• Tidak ada hasil yang ditemukan

TEORI ORGANISASI Kekuasaan dan Politik O

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "TEORI ORGANISASI Kekuasaan dan Politik O"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

Kekuasaan dan Politik Organisasi

A. Pendahuluan 1. Latarbelakang

Kekuasaan hal yang melekat dengan seorang pemimpin, sebagaimana dalam Islam, Nabi adalah seorang pemimpin yang memiliki wewenang dalam berbagai hal, salah satunya adalah pengadilan. Seperti digambarkan dalam Al-Qur’an Surat An-Nuur: 48.





























 









“Dan apabila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya, agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka, tiba-tiba sebagian dari mereka menolak untuk datang.”1 Terdapat pesan-pesan dinamika kehidupan berorganisasi dalam ayat di atas, dimana dalam sebuah organisasi akan terdapat pihak-pihak yang selalu berbeda pandangan, dan kepentingan yang bisa menampakkan sikap oposisi bahkan menolak bekerja sama kepada seorang pemimpin yang sedang berkuasa. Disinilah pentingnya kekuasaan dan politik organisasi dijalankan oleh seorang pemimpin, agar dapat mempengaruhi orang yang dipimpinnya melalui hard power atau pun soft power. Dapat dilihat dalam ayat tersebut memperlihatkan bagaimana Nabi diberi kekuasaan oleh Allah untuk menghukum individu.

Ketika individu berada dalam satu organisasi, aktifitas mereka harus diarahkan dan dikendalikan, agar mereka dapat bekerja untuk mencapai tujuan bersama, dan untuk mengatur elemen-elemen yang ada di organisasi, maka dibutuhkan kekuasaan. Kekuasaan merupakan satu kata yang menjadi diskusi dalam banyak disiplin ilmu sosial mau pun ilmu humaniora apakah itu Sosiologi, Politik, Filsafat, Antroplogi, dan Manajemen. Karena kekuasaan merupakan kemampuan individu mau pun kelompok kepada individu atau kelompok lain untuk mengerjakan sesuatu yang mungkin tidak mereka inginkan. Sehingga terjadi interaksi dalam satu komunitas atau organisasi.

(2)

Dalam studi organisasi dan kepemimpinan, pertanyaan yang sering muncul adalah: “Mengapa atau bagaimana pemimpin dapat diikuti oleh pengikutnya?” pertanyaan ini banyak menjadi pertanyaan bagi para ilmuwan sosial, misalnya Max Weber.Weber mendefenisikan kekuasaan sebagai probabilitas, yang mana seorang aktor dalam hubungan sosial akan menjadi sebuah posisi untuk membuat dirinya akan bertahan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Emerson, bahwa kekuasaan dari aktor A meliputi aktor B adalah jumlah resistensi pada B yang secara potensial diatasi oleh B. Dapat dilihat bahwa kekuasaan meliputi seseorang merubah perilaku satu orang atau lebih.

Sebuah bagian penting mempelajari peranan yang kelompok mainkan di organisasi adalah memahami bagaimana dan mengapa individu berperilaku berbeda di kelompok dan tim. Perbedaan-perbedaan ini berlangsung diluar perilaku yang diciptakan oleh aturan dalam interaksi kelompok. Di organisasi kelompok, anggota yang lain berpotensi mempengaruhi pemikiran dan perilaku individu.

Studi mengenai kekuasaan dan politik organisasi juga menjadi pembahasan dalam manajemen pendidikan. Karena dalam mengelola lembaga pendidikan terdapat banyak dinamika dan variabel yang membuat sebuah institusi pendidikan mencapai tujuannya. Pada kasus lembaga pendidikan Islam, manifestasi kekuasaan dan politik organisasi ini akan menjadi sangat unik jika dilihat di pesantren atau pun madrasah.

Dalam konteks lembaga pendidikan Islam, dalam hal ini pesantren dan madrasah. Terdapat berbagai varian kekuasaan di pesantren dan di madrasah. Di pesantren terdapat kyai yang memiliki otoritas besar sementara di madarasah lebih dikenal dengan kepala madrasah. Pola-pola kekuasaan dan politik yang diterapkan di pesantren sangat berbeda dengan madrasah. Pesantren sangat didominasi oleh kyai, sedangkan madrasah yang dikelola yayasan biasanya kekuasaan kepala madrasah tidak terlampau kokoh.

(3)

Pentingnya makna serta peran kekuasaan dan politik organisasi untuk mencapai tujuan organisasi. Maka sangatlah penting mempelajari konsep kekuasaan dan politik organisasi secara umum dan melihat bagaimana implementasinya di lembaga pendidikan Islam.

2. Fokus Pembahasan

Makalah ini fokus membahas sebagai berikut:

a. Konsep kekuasaan dan politik organisasi.

b. Mengulas disertasi, dan jurnal yang berkenaan dengan kekuasaan dan Politik Organisasi dalam berbagai perspektif disiplin ilmu.

c. Manifestasi kekuasaan dan politik organisasi dalam Lembaga Pendidikan Islam: pesantren dan madrasah.

3. Tujuan dan Manfaat

a. Menjelaskan konsep kekuasaan dan politik organisasi

b. Mengulas dan mengambil manfaat dari penelitian mengenai kekuasaan dan politik organisasi.

c. Menganalisis konsep kekuasaan dan politik organisasi dalam pengelolaan lembaga pendidikan Islam: pesantren dan madrasah.

B. Kajian Pustaka

1. Kekuasaan dan Politik Organisasi dalam Islam

Dalam mendiskusikan konsep kekuasaan dan kepemimpinan, maka tidak bisa dilepaskan kata pemimpin. Karena pemimpin lah yang memiliki kekuasaan dan menjalankan politik organisasi. Dalam sejarah dan pemikiran politik Islam terdapat beberapa terma, diantaranya adalah Imamah dan Khalifah. Dua istilah pemimpin dalam Islam tersebut berdampak dalam sistem pemerintahan Islam masa klasik atau pu masa modern.

Dalam Al-Qur’an Surat An-Nisaa’: 58 menggambarkan konsep Islam mengenai kekuasaan, dan politik organisasi.

      

           

(4)

adil. Sesungguhnya Allah memberi pelajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”2

Sedangkan dalam Surat Yusuf: 54-55 merupakan proses bagaimana Nabi Yusuf memperoleh kekuasaan.



          

“(54) Dan raja berkata, “Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang rapat kepadaku.”Maka tatkala raja telah bercakap-cakap dengan dia, dia berkata, “Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada sisi kami.” (55) Yusuf berkata, “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.”

Menurut Ibnu Katsir, Allah berfirman menceritakan sang raja ketika memeriksa ketidaksalahan Yusuf dan kesucian kehormatannya dari tuduhan yang dialamatkan kepadanya. Raja berkata “Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang dekat kepadaku.” Maksudnya, aku akan menjadikannya sebagai orang kepercayaanku dan tempat aku bermusyawarah. “Maka tatkala raja telah bercakap-cakap dengan dia.” Maksudnya, setelah sang raja mengajaknya berbincang-bincang, mengenalnya,melihat keutamaan dan kepintarannya, serta mengetahui keelokkan fisik, akhlak dan kesempurnaan yang dimilikinya, maka sang raja berkata kepadanya “sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seseorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya disisi kami.” Maksudnya, engkau akan tinggal disisi kami sebagai orang yang memiliki kedudukan dan kepercayaan.

Kemudian Yusuf berkata: “Jadikanlah aku bendaharawan negeri (Mesir): sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.” Ia memuji dirinya sendiri, dan yang demikian itu diperbolehkan karena tida ada orang yang menjabat dibidang itu sangat mendesak. “orang yang pandai menjaga”. Maksudnya, bendaharawan yang terpercaya “lagi berpengalaman”. Yakni memiliki pengetahuan dan pengalaman dibidang itu.

(5)

paling tepat, paling baik dan paling bijaksana untuk mereka. Maka permintannya itu dikabulkan karena suka kepadanya dan sebagai penghormatan untuknya.3

 

 



























































“Dan demikianlah kami memberi kedudukan kepada Yusuf di Negeri Mesir; (dia berkuasa penuh) pergi menuju ke mana saja ia kehendaki di bumi mesir itu. Kami melimpahkan rahmat Kami kepada siapa yang Kami kehendaki dan Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.”4

Ibnu Katsir menjelaskan Allah berfirman “ dan demikianlah Kami memberi kedudukan kepada Yusuf dinegeri,” maksudnya di negeri Mesir. “(Dia berkuasa penuh) pergi menuju kemana saja yang ia kehendaki di bumi Mesir itu”. Berkata as-Suddi dan ‘Abdurrahman bin Zaid bin Aslam: “Di negeri Mesir itu, ia diberi kebebasan untuk mengambil tindakan apapun yang ia kehendaki. Ibnu Jarir berkata: “ia boleh tingggal di mana saja di Mesir, sesuai dengan apa yang ia kehendaki, setelah mengalami kesempitan, terpenjara dan tertawan.

Allah berfirman “ Kami melimpahkan rahmat Kami kepada siapa yang Kami kehendaki, dan Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” Maksudnya, Kami tidak menyia-nyiakan kesabaran Yusuf menghadapi penganiayaan saudara-saudaranya, dan kesabarannya menghadapi penjara gara-gara isteri al-Aziz.

Olehkarena itu Allah menjadikan suatu akibat yang baik bagi Yusuf, berupa keselamatan, kemenangan dan dukungan. “dan kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik. Dan sesungguhnya pahala diakhirat itu lebih baik, bagi orang-orang yang beriman dan selalu bertakwa.” Allah memberitahukan bahwa apa yang telah disediakan-Nya untuk Nabi-Nya (Yusuf) di negeri akhirat, adalah lebih besar, lebih banyak dan lebih mulia daripada kekuasaan dan pengaruh yang telah Dia berikan kepadanya di dunia.5

Selanjutnya Al-Qur’an dalam Surat An-Naml: 32-35 juga menggambarkan bagaimana seorang Ratu Balqis yang berkuasa penuh sekali pun harus tunduk kepada kekuasaan lebih tinggi yang dimiliki oleh Nabi Sulaiman.

3 Ibnu Katsir, Pengesahan Hadits berdasarkan Kita-kitab Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani dan Ulama Hadits Lainnya disertai Pembahasan yang Rinci dan Mudah difahami. (Jilid 4.Jakarta: Penerbit Ibnu Katsir, hlmn.645. Penerjemah: Abu Ihsan al-Atsari, Abu Ahsan Sirojuddin Hasan Bashri, Cetakan keempat) 4 QS.12: 56, Op.cit, hlm. 243.

(6)

                                        

(32) Dia (Balqis) berkata, “Hai para pembesar berilah aku pertimbangan dalam urusanku (ini) aku tidak pernah memutuskan sesuatu persoalan sebelum kamu berada dalam majelis(ku).” (33) Mereka menjawab, “Kita adalah orang-orang yang memiliki kekuatan dan (juga) memiliki keberanian yang sangat (dalam peperangan), dan keputusan berada ditanganmu; maka pertimbangkanlah apa yang akan kamu perintahkan.” (34) Dia berkata, “Sesungguhnya raja-raja apabila memasuki suatu negeri, niscaya mereka membinasakannya, dan menjadikan penduduknya yang mulia menjadi hina; dan demikian pulalah yang akan mereka perbuat. (35) Dan sesungguhnya aku akan mengirim utusan kepada mereka dengan (membawa) hadiah, dan (aku akan) menunggu apa yang akan dibawa oleh utusan-utusan itu.” 6

Menurut Ibnu Katsir setelah Balqis membacakan surat Nabi Sulaiman kepada para pembesar kerajaannya, ia pun meminta pendapat mereka dalam menghadapi masalah ini: “Berkata dia (Balqis): ‘Hai para pembesar, berilah aku pertimbangan dalam urusanku (ini), aku tidak pernah memutuskan sesuatu persoalan sebelum kamu semua berada dalam majelis (ku).” Maksudnya, hingga kalian menghadiri dan memberi masukkan kepadaku. “Mereka menjawab, kita adalah orang-orang yang memiliki kekuatan dan (juga) memiliki keberanian yang sangat (dalam peperangan).” Maksudnya, mereka memberikan gambaran tentang jumlah prajurit, perlengkapan-perlengkapan persenjataan dan kekuatan mereka. Selanjutnya mereka menyerahkan keputusan kepada Sang Ratu.

Mereka berkata, “ Dan keputusan berada ditanganmu, maka pertimbangkanlah apa yang akan kamu perintahkan.”. Artinya, kami tidak menentangmu dan tidak akan keberatan bila engkau hendak melawan dan memerangi mereka. Kami tidak akan melawan perintahmu. Jadi, apa pun yang engkau putuskan itulah yang menjadi ketetapan. Putuskan saja pendapatmu sekarang, nisacaya kami mentaati dan mengikutinya.

Pada akhirnya Ratu Balqis mengambil langkah perdamaian dengan saling menyerahkan hadiah dan menawarkan kepada Sulaiman untuk tidak saling menyerang.

(7)

Ia berkata “ Dan sesungguhnya aku akan mengirim utusan kepada mereka dengan (membawa) hadiah, dan (aku akan) menunggu apa yang akan dibawa kembali oleh utusan-utusan itu.” Maksudnya, aku akan mengirim hadiah yang sesuai dengan kedudukannya sebagai raja. Aku akan menunggu apa jawaban Sulaiman setelah mendapatkan hadiah. Ada kemungkinan ia menerima hadiah dari kita, bisa jadi ia menolaknya, bisa jadi pula ia membebankan kepada kita kewajiban membayar upeti yang harus kita serahkan tiap tahun. Kita harus membayar upeti agar ia tidak memerangi kita dan membunuh rakyat kita.7

Selanjutnya Allah dalam Surat Al-Baqarah: 247 menyampaikan bagaimana Thalut menjadi raja kaumnya.

               

                               

“Nabi mereka mengatakan kepada mereka, “Sesungguhnya Allah telah mengangkat Talut menjadi rajamu. “Mereka menjawab, “Bagaimana Talut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedangkan dia pun tidak diberi kekayaan yang banyak?” (Nabi mereka) berkata, “Sesungguhnya Allah telah memilihnya menjadi rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa.” Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui.”8

Ayat di atas menampakkan bagaimana di dalam sebuah komunitas (organisasi) selalu terjadi resistensi dari para pengikutnya. Para pengikut cendrung mengikuti penguasa yang harus benar-benar melebihi dari apa yang mereka miliki, baik itu lebih dalam harta benda, kekuatan fisik, atau pun ilmu yang dimiliki seorang calon pemimpin. Surat Al-Baqarah: 247 dalam konteks organisasi modern selalu melihat kelebihan-kelebihan calon pemimpin mereka.

Surat An-Nisa’: 139 menggambarkan bagaimana seorang penguasa yang melakukan koalisi (aliansi) dengan kekuatan-kekuatan lain diluar komunitasnya, hanya untuk memperkokoh kekuasaan yang dimilikinya.

(8)

        

   

“(yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah.”9

Selanjutnya Suta An-Nisa’: 144 umat diperingatkan untuk tidak memilih penguasa (pemimpin) yang berasal dari golongan kafir.

              

 

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu?)” 10

Penguasa tetap harus menghargai orang-orang yang dipimpinnya atau para pengikutnya, sebagaimana dalam Surat Asy-Syu’ara’: 215.



























“ Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman.”11

Dari Surat dalam Al-Qur’an yang dikutip di atas, dapat dilihat konteksnya dalam teori organisasi, khususnya yang berkenaan dengan kekuasaan dan politik organisasi. Surat Yusuf: 54-55 menggambarkan proses memperoleh sebuah kekusaan dan wewenang kekuasaan yang dimiliki seorang pemimpin. Surat An-Naml: 32-35 menggambarkan bagaimana sebuah kekuasaan yang lebih tinggi dari individu atau kelompok lain akan mampu menaklukan individu atau kelompok yang lebih lemah.

Surat Al-Baqarah: 247 menggambarkan proses lahirnya seorang pemimpin. Dalam surat ini diceritakan bagaimana seorang raja Thalut mengalami penolakan dari pengikutnya dikarenakan mereka menganggap calon pemimpinnya tidak memenuhi standar apa yang mereka inginkan. Artinya dalam sejarah organisasi selalu ada tarik menarik kepentingan mau pun penolakan dari pemimpin yang akan berkuasa. Namun dalam surat ini diperlihatkan, 9 QS. 4: 139

10 QS. 4: 144

(9)

bagaimana seorang pemimpin yang tidak memiliki kecukupan materi namun dia memiliki sebuah kekuatan ilmu pengetahuan maka ia akan mampu menjalankan peran sebagai penguasa. Dalam konsep dan filsafat kekuasaan modern ilmu pengetahuan merupakan sumber untuk memperoleh ilmu pengetahuan.

Dalam Surat An-Nisaa’: 58 menceritakan bagaimana seorang pemimpin yang diberikan amanat kekuasaan dan diberikan wewenang dalam menetapkan hukum, maka penguasa tersebut harus menjalankannya secara adil. Sedangkan Surat An-Nisaa’: 144 menggambarkan bagiamana seorang pemimpin akan cendrung melakukan koalisi dengan pihak lain walau pun terdapat perbedaan pandangan atau pun ideologi yang berbeda, tetapi untuk memperkokoh kekuasaannya maka hal tersebut harus dilakukan.Surat Asy-Syu’ara’: 215 mengisyaratkan kepada pemimpin yang memiliki kekuasaan untuk tetap menghargai para pengikutnya dan menjalankan kekuasaannnya dengan prinsip-prinsip memanusiakan.

2. Perkembangan Konsep Kekuasaan dan Politik Organisasi a. Filsafat Kekuasaan dan Politik

Seorang Filsuf Islam, Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhan ibn al-Uzalagh Al-Farabi, atau yang lebih dikenal dengan Al-Farabi, menulis tentang konsep ideal penguasa dalam bukunya Al-Madinah Al-Fadhilah. Menurut Al-Farabi bahwa seorang penguasa adalah Imam. Sehingga sebuah kota harus dipimpin oleh seorang yang memiliki berbagai jenis ilmu pengetahuan.12 Bagi Al-Farabi, sosok penguasa wajib memiliki dua belas indikator sebagai berikut:

1. Harus memiliki organ-organ tubuh yang sempurna, bebas dari kekurangan.

2. Harus memiliki pemahaman baik dalam menangkap segala sesuatu yang disampaikan kepadanya sesuai dengan maksud orang yang menyampaikannya.

3. Memiliki ingatan yang baik mengenai segala sesuatu yang telah ia pahami, lihat, dan dengarkan.

4. Harus pandai, cerdas, dan dapat menangkap indikasi paling halus sekali pun.

5. Harus memiliki artikulasi sehingga memiliki kejelasan dalam menyampaikan hal yang dipikirkannya.

6. Harus mencintai ilmu pengetahuan, memiliki keterbukaan pemikiran dan hati. 7. Harus mencintai kebenaran, dapat dipercaya, membenci kebatilan dan pendustaan. 8. Tidak berhasrat besar atau berkecendrungan besar terhadap makanan, minuman,

hubungan seksual, judi, dan bersenang-senang.

(10)

9. Harus bangga pada diri sendiri, mencintai kehormatan: bahwa karakternya tumbuh secara alami menuju suatu yang mulia.

10.Uang dan tujuan-tujuan duniawi harus diminimalisasi.

11. Mencintai keadilan, membenci penindasan, dan ketidakadilan sekaligus mempraktikkannya.

12.Harus bersemangat dan kuat melakukan segala sesuatu ketika kesadarannya memintanya tanpa rasa takut atau lemah akal.13

Corak pemikiran Al-Farabi tersebut lebih menekankan konsep Imamah yang dianut oleh kelompok Syi’ah. Al-Farabi sering dikelompokkan ke dalam pemikir politik Islam Syi’ah. Sementara Al-Mawardi seorang ulama Sunni membagi seorang penguasa ke dalam empat bagian, sebagai berikut:

1. Mempunyai kekuasaan umum dan bekerja pada bidang umum, mereka dinamakan mentri yang menerima kekuasaan untuk mengerjakan tugas-tugas yang tidak ditentukan bentuknya.

2. Mempunyai kekuasaan umum dan bekerja pada daerah-daerah khusus. Mereka dinamakan Gubernur Daerah. Mereka berwenang dalam semua urusan yang ada di daerah tanggung jawabnya.

3. Mempunyai kekuasaan khusus dan bekerja pada bidang regional yang umum, seperti Hakim, Komandan Militer, Kejaksaan, Pengaturan Perpajakan, Pembagi Sedekah. Setiap bagian memiliki batas tugas yang harus mereka kerjakan, tetapi kawasan regionalnya meliputi semua daerah.

4. Mempunyai kekuasaan khusus dan bekerja pada bidang khusus, seperti Hakim atau Qadhi Daerah, pengaturan perpajakan daerahnya, pemungutan sedekah. Setiap bidang yang menjadi tanggung jawabnya secara terbatas dan di dalam kawasan regional tertentu. 14

Jika dilihat penjabaran Al-Mawardi di atas, dapat disimpulkan bahwa Al-Mawardi menjelaskan penguasa lebih dalam perspektif admisnistrasi, dan telah menampakkan kekhasan delegasi tugas sebagaimana yang diterapkan dalam manajemen modern. Sedangkan menurut Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, kekuasaan mutlak Tuhan yang memilih dua orang sebagai penguasa untuk membimbing rakyat, mereka yaitu Nabi dan Raja.15

13 Nader dalam Nanang Tahqiq. Politik Islam. (Jakarta: Prenada Media, 2004), hlm, 11, dalam 14 Al-Mawardi, ‘Al-Ahkam as-Sulthaniyah dalam Adang...hlm.84.

(11)

“Tuhan telah memilih dua kelompok manusia dan memberi mereka beberapa kelebihan atas yang lain; yang satu adalah kelompok para nabi, dan yang lain adalah para raja. Para nabi diutus kepada hamba-hamba – Nya untuk membimbing mereka kepada-Nya, dan para raja melindungi mereka dari (saling menyerang) di antara mereka; dan dengan kebijaksanaan-Nya Dia (membebankan kepada raja) derajat yang tinggi”16

Mengenai kekuasaan seorang pemimpin bahkan Al-Ghazali pernah memberikan pandangan yang sangat kontroversial.

“Seorang sultan yang berbuat jahat dan keji, selama didukung oleh kekuatan militer, sehingga sangat sulit untuk melengserkannya, dan upaya untuk menjatuhkannya hanya akan memunculkan perang saudara yang merusak, maka ia harus dibiarkan menduduki tahtanya, dan setiap orang harus mematuhinya.”17

Pernyataan Al-Ghazali tersebut senada dengan cerita penaklukan Nabi Sulaiman atas Ratu Bilqis. Namun Al-Ghazali menekankan pada pertarungan kekuasaan dan kepentingan internal organisasi. Apa yang disampaikan oleh Al-Ghazali memperlihatkan bagaimana sebuah kekuasaan yang bersifat otoriter dan militeristik cendrung membuat orang yang dipimpinnya lebih memilih patuh walau pun dalam keadaan terpaksa. Jika dilihat konteks fenomena saat ini justru yang terjadi adalah sebaliknya, dimana kekuasaan seorang pemimpin yang berkuasa secara otoriter dan dengan memanfaatkan kekuatan militer banyak telah dijatuhkan oleh rakyat yang dipimpinnya.Katakanlah lengsernya Soeharto oleh gerakan rakyat dan mahasiswa, Saddam Hussein di Irak, Moamar Qhadafy di Libya, dan berbagai negara di Timur Tengah atau pun di negara Eropa yang mampu menjatuhkan seorang pemimpin otoriter. Namun apa yang dikatakan oleh Al-Ghazali mengenai pertumpahan darah ketika melawan pemimpin otoriter terbukti, yaitu banyaknya korban nyawa dari rakyat ketika menentang pemimpin yang represif dengan memanfaatkan kekuatan militer.

Agak mirip dengan Al-Ghazali tentang patuh kepada pemimpin, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa seorang pemimpin di organisasi harus dipatuhi, karena pemimpin memiliki misi untuk mensejahterakan anggotanya.

“....Apabila umat manusia telah diorganisir maka sudah pasti banyak hal-hal yang harus mereka lakukan untuk mewujudkan kesejahteraan mereka dan banyak pula hal-hal yang tidak boleh mereka lakukan karena akibat-akibatnya yang buruk. Dan mereka harus mematuhi pemimpin yang menjunjung tinggi cita-cita tersebut dan orang-orang yang mencegah perbuatan-perbuatan yang berakibat buruk itu. Jadi seluruh ummat manusia harus tunduk kepada para pemimpin atau orang-orang yang mencegah kejahatan tersebut.” 18

16 Al-Ghazali dalam Lambton, 1980,IV: 105 sebagaimana dalam tesis Adang. Op.ccit. Politik Syi’ah.., hlm.87 17 Ibid, hlm, 89

(12)

Kesejahteraan umat manusia tidak dapat diwujudkan kecuali dalam suatu taat sosial di mana setiap orang tergantung kepada yang lain-lainnya, dan olehkarena itu tidak bisa dihindari, masyarakat memerlukan seorang pemimpin untuk mengatur mereka.19 Dalam konsep kepemimpinan Ibnu Taimiyah berbeda dengan kelompok Syi’ah yang menganut Imamah. Ibnu Taimiyah lebih memilih kepada konsep Khalifah an-Nubuwah (Khalifah Kenabian), yaitu Nabi ditaati sebagai utusan Tuhan. Ibnu Taimiyah mengemukakan syarat-syarat untuk seseorang menjadi pemimpin: 1) seorang imam harus dari suku Quraisy; 2) harus diangkat melalui konsultasi di antara orang-orang Muslim; 3) harus mendapatkan sumpah setia dari orang-orang Muslim; dan 4) harus bersifat adil.20

Sementara Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa seorang pemimpin dalam menjalankan kekuasaannya harus memiliki supremasi yang didukung oleh fanatisme orang yang dipimpinnya.

“....Kepemimpinan tidak dapat diraih kecuali dengan supremasi atau kekuasaan. Supremasi hanya dapat dicapai dengan fanatisme,...dengan demikian, kepemimpinan terhadap suatu kaum haruslah berasal dari kelompok yang memiliki supremasi atas kelompok-kelompok lain secara keseluruhan. Sebab jika masing-masing kelompok dari mereka merasakan adanya supremasi dari kelompok yang memimpin mereka, maka mereka akan tunduk dan mengikutinya.” 21

Menurut Ibnu Khaldun fanatisme yang diperoleh seorang pemimpin bisa bersumber dari ashabiyah atau kekuasaan yang bersumber dari garis keturunan. Prinsip kekuasaan yang bersumber dari keturunan ini akan memberikan supremasi yang kokoh dan saling memperkuat satu sama lain.

Jika merujuk filsuf Barat, konsep kekuasaan akan menjadi sangat berbeda dari ulasan para filsuf Islam klasik. Jika dirunut lebih jauh lagi, sebenarnya konsep kekuasaan telah dipikirkan para Filsuf Yunani. Plato pernah mengemukakan pemikirannya mengenai seorang penguasa haruslah seorang filsuf, karena filsuf dengan kekuatan akal dan pikirannya akan mampu menyelesaikan masalah masyarakat.

Kekuasaan: Studi Pembagian Kekuasaan Politik di Republik Islam Pakistan. (Jakarta: Thesis Pascasarjana FISIPOL Universitas Indonesia) , hlm. 92

19 Qamaruddin Khan. Pemikiran Politik Ibnu Taimiyah. (Jakarta: Pustaka Pelajar , 2001), hlm. 57. Ibid. hlm. 92.

20 Ibid, hlm. 93

(13)

Pada perkembangan filsafat kekuasaan dan politik di dunia Barat banyak memunculkan pemikir politik. Misalnya filsuf dari Italia, Nicollo Machiavelli yang konsep pemikirannya mengenai kekuasaan dan politik banyak mempengaruhi dunia. Machiaveli banyak menyarankan kepada para penguasa mengenai kekuasaan dan politik dalam bukunya Il Principe dan Prince. Begitu besarnya pengaruh filsafat Machiavelli dalam perpolitikan dunia, sehingga para pemimpin yang otoriter, culas, dan licik sering disebut sosok pemimpin Machiavelis. Sebutan ini bermakna negatif, sesuai yang disarankan Machiavelli mengenai pemimpin bisa melakukan apa saja demi kekuasaannya.

Menurut Machiavelli, kekuasaan dan moralitas merupakan dua hal yang terpisah. Moral hanya merupakan strategi kekuasaan dan demi mempertahankan legitimasi kekuasaan. Kekuasaan merupakan praktek berbagai upaya yang dilakukan penguasa untuk melanggengkan kekuasaan.22 Prinsip utama Machiavelli hal terpenting dari tindak tanduk seorang pemimpin adalah lakukan apa saja untuk merebut, memperluas, dan mempertahankan kekuasaannya.

Selanjutnya filsuf asal Perancis Michel Foucault banyak menyumbangkan pemikirannya dalam filsafat kekuasaan, terutama relasi kekuasaan dengan pengetahuan. Foucault menjelaskan bahwa kekuasaan yaitu dapat menentukan dan menetapkan pengetahuan dan tipe-tipe diskursus, serta menentukan benar dan salah.23 Michel Foucault melihat kekuasaan sebagai wacana, dimana penguasa harus mampu memaksa untuk mengetahui dan menggunakan wacana, maka wacana tersebut menerapkan kekuasaan. Maka seorang penguasa harus memproduksi wacana yang mengarahkan apa yang dipikirkan oleh sub ordinan.24 Foucault melihat kekuasaan dengan menekankan pada wacana sebagai alat kekuasaan. Kekuasaan atau sebuah kelompok dominan didirikan melalui wacana, dan kekuasaan memiliki pengaruh. Melalui wacana, kekuasaan bisa mempengaruhi pemikiran masyarakat dalam sebuah upaya melestarikan sebuah kekuasaan. Wacana yang disebarkan sebuah kekuasaan akan membangun sebuah ketidakadilan dan ketidaksetaraan

22 Corina Tambunan “Moralitas dan Kekuasaan: Studi atas Pemikiran Nicollo Machiavelli (1469-1527).” Perpustakaan Universitas Indonesia. UI Thesis. Diakses di http://lib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp? Id=1164197lokasi=lokal tanggal 15 Oktober 2014.

23 M. Abdul Hamid. Konstruk Nahwu dalam Konteks Politik: Perdebatan Madrasah Basrah dan Kufah. (Jakarta: Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011).

(14)

Bagi Foucault kekuasaan hanya bisa dipertahankan dengan penguasaan wacana yang bersifat revolution from above,25 seorang penguasa harus mampu menghegemoni, dan mendominasi publik. Selanjutnya kekuasaan mempunyai hubungan dekat dengan pengetahuan, karena kekuasaan menghasilkan pengetahuan. Maka dengan pengetahuan tersebut penguasa bisa membentuk sebuah dominasi rezim yang berdasarkan pengetahuan.

Foucault menyebutnya sebagai serious speech act, dimana setiap wacana yang disampaikan kepada publik sesungguhnya telah dirancang sedemikian rupa oleh kelompok ahli untuk kepentingan penguasa. Sehingga publik akan mengikuti apa yang diberikan oleh penguasa. Foucault menjelaskan konsep kekuasaannya ini dalam buku Discipline and Punish26 . Foucault mengibaratkan sebuah organisasi sebagai rumah sakit jiwa, disini publik diibaratkan sebagai pasien dan penguasa diibaratkan seorang dokter. Artinya seorang penguasa selalu benar atas tindakannya kepada rakyat.

Posisi publik sebagai pasien harus mematuhi wacana atau apa saja yang diberikan oleh dokter. Benar sekali pun yang dilakukan oleh pasien tetap saja dokter memiliki kewenangan untuk menyatakan itu salah. Dengan kesadaran dan pengetahuan maka dokter dapat mengendalikan pasien sakit jiwa. Maka apa yang terjadi di rumah sakit jiwa yang terjadi adalah relasi antara dokter dan pasien. Dalam konteks organisasi, seorang penguasa harus mampu mengendalikan anggotanya dengan pengetahuan yang dimilikinya dan di dukung oleh rezim pengetahuan.

Sedangkan Anthony Gramsci menawarkan bahwa supremasi wacana bisa dalam bentuk dua cara berbeda; Dominasi (dominio) atau Paksaan dengan cara militeristik, dan Kepemimpinan Moral Inteletual (direzione intelletule morale). Dalam konsep “kuasa pengetahuan” Gramsci dan Foucault memiliki kesamaan, bahwa dengan pengetahuan seorang penguasa akan mampu menguasai publik. Gramsci juga memiliki kesamaan dalam memandang bahwa wacana melalui media adalah alat kekuasaan. Gramsci mengatakan bahwa media merupakan arena pergulatan antar ideologi yang saling berkompetisi (the battle ground for competing ideologies). Konsep ini disebut Gramsci sebagai hegemoni, yaitu yang

25 Mengacu pada konsep diskursus Foucault, menurut Sarra Mills, selain kekuasaan, pengetahuan, seksualitas, subjektifitas, dan kegilaan, Foucault menggunakan konsep diskursus untuk mengacu domain umum pasif (passive revolution), revolusi dari atas (revolution from above), pemanfaatan institusi untuk menciptakan perubahan struktur dalam upaya membentuk blok historis baru.

(15)

kuat mendominasi yang lemah atau pemaksaan cara pandang melalui ideologi, hegemoni ini berlangsung secara sadar maupun tidak sadar

Jika dilihat dalam perspektif Marxisme yang pernah (dan masih) menjadi landasan perjuangan komunisme internasional mau pun komunisme nasional . Bahwa kekuasaan merupakan pertarungan kelas antara kelas proletariat dan kaum borjuis yang di dalam dua strata sosial ini terdapat ideologi komunisme dan kapitalisme. Bagi kelompok proletariat yang dikuasai oleh kelompok kapitalis borjuis maka mereka harus merebut kekuasaannya mau pun sistem pemerintahan dengan melakukan pertentangan kelas hingga sampai pada tahap revolusi atau perebutan kekuasaan dan menguasai pemerintahan sehingga dibentuklah sistim diktator proletariat.

Untuk merebut kekuasaan menurut Marx, dibutuhkan konflik kelas dan terjadinya transformasi radikal (revolusi).

“Pada tahap tertentu perkembangannya, kekuatan-kekuatan material produksi di dalam masyarakat mulai mengalami konflik dengan relasi-relasi produksi yang sudah ada atau-sesuatu yang tak lebih dari ungkapan persoalan yang sama-berkonflik dengan relasi-relasi kekayaan yang menjadi wahana kerja bagi kekuatan material tersebut. Dari bentuk-bentuk perkembangan kekuatan produksi, relasi tersebut berubah menjadi belenggunya. Kemudian terjadilah masa revolusi sosial. Seiring dengan perubahan landasan ekonomi, seluruh suprastruktur raksasa nyaris mengalami transformasi secara pesat.” 27

Anthony Giddens menjelaskan bahwa Marx menghubungkan kekuasaan dengan perpecahan dan pembagian kepentingan di antara kelas.28 Kekuasaan berkaitan dengan konflik. Bagi Marx umat manusia yang berada dalam lingkungan-lingkungan yang didominasi harus mengobarkan perjuangan dan menciptakan konflik dengan penguasa yang mendominasi. Pada saat sistem kekuasaan diktator proletariat berdiri maka kelas pekerja menguasai segala bentuk sumber daya dan membuat kelompok borjuis dan kapitalis harus patuh dalam sistem yang mereka bangun, atau bisa dikatakan tidak ada lagi kelas, selain kelas pekerja yang berkuasa.

Giddens menyebut kekuasaan sebagai Dialektika Kontrol dalam sistem sosial, yang menyatakan bahwa para aktor sosial mengetahui, dan harus mengetahui, banyak perihal situasi atau lingkungan tindakan mereka, dapat dihubungkan dengan dominasi dan

27 Karl Marx, A Contribution to the Critique of Political Economy dalam Anthony Giddens, Problematika Utama dalam Teori Sosial: Aksi, Struktur, dan Kontradiksi dalam Analisis Sosial. (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 289.

(16)

kekuasaan.29 Giddens coba menjelaskannya dengan konsep birokrasi nya Max Weber. Weber menjelaskan bahwa dalam birokrasi terjadi “pengerucutan” menuju puncak sedemikian rupa sehingga terjadi kemajuan birokratisasi sedikit banyak berarti penurunan progresif dalam hal otonomi tindakan bagi orang-orang yang menduduki eselon lebih rendah.

b. Kekuasaan dan Politik

Mendikusikan kekuasaan tidak bisa terlepas dari kata politik. Karena melalui politik lah kekuasaan bisa direbut (diperoleh), diperluas, dan dipertahankan. Setiap proses kekuasaan tersebut selalu melakukan proses atau pun strategi-strategi politik agar orang yang ingin dipengaruhi dapat mengikuti kehendak penguasa. Seseorang yang memiliki kekuasaan penuh sekali pun atau seorang diktator, tetap harus melakukan rumusan dan strategi politik.

Kata “politik” sering dimaknai bahkan sudah menjadi citra publik merupakan sebuah kata yang tendensi negatif. Bahkan di Amerika muncul sebuah ungkapan “politik adalah kata yang paling kotor.” Politik mengesankan kepada tindakan-tindakan yang tidak bermoral dan bahkan mengabaikan manusia dan rasa kemanusiaan. Walau pun sebenarnya ketika dimaknai otensitas politik sebagaimana yang dikatan seorang Filsuf Jerman, Hannah Arendt bahwa politik itu semestinya mampu membuat orang berempati, memahami orang lain, dan sanggup keluar dari kepentingan-kepentingan pribadi atau kelompoknya untuk merasakan dan merespon apa yang di inginkan orang di luar dari dirinya. Jadi sebenarnya tidak ada yang salah dengan kata politik dan setiap aktifitas politik, jika itu dimaknai untuk kebaikan bersama dalam sebuah organisasi. Bahkan dengan aktifitas politik semestinya, individu atau pun kelompok dapat memperlihatkan kepedulian dan empatinya kepada individu atau kelompok di luar dirinya. sebagaimana makna karta politik itu sendiri seperti dalam Kamus Webster mendefinisikan politik “the art or science concerned with guiding or influencing...policy....with winning and holding control..(and) competition between competing interest groups or individuals for power and leadership”.30 Dapat dilihat bahwa politik adalah seni atau ilmu yang mempelajari dan mempengaruhi dengan memenangkan dan mengendalikan persaingan antara individu atau kelompok kepentingan untuk kekuasaan dan kepemimpinan.

Dapat dilihat bahwa hubungan antara politik dan kekuasaan adalah bahwa aktifitas politik merupakan upaya untuk merebut kekuasaan. Jika dimaknai dalam organisasi, bahwa

29 Giddens, Op.cit. Problematika...hlm. 275.

(17)

politik organisasi adalah upaya individu dan kelompok kepentingan untuk memperjuangkan kepentingan masing masing dengan berusaha merebut pengaruh melalui kekuasaan yang para aktor miliki.

Kekuasaan adalah kapasitas untuk merubah sikap dan perilaku orang lain dalam bentuk yang diinginkan.31 Steven McShane dalam bukunya Organizational Behavior menggambarkan kekuasaan sebagai kemampuan seseorang atau kelompok orang untuk mempengaruhi lainnya.32 Dalam teori perilaku organisasi dipandu oleh rasional, alasan rasional untuk tujuan kepentingan organisasi lebih lanjut. Dalam praktiknya perilaku organisas dimotivasi dan dipandu oleh politik organisasi sebagai individu dan kelompok yang berusaha untuk memiliki jalan sendiri untuk tujuan dan kepentingannya.33

Menurut Max Weber kekuasaan sebagai suatu kemungkinan dalam rangka hubungan-hubungan sosial untuk melaksankan keinginan seseorang. Sungguhpun terdapat tantangan dan tidak tergantung pada dasar-dasar dari kemungkinan-kemungkinan tersebut.34 Menurut Marx dan Engel kelas yang berkuasa disetiap zaman sekaligus adalah ide yang berkuasa. Artinya, kelas yang menguasai kekuatan intelektual masyarakat yang bersangkutan.35 Sementara Antonio Gramsci mengatakan bahwa kekuasaan bisa dilakukan dengan kekuatan militer mau pun intelektual. Jika menggunakan kekuatan militer, maka lebih cendrung kepada intimidasi, berbeda jika kekuasaan diperoleh dengan kekuatan intelektual, maka hal itu bisa disebut dengan hegemoni.

Robert Dahl mendefenisikan kekuasaan sebagai A memiliki kekuasaan meliputi B untuk memperluas yang dia bisa dapat dari B untuk melakukan sesuatu walau pun B tidak ingin

31 Jerald Greenberg, dan Robert A. Baron. Behavior Organizations. (Sixth Edition, London: Prentice Hall, 1995), hlm. 402.

32 EEM. Rawes, “Power, Influence& Politics in the Workplace”, http://smallbusiness.chron.com/power-influence-politics-workplace-19058.html diakses tanggal 19 Oktober 2014

33 Randal B. Dunham dan John L, Pierce, Management. (USA: Scott, Foresman and Company, 1989), hlm. 545-546.

34 Tilaar,H.A.R, Kebijakan Pendidikan: Pengantar untuk Memahami Kebijakan Pendidikan dan Kebijakan Pendidikan sebagai Kebijakan Publik. (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm.136.

(18)

lakukan.36 Istilah kekuasaan menurut Dahl yaitu mencakup kategori hubungan kemanusiaan yang luas, seperti hubungan yang berisi pengaruh, otoritas, dorongan, kekerasan, tekanan dan kekuatan fisik.37 Memahami konsep kekuasaan dari Dahl ini, yaitu kekuasaan adalah antara dua orang atau lebih. Kekuasaan tidak dimiliki secara mudah. Individu atau kelompok harus mampu mengatasi individu atau kelompok lain terlebih dahulu untuk memperoleh kekuasaan. Selain itu Dahl menjelaskan bahwa kekuasaan mengacu pada kapasitas seseorang individu untuk merubah sikap atau tindakan individu yang lain. Dalam hubungan kekuasaan satu individu dapat mempengaruhi pemikiran yang lain, atau mengendalikan perilaku individu lain.

Kekuasaan dapat dilihat ketika individu mempunyai wewenang untuk menilai, menghargai dalam organisasi, maka dapat dikatakan dia memiliki kekuasaan. Disisi lain pemiliki kekuasaan juga mampu memberikan sanksi atau hukuman kepada anggotanya.

Kekuasaan dan politik memainkan peran penting dalam bisnis, dari mengatur bagaimana keputusan dibuat hingga bagiamana atasan berinteraksi dengan satu sama lain. Dalam bisnis apakah itu hal besar atau hal kecil, pengaruh kekuasaan bergantung pada apakah atasan menggunakan positif atau negatif kekuasaan untuk mempengaruhi orang lain di tempat kerja. Politik berpengaruh langsung terhadap yang memiliki kekuasaan dan membatasi apakah keseluruhan budaya di empat kerja mendukung produktivitas.38

Kekuasaan yang positif dalam organisasi mampu mendorong produktivitas. Misalnya dengan memberikan anggota kekuasaan untuk mengambil keputusan, penghargaan kepada anggota terhadap kinerjanya. Kekuasaan positif akan memberikan kepercayaan diri dan motivasi kepada anggota untuk bekerja lebih baik. Hal ini dapat dilakukan dengan membangun komunikasi yang baik dan menghargai anggotanya. Ketika seorang pemimpin tidak memiliki penghargaan kepada anggotanya maka ini merupakan kekuasaan yang negatif.39 Olehkarena itu organisasi harus membangun kekuasaan dan politik yang positif di

36 Robert Dahl (1957) dalam Linda K. Stroh et.al, Organizational Behavior: A Management Challenge. Third Edition. (London: Lawrence Erlbaum Associates, 2002), hlm.193.

37 Robert A. Dahl dalam Adang Taufik Hidayat,Op.cit. Pemikiran...., hlm. 18.

38Stacy Zeiger. The Impact of Power and Politics in Organizational Productivity.

(19)

organisasi agar dapat mendorong produktifitas. Iklim kolaborasi dan sistim perintah yang jelas akan memperkecil peluang konflik organisasi.

c. Sumber Kekuasaan

Kekuasaan dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk memaksakan kehendaknya atas pihak lain, dan sebagai suatu fenomena yang memiliki berbagai bentuk. Kekuasaan memiliki beberapa sumber, yaitu di samping dimiliki oleh orang yang memiliki kewenangan resmi dan kekuatan fisik (senjata) mau pun ekonomi.40 Kejujuran moral yang tinggi dan pengetahuan dapat pula menjadi sumber timbulnya kekuasaan. Kekuasaan cendrung cendrung membuat orang yang memilikinya selalu ingin mempertahankannya bahkan memperluasnya.

Setiap orang menginginkan posisi atas atau posisi tertinggi di sebuah organisasi dimana tempatnya mengaktualisasikan diri. Motif berada pada level atas ini tidak hanya bermotif ekonomi, tetapi juga kepada motif akan kekuasaan itu sendiri.41 Jennifer M. George membagi dua jenis kekuasaan, yaitu Kekuasaan Individual Formal dan Kekuasaan Individual Informal. Kekuasaan individual formal adalah kekuasaan dalam sebuah organisasi hirarkis yang diperoleh individu dalam organisasi. Mereka menerima tanggung jawab formal untuk menjalankan tugas-tugasnya. Sementara organisasi memberikan otoritas formal untuk memanfaatkan orang dan sumber daya organisasi agar dapat sukses menjalankan kewajibannya.42 Sementara Kekuasaan Individual Informal merupakan kekuasaan dari karakteristik personal seperti personaliti, keahlian, dan kapabilitas.43

Kekuasaan Individual formal bersumber dari hal sebagai beikut:

1. Legitimasi kekuasaan. Kekuasaan untuk mengendalikan dan menggunakan sumber daya organisasi untuk mencapai tujuan organisasi.

39 Ibid

40 Mochtar Kusumaatmadja dalam Nanik Trihastuti, “Hubungan Antara Hukum dan Keuasaan dalam Perspektif Filsafat Huku” Makalah disajikan dalam diskusi Bagian Hukum Internasional. (Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1998), hlm. 4.

41 EEM. Rawes, “Power, Influence& Politics in the Workplace” http://smallbusiness.chron.com/power-influence-politics-workplace-19058.html diakses tanggal 19 Oktober 2014.

(20)

2. Reward power. Kekuasaan diberikan berdasarkan promosi, penghargaan, proyek-proyek penting.

3. Coercive power. Kekuasaan yang diberikan untuk memberi sanksi

4. Kekuasaan Informasi. Kekuasaan yang diperoleh dari keleluasaan mengakses dan mengendalikan informasi.44

Sedangkan Kekuasaan Individual Informal bersumberkan dari:

1. Kekuasaan ahli. Kekuasaan yang bersumberkan dari kekuataan dan kemampuan dari keahlian yang dimiliki individu.

2. Referent power. Kekuasaan yang diperoleh berdasarkan pengaruh di kelompok karena disukai, dihargai, dan dihormati.

3. Kekuasaan kharismatik. Kekuasaan berdasarkan persoanlitas, penampilan fisik, dan kecakapan indiviu yang membuat orang mempercayainya.45

Sementara French dan Raven merumuskan sumber kekuasaan sebagai berikut:

1. Kekuasaan personal. Kemampuan pemimpin untuk mengembangkan pengikut dari kekuatan personalitas mereka.

2. Kekuasaan ahli. Kemampuan untuk mengendalikan perlaku orang lain karena memiliki pengetahuan, pengalaman, yang tidak dimiliki orang lain, namun dibutuhkan.

3. Kekuasaan legitimasi. Pengesahan otoritas hak.

4. Kekuasaan penghargaan. Posisi dimana seorang manajer dapat menggunakan penghargaan intrinsik dan ekstrinsik untuk mengendalikan orang lain.

(21)

5. Kekuasaan Koersif. Posisi dimana manajer dapat memberikan hak atau memberikan hukuman untuk mengendalikan orang lain.46

d. Politik Organisasi

Ketika individu berusaha menginginkan individu lain untuk melakukan sesuatu yang diinginkannya, individu tersebut sedang mencari sebuah pengaruh kepada orang lain. Kapasitas untuk mewujudkan pengaruh kepada orang lain maka hal tersebut disebut kekuasaan. Penggunaan tidak resmi kekuasaan untuk memperluas atau melindungi kepentingan seseorang hal ini disebut sebagai politik organisasi.47 Politik organisasi adalah aktifitas dimana manajer terlibat untuk meningkatkan kekuasaan, tujuan, dan kepentingan individu mau pun organisasi.48 Politik organisasi “unauthorized uses of power that enhance or protect one’s own or one’s group’s personal interest”.49

Manajer dalam semua level selalu terlibat dalam perilaku politik untuk mendapatkan promosi atau untuk mempengaruhi pengambilan keputusan organisasi berdasarkan keinginannya.50

1. Perilaku disengaja yang dirancang untuk memperkuat atau melindungi pengaruh seseorang dan kepentingannya.

2. Dalam terma kepentingan diri, manajemen pengaruh untuk melindungi akhir tidak disanksi oleh organisasi.

3. Sebagai sebuah fungsi yang dibutuhkan, seni dan kreatifitas dibutuhkan untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan.

4. Tidak secara otomatis baik atau buruk politik organisasi juga melayani fungsi-fngsi penting seperti mengatasi ketidakmampuan personal, mengambil dengan merubah, dan penggantian untuk otoritas formal.51

46 Roy E. Belen dalam Dominica R. Lorbes. Influence, Power & Politics in the Organisation. Organizational Behavior & Development, 1 st Semester SY 2007-2008, hlm.3.

47 Jennifer, 2005, hlm, 406

48 AM. Pettigrew dalam Jennifer M. George, dan Gareth R. Jones. Understanding and Managing Organizational Behavior. International Edition. New Jersey: Pearson Prentice Hill, 2005, hlm. 406

49 Jerald Greenberg. Op.cit, hlm. 403. 50 Jennifer, Op.cit, hlm, 406.

(22)

Bagaimana seorang aktor organisasi memperoleh kekuasaan? Penelitian menunjukkan bahwa individu yang memperoleh kekuasaan dikarenakan faktor sebagai berikut: kompetensi personal, jaringan kerja sosial, karakter fisik, motivasi individu yang butuh kekuasaan. Selanjutnya Dominica menjelaskan beberapa taktik dalam memperoleh kekuasaan sebagai berikut:

1. Perubahan sosial. Mengacu pada kekuatan pengulangan norma di masyarakat, dimana dua orang dalam hubungan keberlanjutan merasa wajib untuk membayar hutang sosial mereka satu sama lain.

2. Aliansi. Dua atau lebih orang bergabung dalam sebuah kelompok dan jangka panjang untuk mendapatkan manfaat yang mereka inginkan.

3. Identifikasi dengan otoritas tinggi. Mendapatkan hak khusus dengan mengidentifikasi diri sebagai figur berkuasa dalam organisasi.

4. Pelayanan selektif. Memberikan pelayanan secara selektif untuk mendapatkan dukungan, sering dengan memainkan peran.

5. Kekuasaan dan simbol status. Kekuasaan dan simbol status yang bermakna adalah orang yang penting di organisasi.

6. Permainan kekuasaan. Taktik agresif dengan merebut kekuasaan dari orang lain. 7. Jaringan kerja. Bergabung atau membentuk kepentingan kelompok yang memiliki

tujuan sama. Kelompok mengoperasikan dasar-dasar pertemanan dan kontak personal.52

Gary Yukl mengemukakan pendapat lain mengenai taktik memperoleh kekuasaan, sebagai berikut.

1. Perubahan. Personal membuat janji implisit atau eksplisit dimana orang lain akan menerima hadiah atau untung jika orang tersebut memenuhi dan mendukung sebuah proposal kepemimpinan.

2. Tekanan. Personal menggunakan tuntutan, tantangan, atau intimidasi untuk personal yang lain memenuhinya.

3. Persuasi rasional. Personal menggunakan argumen logis dan bukti faktual untuk mengajak personal lain memenuhi proposal yang diajukan.

4. Seruan inspirasional. Personal membuat permintaan emosional yang menyerukan nilai-nilai dan idealisme.

5. Seruan personal. Personal menyerukan rasa loyalitas dan persahabatan ketika meminta sesuatu.

(23)

6. Konsultasi. Personal meminta partisipasi dalam membuat sebuah pengambilan keputusan atau perencanaan bagaimana menjalankan sebuah kebijakan yang diajukan untuk menyediakan kepemilikan dan memperoleh dukungan.

7. Taktik legitimasi. Personal mencari legitimasi dengan mengklaim otoritas atau hak dengan memverifikasi yang mana hal ini konsisten dengan kebijakan organisasi, peraturan, praktik, atau tradisi.

8. Taktik koalisi. Personal mencari bantuan orang lain untuk mengajaknya melakukan sesuatu atau menggunakan dukungan.53

e. Aplikasi Konsep Kekuasaan dan Politik Organisasi

Kekuasaan dapat dimaknai baik atau buruk, sangat tergantung kepada bagaimana pemegang kekuasaan menggunakannya.54 Dibutuhkan integritas dan moralitas plus spiritualitas yang baik agar penguasa dalam menjalankan kekuasaannya yang diwarnai dengan aktifitas politiknya di organisasi hanya bertujuan untuk mencapai visi dan misi organisasi.

f. Review Penelitian Relevan

Berikut ulasan disertasi dan jurnal yang relevan dengan pembahasan kekuasaan dan politik organisasi. Dalam disertasi atau pun jurnal yang diulas berikut merupakan penelitian yang dilakukan dalam organisasi pemerintahan, organisasi bisnis, lembaga pendidikan, dan agama. Artinya kekuasaan dan politik organisasi ada dimana saja dalam skala makro dan mikro.

1. Disertasi

a. Imam Prayogo. Kyai dan Politik di Pedesaan: Suatu Kajian tentang Variasi dan Bentuk Keterlibatan Politik Kyai. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa keterlibatan kyai di pedesaan begitu variatif. Penekanan keterlibatan kyai ada yang fokus pengembangan spriritual, politik, advokasi dan pemberdayaan masyarakat. Kyai advokatif menggerakkan sekaligus mengintegrasikan masyarakat di bidang ekonomi, sosial mau pun pendidikan. Kyai politik berani berbeda arus orientasi politik dengan kekuatan pemerintah atau bahkan berkoalisi. Dengan posisinya kemudian kyai melakukan kontrol dan kritik. Sedangkan jika dalam koalisi melakukan perang legitimasi. Sementara kyai spiritual membatasi 53 Gary Yukl. Leadership in Organization (4th edition) Upper Saddle River, New York: Prentice Hall, 1998, hlm, 208.

(24)

diri hanya beraktifitas dalam garapan spiritual walau pun dianggap kurang relevan dengan pembangunan, namun masih fungsional. Kyai menjalankan kekuasaannya dengan sangat cerdik, ketika berhadapan dengan kekuatan pemerintah yang tidak mungkin tertandingi, kyai sering memberi respon yang semu. Suatu saat kyai tampak loyal pada kekuasaan pemerintah atau paling tidak “diam”. Namun pada saat yang lain kyai kembali ke watak aslinya. Pada dasarnya, saat ini kyai masih memiliki pengaruh dan daya dorong utuk menggerakkan sesuai dengan spesialisasi atau kecendrungan fokus aktifitas kyai.55

b. Kaspul Us. Kepemimpinan Kyai Pesantren di Kota Jambi”. Kontekstualita, Vol,25. No,2. 2010. Penelitian ini mendiskusikan kepemimpinan kyai di pesantren-pesantren di Kota Jambi. Penelitian fokus mengkaji proses seleksi kyai, model kepemimpinan kyai, kefektifan kepemimpinan kyai, dan peran kyai di masyarakat. Temuan penelitian mengenai sistem seleksi kyai ada tiga, yaitu: Musyawarah yang dipakai oleh Pesantren Nurul Iman, Sistem keturunan (nasab) yang dianut oleh Pondok Pesantren As’ad, dan Sistem penunjukkan langsung yang dipakai oleh PKP Al-Hidayah. Hasil penelitian bahwa umumnya tipe kepemimpinan kyai yaitu pasif kolektif, dimana pesantren di bawah yayasan. Namun dalam prakteknya mereka mengikuti kepemimpinan individual. Konsekwensinya kepemimpinan kyai berjalan tidak efektif karena manajemen tidak dijalankan optimal. Sedangkan tipe kepemimpinan yang diterapkan ada tiga, yaitu: Kepemimpian Kharismatik, Kepemimpinan Paternalistik, dan Kepemimpinan Birokratik.56

c. Zainuddin Maliki. Agama dan Kekuasaan: Studi tentang Penggunaan Simbol-simbol Agama sebagai Sarana Kekuasaan Elit Pemerintahan Jawa Masa Kini di Kota Surabaya Kesimpulan penelitian menemukan bahwa elit penguasa Jawa dalam birokrasi di Surabaya masih didominasi priyayi dan militer pretorian Jawa. Mereka merupakan unsur utama dalam komposisi elit penguasa dalam birokrasi di Surabaya dan menguasai posisi-posisi strategis yang sering disebut wong ndhuwuran (the ruling elite). Namun dalam menjalankan kekuasaannya elit penguasa tersebut sering menggunakan simbol-simbol agama dalam ranah publik, apakah itu berbentuk properti, hubungan dengan ormas dan partai Islam, hubungan erat dengan kyai, merekrut staf elitis dan untuk jabatan strategis dari 55 Imam Prayogo.Op.cit. Kyai.... , hlm. 588

(25)

representasi organisasi keagamaan tertentu, dan formalisasi kebijakan keagamaan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa agama Islam telah tersandera oleh keuasaan yang bercorak kepentingan elitis dan primordialistik dalam perebutan ruang, redistribusi, dan alokasi kekuasaan.57

d. Muh Irfan Islamy. Perilaku Kekuasaan Pemimpin Lokal: Suatu Kajian tentang Perilaku Kekuasaan Kontinuum dan Interface Kepala Desa dalam Menangani Isu Pembangunan Desa. Kesimpulan penelitian menemukan bahwa Kepala Desa sebagai aktor kekuasaan telah menampilkan pola perilaku kekuasaan yang khas. Lingkungan keluarga, masyarakat dan daerah di mana aktor dilahirkan telah bermanfaat bagi pengembangan kepemimpinannya. Aktor telah mendayagunakan pola perilaku kekuasaan kontinuum dan interface nya yaitu pemanfaatan berbagai variasi perilaku yang saling berkaitan dan berhadapan serta berkelanjutan sesuai dengan konteks ruang dan waktu. Kepribadian seorang aktor pemimpin dibentuk berdasarkan karakter yang diwarisi orang tuan dan hasil merespon tugas-tugas dan lingkungan kerja yang menjadi sumber perilaku kekuasaan. Pola perilaku kekuasaan yang berbasis organisasi atau posisi dan pribadi yang dilksanakan atau dipakai secara kontinuum dan interface sangat fungsional bagi penanganan kasus-kasus pembangunan desa.58

e. Mahmud Suyuthi. Hubungan Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah Jombang dengan Pemerintahan Orde Baru. Kesimpulan penelitian menemukan bahwa kalangan tarekat mengalami intervensi kekuasaan politik Orde Baru. Hal ini mengakibatkan terpecahnya Tarekat Qadariyah wa Naqsyabandiyah ke dalam tiga kelompok: Tarekat Rejoso, Tarekat Cukir, Tarekat Kedinding Lor. Kekuasaan politik Orde Baru juga mempengaruhi substansi ajaran tarekat, yaitu pemutusan baiat murid terhadap mursyid nya. Hubungan tarekat dan politik Orde Baru tidak dilepaskan dari kerangka besar yang membingkainya, yaitu hubungan Islam dan negara di Indonesia yang mengalami Fase Ketegangan, Fase Pencarian, dan Fase Hubungan Islam dan negara. Kalangan tarekat tidak berkuasa menghadapi

57 Muh Irfan Islam, Perilaku Kekuasaan Pemimpin Lokal: Suatu Kajian tentang Perilaku Kekuasaan dan Interface Kepala Desa dalam Menangani Isu Pembangunan Desa. Dalam Ringkasan Disertasi.Op.cit, hlm. 564. 58 Muh. Irfan Islamy, Perilaku Kekuasaan Pemimpin Lokal: Suatu Kajian tentang Perilaku Kekuasaan Kontinuum dan Interface Kepala Desa dalam Menangani Isu Pembangunan Desa. Dalam Kumpulan Disertasi,

(26)

hegemoni kekuasaan Orde Baru, namun kalangan tarekat tetap mampu menjalankan kegiatan-kegiatan amaliah mereka.59

2. Jurnal

a) Anderson dan Sebastien Brion. Perspectives on Power in Organizations. The Annual Review of Organizational Psychology and Organizational Behaior. Volume 1, 2014. Kekuasaan merupakan sumber kritis bagi aktor organisasi. Di organisasi terdapat aktor yang memiliki kekuasaan, namun disisi lain ada yang tidak memiliki kekuasaan. Dalam penelitiannya Anderson fokus mengkritik pada tiga dimensi kekuasaan yang menjadi topik riset organisasi terbaru: Penerimaan, Perbaikan, dan Hilang Kekuasaan. Peneliti menekankan pentingnya kekuasaan bagi aktor organisasi dan menguji harapan psikologis organisasi ketika individu memperoleh, memperbaiki, dan kehilangan kekuasaan. Walau pun perkembangan ilmu mengenai kekuasaan, banyak jalan bagi individu sukses atau gagal dalam kompetisi untuk kekuasaan. Anderson memberikan bebarapa pertanyaan untuk penelitian lanjutan, misalnya pengabaian kekuasaan oleh CEO yang memiliki perilaku melayani dirinya sendiri telah berkontrbusi tidak hanya terhadap kejatuhan mereka sendiri tetapi juga kejatuhan organisasi mereka. Anderson menemukan ketika pemegang kekuasaan hanya melayani diri sendiri maka akan berhadapan dengan perilaku orientasi kelompok. Peneliti berupaya merekonsiliasi konflik satu sama lain, khususnya dengan yang kehilangan kekuasaan.60

b) A.V. Simpson, dkk. Compassion, Power and Organization. Dalam Journal of Political Power, 2013. Vol. 6, No. 3, 385-404. Routledge. Dalam artikel ini, peneliti menganalisa pentingnya perasaan sebagai sebuah emosi dalam hubungannya ke beragam manifestasi kekuasaan dalam konteks organisasi. Peneliti mengkritik teori-teori perasaan yang menganggap bahwa perasaan dalam konteks keorganisasian dimotivasi oleh penghargaan. Peneliti menggunakan “Sirkuit Kekuasaan” untuk menyediakan sebuah triple focus : interpersonal, organisasional, dan masyarakat menggunakan kekuasaan bersama dengan model koersif, instrumental dan normatif kekuasaan organisasional. Temuan penelitian bahwa framework ini dikonstruksi dengan hal yang overlapping. Kontribusi unik

59 Mahmud Suyuthi, Hubungan Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah Jombang dengan Pemerintahan Orde Baru. Ibid, hlm. 560.

(27)

artikel ini yaitu menyediakan konsep perasaan organisasi dengan berbagai bentuk kekuasaan yang dibentuk oleh organisasi.61

c) Gerald R. Ferris, dkk. Political Skill in Organisations. Dalam Journal of Management. June 2007, Vol. 33 no.3 290-320. Keahlian politik merupakan sebuah konstruksi yang diperkenalkan lebih dari dua dekade lalu sebagai kompetensi untuk menjadi organisasi efektif. Kecakapan politik meliputi kognisi, sikap, perilaku, multilevel, meta teori yang mengajukan bagaimana kecakapan politik bekerja untuk berdampak bagi organisasi.62

d) Abraham Zaleznik. Power and Politics in Organizational Life. Dalam Harvard Bussiness School. Artikel ini membahas personalitis dan politik berperan penting dalam kehidupan organisasi. Organisasi dengan keragamannya: instrumen pemecahan masalah, sistem sosioteknik, dan sistem penghargaan, kesemuanya adalah stuktur politik. Artinya, bahwa organisasi dioperasikan oleh distribusi otoritas dan pengaturan panggung untuk berjalannya kekuasaan. Olehkarena itu individu yang termotivasi untuk menjamin dan menggunakan kekuasaan biasa ditemukan di bisnis. Pada saat yang sama eksekutif enggan untuk mengetahui tempat antara kekuasaan pada motivasi individu dan hubungan organisasi. Penulis menyarankan pentingnya faktor personalitas dan sensitif menggunakan kekuatan serta keterbatasan orang dalam keputusan dan distribusi kekuasaan. Hal ini akan memperbaiki kualitas kehidupan organisasi. Organisasi juga perlu menyediakan kekuasaan individu, dari sudut pandang ilmu ekonomi keberadaan organisasi untuk menciptakan surplus pendapatan meliputi biaya melalui kebutuhan pasar. Namun organisasi juga merupakan struktur politik yang memberi kesempatan individu untuk mengembangkan karir. Olehkarena itu disediakan platform untuk ekspresi motif dan kepentingan individu. Pengembangan karir pada level manajerial tinggi dan level profesional bergantung pada akumulasi kekuasaan sebagai kendaraan bagi saluran kepentingan individu ke dalam aktifitas yang mempengaruhi orang lain. Mengenai akomodir kepentingan akan karir individu ini disebut dengan “Piramida Politik”. Piramida Politik akan eksis ketika orang bersaing untuk kekuasaan. Individu tidak bisa mendapatkan kekuasaan yang

61 A.V. Simpson, dkk. Compassion, Power and Organization. (Journal of Political Power, 2013. Vol. 6, No. 3, Routledge), hlm.385-404.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan analisis angket motivasi dari hasil penelitian diperoleh bahwa motivasi siswa kelompok eksperimen I dengan model pembelajaran Group Investigation

Perencanaan jalan dan pemeliharaan jalan di ruas-ruas jalan Kota Bogor khususnya wilayah Bogor Selatan sub wilayah kota bogor selatan zona B yang meliputi Jalan

73 Hal yang sama juga terjadi pada statistika, ia notabennya bertujuan memperingan kerja penggiat penalaran induktif dengan metode pengambilan samplenya, namun

Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) sendiri adalah bagian dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang mendapat tugas untuk menjaga keamanan wilayah di udara

Guru melakukan refleksi dengan menanyakan pada siswa terkait materi apa yang telah dipelajari, apakah pembelajaran hari ini menyenangkan, apakah ada yang ingin ditanyakan Waktu yang

Maka hasil penelitian tersebut menolak hipotesis ketiga yang menyatakan bahwa “ Post video memiliki tingkat engagement lebih tinggi daripada post carousel .” karena perbedaan

1) Anak usia 0-14 tahun; 2) Anak yang akan mendapatkan terapi intravena; 3) Orangtua anak setuju anaknya menjadi responden penelitian; 4) Tidak sedang dalam

FF : Tujuan organisasi agama, Penamaan organisasi keagamaan dilakukan mengikuti peristilahan dan karakter bahasa/budaya yang dimungkinkan sesuai dengan pencirian identitas