• Tidak ada hasil yang ditemukan

Revitalisasi Identitas Nasional dalam Si

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Revitalisasi Identitas Nasional dalam Si"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Revitalisasi Identitas Nasional dalam Sistem Hukum Indonesia

H. Muammar Arafat Yusmad (Dosen Fakultas Syariah IAIN Palopo)

E-mail: muammar.arafat@yahoo.co.id

Kata Kunci: Revitalisasi, Identitas Nasional, Sistem Hukum

Sejarah membuktikan bahwa para pendiri bangsa telah membuat sebuah konsesus nasional tentang tujuan negara yang hingga saat ini masih diabadikan dalam Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yaitu: Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial. Perjalanan NKRI yang telah berusia 70 tahun ini penuh dinamika dan pencapaian tujuan negara sebagaimana amanat konstitusi masih jauh dari harapan. Hal ini membuktikan bahwa terjadi disparitas yang begitu lebar antara usia negara dan tujuan negara yang hendak dicapai. Lalu, apa sebabnya, di mana kesalahannya dan apa kekurangannya?

Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang majemuk dengan keragaman suku, agama, budaya dan bahasanya yang dipersatukan dengan sebuah simbol Bhineka Tunggal Ika (walapun berbeda-beda tetapi tetap satu). Terpaan keras arus globalisasi yang melanda dunia termasuk Indonesia melalui perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern telah mengakibatkan terjadinya perubahan sosial di tengah masyarakat yang pada gilirannya akan memengaruhi cara pandang masyarakat tentang hukum nasional. Oleh karenanya, penting untuk dilakukan otentisitas nilai-nilai keindonesiaan melalui revitalisasi identitas nasional yaitu gotong royong, toleransi dalam keragaman, demokrasi Pancasila dan kekeluargaan dan kekerabatan ke dalam sistem hukum nasional. Tujuannya adalah agar sistem hukum nasional benar-benar merupakan cerminan “jiwa” dari bangsa Indonesia.

Tulisan ini mencoba menjawab fenomena perubahan sosial sebagai dampak dari globalisasi dengan kesiapan Pemerintah dalam mengantisipasinya melalui penguatan sistem hukum nasional yang benar-benar Indonesia. Sebagai media analisis, penulis menggunakan teori hukum kritis oleh Roberto M Unger. Tercapainya nilai-nilai keadilan (fairness values), kemanfaatan dan kepastian hukum adalah dambaan seluruh masyarakat. Saatnya untuk menegakkan sistem hukum Indonesia yang bermartabat.

(2)

Pendahuluan

Momentum peringatan Sumpah Pemuda ke-87 baru saja dirayakan oleh segenap elemen bangsa. Ikrar untuk senantiasa bertanah air satu, berbangsa satu dan berbahasa satu baru saja dikumandangkan kembali oleh putra-putri Ibu Pertiwi. Di tengah hiruk pikuk kegaduhan politik dan penegakan hukum, para pemuda meneguhkan kembali tekadnya untuk melakukan perubahan. Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 meluaskan arah perjuangan bangsa dari yang dulunya bersifat kedaerahan menjadi sebuah perjuangan kolektif dan nasional untuk sebuah cita-cita bersama mewujudkan Indonesia yang merdeka. Sejatinya, semangat Sumpah Pemuda inilah yang mendasari penulis melakukan otentifikasi nilai-nilai keindonesiaan untuk sebuah ikhtiar menggagas pembaruan Sistem Hukum Nasional yang mencerminkan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia.

Pada tanggal 17 Agustus 1945 diproklamirkan kemerdekaan Indonesia dan sehari setelahnya Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) resmi menjadi konstitusi negara yang meneguhkan kedudukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai Negara Hukum dan tidak berdasarkan negara kekuasaan. Negara hukum Indonesia telah berusia lebih dari tujuh puluh tahun. Suatu usia yang tidak lagi muda untuk ukuran manusia, namun bagi sebuah negara besar, usia tersebut belumlah seberapa dalam upaya mewujudkan sebuah negara hukum yang menyejahterakan rakyatnya.

(3)

Kembali ke persoalan negara hukum, ternyata menjalankan NKRI sebagai negara hukum tidaklah mudah, apalagi fakta sejarah menunjukkan bahwa bangunan sistem hukum Indonesia saat ini adalah bentuk dari internalisasi sistem-sistem hukum yang telah terlebih dahulu ada di belahan bumi lain ditambah pengaruh sistem hukum adat yang umumnya merupakan hukum tak tertulis (ius non scripta) berbentuk kebiasaan-kebiasaan. Padahal belum tentu karakteristik sistem hukum dari suatu negara dapat diadopsi menjadi sistem hukum di negara lain. Menurut Otje Salman “Hukum Indonesia yang berlaku saat ini adalah sebuah proses imperialisme sekularistik, yang hidup melalui transplantasi dari pemikiran-pemikiran Barat dan diterima begitu saja (take for granted) tanpa menyaringnya terlebih dahulu”. (Otje Salman, 2012: 79). Akibatnya keberlakuan hukum dalam rangkaian sistem hukum tidak mencerminkan jiwa dari bangsa Indonesia. Tercapainya tujuan-tujuan bernegara tentunya tak lepas dari kedudukan NKRI sebagai negara hukum. Kedudukan NKRI sebagai negara hukum secara konstitusional seharusnya dibarengi dengan upaya untuk membangun sebuah sistem hukum nasional yang berciri khas dan tercermin dalam identitas nasional dengan nilai-nilai keindonesiaan sebagai jati diri bangsa.

Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang majemuk dengan keragaman suku, agama dan kepercayaan, budaya dan bahasanya. Pluralitas telah menjadi bagian dari keseharian bangsa. Pluralitas kebangsaan inilah yang kemudian menjadi faktor pembentuk identitas nasional bangsa Indonesia. Dimensi pluralitas bangsa Indonesia dipersatukan oleh sebuah semboyan Bhineka Tunggal Ika (walapun berbeda-beda tetapi tetap satu). Identitas nasional berarti ciri-ciri atau tanda-tanda yang melekat pada suatu bangsa dan merupakan ke-khasan bangsa yang membedakannya dengan bangsa lainnya. Unsur-unsur pembentuk identitas nasional adalah: Sejarah, budaya, suku bangsa, agama dan bahasa. Hakikat Identitas Nasional adalah manifestasi dari nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang dalam aspek kehidupan suatu bangsa. Identitas nasional inilah yang kemudian memunculkan sikap dan tindakan kolektif masyarakat yang menjadi ciri suatu bangsa.

(4)

akan nilai-nilai kekeluargaan dan kekerabatan. Ciri khas tersebut yang kemudian menjadi Identitas Nasional bangsa Indonesia yang membedakannya dengan bangsa-bangsa lainnya di dunia.

Identitas Nasional

Terpaan keras arus globalisasi yang melanda dunia termasuk Indonesia melalui perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern telah mengakibatkan terjadinya perubahan sosial di tengah masyarakat yang pada gilirannya akan memengaruhi cara pandang masyarakat tentang hukum nasional. Cara pandang masyarakat tentang hukum inilah yang disebut budaya hukum (legal culture) sebagai bagian dari sistem hukum. Lawrence M Friedman mengatakan “Budaya hukum adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum-kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Dengan kata lain, bagian dari budaya umum itulah yang menyangkut sistem hukum”(Friedman, 2001: 8).

Identitas nasional adalah kumpulan nilai-nilai budaya yang hidup dan berkembang di masyarakat dan terhimpun menjadi budaya bangsa dengan Bhineka Tunggal Ika sebagai simbol pemersatu bangsa. Unsur-unsur pembentuk identitas nasional antara lain: Sejarah, agama, kebudayaan, suku bangsa dan bahasa. Dari sekian banyak identitas nasional yang ada di Indonesia, penulis mengemukakan empat aspek kekhasan Indonsesia (tanpa mengurangi nilai-nilai identitas nasional lainnya) yang menonjol dan telah lama hidup dan berkembang di masyarakat. Keempat identitas nasional dimaksud adalah:

1. Gotong Royong. Semangat bergotong royong adalah nilai luhur bangsa Indonesia yang telah diwariskan secara turun temurun. Gotong royong adalah usaha untuk menyelesaikan suatu pekerjaan secara bersama-sama. Dengan semboyan “berat sama dipikul ringan sama dijinjing” maka gotong royong menjadi jati diri bangsa yang membedakan bangsa Indonesia dengan bangsa-bangsa lain;

(5)

bahasanya. Pluralitas telah menjadi bagian dari keseharian bangsa Indonesia. Sikap toleransi atau memahami setiap perbedaan yang ada menjadi ciri khas dan menjadi identitas nasional bangsa Indonesia;

3. Demokrasi Pancasila. Demokrasi Pancasila adalah semangat berdemokrasi yang dalam pelaksanaannya mengutamakan asas musyawarah untuk mufakat demi kepentingan bersama. Pancasila adalah cita hukum tertinggi bangsa Indonesia sehingga setiap sila dari Pancasila wajib untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat; dan

4. Kekeluargaan dan Kekerabatan. Hubungan kekeluargaan merupakan hubungan tiap entitas yang memiliki asal-usul silsilah yang sama, baik melalui keturunan biologis, sosial, maupun budaya. Hubungan kekerabatan adalah salah satu prinsip mendasar untuk mengelompokkan tiap orang ke dalam kelompok sosial, peran, kategori dan silsilah.1

Keempat identitas nasional di atas adalah budaya unggul yang dimiliki oleh bangsa Indonesia yang lahir dari proses adat dan kebiasaan masyarakat yang dilakukan secara berkesinambungan sehingga menjelma menjadi sikap hidup umum bangsa Indonesia. Persoalannya adalah, bangsa Indonesia sebagai bagian dari tata pergaulan masyarakat internasional tentu tak luput dari pengaruh-pengaruh budaya dari luar seiring dengan globalisasi yang yang melanda dunia.

Aplikasi identitas nasional dalam kehidupan sehari-hari yang meliputi semangat gotong royong mulai memudar dan berganti dengan sikap individualistik. Semangat toleransi dalam keragaman khususnya dalam bidang keagamaan juga masih terus teruji dengan munculnya sejumlah kasus sikap intoleransi yang diperlihatkan oleh sejumlah masyarakat pemeluk agama tertentu seperti kasus intoleransi agama di Tolikara Papua dan di Aceh Singkil Provinsi NAD. Demikian pula dengan semangat berdemokrasi Pancasila yang mulai meninggalkan asas musyawarah untuk mufakat. Sikap dan budaya

(6)

kekeluargaan dan kekerabatan juga teruji apalagi dengan hajatan politik di daerah dalam bentuk pemilihan kepala daerah dan kepala desa yang tak jarang justru membuat hubungan kekeluargaan dan kekerabatan menjadi renggang.

Sistem Hukum Indonesia

Fakta sejarah menunjukkan bahwa bangunan Sistem Hukum Indonesia dipengaruhi oleh sistem-sistem hukum yang telah lebih dahulu tumbuh dan berkembang di belahan bumi yang lain. Sistem hukum nasional terbentuk dari hasil integrasi antara sistem hukum Eropa, sistem hukum agama (Islam) dan sistem hukum adat. Pengaruh sistem hukum Eropa berdasar pada aspek sejarah bahwa Indonesia adalah wilayah jajahan Belanda yang memberi nama negeri jajahannya Hindia Belanda (Nederlandsche Indie). Beberapa ketentuan hukum warisan kolonial yang masih berlaku hingga saat ini antara lain:

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van strafrecht); 2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Bugerlijk wetboek);

3. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van koophandel).

Namun demikian, ketiga kodifikasi hukum produk kolonial di atas telah mengalami sejumlah perubahan signifikan dengan terbitnya Undang-Undang Republik Indonesia yang kemudian menggugurkan keberlakuan sejumlah ketentuan dalam ketiga kodifikasi hukum tersebut.

Hukum Islam menjadi dasar terbentuknya sistem hukum nasional oleh karena sebagian besar penduduk Indonesia beragama Islam, sehingga hukum Islam berkontribusi besar bagi pembentukan hukum Indonesia terutama pada hukum perkawinan, hukum kekeluargaan dan hukum kewarisan. Beberapa ketentuan hukum nasional yang bersumber dari hukum Islam antara lain:

1. UURI No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;

2. UURI No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UURI No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;

(7)

4. Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.

Sistem hukum adat juga menyerap dan menjadi bagian dari sistem hukum nasional. Salah satu sumber pembentukan hukum adalah “Kebiasaan” yang dalam konteks Indonesia berarti adat istiadat. Hukum adat tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan peradaban masyarakat. Hukum adat yang lazimnya berbentuk hukum tak tertulis (ius non scripta) menjelma menjadi “the living law” tempat di mana masyarakat dan para penegak hukum khususnya Hakim menggali nilai-nilai dasar hukum berdasarkan kultur warisan nenek moyang mereka. Akar dari hukum adat bersumber dari tata nilai, pandangan hidup, kebijaksanaan dan kearifan lokal yang tertanam dan diikuti oleh masyarakatnya.

Hingga saat ini eksistensi hukum adat masih diakui dan dihormati oleh negara. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memberi bukti pengakuan negara terhadap hukum adat. Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.2 Selain itu negara memajukan kebudayaan nasional di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.3 Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.4

Beberapa ketentuan hukum nasional yang bersumber dari hukum Adat antara lain: 1. UURI No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria;

2. UURI No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan; dan 3. UURI No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Ketentuan-ketentuan hukum di atas memuat substansi tentang pengakuan tentang eksistensi hukum adat di Indonesia yang meliputi kelembagaan, pranata dan perangkat-perangkat hukum adat, wilayah hukum adat yang jelas dan paguyuban masyarakat hukum

(8)

adat (rechtsgenonschap). Mahkamah Konstitusi (MK) juga menguatkan pengakuan terhadap hukum adat dalam putusan MK yang mengabulkan gugatan uji materiil sebagian dari UURI No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dengan amar putusan antara lain menghapuskan frasa “negara” dan menyatakan bahwa hutan adat bukan hutan negara, dan hutan adat adalah hutan yang berada di wilayah hukum adat.

Revitalisasi Identitas Nasional dan Otentisitas Nilai-nilai Keindonesiaan

Menurut Jimly Ashsiddiqie, “Konsep negara hukum modern di Eropa Kontinental dikembangkan dengan menggunakan istilah Jerman yaitu “rechtsstaat” antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte. Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika, konsep negara hukum dikembangkan dengan sebutan “The Rule of Law” yang dipelopori oleh A.V. Dicey” (Jimly, 2006: 148).

Lebih lanjut Jimly mengatakan:

Konsep hukum “rechtsstaat” menurut Stahl mencakup empat elemen penting yaitu:

1. Perlindungan hak asasi manusia (HAM);

2. Pembagian kekuasaan;

3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang;

4. Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). (Jimly, 2004: 122)

Selanjutnya Jimly menulis:

A.V. Dicey menyebutkan negara hukum di Anglo Amerika yang dikenal dengan sebutan “The Rule of Law”memiliki tiga ciri penting yaitu: 1. Supremacy of Law;

2. Equality before the Law;

3. Due Process of Law. (Jimly, 2006: 148)

(9)

menjadi penyokong dari terbentuknya Sistem Hukum Indonesia yang benar-benar lahir dari bawah (bottom up) dan merupakan cerminan jiwa masyarakat. Sistem hukum nasional yang bernilai “Indonesia” terbentuk melalui proses otentisitas nilai-nilai keindonesiaan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat sebagai “living law”. Dengan hadirnya sistem hukum Indonesia, maka keberlakuan hukum melalui peraturan perundang-undangan akan tergambar dari kekuatan berlakunya peraturan perundang-undangan itu. Peraturan perundang-undangan telah memiliki kekuatan mengikat sejak disahkan dan dimuat dalam lembaran negara.

Sudikno Mertokusumo mengemukakan tiga macam kekuatan keberlakuan suatu peraturan perundang-undangan:

1. Kekuatan berlaku Yuridis (juritische geltung). Setiap peraturan perundang-undangan secara langsung memiliki kekuatan berlaku secara yuridis jika seluruh persyaratan formal bagi terbentuknya suatu peraturan perundang-undangan telah terpenuhi;

2. Kekuatan berlaku Sosiologis (sociologische geltung). Suatu peraturan perundang-undangan memiliki kekuatan berlaku secara sosiologis apabila peraturan perundang-undangan tersebut telah menjadi kenyataan di dalam masyarakat;

3. Kekuatan berlaku Filosofis (philosophische geltung). Suatu peraturan perundang-undangan barulah mempunyai kekuatan berlaku secara filosofis jika kaidah hukum yang tercantum di dalam undang-undang sesuai dengan cita-cita hukum (rechtsidee) sebagai nilai positif yang tertinggi (uberpositiven werte) yang di Indonesia adalah Pancasila serta cita-cita menuju masyarakat yang adil dan makmur. (Achmad Ali, 1996: 126)

(10)

kekuatan keberlakuan secara filosofis atau kekuatan keberlakuan dengan tingkatan tertinggi menuju cita negara hukum Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur.

Otentisitas nilai-nilai keindonesiaan tercermin dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia. Darji Darmodihardjo mengungkapkan bahwa dalam Pancasila terkandung prinsip-prinsip demokrasi yang bersumber pada kepribadian dan falsafah hidup bangsa Indonesia yang perwujudannya seperti dalam Pembukaan UUD NRI 1945. Demokrasi Pancasila bercirikan Kekeluargaan dan gotong royong, menghargai HAM, pengambilan keputusan berasaskan musyawarah untuk mencapai mufakat, dan bersendikan negara hukum.

Menurut Charles Himawan:

Di negara berkembang, baik yang sudah tergolong dalam kelompok Newly Industrialized Countries atau NIC maupun yang masih tergolong sebagai Less Developed Countries atau LDC, hubungan antara HAM dan wibawa hukum seringkali dilupakan. Mungkin ini salah satu sebab amnesti internasional menempatkan fair trial atau pengadilan yang adil sebagai objek kerjanya. (Charles, 2003: 184).

(11)

Bagan Pikir Otentisitas Nilai-nilai Keindonesiaan dalam Sistem Hukum Nasional

Konsep Sistem Hukum Indonesia

Otentisitas nilai-nilai keindonesiaan melalui revitalisasi identitas nasional yaitu gotong royong, toleransi dalam keragaman, demokrasi Pancasila dan kekeluargaan dan kekerabatan, menawarkan sebuah gagasan tentang sistem hukum nasional yang diharapkan benar-benar merupakan cerminan “jiwa” dari bangsa Indonesia. Roberto M. Unger menjelaskan tentang persoalan tatanan sosial (social order) dengan membahas hubungan

Sistem Hukum Eropa

Sistem Hukum

INDONESIA

Sistem Hukum Islam

Sistem Hukum Adat

Otentisitas Nilai2 Keindonesiaan

Tujuan Negara (alinea IV) Pembukaan UUD

1945 Revitalisasi Identitas Nasional

(Semangat Demokrasi Pancasila)

Sistem Hukum (cer i a jiwa bangsa)

(12)

antara bentuk hukum dan bentuk masyarakat. Menurut Unger “Doktrin tentang tatanan sosial mencakup pandangan terhadap bentuk dan penggunaan peraturan. Apabila tiap-tiap doktrin paling cocok untuk satu jenis masyarakat tertentu, maka diharapkan akan diketahui bahwa karakter hukum mengalami perubahan dari satu bentuk kehidupan sosial ke bentuk kehidupan sosial yang lain” (Unger, 2008: 61).

Selanjutnya Unger mengemukakan:

Dalam pengertian yang lebih luas, hukum adalah setiap setiap pola interaksi yang muncul secara berulang di antara banyak individu dan kelompok, diikuti pengakuan yang relatif eksplisit bahwa pola-pola interaksi demikian memunculkan ekspektasi perilaku timbal balik yang harus dipenuhi. Roberto Unger menyebutnya “hukum adat” (customary law) atau hukum interaksional (interactional law). Ada dua sisi dalam konsep hukum (adat) sebagai interaksi. Sisi yang satu adalah keseragaman yang tampak nyata dalam berperilaku dan sisi yang lain bersifat normatif: sentimen akan kewajiban dan hak, atau kecenderungan untuk menyamakan bentuk-bentuk perilaku yang sudah mapan dengan gagasan mengenai tatanan yang benar di masyarakat dan di dunia secara umum. (Unger, 2008: 63).

Menurut hemat penulis, Unger menghendaki adanya keserasian antara bentuk hukum (sistem hukum) dan bentuk masyarakat agar terlihat karakter hukum (bentuk hukum) dalam kehidupan sosial (bentuk masyarakat). Menariknya, Roberto Unger menganggap bahwa hukum adat lebih bersifat interaksional karena terdapat sisi interaktif dalam berperilaku dan sisi interaktif yang lain secara normatif tentang pemenuhan kewajiban dan hak dalam sebuah tatanan di masyarakat dan di dunia.

(13)

dengan asal-usul dari masyarakat itu sendiri. Bukan berarti suatu sistem hukum menolak pengaruh-pengaruh dari sistem hukum lain, akan tetapi pengaruh-pengaruh integrasi sistem hukum tersebut tidak boleh menghilangkan identitas masyarakat yang menjadi jati diri sebuah bangsa.

Bangsa Indonesia yang sejak dahulu dikenal sebagai bangsa yang pluralis, tidak boleh kehilangan kultur dengan tetap menjaga identitas nasionalnya. Pembaruan sistem hukum Indonesia yang merupakan jiwa dari bangsa Indonesia adalah dengan mengoptimalisasi nilai-nilai keindonesiaan yang berakar dari hukum adat. Karakteristik hukum adat tercermin dalam identitas nasional bangsa Indonesia yaitu semangat bergotong royong, toleransi atas keragaman, berdemokrasi Pancasila dan kental akan semangat kekeluargaan dan kekerabatan. Mewujudkan masa depan hukum Indonesia (ius constituendum) dilakukan dengan merancang pembentukan hukum nasional melalui rancangan peraturan perundang-undangan yang berasal dari cita-cita masyarakat dan bukan “given” dari penguasa. Dengan demikian peraturan perundang-undangan yang dihasilkan akan memiliki kekuatan keberlakuan secara filosofis karena memang lahirnya peraturan tersebut bagaikan harapan yang menjadi kenyataan “dream comes true”. Sistem Hukum Indonesia dengan Negara Hukum “Pancasila” inilah yang diharapkan akan membawa negara Indonesia bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

(14)

Konsep Sistem Hukum Nasional dan Negara Hukum “Pancasila

NEGARA HUKUM Pa casila

Perlindungan

HAM

Pengadilan yg Adil (fair trial)

Gotong Royong dan Kekeluargaan

Pemerintahan yg baik dan demokratis

Identitas Nasional

SISTEM HUKUM NASIONAL

Tercapainya Tujuan Negara dan Indonesia bersatu, berdaulat, adil

(15)

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Achmad. Menguak Tabir Hukum. Chandra Pratama, Jakarta. 1996.

Asshiddiqie, Jimly. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Konstitusi Press, Jakarta. 2006.

Friedman, Lawrence. Wisnu Basuki (ed). American Law An Introduction. Tatanusa, Jakarta. 2001.

Himawan, Charles. Hukum Sebagai Panglima. Kompas Media Nusantara, Jakarta. 2003.

Kuncorowati, Puji Wulandari. Menurunnya Tingkat Kesadaran Hukum Masyarakat Indonesia. Jurnal Civics, Vol. 6 No. 1 Juni 2009.

Rahardjo, Satjipto. Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya. Genta Publishing Yogyakarta. 2009.

Ruhpina, Lalu Said. Kedaulatan Rakyat sebagai Het Absolute Ideel Indonesia. UB Press. 2010.

Salman, Otje. Filsafat Hukum (Perkembangan dan Dinamika Masalah). Refika Aditama Bandung. 2012.

Peraturan Perundang-undangan:

1. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Bugerlijke wetboek); 2. Kitab Undang-undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel); 3. UU No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana; 4. UURI No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria;

5. UURI No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; 6. UURI No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan;

7. UURI No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah;

8. UURI No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UURI No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;

9. UURI No. 6 Tahun 2014 tentang Desa;

(16)

Referensi

Dokumen terkait

mengagumkan dari para tokoh pendiri Bangsa Indonesia berbentuk dasar 

Tujuan nasional bangsa Indonesia tercantum dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia

Integritas nasional adalah suatu proses penyatuan atau pembauran berbagai aspek sosial budaya ke dalam kesatuan wilayah dan pembentukan identitas nasional atau bangsa (Kamus

Pancasila sebelum dirumuskan secara formsl yuridis dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai dasar filsafat negara Indonesia, nilai-nilainya telah ada pada bangsa Indonesia, dalam

Secara politis beberapa bentuk identitas nasional Indonesia yang dapat menjadi pembangun jati diri bangsa Indonesia meliputi: bendera negara Sang Merah Putih,

Jadi, pegertian Identitas Nasional adalah pandangan hidup bangsa, kepribadian bangsa, filsafat pancasila dan juga sebagai Ideologi Negara sehingga mempunyai kedudukan paling

Berdasarkan pembukaan UUD 1945 bahwa salah satu tujuan nasional  Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan  bangsa.

Secara politis beberapa bentuk identitas nasional Indonesia yang dapat menjadi pembangun jati diri bangsa Indonesia meliputi: bendera negara Sang Merah Putih,