• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Penderita Kanker Paru Primer Di Departemen Ilmu Penyakit Paru Rsup Haji Adam Malik Medan Periode Januari 2011 -Desember 2012

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Karakteristik Penderita Kanker Paru Primer Di Departemen Ilmu Penyakit Paru Rsup Haji Adam Malik Medan Periode Januari 2011 -Desember 2012"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Paru

Paru merupakan sepasang organ berbentuk kerucut yang terletak pada rongga dada. Keduanya dipisahkan oleh jantung dan mediastinum, yang membagi rongga toraks menjadi dua ruangan yang terbagi jelas. Bila salah satu paru mengalami kolaps, yang lainnya masih dapat mengembang. Paru dilindungi oleh 2 lapisan membran serosa yang dinamakan membran pleura. Lapisan paling luar (pleura parietal) berpaparan langsung dengan rongga toraks; lapisan dalam (pleura viseral) langsung berpaparan dengan dinding paru.

Di antara dua lapisan pleura terdapat sebuah rongga kecil yang disebut rongga pleura yang berisi cairan lubrikan. Cairan ini berguna untuk mengurangi gesekan antar membran sehingga paru bisa melakukan fungsinya dengan baik. Cairan ini juga berfungsi untuk melekatkan membran yang satu dengan yang lainnya (Tortora, 2009).

Gambar 2.1. Gambaran Paru serta Pleura Secara Anterior Pada

(2)

Gambar 2.2. Bagian Lateral dan Medial Paru Kanan dan Kiri (Tortora, 2009).

2.2. Histologi Paru 2.2.1. Bronkiolus

Bronkiolus adalah jalan napas intralobular yang berdiameter ≤ 5 mm, tidak

memiliki tulang rawan maupun kelenjar dalam mukosanya. Epitel bronhkiolus terminalis juga mengandung sel Clara. Sel Clara mensekresi protein yang melindungi lapisan bronkiolus terhadap polutan oksidatif dan inflamasi.Lamina propria bronkiolus sebagian besar terdiri atas otot polos dan serat elastin. Otot- otot bronki dan bronkioli berada dibawah kendali nervus vagus dan susunan saraf simpatis. Stimulasi nervus vagus mengurangi diameter struktur- struktur ini; stimulasi simpatis menghasilkan efek kebalikannya.

2.2.2. Bronkiolus respiratorius

(3)

epitel kuboid bersilia dan sel Clara, tetapi pada bagian tepi muara alveolus, epitel bronkiolus menyatu dengan sel-sel alveolus gepeng (sel alveolus tipe I).

2.2.3. Duktus Alveolaris

Duktus alveolaris dan alveolus dilapisi oleh sel alveolus gepeng yang sangat halus. Di dalam lamina propria yang mengelilingi tepian alveolus, terdapat anyaman sel otot polos.

2.2.4. Alveolus

Alvelous merupakan penonjolan (evaginasi) mirip kantung (berdiameter sekitar 200 µm) di bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris, dan sakus alveolaris. Secara struktural, alveolus menyerupai kantong kecil yang terbuka pada satu sisinya, yang mirip dengan sarang lebah.

Sel tipe I atau sel alveolus gepeng merupakan sel sangat tipis yang melapisi permukaan alveolus. Sel tipe I menempati hampir 97% dari permukaan alveolus (3% sisanya ditempati oleh sel tipe II). Sel tipe II tersebar di antara sel-sel alveolus tipe I. Pada sediaan histologi, sel-sel-sel-sel tipe II menampilkan ciri sitoplasma bervesikel yang khas atau berbusa.

(4)

2.3. Kanker Paru

2.3.1. Definisi Kanker Paru

Kanker paru adalah tumor ganas paru primer yang berasal dari saluran pernapasan. (Alsagaff et al., 2010). Kanker paru merupakan penyebab utama kematian akibat penyakit keganasan, terbanyak pada kelompok laki-laki dan cenderung meningkat insidensnya pada perempuan. Lebih dari satu juta orang meninggal akibat kanker paru pertahunnya. (Yulianti et al., 2011).

2.3.2. Etiologi

Sama seperti umumnya kanker yang lain, penyebab pasti kanker paru belum diketahui, tapi paparan atau inhalasi berkepanjangan suatu zat yang bersifat karsinogenik merupakan faktor penyebab utama di samping adanya faktor lain seperti kekebalan tubuh, genetik dan lain-lain (Zulkifli, 2009).

Beberapa penyebab penyakit ini adalah: rokok, pengaruh paparan industri, pengaruh penyakit lain/predisposisi karsinoma bronkogenik oleh karena penyakit lain, dan pengaruh genetik dan status imunologis.

1. Rokok

(5)

lebih tinggi dibandingkan dengan yang bukan perokok (Alsagaff et al., 2010).

Berikut ini dapat dilihat hubungan antara jumlah rokok yang dihisap dengan besar resiko terjadinya karsinoma bronkogenik pada perokok. Dalam jangka panjang (10-20 tahun), merokok: 1-10 batang/hari meningkatkan resiko 15 kali, 20-30 batang/hari meningkatkan resiko 40-50 kali, dan 40-40-50 batang/hari meningkatkan resiko 70-80 kali. Jika seorang perokok menghentikan kebiasaan merokok, maka penurunan resiko baru tampak setelah 3 tahun penghentian dan akan menunjukkan resiko yang sama dengan yang bukan perokok setelah 10-13 tahun. Perlu diketahui bahwa bagi perokok disamping membahayakan diri sendiri juga dapat membahayakan orang-orang sekitarnya (perokok pasif). Hal ini dibenarkan oleh berbagai laporan dari Jepang dan Skandinavia, yang menjelaskan bahwa istri, anak dan keluarga bukan perokok. (Alsagaff et al.,2010). Risiko untuk menderita karsinoma bronkogenik selain oleh rokok, juga dapat disebabkan berbagai bahan lain yang bersifat karsinogen yang terdapat di tempat kerja antara lain asbestos, uranium, nikel dan sebagainya.

2. Pengaruh paparan industri

(6)

bersifat karsinogen. Para penambang uranium mempunyai resiko menderita kanker paru 4 kali lebih besar daripada populasi umum. Paparan industri ini biasanya baru tampak pengaruhnya setelah 15-20 tahun.

3. Pengaruh penyakit lain/predisposisi karsinoma bronkogenik oleh karena penyakit lain

Tuberkulosis paru banyak dikaitkan sebagai faktor predisposisi karsinoma bronkogenik melalui mekanisme hiperplasia metaplasi. Karsinoma insitu dari karsinoma bronkogenik diduga timbul sebagai akibat adanya jaringan parut tuberkulosis.

4. Pengaruh Genetik dan Status Imunologis

Penelitian akhir-akhir ini menunjukkan kecenderungan bahwa faktor yang terlibat berkaitan dengan enzim Aryl Hidrokarbon Hidroksilase (AHH). Kanker lebih banyak didapatkan pada orang dengan aktivitas AHH yang sedang atau tinggi. Keadaan ini mungkin dapat menerangkan peranan faktor rokok sebagai salah satu faktor penyebab. Oleh karena enzim AHH memetabolisir benzopyrene serta hidrokarbon polisiklik aromatic lainnya menjadi karsinogen yang lebih reaktif.

(7)

alergi umumnya tidak memberikan tanggapan yang baik terhadap pengobatan dan lebih cepat meninggal. (Alsagaff et al., 2010).

2.3.3. Patogenesis

Paparan yang lama dan berulang oleh zat-zat asing seperti benzoapyrene pada rokok, uranium dan asbestos yg berasal dari paparan industri, radon akan menyebabkan inflamasi pada lapisan epithelium di saluran pernapasan. Inflamasi ini akan menyebabkan metaplasia pada sel squamous yang selanjutnya menjadi squamous dysplasia, yang pada tahap lebih lanjut akan menyebabkan carcinoma in situ dan menjadi invasive carcinoma. Selama proses ini juga terjadi mutasi pada gen-gen seperti c-Kit (40-70%), MYCN dan MYCL (20-30%), p53 (90%), 3p (100%), RB (90%), BCL2 (75-90%). Tahapan- tahapan inilah yang akan terjadi dan menimbulkan keganasan pada organ paru (Husain, 2010).

2.3.4. Klasifikasi

(8)

Tabel 2.1. Klasifikasi Histologis WHO 1999 untuk Tumor Paru dan Tumor Pleura

(Dikutip dari: Amin, Z.,2009.Ilmu Penyakit Dalam Edisi V Jilid III) Epithelial tumors

Benign Papiloma, adenoma

Preinvasive lesions Squamous dysplasia/carcinoma in situ, atypical adenomatous hyperplasia, Diffuse idiopathic pulmonary neuroendocrine cell hyperplasia

Malignant Squamous cell carsinoma: papillary, clear cell, basaloid. mucinous and nonmucinous or indeterminate cell type.

 Solid carcinoma with mucin formation.  Adenocarcinoma with mixed subtypes

Large cell carsinoma: Large cell neuroendocrine carcinoma, Basaloid carcinoma, Lymphoepithelioma-like carcinoma, clear cell carcinoma, large cell carcinoma with rhabdoid phenotype.

Adenosquamous carcinoma

Carcinoma with plemorphic sarcomatoid or sarcomatous elements.

Carcinoid tumor : typical carcinoid, atypical carcinoid.

Carcinomas of salicary gland type : mucoepi dermoid carcinoma, adenoid cystic carcinoma.

Others Soft tissue tumors

(9)

2.3.4.1. Karsinoma paru sel kecil

Umumnya tampak sebagai masa abu- abu pucat yang terletak di sentral dengan perluasan ke dalam parenkim paru dan keterlibatan dini kelenjar getah bening hilus dan mediastinum. Sel tumor sangat rapuh dan sering memperlihatkan fragmentasi dan “crush artifact” pada sediaan biopsi. Ciri lainnya yang paling jelas pada

pemeriksaan sitologik, adalah berlipatnya nukleus akibat letak sel tumor dengan sedikit sitoplasma yang saling berdekatan.

2.3.4.2. Karsinoma sel skuamosa

Lebih sering pada laki- laki. Tumor ini cenderung timbul di bagian tengah bronkus utama dan akhirnya menyebar ke kelenjar hilus lokal. Tipe ini sering didahului selama bertahun- tahun oleh metaplasia atau dysplasia skuamosa di epitel bronkus, yang kemudian berubah menjadi karsinoma in situ, suatu fase yang mungkin berlangsung selama beberapa tahun.

2.3.4.3. Adenokarsinoma

(10)

2.3.4.4. Karsinoma sel besar

Sel besar, biasanya anaplastik, dan memiliki nukleus vesicular dengan nukleolus mencolok. Karsinoma jenis ini memiliki prognosis buruk, karena kecenderungannya menyebar ke tempat jauh pada awal perjalanan penyakit (Kumar, 2010).

2.3.5. Gejala Klinis

Manifestasi klinis karsinoma bronkogenik beraneka ragam, secara garis besar dapat dibagi atas: (1). Gejala intrapulmoner; (2). Gejala intratorasik ekstrapulmonal; (3). Gejala ekstratorasik non metastasis; dan (4). Gejala ekstratorasik metastatik.

1. Gejala Intrapulmonal

Merupakan gejala lokal yang disebabkan oleh tumor di paru. Terjadi karena ada gangguan pergerakan silia serta ulserasi bronkus, sehingga memudahkan terjadi radang berulang. Keluhan batuk lebih dari 2 minggu merupakan suatu gejala yang patut mendapat perhatian dan menggugah kewaspadaan, terutama pada golongan populasi yang mempunyai resiko untuk mendapatkan kanker paru, yaitu: (a). Pria; (b). Berumur di atas 40 tahun; (c). Merokok/perokok berat; dan (d). Bekerja di industri yang berkaitan dengan bahan karsinogen.

(11)

kasus. Sesak napas didapatkan pada 58% kasus, mungkin disebabkan oleh tumor sendiri, atau oleh obstruksi yang ditimbulkannya ataupun atelektasis.

2. Gejala Intratorasik Ekstrapulmoner

Penyebaran tumor ke mediastinum akan menekan/merusak struktur-struktur di dalam mediastinum dengan akibat antara lain: (a). Nervus phrenicus, paralise diafragma; (b). Nervus recurrens, paralise korda

vokalis; (c). Saraf simpatik, sindroma Horner, keluhannya berupa enoftalmus, miosis, ptosis, anhidrosis; (d). Esofagus, disfagi; (e). Vena cava superior, sindroma vena cava superior yang terjadi karena bendungan pada vena cava superior dan disertai pembengkakan muka dan lengan; (f). Trakea/bronkus, dapat terjadi sesak akibat atelektasis total; dan (g). Jantung, keluhannya berupa gangguan fungsional, terjadi efusi perikardial.

3. Gejala Ekstrapulmonal Non-metastasis

Gejala ekstrapulmonal yang non-metastasis dapat menimbulkan manifestasi pada neuromuskuler, endokrin metabolik, jaringan ikat dan tulang, sertavaskuler dan hematologik.

Manifestasi Neuromuskuler. Insiden terjadinya manifestasi neuromuskuler sekitar 4-15%. Pada kasus lanjut dapat ditemukan sindroma “neuropatia karsinomatosa”, yang bersifat progresif. Keluhan

(12)

serebeler subakut, ensefalomiopatia dan mielopati nekrotik. Reseksi tumor primer dapat menghilangkan gejala-gejala ini.

Manifestasi Endokrin Metabolik. Tumor pembentuk hormon dapat terjadi pada setiap organ yang mengandung sel primitive neural crest, berhubung sel-sel ini mampu mengkonsentrasikan dan mendekarboksilasi precursor dari amine biogenik, maka sel ini lebih dikenal sebagai sel APUD (Amine Precursor Uptake and Decarboxylation Cells). Manifestasi endokrin dapat ditemukan pada 5-12,1% kasus, namun khusus pada karsinoma sel kecil insidennya mencapai 21%. Manifestasi endokrin dapat berupa sindroma Cushing, sindroma karsinoid, hiperparatiroid dengan hiperkalsemia, SIADH dengan hiponatremia, sekresi insulin dengan hipoglikemia, sekresi gonadotropin berlebih dengan ginekomastia, dan sekresi melanocyte stimulating hormone dengan hiperpigmentasi kulit.

(13)

4. Gejala Ekstratoraksik Metastatik

Karsinoma bronkogenik adalah satu-satunya tumor yang mampu berhubungan langsung dengan sirkulasi arterial, sehingga kanker tersebut dapat menyebar hampir ke semua organ, terutama otak, hati dan tulang. (Alsagaff et al., 2010).

2.3.6. Deteksi Dini Kanker Paru

Anamnesis yang lengkap dan pemeriksaan fisik yang teliti, merupakan kunci terhadap diagnosis yang tepat. Menemukan kanker paru pada stadium dini sangat sulit karena pada stadium ini tidak ada keluhan atau gejala. Ukuran tumor pada stadium dini relatif kecil (< 1 cm) dan tumor masih berada pada epitel bronkus. Foto rontgen dada juga tidak dapat mendeteksi kanker tersebut. Keadaan ini disebut sebagai tumor in situ (Tis). Untuk mendapatkan sel tumor tersebut hanya bisa dengan pemeriksaan sitologi sputum dengan bantuan bronkoskopi.

(14)

pada 3 pusat riset kanker selama >20 tahun terhadap lebih dari 30.000 sukarelawan laki-laki perokok berat, dimana setengahnya menjalani skrining intensif dengan pemeriksaan sitologi sputum tiap 4 bulan dan foto rontgen dada (PA dan lateral) tiap tahun dan setengah lainnya sebagai kelompok kontrol. Hasil penelitian ini menunjukkan angka positif tumor stadium awal pada kelompok pertama 45% dan kelompok kontrol 15%. Pasien dengan kanker paru tersebut memiliki angka 5-year survival sebesar 35% dibandingkan kelompok kontrol 13%. Dalam studi ini, pemeriksaan sel ganas dengan pemeriksaan sitologi sputum lebih mudah menemukan karsinoma sel skuamosa, sedangkan foto dan rontgen dada lebih banyak menemukan adenokarsinoma dan karsinoma sel skuamosa. Small cell carcinoma jarang terdeteksi pada stadium dini ini. Kesesluruhan studi menyimpulkan bahwa terdapat nilai positif (manfaat) dalam deteksi dini kanker paru.

2.3.7. Prosedur Diagnostik

Pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan untuk menegakkan diagnosa kanker paru adalah pemeriksaan radiologi berupa foto Rontgen, CT Scan, bone scanning; pemeriksaan sitologi dan histopatologi; Trans Thoracal Biopsy (TTB); torakoskopi; dan mediastinoskopi.

(15)

doubling time antara 37-465 hari. Bila doubling time >18bulan, berarti tumornya benigna. Tanda-tanda tumor benigna lainnya adalahlesi berbentuk bulat konsentris, solid dan adanya kalsifikasi yang tegas. Pemeriksaan foto rontgen dada dengan cara tomografi lebih akurat menunjang kemungkinan adanya tumor paru, bila dengan cara foto dada biasa tidak dapat memastikan keberadaan tumor. Pemeriksaan penunjang radiologis lain yang kadang-kadang diperlukan juga adalah bronkografi, fluoroskopi, superior vena cavografi, ventilation/perfusion scanning, ultrasound sonography.

Pemeriksaan Computed Tomography dan Magnetic Resonance Imaging. Pemeriksaan CT Scan pada toraks, lebih sensitif daripada pemeriksaan foto dada biasa, karena bisa mendeteksi kelainan atau nodul dengan diameter minimal 3mm, walaupun positif palsu untuk kelainan sebesar itu mencapai 25-60%. Pemeriksaan MRI tidak rutin dikerjakan, karena ia hanya terbatas untuk menilai kelainan tumor yang menginvasi kedalam vertebra, medulla spinal, medistinum, di samping biayanya juga cukup mahal.

Pemeriksaan Bone Scanning. Pemeriksaan ini diperlukan bila diduga ada tanda-tanda metastasis ke tulang. Insiden tumor Non Small Cell Lung Cancer (NSCLC) ke tulang dilaporkan sebesar 15%.

(16)

(sputum harus segar). Pada kanker paru yang letaknya sentral, pemeriksaan sputum yang baik dapat memberikan hasil positif sampai 67-85% pada karsinoma sel skuamosa.

Pemeriksaan Histopatologi. Pemeriksaan histopatologi adalah standar emas diagnosis kanker paru untuk mendapatkan spesimennya , dengan cara biopsi melalui Bronkoskopi.

Bronkoskopi.. Modifikasi dari bronkoskopi serat optik dapat berupa: (a). Trans bronchial lung biopsy (TBLB) dengan tuntunan fluroskopi, atau ultrasonografi. Ultrasound bronchoscopy, juga dikembangkan pada saat ini untuk mendeteksi tumor perifer, tumor endobronkial, kelenjar getah bening mediastinum dan lesi daerah hilus. Hal positif dengan bronkoskopi ini dapat mencapai 95% untuk tumor yang letaknya sentral dan 70-80% untuk tumor yang letaknya perifer

Trans Bronchial Needle-Aspiration (TBNA). Dikerjakan terhadap nodul getah bening di hilus atau mediastinum. Hasilnya akan lebih baik bila dituntun dengan CT Scan.

TransThoracalBiopsy (TTB). Biopsi dengan TTB terutama untuk lesi yang letaknya perifer dengan ukuran > 2 cm sensitivitasnya mencapai 90-95%. Komplikasi pneumotorak dapat mencapai 20-25% dan hemoptisis sampai 20%. Dengan persiapan yag lebih baik, komplikasi ini bisa diperkecil.

(17)

Mediastinoskopi. Lebih dari 20% kanker paru bermetastasis ke mediastinum, terutama Small Cell Ca dan Large Cell Ca. Untuk mendapatkan tumor metastasis atau kelenjar getah bening yang terlibat dapat dilakukan dengan cara mediastinoskopi dimana mediastinoskopi dimasukkan melalui insisi supra sternal.

Torakotomi. Torakotomi untuk diagnostik kanker paru dikerjakan bila berbagai prosedur non invasif dan invasif sebelumnya gagal mendapatkan sel tumor. (Amin, 2009)

2.3.8. Staging

Penetuan staging sangat penting untuk pilihan terapi dan prognosis kanker paru. Oleh karena itu sedikitnya diperlukan pemeriksaan CT-scan thorak, USG abdomen (CT-scan abdomen), CT-scan otak dan bone scanning. Sistem staging kanker paru berdasarkan TNM dapat dilihat pada table berikut ini (Tabel 2.2).

Tabel 2.2. Staging Sistem TNM Kanker Paru (Jurnal Respirologi Indonesia, 2010)

Staging Keterangan

Tx Hanya ditemukan kepositifan dari sitologi sputum T1 Ukuran tumor ≤ 3 cm

 T1a  T1b

Ukuran tumor ≤ 2 cm Ukuran tumor ≤ 2 cm

T2 Tumor/lesi ≥ dari karina, invasi ke pleura viseralis, atelektasis sebagian  T1a

 T1b

Ukuran tumor > 3-5 cm Ukuran tumor > 5-7 cm

T3 Ukuran tumor > 7 cm, invasi ke dinding dada, diafragma, pleura mediastinal, jarak < 2 cm dari karina, atelektasis total, >1 nodule dalam 1 lobus

(18)

Sistem ini membagi kanker paru menjadi 2 tipe yaitu NSCLC dan SCLC. Staging NSCLC dibagi berdasarkan sistem TNM yaitu tumor primer (T), nodus

(19)
(20)

2.3.9. Penatalaksanaan

Tujuan pengobatan kanker adalah: (1). Kuratif, menyembuhkan/ memperpanjang masa bebas penyakit dan meningkatkan angka harapan hidup pasien; (2). Paliatif, mengurangi dampak kanker, meningkatkan kualitas hidup; (3). Rawat rumah (Hospital care) pada kasus terminal, mengurangi dampak fisik maupun psikologis kanker baik pada pasien maupun keluarga; dan (4). Suportif, menunjang pengobatan kuratif paliatif dan terminal seperti pemberian nutrisi, transfusi darah dan komponen darah, growth factors obat anti nyeri dan obat anti infeksi.

Penanganan untuk karsinoma non-small cell paru, berupa pembedahan, radioterapi, dan kemoterapi. Sedangkan untuk SCLC dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Limited-stage disease yang diobati dengan tujuan kuratif (kombinasi kemoterapi dan radiasi) dan angka keberhasilan terapi sebesar 20%.

2. Extensive-stage disease yang diobati dengan kemoterapi dan angka respon terapi inisial sebesar 60-70% dan angka respon terapi komplit sebesar 20-30%. Angka median-survival time untuk limited-stage disease adalah 18 bulan dan untuk extensive-stage disease adalah 9 bulan. (Amin, 2009).

2.3.10. Prognosis

(21)

2.3.11. Pencegahan

(22)

2.3.12. Kerangka Teori

Gambar 2.4. Kerangka Teori Sel epitel paru normal Faktor- faktor penyebab :

rokok, polusi udara, pengaruh paparan industri, pengaruh genetik, penyakit lain

Hiperplasia

Squamous metaplasia

Displasia a

Karcinoma In Situ

Karsinoma Invasif

Awal

Pertengahan

Gambar

Gambar 2.1. Gambaran Paru
Gambar 2.2. Bagian Lateral dan Medial Paru Kanan dan Kiri (Tortora, 2009).
Tabel 2.1. Klasifikasi Histologis WHO 1999 untuk Tumor Paru dan Tumor Pleura
Tabel 2.2. Staging Sistem TNM Kanker Paru (Jurnal Respirologi Indonesia, 2010)
+3

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor : 70 Tahun 2012 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, pada peserta diberi kesempatan menyampaikan

Universitas Negeri

Universitas Negeri

Kaltim Tahun Anggaran 2012, menyatakan bahwa pada tanggal 25 September 2012 pukul 11.59 Wita tahapan pemasukan/upload dokumen penawaran ditutup sesuai waktu pada

[r]

3.2 Mengenal teks cerita narasi sederhana kegiatan dan bermain di lingkungan dengan bantuan guru atau teman dalam bahasa Indonesia lisan dan tulis yang dapat diisi dengan

Menetapkan : PERATURAN BUPATI TENTANG PENCABUTAN KEPUTUSAN BUPATI BANTUL NOMOR 264 TAHUN 2003 TENTANG PELAKSANAAN SEBAGIAN KEWENANGAN DI BIDANG

Sejatinya, kedua kalimat tersebut memiliki koherensi yang kuat dimana hak perdata dari seorang ayah hanya dapat diterima oleh anak sah atau anak yang lahir sebagai akibat