maupun anak-anak yang dapat digunakan untuk keharmonisan kehidupan keluarga.43

Orientasi konseling berpusat pada diri konseli sebagai manusia yang utuh. Tujuannya adalah untuk membina kepribadian konseli sebagai anggota keluarga supaya dapat berdiri sendiri

sehingga mempunyai kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah dalam keluarganya

secara mandiri.44

Willis menulis tentang pelaksanaan konseling dengan pendekatan rational emotive

dimaksudkan supaya setiap anggota keluarga dibantu untuk melihat bahwa mereka bertanggung-jawab dalam membuat gangguan bagi diri mereka sendiri melalui perilaku

anggota lainnya secara serius. Mereka didorong untuk mempertimbangkan bagaimana akibat dari perilakunya, pikirannya dan emosinya telah membuat orang lain dalam keluarganya menirunya. Tetapi juga rational emotive therapy mengajar anggota keluarga untuk

bertanggung-jawab terhadap perbuatannya dan berusaha merubah reaksinya terhadap situasi

keluarga.45

Pendekatan konseling rational emotive menggunakan tiga teknik konseling, yaitu : teknik kognitif, emotif dan behavior. Teknik kognitif adalah cara konselor menggali dan

gangguan pikiran atau kognisi anggota keluarga karena interpretasinya terhadap situasi keluarga. Dalam teknik ini yang diubah adalah cara berpikir atau rasio konseli, sebab jika cara berpikirnya berubah maka tingkah lakunya akan ikut berubah. Teknik emotif adalah cara

konselor menunjukan kepada anggota keluarga sebagai konseli bahwa perasaan-perasaan dan emosi mereka adalah hasil dari pemikiran mereka. Perasaan tersebut dapat melahirkan sebuah

keyakinan sebagai filosofi kehidupan. Kebiasaan seperti ini menjadi potensi konflik dalam

43

H.S.S. Willis, Konseling Keluarga (Family Counseling). Suatu upaya membantu anggota keluarga memecahkan masalah komunikasi di dalam sistem keluarga.(Bandung : Alfabeta, 2015), p.93

44

Ibid, p.100.

45

(19)

28 keluarga. Salah satu teknik yang dipakai adalah dengan menceritakan perumpamaan, ibarat atau tamsil dari luar maupun dari Alkitab untuk menghentikan kebiasaan satu anggota

keluarga yang tidak diinginkan anggota keluarga lainnya. Teknik behavioral atau tingkah laku adalah cara konselor bersama suami istri mengatur hal-hal yang akan digumuli dan dikerjakan

sebagai cara belajar bersama mengharmoniskan keluarga.46

46

H.S.S. Willis, Konseling Keluarga (Family Counseling). Suatu upaya membantu anggota keluarga

Referensi

Dokumen terkait

PERLINDUNGAN ANAK DALAM NEGARA HUKUM DAN DEMOKRASI MELALUI PEMILIHAN UMUM RAMAH ANAK 1.. Oleh : Argadhia Aditama dan Lely Anna Puspa Sari

Particular care and planning are needed to ensure that mothers who begin breastfeeding but who later change to formula feeding are given full support to breastfeed while they

Penggunaan Media Flashcard Untuk Meningkatkan Hasil Belajar IPS Pada Pembelajaran Tematik di Sekolah Dasar.. Surabaya: PGSD

Panitia Masyarakat Hukum Adat Provinsi adalah lembaga yang bersifat ad hoc yang dibentuk untuk melakukan verifikasi terhadap hasil identifikasi sendiri masyarakat hukum adat

Pelaksanaan tindakan dan pengama- tan siklus II sesuai dengan perencanaan yang sudah dibuat berdasarkan hasil refleksi pada siklus I. Pembelajaran yang diterapkan

(3) Dalam hal hasil penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak cukup untuk melunasi piutang yang bersangkutan, Kreditor pemegang hak tersebut dapat mengajukan tagihan

28G (1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman

“ Bagaimanakah penerapan model kooperatif tipe jigsaw untuk meningkatkan hasil belajar IPS siswa kelas IV SDN I kecamatan sukasari.