B. WASIAT WAJIBAH
1. Wasiat wajibah menurut Kompilasi hukum Islam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) menetapkan bahwa antara anak angkat dan orang tua angkat terbina hubungan saling berwasiat. Dalam Pasal 209 ayat (1) dan ayat (2) berbunyi : (1) Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai dengan 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat wajibah diberi wasiat wajibah sebanyakbanyaknya 1/3 dari harta warisan anak angkatnya. (2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya. Menurut pasal tersebut di atas, bahwa harta warisan seorang anak angkat atau orang tua angkat harus dibagi sesuai dengan aturannya yaitu dibagikan kepada orang-orang yang mempunyai pertalian darah (kaum kerabat) yang menjadi ahli warisnya. Berdasarkan aturan ini orang tua anak atau anak angkat tidak akan memperoleh hak kewarisan, karena dia bukan ahli waris. Dalam Kompilasi Hukum Islam orang tua angkat secara serta marta dianggap telah meninggalkan wasiat (dan karena itu diberi nama wasiat wajibah) maksimal sebanyak 1/3 dari harta yang ditinggalkan untuk anak angkatnya, atau sebaliknya anak angkat untuk orang tua angkatnya, dimana harta tersebut dalam sistem pembagiannya bahwa sebelum dilaksanakan pembagian warisan kepada para ahli warisnya, maka wasiat wajibah harus ditunaikan terlebih dahulu. Peraturan ini dianggap baru apabila dikaitkan dengan aturan di dalam fiqh bahkan perundang-undangan kewarisan yang berlaku diberbagai dunia Islam kontemporer.
wasiat wajibah karena hubungan pengangkatan anak dimasukkan ke dalam Kompilasi Hukum Islam yang merupakan dasar hukum bagi masyarakat Islam di Indonesia.
2. WASIAT WAJIBAH MENURUT HUKUM ISLAM
Sebelum agama Islam datang, tradisi pengangkatan anak ini telah membudaya pada zaman jahiliyah misalnya pada jahiliyah telah ditemukan praktek-praktek pengangkatan anak dan hal tersebut sudah merupakan kebiasaan bagi bangsa arab. Dengan demikian sebelum Islam datang telah banyak ditemukan contoh-contoh orang yang berstatus sebagai anak angkat dan orang tua angkat. Setelah Agama Islam datang dan berkembang tradisi pengangkatan anak ini masih tetap dapat diterima akan tetapi dengan perubahan status dan keberadaannya sebagai berikut :
1) Status nasab anak angkat tidak dihubungkan kepada orang tua angkatnya, akan tetapi tetap dinasabkan kepada orang tua kandungnya.
2) Status pengangkatan anak tidak menciptakan adanya hubungan hukum perwarisan antara anak angkat dengan orang tua angkatnya, demikian juga dengan keluarga mereka.
Adapun dalil pokok tentang kewajiban berwasiat terdapat dalam surat All Baqarah ayat 180 yang artinya : “ Diwajibkan atas kamu apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapa dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang yang bertaqwa ” .
Menurut hukum waris Islam, ada tiga hal yang menyebabkan seseorang itu mendapat warisan, yaitu : hubungan darah, pernikahan dan wala (budak yang dimerdekakan). Di luar tiga sebab di atas tidak termasuk dalam hak kewarisan, oleh karena itu anak angkat bukan sebagai ahli waris dari orang tua angkatnya.
Dalam kenyataan dan praktek-praktek sehari-hari, tidak dapat disangkal bahwa hubungan anak angkat dengan orang tua angkatnya erat sekali baik dalam suasana suka maupun duka, sehingga secara sadar orang tua pada umumnya selalau memberikan hibah atau wasiat kepada anak angkat sebelum orang tua angkat meninggal dunia.
Sehubungan dengan perbedaan agama, apa yang disepakati para ulama tersebut hanya sebatas ahli waris non muslim, baik sejak awal tidak beragama Islam atau keluar dari agama Islam (murtad), tidak dapat mewarisi pewaris muslim.
Kesepakatan para ulama tersebut didasarkan pada Hadits Nabi, Saw, yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Usamah bin Zaid, yang artinya : “Tidak mewarisi seorang muslim terhadap orang non muslim, demikian juga tidak mewarisi orang non muslim terhadap orang muslim”.
Adapun terhadap orang yang murtad, menurut Imam Abu Hanifah bahwa harta peninggalan yang diperolehnya sewaktu ia muslim diwarisi oleh ahli warisnya yang muslim dan harta peninggalan yang diperoleh setelah murtad dikuasai oleh Baitulmal. Sedangkan menurut jumhur ulama (Malikiyah, Syifi’iyah dan Hambalillah) orang murtad tidak mewarisi dan tidak diwarisi, sebagaimana layaknya orang non muslim lainnya, dan harta peninggalannya dikuasai oleh Baitulmal, baik yang diperolehnya sewaktu muslim maupun setelah murtad.
C. KETENTUAN UMUM TENTANG PERWAKAFAN
1) Pengertian, Unsur-unsur, dan Macam-macam Wakaf
Menurut pengertian bahasa, kata wakaf diambil dari bahasa Arab, kata benda abstrak (maşdar) فقو atau kata kerja (fi`il) فقي فقو - yang dapat berfungsi sebagai kata kerja intransitif (fi`il lâzim) atau transitif (fi`il muta`âdi) yang berarti menahan, mewakafkan, harta yang diwakafkan, harta wakaf. Dan kata wakaf ini dalam bahasa Arab memiliki makna yang sama dengan beberapa kata di antaranya: ( – ةقدص – سبحا سبح -
- – –
لبس لبسي ليبس ميرحت ). Sedangkan menurut istilah ada beberapa definisi wakaf, di antaranya:
a) EJ. Bill Leiden dalam The Shorter Encyclopaedia of Islam sebagaimana dikutip oleh Muhamad Daud Ali menyatakan bahwa wakaf adalah to protect a thing, to provent it from becoming the property of a third person (memelihara suatu barang atau benda dengan jalan menahannya agar tidak menjadi milik pihak ketiga).
b) Dalam kompilasi Hukum Islam pada pasal 215 ayat (1) dijelaskan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.
دوجوم حابم فرصم ىلع هتبقر يف فرصتلا عظقب هنيع ءاقب عم هب عافتنلا نكمي لام سبح "Penahanan (pencegahan) harta yang mungkin dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya dengan cara tidak melakukan tindakan pada bendanya disalurkan kepada yang mubah (tidak terlarang) dan ada"
d) Majelis Ulama Indonesia (MUI) memperkenalkan definisi baru tentang wakaf, yaitu: Menahan harta (baik berupa asset tetap maupun asset lancar-pen.) yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya atau pokoknya, dengan cara tidak melakukan tindakan hukum terhadap benda tersebut (menjual, memberikan, atau mewariskannya), untuk disalurkan (hasilnya) pada sesuatu yang mubah (tidak haram) yang ada.
Dari definisi-definisi di atas dapat dikemukakan karakteristik wakaf, yaitu: adanya penahanan (pencegahan) dari menjadi milik dan obyek pemilikan, yang diwakafkan berupa harta, dapat dimanfaatkan (mengandung manfaat), tidak boleh dijual, dihibahkan, dan diwariskan, dan disalurkan kepada hal-hal yang tidak dilarang oleh ajaran Islam. Penyelenggaraan wakaf harus memenuhi empat unsur, yaitu:
a) Wâkif, yakni pihak yang menyerahkan wakaf; b) Mauqûf 'alaih, yakni pihak yang diserahi wakaf;
c) Mauqûf Bih, yakni benda atau manfaat benda yang diwakafkan; d) Şigat atau iqrâr, yakni pernyataan penyerahan wakaf dari pihak wakif.
Wakaf itu adakalanya untuk anak cucu atau kaum kerabat dan kemudian sesudah mereka itu untuk orang-orang fakir miskin. Wakaf yang demikian dinamakan wakaf ahli atau wakaf żurri (wakaf keluarga). Bila wakaf tersebut diperuntukkan bagi kebajikan semata-mata, maka wakaf seperti ini disebut wakaf ħairi.
2) Pandangan Fuqaha tentang Wakaf a) Abu Hanifah
wakaf itu diputuskan oleh hakim, dan (3) apabila benda wakaf itu dihubungkan dengan kematian si wakif yaitu wakaf wasiat.
Mengenai akad wakaf dinyatakan oleh semua mazhab sebagai 'aqad tabarru', yaitu transaksi sepihak yang sah sebagai suatu akad yang tidak memerlukan qâbul dari pihak penerima dan dicukupkan atas ijâb si wakif.
b) Imam Malik
Menurut teori Imam Malik, wakaf itu mengikat dalam arti lâzim, tidak mesti dilembagakan secara abadi dalam arti mu'abbad dan boleh saja diwakafkan untuk tenggang waktu tertentu (mu'aqqat). Namun demikian, wakaf itu tidak boleh ditarik di tengah perjalanan. Dengan kata lain, si wakif tidak boleh menarik ikrar wakafnya sebelum habis tenggang waktu yang telah ditetapkannya. Harta atau benda yang diwakafkan adalah benda yang mempunyai nilai ekonomis dan tahan lama. Harta itu berstatus milik si wakif, akan tetapi si wakif tidak mempunyai hak untuk menggunakan harta tersebut (taşarruf) selama masa wakafnya belim habis. Jika dalam şigat atau ikrar wakaf itu tidak menyatakan dengan tegas tenggang waktu perwakafan yang ia kehendaki, maka dapat diartikan bahwa ia bermaksud mewakafkan hartanya itu untuk selamanya (mu'abbad). Landasan hukum yang dijadikan rujukan Imam Malik adalah hadis Ibn 'Umar yang berbunyi: …Umar mempunyai tanah di Khaibar, kemudian ia datang kepada Rasulullah Saw. meminta untuk mengolahnya seraya berkata: "Wahai Rasulullah, aku memiliki sebidang tanah di Khaibar, tetapi aku belum mengambil manfaatnya, bagaimana aku harus berbuat?" Nabi bersabda: "Jika Kau menginginkannya, tahanlah itu dan shadaqahkan hasilnya. Tanah tersebut tidak boleh dijual atau diperjualbelikan, dihibahkan, atau diwariskan. Ibn 'Umar menshadaqahkannya (mewakafkan tanah Khaibar itu) kepada fakir miskin, karib kerabat, budak (riqab) dan ibn sabil. Tidaklah berdosa bagi orang yang mengurus harta wakaf itu untuk menggunakannya sekedar keperluannya tanpa maksud memiliki harta itu (mutamawwil). Sedang dalam riwayat lain digunakan lafaz gair mutaaśśil, yakni tanpa tujuan untuk menguasai harta wakaf itu.
c) Imam al-Syafi'i
ketika ia masih hidup dan (2) pemberian yang diserahkan ketika si pemberi telah wafat. Menurut pendapat al-Syafi'i, Status hukum wakaf dan al-'itq (pembebasan hamba sahaya) adalah sama berdasarkan qiyâs. Keduanya dianggap memiliki kesamaan 'illat, yaitu kemerdekaan dalam al-'itq sama dengan mengeluarkan harta milik dalam perwakafan. Al-Syafi'i berpegang kepada persamaan antara kedua status hukum institusi tersebut dari segi adanya bentuk penyerahan benda atau harta itu kepada Allah sehingga si harta itu menjadi milik Allah. Oleh karena itu, dalam kedua kasus hukum tersebut terdapat persamaan, yaitu pelepasan milik si wakif sehingga menjadi milik Allah.
a. UU No. 5 Tahun 1960.
Dalam Undang-undang Pokok Agraria, masalah wakaf dapat diketahui pada pasal 5, pasal 14 ayat (1), dan pasal 49 yang memuat rumusan-rumusan sebagai berikut:
Pasal 5 UUPA menyatakan bahwa Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara … segala sesuatu dengan mengindahkan unsur yang berstandar pada hukum agama. Dalam rumusan pasal ini, jelaslah bahwa hukum adatlah yang menjadi dasar hukum agraria Indonesia, yaitu hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan RI yang di sana-sini mengandung unsur agama yang telah diresipir dalam lembaga hukum adat khususnya lembaga wakaf.
Pasal 14 ayat (1) menyatakan bahwa pemerintah dalam rangka sosialisme Indonesia, membuat suatu rencana umum mengenai peruntukan dan penggunaan bumi, air, dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk keperluan Negara, untuk keperluan peribadatan, dan keperluan-keperluan suci lainnya, sesuai dengan Ketuhanan Yang Maha Esa dan seterusnya. Dalam rumusan UUPA pasal 14 ini terkandung perintah kepada pemerintah Pusat dan Daerah untuk membuat skala prioritas penyediaan peruntukan, dan penggunaan bumi, air, dan ruang angkasa dalam bentuk peraturan yang dibuat oleh pemerintah Pusat maupun Daerah termasuk pengaturan tentang penggunaan tanah untuk keperluan peribadatan dan kepentingan suci lainnya.
pula akan memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan dan usahanya dalam bidang keagamaan dan sosial. (2) Untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya sebagai dimaksud pasal 14 dapat diberikan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dengan hak pakai. (3) Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur oleh Peraturan Pemerintah. Pasal-pasal ini memberikan ketegasan bahwa soal-soal yang bersangkut-paut dengan dengan peribadatan dan keperluan suci lainnya dalam hukum agraria akan mendapatkan perhatian sebagaimana mestinya. Terkait dengan rumusan tersebut, Pemerintah RI telah mengeluarkan peraturan tentang perwakafan tanah hak milik yaitu PP. No. 28 Tahun 1977.
b. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 terdiri atas tujuh bab delapan belas pasal yang meliputi pengertian, syarat-syarat, fungsi, tata cara, dan pendaftararan wakaf, ketersediaan tenaga yang menangani pendaftaran wakaf, perubahan, penyelesaian perselisihan dan pengawasan wakaf, ketentuan pidana, serta ketentuan peralihan.
Menindaklanjuti PP Nomor 28 Tahun 1977 telah dikeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1977 yang mengatur tentang tatacara pendaftaran perwakafan tanah hak milik yang memuat antara lain persyaratan tanah yang diwakafkan, pejabat pembuat akta ikrar wakaf, proses pendaftaran, biaya pendaftaran, dan ketentuan peralihan. Selanjutnya Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 memerinci lebih lanjut tentang tata cara perwakafan tanah milik, antara lain tentang ikrar wakaf dan aktanya, pejabat pembuat akta ikrar wakaf, hak dan kewajiban nażir, perubahan perwakafan tanah milik, pengawasan dan bimbingan, penyelesaian perselisihan tanah wakaf, serta biaya perwakafan tanah milik.
Maksud dikeluarkannya PP Nomor 28 Tahun 1977 adalah untuk memberikan jaminan kepastian hukum mengenai tanah wakaf serta pemanfaatannya sesuai dengan tujuan wakaf. Berbagai penyimpangan dan sengketa wakaf dengan demikian dapat diminimalisir. Namun demikian, masih dirasakan adanya hambatan dan atau permasalahan terkait dengan PP nomor 28 Tahun 1977 ini, antara lain:
Penerima wakaf (nażir) disyaratkan oleh peraturan mempunyai cabang atau perwakilan di kecamatan di mana tanah wakaf terletak. Dalam pelaksanaannya menimbulkan kesulitan dan justru menimbulkan hambatan. Terkait dengan masalah tersebut, bagaimana jika nażir itu bersifat perorangan atau perkumpulan yang tidak memiliki cabang atau perwakilan.
PP Nomor 28 Tahun 1977 hanya membatasi wakaf benda-benda tetap khususnya tanah. Bagaimana wakaf yang objeknya benda-benda bergerak selain tanah atau bangunan.
Hambatan-hambatan lain yang bersifat non-yuridis, antara lain kesadaran hukum masyarakat akan pentingnya sertifikasi wakaf, ketersediaan tenaga yang menangani pendaftaran/sertifikasi wakaf serta peningkatan kesadaran para nażir akan tugas dan tanggung jawabnya.
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 dibuat berdasarkan tiga motif utama, yaitu:
Motif keagamaan sebagaimana tercermin dalam konsiderannya yang menyatakan bahwa "wakaf sebagai lembaga keagamaan yang sifatnya sebagai sarana keagamaan". Dalam hal ini adalah motif agama Islam. Kalau UUPA berlandaskan tujuan untuk mencapai "sosialisme Indonesia", maka PP ini
Adanya landasan hukum yang kokoh dengan diundangkannya UUPA No. 5 Tahun 1960, khususnya pasal 14 (1) huruf b, dan pasal 49 (3).
Beberapa point penting yang terdapat dalam penjelasan umum PP no. 28 Tahun 1977 adalah sebagai berikut:
Salah satu masalah di bidang keagamaan yang menyangkut pelaksanaan tugas-tugas keagrariaan adalah perwakafan tanah milik. Masalah perwakafan tanah milik ini sangat penting ditinjau dari sudut pandang Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960.
mendaftarkan tanah milik yang diwakafkan telah mengakibatkan, bukan saja tidak tercatatnya tanah wakaf, melainkan juga beralihnya status wakaf menjadi milik perorangan yang diwariskan turun temurun.
Kejadian-kejadian tersebut di atas telah menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat Islam yang menjurus kepada sikap antipati terhadap pelaksanaan wakaf.
Penjelasan PP tersebut menyatakan bahwa yang terkandung di dalamnya adalah bentuk wakaf khairi, dan bentuk wakaf hanyalah wakaf tanah milik. Benda-benda wakaf lainnya belum diatur.
Unsur-unsur wakaf yang dijelaskan dalam PP ini adalah:
Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam.
Wakif adalah orang atau orang-orang ataupun badan hukum yang mewakafkan tanah miliknya.
Ikrar adalah pernyataan kehendak dari wakif untuk mewakafkan tanah miliknya.
Nażir adalah kelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas pemeliharaan dan pengurusan benda wakaf.
c. Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 berisi Instruksi Presiden untuk menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam ---selanjutnya disingkat KHI--- yang terdiri dari Buku I tentang Hukum Perkawinan, Buku II tentang Hukum Kewarisan, dan Buku III tentang Hukum Perwakafan. Hukum Perwakafan terdiri dari lima bab dan lima belas pasal yang memuat ketentuan umum tentang wakaf, fungsi, unsur-unsur dan syarat-syarat wakaf, kewajiban dan hak-hak nażir, tata cara perwakafan, pendaftaran wakaf, perubahan benda wakaf, penyelesaian perselisihan benda wakaf, pengawasan dan ketentuan peralihan. KHI ini disusun dengan maksud untuk dijadikan pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah yang berhubungan dengan ketiga bidang hukum tersebut, baik oleh instansi pemerintah maupun oleh masyarakat yang memerlukannya.
bahwa KHI merupakan hasil lokakarya yang diselenggarakan pada bulan Februari 1988 di Jakarta yang telah diterima baik oleh para alim ulama Indonesia disertai perbandingan dengan yurisprudensi peradilan agama maupun perbandingan dengan Negara-negara lain.
Beberapa catatan terhadap KHI dan pelaksanaannya dapat disampaikan hal-hal sebagai berikut:
1) Dari sisi formal, KHI diberi baju dalam bentuk Instruksi Presiden yang oleh sementara pihak dianggap kurang kuat karena tidak memiliki landasan hukum/rujukan konstitusi maupun Ketetapan MPR yang selama ini ada. Namun pendapat ini disanggah oleh Prof. DR. Ismail Sunny yang merujuk pada pasal 4 ayat (1) UUD 1945 jo. Pasal 17 tentang wewenang Presiden untuk menetapkan peraturan-peraturan dan kebijakan dalam rangka menjalankan pemerintahan serta para menteri Negara sebagai pembantu Presiden memimpin departemen untuk melaksanakan keputusan dan atau instruksi presiden. Oleh karena itu, akan semakin kuat dan mantap apabila KHI yang di dalamnya mengatur tentang hukum perwakafan dapat ditingkatkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, misalnya dalam bentuk Peraturan Pemerintah atau Undang-undang.
2) Dari sisi substansial atau materi, KHI hanya memuat beberapa ketentuan masalah wakaf menurut hukum Islam. Oleh karena itu, seyogyanya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan peraturan perundangan yang lain dalam hal ini PP nomor 28 Tahun 1977 sehingga perlu disatukan dalam bentuk Undang-undang. Dalam konteks perwakafan, maka lembaga hibah dan wasiat merupakan cara penyampaian kehendak dari pihak pemberi wakaf kepada penerima wakaf. Oleh karena itu selain diatur dalam hukum pewarisan, seharusnya juga diatur dan dimasukan ke dalam salah satu bagian tentang pemberian wakaf dengan cara wasiat (baik lisan maupun tertulis) serta pemberian wakaf dengan cara hibah-wakaf.
3) Dalam kaitannya dengan PP 28 Tahun 1977, maka penyelesaian perselisihan perwakafan tanah milik atau menurut KHI penyelesaian perselisihan benda wakaf, seyogyanya tidak hanya melalui proses perdata (Pengadilan Agama) tetapi dapat pula diajukan secara pidana sebagaimana diatur pada pasal 14 dan 15 PP 28 Tahun 1977.
sebagaimana diatur dalam pasal 225 KHI agar tidak menyalahi ketentuan-ketentuan Syariat Islam serta tujuan pemberian wakaf semula dalam ikrak wakaf.
Mengenai unsur-unsur wakaf, dalam KHI dijelaskan sebagai berikut:
Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam.
Wakif adalah orang atau orang-orang ataupun badan hukum yang mewakafkan benda miliknya.
Ikrar adalah pernyataan kehendak dari wakif untuk mewakafkan benda miliknya.
Benda wakaf adalah segala benda, baik benda bergerak atau tidak bergerak yang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut ajaran Islam.
Nażir adalah kelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas pemeliharaan dan pengurusan benda wakaf.
Bila perwakafan yang diatur dalam PP Nomor 28 Tahun 1977 dibandingkan dengan perwakafan yang diatur dalam KHI pada dasarnya sama. Dalam beberapa hal, hukum perwakafan dalam Kompilasi tersebut merupakan pengembangan dan penyempurnaan pengaturan perwakafan sesuai dengan hukum Islamm di antaranya: 1) Obyek wakaf.
Menurut KHI, bahwa obyek wakaf tersebut tidak hanya berupa tanah milik sebagaimana disebutkan dalam PP No. 28 Tahun 1977. Obyek wakaf menurut kompilasi lebih luas. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam pasal 215 (4) yang berbunyi: "Benda wakaf adalah segala benda baik benda bergerak atau tidak bergerak yang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut ajaran Islam".
2) Sumpah Nażir
Nażir sebelum melaksanakan tugas harus melaksanakan sumpah di hadapan Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan. Hal ini diatur dalam pasal 219 ayat 4 yang berbunyi: Nażir sebelum melaksanakan tugas harus mengucapkan sumpah di hadapan Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan disaksikan oleh sekurang-kurangnya oleh dua orang saksi.
3) Jumlah Nażir
diangkat oleh Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan atas dasar Majelis Ulama dan Camat setempat.
4) Perubahan Benda Wakaf
Menurut pasal 225 perubahan benda wakaf hanya dapat dilakukan terhadap hal-hal tertentu setelah terlebih dahulu mendapatkan persetujuan tertulis dari Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan berdasarkan saran dari Majelis Ulama Kecamatan, dan camat setempat.
5) Pengawasan Nażir
Pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan tanggung jawab nażir dilakukan secara bersama-sama oleh Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan, Majelis Ulama Kecamatan, dan Pengadilan Agama yang mewilayahinya.
6) Peranan Majelis Ulama dan Camat
BAB III
PENUTUP
Berdasarkan dari uraian di atas, maka dapatlah disimpulkan bahwa Wasiat wajibah adalah merupakan suatu pelaksanaan wasiat atau suatu pesan yang harus dilaksanakan dan ditujukan kepada orang yang ditinggalkan (orang yang masih hidup) akan memberikan harta peninggalannya kepada anak angkat. Penerima wasiat wajibah adalah anak angkat yang tidak menerima warisan dari orang tua angkatnya. Dalam pembagian wasiat wajibah, dimana telah ditentukan menurut hukum Islam, yang harus diperhatikan adalah bahwa bagian anak angkat adalah sepertiga bagian dan tidak boleh melebihi dari bagian minimal yang diterima oleh para ahli waris.
Kemudian tentang perwakafan dapat disimpulkan bahwa Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), yaitu UU No. 5 Tahun 1960 merupakan unifikasi hukum tanah di seluruh Indonesia (DI. Yogyakarta baru melaksanakan pada tahun 1984) memperkokoh dasar hukum perwakafan, khususnya perwakafan tanah milik. Pasal 14 (1) huruf b.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Aziz Dahlan. Ensiklopedi Hukum Islam. (Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van Hoeve, 2000), Jilid 6, hal.1930.
Ahmad Zahari, Tiga versi Hukum Kewarisan Islam, Syafi’I, Hazairin dan KHI, (Pontianak: Romeo Grafika, 2006), h.98.
Al-Syafi'i. t.t. Al-Umm. Mekah: al-Maktabah al-Islamiyyah.
Abdurrahman. 1979. Masalah Perwakafan Tanah Milik dan Kedudukan Tanah Wakaf di Negara Kita. Bandung:Alumni.
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Islam Departemen Agama R I. Jakarta Tahun 2000
Kompilasi Hukum Islam (KHI) Buku III Hukum Perwakafan.
Mujamma Al Malik Fahd Li Thaba’at, Al Qur’an dan Terjemahnya, Madinah 1415, Penerbit Mushaf Asy-Syarif
M .Ali As Shabuni ,Al-Mawarist Fis Syariatil Islamiyah , Mesir,Penerbit Iqamatuddin, cet II.
M .Yahya Harahap , Kedudukan Janda dan Duda Serta anak Angkat sebagai Ahli Waris Dalam Hukum Adat, diktat, Jakarta.
Munawir, Ahmad Warson. 1984. .Al-Munawir Kamus Arab Indonesia. Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku-buku Ilmiah Pondok Pesantren Al-Munawir.
Pengadilan Tinggi Agama Surabaya , Kumpulan Peraturan Perundang-Undangan dalam Lingkungan Peradilan Agama , 1992
PP No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik