• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDIDIKAN ISLAM ANTARA INVESTASI EKONOM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENDIDIKAN ISLAM ANTARA INVESTASI EKONOM"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

1

PENDIDIKAN ISLAM ANTARA INVESTASI EKONOMI, SDM DAN IBADAH

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Problematika Pendidikan Islam

Disusun Oleh:

Fendi Teguh Cahyono NIM. F 13213152

Dosen Pengampu:

Ach. Muzakki, Gran Dip SEA, M.Ag, M.Phil, Ph.D

PROGRAM PASCASARJANA

KOSENTRASI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

(2)

2

A. Pendahuluan

Krisis pendidikan dan kebudayaan akan berdampak terhadap krisis

kehidupan disegala bidang. Pernyataan tersebut tergambar oleh penulis ketika

mengkaji perang kebudayaan terhadap perkembangan kehidupan bangsa. Seperti

halnya yang ada di Negara indonesi. Perang kebudayaan seolah melekat disegala

bidang kehidupan baik, ekonomi, pendidikan, politik, dan bahkan sampai masuk

ke persoalan yang paling sakral yaitu sektor keagamaan.

Sebagai contoh, ketika kita mengkaji sejarah peradaban dunia. Sekitar

abad ke-5 sampai abad ke-16 yang disebut juga zaman pertengahan eropa, peran

geraja sangat mendominasi sampai terjadinya jual-beli surat penebusan dosa

(korpus) yang ada di belahan dunia eropa. Konsekwensinya adalah orang kaya

dapat membeli surat penebusan dosa dan dijamin akan masuk surga namun hal ini

tidak berpihak terhadap orang miskin karena tidak akan mungkin mampu membeli

surat tersebut. Sehingga dimungkinkan bahwa mereka yang tidak mampu

membeli corpus tersebut akan dijamin masuk neraka. Momok ini dapat

mempengaruhi bangsa eropa pada saat itu khususnya rakyat miskin dikarenakan,

hal ini mampu menjadi penderitaan tersendiri karena sudah dicap sebagai orang

yang masuk neraka.1

Disisi lain, dalam sektor ilmu pengetahuan (sains) yang telah

berkembang dimasa zaman klasik berusaha untuk dipinggirkan dan dianggap

lebih sebagai ilmu sihir yang mengalihkan perhatian manusia terhadap ketuhanan.

Tokoh yang dapat dijadikan contoh sejarah adalah Hypatia (370 – 415 M),

Nicolaus Kopernicus (1473 – 1543 M), Johanes Kepler (1571 – 1630 M), Galileo

Galilei (1564 – 1642 M)2 yang hidupnya berakhir di dalam jeruji atau dipancung

karena berusaha melawan dan tidak mengindahkan kebenaran yang berasal dari

gereja.

Kemudian disektor politik, peran gereja sangat berpengaruh sampai

kebijakan Negara atas dasar inisiatif dari pihak gereja dan demi kebijakan tersebut

1 Penderitaan yang dialami oleh bangsa eropa yang kala itu jauh dari kata beradab hemat penulis,

ini merupakan problem structural yang dibangun untuk memenuhi kebutuhan ekonomi sebagian kelompok khususnya para pembesar dan tokoh agamawan yang berada dalam lingkaran gereja. Momok seperti ini dapat dilihat dilingkungan pedesaan jika ada seorang kiyai sepuh yang berpengaruh telah menjustifikasi akan seseorang masuk neraka. Maka orang tersebut akan dihinggapi perasaan bersalah dan ketidak nyamanan yang luar biasa.

(3)

3

demi kepentingan pihak gereja. Dalam teori politik hubungan agama dan Negara

dapat dibagi menjadi tiga yaitu integrative, simbiosis dan sekuler. Namun pada

saat itu lebih bertendensi terhadap bentuk hubungan yang integrative karena posisi

Negara dan agama menjadi satu entitas yang tidak dapat dipisahkan absolud

entity.

Dengan penjelasan di atas bahwa kepentingan yang berangkat dari

problematika kebudayaan ini sangat berpengaruh terhadap leading sektor disegala

bidang. Bahkan masyarakat pada saat itu mengalami kesenjangan yang sangat luar

biasa antara orang yang kaya dan yang miskin, namun diakhir cerita sejarah

terdapat tokoh yang berusaha menggulingkan status quo pada saat itu salah satu

tokoh yang dikenal sejarah adalah Martin Lutter (1483 - 1546 M), Bruno, Nocolo

Marcievelli (1469 – 1527 M), Francis Bacon (1561 – 1626 M), Rene Descartes

(1596 – 1650 M) dan tokoh lain yang ikut andil menjadikan bangsa eropa sampai

saat ini.

Kajian tersebut berusaha penulis munculkan karena sebagai pisau analisa

serta untuk mengkomparasikan problematika di atas dengan problematika yang

ada dibelahan dunia timur. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa dibelahan dunia

timur yang lebih bercorak islam ini tidak kalah kompleks persoalan yang dihadapi

khususnya yang berkenaan dengan masalah ekonomi, budaya, politik dan bahkan

problem sakral keagamaan yang ini membutuhkan analisa yang lebih mendalam.

Informasi terbaru yang mencoreng wajah keislaman di Indonesia adalah

perilaku Ustad Guntur Bum yang lebih dikenal dengan UGB. Dia terbongkar

kedok pengobatan alternatifnya yang terkesan menyimpang dari ajaran islam.

UGB dianggap merugikan beberapa kliannya. Salah satu contoh adalah klian yang

identitasnya dirahasiakan membayar uang 70 juta untuk berobat namun belum

juga mengalami kesembuhan.3 Kemudian, ada lagi yang mengaku sebagai

kliannya merasa dicabuli oleh UGB serta kataman al qur’an yang ditarget dengan

puluhan juta.

3 Ustad Guntur Bumi dianggap melakukan tindakan penipuan karena berusaha untuk mengelabuhi

(4)

4

Khasus di atas merupakan sebagian kecil problematika kehidupan yang

berangkat dari pemanfaatan ajaran agama untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi.

Padahal kalau kita kaji bahwa sebenarnya islam itu fitrah (suci) karena berangkat

dari wahyu ilahiyah (transendental) namun berhak di interpretasi oleh siapapun

untuk mendapatkan kenyamanan dan ketenangan di dunia. Karena kebebasan

interpretasi ini, sehingga dimanfaatkan oleh sebagian orang / kelompeok demi

memenuhi kebutuhan nafsunya.

Dengan demikian untuk mengkaji problematika tersebut di atas, maka

penulis memberikan batasan masalah berupa Problem pendidikan islam di tengah

tuntutan kepentingan pemenuhan ekonomi, Problem pendidikan islam dalam

pengembangan sumber daya manusia dan Problem struktural pendidikan islam

dengan memperkuat kapasitas sebagai pelaksanaan ibadah.

B. DASAR PERMASALAHAN

1. Investasi Ekonomi dalam Pendidikan Islam

Investasi dalam kamus ilmiah popular diartikan sebagai penanaman

modal (uang), perbekalan atau permodalan.4 Kemudian yang dimaksud dengan

ekonomi adalah segala usaha manusia dalam memenuhi kebutuhannya guna

mencapai kemakmuran hudupnya (pengaturan rumah tangga).5 Kebutuhan yang

dimaksud dalam hal ini adalah kebutuhan yang bersifat materi berupa pakaian,

makanan dan rumah.6 Karl mark (1818 - 1855 M) pernah berkata bahwa

kebutuhan primer manusia adalah makan. Sehingga semua orang akan

berlomba-lomba untuk mencari makan demi memenuhi kebutuhan hidup sebelum

terpenuhinya pakaian, rumah dll.

Dengan pemenuhan kebutuhan tersebut yang terkadang seseorang

memperolehnya dengan menghalalkan segala cara. Harus diakui bahwa, untuk

saat ini yang merupakan transmisi dari peradaban modern dengan karakteristik

semua dimanjakan dengan cara kerja teknologi. Sehingga tidak jarang kita temui

disekeliling kita bahwa untuk naik di lantai dua itu menggunakan Lift. pola

4

Pius A Partanto, M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Popular (Surabaya: Arkola, 2001), 278

5 Ibid, 137

6 Dalam istilah jawa pemenuhan kebutuhan yang berupa pakaian, makanan dan rumah ini

(5)

5

pemikiran seperti ini sebenarnya salah satu dampak dari maraknya industrialisasi.

Yang saat ini sulit untuk di bendung.

Puncak industrialisasi abad ke-21 ditandai dengan semakin kukuh dan

tegaknya filsafat hidup ‘Positivisme - Materialistik’ dan gaya hidup Ekonomi -

Kapitalistik’. Perilaku manusia berkecenderungan memperoleh kekayaan material sebanyak mungkin melalui jalan manapun. Filosofi hidup demikian bisa tegak

karena didukung oleh lahan subur berupa kepadatan penduduk dunia dan asumsi

kekurangan pangan. Hal itulah yang menjadikan ekonomi perdagangan menjadi

jalan utama kehidupan masyarakat dunia yang sarat dengan persaingan baik

secara individual maupun sosial. Moralitas persaingan mendorong system

‘Ekonomi - Kapitalistik’ yang cenderung memonopoli barang-barang produksi

mulai dari proses produksi sampai mekanisme pasar.7

Akibat system ekonomi perdagangan monopolistik itu, sosialitas

terbelah menjadi yaitu produsen dan konsumen. Dengan spirit kapitalistik tersebut

produsen melakukan produksi dengan berusaha menguasai pasar untuk

memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Dengan perolehan keuntungan besar,

produsen merasakan suatu kebahagiaan berupa kenikmatan. Sedangkan

konsumen, terjebak ke dalam sikap dan perilaku sebagai penikmat. Konsumen

merasakan kebahagiaan berupa mengkonsumsi barang-barang produksi. Dengan

sifat seperti ini maka konsumen menjadi semakin terjerat dengan

ketergantungannya kepada produsen.8

Ke dua belah pihak di atas diam-diam membangun sebuah kompromi

berupa nilai kenikmatan hidup dari barang-barang produksi. Keadaan ini membuat

posisi sentral kaum kapitalis sebagai produsen semakin kukuh untuk mendapatkan

keluasan menguasaai ekonomi pasar (perdagangan). Semakin barang-barang

produksi itu memberikan kenikmatan maka semakin kuat pula ketergantungan

konsumen kepada produsen. Hubungan seperti itu terkesan logis dan tidak ada

kesalahan. Pada titik nilai kenikmatan itu, kedua belah pihak seolah-olah saling

mendapatkan keuntungan, sehingga mereka terkait dengan romantika kehidupan.9

7 Suparlan Suhartono, Filsafat Pendidikan (Yogjakarta: Ar-Ruzz Media, Cet-2, 2007), 18-19 8 Ibid, 19

(6)

6

Tetapi, di balik romantisme ekonomi kapitalis, sesungguhnya terjadi suatu ‘kanibalisme’ kehidupan yang pada waktu tertentu bisa menghancurkan realitas kehidupan. Pasalnya, produsen semakin terdorong untuk melipatgandakan

kuantitas kenikmatan. Dorongan ini selanjutnya membentuk sikap dan perilaku

serakah, dimana menurut hukum alam lebih cenderung untuk merusak dan

menghancurkan. Begitu pula dengan pihak konsumen, ketergantungan kepada produsen mengakibatkan sikap hidup malas dan tidak kreatif. Moralitas hidup ini

sangan berlainan dengan hukum kodrat kehidupan manusia yang pada waktu

tertentu bisa merusak tatanan kehidupan manusia. Dengan moralitas kanibalistik

di masa depan, maka dapat digambarkan bahwa produsen memangsa habis

konsumen dan di antara produsen saling memangsa. Akibatnya kiamatlah

peradaban manusia. 10

Kedua belah pihak sudah saling terjebak ke dalam moralitas

konsumeristik. Moralitas ini disamping memakan korban manusia sendiri, juga

cenderung mengorbankan alam sebagai sumber dayanya. Jika alam sudah menjadi

korban maka dapat dikatakan bahwa sesungguhnya bumi ini mengalami kiamat,

dan seluruh kehidupan bumi mengalami kiamat total. Hal ini mutlak bertentangan

dengan hukum kodrat karena pembuat bumi bukanlah manusia tetapi manusialah

pembuat kiamat (kehancuran di bumi).11

Di sisi lain, persoalan ini menjadi sangat komplek karena sebenarnya

negara juga ikut andil dalam membangun sistem ekonomi yang sebegitu mapan.

Hal ini dikarenakan tipologi masyarakan begitu kentara antara orang miskin dan

orang kaya seolah terdapat jurang pemisah yang sangat dalam di antara keduanya.

Gramsci memberikan pengertian bahwa negara adalah organisasi

ekonomi dan politik dari kelas borjuis. Bahkan negara merupakan kelas borjuis itu

10 Suparlan Suhartono, Filsafat Pendidikan, 20 11

Kehancuran bumi yang telah dijelaskan di atas, sebenarnya senada dengan kritikan malaikat terhadap Allah SWT. Yang dibahas dalam al-qur’an surat al baqarah ayat 30 yang artinya: “aku

akan menciptakan khalifah di muka bumi”. Kemudian mendapat kritikan tajam dari malaikat yang dijelaskan dalam ayat selanjutnya: “apakah engkau akan menciptakan orang yang akan berbuat

kerusakan dan pertumpahan darah di muka bumi”. Dengan retorika seperti itu sebenarnya malaikat merasa malu jika secara langsung mengatakan: “Ya tuhan kami, mengapa engkau menciptakan makhluk lain sebagai pengurus bumi?. Bukankah kami lebih pantas menjadi khalifah

(7)

7

sendiri.12 Sehingga gramsci memberikan describsi bahwa negara juga ikut andil

dalam memberikan persoalan atas sistem kapitalisme yang menjamur di abad ke

21 ini. Pemerintah menambahkan atas kesenjangan dalam bidang ekonomi dengan

kenyataan bahwa orang kaya semakin kaya dan orang miskin semakin miskin.

Describsi di atas sebenarnya senada dengan hemat penulis bahwa banyak

orang berlomba - lomba untuk masuk dalam gerakan intra parlementer karena

dapat dimungkinkan seseorang tersebut mudah memperoleh akses ekonomi

dengan berusaha memanfaatkan situasi dan kondisi dari perputaran ekonomi yang

ada dipemerintahan.

Kerangka epistemologi di atas dapat dijadikan sebagai pisau analisis

dalam dunia pendidikan saat ini, kaum produsen dalam sistem ekonomi

kapitalistik didesribsikan sebagai para pemegang kebijakan dalam dunia

pendidikan. Kemudian konsumen dideskribsikan sebagai orang tua yang

menyekolahkan anaknya untuk menikmati dunia pendidikan dalam hal ini

masyarakat kalayak umum.

Pernah dalam suatu kesempatan, penulis berdiskusi dengan

Darmaningtias sekitar akhir tahun 2011, istilah yang digunakan dalam

menggambarkan realitas di atas adalah korporasi pendidikan. Yang berarti,

keberadaan dunia pendidikan hanya dapat dinikmati oleh sekelompok orang yaitu

orang-orang yang membuat kebijakan.

Dengan demikian, bila dicermati pola mekanisme kerja antara intitusi

pendidikan dengan supermarket atau pasar swalayan, maka sesungguhnya ada

pola mekanisme kerja yang sama antara pengelolaan pasar swalayan dengan

sekolah / universitas. Salah satu ukuran keberhasilan pasar swalayan adalah bila

banyak pengunjung yang datang dan membeli barang-barang yang dijualnya,

sehingga barang-barangnya cepat habis. Para pengelola sekolah / universitas juga

punya prinsip yang sama yaitu banyak orang yang memasukkan anaknya di sana,

mampu membayar mahal, dan setelah lulus cepat mendapat kerja. Cepat mendapat

kerja di sektor industri adalah ukuran keberhasilan suatu pendidikan di masa

sekarang.13

(8)

8

Penyederhanaan fungsi dari pendidikan di atas sebenarnya dapat

diketahui melalui dampak konkrit dalam jangka pendek yaitu mendapatkan

pekerjaan yang layak, cepat kaya dan mendapat penghormatan di kalangan

masyarakat. Yang pada intinya hanya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi.

Sebagaimana WL Miller mengatakan bahwa “usaha untuk menghitung

kontribusi pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi jelas memerlukan

penjelasan tentang mengapa kita harus memperkirakan adanya kontribusi terhadap

pertumbuhan ekonomi dari pendidikan.14

Diyakini atau tidak, sebenarnya tidak setiap bentuk pendidikan akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. “Pendidikan adalah sumber pertumbuhan ekonomi jika bersifat anti tradisional sampai ke taraf dia membebaskan dan

merangsang serta menginformasikan kepada orang dan mengajarinya bagaimana dan mengapa tuntutan dibuat terhadap dirinya sendiri.” Karena itu, strategi pendidikan yang tepat akan muncul dalam empat kapasitas yang menghasilkan pertumbuhan. “perkembangan suatu lingkungan umum yang menguntungkan bagi kemajuan ekonomi.” Maksudnya adalah bagi mobilitas sosial, suatu peningkatan

umum baca tulis perlu untuk meningkatkan kesejahteraan.15

2. Investasi SDM dalam Pendidikan Islam

Saat ini, adanya ujian nasional yang dianggap menjadi tolak ukur

kelulusan seseorang dalam menempuh pendidikan formal. Dengan materi yang

diujikan rata-rata bersifat esakta bukan humaniora, serta jika kedua konsentrasi

pengetahuan itu disandingkan maka yang mendapat perhatian yang lebih serius

adalah pelajaran yang bersifat esakta seperta matematika, fisika, kimia. Ini

menandakan bahwa setiap orang yang hidup di negeri ini seolah-olah diharapkan

bisa menjadi tokoh ilmuan secara keseluruhan. Karena jika dikaji dari segi minat,

peserta didik juga lebih tertarik untuk memahami ilmu yang bersifat esakta

dibandingkan dengan yang bersifat humaniora.

Kemudian, klaim kebenaran atas peserta didik dikatakan cerdas jika dia

mendapatkan nilai yang bagus pada mata pelajaran yang bersifat esakta

14 W.L. Miller, Education as a Source of Economy Growth.( Jurnal of Economy Issue, 1967),

280-296 15

(9)

9

dibandingkan dengan peserta didik yang mendapatkan nilai bagus pada mata

pelajaran humaniora. Hemat penulis, kecenderungan seperti ini membentuk

karakteristik untuk hidup lebih mandiri, karena dengan anggapan bahwa ilmu

esakta membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menggelutinya maka ini

menyita waktu untuk bersosialisasi terhadap masyarakat atau kurang pemahaman

terhadap pentingnya hidup bermasyarakat. Konkritnya, mustahil anak didik

dengan inisiatifnya sendiri membawa temannya yang sakit untuk ke UKS.16

Di sisi yang lain, jurusan atau fakultas ekonomi, kedokteran, MIPA yang

cepat membawa seseorang terjun ke dunia kerja kebanjiran mahasiswa. Sementara

jurusan yang dianggap menjadikan seseorang untuk lama mendapat pekerjaan

kurang mendapatkan peminat. Sering terdengar, betapa minornya masyarakat

menilai ilmu yang bersifat humaniora, sehingga sering terdengar bahwa jurusan

tekhnik yang tidak terdapat laboratorium atau prakteknya sering dianggap sebagai

sastra tekhnik.

Pendidikan yang membawa anak didik menjadi pribadi yang berbudaya

instan menjadi penyebab merajalelanya korupsi di negeri ini. Korupsi artinya

ingin berumah bagus, beristri cantik dan berpenghasilan besar tanpa dibarengi

dengan kerja keras. Korupsi yang telah berbudaya dan secara sistematis merusak

dalam berbagai sendi kehidupan tidak perlu lagi dipelajari tetapi berubah menjadi

kebiasaan. Korupsi juga berkembang tidak hanya dalam lingkup birokrasi dengan

mengkorup uang negara, melainkan juga soal disiplin, kepercayaan antar pribadi,

berkembangnya sikap kecurigaan yang merusak elemen persaudaraan.17

Pendidikan tidak mendidik seseorang untuk mengembangkan budaya

proses, melainkan budaya instan. Mentalitas mencontek, menyogok, plagiator

juga dalam penyusunan makalah, karya ilmiah atau tugas akhir (sekripsi, tesis dan

desertasi) menunjukkan rapuhnya mental para generasi muda. Seorang teman

yang baru saja menyelesaikan sekripsinya dengan menjiplak karya orang lain

dengan bangga bagaimana bisa mengelabuhi dosen sehingga proses bimbingan

dan ujian berjalan lancar.

16 Paulus Mujiran, KERIKIL - KERIKIL DIMASA TRANSISI; Serpihan Esai Pendidikan, Agama,

Politik dan Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), 36 17

(10)

10

Harus diakui, kegagalan bangsa ini keluar dari krisis multidimensi yang

membelit bangsa ini salah satu penyebabnya adalah rendahnya kualitas

pendidikan dan sumber daya manusia bangsa ini. Secara kuantitas banyak orang

terdidik duduk dalam jabatan – jabatan terkemuka, tetapi dalam hal yang sama

mereka tidak dibekali dengan kualitas moral. Dalam hal ini, pendidikan yang

diperlukan tidak sekedar membuat orang mempunyai ijazah, melainkan

bagaimana dengan jenjang pendidikan yang diraihnya mampu membangun

bangsa. 18

Kaitan antara kemiskinan dan pendidikan ini telah menjadi isu meluas di

banyak negara. Dinegara-negara maju seperti amerika serikat, permasalahan

muncul sebagai akibat besarnya subsidi yang diperuntukkan bagi orang-orang

miskin. Sedangkan di negara-negara miskin, seperti indonesia, permasalahan

muncul terletak pada ketidakadilan dalam memperoleh akses pendidikan antara

orang kaya dengan orang miskin. Kenyataannya biaya yang dikeluarkan oleh para

orang tua untuk menyekolahkan anaknya di lembaga pendidikan formal itu sama.

Bahkan cenderung lebih mahal bagi orang miskin. Hal itu disebabkan,

sekolah-sekolah negeri yang 90% pembiayaannya ditanggung oleh negara justru di duduki

oleh mayoritas anak-anak orang kaya. Sebaliknya, anak-anak buruh pabrik, buruh

kasar, buruh bangunan, nelayan, pemulung, buruh tani, petani dan lain-lain justru

bersekolah di lembaga pendidikan swasta kecil, yang 90% pembiayaannya

ditanggung sendiri19

Munculnya ketidak adilan itu bersumber pada sistem seleksi siswa atau

mahasiswa baru yang di dasarkan pada besaran angka nilai rapor atau ijazah.

Kasus terbaru ketika bulan mei tahun 2014 kemaren. Adik-adik kita berkompetisi

untuk masuk perguruan tinggi negeri melalui jalur SMPTN dan SPAI PTAIN

hanya didasarkan pada nilai rapor. Logikanya, prasyarat pencapaian angka

tertinggi itu adalah fasilitas-fasilitas belajar yang lengkap dan makanan yang

bergizi sehingga anak itu menjadi cerdas.

Kedua prasyarat di atas hanya dimiliki oleh orang-orang yang secara

ekonomis mampu. Orang-orang miskin karena sejak awal gizinya tidak terpenuhi

18

Paulus Mujiran, KERIKIL - KERIKIL DIMASA TRANSISI, 37-38

(11)

11

dan fasilitas belajarnya tidak mendukung, kemudian memperoleh nilai rendah.

Akibatnya, mereka tidak lulus seleksi masuk ke sekolah-sekolah negeri yang

biayanya ditanggung oleh negara. Sampai sekarang, belum pernah ada kebijakan

seleksi masuk ke sekolah-sekolah formal yang di dasarkan pada kemampuan

sosial ekonomi calon murid / mahasiswa. Akibatnya, sampai sekarang kita belum

melihat berakhirnya keadilan tersebut yang bertujuan untuk pemerataan sumber

daya manusia di indonesia.

3. Praktik Ibadah dalam Islam

Saat ini sering kita jumpai orang-orang yang memburu harta secara liar

namun lupa dengan hakikat dirinya hidup di dunia yaitu untuk beribadah kepada

allah swt. Realitas ini timbul dikarenakan pemahaman keberagamaan dari

orang-orang tersebut kurang. Dan masih dangkalnya pemahaman keislaman. Namun,

tidak bisa dipungkiri pula bahwa orang yang pemahanan keislamannya kuat

namun tetap tidak menghayati ilmunya dan berusaha untuk memburu harta

semata.

Berita terbaru (Jawapos tanggal 27) tentang penangkapan Surya Darma

Ali (SDA) sebagai Menteri Agama oleh KPK. Mengingatkan kita bahwa orang

yang paham tentang ajaran agama pun bisa terjerat kasus korupsi. Kasus ini

mencuat, berangkat dari realitas bahwa SDA membawa sekitark 35 keluarganya

untuk berangkat haji secara geratis. (www. tribunnews .com)

Pola peribadatan dari seseorang tak lepas dari pemahana nilai keislaman

yang komprehensif karena ini menjadi barometer dari langkah-langkah yang

dilakukan dalam kehidupan bermasyarakat. Namun kasus SDA di atas

menunjukkan kepada kita bahwa pemahanan keagamaan pun masih belum cukup

untuk bebas dari genggaman materi dan keselamatan melainkan juga butuh

penghayatan yang mendalam dari wacana keislaman.

Di sisi lain, dapat kita analisis bahwa SDA ini ketika menjadi Menteri

Agama apakah berangkat dari amanat yang deberikan oleh rakyat atau berangkat

dari ambisi pribadi, khususnya melalui politik dagang sapi (bagi-bagi kue).

Dalam Shahih Bukhari no. 7148 dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu

(12)

12

م ْْا ى ع وص ْحتس ْمكنإ

ةم يقْلا ْوي ًةمادن وكتس

"Kalian akan berambisi atas kekuasaan & akan menjadi penyesalan

pada hari kiamat…". Ambisi terhadap kehormatan sangat membahayakan

pelakunya, (dia akan menghalalkan segala macam cara) dalam usahanya mencapai

tujuan, & juga sangat membahayakan pelakunya ketika telah mendapatkan

kehormatan di dunia, dengan cara mempertahankan statusnya. Walaupun dengan

melakukan kezhaliman, kesombongan & kerusakan-kerusakan yang lain

sebagaimana dilakukan oleh penguasa yg zhalim.20

Di antara bahaya ambisi terhadap kehormatan adalah, biasanya orang

yang memiliki kehormatan karena harta / kekuasaannya, dia akan suka dipuji

dengan perbuatannya dan dia menginginkan pujian dari manusia, meskipun

terkadang perbuatan itu lebih tepat disebut sebagai perbuatan tercela dari pd

perbuatan terpuji. Orang yang tidak mengikuti keinginannya, dia tidak

segan-segan untuk menyakiti & menterornya. Bahkan terkadang dia melakukan

perbuatan yangg zhahirnya baik, tetapi ia menyembunyikan maksud yang buruk,

dia senang dengan kamuflase tersebut, apalagi dg adanya sambutan yang positif

dari khalayak ramai.

Perbuatan tersebut termasuk dalam firman Allah:

ت ب وح ْفي ني لا ن سْحت ا

نم ف ب ْم ن سْحت اف او عْفي ْمل ب ا د ْحي و حي ْاو

ا عْلا

"Janganlah sekali-kali kamu menyangka bahwa orang-orang yang

gembira dengan apa yngg telah mereka kerjakan & mereka suka supaya dipuji

terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan janganlah kamu menyangka

bahwa mereka terlepas dari siksa". (ali Imran 188)

Dari sinilah para ulama’ yang mendapatkan petunjuk dari Allah melarang manusia untuk memuji mereka atas kebaikan yang mereka lakukan

kepada sesama manusia, bahkan mereka menyuruh manusia untuk

mengembalikan pujian hanya kepada pemiliknya, yaitu hanya kepada Allah

20 Penulis teringat tokoh barat abat renaisence yaitu nicolo marcievelli yang berusaha

(13)

13

Subhanahu wa Ta'ala semata, tiada sekutu bagiNya, karena sesungguhnya segala

kenikmatan itu datang dariNya.

(Penguasa yang adil) menginginkan agar dien Islam itu semuanya milik

Allah, begitu pula kemuliaan hanya milik Allah, bersama itu pula dia takut

kalau-kalau dia lalai dalam menjalankan kewajiban-kewajiban yang dibebankan Allah

kepadanya.21

Orang-orang yang mencintai sesama muslim dengan dasar ikhlas karena

Allah, maka yang paling mereka inginkan dari orang lain adalah agar manusia

mencintai Allah, mentaati & mengesakanNya dalam beribadah. Mereka tidak

menginginkan imbalan jasa ataupun ucapan terimakasih dari manusia, mereka

hanya mengharapkan imbalan dari Allah atas amalan baik yg mereka lakukan.

C. TAWARAN SOLUSI

Artinya: Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang

menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata:

"Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang menyerah diri?"

Perkataan, “sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri” adalah sebuah pengakuan secara percaya diri terhadap ajaran islam, sebagai ajaran yang terbaik. Sebagai ajaran yang memerintahkan kepada kebaikan,

mencegah segala kemungkaran dan mengajak untuk beriman kepada allah swt22.

Dalam analisa yang lain, hemat penulis dalam memahami ayat di atas.

sebenarnya mengkaji dua dimensi yang dalam kajian keislaman membutuhkan

porsi yang sama yaitu untuk beriman kepada allah swt (teosentris), seraya tidak

21

Seorang pemimpin pada dasarnya adalah seorang penutan. Oleh karena itu, semua tingkah lakunya, yang baik maupun yang buruk, kelak akan ditiru oleh para pengikutnya. Jika tingkah lakunya buruk ditiru, maka secara tidak sadar dia ikut menjerumuskan orang lain ke dalam lembah dosa. Di akhirat nanti, selain menanggung dosa pribadinya, dia juga akan menanggung dosa orang-orang yang mengikutinya itu.

22 Yusuf Qardhawi, Kithaabunaa Al Islami Fi Ashri I-Awlamah (Kairo: Tp, Cetakan ke-1, 2004)

(14)

14

mengingkari maupun mengabaikan urusan kemanusiaan (antroposentris). Karena

agama menganjurkan keduanya untuk diperhatiakn dengan segala

kemampuannya.

Istilah keshalehan sosial diperguakan untuk menggambarkan seseorang

yang berbuat baik kepada sesama. Seperti, membantu sesama, membersihkan

lingkungan dll. Kemudian istilah keshalehan tauhit dipergunakan untuk

menggambarkan seseorang yang menjalankan perintah allah dalam bentuk

ritual-ritual keagamaan dalam kehidupan sehari-hari. Seperti, sholat, dzikir, berdoa dll.

Merespon kasus yang ada di awal pembahasan bahwa, arus globalisasi

yang berangkat dari industrialisasi memberikan gambaran kepada kita tentang

pentingnya menghayati nilai-nilai keislaman dan nilai-nilai keindonesiaan dengan

berusaha mengintegrasikan kedua nilai tersebut. Nilai tersebut menjadi dasar

untuk berpijak dalam sistem ekonomi yang ada di negeri ibu pertiwi ini. Yaitu

dengan istilah sistem ekonomi kerakyatan.

Konsepsi mengenai sistem ekonomi kerakyatan ini berangkat dari

karakteristik negara indonesia yang itu berada di antara sistem pemikiran barat

dan timur serta diatara arus ideologi kapitalistik dan komunis. Sehingga yang

sering dipergunakan dalam istilah ini untuk menggambarkan karakteristik dari

negara indonesia ini adalah local wisdom.

Maka dalam pengarahan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah,

seyogyanya berangkat dari nilai-nilai yang ada di indonesia itu sendiri. Bukan

mengadopsi pemikiran asing atau ideologi asing yang itu akan membahayakan

keberadaan bangsa indonesia. Hal ini tidak dapat dipungkiri jika semua elemen

masyarakat memahami akan pentingnya nilai-nilai keislaman.

Dalam ranah pendidikan, penting untuk diperhatikan bahwa pendidikan

itu milik bersama dan untuk kepentingan bersama maka yang menjadi titik poin

adalah berusaha meminimalisir mindside pendidikan hanya untuk orang kaya

karena sudah dijelaskan bahwa dalam UURI No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem

Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) akan pemerataan pendidikan di Indonesia.23

23

(15)

15

Disisi yang lain, pentingnya untuk menghargai proses ketika dalam

menghadapi sesuatu itu menjadikan kehidupan yang lebih bermakna. Sebagai

ungkapan yang lebih sederhana adalah berkenaan dengan struktur pengetahuan

yang menjadi dasar dalam berfikir dan bergerak. Cara berfikir yang kita

kembangkan adalah cara berfikir relasional bukan subtansial.

Cara berfikir subtansial membawa seseorang kedalam olah pikir yang

terlalu abstrak, karena cara berfikir demikian selalu menuntut pencarian sebuah

esensi, dan juga mendoroang abstraksi atas kenyataan yang menjadikan kita

semakin jauh dari pandangan yang utuh tentang kenyataan itu sendiri. Cara

berfikir relasional tidak lagi memahami persoalan dalam subtansinya, tetapi dalam

hubungannya dengan persoalan lain dan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya,

termasuk pola-pola relasinya.24

Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa perlu adanya

reformulasi tentang pentingnya mengenyam pendidikan dengan mengedepankan

etos kerja dan gairah untuk memperoleh ilmu dengan menanggalkan kesenangan

yang bersifat sesaat.

Terkahir, dalam problem yang dipaparkan di atas, berkaitan dengan

pemahaman keagamaan yang kurang utuh serta tanpa adanya penghayatan tentang

nilai-nilai keislaman akan berdampak pada pola gerakan yang dangkal sehingga

dia akan cepat berfikir bahwa tidak ada yang lebih nikmat di dunia ini melainkan

terpenuhinya materi yang diharapkan. Kasus seperti isi sebenarnya tidak serta

merta dianggap salah namun yang menjadi perhatian dia menghilangkan secara

sisi ruhaniahnya / immateri untuk tidak dipenuhi kebutuhannya.

Dalam wacana yang lebih luas, Indonesia harus melakukan reformasi

dalam proses pendidikan, dengan tekanan menciptakan sistem pendidikan yang

lebih komprehensif, dan fleksibel, sehingga para lulusan dapat berfungsi secara

efektif dalam kehidupan masyarakat global industrialis. Untuk itu, pendidikan

harus dirancang sedemikian rupa yang memungkinkan para peserta didik

mengembangkan potensi yang dimiliki secara alami dan kreatif dalam suasana

penuh kebebasan, kebersamaan, dan tanggung jawab. Disamping itu, pendidikan

harus menghasilkan lulusan yang dapat memahami masyarakatnya dengan segala

24

(16)

16

faktor yang dapat mendukung mencapai sukses ataupun penghalang yang

menyebabkan kegagalan dalam kehidupan bermasyarakat..25

D. KESIMPULAN

Dalam kasus ini melauli pola hidup ekonomi kapitalistik serta filsafat

hidup positivistik materialistik yang berdampak pada pola pemikiran yang pasif,

manja, malas, tidak mementingkan proses, tidak menghargai etos kerja, hidup

lebih individualistik dan hilangnya nilai-nilai kemanusiaan.

Untuk menghadapi dampak dari arus modernitas di atas yang ditandai

oleh industrialisasi yang berlebihan serta filsafat hidup dan pengangan hidup yang

jauh dari nilai kemanusiaan sehingga tidak dapat dibendung lagi akan dampak

negataf dari arus tersebut. Walaupun demikian kita tidak dapat memungkiri akan

dampak positif dari arus tersebut. Namun kalau hal negatif ini tidak di antisipasi

maka berakibat pada kurangnya kesejahteraan rakyat karena banyaknya

pengangguran yang disebabkan oleh tenaga manual berasal dari manusia tidak

dipergunakan lagi dalam ranah industri. Inipun berdampak pada ranah pendidikan

karena dengan arus seperti ini para peserta didik dan orang tua tidak menghargai

proses dalam mendapat ilmu. Mereka lebih mementingkan cara instan untuk

mencapai sesuatu sehingga dampak negatifnya mereka dibuat manja dan malas

serta tidak mengindahkan tentang arti kerja keras.

Dan, untuk mengantisipasi hal buruk dari dampak di atas. seyogyanya,

sebagai umat islam. Harus dikembalikan pada ranah teosentris dan tidak melulu

kearah atroposentris dalam mencapai keamanan dan kenyamanan dalam hidup di

dunia ini. Kembalinya seseorang untuk memenuhi kebutuhan ruhaniah ini senada

dengan konsep emanasi dengan teorinya ibnu farabi karena sebenarnya seseorang

itu merupakan pancaran dari akal yang pertama yang ini sama-sama bersifat

immateri.

Sehingga menurut hemat penulis, perlunya pendidikan islam ini untuk

memenuh kebutuhan hidup yang di dunia. Karena kalau kita amati dunia ini

25

(17)

17

mengarah ke arah yang lebih gersang dan tandus. Entah tandus dalam makna

geografis maupun tandus dalam arti ukhrowis

(18)

18

DAFTAR PUSTAKA

Hadiwijoyo. Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 2011

Partanto. Pius A, Al Barry. M. Dahlan, Kamus Ilmiah Popular, Surabaya: Arkola,

2001

Suhartono. Suparlan, Filsafat Pendidikan, Yogjakarta: Ar-Ruzz Media, Cet-2,

2007

Imadudin, Dan Tuhan pun Dikritik, Kediri: tp, 2005

Pozzalini. A, Pijar-Pijar Pemikiran Gramsci, Yogyakarta: Resist Book, 2006

Mujiran. Paulus, KERIKIL - KERIKIL DIMASA TRANSISI; Serpihan Esai

Pendidikan, Agama, Politik dan Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003

Darmaningtias, Pendidikan Rusak-Rusakan, Yogyakarta: LKIS Group, 2011

Qardhawi. Yusuf, Kithaabunaa Al Islami Fi Ashri I-Awlamah (Kairo: Tp, Cetakan

ke-1, 2004) diterjemahkan oleh: Yusuf Burhanuddin, Menjadi Muslim Par

Excellence; Jihad, Terorisme dan Spiritualitas Di Era Global, Jakarta:

Grafindo Khazanah Ilmu, 2004

Miller. W.L, Education as a Source of Economy Growth. Jurnal of Economy

Issue, 1967

Rosen. S, Measuring Obsolescence of Knowledge, dalam F.T. Juster, (ed),

Education, Income and Human behavior, New York: Mc. Graw-Hill, 1975

UUD SISDIKNAS (Bandung: Citra Umbara, 2003

Zamroni, Paradigma Pendidikan Masa Depan, Jogjakarta : Gigraf Publishing,

2000, Cet. I

Al qur’an Al Kharim, (Semarang: CV Pustaka Al Alawiyah, 1995) Jawapos, edisi 27

Referensi

Dokumen terkait

Di antara ciri-ciri seorang kakitangan yang mempunyai sikap tekun ialah mereka sangat gigih dalam melaksanakan sebarang tugasan yang diamanahkan, sentiasa bersemangat

"Seandainya kalian bertawakal kepada Alah dengan sebenarnya niscaya Allah akan memberi rizki kepada kalian, sebagaimana memberi rizki kepada burung,mereka pergi pagi dengan perut

Selaku Kepala Program Studi S1 Pendidikan Anak Usia Dini Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga yang telah mengkoordinasikan program studi dan selaku Dosen

Biasanya saluran distribusi semacam ini dipakai oleh produsen yang tidak memiliki departemen pemasaran. Juga perusahaan yang ingin memperkenalkan barang baru atau ingin

[r]

Bab Keempat, berisi hasil dan pembahasan yang meliputi pengenalan Muhammad Iqbal dengan mendeskripsikan latar belakang kehidupan, karya- kary, metodologi, sumber, corak

Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan yang sangat signifikan antara kelas dengan penerapan metode GI dan kelas dengan penerapan metode TGT terhadap hasil belajar

Model standar ini dilakukan dengan asumsi bahwa setiap kegagalan komponen dalam sistem dapat dilakukan perbaikan, dimana parameter MDT yang dimasukkan dalam analisis sesuai