• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laporan Edisi 12 September 2017

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Laporan Edisi 12 September 2017"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

BEBAN

PAJAK

(2)

BEBAN PAJAK

Prakondisi Jihad Diponegoro

K. Subroto

Laporan

Edisi 12 / September 2017

ABOUT US

Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari Lembaga Kajian Syamina (LKS). LKS merupakan sebuah lembaga kajian independen yang bekerja dalam rangka membantu masyarakat untuk mencegah segala bentuk kezaliman. Publikasi ini didesain untuk dibaca oleh pengambil kebijakan dan dapat diakses oleh semua elemen masyarakat. Laporan yang terbit sejak tahun 2013 ini merupakan salah satu dari sekian banyak media yang mengajak segenap elemen umat untuk bekerja mencegah kezaliman. Media ini berusaha untuk menjadi corong kebenaran yang ditujukan kepada segenap lapisan dan tokoh masyarakat agar sadar realitas dan peduli terhadap hajat akan keadilan. Isinya mengemukakan gagasan ilmiah dan menitikberatkan pada metode analisis dengan uraian yang lugas dan tujuan yang legal. Pandangan yang tertuang dalam laporan ini merupakan pendapat yang diekspresikan oleh masing-masing penulis.

*Gambar cover: Demang (Priyayi Desa) Pemungut Pajak; Diambil dari buku The Power of Propechy, Peter Carey

Untuk komentar atau pertanyaan tentang publikasi kami, kirimkan e-mail ke:

lk.syamina@gmail.com

(3)

3

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI — 3

EXECUTIVE SUMMARY — 4

BEBAN PAJAK; Prakondisi Jihad Diponegoro— 7

Java Orlog — 7

Intrik Politik Penjajah Eropa (Inggris dan Belanda) dengan Kesultanan — 8

Dukungan Prang Sabil Diponegoro Meluas — 12

Masuknya Budaya Eropa yang Merusak Moral — 13

Penjajah Memasyarakatkan Candu — 14

Meningkatnya Tindak Kejahatan — 16

Hukum Tidak Dijalankan — 16

Sistem Pertanahan — 17

Pemungut dan Penerima Pajak — 18

Kelompok Sosial dan Masyarakat Desa — 19

Kondisi Sosial Ekonomi — 21

Pajak yang Semakin Mencekik — 23

Pajak dan Sewa Tanah Era Raffles — 26

Pajak dan "Pemerasan" di Gerbang Tol — 27

(4)

4

De Java Oorlog (Perang Jawa) adalah perang besar dan berlangsung selama lima tahun (1825-1830) di Pulau Jawa. Perang ini merupakan salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami oleh Belanda selama masa pendudukannya di Nusantara, melibatkan pasukan Belanda di bawah pimpinan Jendral De Kock yang berusaha meredam perlawanan penduduk Jawa di bawah pimpinan Diponegoro.

Perang Jawa (1825-1830) adalah garis batas dalam sejarah Jawa dan sejarah Indonesia pada umumnya antara tatanan lama Jawa dan zaman modern. Saat itulah terjadi peralihan dari hegemoni longgar Belanda pada zaman penjajahan yang sebenarnya, yang di Jawa bermula dengan ditaklukkannya Diponegoro pada tahun 1830.

Itulah masa dimana untuk pertama kali sebuah pemerintah kolonial Eropa menghadapi pemberontakan sosial yang berkobar di sebagian besar Pulau Jawa. Hampir seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta banyak daerah lain di sepanjang pantai utara Jawa terkena dampak pergolakan itu. Dua juta orang, yang artinya sepertiga dari seluruh penduduk Jawa, terpapar oleh kerusakan perang; seperempat dari seluruh lahan pertanian yang ada, rusak; dan jumlah penduduk Jawa yang tewas mencapai 200.000 orang.

Demi memastikan kemenangan atas orang Jawa, karena banyak korban yang jatuh, Belanda harus membayar dengan sangat mahal: sebanyak 7.000 serdadu pribuminya dan 8.000 tentara asli Belanda tewas; dan biaya perang yang harus mereka keluarkan mencapai sekitar 25 juta gulden (setara dengan 2,2 miliar dolar AS saat ini).

(5)

5

Pergolakan politik di Belanda dan di tanah jajahannya di Hindia Belanda (Indonesia) telah menguras begitu banyak sumber daya, tenaga, waktu dan biaya yang sangat besar. VOC yang bangkrut karena korupsi kemudian dibubarkan dan diganti pemerintahan Hindia Belanda. Di negeri Belanda sendiri terjadi perang Napoleon yang yang menguras kas negara penjajah tersebut untuk biaya perang. Belum lagi perang di Jawa dan sekitarnya yang kemudian dimenangkan pasukan Inggris yang berakibat penyarahan tanah Jajahan (termasuk Jawa) pada Inggris walaupun kemudian terpaksa dikembalikan lagi ke Belanda setelah pihak Inggris dan sekutunya kalah perang di Eropa.

Untuk menutupi semua pengeluaran dan utang yang besar untuk biaya perang, akhirnya pemerintah penjajah Eropa berpaling ke Jawa sebagai pulau yang paling subur untuk menghasilkan banyak uang. Cara yang ditempuh lewat kebijakan pertanian dan perkebunan, dengan cara menanam tanaman yang berharga tinggi di pasaran ekspor Eropa. Disamping itu jalan pintaspun ditempuh dengan meminta uang pada rakyat jajahan dalam bentuk pajak dan berbagai macam pungutan.

Sesuai dengan syarat-syarat perjanjian yang ditanda tangani Raffles dengan pihak istana, sebagai buah kesuksesan operasi militer Inggris terhadap keraton Yogyakarta adalah semua gerbang tol dan pasar-pasar di seluruh wilayah kasultanan diambil alih oleh pemerintahan Eropa Inggris. Pemerintahan Inggris kemudian langsung menyewakan seluruh aset yang diambil alih tersebut pada orang-orang Cina.

Saat pemerintahan kolonial Belanda berhasil dipulihkan pada tahun 1816, Belanda menghadapi hutang-hutang raksasa dan pemasukan yang tidak memadai dari pengaturan penyewaan tanah yang dilimpahkan Raffles. Belanda kemudian memanfaatkan gerbang tol sebagai sumber pemasukan untuk menutupi kekurangan pajak pemerintah.

Pada masa pasca perang Jawa masih terdapat 34 jenis pajak yang dipungut dari rakyat yang rata-rata miskin. Beberapa pungutan pajak terlihat aneh dan tidak masuk akal antara lain pagendel, pajak untuk penggunaan gubuk di sawah, paniti,

pajak untuk sawah, paletre, pajak kepada bupati, pajak make-up ronggeng, pakeplop,

pajak untuk pertunjukan tari dan sebagainya.

Pajak yang semakin tinggi membuat rakyat semakin miskin dan menderita. Apalagi ditambah dengan bencana alam gunung meletus dan wabah penyakit kolera yang semakin memperburuk keadaan. Pemerintah lokal dan penjajah Belanda yang mengontrolnya tidak peka dengan penderitaan rakyat, tetapi justru menaikkan pajak dan berbagai jenis bea (pajak) bagi barang-barang dagangan di gerbang-gerbang tol.

Tidak hanya masyarakat kecil yang menderita, para bupati dan banyak kalangan bangsawan istana juga menderita karena pencaplokan-pencapolokan tanah oleh penjajah Eropa yang semena-mena. Semakin lama semakin banyak tanah yang dikuasai oleh penjajah dengan perjanjian-perjanjian yang dipaksakan. Sehingga sumber pendapatan pendapatan mereka berkurang atau bahkan hilang sama sekali.

(6)

6

oleh penjajah Eropa yang salah satu tujuannya adalah motif ekonomi. Dengan melegalkan candu contohnya, pemerintah penjajah mendapat keuntungan besar dari perdagangan candu yang dikelola oleh para bandar cina.

Keadaan itu membuat masyarakat muak, bosan, marah, kecewa dan sedih bercampur aduk menjadi satu terhadap pemerintah lokal dan penjajah Eropa. Mereka merindukan perubahan, ratu adil yang membawa keadilan dan menghancurkan kesewenangan.

Di tengah kondisi ekonomi yang sangat sulit dan masyarakat yang rusak seperti itulah muncul Diponegoro yang mendeklarasikan jihad (prang sabil). Perlawanan total terhadap penjajah kafir dan pada penguasa lokal Mataram Yogyakarta yang tunduk pada penjajah Eropa. Diponegoro ingin menghancurkan negara Mataram yang sudah kacau dan ternoda oleh ulah para penjajah dan menggantinya dengan

(7)

7

Java Orlog

Perang yang terjadi dalam satu wilayah kedaulatan negara dalam sejarah militer disebut perang kecil (small war). Pemberontakan, revolusi atau perang saudara adalah bentuk dari aksi politik dalam perang kecil. Perang kecil (Oorlog) dalam arti sebagai sebuah kampanye militer yang dilakukan oleh tentara reguler terhadap kekuatan militer bukan reguler. Formatnya digelar sebagai aksi penumpasan pemberontak (Java Oorlog, Atjeh Oorlog), penaklukan atau aneksasi wilayah, atau aksi penghukuman atas pelanggaran kedaulatan.

Teori tersebut mendasari pandangan Belanda terhadap perlawanan Diponegoro dan pengikutnya sebagai aksi politik yang dilakukan oleh orang Jawa untuk merebut kembali kedaulatannya. Menurut As’ad, ada tiga indikasi untuk sampai pada kesimpulan tersebut: pertama, memiliki ideologi (ideological asset), yaitu jihad, berperang untuk mendirikan negara yang berkeadilan berdasarkan agama Islam. Kedua, memiliki organisasi dan kondisi lingkungan yang mendukung, pemimpinnya mampu mengeksploitasi emosi masyarakat dengan tema yang abstrak. Ketiga, “pemberontak” amat menguasai medan. Pemberontakan Diponegoro juga merupakan kelanjutan dari perang antar kelompok feodal masyarakat Jawa pada abad ke-19, yang oleh John Keegan disebut sebagai permanent warfare.1

Dari aspek kultural, perang Jawa juga merupakan bentuk penolakan terhadap sistem budaya asing, termasuk sistem militer. Hal ini terlihat dalam susunan organisasi militer pasukan Diponegoro yang berkiblat pada Turki Utsmani untuk semakin menajamkan antipati terhadap budaya Barat.

De Java Oorlog (Belanda) adalah perang besar dan berlangsung selama lima tahun (1825-1830) di Pulau Jawa. Perang ini merupakan salah satu pertempuran terbesar

1 K. Mustarom, Negara Islam Tanah Jawa, Cita-Cita Jihadis Diponegoro, Laporan Khusus Syamina Edisi XII/Juni 2014, h.8

(8)

8

yang pernah dialami oleh Belanda selama masa pendudukannya di Nusantara, melibatkan pasukan Belanda di bawah pimpinan Jendral De Kock yang berusaha meredam perlawanan penduduk Jawa di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro.2

Perang Jawa (1825-1830) adalah garis batas dalam sejarah Jawa dan sejarah Indonesia pada umumnya antara tatanan lama Jawa dan zaman modern. Saat itulah terjadi terjadi peralihan dari hegemoni longgar Belanda pada zaman penjajahan yang sebenarnya, yang di Jawa bermula dengan ditaklukkannya Diponegoro pada tahun 1830.3 Itulah masa dimana untuk pertama kali sebuah pemerintah kolonial Eropa

menghadapi pemberontakan sosial yang berkobar di sebagian besar Pulau Jawa. Hampir seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta banyak daerah lain di sepanjang pantai utara Jawa terkena dampak pergolakan itu. Dua juta orang, yang artinya sepertiga dari seluruh penduduk Jawa, terpapar oleh kerusakan perang; seperempat dari seluruh lahan pertanian yang ada, rusak; dan jumlah penduduk Jawa yang tewas mencapai 200.000 orang.4

Demi memastikan kemenangan atas orang Jawa, karena banyak korban yang jatuh, Belanda harus membayar dengan sangat mahal: sebanyak 7.000 serdadu pribuminya dan 8.000 tentara asli Belanda tewas; dan biaya perang yang harus mereka keluarkan mencapai sekitar 25 juta gulden (setara dengan 2,2 miliar dolar AS saat ini).5 Setelah berakhirnya perang, Belanda secara tak terbantahkan menguasai

pulau Jawa dan sebuah fase baru pemerintah kolonial Belanda dimulai dengan diberlakukannya “sistem tanam paksa” (cultuur stelsel) pada tahun 1830-1870 oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch (menjabat antara 1830-1834).

Kekalahan Diponegoro pada tahun 1830 membuka jalan bagi pengenalan ‘Cultivation System’ yang digulirkan oleh Johannes van den Bosch (1830-1877), dimana produk Jawa dibeli oleh negara kolonial Belanda dengan harga tetap yang rendah dan kemudian dijual di pasar dunia sesuai dengan harga internasional, sebuah sistem yang memberikan penghasilan bersih kepada Belanda sebesar 832.000.000 gulden (setara dengan USD 75 miliar uang hari ini) sehingga meringankan beban transisi negara tersebut menuju ke ekonomi industri modern.6 Perkembangan pasca

Perang Jawa semakin membenarkan keprihatinan Diponegoro atas ketidakadilan perdagangan antara Jawa dan kekuasaan kolonial Belanda.7 Perang diponegoro

juga menjadi perang perlawanan besar terakhir di jawa sampai menjelang era kemerdekaan Indonesia.

Intrik Politik Penjajah Eropa (Inggris dan Belanda) dengan Kesultanan

Pemerintahan Penjajah Belanda yang baru mewarisi struktur administratif dan politik abad kedelapan belas yang penuh dengan korupsi. Transformasi pemerintahan Belanda dilakukan oleh H.W. Daendels dan Thomas Stamford Raffles.

2 Peter Carey. Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855). Penerjemah: Bambang Murianto.

Editor: Mulyawan Karim. Penerbit Buku Kompas Jakarta, 2014 3 Peter Cary, Asal Usul Perang Jawa, LkiS Yogyakarta, 2001. hal.xix

4 Peter Carey, The Origin of Java War (1825-1830), English Historical Review, 1976, hal. 52

5 De Graaf, Geschiedenis van Indonesie. ‘s-Gravenhage: Nijhof, Bandung: Van Hoeve, 1949, hal. 399

6 Ricklefs, A History of Modern Indonesia since c.1300, Basingtoke: Macmillan, 1993, hal. 123

7 Laporan Khusus Syamina Edisi XII/Juni 2014

(9)

9

Herman Willem Daendels adalah Gubernur Jenderal Hindia Belanda dari tahun 1808 sampai 1811. Daendels adalah orang Prancis pendukung reformasi politik Napoleon, yang saat itu menguasai Belanda. Daendels dengan cepat menata ulang administrasi kolonial pusat dan daerah. Dia menciptakan Generale Secretarie

(Sekretariat Jenderal) yang membentuk pusat pemerintahannya dan merumuskan kebijakan utama. Raad van Indië (Dewan Hindia) dilucuti dari kekuasaan legislatifnya dan menjadi badan konsultatif. Wilayah Jawa dibagi ke dalam distrik, atau Residen, yang dikepalai oleh seorang Residen. Residen adalah pegawai negeri Eropa, bertanggung jawab atas banyak tugas mulai dari pertanian hingga administrasi peradilan.

Dalam peperangan Napoleon yang di bawa ke kepulauan Indonesia, Inggris berhasil mengambil alih wilayah kepulauan Hindia Belanda dari Belanda dan menunjuk Thomas Stamford Raffles sebagai Gubernur Jenderal (1811-1816). Raffles mempertahankan dan menyempurnakan administrasi modern Daendels. Dia memperkenalkan sebuah sistem pajak baru yang akan menggantikan sistem kerja rodi VOC, pengadaan pajak dalam bentuk barang (kebanyakan beras dan jati), dan pengiriman produk monopoli secara paksa seperti kopi, gula, kapas, dan nila. Pada tahun 1813 sistem sewa lahan (landrent) diperkenalkan yang mengenakan pajak atas kepemilikan tanah, mewajibkan petani untuk menyerahkan dua per lima hasil panen (beras) mereka baik dalam bentuk barang, atau uang tunai.8

Setelah Sultan Hamengku Buwono I wafat, Sultan Hamengku Buwono II dinobatkan sebagai penggantinya pada tanggal 2 April 1792. Gubernur Jenderal H.W. Daendels telah mengeluarkan peraturan yang mensederajatkan pejabat-pejabat Belanda seperti Residen Surakarta dan Yogyakarta dengan sultan dalam upacara-upacara resmi. Selanjutnya Daendels menuntut Patih Danureja II (kaki tangan Belanda) yang dipecat oleh sultan supaya dikembalikan kepada posisi semula. Tetapi sebaliknya Raden Rangga Prawiradirja III, yang menjadi Bupati-wedana Mancanegara Yogyakarta, yang senantiasa menentang campur tangan Belanda, untuk diserahkan kepada Belanda guna mendapat hukuman.

Tuntutan Daendels ini ditolak oleh Sultan Hamengku Buwono II, sehingga ia mengirimkan pasukan Belanda untuk menundukkan sultan. Pertempuran terjadi antara pasukan Belanda dengan pasukan sultan; tetapi kekalahan berakhir bagi pasukan sultan, di mana Raden Rangga Prawiradirja gugur dalam pertempuran, dan Sultan Hamengku Buwono II pada bulan Januari 1811 diturunkan dari tahta, kedudukannya digantikan oleh puteranya, Adipati Anom menjadi Sultan Hamengku Buwono III atau Sultan Raja.

Sultan Hamengku Buwono III ini adalah ayah dari Diponegoro. Pertentangan antara Sultan Hamengku Buwono II (paman Diponegoro) dengan Sultan Hamangku Buwono III (ayahnya sendiri), turut melibatkan Diponegoro yang pada saat itu telah cukup dewasa yaitu berumur 26 tahun (lahir tahun 1785). Dan ia secara politik berpihak kepada Sultan Hamengku Buwono II atau disebut Sultan Sepuh.

(10)

10

Kemarahan Sultan Sepuh dan Diponegoro, bukan hanya karena Daendels secara sewenang-wenang menurunkannya dari tahta kesultanan Yogyakarta, tetapi juga disebabkan daerah-daerah seperti Kedu, Bojonegoro dan Mojokerto yang selama ini berada dibawah kekuasaan kesultanan Yogyakarta dirampas oleh Belanda.

Peran Daendels sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang kejam dan rakus berakhir pada tanggal 16 Mei 1811, dan digantikan oleh J.W. Jansens. Jabatan Jansens sebagai Gubernur Jenderal hanya beberapa bulan saja, sebab setelah itu pasukan Inggris menyerbu Belanda di Jawa, di mana akhirnya Belanda menyerah kalah di Kali Tuntang, Salatiga, Jawa Tengah. Peralihan kekuasaan antara Belanda kepada Inggris, dipergunakan sebaik-baiknya oleh Sultan Sepuh (Sultan Hamengku Buwono II) untuk merebut kembali kesultanan Yogyakarta. Usaha ini berhasil dan bahkan Sultan Sepuh memerintahkan agar Patih Danureja II dihukum mati, karena persekongkolannya dengan Belanda.

Kehadiran Thomas Stamford Raffles sebagai Gubernur Jenderal Inggris di Indonesia, mengokohkan kekuasaan Sultan Sepuh dengan jalan tetap mengakui Sultan Sepuh sebagai Sultan Hamengku Buwono II yang berkuasa di daerah Yogyakarta dan menetapkan Sultan Hamengku Buwono III menjadi Adipati Anom. Tetapi tatkala Raffles meminta daerah-daerah Kedu, Bojonegoro dan Mojokerto sebagai warisan dari Daendels, Sultan Sepuh menolaknya; tetapi Adipati Anom (Sultan Hamengku Buwono III) menerimanya bahkan membantu Inggris.

Pertentangan ini menjadi alasan bagi Raffles untuk mengirimkan pasukan guna menundukkan Sultan Sepuh (Sultan Hamengku Buwono II), dan berhasil. Sultan sepuh ditangkap dan dibuang ke Penang, Adipati Anom diangkat oleh Inggris menjadi Sultan Hamengku Buwono III pada tanggal 28 Juni 1812.9

Kraton dirampok dan dijarah oleh serdadu penjajah Inggris. Barang-barang berharga dan naskah-naskah dicuri, termasuk isi perpustakaan Sultan yang yang berisi babad-babad penting serta daftar tanah daerah taklukan kesultanan Yogyakarta. Sejumlah uang dari perbendaharaan kraton diduga juga diambil dan dikuasai oleh Raffles.

Pada tanggal 1 Agustus 1812 ditanda tangani perjanjian baru sebagai dasar perampasan daerah-daerah mancanegara, termasuk perampasan daerah Kedu yang produktif dan kaya serta Pacitan. Pengelolaan bandar-bandar (gerbang tol) dan pasar-pasar juga diambil alih oleh pemerintah penjajah Inggris.10

Untuk memberikan imbalan jasa kepada para pembantu Adipati Anom dalam mengalahkan Sultan Sepuh, maka Pangeran Natakusuma diberikan sebagian daerah kesultanan Yogyakarta menjadi seorang yang merdeka dengan Gelar Paku Alam I; dan Tan Jin Sing, seorang kapten Cina, diberikan pula tanah dan pangkat dengan gelar Raden Tumenggung Secadiningrat (Maret 1813). Hal ini tentu saja suatu pukulan hebat bagi kesultanan Yogyakarta dan bagi para bangsawannya, karena

(11)

11

kehilangan sumber penghidupannya; tanah-tanah lungguh makin susut dan banyak yang hilang.

Seperti halnya Daendels, maka Raffles-pun menjual tanah-tanah pemerintah kepada swasta, seperti orang-orang asing Eropa dan Cina, untuk memperoleh penghasilan bagi penguasa penjajah Inggris. Disamping itu Raffles banyak membawa perubahan dan pembaharuan di dalam mengatur masalah-masalah agraria, antara lain mengadakan pajak tanah. Para petani diharuskan menyerahkan sepertiga dari hasil buminya kepada penguasa, baik dalam bentuk hasil pertanian maupun uang.

Selanjutnya pada tanggal 3 Nopember 1814 Sultan Hamengku Buwono III wafat dalam usia 43 tahun; ia digantikan oleh puteranya Pangeran Adipati Anom yang bernama Jarot sebagai Sultan Hamengku Buwono IV. Sultan ini adalah adik Diponegoro dari lain ibu. Karena usia sultan masih sangat muda, maka dibentuklah sebuah ‘Dewan Perwalian’ dengan Pangeran Natakusuma (Paku Alam I) sebagai wakil sultan. Dalam priode ini, pada tanggal 19 Agustus 1816 John Fendall sebagai wakil pemerintah kolonial Inggris di Indonesia menyerahkan kekuasaan kepada Van der Capellen, Gubernur Jenderal Belanda sebagai wakil pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Sultan Hamengku Buwono IV tidak lama berkuasa, sebab pada tanggal 6 Desember 1822 wafat; ia diganti kan oleh puteranya yang masih kanak-kanak (lahir tanggal 25 Januari 1820), bernama Menol untuk menjadi Sultan Hamengku Buwono V. Karena Sultan Bamengku Buwono V masih kecil, maka dibentuk ‘Dewan Perwalian’ yang terdiri atas: Kanjeng Ratu Ageng (nenek perempuan Sultan), Kanjeng Ratu Kencana (ibu Sultan), Pangeran Mangkubumi (anak Sultan Hamengku Buwono II atau paman Diponegoro) dan Diponegoro sendiri.

Dewan perwalian, yang hampir sepenuhnya ditentu kan oleh penguasa kolonial Belanda, yang menyimpang dari ketentuan-ketentuan agama dan adat, maka Diponegoro menolak menjadi wali model penguasa kolonial Belanda. Penolakan ini dijadikan dasar untuk memfitnah Diponegoro oleh penguasa kolonial Belanda dan para kolaborator dari kalangan istana bahwa Diponegoro berambisi untuk menjadi sultan.

Peran penguasa penjajah Belanda dan Inggris yang seenaknya mengotak-atik pemegang tampuk pimpinan kesultanan Yogyakarta, mengurangkan daerah kekuasaannya dengan jalan merampas dari wilayah kekuasaan sultan serta membebani rakyat dengan berbagai tanam paksa dan pajak-pajak yang tinggi, adalah masalah yang susun susul-menyusul, yang menumbuhkan kebencian dan kemarahan Diponegoro dan rakyat yang mempunyai harga diri dan cinta terhadap kejujuran dan keadilan serta benci kepada setiap kezaliman dan tirani, baik yang dilakukan oleh bangsa asing maupun bangsa sendiri.

Perasaan kesal dan marah tambah membengkak dengan tampilnya golongan Cina sebagai pemegang kunci yang menentukan di dalam kehidupan ekonomi dan sosial, baik di daerah kekuasaan kolonial Belanda maupun di daerah kesultanan,

(12)

12

bahkan sampai ke kraton. Kapten Cina secara resmi diberikan sebagian daerah kekuasaan sultan dengan pangkat Raden Tumenggung Secadiningrat (Maret 1813), adalah bentuk-bentuk kekuasaan Cina yang begitu mencolok di dalam kehidupan kesultanan Mataram dan dinasti penerusnya. Penguasaan kota-kota pelabuhan dengan syahbandar-syahbandar yang berhak memungut bea-cukai dikuasai Cina, penyewaan tanah yang jatuh ke tangan Cina, para tengkulak yang dimonopoli oleh Cina, baik di daerah kekuasaan kolonial Belanda maupun sultan, menambah kemiskinan rakyat hingga menjadi melarat dan sengsara.11

Dukungan Perang Sabil Diponegoro Meluas

Jatuhnya kraton Yogyakarta dan perjanjian-perjanjian yang dipaksakan setelahnya, menandai suatu fase penting dalam proses mengubah kerajaan-kerajaan Jawa menjadi sekedar Kerajaan boneka yang tergantung dan dikendalikan oleh penjajah Eropa. Peristiwa-peristiwa itu telah membawa kesedihan dan keprihatinan dikalangan bangsawan istana yang masih peduli dengan kedaulatan negara Islam Jawa. Disamping kedaulatan yang hilang para pejabat istana dan keluarga bangsawan banyak kehilangan jabatan dan tanah lungguh mereka disebabkan perampasan wilayah yang dilakukan penjajah Eropa.

Perampasan uang perbendaharaan istana sultan juga mempercepat pemiskinan semua orang yang kebutuhan hidupnya tergantung dengan istana. Penghinaan yang diterima Yogyakarta tentunya dirasakan pula pada tingkat psikologis yang sangat mendalam oleh kebanyakan orang Yogyakarta. Istana dianggap telah tercemar dan ternoda oleh ulah penjajah Eropa dan perlu suatu upaya pemindahan tempat istana tersebut.

Perasaan demikian membangkitkan harapan baru pada upaya-upaya Diponegoro pada awal dilancarkannya perang Jawa yang akan menghancurkan keraton Yogyakarta dan menggantinya dengan yang baru, yang tidak bernoda di suatu tempat yang lain. Oleh sebab itu banyak dari kalangan bangsawan yang memihak Diponegoro di permulaan perang Jawa.12

Pada awal perang Diponegoro, sebanyak 15 pangeran dari 29 pangeran yang tersisa di Yogyakarta mendukung perjuangan Diponegoro. Para abdi dalem kraton dan anggota pasukan pengawal sultan juga mendukung dan bergabung dengan pasukan Diponegoro.

Para bupati saat itu tak kalah antusias menyambut seruan Diponegoro. Sebanyak 41 bupati dari total 88 bupati di wilayah Yogyakarta juga menyatakan dukungan dan kesetiaannya ikut berjuang bersama pasukan Diponegoro. Banyak kepala pemerintahan daerah ini banyak kehilangan kedudukan mereka atau menderita akibat semakin menciutnya tanah-tanah mereka karena pencaplokan-pencaplokan yang dilakukan oleh penjajah Eropa. Mereka dan para bangsawan Yogyakarta yang datang ke selarong dan mendapat gelar-gelar baru. Para bupati ini kemudian diperintahkan untuk mengorganisir dukungan di daerah mereka masing-masing.

11 Abdul Qadir Djaelani, Perang Sabil Versus Perang Salib, op.cit. h.14-15 12 Pater Carey, Asal-usul…, op.cit. h.12-13

(13)

13

Dukungan untuk Diponegoro juga berasal dari kalangan pejabat dan pembesar keagamaan. Para penghulu istana Yogyakarta termasuk yang memberi dukungan. banyak guru agama dan para ulama dari pondok-pondok dan pesantren-pesantren yang berasal dari daerah perdikan (daerah bebas pajak) yang bergabung mendukung perjuangan Diponegoro. Para haji dan para kyai serta orang-orang yang berpengaruh di desa-desa di wilayah Yogyakarta dan surakarta juga menggunakan pengaruh mereka untuk membangkitkan dukungan mneggelorakan perang sabil di desa dan wilayah mereka masing-masing.13

Masuknya Budaya Eropa yang Merusak Moral

Masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono IV adalah Masa ke-Emas-an masuknya pengaruh budaya Eropa di Jawa. Pada 16 Desember 1822 selagi makan Sultan HB IV meninggal secara mendadak. Kemudian pemerintah Hindia Belanda mengangkat RM Menol yang masih berusia 2 tahun sebagai Sultan Hamengubuwono V.

Ketiadaan kepemimpinan yang kuat dan disegani telah membuat wibawa keraton menjadi hilang sehingga tingkah laku para pejabat pemerintahan Hindia Belanda semakin menjadi-jadi, semakin mudah keluar masuk keraton dan mengadakan hubungan gelap dengan puteri-puteri keraton. Skandal seks dan perselingkuhan merebak di kalangan keluarga para bangsawan dan keluarga kalangan keraton.

Korupsi, penyalahgunaan jabatan dan pemerasan rakyat meluas. Tanah-tanah milik kerajaan (Kroonsdomein) yang subur disewakan kepada orang Eropa atau orang Cina yang mendapat dukungan dari para bangsawan keraton serta Residen pemerintah kolonial Belanda. Pungutan pajak dan pungutan bea lainnya semakin ditingkatkan – tanpa mengindahkan akibat yang semakin membebani kehidupan rakyat – dengan semakin memperbanyak gerbang pajak (Tol Poorten) yang disewakan kepada orang-orang Cina.14

Setelah tahun 1816 terjadi peningkatan pemakaian minuman keras dan penggunaan perabot rumah tangga Eropa, kendaraan-kendaraan dan permainan kartu di kalangan bangsawan Jawa. Sultan Hamengku Buwono IV memerintahkan sejumlah pegawai pribadinya untuk mengenakan seragam Eropa. Sultan juga merasa senang memakai seragam mayor Jendral Belanda saat berkendara di luar keraton.15

Hal ini membuat prihatin Pangeran Diponegoro, sehingga menginspirasikan dirinya untuk membentuk balad Islam (negara Islam). Pangeran Diponegoro ini merupakan anak tertua dari Sultan Hamengkubuwono III. Pangeran Diponegoro menolak diangkat menjadi Pangeran Adipati/Putera Mahkota, sebagai penggantinya dia menunjuk RM Ambyah. Penolakan dinobatkan menjadi putera mahkota ini dikarenakan Pangeran Diponegoro kecewa terhadap ayahandanya (Sultan HB III) yang dinilainya telah melakukan perbuatan durhaka terhadap orangtuanya sendiri. Pangeran Diponegoro tidak menyetujui sikap Sultan HB III yang melakukan pemakzulan terhadap kakeknya (Sultan HB II) dan bersikap lemah terhadap tekanan

13 Ibid. h.39-40

14 Djamhari, op.cit. h.57-58

15 Peter Carey, Asal Usul Perang Jawa, LKiS Yogyakarta 2001, h.20

(14)

14

pemerintah Hindia Belanda serta mengadopsi gaya hidup sekuler yang kebarat-baratan.

Masa muda Pangeran Diponegoro dijalaninya dengan berkelana dari masjid ke masjid dan berguru dari satu pesantren ke pesantren lainnya. Pengembaraannya di kalangan komunitas santri disertai pendalamannya atas sejarah Nabi Muhammad SAW telah mengubah sikap dan gagasan-gagasannya tentang masyarakatnya. Situasi dan kondisi masyarakat Jawa masa itu dipersepsikannya identik dengan masyarakat Arab jaman pra Islam yang disebutnya masyarakat jahiliyah. Sehingga ia merasa berkewajiban mengubah masyarakat jahiliyah menjadi masyarakat Islami yang berdasarkan tuntunan Rasulullah SAW. Untuk menyusun masyarakat baru dalam wadah balad (negara) agama (Islam) hanya dapat dicapai melalui perang Sabil

(jihad) terhadap kafir.16

Pendirian Pangeran Diponegoro semakin teguh dan secara simbolik untuk menegaskan idealisme sikapnya itu ia mulai menanggalkan pakaian Jawa dan menggantinya dengan pakaian sesuai kebiasaan Nabi Muhammad, jubah dan surban yang serba putih. “Saya bukan Diponegoro, saya adalah Ngabdul Khamid.” Nama Ngabdul Khamid, menurut Peter Carey mengadopsi nama Sultan Turki Abdul Hamid I (1774-1789) dan memberikan inspirasi dan motivasi yang kuat terhadap Diponegoro untuk meneladaninya.17

Penjajah Memasyarakatkan Candu

Sesuai dengan syarat-syarat perjanjian yang ditanda tangani Raffles dengan pihak istana, sebagai buah kesuksesan operasi militer Inggris terhadap keraton Yogyakarta adalah semua gerbang tol dan pasar-pasar di seluruh wilayah kasultanan diambil alih oleh pemerintahan Eropa Inggris. Pemerintahan Inggris kemudian langsung menyewakan seluruh aset yang diambil alih tersebut pada orang-orang Cina.

Hal itu membuka jalan bagi eksploitasi pajak-pemungut pajak tetap. Saat pemerintahan kolonial Belanda berhasil dipulihkan pada tahun 1816, Belanda menghadapi hutang-hutang raksasa dan pemasukan yang tidak memadai dari pengaturan penyewaan tanah yang dilimpahkan Raffles. Belanda kemudian memanfaatkan gerbang tol sebagai sumber pemasukan untuk menutupi kekurangan pajak pemerintah.

Meskipun pemerintahan Inggris di Jawa (1811-1816) tidak sempat menikmati naiknya keuntungan dari bandar-bandar tol tersebut, namun merupakan awal dari perluasan yang cepat perdagangan eceran candu. Hal itu akibat dari kemudahan dalam impor candu secara resmi dari Bengal, setelah dihapuskannya blokade angkatan laut Inggris atas perairan Indonesia pada bulan Agustus 1811 dan tekanan-tekanan keuangan atas pemerintahan Raffles.

16 Babad I, 1983, h.188, dalam: Djamhari, op.cit. h.55

17 Saleh As’ad Djamhari, Stelsel Benteng Dalam Pemberontakan Diponegoro 1827-1830; Suatu Kajian Sejarah Perang, Desertasi Program Pasca Sarjana bidang Ilmu Pengetahuan Budaya UI tahun 2002, h.55, lihat: Peter Carey, “$atria and Santri, Some Notes on the Relationship Between Diponegoro’s Keaton and Religious Supporters During the Java War (1825-30) dalam T. Ibrahim Alian, (eds) Dari Babad dan Hikayat sampai Sejarah Kritis, 1987, hal. 271

(15)

15

Orang-orang Cina menjadi pemain utama perdagangan candu sebagai Bandar candu dan pengecernya di wilayah Kesultanan. Data statistik menunjukkan penjualan candu resmi dan pemakaian candu di wilayah kasultanan Yogyakarta mengalami peningkatan pada tahun-tahun ini. Penjualan berlipat ganda antara tahun 1802 dan 1814, saat nilai borongan satu peti candu juga mengalami kenaikan dua kali lipat. Inilah yang kemudian menjadi sasaran kebencian rakyat pada Cina ketika keadaan ekonomi di Jawa mulai menurun tajam akibat kemarau dan gagal panen pada tahun 1821-1825.

Selama dekade berikutnya(1814-1824) pajak dari perdagangan candu di Yogya meningkat lima kali lipat. Dan pada tahun 1820 terdapat 372 tempat terpisah yang mendapat ijin resmi untuk menjual candu secara eceran di wilayah Sultan, sub-gerbang (rangkah) dan pasar-pasar di kesultanan.

Atas dasar pemakaian candu yang dikumpulkan pada akhir abad ke-19, seorang pejabat Belanda menyimpulkan bahwa sekitar 16% orang Jawa telah menjadi pemakai candu. Namun angka pemakaian candu akan jauh lebih tinggi kalau dihitung dari merebaknya pemakaian “candu orang miskin”, seperti rokok yang dicelupkan candu, kopi yang dibumbui candu dan buah pinang yang dibubuhi candu.

Pemakaian candu juga meluas di kalangan anggota-anggota perkumpulan pemikul barang (gladag) dan para buruh di Ibukota. Penyaluran lewat gerbang tol menyebabkan meluasnya penyebaran kebiasaan nyandu di kalangan penduduk pedesaan. Di pasar Klaten misalnya, di pagi hari tempat-tempat pengisapan candu begitu ramai dengan orang yang berpakaian usang, beberapa orang bahkan hampir tidak berpakaian dan yang lainnya hanya mengenakan kain lusuh.18

Perjudian dan candu merupakan monopoli pemerintah penjajah yang pengelolaannya diserahkan pada para bandar Cina. Perjudian dan candu tumbuh subur di daerah Yogyakarta dan Surakarta. Dan para bandar Cina yang memimpin rumah-rumah perjudian dan tempat-tempat penghisap candu yang terdapat di kedua wilayah tersebut. Usaha ini memberikan keuntungan yang sangat besar bagi para bandar.

Monopoli kedua bidang ini menjadi tempat pelarian di tengah kesulitan kesulitan hidup masyarakat, khususnya golongan buruh tani dan buruh panggul (batur/gladag) yang tidak memiliki sebidang tanahpun. Mereka telah dirusak dengan candu dan permainan judi, adu untung. Untuk mempertahankan hidup dengan upah yang sangat sedikit (10 sen/hari) mereka akan melakukan perampokan dan tindak kejahatan lainnya.

Ulah para bandar yang berbuat sewenang-wenang dan memetingkan keuntungan pribadinya saja menyebabkan kebencian masyarakat pada para bandar Cina. Serangan dan perampokan terhadap para penjaga gerbang tol meningkat secara teratur pada tahun-tahun menjelang meletusnya perang Diponegoro.19

18 Peter Carey, Orang Cina, Bandar Tol, Candu dan Perang Jawa, Perubahan persepsi tentang Cina 1755-1825, Komunitas Bambu Jakarta, 2008, h.71-74

(16)

16

Meningkatnya Tindak Kejahatan

Tekanan hidup yang semakin meningkat seiring tidak menentunya kondisi kehidupan di pedesaan Jawa berakibat menurunnya tingkat kemakmuran penduduk di Jawa. Keamanan di Pedesaan Jawa pun tidak terjamin dengan meningkatnya kejahatan yang dilakukan oleh para jawara dan jago di pedesaan jawa. Anggota jago dan jawara kebanyakan adalah buruh tani yang beralih profesi setelah meninggalkan desa mereka. Buruh tani beralih ke dunia kejahatan karena pertanian tidak menguntungkan bagi mereka.

Kekacauan keamanan di pedesaan jawa benar–benar merisaukan di negaragung

pada masa itu. Pengacau keamanan bergabung dan membentuk gerombolan– gerombolan garong yang menghantui desa. Mereka dipimpin oleh tokoh setempat yang disegani, dikenal sebagai jago atau ayam laga yang mempunyai kemampuan, kesaktian dan kebal terhadap senjata. Pada masa Perang Jawa banyak diantara mereka mendukung perlawanan yang gelorakan oleh Diponegoro. Mereka menjadi komandan tentara di wilayah masing – masing.20

Sejumlah desa yang letaknya strategis di sepanjang jalan raya, tempat penyeberangan sungai dan daerah perbatasan dimana banyak kesempatan untuk berbuat kejahatan dijadikan markas garong. Misalnya Desa Tempel di daerah Sleman yang dilewati jalan raya pos Yogya–Magelang menjadi lahan operasi garong. Mereka menjarah dan merebut barang-barang yang melewati markas mereka. Petani di desa jawa tengah selatan juga tidak luput dari aksi para garong, mereka seringkali merebut hasil pertanian penduduk dan meneror tanah pertanian.21

Inilah dunia dimana Pangeran Diponegoro dilahirkan, dunia yang penuh dengan kesenjangan sosial yang tinggi dan jurang kemiskinan yang mengancam rakyat. Inilah suatu masyarakat dimana sikep yang makmur bisa mengumpulkan harta kekayaan dan seorang buruh tani tidak mempunyai apa-apa kecuali pakaian rombeng yang menempel ditubuhnya.22 Tanah yang subur tidak mendatangkan kemakmuran bagi

penduduk yang sebagian besar adalah petani.

Kemakmuran hanya datang bagi mereka yang dekat dengan pejabat keraton dan pemerintah kolonial. Tidak mengherankan jika rakyat tidak suka terhadap pemimpin yang ada dan mereka mengharapkan adanya perubahan bagi kehidupan mereka. Nampaknya hal ini dipahami betul oleh Pangeran Diponegoro, yang muncul sebagai pembawa terang dan kemakmuran bagi penduduk di Jawa. Kelahirannya telah diramalkan oleh banyak orang dan kedatangannya diibaratkan Ratu Adil Jawa.

Hukum tidak dijalankan

Penggambaran mengenai keadaan negara yang kacau akibat hukum yang tidak ditegakkan sebagaimana mestinya di Yogyakarta terdapat dalam Babad Diponegoro berikut:

20 Peter Carey, Asal-usul…, op.cit. h.41

(17)

17

Adat lawas keh rusak/kang wong cilik bingung/ owah keblating negara/ keh pitenah kampak begal kecu maling/ ngambah sajroning praja.

tan lumampah hukuming surambi/ nora ajeg adiling Pradata/ rukun – rukun ilang kabeh / ikhtiyar kang lumaku/ myang wasesa rosa kang meksih

saru deksura nora / pinikir delarung /akeh wong pocot rineka/ ing bicara wong liya ingkang genteni / anak wijil wong kumpra.

Banyak adat lama yang ditiadakan begitu saja dan rakyat biasa mengalami kebingungan. Terjadi perubahan-perubahan arah yang ditempuh oleh negara (dan) timbullah banyak fitnah, bandit, penyamun, perampok dan pencuri dapat berkeliaran dengan leluasa di kerajaan.

Undang-undang surambi tidak dilaksanakan, demikian pula pengadilan

pradata dijalankan secara acak-acakan. Tata tertib undang-uandang sudah tidak dihiraukan sama sekali. Tindakan-tindakan sepihak merajalela dari mereka yang berkuasa bertindak keras, tidak sesuai dan tidak pada tempatnya. Banyak yang diberhentikan dari pekerjaan mereka melalui cara-cara tipu daya (lalu) di dalam majelis kerajaan orang-orang lain mengambil alih kedudukan mereka, orang-orang keturunan rakyat biasa.

Kutipan dari Babad Diponegoro di atas memberikan gambaran mengenai keadaan kehidupan bernegara dalam periode sebelum meletusnya Perang Jawa. Adat istiadat lama yang menjadi rusak, masyarakat kecil kebingungan karena perubahan – perubahan di dalam negara dan diiringi dengan muncul banyaknya bandit, perampok dan pencuri yang meresahkan masyarakat. Hukum dan undang-undang tidak dilaksanakan dengan baik dan adil.

Keadaan masyarkat yang demikian juga diikuti dengan pemimpin kerajaan yang bertindak keras dan tidak pantas. Secara umum, masyarakat hidup dalam keadaan yang tidak menguntungkan, kemiskinan dan kesengsaraan yang sangat memberatkan. Dari kehidupan yang seperti itu mulailah muncul harapan – harapan besar akan datangnya jaman baru, jaman yang akan membawa masyarakat ke dalam kehidupan yang lebih nyaman. Harapan-harapan masyarakat tersebut secara jelas tertuju pada sosok Pangeran Diponegoro yang dianggap sebagai ratu adil di Tanah Jawa.23

Sistem Pertanahan

Dalam sistem kerajaan Jawa sejak zaman Hindu-Budha, Raja merupakan pemilik bagi seluruh lahan di wilayah kekuasaannya. Namun hak tersebut ia limpahkan pada para pejabat dan anggota keluarganya supaya mereka dapat membiayai kebutuhan hidupnya sendiri, keluarganya, pembantu, pejabat bawahan dan pengikut mereka.

Luas tanah jabatan atau lungguh berbeda-beda, tergantung pada masa

pengabdian sang pejabat atau kedekatan hubungan dengan raja. Hak-hak atas tanah lungguh yang nyaris turun-temurun terkadang diberikan pada anggota keluarga

23 Peter Carey, Asal-usul…, op.cit. h.33-34 dan 58-59 lihat juga Peter Carey: Ekologi Kebudayaan Jawa dan Kitab Kedung Kebo, Jakarta: Pustaka Azet 1986, hlm. 60

(18)

18

dekat raja atau kepada pejabat setia yang punya hubungan keluarga dengan sultan karena pernikahan.

Hak-hak serupa juga diberikan pada keluarga keturunan tokoh agama terkemuka seperti keluarga pangeran Serang di Jawa Tengah Utara yang merupakan pendukung gigih pangeran Diponegoro selama Perang Jawa. Ia juga diyakini sebagai keturunan Sunan Kalijogo, salah satu wali songo yang berjasa menyebarkan Islam di Jawa. Namun hak atas tanah lungguh akan hilang bila seorang pejabat dipecat dari jabatannya.24

Pemungut dan Penerima Pajak

Pemegang hak atas tanah lungguh yang bermukim di ibu kota keraton menyerahkan penataan atas tanah mereka pada para pemungut pajak setempat (bekel) yang memungut pajak tanah (pajeg) dan aneka cukai lain atas nama mereka. Mereka berhak menerima seperlima jumlah pajak tanah dan juga sebagian pajak lain, termasuk pacumpleng, pajak bumi atas tanah tempat tinggal (rumah) dibangun.

Perselisihan mengenai jabatan pemungut pajak menjadi sebab paling sering terjadinya perang desa. Seorang pengelana Belanda menyebut perang desa sebagai peristiwa sehari-hari di bulan-bulan menjelang perang Jawa.

Bekel ini mempunyai atasan sebagai penghubung dengan penguasa/pemilik tanah jabatan yang disebut sebagai demang atau mantri desa. Setiap mantri desa

membawahi 10-30 an bekel, tergantung luas tanah jabatan. Sebagai imbalan demang

memperoleh seperlima dari pajak yang dikumpulkan.

Diantara demang tersebut banyak yang dari etnis Tionghoa. Sehingga terkadang sulit menyembunyikan prasangka anti Tionghoa. Seringkali petani penggarap

menjadi korban pemerasan para demang Tionghoa. Orang-orang Tionghoa

sering ditunjuk sebagai demang karena pejabat bersangkutan terjerat hutang atau menggadaikan tanahnya pada mereka. Pemungut pajak Tionghoa lebih disukai daripada orang Jawa karena: “ketrampilan, kehematan dan ketegaan memeras” membuat mereka sanggup menyerahkan pungutan pajak lebih banyak.25 Kebencian

terhadap etnis Tionghoa juga ditambah dengan peran mereka sebagai pemegang hak (yang diberikan oleh Belanda) dalam pengelolaan gerbang tol (cukai jalan dan jembatan) dan pemegang hak perdagangan candu di Jawa.

Ketika terjadi perang Jawa terdapat 78 demang yang berasal dari wilayah-wilayah pedesaan Mataram yang mendukung secara langsung perjuangan Diponegoro.

Mereka memobilisasi penduduk desa mereka untuk mendukung perang sabil

Diponegoro melawan melawan orang-orang kafir di Jawa. Mereka dipersenjatai dengan amat sederhana dengan bandul-bandul dan bambu runcing. Beberapa dari mereka dipilih untuk masuk menjadi pasukan khusus Diponegoro, seperti bulkio-bulkio, turkio-turkio arkio-arkio, nama yang terispirasi dari resimen-resimen Janissari Kekhalifahan Turki Utsmani.26

(19)

19

Kelompok Sosial dan Masyarakat Desa

Setiap desa di negaragung berdiri sendiri, yang masing-masing mempunyai pejabat dan ulama sendiri. Jumlah penduduk setiap desa antara 50 – 200 jiwa. Menurut Rafles, rata-rata desa Jawa di negaragung mencakup sekitar 12 keluarga yang masing-masing terdiri dari 4 atau 5 orang dewasa. Jumlah seluruh sawah yang berpengairan yang tersedia untuk setiap desa sekitar 7 jung. Jadi untuk setiap petani penggarap menggarap seperempat jung sawah atau satu hektar.

Menurut satu laporan surakarta tahun 1832, menyebut tiga golongan sosial utama di Jawa:

(1) sikep (pemakai tanah), yang memikul beban pajak dalam bentuk pembayaran pajak tanah (pajeg) yang dikenaka pada desa,

(20)

20

(3) wong numpang, orang asing yang belum kawin yang tinggal di pekarangan atau rumah sikep dan bertugas mengerjakan segala macam tugas untuk kepentingan sikep.27

Golongan ketiga inilah yang paling mendekati sosok lapisan buruh tani di Jawa saat itu. Golongan ngindung masih ada kesempatan untuk memperbaiki nasib lewat pernikahan dengan keluarga sikep. Berbeda dengan golongan ngindung, golongan

numpang mempunyai sangat sedikit kesempatan untuk menaikkan derajat sosialnya kecuali ia siap meninggalkan desa dan membuka sawah baru di daerah yang belum terjamah.

Sekalipun golongan numpang mempunyai kemauan keras dan betul-betul berhasil membuka sawah baru di suatu tanah terlantar, namun hak pemilikannya setelah tiga kali panen tidak terjamin karena bisa jadi akan diminta kembali oleh sultan, sebagaimana ditentukan dalam peraturan agraria Jawa. Golongan numpang

dan buruh tani juga enggan dan takut mencoba menjadi petani penggarap (sikep)

karena akan memikul tanggung jawab kerja rodi dan pajak yang berat.

Karena itu, seorang golongan numpang yang bebas dari kemiskinan turun-temurun dan penghambaan sebagai buruh tani pada keluarga sikep yang cukup berada, terkadang akan memilih meninggalkan desa untuk selamanya. Ada yang jadi pekerja sambilan sebagai kuli panggul di jalan-jalan niaga yang ramai, ada juga yang bergabung dengan kelompok gelandangan dan garong yang merajalela di daerah pedalaman Jawa. Ada juga yang mengabdi pada orang yang dekat dengan bangsawan berpengaruh yang memanfaatkan mereka untuk tindak kejahatan.28

Di Kedu saja, Crawfurd memperkirakan jumlah kuli panggul sebanyak 20 – 30.000 orang, hampir 10 % dari jumlah seluruh penduduk. Mereka tidak punya tempat tinggal yang menetap, menggelandang dan hidup berpindah-pindah. Mereka orang yang malas dan boros. Begitu menerima bayaran, mereka segera berbondong-bondong menghabiskannya dalam perjudian. Mereka tidak peduli dengan masa depan sehingga mereka nyaris telanjang. Dengan kebiasaan tersebut, mereka sering dituduh sebagai biang kerok segala macam kejahatan dan keonaran yang meluas di pedesaan Jawa.29

Sikep atau petani penggarap jumlahnya sedikit di masyarakat Jawa saat itu namun pengaruh yang besar. Aturan pertanahan saat itu tampaknya begitu menuntungkan golongan ini. Mereka memegang hak atas lahan yang ditanami oleh warga desa secara bersama-sama karena sebagai perintis (cikal-bakal) atau karena keturunan dari para perintis. Sikep bertanggung jawab atas pajak tanah dan pajak lain serta cukai desa tersebut terhadap penguasa tanah-jabatan (lungguh) melalui para pemungut pajak (bekel). Mereka juga berhak mengajukan calon kepala desa dan pejabat desa lainnya. Banyak pula diantara bekel berasal dari golongan sikep.

Lahan yang dikuasai oleh sikep terdiri dari dua macam: tanah pusaka atau warisan dan tanah yasa. Tanah pusaka merupakan bagian dari tanah ulayat desa yang boleh

27 S.Br.2a, ”staisieke beschrijving der Residenie Soerakarta” (Gambaran staisik tentang Karesidenan

Surakarta), 1832. dalam; Carey, Kuasa Ramalan..., op.cit. hal.33. 28 Carey, Kuasa Ramalan..., op.cit hal.33-36

29 Crawfurd, Report on Cadoe, 283; MvK 3054, Statistieke beschrijving der der residentie Kedoe, (Gambaran

staisik tentang Karesidenan Kedu) h.35. dalam: Carey, Kuasa Ramalan..., op.cit. hal.36

(21)

Craw-21

diwariskan, sikep hanya berhak atas hasilnya dan bukan hak milik. Sedangkan tanah yasa adalah lahan yang dibuka dan dikembangkan sendiri oleh sikep dengan tenaga dari ngindung dan numpang, tanah ini menjadi hak milik karena keberadaan tanah ini atas usahanya.

Saat itu, golongan sikep merupakan golongan yang kaya di desanya. Dalam laporan Belanda disebutkan pada tahun 1830 cukup banyak sikep yang menguasai lahan hingga 10 bau (sekitar 7 hektar) sawah berpengairan. Dari lahan seluas itu hanya seperlimanya saja yang merupakan tanah pusaka, sisannya merupakan tanah

yasa.

Golongan numpang dan kelompok tangungan lainnya atau rayat (anak buah atau pengikut) sangat penting bagi sikep: tenaga kerja tersebut sepenuhnya berada di bawah kekuasaannya dan dapat digunakan sesuka hati untuk mengolah lahan pertanian, menunaikan kewajiban rodi, dan memperluas penguasaan tanah terlantar di sekitar desa.30

Kondisi Sosial Ekonomi

Winter, seorang penerjemah karesidenan di Yogyakarta (1799-1806) dan Surakarta (1806-1820) menggambarkan keadaan dengan lebih rinci pola hidup masyarakat Jawa pada awal abad ke sembilan belas. Ia memaparkan bahwa makanan yang lazim bagi kelas menengah Jawa, adalah nasi dengan beberapa potong ikan asin dan sayuran. Makanan akan lebih mewah saat ada pesta, ketika ayam dan daging lain dihidangkan.

Orang Jawa pada umunya mempunyai gaya hidup yang lebih sederhana. Menurut Winter, 12 duit sehari cukup untuk seorang bujangan. Uang tersebut dipakai untuk: 3 duit untuk sirih dan tembakau, 3 duit untuk sayuran, garam dan tempe, dan 6 duit untuk nasi. Seorang petani yang punya anak dan istri dapat hidup dengan 25 duit (30 sen) sehari.

Gambaran hidup yang lebih sederhana digambarkan Winter terhadap para petani penggarap dan buruh harian di Jawa tengah bagian selatan. Seorang petani Jawa biasanya berangkat sebelum fajar menyingsing sekitar jam lima pagi. Makan pertamanya baru ia sentuh pada tengah hari, sedangkan makanan kedua baru dimakan menjelang magrib ketika hendak pulang ke rumah. Sebagian petani hanya makan sehari sekali. Hanya beras dan garam yang dipandang sebagai makanan pokok saat itu di Jawa tengah selatan.

Rumah dan gubuk petani Jawa sangat sederhana, yang disukai adalah rumah beratap limasan (omah limasan). Lampu minyak jarang sekali dinyalakan, mereka lebih mengandalkan api di tengah rumah yang dinyalakan untuk menghangatkan suhu di malam hari dan untuk mengusir nyamuk.

Ambisi rata-rata petani penggarap juga sederhana, yaitu agar bisa menabung secukupnya untuk membeli seekor kerbau yang memungkinkan untuk menggarap sendiri lahannya selama setengah hari. Kemudian ia merasa kaya dan lebih nikmat daripada orang yang paling kaya.

30 Carey, Kuasa Ramalan..., op.cit hal.38-39

Gambaran hidup

baru ia sentuh pada

(22)

se-22

Lukisan Petani Pulang dari Sawah di Jawa tahun 1800an (koleksi: www.kitlv.nl)

Keadaan para kuli Jawa atau kuli panggul di keraton lebih memprihatinkan. Winter menggambarkan bahwa mereka sering tidur di alam terbuka pada malam hari ketika sedang bekerja memikul barang di jalan raya, dan bahkan bila tidak ada pekerjaan, mereka hanya kembali ke gubug reyot. Tempat tidur mereka biasanya hanya tikar anyaman daun kelapa yang diletakan di atas lantai tanah. Sepasang pakaian seadanya yang terdiri dari tutup kepala, kemeja dan celana kolor yang merupakan kain berbahan kasar. Itu saja pakaian mereka, bila semua dicuci di sungai, mereka berbaring di bawah terik matahari sampai pakaian kering.

Kuli panggul Yokyakarta yang bekerja di jalan pos pekalongan hanya memperoleh upah 2 duit sehari ditambah beras sekati (1kati = 0,617 kg) dan sepersepuluh kati garam. Namun Winter menganggap, kuli panggul lebih berada daripada penghuni gunung yang miskin di daerah – daerah pedalaman yang berbukit dengan pakaian hanya sehelai cawat.

Pekerja pabrik gula milik orang Tionghoa di Ampel lebih sejahtera secara ekonomi, mereka dapat upah 15 duit sehari. Sementara kuli pemerintah di Semarang mendapat 25 duit (30 sen). Sedangkan pekerja yang bekerja di pabrik gula di Kedu

Kuli panggul

Yokyakarta yang

bekerja di jalan

pos pekalongan

hanya

peroleh upah

2 duit sehari

ditambah beras

sekai (1kai =

0,617 kg) dan

sepersepuluh

kai garam.

(23)

23

mendapat upah 25-30 sen, sedang di Bagelan 35 sen sehari. Menurut sumber yang lain, anggota gladag (barisan kuli panggul) di keraton dapat upah 10 sen, upah dinaikkan menjadi 40 sen ketika terjadi perang Jawa, namun turun lagi ketika perang selesai.

Saat terjadi paceklik dan gagal panen para penduduk umumnya beralih mengkonsumsi bahan pangan palawija. Palawija yang biasa dikonsumi seperti jagung, ketela dan umbi-umbian yang dikumpulkan dari hutan maupun tanah terlantar.31

Begitu melaratnya kehidupan rakyat mengakibatkan munculnya kecemburuan sosial. Kecemburuan yang diakibatkan adanya jarak antara pejabat dan rakyat, kondisi ini diperparah dengan pemerintah pribumi tidak memperhatikan keadaan mereka.

Begitu berat beban yang harus ditanggung rakyat pada kurun waktu abad kedelapan belas sampai akhir abad kesembilan belas. Tinggi pajeg yang ditetapkan oleh Keraton Yogyakarta atas tanah–tanah yang berada di wilayah keraton khususnya Jawa Tengah Selatan telah menimbulkan suatu kondisi yang benar–benar bertolak belakang dengan keadaan alam yang subur. Rakyat diharuskan membayar pajak yang tinggi sementara mereka tidak bisa menikmati sepenuhnya hasil panen dan kerja keras mereka. Kondisi ini diperparah lagi dengan digantinya kerja rodi dengan pajak uang. Sementara itu, kekacauan administrasi keraton juga berimbas kepada masyarakat yang sebagian besar adalah petani.32

Pajak yang semakin Mencekik

Kondisi masyarakat pada awal Perang Jawa tidak stabil karena semakin berat beban yang harus ditanggung oleh rakyat yang diakibatkan semakin meluasnya pengaruh Belanda pada kehidupan rakyat. Beban pajak tanah yang harus dibayarkan semakin memberatkan rakyat, sementara pejabat–pejabat pribumi sendiri hanya memperkaya diri dan menghamburkan kekayaan mereka dengan pergi ke tempat pelacuran dan menghisap candu. Kondisi seperti ini menimbulkan kesenjangan sosial antara rakyat dengan pejabat pemerintahan.

Sistem pajak di wilayah Yogyakarta masa itu sangat kompleks terdiri dari empat macam pajak yang dibebankan kepada rakyat. Pajak yang pertama adalah pajeg (dari kata jawa ajeg: tetap) yaitu pajak tetap atas hasil tanah yang biasanya diserahkan dalam bentuk bahan mentah, sering disebut ”pajak-tanah”. Selain pajeg yang nilainya paling besar, ada tiga pajak lain yang nilainya lebih kecil, yaitu: pacumpleng,

kerigaji dan aneka pajak tidak tetap.33

Pacumpleng (“pajak pintu” dari kata jawa cumpleng: bolongan atau lubang) merupakan pajak yang dibebankan kepada rumah tangga sikep, yaitu pajak bumi

31 ibid., hlm. 51-53 dari Winter, J.W. “Beknopte beschrijving van het hof Soerakarta in 1824”, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, 1902 hlm.48-49

32 Norbertus Gilang Pradipta Kuncoro, Peran Masyarakat Dekso Dalam Perang Jawa 1825 -1830, Skripsi Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta 2013. hal.34-35

(24)

24

atas tanah tempat tinggal dimana rumah dibangun di atasnya. Kerigaji (secara harfiah berarti “pertemuan atau kehadiran raja”, jadi “rodi kerajaan) merupakan pajak dalam bentuk kerja bakti untuk pemeliharaan jalan di wilayah kerajaan yang bisa diganti dengan uang yang bernilai tetap sebanyak satu ringgit Spanyol per jung. Sedangkan yang ke-tiga merupakan aneka pajak dan tugas kerja rodi tidak tetap yang dikenal dengan sejumlah nama seperti taker tedhak, wang bekti, gugur gunung dan

pagaweyan.34

Menurut sumber lain ada 13 macam pajak yang harus dibayarkan rakyat Surakarta dan Yogyakarta. Adapun tiga belas macam pajak dan tarikan lain adalah sebagai berikut:

1. Pajak atau sewa tanah, temasuk pajak umah yang ditarik oleh kepala desa.

2. Takker turun suatu tarikan yang seimbang dengan pajak, tujuannya adalah untuk mengumpulkan dana bagi memenuhi permintaan material atau tenaga kerja dari raja atau pemilik tanah, sehingga baik material maupun tenaga kerja tidak di ambil secara serentak dari desa.

3. Kirjaji (Kirgaji) atau penggergajin. Pajak ini ditarik sebanyak 24 ketip setiap jung tanah per tahun dan ditujukan separo untuk gaji para gunung atau kepala distrik dan sisanya digunakan oleh pemerintah untuk merawat jembatan-jembatan di jalan besar.

4. Pacunpleng (pacumplang) yaitu pajak sebesar satu gulden per jung tanah, untuk pembelian benang katun bagi raja

5. Uang bekti adalah uang yang diberikan oleh pejabat rendahan kepada atasannya sebagai tanda kesetiaan dan terima kasih atas jabatan yang diterimanya. Uang ini dikumpulkan atau ditarik dari rakyat setiap kali ada pergantian pejabat, banyaknya tidak ditentukan.

6. Pasumbang yaitu tarikan sebesar 30 sen per jung setiap kali ada pesta perkawinan di kraton.

7. Pajindralan, yaitu tarikan sebanyak 30 sen per jung untuk menutupi biaya jamuan kalau Gubernur jendral (Belanda) berkunjung ke kraton Surkarta atau Yogyakarta.

8. Peniti, yaitu tarikan sebanyak satu duit setiap orang, siapa saja gunanya untuk cacah jiwa.

9. Bijigar, yaitu tarikan untuk setiap ekor sapi atau kerbau yang dimiliki rakyat. Gunanya untuk menghitung banyaknya ternak yang bisa diserahkan pada pejabat.

10. Uborompo (Ubarampe) yaitu tarikan sebanyak 15 sampai 30 ketip setiap jung tanah. Uang ini digunakan untuk pembelian kue-kue dan makanan yang wajib dibawa oleh para kepala desa jika mereka harus datang mengahap ke Surakarta atau Yogyakarta.

11. Pakuning, yaitu pajak yang ditarik oleh kepala desa dalam bentuk padi dari orang luar desa yang menyewa sawah dalam desa tertentu.

(25)

25

12. Pairing, yaitu uang yang harus dibayar oleh para penyewa tanah dari luar desa yang ingin melanjutkn sewanya. Uang ini ditarik oleh kepala desa sebelum padi dituai sebanyak harga sewa setengah tahun

13. Pundutan, yaitu tarikan dari para kepala kepada rakyat kalau terjadi hal-hal luar biasa.35

Menut Djamhari, masyarakat Jawa saat itu dibebani dengan berbagai macam pajak atau pungutan (wajib) oleh para penguasanya. Ini dibuktikan dengan penelitian pada pasca perang. Pada masa pasca perang masih terdapat 34 jenis pajak yang dipungut dari rakyat yang rata-rata miskin. Beberapa pungutan pajak terlihat aneh dan tidak masuk akal antara lain pagendel, pajak untuk penggunaan gubuk di sawah, paniti, pajak untuk sawah, paletre, pajak kepada bupati, pajak make-up ronggeng, pakeplop, pajak untuk pertunjukan tari dan sebagainya.36

Kesemua pajak ini merupakan pajak yang dibebankan kepada rakyat di wilayah Keraton Yogyakarta. Ketika rakyat harus membayarkan pajak, biasanya mereka akan berjalan jauh dari daerah asal ke Keraton Yogyakarta. Sebagai contoh ketika Garebeg Maulud para pekerja dipekerjakan untuk memperbaiki istana dan benteng Belanda dan bangunan lain milik pemerintah jajahan.

Masa tinggal di ibu kota kerajaan tidak bisa ditentukan sehingga terkadang mereka terlambat untuk kembali ke daerah asal pada waktu panen padi sehingga berakibat buruk terhadap hasil pertanian. Perlu digaris bawahi, bahwa pajak tidak hanya diberikan kepada Kasultanan Yogyakarta namun juga kepada pemerintah Belanda.

Sebuah peristiwa akibat begitu beratnya beban pajak yang harus ditanggung rakyat yaitu pemberontakan Raden Ronggo Prawirodirjo III di Madiun pada November – Desember 1810 menggugah dukungan besar dari rakyat karena pemberontakan tersebut merupakan gerakan daerah yang secara bersama ditujukan baik kepada Pakubuwono IV maupun Belanda.37 Daerah yang berada di Wilayah Timur atau

mancanegara mempunyai beban pajak yang lebih berat dibandingkan dengan pajak di wilayah negaragung. Hal ini terjadi karena para bupati dan bawahan mereka bertempat tinggal di daerah kekuasaan masing-masing sedangkan para penguasa tanah jabatan di wilayah negaragung bertempat tinggal di ibu kota kerajaan. Karena hal inilah, mengapa beban pajak rakyat di wilayah negaragung tidak begitu berat dibandingkan rakyat yang berada di wilayah mancanegara.

Pada bulan Januari 1822 beras mencapai harga tertinggi yang belum pernah terjadi sebelumnya, yaitu sebesar 5,50 gulden per pikul (61,761 kg). Hal itu memicu terjadinya pemberontakan setempat yang dipimpin oleh Pangeran Diposono, kakek-paman Diponegoro. Pemberontakan ditujukan pada pejabat-pejabat Belanda serta

(26)

26

orang-orang Cina yang menjadi penjaga gerbang-gerbang tol. Pemberontakan juga merembet sampai di Bagelan.

Pemberontakan ini dapat dengan mudah dipatahkan oleh pasukan Nahuys. Namun pemberontakan ini dapat dikatakan sebagai pendahuluan sebelum terjadinya pemberontakan petani yang lebih besar yang terjadi di daerah sebelah selatan Kedu pada bulan Juli 1825 yang bersamaan dengan perlawanan yang dilakukan oleh Diponegoro di Yogyakarta.

Pajak dan Sewa Tanah Era Raffles

Masa Raffles akan selalu diingat dengan “sistem sewa lahan” yang diperkenalkan pada tahun 1813. Secara yuridis, sistem landrent didasarkan pada asumsi bahwa tanah itu milik pemerintah dan bahwa petani Jawa hanyalah sebagai penyewa atau pengguna dan oleh karena itu dapat diminta untuk membayar pajak atau uang sewa.38

Sistem pajak tanah (landrent/landrente) yang diperkenalkan oleh Raffles saat ia berkuasa di Hindia Belanda sebagai salah satu realisasi dari kebijakan liberal yang diperkenalkan olehnya. Pengertian sistem pajak tanah yang dilancarkan Raffles, merupakan bagian integralnya dari gagasan sistem sewa tanah (landelijk stelsel) di tanah jajahan. Gagasannya itu timbul dari upayanya untuk memperbaiki sistem kerja rodi VOC yang dianggap memberatkan dan merugikan penduduk. Menurut Raffles penyerahan wajib dan kerja paksa (rodi), akan memberikan peluang tindakan penindasan dan tidak akan mendorong semangat kerja penduduk. Maka dari itu, Raffles menghendaki perubahan sistem penyerahan paksa dengan sistem pemungutan pajak tanah yang dianggap akan menguntungkan kedua belah pihak baik negara maupun penduduk.

Pengaturan pajak tanah menghadapkan Raffles pada pemilihan antara penetapan pajak secara per desa dan secara per seorangan. Sebelumnya pengumpulan hasil tanaman, terutama dari sawah yaitu beras, dilakukan melalui sistem penyerahan wajib melalui penguasa pribumi, dan dikenakan secara kesatuan desa. Dalam hal ini para Bupati dan Kepala Desa memiliki kekuasaan untuk mengaturnya. Penetapan pajak per Desa akan mengakibatkan ketergantungan penduduk kepada kemurahan para penguasa Pribumi dan penindasan terhadap rakyat tidak dapat terhindarkan. Maka dari itu Raffles kemudian memilih penetapan pajak perseorangan yang dianggapnya lebih menentukan kepastian hukum dalam bidang perpajakan.39

Raffles merumuskan tiga azas perubahan dalam penggunaan sumber daya tanah, tenaga, dan ikatan birokrasi tradisional yang mendasarinya. Pertama, menghapuskan segala bentuk penyerahan wajib dan rodi, dan memberikan kebebasan penuh kepada rakyat untuk menentukan jenis tanaman yang hendak ditanam dan diperdagangkan tanpa unsur paksaan.

Kedua, pengawasan atas tanah secara pusat dan langsung, serta penarikan pendapatan dan pungutan sewaannya dilakukan oleh pemerintah tanpa perantara

38 Klaberen, The Dutch Colonial System in East Indies, Springer, ISBN 978-94-017-6742-2, is available at htp://extras.springer.com, h.89

(27)

27

bupati, bupati dibebaskan dari ikatan tradisional yang dijadikan pegawai pemerintah kolonial yang harus mengerjakan fungsifungsi birokrasi yang sesuai dengan azas pemerintahan Barat.

Ketiga, didasarkan anggapan bahwa pemerintah kolonial adalah pemilik tanah, karena dianggap sebagai pengganti raja-raja Pribumi, maka para petani yang menggarap tanah dianggap sebagai penyewa tanah (tenant) milik pemerintah penjajah.

Maka dari itu, para petani harus membayar sewa tanah (landrent). Pemerintah juga menyewakan tanah yang diawasi pemerintah secara langsung, dalam persil-persil besar atau kecil menurut kondisi setempat, berdasarkan kontrak untuk waktu terbatas.40

Dalam gagasannya untuk melaksanakan sistem sewa tanah, Raffles diilihami oleh keberhasilannya selama memerintah di India, khususnya tentang stelsel tanah, dan keinginan untuk menumbuhkan perdagangan bebas, sistem tanaman bebas, dan menghapuskan kontigenten dan rodi. Kebijakan sewa tanah yang dicetuskan Raffles berlaku di 18 Karesidenan. Dalam melaksanakan kebijakan sewa tanahnya Raffles mengklasifikasikan tanah kedalam tiga golongan atau kelas menurut keadaannya yaitu untuk pajak sawah (subur) ½ dari hasil panen, sawah (setengah subur) ⅖ dari hasil panen, dan sawah (tandus) ⅓ dari hasil panen. Sedangkan, untuk tegal (subur)

⅖ dari hasil panen, tegal (setengah subur) ⅓ dari hasil panen, dan tegal (tandus) ¼ dari hasil panen.41

Pada masa itu tidak ada data yang dapat dipercaya yang tersedia sehubungan dengan luas lahan masing-masing, belum lagi perbedaan dalam produktivitas dan semua faktor ekonomi lainnya yang seharusnya dipertimbangkan saat menilai pajak. Dengan demikian besaran pajak yang dikenakan atas lahan hanya hasil perkiraan saja.42 Dengan kondisi demikian kebijakan pajak dan sewa lahan raffles ini dinilai

gagal dan lebih menyengsarakan rakyat. Karena prakteknya jumlah pajak yang harus dibayarkan seringkali lebih tinggi daripada aturan pajak sebelumnya, tergantung negosiasi dan kebaikan kepala desa. Pejabat daerah seringkali juga masih menuntut pelayanan dari pembayar pajak berupa tenaga, maupun barang.

Pajak dan ‘Pemerasan’ di Gerbang Tol

Pengurusan gerbang tol oleh orang Eropa yang terjadi setelah tahun 1812 telah menambah keresahan dan penderitaan rakyat di pedesaan. Antara tahun 1812 dan 1814, pendapatan tahunan yang diterima pemerintah penjajah Eropa dari gerbang tol di daerah Yogyakarta meningkat lebih dari 700%. Jumlah itu lebih dari lima kali lipat dibanding pendapatan seluruh pajak tetap yang diterima Sultan pada tahun 1811.

40 Prajudi Atmosudirdjo, Sejarah Ekonomi Indonesia Dari Segi Sosiologi Sampai Akhir Abad Ke XIX, Pradnya Paramita Jakarta, 1984, h.43

41 Sartono Kartodirdjo & Djoko Suryo, Sejarah Perkebunan Di Indonesia : Kajian Sosial-Ekonomi, Aditya Media Yogyakarta, 1991, h.44, juga: Boomgard, Peter, Anak Jajahan Belanda: Sejarah Sosial Ekonomi Jawa 1795-1880. Jakarta:KITLV & Djambatan2004.

42 Dr. A. D. A. De Kat Angelino, Colonial Policy Volume II The Dutch East Indies, Hangchow Conference,

October 21 To November 4. 1931, The Hague Marinus Nijhof, 1931, h.623

Pengurusan

bang tol di daerah

(28)

28

Bagian terbesar pendapatan itu merupakan hasil dari penarikan sewa-sewa yang lebih besar yang dilakukan oleh pemerintah penjajah Eropa terhadap orang-orang Cina yang mengelola gerbang tol. Kenaikan itu oleh orang-orang Cina dibebankan pada rakyat yang melewati gerbang tol yang dengan terpaksa harus membayar kenaikan tersebut.

Terkadang gerbang tol tersebut disewakan kembali berulang-ulang, sampai tiga atau empat kali. Setiap bandar Cina mengambil keuntungan untuk dirinya setiap kali menyewakan. Akibatnya terdapat demikian banyak gerbang tol. Sehingga betapa pun dekat jarak yang ditempuh seorang petani Jawa, dalam perjalanan menuju pasar, ia harus melewati sebuah gerbang tol.

Ketentuan dari pemerintah tahun 1823 yang mengharuskan penulisan tarif dari masing-masing gerbang tol agar terlihat oleh semua orang ternyata tidak efektif. Bea-bea yang dikenakan oleh penjaga gerbang kadang-kadang melebihi barang yang dibawa oleh petani, terutama kalau dagangannya berupa sayuran dan buah-buahan.

Kerap kali para petani harus berpisah dari barang-barang yang dibawanya untuk dapat membayar pajak di gerbang tol, ia harus menunggu begitu lama sebelum barang-barangnya diperiksa. Jika selama ia menunggu, kerbau pengangkut miliknya makan rumput di lahan pemilik gerbang tol, maka petani tersebut harus membayar denda. Bila tidak maampu membayar denda, kerbaunya akan disita. Sehingga pada masa panen, petani harus menyerahkan sebagian besar hasil panennya untuk menyewa hewan-hewan miliknya sendiri dari para bandar setempat.

Perlakuan serupa juga menimpa para bupati yang harus mengadakan perjalanan dari daerah asalnya ke ibu kota kerajaan untuk menyerahkan pajak dua kali setahun, pada saat mulud dan pasa. Seringkali tubuh mereka digeledah dengan kasar untuk mencari barang-barang berharga yang dibawa (permata misalnya), ketika bupati tersebut melewati gerbang tol. Bahkan kadang-kadang mereka terpaksa menggunakan pajak yang ia bawa dari daerah mereka untuk membayar sekian banyak bea-bea yang dikenakan para bandar tol.

Sedangkan di kota-kota, para pandai emas, perajin perak, serta pengolah tembaga juga diharuskan membayar membayar uang pajak perlindungan setiap tahun pada orang Cina. Bahkan gamelanpun dikenakan pajak. Mata uang logam yang terbuat dari tembaga juga terkena pajak yang tinggi. Pajak yang tinggi juga dikenakan pada komiditas garam yang didatangkan dari daerah pantai utara.

Ketika sesorang tidak mau atau tidak mampu membayar pajak yang diminta, mereka akan ditangkap secara sepihak oleh bandar-bandar Cina tersebut. Banyak dari bandar Cina yang mempunyai rumah tahanan (penjara) sendiri.43

(29)

29

Spirit perlawanan Diponegoro

Dalam korespondensi selama berlangsungnya Perang Jawa (1825-1830), Diponegoro yang saat bergelar Sultan Ngabdul Kamid Erucokro Kabirul Mukmin Sayidin Panatagamaning Jawa Kalifat Rasulullah berulang-ulang mengemukakan tujuannya mendirikan sebuah balad (negara) agama (Islam) di Jawa (mangun luhuripun agami Islam ing Tanah Jawi). Orang-orang Belanda yang sezaman dengan Diponegoro tentu mengakui daya tarik yang begitu kuat dari agama dalam perang Jawa. Upaya perang sejak awal mengambil semua aspek perang suci (perang sabil/ Jihad) melawan Belanda dan orang-orang Jawa yang menjadi sekutu mereka.44

Alasan dan tujuan jihad Pangeran Diponegoro dapat dilihat dari pernyataan-pernyataannya selama perang panjang melawan orang-orang kafir. Jihad yang dilakukan oleh Diponegoro bertujuan untuk menegakkan agama Islam di Jawa. Hal ini terlihat dalam surat balasan yang ditulis oleh Diponegoro kepada Jenderal de Kock yang menanyakan maksud dan tujuan Diponegoro:

“Dhateng ingkang saudara/ Jenderal de Kock ri sampunnya/ Tabe kawula punika/ Dene Jengandika tanya/ Menggah Karsane ki Harya/ Estu yen darbe karsa/ Rumiyin lan sapunika/ Nging luhuring kang agama/ Ing Tanah Jawi sadaya/Kalamun estu andika/ Tan makewedi punika/ Mring agamane akar ya/ Islame ing Tanah Jawa/ Pan inggih purun ki Harya/ Dhame lawan Jengandika/ Nanging Anedha pratandha.45

Kepada Saudara/ Jenderal de Kock/ Saya mohon maaf/ Jika anda bertanya/

Apa keinginan Aryo (Diponegoro)/ Sungguh bila punya keinginan/ Hanya untuk meninggikan agama/ Di seluruh tanah Jawa/ Jika anda benar-benar//

Tidak membuat kesulitan/ Kepada agama/ Islam di tanah Jawa/ Maka Aryo bersedia/ Berdamai dengan anda/ Tetapi, meminta bukti

Tujuan menegakkan agama Islam juga dapat dilihat dari surat Diponegoro yang ditujukan kepada penduduk Kedu, yang ditulis dalam bahasa Jawa, terjemahannya antara lain berbunyi:

“Surat ini datangnya dari saya Kanjeng Gusti Pangeran Diponegoro bersama dengan Pangeran Mangkubumi di Yogyakarta Adiningrat kepada sekalian sahabat di Kedu, menyatakan bahwa sekarang kami sudah minta tanah Kedu. Hal ini harus diketahui oleh semua orang baik laki-laki maupun perempuan, besar atau kecil tidak usah kami sebutkan satu demi satu. Adapun orang yang kami suruh bernama Kasan Basari. Jikalau sudah menurut surat undangan kami ini, segeralah sediakan senjata, rebutlah negeri dan ‘betulkan agama Rasul’. Jikalau ada yang berani tidak mau percaya akan bunyi surat saya ini, maka dia akan kami penggal lehernya...” Kamis tanggal 5 bulan Kaji tahun Be (31 Juli 1825).46

44 P.B.R. Carey (penyuning dan penerjemah) Babad Dipanegara, An account of the Outbreak of the Java War (1825-1830), kuala Lumpur: Art Printers Sdn Bhd. 1981. hal. XLVI; dan surat dari Ali Basah Pengalasan

kepada kolonel J.B. Cleerens, 15 Jumadilakir 1757 TJ (12/13 Desember 1829) pada Buku Kedhung Kebo di

volume II seri Perang Jawa, dari; Peter Cary, Asal Usul Perang Jawa, op.cit. hal.xxii 45 Ambarisi dan lasman marduwiyota, babad diponegoro i, hal.251

46 Abdul Qadir Djaelani, Perang Sabil Versus Perang Salib: Ummat Islam Melawan Penjajah Kristen Portugis Dan Belanda, Yayasan Pengkajian Islam Madinah Al-Munawwarah, Jakarta, 1999. hal.12

Referensi

Dokumen terkait

Dalam sub bab ini akan dijelaskan bentuk perlindungan hukum yang didapatkan oleh korban pengendara kendaraan bermotor yang mengalami tindak pidana pencurian

Pembuatan kristal CuSO4.5H2O dapat dilakukan dengan mereaksikan logam tembaga dengan asam sulfat pekat dan asam nitrat pekat serta dengan air, proses pembuatan CuSO 4 .5H 2 O

Tujuan kegiatan pengabdian ini adalah meningkatkan kemampuan peternak dalam pembuatan konsentrat itik secara mandiri sehingga tidak tergantung terhadap konsentrat

Melalui kajian data potensial elektroda standart siswa secara mandiri dapat menentukan unsur yang berperan sebagai anoda pada sel elektrolisis dengan benar – c3 3.8.4.2..

Medium tanam yang digunakan dalam pembibitan merupakan campuran kompos dan sekam dengan perbandingan 1:1. Benih tomat disemai dan setelah berumur 3 minggu bibit tomat dipindahkan

³Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan nama ³Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan nama

Pemilihan strategi dikembangkan dari empat strategi tersebut dan strategi terpilih dijabarkan kembali ke dalam bentuk rencana tindakan (action plan) berupa program dan

Dalam pembentukan desa setulang menjadi desa wisata, ada yang menjadi faktor pendukung adalah adanya dukungan dari Masyarakat desa setulang yang mendukung pembentukan desa wisata,