• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makalah Hukum Perdata Islam di indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Makalah Hukum Perdata Islam di indonesia"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH

HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA (HPII)

Tentang

KETENTUAN UMUM KEWARISAN

DI SUSUN OLEH

:

GUFRANIL ‘ALIMI : 312.057

DOSEN PEMBIMBING

Prof. Dr. H. Makmur Syarif, S.H,M.Ag

Jurna Petri Roszi, M.A

JURUSAN MUAMALAH FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

IMAM BONJOL PADANG

(2)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum Kewarisan merupakan salah satu syariat yang harus dilaksanakan oleh

umat islam. Pembagian warisan sesuai dengan hukum waris islam adalah

pembagian yang paling adil sebagaimana dikehendaki oleh Allah swt. Selain

memenuhi ketentuan Allah swt, membagi warisan dengan hakim waris islam akan

memenuhi rasa keadilan umat islam. Oleh sebab itu, jika warisan dibagi dengan

tidak memenuhi ketentuan hukum waris, hal itu akan memunculkan permasalahan

di kemudian hari.

Dari permasalahan di atas, penulis tertarik untuk membuat makalah tentang

Ketentuan Umum tentang Hukum Kewarisan. Makalah ini akan membahas mengenai ilmu waris, berupa pengertiannya, dasar hukum pewarisan dan wacana

kesejarahan, serta rukun dan syarat pewarisan.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang diangkat dalam makalah ini adalah sebagai berikut:

1) Apakah itu ilmu waris ?

2) Apa sajakah dasar hukum dan wacana kesejarahan pewarisan itu ?

3) Apa sajakah rukun dan syarat dari pewarisan ?

C. Tujuan

Dengan ditulisnya makalah ini, penulis bertujuan untuk :

1) Memberikan informasi mengenai ilmu waris.

2) Meningkatkan pengetahuan mahasiswa mengenai dasar hukum pewarisan,

(3)

D. Manfaat

Adapun manfaat dari pembuatan makalah ini, adalah sebagai berikut:

1) Semakin pahamnya mahasiswa mengenai ilmu waris .

2) Meningkatnnya pengetahuan mahasiswa tentang dasar hukum pewarisan,

serta rukum dan syarat pewarisan.

PEMBAHASAN

KETENTUAN UMUM TENTANG KEWARISAN

A.Pengertian Hukum Kewarisan

Secara bahasa kata Waratsa asal kata dari kewarisan. Didalam Al-Qur’an memiliki beberapa arti1 :

(4)

pertama, mengganti

Dan Sulaiman telah menggantikan Daud

.

Kedua, memberi

        



Dan telah (memberi) kepada Kami tempat ini sedang Kami (diperkenankan) menempati tempat dalam syurga di mana saja yang Kami kehendaki (Q.s Azzumar :74).

Ketiga, mewarisi

          

Yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya'qub (Q.s Maryam :6)

Kompilasi Hukum Islam2 mendefenisikan Hukum Kewarisan adalah

hukum yang mengatur tentang pemindahan hak kepemilikan harta peninggalan pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan beberapa bagiannya masing-masing. (Ps.171 huruf a KHI).

Fiqh Mawaris kadang disebut juga istilah Al-Faraidh bentuk jamak dari kata Fardh, artinya kewajiban dan bagian tertentu. Apabila dihubungkan dengan ilmu, menjadi ilmu Faraidh, maksudnya ialah : Ilmu untuk mengetahui cara membagi harta peninggalan seseorang yang telah meninggal dunia kepada yang berhak menerimanya.3

Prof. Amir Syarifuddin memberikan pemahaman bahwa hukum ini dinamai Faraidh karena didalam ketentuan kewarisan islam yang terdapat dalam

2Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Citra Umbara 2013, cet. ke-IV hlm 323.

(5)

Al-Qur’an lebih banyak ditentukan bagiannya dibandingkan yang tidak di tentukan bagiannnya.4

Hukum kewarisan ini mendapat perhatian besar, karena soal warisan sering menimbulkan akibat-akibat yang tidak menguntungkan bagi keluarga yang ditinggal pewarisnya, hal ini dikarenakan pada diri manusia terdapat dua naluri:

naluri mempertahankan hidup dan naluri melanjutkan hidup.

Untuk terpenuhi kedua naluri tersebut Allah menciptakan dalam setiap diri manusia dua nafsu : nafsu syahwat dan nafsu makan. Nafsu makan berpotensi untuk memenuhi naluri mempertahankan hidup, karena ia memerlukan sesuatu yang dapat dimakannnya. Dari sinilah muncul kecendrungan manusia untuk mendapatkan dan memiliki harta. Nafsu syahwat berpotensi untuk memenuhi naluri melanjutkan hidup, untuk itu manusia memerlukan lawan jenisnya dalam menyalurkan nafsu syahwatnya.

Sebagai Mahkluk yang berakal, manusia memerlukan sesuatu untuk mempertahankan dan meningkatkan daya akalnya. Sebagai mahkluk beragama, manusia membutuhkan sesuatu untuk mempertahankan dan menyempurnakan agamanya.5

Dengan demikian, terdapat lima hal yang merupakan syarat bagi kehidupan manusia yaitu agama, jiwa, akal, nasab (keturunan), harta, . Kelima hal ini disebut dengan daruriyat al-khamsah (lima kebutuhan dasar) pada diri manusia.6

Turunnya Ayat-ayat Alqur’an yang mengatur pembagian warisan yang penunjukannya bersifat pasti (qath’iy-dalalah) adalah merupakan refleks sejarah dari adanya kecendrungan matrealistis umat manusia, misalkan Q.s An-nisa 11-12 diturunkan untuk menjawab tindakan kesewenangan-wenangan saudara Sa’ad ibn

4 Prof. Dr. Amir Syariffudin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta:Kencana. 2004: 5.

5 Ibid ., hal 2

(6)

al-Rabi’ yang ingin menguasai kekayaan peninggalannya ketika sa’ad tewas di medan peperangan.

Atha’ meriwayatkan:

Sa’ad ibn al-Rabi’ tewas (dimedan peperangan sebagai syahid) meninggalkan dua 2 anak perempuan dan seorang istri serta seorang saudara laki. Kemudian saudara laki-lakinya itu mengambil harta peninggalan sa’ad seluruhnya. Maka datanglah istri(janda) sa’ad kepada Rasulullah Saw dan berkata Wahai Rasulullah Saw., ini adalah 2 anak perempuan sa’ad dan sa’ad tewas dimedan peperangan, pamannya telah mengambil harta kedua anak perempuan itu seluruhnya”. Maka Rasulullah Saw. Bersabda:”Kembalilah kamu barangkali Allah akan memberi putusan dalam masalah ini. Maka setelah itu kembalilah istri sa,ad tersebut,dan menangis maka turunlah ayat Q.s An-nisa 11-12, maka Rasulullah Saw memanggil pamannya (anak-anak sa’ad) dan bersabda “Berilah kedua anak perempuan sa’ad 2/3 ,ibunya 1/8 dan sisanya untuk kamu”.

B. Hukum kewarisan Islam dan wacana kesejarahan7

Islam diturunkan dalam rentang waktu 22 tahun 2 bulan 22 hari, dalam upaya merevisi atau memperbarui tatanan hukum yang berlaku khususnya dibelahan Arab, dilakukan dengan bertahap dan bijaksana tanpa memberatkan pemeluknya demikian juga dalam legislasi hukum kewarisan islam ia diturunkan disaat yang tepat. Disaat ada masalah baru maka turun ayat baru untuk menyelesaikannya ataupun untuk merevisi hukum yang telah ada.

Ilustrasi secara garis besar di bawah ini menunjukkan ‘kearifan sejarah’ ajaran Islam dalam merespon kenyataan sosial yang terjadi waktu itu.

1. Hukum Kewarisan Sebelum Islam

Sistem sosial yang berlaku pada masyarakat Arab sebelum Islam itu diwarnai dengan kultur Badui yang sering disebut dengan Nomad Society, dimana orang Badui dalam hal kewarisan anak-anak baik laki-laki terlebih perempuan dilarang mewarisi peninggalan keluarganya. Kenyataan yang seperti inilah yang nanti akan dihapus oleh Islam karena mereka tidak mau menghargai kesederajatan antara kaum perempuan dan laki-laki.

(7)

Dasar pewarisan yang berlaku pada masa awal islam adalah8 :

a. Al-Qarabah atau pertalian kerabat

Pertalian kerabat di sini tidak berlaku mutlak seperti ketika Islam telah diturunkan, ahli waris lelaki yang dewasa saja yang diberi hak kewarisan. sehingga anak-anak dan wanita tidak menerima hak-haknya, karena dianggap tidak cakap melakukan perbuatan hukum.

Adapun mereka yang mendapat hak mewarisi adalah :

- Anak laki-laki,Saudara laki-laki, Paman, Anak laki-laki paman .

b. Al-hilf wa al-mu’aqadah atau janji setia

Janji setia ditempuh dengan melakukan perjanjian kerja sama antara dua orang atau lebih. Seseorang menyatakan dengan sungguh-sungguh kepada orang lain, untuk saling mewarisi apabila salah satu pihak meninggal.

Tujuanya untuk kerja sama, saling menasehat dan memperoleh rasa aman. Apabila salah satu pihak yang melakukan janji setia itu meninggal dunia maka pihak lain mewarisi harta yang ditinggalkannya, dengan ketentuan menerima 1/6 bagian baru setelah itu dibagikan kepada ahli waris lainnya.

c. Al-Tabanni atau adopsi (Pengangkatan anak)

Pada masa jahiliyah kelahiran anak angkat dimasukkan sebagai keluarga besar bapak angkatnya, yang status hukumnya sama dengan anak kandung, praktis hubungan kekeluargaan dengan ayah kandungnya terputus. Dan apabila salah satu dari keduanya meninggal dunia maka yang lain tidak dapat mewarisi harta peninggalannya.

2. Hukum Kewarisan Masa Awal Islam9

Hukum kewarisan pada masa awal Islam belum mengalami perubahan. Ini dapat dimengerti karena masa-masa awal Islam prioritas utama ajarannya adalah membina akidah atau keyakinan pemeluknya, yaitu mentauhidkan Allah Yang Esa. Ini maksud untuk mengkoreksi keyakinan mereka yang terseret kedalam kepercayaan syirik atau menyekutukan allah.

Melihat kenyataan masyarakat yang belum siap itu, maka ayat-ayat yang mengatur soal warisan belum cukup tepat untuk diturunkan dan ayat-ayat yang

8 Ibid., hlm. 286-287

(8)

diturunkan adalah ayat yang menganjurkan dan memberi rangsangan agar mengikuti hijrah Rasulullah SAW dari Makkah ke Madinah.

Sehingga dasar-dasar yang dijadikan sebab-sebab mewarisi pada masa awal Islam ini antara lain :

a. Al-Qarabah (pertalian kerabat)

b. Al-Hilf wa al-Mu’aqadah (janji setia)

c. Al-Tabanni (adopsi atau pengangkatan anak)

d. Hijrah (Makkah ke Madinah)

e. Muakhah (ikatan persaudaraan antara kaum muhajirn dan kaum anshor).

Hijrah dijadikan salah satu sebab mewarisi pada masa awal Islam didasari oleh strategi dakwah dan untuk menambah motivasi juga agar mereka bersedia ikut hijrah, juga demi memperbesar kekuatan komunitas Islam yang waktu itu baru diikuti lebih kurang 200-an orang.

(9)



















Artinya: Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu.

Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separoh harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga;

jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Kesimpulan atau intisari yang dapat kita diambil dari ayat ini adalah sebagai berikut:

Bagian anak perempuan:1/2 jika seorang

-2/3 jika dua orang atau lebih

-'ushubah (sisa) jika bersama dengan anak laki-laki

Bagian anak laki-laki:'ushubah (sisa)

Bagian ibu:1/6 jika si mayit mempunyai anak atau dua orang saudara atau lebih

(10)

-1/3 dari sisa (dalam masalah gharrawain yang ahli warisnya terdiri dari suami atau isteri, ibu, dan bapak)

Bagian bapak:1/6 jika si mayit mempunyai anak laki-laki

-'ushubah (sisa) jika si mayit tidak mempunyai anak laki-laki













































































































































































































 





























































Artinya: Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya.

(11)

seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta.

Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.

Kesimpulan atau intisari yang dapat diambil dari ayat ini adalah sebagai berikut:

Bagian suami:1/2 jika si mayit tidak mempunyai anak

-1/4 jika si mayit mempunyai anak

Bagian isteri:1/4 jika si mayit tidak mempunyai anak

1/8 jika si mayit mempunyai anak

Bagian saudara laki-laki/perempuan seibu (kasus kalalah):1/6 jika seorang

1/3 dibagi rata jika dua orang atau lebih

(12)





























Artinya: Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya.

Dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal.

Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.

Bagian saudara perempuan kandung atau sebapak (kasus kalalah):1/2 jika

seorang

2/3 jika dua orang atau lebih

'ushubah (sisa) jika bersama saudara laki-laki kandung atau sebapak

Bagian saudara laki-laki kandung atau sebapak (kasus kalalah):'ushubah

(sisa)

2. Al-Sunnah

-“Berikanlah bagian-bagian tertentu kepada orang yang berhak, sesudah itu sisanya untuk orang laki-laki yang lebih utama” (HR. Bukhari – Muslim).

(13)

3. Ijma’11

- Ahli hukum islam Sepakat Apabila ahli waris hanya anak dan kakek, kakek dapat menggantikan kedudukan ayah dalam penerimaan warisan.

- Ahli hukum islam Sepakat Saudara-saudara seibu-sebapak, baik laki-laki ataupun perempuan (banu al-a’yan wa al- a’lat) terhalang dari menerima warisan oleh bapak.

- Ahli hukum islam Sepakat tentang bagian seperenam bagi nenek seorang diri atau lebih.

Selain Ketiga dasar hukum diatas. Didalam Kompilasi Hukum Islam pada

Buku II, yang berisi Enam Bab juga mengatur tentang kewarisan yakni12:

1) Bab I, berisi ketentuan umum dan terdiri dari 1 pasal, yaitu pasal 171.

2) Bab II, berisi tentang ahli waris dan terdiri dari 4 pasal, yaitu pasal 172-175.

3) Bab III, berisi tentang besarnya bagian ahli waris dan terdiri dari 16 pasal,

yaitu pasal 176-191.

4) Bab IV, berisi tentang ‘aul dan rad serta terdiri dari 2 pasal, yaitu pasal

192-193.

5) Bab V, berisi tentang wasiat dab terdiri dari 16 pasal, yaitu pasal 194-209.

6) Bab VI, berisi tentang hibah dan terdiri dari 5 pasal, yaitu pasal 210-214.

Pembagian warisan umat muslim di Indonesia dilakukan oleh pengadilan

agama berdasarkan kompilasi Hukum Islam tersebut.

D. Rukun dan Syarat Kewarisan13

Rukun waris itu ada tiga macam, yaitu :

11 http://nidanabilah13.wordpress.com/2014/11/22/contoh-contoh-ijma/Jam 15:12.

12 Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Citra Umbara, 2013, cet. ke-IV hlm 323-387.

(14)

a. Mauruts atau (harta peninggalan)

Mauruts adalah harta benda yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia yang akan pusakai atau dibagi oleh para ahli waris setelah diambil biaya-biaya perawatan, melunasi hutang-hutang dan melaksanakan wasiat.

b. Muwarrist (yang meninggalkan harta waris)

Muwarist adalah orang yang meninggal dunia (mati hakiki, mati hukmy, mati taqdiry) dan meninggalkan harta waris.

c.Waarits (ahli waris)

Waris adalah orang yang akan mewarisi harta peninggalan lantaran mempunyai hubungan sebab-sebab untuk mewarisi seperti adanya ikatan perkawinan, hubungan darah (keturunan) yang hubungan hak perwalian dengan si muwaris

Syarat-syarat mendapat warisan ada tiga macam, yaitu:

1. Kematian muwarrits baik hakiki,hukmy dan taqdiry.

2. Hidupnya warits setelah matinya muwarrits, walaupun hidupnya secara hukum, seperti anak dalam kandungan, maka secara hukum ia dikatakan hidup

3. Tidak adanya penghalang untuk saling mewarisi seperti perbudakan, pembunuhan, dan perbedaan agama.

(15)

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pembagian harta warisan yang menggunakan ilmu faraidl islam atau yang sering disebut ilmu waris merupakan pembagian harta yang tidak akan merugikan

pihak mana pun karena cara tersebut merupakan ketentuan dari Allah swt yang

telah di jelaskan didalam Al-Qur’an (Q.s an-Nisa ayat 7-8, surah an-Nisa ayat

11,12,13 dan 176, surah al-Anfal ayat 72 dan 75, serta surah al-Azhab ayat 6). Selain itu karena pembagian harta dengan menggunakan ilmu faraidl, dilaksanakan dengan cara yang seadil-adilnya. Sehingga tentu tidak akan

merugikan pihak manapun.

B. Saran

Setelah menarik kesimpulan sebagaimana tersebut di atas selanjutnya penulis

mengajukan beberapa saran, yaitu sebagai berikut.

1) Senatiasa menggunakan ilmu faraid atau ilmu waris apabila ingin melakukan

pembagian harta.

2) Menyebarkan ilmu waris ini, kepada masyarakat yang belum mengetahuinya.

DAFTAR PUSTAKA

(16)

Muhibbin, Muhammad, Dr. 2009. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta. Al-Zuhayli, Wahbah. Al-Wajiz Fii Ushul Al-Fiqh, Damaskus. Departemen Agama RI, Al -Qur’an dan Terjemahannya, Semarang.

Referensi

Dokumen terkait

Katakanlah: “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi

Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja)

Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi

perempuan, namun karena ada bersama saudara laki-lakinya mak ia menjadi ashabah. Yang berhak menjadi ahli waris ashabah bi ghairihi adalah :.. Anak perempuan bila

jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang

f. Yang mendapat 1/6 harta. 1) Ibu bersama anak laki-laki, cucu laki-laki atau dua atau lebih saudara perempuan kandung atau perempuan seibu. 2) Nenek garis ibu jika

yaitu : bahagian seorang anak laki-laki dengan bahagian dua orang anak perempuan dan jika itu semuanya anak perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta

Selain itu, terkenal pula larangan perkawinan parallel cousin (anak-anak dua saudara perempuan atau anak- anak dua saudara laki-laki), larangan perkawinan cross cousin (anak