• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kasus Putusan Mahkamah Agung No. 439 K Pid 2010 Atas Tuduhan Penipuan Yang Dilakukan Oleh Oknum Notaris Chapter III V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Kasus Putusan Mahkamah Agung No. 439 K Pid 2010 Atas Tuduhan Penipuan Yang Dilakukan Oleh Oknum Notaris Chapter III V"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG DALAM PUTUSAN NO. 439 K/PID/2010 ATAS TUDUHAN PENIPUAN YANG

DILAKUKAN OLEH NOTARIS

A. Kasus Posisi

Dalam perkara kasus penipuan yang melibatkan oknum Notaris BN sebagaimana putusan Pengadilan Negeri Dumai Nomor 126/Pid/B/2009/PN.DUM tanggal 04 Agustus 2009, dimana terdakwa Notaris BN oleh Jaksa Penuntut Umum dituntut bersalah melakukan tindak pidana Secara bersama-sama melakukan penipuan sebagaimana diatur dalam pasal 378 KUHPidana jo. pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.

Pengadilan Negeri Dumai menjatuhkan putusannya dengan Nomor 126/Pid/B/2009/PN.DUM tanggal 4 Agustus 2009 yang amar putusannya menyatakan bahwa terdakwa BN telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana secara bersama-sama melakukan penipuan, dan menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan.

Dalam tingkat banding, Pengadilan Tinggi Pekanbaru menjatuhkan putusannya dengan Nomor 376/PID/2009/PTR tanggal 23 Nopember 2009 yang amar putusannya menyatakan memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Dumai Nomor 126/Pid.B/2009/PN.DUM tangga 14 Agustus 2009 sekedar mengenai lamanya pidana yang dijatuhkan kepada Terdakwa BN yaitu menghukum Terdakwa BN oleh karena

(2)

itu dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun, menetapkan agar Terdakwa ditahan, menguatkan putusan Pengadilan Negeri Dumai tersebut untuk selebihnya, menghukum Terdakwa untuk membayar biaya perkara dalam kedua tingkat peradilan yang untuk tingkat banding sebesar Rp.5.000,- (lima ribu rupiah).

Dalam tingkat kasasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam putusannya Nomor 439 K/Pid/2010 tanggal 20 Juli 2010 menolak kasasi dari terdakwa BN, sehingga dengan demikian menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Dumai dan Pengadilan Tinggi Pekan Baru.

Mengenai kronologis kasus penipuan yang melibatkan Notaris BN dapat diuraikan sebagai berikut:

(3)

antara saksi ICHK selaku penjual dengan saksi AWL selaku pembeli dan pada waktu itu disepakati saksi AWL membayar persekot sebesar Rp.150.000.000 , - (seratus lima puluh juta rupiah) atas kesepakatan tersebut saksi AWL mentransfer uang persekot tersebut ke rekening atas nama WT (anak kandung saksi ICHK) dengan dengan bukti kwitansi tertanggal 08 Juni 2003, pembuatan kwitansi pembayaran tersebut disaksikan oleh Terdakwa BN;

Pada bulan Juli 2003 Terdakwa BN menelepon saksi AWL yang mengatakan bahwa Terdakwa BN bersama saksi ICHK mau berangkat ke Jakarta membawa Akta Jual Beli Tanah tersebut untuk ditandatangani BS dan Terdakwa BN meminta uang pembayaran tanah guna pengurusan surat-surat ke Jakarta sehingga saksi AWL pada tanggal 21 Juli 2003 membayar kepada saksi ICHK sebesar Rp.250.000.000, - (dua ratus lima puluh juta rupiah) dengan kwitansi tertanggal 21 Juli 2003;

(4)

AWL, ASG dan SN, dan Terdakwa menyodorkan 4 Akta Jual Beli nomor, tanggal dan tahun yang masih kosong yang telah ditandatangani oleh BS dan juga persetujuan isterinya (saksi RT) untuk ditanda-tangani oleh saksi AWL dan kawan-kawan sehingga saksi AWL menanyakan kepada Terdakwa BN, “Apakah ini sudah tidak ada masalah pak apa surat kuasa pengikatan jual dan pengikatan jual belinya tidak ada masalah” dan di jawab oleh Terdakwa BN “Tidak ada masalah surat-suratnya sudah cukup kuat di mana pengurusan Sertifikat Hak Milik hingga balik nama saya langsung mengurusnya jadi tidak perlu ragu dan kalau mau bayar pelunasan juga sudah boleh” atas penjelasan Terdakwa tersebut maka pada tanggal 01 Agustus 2003 saksi AWL mentransfer uang pembayaran tanah tersebut ke rekening WT (anak kandung saksi ICHK) sebesar Rp.1.500.000.000,- (satu milyar lima ratus juta rupiah) selanjutnya saksi AWL langsung menuju kantor Notaris BN di mana saksi ICHK telah mempersiapkan kwitansi tanda terima uang tertanggal 01 Agustus 2003.

Pada tanggal 05 Agustus 2003 saksi ICHK menelepon saksi AWL dan memberitahukan bahwa pemecahan sertifikat induk menjadi 5 (lima) sertifikat dan sedang diproses di Badan Pertanahan Nasional (BPN) sehingga perlu uang sebesar Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan saksi langsung mentransfer ke rekening atas nama WT selanjutnya saksi AWL langsung ke kantor Notaris BN dan BN sudah menunggu di kantor tersebut serta saksi Iwan CHK sudah mempersiapkan kwitansi tanda terima uang sebesar Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah);

(5)

maka saksi AWL bersama saksi SN ke kantor Notaris BN, pada saat itu saksi AWL bertanya kepada Terdakwa BN, ”Apakah pemecahan 5 (lima) Sertifikat sudah selesai” dan di jawab oleh Terdakwa ”Sudah hampir selesai karena Akta Jual Beli sudah ditanda tangani” maka atas penjelasan Terdakwa BN tersebut saksi AWL langsung melakukan pelunasan dengan mentransfer ke rekening WT (anak kandung ICHK) sebesar Rp.910.000.000,- (sembilan ratus sepuluh juta rupiah) dan pada saat pembayaran terakhir saksi AWL meminta dibuatkan Bukti Keseluruhan Uang yang sudah diterima oleh saksi ICHK atas pembelian tanah tersebut, maka dibuat kwitansi tertanggal 22 Agustus 2003 yang berisi sudah diterima dari KH uang sejumlah Rp.2.860.000.000,- (dua milyar delapan ratus enam puluh juta rupiah) untuk pembayaran sebidang tanah dengan ukuran 110 M x 65 M di Jalan Kelakap Tujuh yang menerima saksi ICHK yang diketahui oleh Terdakwa BN;

Setelah saksi AWL dan kawan-kawan melunasi pembayaran tanah tersebut pada tanggal 22 Agustus 2003 di mana Terdakwa BN menjanjikan akan menyelesaikan pengurusan surat-surat tanah milik saksi AWL, dan kawan- kawan tersebut 1 (satu) bulan setelah di lakukan pembayaran lunas oleh saksi AWL, dan kawan kepada saksi ICHK namun sampai saat ini saksi AWL dan kawan-kawan tidak mendapatkan tanah yang dijanjikan oleh Terdakwa BN tersebut;

(6)

Berdasarkan uraian di atas, perkara ini bermula dari jual beli tanah pada tahun 2003, dimana ICHK sebagai penerima kuasa jual dari BS menjual tanah kepada AWL dan kawan-kawan, namun setelah harga disepakati dan dibayar saksi AWL dan kawan-kawan ke rekening WT (anak kandung ICHK), ternyata uang hasil penjualan tanahnya tidak diserahkan kepada BS sebagai pemilik tanah. Dalam kasus penipuan yang melibatkan seorang Notaris tersebut di atas, tampak bahwa permasalahan penipuan yang diajukan oleh AWL bermula ketika ICHK tidak membayarkan sejumlah uang kepada pemilik tanah yang menyebabkan pihak pemilik tanah menarik kembali sertipikat hak atas tanahnya yang berakibat proses balik nama ke atas nama pembeli AWL dan kawan-kawan terhenti dan tidak dapat diproses sampai selesai oleh Notaris BN. Jadi permasalahan timbul bukan pada prosedur atau pembuatan aktanya namun pada tindakan penggelapan atau penipuan yang dilakukan ICHK. Seharusnya seorang Notaris yang menjalankan jabatan Notaris tidak dapat dihukum karena melakukan perbuatan mengkonstatir maksud/kehendak dari pihak-pihak yang menghendaki perbuatan hukum yang dituangkan ke dalam akta otentik, namun dalam kasus dugaan penipuan tersebut Notaris BN ditarik sebagai pihak yang turut serta melakukan atau membantu melakukan suatu tindak pidana, karena dalam pelaksanaan perjanjian terjadi wanprestasi oleh salah satu pihak yang menyebabkan tidak terlaksananya apa yang disepakati para pihak.

B. Pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Agung

(7)

Bahwajudex facti(Pengadilan Tinggi ) tidak salah menerapkan hukum dalam amar putusannya, karena dalam memeriksa dan mengadili perkara tersebut tidak melakukan kekeliruan dengan alasan judex facti (Pengadilan Tinggi) tersebut telah mempelajari dengan seksama berkas perkara dan turunan resmi putusan judex facti (Pengadilan Negeri) dan Terdakwa juga mempunyai peranan yang cukup besar dalam perkara ini sebagaimana yang telah dituangkan dalam surat tuntutan Pemohon Kasasi II/Jaksa/Penuntut Umum tertanggal 18 Mei 2009.

Menimbang, bahwa atas alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat bahwa alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena judex facti (Pengadilan Tinggi) tidak salah menerapkan hukum yaitu telah mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan sesuai Pasal 197 ayat (1) f KUHAP.

(8)

keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHP.

Menimbang bahwa alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi I/Terdakwa pada pokoknya sebagai berikut:

1. Bahwajudex facti(Pengadilan Tinggi) telah keliru dan salah menerapkan hukum yaitu mengenai fakta-fakta di persidangan.57

a. Judex facti (Pengadilan Tinggi) tidak mempertimbangkan dissenting opinion Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Dumai, Penerapan Hukum Pasal 378 KUHPidana jo. Pasal 55 ayat (1) KUHPidana adalah keliru yaitu mengenai unsur barang siapa, unsur dengan maksud untuk menguntungkan dari sendiri dan orang lain, unsur secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya atau supaya memberi utang ataupun menghapuskan piutang.

b. Bahwa unsur-unsur tersebut di atas tidak terbukti, yaitu mengenai Pasal 55 ayat (1) KUHP mengenai unsur yang melakukan, menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan, judex facti tidak dapat menunjukkan keterkaitan langsung dan tidak dapat menentukan jenis pelakunya dan menghubungkan dengan teori-teori, ilmu pengetahuan hukum, doktrin dan lainnya.

57 Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 429 K/Pid/2010 tanggal 20 Juli

(9)

c. Bahwa pada putusan Pengadilan Negeri Dumai No.125/Pid.B/2009/PN.Dum, Ketua Majelis Hakim juga melakukan dissenting opinion, di mana penerapan hukum dalam putusan tersebut bukanlah Pasal 378jo.Pasal 22 ayat (1) KUHP tetapi seharusnya Pasal 372 KUHPidana, dengan pertimbangan bahwa jual beli tidak terjadi karena Terdakwa ICHK tidak membayar semua uang penjualan tanah tersebut kepada pemilik tanah (BS) melainkan dipergunakan oleh Terdakwa ICHK untuk bisnis CPO di Jakarta.

d. Penerapan unsur Pasal 55 ayat (1) KUHPidana harus ada 2 pelaku. Selain itu dalam perkara ini jika dicermati, dakwaan Jaksa dan tuntutan Jaksa tidak relevan sebab Jaksa tidak dapat menemukan fakta kapan Pemohon Kasasi I/Terdakwa “menawarkan” tanah kepada AWL dan kawan-kawan, bahwa tidak ditemukan fakta adanya kebersamaan niat untuk mewujudkan suatu delik sebagaimana unsur dalam Pasal 55 ayat (1) KUHP tersebut, semua ucapan Pemohon Kasasi I/Terdakwa mengenai kuasa dikatakan setelah kuasa ditanda tangani para pihak setelah Pemohon Kasasi I/Terdakwa pulang dari Jakarta, yaitu pada saat AWL dan kawan-kawan mau melakukan pembayaran ke-III sebesar Rp.1.500.000.000,-, bukan pada saat pertama kali ada pertemuan di kantor BN Pemohon Kasasi I/Terdakwa, oleh karena itu unsur tersebut di atas tidak terbukti.

(10)

untuk menjadi bukti dan pertimbangan Hakim kasasi, bersama ini dilampirkan keterangan para pengunjung sidang yang kiranya dapat menjadi pertimbangan Majelis Hakim Kasasi, oleh karena itu keterangan para pengunjung tersebut merupakan keterangan saksi di persidangan yang didengar oleh para pengunjung sidang baik dari warga masyarakat, Notaris dan Wartawan. Hal ini menunjukkan ada perbedaan beberapa keterangan penting dari para saksi yang tidak dimuat dan menjadi pertimbangan Hakim Anggota, sehingga membohongi publik.

2. Bahwa judex facti telah keliru dan salah menerapkan hukum, karena telah melanggar Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.58

a. Bahwajudex facti (Pengadilan Tinggi) dalam pertimbangan hukumnya hanya merupakan pertimbangan hukum yang mengambil alih pertimbangan hukum judex facti(Pengadilan Negeri).

b. Bahwa menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 28 ayat (1) menyatakan Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Ayat (2) dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, Hakim wajib memperhatikan sifat yang baik dan jahat dari Pemohon Kasasi I/Terdakwa.

58Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 429 K/Pid/2010 tanggal 20 Juli

(11)

c. Bahwa dalam memberikan pertimbangan, judex facti tidak secara obyektif menggali dan mempertimbangkan fakta-fakta di persidangan yang menguntungkan Pemohon Kasasi I/Terdakwa.

d. Keterangan saksi AWL, AS, dan SN secara tegasmenyatakan bahwa yang merugikan mereka adaIah ICHK, mereka juga menyatakan bahwa yang menipu mereka adalah ICHK, bukan Pemohon Kasasi I/Terdakwa, keterangan saksi tersebut dijadikan dasar pertimbangan Ketua Majelis Hakim dalam dissenting opinion.

e. Judex facti sama sekali tidak mempertimbangkan fakta/latar belakang Pemohon Kasasi I/Terdakwa baik sebagai jabatan Notaris/PPAT, sebagai Ketua salah satu Ketua Partai di Dumai, terutama sebagai Ketua Paguyuban Masyarakat Batak di Dumai, yang dalam kiprahnya senantiasa mendorong paguyuban untuk berperilaku sebagai warga negara yang baik.

f. Pertimbangan judex facti bertentangan dengan sumpah seorang Hakim, yang menyatakan ”Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi kewajiban Hakim dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh UUD 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut UUD 1945 serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa. g. Majelis Hakim tidak mempertimbangan secara adil fakta yuridis di

(12)

1) Mengenai jumlah uang yang katanya dipakai oleh Pemohon Kasasi I/Terdakwa sebesar Rp.25.000.000,-.

2) Keterangan tersebut diberikan oleh Terdakwa ICHK (Terdakwa II) dan anaknya WT (saksi), ditolak oleh Pemohon Kasasi I/Terdakwa dan hanya meminta Rp.5.000.000,- untuk mengurus/membayar PBB.

3) Fakta bahwa Terdakwa Iwan CHK dan anaknya WT telah bersekongkol untuk menggunakan/menggelapkan uang milik AWL dan kawan-kawan serta dengan sengaja tidak membayar lunas harga tanah kepada pemiliknya BS/RT, sehingga AWL dan kawan-kawan tidak bisa memiliki tanah yang dibelinya.

4) Fakta bahwa Pemohon Kasasi I/Terdakwa sama sekali tidak secara bersama-sama dengan ICHK menipu atau menggelapkan uang milik AWL dan kawan-kawan, dengan kata lain seandainya Pemohon Kasasi I/Terdakwa secara bersama-sama dengan Terdakwa bersekongkol untuk menipu dan menggelapkan uang milik AWL dan kawan-kawan maka pasti Pemohon Kasasi I/Terdakwa akan mendapatkan bagian lebih besar dari jumlah Rp.2.680.000.000,- yang tidak disetorkan kepada BS/RS.

(13)

3. Bahwajudex facti(Pengadilan Tinggi) telah keliru dan salah menerapkan hukum, karena telah melanggar asas hukumLex Specialis Derogat Lex Generalis:59 a. Bahwa pertimbangan judex facti selain bertentangan dengan asas hukum juga

bertentangan fakta-fakta di persidangan. Redaksional dalam pertimbangan yang menyatakan :

1) ”Bayar saja kepada ICHK karena ICHK sudah menerima kuasa dari pemilik tanah yaitu BS dan surat kuasa sudah cukup kuat.”

Pernyataan tersebut telah sesuai dengan fakta bahwa Pemohon Kasasi I/Terdakwa dalam jabatannya selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah.

2) ”Tanah di Kelakap Tujuh Kelurahan Ratu Sima Kecamatan Dumai Barat Kota Dumai tidak ada masalah, sedangkan surat kuasa dari BS kepada ICHK untuk menjualkan tanahnya sudah sangat kuat”

Fakta bahwa pernyataan tersebut selain mempertegas posisi Pemohon Kasasi I/Terdakwa dalam jabatan selaku Notaris/PPAT juga sesuai dengan fakta di persidangan bahwa memang benar tanah yang akan dibeli AWL dan kawan-kawan tidak ada masalah. Ada Sertifikat Nomor 391, kemudian AWL dan kawan-kawan selaku calon pembeli telah melakukan survei melihat tanahnya, tanpa melibatkan Pemohon Kasasi I/Terdakwa. Pemohon Kasasi I/Terdakwa juga tidak pernah terlibat dalam pembicaraan dan tawar menawar harga tanah. Pada saat terjadi pembicaraan antara

59 Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 429 K/Pid/2010 tanggal 20 Juli

(14)

Pemohon Kasasi I/Terdakwa dengan AWL dan kawan-kawan seperti dikutip di atas, Pemohon Kasasi I/Terdakwa dalam posisi sebagai PPAT menjelaskan tentang kondisi tanah sesuai dengan fakta bahwa memang ada Sertifikat Nomor 391 terdaftar di kantor BPN.

b. Dengan adanya dakwaan perbuatan pidana penipuan atas diri Pemohon Kasasi I/Terdakwa, maka judex facti telah melanggar asas hukum Lex Specialis di atas. Bukan menerapkan asas hukum yang berlaku umum :

1) Bahwa ketika melayani pembuatan akta-akta Pemohon Kasasi I/Terdakwa berkewajiban menerangkan fakta-fakta sehubungan dengan status tanah tersebut, sesuai dengan jabatannya yang sah sebagai pejabat umum atau PPAT, yang ditunjuk oleh Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional tanggal 31 Agustus 1998 Nomor 14-XI-1998 dan Menteri Kehakiman tanggal 24 Februari 1999 Nomor C.463.HT.03.01.TH.1999 sehingga dengan demikian segala tindakan Pemohon Kasasi I/Terdakwa dalam memberikan pelayanan pada pihak yang minta dibuatkan akta-akta otentik adalah perbuatan Pemohon Kasasi I/Terdakwa dalam jabatannya sesuai dengan hak dan kewajibannya, jadi bukan tindakan di luar jabatan sebagai Notaris/PPAT.

(15)

Nomor 10 Tahun 1961 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang PPAT dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang BPHTB. Demikianlah karena segala hak dan kewajiban Pemohon Kasasi I/Terdakwa selaku PPAT sudah diatur oleh ketentuan-ketentuan hukum khusus, maka tidak dibenarkan hukum perkara ini diselesaikan berdasarkan KUHP (lex specialis) sesuai dengan asas “Lex Specialis Derogat Lex Generalis

4. Bahwa judex facti (Pengadilan Tinggi) telah keliru salah menerapkan hukum, karena telah melanggar Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana :60

a. Judex factidalam memberikan pertimbangan tidak mempertimbangkan semua alat bukti yang diperoleh dari keterangan saksi-saksi yang menguntungkan Pemohon Kasasi I/Terdakwa.

b. Keterangan saksi-saksi AWL, AS, SN, dan ICHK sendiri secara tegas menerangkan bahwa yang merugikan dan yang menipu mereka adalah ICHK. c. Yang membujuk beli tanah tersebut adalah ICHK, mereka sendiri yang

berunding dan melakukan survey tanah tersebut tanpa ada campur tangan sedikitpun dari Pemohon Kasasi I/Terdakwa. Mereka sendiri yang berunding tentang harga tanah dengan ICHK.

60Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 429 K/Pid/2010 tanggal 20 Juli

(16)

d. Adalah fakta bahwa pada saat AWL dan kawan-kawan datang menyampaikan niatnya untuk meminta dibuatkan akta-akta dihadapan Pemohon Kasasi I/Terdakwa selaku Notaris/PPAT, belum terjadi perbuatan pidana, oleh karena itu perbuatan atau peristiwa pidana terjadi pada saat atau setelah ICHK terima pembayaran tanah dari AWL atas nama kawan-kawannya, ICHK tidak membayar lunas harga tanah tersebut kepada pemilik tanah BS/RT. Dengan tidak dilunasinya sisa harga tanah sebesar Rp.1.500.000.000,- maka proses jual beli yang telah dikuasakan kepada Terdakwa ICHK dibatalkan dan sertifikat tanahnya diambil lagi oleh BS/RT, hal ini sesuai dengan Akta Nomor 58 tanggal 29 Juli 2003, dengan dibatalkannya jual beli dan diambilnya sertifikat tersebut maka AWL dan kawan-kawan tidak dapat menandatangani Akta Jual Beli yang telah dipersiapkan oleh Pemohon Kasasi I/Terdakwa, dan tidak memiliki tanah tersebut akibatnya mereka mengalami kerugian.

e. Oleh karenanya baik peristiwa pidana maupun akibat yang ditimbulkannya bukan karena perbuatan Pemohon Kasasi I/Terdakwa tetapi merupakan perbuatan yang disengaja oleh Terdakwa ICHK, oleh karena itu pertimbangan judex facti bertentangan atau melanggar Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP):

(17)

2) Pasal 185 ayat (6) : ”Dalam menilai kebenaran seorang saksi, Hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan :

a) Persesuaian antara saksi yang satu dengan saksi yang lain; b) Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain;

3) Pasal 188 KUHAP ayat (3) : ”Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh Hakim dengan arif dan bijaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya”.

Oleh karena itu judex facti tidak secara cermat memeriksa semua alat bukti dan keterangan saksi-saksi yang diperoleh di persidangan, dan hanya mengambil keterangan saksi-saksi sebagian yang diperoleh dari Berita Acara Pemeriksaan (BAP) saksi di Kepolisian yang dibacakan di persidangan sehingga sangat merugikan Pemohon Kasasi I/Terdakwa.

5. Bahwajudex facti(Pengadilan Tinggi) telah keliru dan salah menerapkan hukum, karena dalam pertimbangan hukumnya hanya mengambil alih pertimbanganjudex facti(Pengadilan Negeri):61

a. Bahwa pada putusan perkara Nomor 376/PID/2009/PTR menyatakan bahwa ”...pertimbangan judex facti (Pengadilan Negeri) tersebut diambil alih oleh dan dijadikan sebagai pertimbangan judex facti (Pengadilan Tinggi) sendiri dalam memutus perkara ini ”... dan seterusnya.

61 Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 429 K/Pid/2010 tanggal 20 Juli

(18)

b. Bahwa oleh karenanya Pemohon Kasasi I/Terdakwa akan menanggapi pertimbangan judex facti (Pengadilan Negeri) 2 (dua) Hakim Anggota dalam menjatuhkan putusan perkara a quo, sehubungan dengan hal-hal tersebut, mohon Majelis Hakim Kasasi berkenan mengadili sendiri dan memutus perkara ini, dengan alasan bahwa Pemohon Kasasi I/Terdakwa atas putusan dan pertimbanganjudex facti(Pengadilan Negeri) dalam perkaraa quoadalah sebagai berikut :

1) Bahwa pertimbangan hukum Ketua Majelis Hakim disampaikan sebagai pendapat berbeda (Dissenting Opinion) dengan Hakim Anggota adalah tepat dan benar, beralasan hukum serta didukung bukti-bukti yang sah yang diperoleh dari persidangan.

2) Bahwa Pembanding mengambil alih pertimbangan pertimbangan Ketua Majelis Hakim tersebut sebagai alasan/keberatan dalam memori banding ini dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari memori banding Pembanding.

Menimbang, bahwa atas alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:

1. Mengenai alasan ke- 1:

(19)

kawan-kawan sebesar Rp.2.860.000.000,- (dua milyar delapan ratus enam puluh juta rupiah) merupakan perbuatan pidana.

2. Mengenai alasan- alasan ke- 2 dan ke- 5:

Bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena alasan-alasan tersebut mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan, alasan semacam itu tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan pada tingkat kasasi, karena pemeriksaan pada tingkat kasasi hanya berkenaan dengan tidak di terapkan suatu peraturan hukum atau peraturan hukum tidak diterapkan sebagaimana mestinya, atau apakah cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan Undang-Undang, dan apakah Pengadilan telah melampaui batas wewenangnya, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 253 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981.

Menimbang, bahwa oleh karena permohonan kasasi dari para Pemohon Kasasi/Jaksa/Penuntut Umum dan Terdakwa ditolak, maka biaya perkara pada tingkat kasasi ini dibebankan kepada Terdakwa.

(20)

Mahkamah Agung dalam putusannya menyatakan bahwa judex facti (Pengadilan Tinggi) tidak salah menerapkan hukum yaitu telah mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan sesuai Pasal 197 ayat (1) f KUHAP, dan telah mempertimbangan hal-hal yang relevan secara yuridis dengan benar yaitu penipuan yang dilakukan oleh terdakwa BN dan menimbulkan kerugian bagi AWL dan kawan-kawan sebesar Rp.2.860.000.000,- (dua milyar delapan ratus enam puluh juta rupiah) merupakan suatu perbuatan pidana.

Bahwa alasan-alasan yang diajukan pemohon kasasi mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan, alasan semacam itu tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan pada tingkat kasasi, karena pemeriksaan pada tingkat kasasi hanya berkenaan dengan tidak diterapkan suatu peraturan hukum atau peraturan hukum tidak diterapkan sebagaimana mestinya, atau apakah cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan Undang-Undang, dan apakah Pengadilan telah melampaui batas wewenangnya, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 253 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981).62

Bahwa berdasarkan pertimbangan pertimbangan diatas, lagi pula ternyata, putusan judex facti (Pengadilan Tinggi Riau di Pekanbaru) dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi dari para Pemohon Kasasi, Jaksa/Penuntut Umum dan Terdakwa tersebut harus ditolak,

62 Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 429 K/Pid/2010 tanggal 20 Juli

(21)

karena alasan-alasan sebagaimana diuraikan diatas yang diajukan baik oleh pemohon kasasi I maupun pemohon kasasi II tidak dapat diterima oleh Mahkamah Agung.

Akhirnya Mahkamah Agung memutuskan menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi II Jaksa/ Penuntut Umum Pada Kejaksaan Negeri Dumai tersebut. Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi I /Terdakwa BN tersebut, membebankan Terdakwa tersebut untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini sebesar Rp.2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah).

C. Analisa Kasus

Berdasarkan uraian diatas tampak bahwa Jaksa Penuntut Umum mengajukan terdakwa BN dalam persidangan perkara tersebut sesuai dengan surat dakwaan No.Reg.Perk.PDM-30/Dumai/03/09, dengan dakwaan kesatu, melanggar Pasal 378 KUHP Jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. Dakwaan kedua, melanggar Pasal 372 KUHP Jo. pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. Dalam perkara tersebut jelas JPU tidak yakin dan terkesan ragu-ragu dalam membuat surat tuntutan tersebut. Terbukti dari surat dakwaan yang dibuat secara alternatif, dimana baik dakwaan primair maupun dakwaan subsidair, JPU menerapkan Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.

(22)

dalam surat tuntutan. JPU tidak berhasil membuktikan unsur-unsur pasal 55 ayat (1) ke 1 tersebut dalam persidangan. Dengan kata lain memang benar bahwa unsur-unsur pasal 55 (1) ke 1 tersebut tidak terbukti dipersidangan. JPU hanya menguraikan tentang unsur-unsur Pasal 378 KUHP dan tidak mampu menghubungkan dengan unsur-unsur Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUH Pidana, seolah-olah tuntutan bersifat tunggal. Seharusnya Majelis Hakim dalam putusannya mempertimbangkan fakta-fakta atau keterangan saksi-saksi yaitu keterangan dari saudara saksi ICHK, RT dan AWL yang secara bersama menerangkan di persidangan, bahwa kesepakatan jual beli baik mengenai obyek tanah maupun mengenai harga tanah serta sistem pembayaran adalah kesepakatan antara penjual dan pembeli yang disepakati di luar kantor Notaris BN. Bahkan saksi Iwan CHK menyatakan bahwa apabila terjadi permasalahan dikemudian hari, Iwan CHK siap bertanggungjawab sepenuhnya.

Keterangan saksi dibawah sumpah yaitu saksi ICHK, saksi AWL, ASG, RT dan saksi BD secara tegas dan menyatakan bahwa para penjual dan pembeli sepakat jual beli tanah tersebut baik mengenai obyek tanah yang terletak di Jalan Kelakap Tujuh Dumai seluas 1,8 hektar dengan harga Rp 4.750.000.000 dengan tiga kali pembayaran yaitu pertama setelah akta ditandatangani sebesar Rp 2.400.000.000, kemudian 6 bulan setelah itu sebesar Rp 100 juta dan 6 bulan setelah itu sebesar Rp 1.350.000.000 (keterangan saksi RT didalam persidangan).

(23)

Jual Beli No 58 dan No 59, dengan demikian tidak ada tindakan dari terdakwa BN yang menguntungkan diri sendiri atau orang lain, bahkan pembayaran jasa seorang Notaris BN yang membuat akta-akta tersebut sampai saat ini belum dibayar. Oleh karena itu unsur dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain tidak terbukti.

Berdasarkan uraian dari 10 (sepuluh) orang saksi-saksi dalam persidangan yaitu saksi AWL, ASG, AB, WT, SN, HN, SLM, RT dan ICHK menerangkan bahwa terdakwa BN tidak pernah melakukan penipuan dan penggelapan kepada AWL dan kawan-kawan, baik secara bersama-sama maupun sediri-sendiri. Bahwa jual beli tanah yang terletak di jalan Kelakap Tujuh Dumai antara BS (RT) sebagai penjual dan AWL sebagai pembeli adalah atas kesepakatan bersama (Kedua belah Pihak), hal mana dapat terlihat dari harga tanah, obyek tanah, dan sistem pembayaran dilakukan oleh penjual dan pembeli tanpa bujuk rayu terdakwa BN dan tanpa tekanan dan paksaan dari siapapun.

(24)

Seorang Notaris yang menjalankan jabatan Notaris seharusnya tidak dapat dihukum berdasarkan perbuatan yang dilakukannya menurut undang-undang yaitu melakukan perbuatan mengkonstatir maksud/kehendak dari pihak-pihak yang menghendaki perbuatan hukum yang dituangkan ke dalam akta otentik, dalam kasus tersebut Notaris BN akhirnya ditarik sebagai pihak yang turut serta melakukan atau membantu melakukan suatu tindak pidana, padahal timbulnya perbuatan penipuan tersebut sebenarnya secara jelas dalam uraian saksi-saksi dipersidangan dilakukan oleh ICHK karena tindak pidana tersebut terjadi dalam pelaksanaan perjanjian ketika timbul wanprestasi oleh salah satu pihak, yaitu penerima kuasa jual, ICHK, yang tidak menyetorkan hasil penjualan tanah tersebut kepada BS, sehingga BS sebagai pemilik tanah tidak mau menyerahkan sertipikat hak atas tanahnya untuk diproses balik namanya ke atas nama pembeli oleh Notaris BN.

Dari uraian kasus tersebut tampak bahwa tindakan penggelapan dana hasil penjualan dilakukan pasca pelaksanaan jual beli yang dilakukan dihadapan Notaris BN, hanya saja dalam pelaksanaannya ternyata penerima kuasa, ICHK, yang melakukan tindakan penggelapan tidak menyetorkan hasil penjual hak atas tanah tersebut pada pemiliknya yaitu BS, sehingga menimbulkan kerugian pada pihak AWL yang akhirnya membuat pihak AWL menuntut ICHK dan Notaris BN atas tindak pidana penipuan.

(25)
(26)

BAB IV

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI NOTARIS ATAS TUDUHAN TINDAK PIDANA PENIPUAN DALAM MENJALANKAN

TUGAS DAN KEWENANGANNYA

A. Tugas Jabatan Notaris Dan Akta Notaris

1. Tugas Jabatan Notaris

Notaris adalah sebuah profesi yang dapat dilacak balik ke abad ke 2-3 pada masa Romawi Kuno, dimana mereka dikenal sebagaiscribae,tabellius ataunotarius. Pada masa itu, mereka adalah golongan orang yang mencatat Pidato Raja. Istilah notaris diambil dari nama pengabdinya, Notarius, yang kemudian menjadi istilah/titel bagi golongan orang penulis cepat atau stenografer.63 Notaris adalah salah satu cabang dari profesi hukum yang tertua di dunia. Sekitar abad ke 5, Notaris dianggap sebagai pejabat istana.

Di Italia utara sebagai daerah perdagangan utama pada abad ke 11-12, dikenal Latijnse Notariat,64 yaitu orang yang diangkat oleh penguasa umum, dengan tujuan melayani kepentingan masyarakat umum, dan boleh mendapatkan honorarium atas jasanya dari masyarakat umum. Latijnse notariat ini murni berasal dari Italia Utara, bukan sebagai pengaruh hukum Romawi Kuno.

Pada zaman Italia Utara dikenal 4 istilah Notaris: a. Notarii: pejabat istana melakukan pekerjaan administratif;

63 Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat Di Indonesia Suatu Penjelasan, (Jakarta: Raja

Grafindo Perasada, 1993), hlm.13

(27)

b. Tabeliones: sekelompok orang yang melakukan pekerjaan tulis menulis, mereka tidak diangkat oleh pemerintah/kekaisaran untuk melakukan sesuatu formalitas yang di tentukan oleh undang-undang;

c. Tabularii: pegawai negeri, ditugaskan untuk memelihara pembukuan keuangan kota dan diberi kewenangan untuk membuat akta; Ketiganya belum membentuk sebuah bentuk akta otentik,

d. Notaris: pejabat yang membuat akta otentik.

Pada tahun 1888, dalam rangka peringatan 8 abad berdirinya Universitas Bologna, diterbitkanlah bukuFormularium Tabellionumoleh Irnerius. Berturut-turut seratus tahun kemudian ditebitkanSumma Artis Notariae oleh Rantero dari Perugia, kemudian pada abad ke 13 buku dengan judul yang sama diterbitkan oleh Rolandinus Passegeri. Ronaldinus Passegeri kemudian juga menerbitkan Flos Tamentorum. Buku-buku tersebut menjelaskan definisi Notaris, fungsi, kewenangan dan kewajiban-kewajibannya.

Pada abad ke 14, profesi Notaris mengalami kemunduran dikarenakan penjualan jabatan notaris oleh penguasa demi uang sehingga ketidaksiapan Notaris dadakan tersebut mengakibatkan kerugian kepada masyarakat banyak. Sementara itu, pada abad ke 13 kebutuhan atas profesi Notaris telah sampai di Perancis.65 Pada 6 oktober tahun 1791, pertama kali diundangkan undang-undang di bidang notariat, yang hanya mengenal 1 macam Notaris. Pada tanggal 16 maret tahun 1803 diganti dengan Ventosewet yang memperkenalkan pelembagaan notaris yang bertujuan

(28)

memberikan jaminan yang lebih baik bagi kepentingan masyarakat umum. Pada waktu itu Perancis menjajah Belanda dan dengan dua buah dekrit Kaisar, masing-masing tanggal 8 Nopember 1810 dan tanggal 1 Maret 1811 Ventosewet dinyatakan berlaku di seluruh negeri Belanda, dan setelah Belanda lepas dari penjajahan Perancis, Belanda mengadaptasi Ventosewet dari Perancis dan menamainya Notariswet. Pada saat itu penjajahan pemerintah kolonial Belanda telah dimulai di Indonesia. Dan sesuai dengan asas konkordasi, undang-undang itu juga berlaku di Hindia Belanda/ Indonesia.66 Notaris pertama yang diangkat di Indonesia adalah Melchior Kelchem, sekretaris dariCollege van Schenpenendi jakarta pada tanggal 27 Agustus 1620.67 Selanjutnya berturut turut diangkat beberapa notaris lainnya, yang kebanyakan adalah keturunan Belanda atau golongan timur asing.

Pada tanggal 26 januari 1860 diundangkanlah Notaris Reglement yang selanjutnya dikenal sebagai Peraturan Jabatan Notaris di Indonesia (Ord. Stbl. 1860 No. 3, mulai berlaku tanggal 1 Juli 1860). Reglement atau ketentuan ini bisa dibilang adalah kopian dari Notariswet yang berlaku di Belanda.68 Peraturan jabatan notaris terdiri dari 66 pasal. Peraturan jabatan notaris ini masih berlaku sampai dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (Undang-Undang Jabatan Notaris).

Setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17 agustus 1945, terjadi kekosongan pejabat notaris dikarenakan mereka memilih untuk pulang ke negeri Belanda. Untuk

66Soegondo Notodisoerjo,Op.Cit., hlm.12

(29)

mengisi kekosongan ini, pemerintah menyelenggarakan kursus-kursus bagi warga negara Indonesia yang memiliki pengalaman di bidang hukum (biasanya wakil notaris). Jadi, walaupun tidak berpredikat sarjana hukum saat itu, mereka mengisi kekosongan pejabat notaris di Indonesia. Pada tahun 1999, dikeluarkan sebuah Peraturan Pemerintah Nomor 60 yang menyatakan bahwa semua pendidikan kespesialisasian, D2, D3 tidak dikelola oleh Universitas melainkan masuk dalam lingkungan organisasi profesinya, sehingga terjadi tarik menarik antara lembaga Universitas dengan organisasi profesi untuk menjadi penyelenggara dari pendidikan notariat ini. Kemudian pada tahun 2000 keluar putusan dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang mengubah program studi spesialis notaris menjadi program magister yang bersifat keilmuan, dengan gelar akhir Magister Kenotariatan.

Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik, sejauh pembuatan akta otentik tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya. Dengan demikian Notaris berperan melaksanakan sebagian tugas negara dalam bidang hukum keperdataan, dan kepada Notaris dikualifikasikan sebagai Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya.69

Ketentuan Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris (P.J.N) juncto Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Jabatan Notaris, tidak hanya memberikan pengertian tentang Notaris, tetapi juga memberikan penjelasan mengenai tugas jabatan Notaris. Tugas jabatan Notaris sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang

(30)

Jabatan Notaris dapat disimpulkan dari kalimat Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya.70

2. Kewenangan Notaris

Kewenangan Notaris dalam hal ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 Undang-Undang Jabatan Notaris yang berbunyi sebagai berikut:

(1) Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.

(2) Notaris berwenang pula :

1. Mengesahkan tandan tangan dan menetapakan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;

2. Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;

3. Membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;

4. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya; 5. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta; 6. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau

7. Membuat akta risalah lelang.

(3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.71

Sebagai pejabat umum, Notaris mempunyai wewenang, yaitu:72

1. Notaris mempunyai wewenang sepanjang yang menyangkut akta yang dibuatnya;

70Tan Thong Kie,Studi Notariat, Serba-serbi Praktek Notaris, Buku I, (Jakarta : PT. Ichtiar

Baru Van Hoeve, 2000), hlm.159

71Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris

sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014, Pasal 15

(31)

Wewenang Notaris di sini, berkaitan dengan ketentuan bahwa tidak setiap pejabat umum dapat membuat semua akta, akan tetapi seorang pejabat umum hanya dapat membuat akta-akta tertentu, yakni yang ditugaskan atau dikecualikan kepadanya berdasarkan peraturan perundang-undangan.

2. Notaris hanya berwenang sepanjang mengenai orang, untuk kepentingan siapa akta itu dibuat;

Wewenang Notaris di sini, berkaitan dengan ketentuan bahwa Notaris tidak berwenang untuk akta yang diperuntukan bagi kepentingan setiap orang, tetapi kepada orang tertentu yang berkepentingan dalam pembuatan akta otentik. Contohnya di dalam Pasal 20 ayat (1) P.J.N juncto Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Jabatan Notaris: Notaris tidak diperbolehkan membuat akta yang diperuntukkan bagi Notaris sendiri (untuk diri sendiri), isterinya, keluarganya sedarah atau keluarga semenda dari Notaris itu dalam garis lurus tanpa pembatasan derajat dan dalam garis ke samping sampai dengan derajat ke-tiga, baik secara pribadi maupun melalui kuasa, bertindak sebagai pihak. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya tindakan yang tidak memihak dan penyalahgunaan jabatan;

(32)

4. Notaris hanya berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu.

Wewenang Notaris di sini dihubungkan dengan kapan seorang Notaris berwenang membuat akta otentik, dan ini berhubungan dengan pengangkatan seseorang sebagai Notaris. Dengan kata lain, Notaris hanya diperbolehkan membuat akta otentik, apabila ia sudah mempunyai wewenang untuk menjalankan tugas jabatannya.73

Apabila salah satu persyaratan tersebut di atas tidak dipenuhi, maka akta yang dibuatnya adalah tidak otentik dan hanya mempunyai kekuatan seperti akta yang dibuat di bawah tangan, jika akta itu ditanda tangani oleh para pihak yang hadir (penghadap). Disamping itu, jika terdapat alasan yang cukup, Notaris yang bersangkutan wajib membayar biaya, ganti kerugian dan bunga kepada yang berkepentingan. Suatu akta adalah otentik bukan karena penetapan undang-undang, akan tetapi karena dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum.74

3. Akta Notaris

Akta secara umum dapat diartikan sebagai surat ijazah atau surat keterangan (atau pengakuan dan lain sebagainya) yang disaksikan atau disahkan oleh salah suatu badan pemerintah (atau Notaris).75Surat akta juga memiliki pengertian sebagai suatu tulisan yang semata-mata dibuat untuk membuktikan sesuatu hal atau peristiwa,

73Ibid., hlm.140

74 G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris. Cet. 3, (Jakarta: Erlangga, 1983),

hlm.50.

75W.J.S. Poerwadarminta,Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cetakan Keenambelas, (Jakarta:

(33)

karenanya suatu akta harus selalu ditandatangani.76Akta juga dapat dikatakan sebagai surat yang dibubuhi tanda tangan, yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan yang dibuat sengaja oleh para pihak, yang dapat digunakan sebagai alat pembuktian.77

Dengan demikian akta dapat juga dikatakan sebagai suatu tulisan yang ditandatangani oleh pembuat surat itu. Penandatanganan ini memberikan arti bahwa orang yang menandatanganinya terikat atas isi surat yang ditandatanganinya tersebut. Akta, seperti yang dapat disimpulkan dari ketentuan-ketentuan Pasal 1865 dan Pasal 1866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Dari ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata suatu akta dapat dikatakan sebagai akta otentik apabila memenuhi unsur-unsur, sebagai berikut:

a. dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang; b. dibuat oleh atau dihadapan pegawai umum;

c. dibuat oleh pegawai umum yang berwenang untuk membuat akta tersebut; dan d. dibuat di wilayah kewenangan pegawai umum tersebut.

Sementara itu dalam Pasal 1 P.J.N juncto Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, akta otentik atau akta Notaris adalah akta yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata acara yang ditetapkan oleh Undang-Undang ini.

76Subekti,Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan xxx, (Jakarta: Intermasa, 2002), hlm.178. 77 J.B. Daliyo, Pengantar Hukum Indonesia: Buku Panduan Mahasiswa, (Jakarta:

(34)

Akan tetapi apabila suatu akta telah memenuhi keseluruhan syarat keotentitasannya seperti yang dimaksud oleh Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Pasal 1 (P.J.N) juncto Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Jabatan Notaris, isi dari materi akta itu, terutama akta otentik para pihak (akta partij) bertentangan dengan Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, akta tersebut menjadi batal demi hukum. Batal demi hukumnya akta tersebut karena tidak terpenuhinya syarat obyektif perikatan yaitucausayang halal.

Selain akta otentik yang dibuat oleh dan dihadapan Notaris, akta otentik juga dapat dibuat oleh pegawai-pegawai umum lainnya dengan mengikuti pemenuhan keempat unsur otentitas tersebut. Akta kelahiran, Akta Perkawinan, Akta Kematian yang dikeluarkan oleh Kantor Catatan Sipil juga merupakan akta otentik.

Dengan demikian untuk membedakan suatu akta dapat dikatakan sebagai akta otentik atau akta di bawah tangan yang dilegalisasi oleh pegawai umum (Notaris) adalah pada kekuatan pembuktiannya, baik pembuktian lahiriah maupun formalnya, pada kepastian tanggal. Selain perbedaan, kedua akta ini juga memiliki persamaan yaitu keterangan pejabat yang terdapat di dalam kedua akta ataupun keterangan para pihak dalam kedua akta, sama-sama memiliki kekuatan pembuktian formal dan berlaku terhadap setiap orang yakni apa yang ada dan terdapat di atas tanda tangan mereka.

4. Prosedur Pembuatan Akta Otentik

(35)

dan memang merupakan wewenang Notaris serta dilakukan di dalam wilayah wewenangnya, pembuatan akta juga harus mengikuti syarat formal yang ditentukan oleh undang-undang (dalam hal ini P.J.N juncto Undang-Undang Jabatan Notaris). Syarat formalitas itu sendiri tergantung kepada apakah akta tersebut dibuat oleh Notaris atau akta itu dibuat dihadapan Notaris. Terdapat perbedaan yang cukup besar antara kedua pengertian diatas, yang masing-masing memiliki syarat dan prosedur yang berbeda untuk keotentitasannya.

Akta yang dibuat oleh Notaris dapat juga diartikan sebagai akta yang dibuat oleh Notaris berdasarkan apa yang dilihatnya, diketahui dan didengar oleh Notaris. Akta ini menguraikan secara otentik suatu tindakan yang dilakukan atau suatu keadaan yang dilihat dan disaksikan oleh Notaris dalam menjalankan jabatannya sebagai Notaris. Akta ini juga dikenal dengan sebutan Akta Relaas. Contoh Akta ini adalah Berita Acara Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Akta Pencatatan Boedel, Akta Risalah Lelang dimana Notaris hadir sebagai Pejabat Lelang Kelas II. Tanda tangan di dalam Akta Relaas ini bukanlah merupakan keharusan bagi otentisitas dari akta.

(36)

keterangan atau perbuatan hukumnya dikonstantir oleh Notaris dalam suatu akta, yang pada akhirnya akan menjadi akta otentik. Akta ini dikenal sebagai AktaPartij atau akta para pihak. Contoh akta ini adalah akta hibah, jual beli, wasiat, kuasa, Penyataan Keputusan Rapat dan lainnya. Dalam Akta Partij ini, tanda tangan para pihak merupakan salah satu syarat keotentitasan akta tersebut. Apabila salah satu pihak atau keduanya tidak dapat menandatangani, pada akhir akta harus memuat keterangan atau alasan mengapa para pihak atau para penghadap tidak dapat menandatangani akta.78 Akan tetapi ketiadaan tanda tangan di dalam akta dapat digantikan dengan keterangan penghadap yang menerangkan tidak dapat membubuhkan tanda tangannya dalam akta dikarenakan berhalangan yang disebut surogaat. Penandatangan atausurogaatpada akta itu sendiri memiliki arti bahwa para pihak atau para penghadap telah membenarkan dan menyetujui atau sepakat terhadap apa yang termuat dalam akta dan penandatangan tersebut harus dilakukan seketika itu juga.

Selain hal-hal yang dikemukan diatas terutama mengenai Akta Partij, keotentikan suatu akta juga harus memenuhi syarat formalitas pembuatan akta tersebut yaitu yang disebut dengan verlijden, yaitu Notaris menyusun minuta akta, membaca minuta akta kepada para penghadap dan minuta tersebut ditandatangani oleh para penghadap, Notaris dan saksi-saksi. Saksi-saksi dalam hal ini juga memiliki peran yang cukup penting mengenai keotentitasan suatu akta karena saksi-saksi akta memiliki fungsi tersendiri. Fungsi saksi akta (saksi instrumenter) adalah sebagai

78Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tah

(37)

orang yang menyaksikan bahwa Notaris yang bersangkutan telah melaksanakan formalitas pembuatan akta yaitu pembuatan minuta, pembacaan serta penandatanganan aktanya.

Untuk hal-hal tertentu seperti akta yang memiliki halaman sangat banyak dan atas kehendak para penghadap untuk membacanya sendiri, ketiadaan salah satu syarat formal pembuatan akta yaitu pembacaan akta oleh Notaris tidak menyebabkan akta tersebut menjadi akta di bawah tangan, karena akta tersebut telah dibaca sendiri oleh para penghadap atas permintaan para penghadap.

Pada dasarnya menurut ketentuan Pasal 16 ayat (1) UUJN, seorang Notaris wajib membacakan akta dihadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 orang saksi, namun kewajiban membacakan akta tersebut dikecualikan apabila penghadap menghendaki agar akta tidak dibacakan karena penghadap telah membaca sendiri, mengetahui dan memahami isinya, maka pembacaan akta sebagaimana dimaksud Pasal 16 ayat (1) UUJN menjadi tidak wajib dilakukan.79

Akta tersebut tetap disebut sebagai akta otentik dan memiliki kekuatan pembuktian sebagai akta otentik apabila pada akhir akta dimuat keterangan bahwa para penghadap membaca sendiri akta tersebut dan setiap halaman harus diparaf oleh para penghadap, saksi dan Notaris.80 Dengan demikian akta tersebut tetap dianggap sebagai akta otentik.

79Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Pasal

16 ayat (7)

(38)

Ketentuan pembuatan akta otentik atau akta Notaris, harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam undang-undang. Syarat-syarat-syarat yang dimaksud, adalah sebagai berikut:

a. Ketentuan yang berkaitan dengan larangan dalam pembuatan suatu akta otentik. Terdapat larangan-larangan di dalam pembuatan akta otentik, yaitu:

1) Berdasarkan Pasal 20 P.J.N juncto Pasal 52 Undang-Undang Jabatan Notaris, yang berbunyi:

a) Notaris tidak diperkenankan membuat akta untuk diri sendiri, istri/suami, atau orang lain yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Notaris baik karena perkawinan maupun hubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah dan/atau ke atas tanpa pembatasan derajat, serta dalam garis kesamping sampai dengan derajat ketiga, serta menjadi pihak untuk diri sendiri, maupun dalam suatu kedudukan ataupun dengan perantaraan kuasa.

b) Ketentuan sebagaimana diamaksud pada ayat (1) tersebut di atas tidak berlaku, apabila orang tersebut pada ayat (1) kecuali Notaris sendiri, menjadi penghadap dalam penjualan dimuka umum, sepanjang penjualan itu dapat dilakukan dihadapan Notari, persewaan umum, atau pemborongan umum, atau menjadi anggota rapat yang risalahnya dibuat oleh Notaris.

(39)

dibawah tangan apabila akta itu ditandatangani oleh penghadap, tanpa mengurangi kewajiban Notaris yang membuat akta itu untuk membayar biaya, ganti rugi, dan Bunga kepada yang bersangkutan.

2) Berdasarkan Pasal 21 P.J.NjunctoPasal 53 Undang-Undang Jabatan Notaris, yang mengatur mengenai larangan akta Notaris untuk memuat penetapan atau ketentuan yang memberikan sesuatu hak dan/atau keuntungan bagi Notaris, isteri atau suami Notaris atau saksi, istri keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus tanpa pembatasan derajat dan dalam garis ke samping sampai dengan derajat ketiga.

b. Berkaitan dengan saksi-saksi di dalam pembuatan akta otentik. Ketentuan yang berkaitan dengan saksi-saksi di dalam pembuatan akta otentik yang diatur dalam Pasal 22 dan Pasal 23 P.J.N juncto Pasal 40 Undang-Undang Jabatan Notaris, yaitu:

1) Setiap akta yang dibacakan oleh Notaris dihadiri paling sedikit 2 (dua) orang saksi, kecuali peraturan menentukan lain.

2) Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat sebagai berikut :

a) Paling sedikit berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah. b) Cakap melakukan perbuatan hukum.

(40)

e) Tidak mempunyai hubungan perkawinan atau hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah tanpa penbatasan derajat dari garis kesamping sampai dengan derajat ketiga dengan Notaris atau para pihak.

c. Berkaitan dengan para penghadap di dalam pembuatan akta otentik.

Berdasarkan Pasal 24 P.J.NjunctoPasal 39 Undang-Undang Jabatan Notaris, para penghadap harus dikenal oleh Notaris atau diperkenalkan kepadanya oleh dua orang saksi pengenal yang memenuhi syarat untuk memberikan kesaksian tentang kebenaran di muka pengadilan. Yang dimaksud para penghadap di dalam Pasal 39 Undang-Undang Jabatan Notaris adalah mereka yang datang menghadap kepada Notaris untuk pembuatan suatu akta, dan bukan mereka yang diwakili dalam akta, baik yang diwakili secara lisan maupun secara tertulis ataupun dalam kedudukan atau jabatan. Sebagai contoh, seorang suami yang turut hadir dalam pembuatan akta untuk membantu isterinya, adalah penghadap dalam arti yang dimaksud undang-undang.

d. Berkaitan dengan penulisan identitas para penghadap.

Ketentuan Pasal 25 P.J.N juncto Pasal 38 ayat (3) Undang-Undang Jabatan Notaris menyatakan semua akta harus menyebutkan identitas yang lengkap sesuai tanda pengenal para pihak. Dari ketentuan tersebut, juga terdapat kewajiban bagi Notaris untuk menyebutkan atau menuliskan kedudukan bertindak dari para pihak dalam akta.

(41)

Berdasarkan ketentuan Pasal 28 P.J.N juncto Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang Jabatan Notaris, Notaris harus membacakan akta itu kepada para penghadap dan para saksi. Pembacaan akta kepada para penghadap dan para saksi, dilakukan sebelum akta ditanda tangani oleh para pihak yang terkait dengan pembuatan akta otentik. Pembacaannya dilakukan oleh Notaris sendiri, tidak boleh diwakilkan kepada siapapun. Setelah akta selesai dibacakan, maka akta tersebut langsung ditandatangani oleh setiap penghadap, saksi, dan Notaris.

f. Berkaitan dengan pembuatan minuta akta dan penyimpanannya.

Berdasarkan Pasal 35 P.J.N juncto Pasal 15 ayat (1) huruf b Undang-Undang Jabatan Notaris, Notaris wajib membuat minuta dari semua akta yang dibuat di hadapannya dan menyimpannya sebagai bagian dari Protokol Notaris, Pengecualian dari Pasal 15 ayat (1) huruf b Undang-Undang Jabatan Notaris, adalah terhadap pembuatan Akta In-Originali yaitu suatu akta yang tidak mempunyai minuta karena minutanya diserahkan kepada para pihak. Terhadap pelanggaran atau tidak dipenuhinya ketentuan-ketentuan tersebut di atas, undang-undang memberikan sanksi berupa denda dan hilangnya ke-otentikan akta yang bersangkutan atau disamakan dengan akta di bawah tangan dan Notaris wajib untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga kepada yang berkepentingan.

(42)

tindak pidana pemalsuan akta otentik, apabila isi dari akta itu tidak mengandung kebenaran (palsu).

Selain memperhatikan atau mengikuti ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Peraturan Jabatan Notaris juncto Undang-Undang Jabatan Notaris, Notaris dalam menjalankan tugasnya perlu memperhatikan ketentuan undang-undang lain yang berkaitan.

5. Kekuatan Pembuktian Akta Otentik Sebagai Alat Bukti

Akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang (termasuk pengecualian-pengecualian atau penyimpang-penyimpangnya yang juga diatur oleh undang-undang), dibuat oleh atau dihadapan Notaris sebagai Pejabat Umum, berdasarkan kewenangan jabatannya sebagai Notaris dan di wilayah wewenang Notaris yang bersangkutan, membuat akta tersebut menjadi akta yang otentik.81Dikatakan akta otentik karena akta tersebut memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna. Hal ini memiliki pengertian bahwa terhadap akta otentik, apabila berperkara di Pengadilan, tidak perlu dibuktikan dengan bukti lainnya. Oleh karena itu akta otentik sebagai alat bukti dalam pengadilan merupakan alat bukti yang sempurna termasuk akta otentik yang merupakan AktaRelaasmaupun AktaPartij.

AktaRelaassebagai akta otentik memiliki kekuatan pembuktian yaitu akta ini tidak dapat digugat tentang kebenaran isinya kecuali menuduh akta tersebut palsu. AktaPartijsebagai akta otentik memiliki kekuatan pembuktian yaitu pihak lain dapat

81Habib Adjie,Hukum Notaris Indonesia, Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004

(43)

menggugat kebenaran dari keterangan yang diuraikan di dalam isi akta tetapi tidak dapat menggugat keotentikan akta tersebut atau tidak dapat menuduh akta tersebut palsu. Selain itu akta otentik juga memiliki kekuatan pembuktian yang sangat jauh berbeda dari akta di bawah tangan.

Akta otentik memiliki kekuatan pembuktian lahiriah yaitu dari bentuk aktanya, dari lambang garuda yang tertera di dalam akta, dari keberadaan nama Notaris, secara lahiriah dapat diketahui bahwa akta tersebut adalah akta otentik. Dengan kata lain Akta tersebut secara lahiriah dapat membuktikan dirinya sendiri bahwa akta itu adalah akta otentik atau akta otentik dapat membuktikan sendiri keabsahannnya (acta publica probant sese ipsa).82 Kemampuan ini menurut Pasal 1875 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak dapat diberikan kepada akta yang dibuat di bawah tangan.83 Dengan demikian pembuktian terbalik dari kekuatan pembuktian lahiriah suatu akta otentik adalah bukan isi dari akta itu maupun wewenang dari Notaris itu. Siapa yang tidak menggugat sahnya tanda tangan dari Notaris tersebut, akan tetapi menggugat kompetensinya (yang membuat akta itu bukan notaris atau notaris membuat akta itu di luar wilayah jabatannya), bukan menuduh akta itu palsu.84

Kekuatan pembuktian formal dari suatu akta otentik memiliki arti bahwa akta tersebut membuktikan kebenaran dari apa yang disaksikan, dilihat, didengar dan juga

82G.H.S. Lumban Tobing,Peraturan Jabatan Notaris, Cetakan Ke-3, (Jakarta: Erlangga,

1983), hlm.55.

83Ibid.

(44)

dilakukan sendiri oleh Notaris sebagai pejabat umum di dalam menjalankan jabatannya. Dapat juga diketahui dari isi aktanya bahwa formalitas-formalitas yang harus ditempuh untuk otentiknya suatu akta telah dilakukan oleh seorang Notaris. Akta otentik tersebut secara formal yaitu dari bentuknya yang sesuai dengan undang-undang, dibuat oleh Notaris sebagai pejabat umum, pembuatan merupakan wewenang Notaris dan pembuataan dilakukan di wilayah wewenang Notaris yang bersangkutan telah dipenuhi. Keterangan-keterangan yang ada adalah otentik dan mengikat para pihak di dalam akta karena formalitas yang ditentukan oleh Undang-Undang Jabatan Notaris seperti pembuatan minuta, pembacaan minuta dan penandatangan akta (verlijden) telah dipenuhi oleh Notaris yang bersangkutan. Mengenai hal kekuatan pembuktian formal akta otentik dengan tidak mengurangi pembuktian sebaliknya yang merupakan pembuktian lengkap, baik Akta Relaas(akta pejabat) maupun Akta Partij(akta para pihak) memiliki pengertian yang sama. Keterangan yang terdapat di dalam kedua akta tersebut mempunyai kekuatan pembuktian formal dan berlaku terhadap setiap pihak yang ada dan terdapat di atas tanda tangan mereka.85

Kekuatan pembuktian material suatu akta otentik dapat diartikan bahwa secara material keterangan-keterangan yang ditulis oleh pejabat yang dimaksud oleh Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah otentik sehingga materi, keterangan-keterangan, perjanjian-perjanjian yang ditulis oleh Notaris dijamin keotentikannya. Dengan demikian apabila akta otentik dan materi akta adalah otentik, akta tersebut mengikat para pihak. Kekuatan pembuktian material suatu akta otentik

(45)

juga dapat memiliki arti isi keterangan yang dimuat dalam akta itu berlaku sebagai yang benar, isinya mempunyai kepastian sebagai yang sebenarnya dan menjadi bukti di antara para pihak. Dengan demikian dapat dikatakan:86

a. bahwa akta itu, apabila digunakan di muka pengadilan adalah cukup dan hakim tidak diperkenankan untuk meminta tanda pembuktian lainnya di samping itu; dan b. bahwa pembuktian sebaliknya senantiasa diperkenankan dengan alat-alat pembuktian biasa, yang diperbolehkan untuk itu menurut undang-undang. Dengan kata lain akta otentik tersebut tidak dapat digunakan sebagai bukti dalam pembuktian terbalik.

Dari keterangan-keterangan di atas dapat dikatakan bahwa suatu akta otentik yang digunakan dalam pengadilan merupakan bukti yang kuat dan sempurna serta mengikat Hakim untuk menggunakan sebagai alat bukti tanpa harus memberikan bukti lainnya. Oleh karena jika tidak demikian halnya, apa arti dan kegunaan dari undang-undang, terutama Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1 P.J.NjunctoPasal 1 angka 7 Undang-Undang tentang Jabatan Notaris, menunjuk para pegawai umum seperti Notaris untuk membuat akta otentik, yang pada akhirnya dapat dikesamping oleh Hakim sebagai alat bukti yang sempurna.

6. Asas Praduga Sah dalam Menilai Akta Notaris

Notaris sebagai Pejabat Umum yang mempunyai kewenangan tertentu sebagaimana tersebut dalam Pasal 1 P.J.N juncto Pasal 15 Undang-Undang Jabatan Notaris. Dengan kewenangan yang ada pada Notaris, maka akta Notaris mengikat

(46)

para pihak atau penghadap yang tersebut di dalamnya atau siapa saja yang berkepentingan dengan akta tersebut. Jika dalam pembuatan akta Notaris tersebut: pertama;berwenang untuk membuat akta sesuai dengan keinginan para pihak;

kedua; secara lahiriah, formal, dan material telah sesuai dengan aturan hukum tentang pembuatan akta Notaris, maka akta tersebut harus dianggap sah.

Akta Notaris sebagai produk dari Pejabat Umum, maka penilaian terhadap akta Notaris harus dilakukan dengan Asas Praduga Sah atau Presumtio Lustae Causa.87 Asas ini dapat dipergunakan untuk menilai akta Notaris, yaitu akta Notaris harus dianggap sah sampai ada pihak yang menyatakan akta tersebut tidak sah. Untuk menyatakan atau menilai akta tersebut tidak sah harus dengan gugatan ke pengadilan umum. Selama dan sepanjang gugatan berjalan sampai dengan ada keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, maka akta Notaris tetap sah dan mengikat para pihak atau siapa saja yang berkepentingan dengan akta tersebut.

Dalam gugatan untuk menyatakan akta Notaris tersebut tidak sah, maka harus dibuktikan ketidakabsahan dari aspek lahiriah, formal dan materiil akta Notaris. Jika tidak dapat dibuktikan maka akta yang bersangkutan tetap sah mengikat para pihak atau siapa saja yang berkepentingan dengan akta tersebut. Asas ini telah diakui dalam Undang-Undang Jabatan Notaris yang tersebut dalam Penjelasan bagian Umum ditegaskan bahwa Akta Notaris sebagai alat bukti tertulis yang terkuat dan terpenuh, apa yang dinyatakan dalam Akta Notaris harus diterima, kecuali pihak yang

87Paulus Effendi Lotulung,Beberapa Sistem Tentang Kontrol Segi Hukum Bagi

(47)

berkepentingan dapat membuktikan hal sebaliknya secara memuaskan di hadapan persidangan pengadilan.

Asas Praduga Sah ini berkaitan dengan akta yang dapat dibatalkan, yang merupakan suatu tindakan mengandung cacat, yaitu tidak berwenangnya Notaris untuk membuat akta secara formal, materiil, dan tidak sesuai dengan aturan hukum tentang pembuatan akta Notaris, dan asas ini tidak dapat dipergunakan untuk menilai akta batal demi hukum, karena akta batal demi hukum dianggap tidak pernah dibuat.

Dengan alasan tertentu sebagaimana tersebut di atas, maka kedudukan akta Notaris :

1. dapat dibatalkan; 2. batal demi hukum;

3. mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan; 4. dibatalkan oleh para pihak sendiri; dan

5. dibatalkan oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena penerapan asas Praduga Sah.

(48)

ini berlaku, dengan ketentuan jika akta Notaris tersebut tidak pernah diajukan pembatalan oleh pihak yang berkepentingan kepada pengadilan umum dan telah ada putusan pengadilan umum yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap atau akta Notaris tidak mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan atau tidak batal demi hukum atau tidak dibatalkan oleh para pihak sendiri. Dengan demikian penerapan Asas Praduga Sah untuk akta Notaris dilakukan secara terbatas, jika ketentuan sebagaimana tersebut di atas terpenuhi.

7. Kode Etik Profesi Jabatan Notaris

Dengan adanya kode etik kepercayaan masyarakat akan suatu profesi dapat diperkuat, karena setiap klien mempunyai kepastian bahwa kepentingannya akan terjamin. Kode etik profesi juga penting sebagai sarana kontrol sosial. Kode etik adalah nilai-nilai dan norma-norma moral yang wajib diperhatikan dan dijalankan oleh profesional hukum.88

Agar kode etik profesi dapat berfungsi sebagaimana mestinya maka paling tidak ada dua syarat yang mesti dipenuhi. Pertama, kode etik itu harus dibuat oleh profesi itu sendiri. Kode etik tidak akan efektif, kalau diterima begitu saja dari atas, dari instansi pemerintah atau instansi lain, karena tidak akan dijiwai oleh cita-cita dan nilai-nilai yang hidup dalam kalangan profesi itu sendiri. Kedua, agar kode etik berhasil dengan baik adalah bahwa pelaksanaannya diawasi terus-menerus.89

(49)

Kedudukan notaris sebagai pejabat umum adalah merupakan salah satu organ Negara yang mendapat amanat dari sebagian tugas dan kewenangan Negara yaitu berupa tugas, kewajiban, wewenang dan tanggung jawab dalam rangka pemberian pelayanan kepada masyarakat umum di bidang keperdataan.

Jabatan yang diemban Notaris adalah suatu jabatan kepercayaan yang diamanatkan oleh Undang-Undang dan masyarakat, untuk itulah seorang Notaris bertanggung jawab untuk melaksanakan kepercayaan yang diberikan kepadanya dengan selalu menjunjung tinggi etika hukum dan martabat serta keluhuran jabatannya. Selain dari adanya tanggung jawab dan etika profesi, adanya integritas dan moral yang baik merupakan persyaratan penting yang harus dimiliki oleh seorang Notaris.

Oleh karena itu Notaris harus senantiasa menjalankan jabatannya menurut Kode Etik Notaris yang ditetapkan dalam Kongres Ikatan Notaris Indonesia yang telah mengatur mengenai kewajiban dan larangan yang harus dipatuhi oleh Notaris dalam menegakan Kode Etik Notaris dan mematuhi Undang-Undang yang mengatur tentang jabatan Notaris yaitu Undang-Undang nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

(50)

semua orang yang menjalankan tugas jabatan sebagai notaris, termasuk di dalamnya para pejabat sementara notaris, notaris pengganti dan notaris pengganti khusus.90

B. Perlindungan Hukum Bagi Notaris Dalam Menjalankan Tugas dan Wewenangnya

Notaris sebagai pejabat umum dalam menjalankan profesinya di bidang pelayanan jasa hukum kepada masyarakat dipayungi oleh undang-undang, dalam undang-undang jabatan Notaris tersebut, Notaris merupakan jabatan tertentu yang menjalankan profesi dalam pelayanan hukum kepada masyarakat perlu mendapatkan perlindungan dan jaminan, demi tercapainya kepastian hukum.

Undang-undang jabatan Notaris telah memberikan suatu prosedur khusus dalam penegakan hukum terhadap Notaris perlindungan hukum terhadap Notaris dituangkan dalam Pasal 66 Undang-Undang Jabatan Notaris yang menetapkan, bahwa untuk proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang untuk mengambil fotokopi minuta akta dan atau surat-surat yang dilekatkan pada minuta akta atau protokol Notaris dalam penyimpanan dengan Persetujuan Majelis Pengawas Daerah (MPD). Kemudian MPD melaksanakan rapat pleno dan hasil rapat tersebut dapat dijadikan penyidik sebagai dasar melakukan pemanggilan. Hanya saja ketentuan Pasal 66 UUJN tersebut dibatalkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 49/PUU-X/2012 tanggal 28 Mei 2013.

(51)

Pembatalan ketentuan Pasal 66 UUJN oleh Mahkamah Konstitusi tersebut karena banyak terjadinya perbuatan-perbuatan yang melanggar kode etik yang sebelumnya selalu berlindung pada ketentuan Pasal 66 UUJN tersebut, yaitu untuk memanggil seorang Notaris, penyidik diharuskan meminta izin secara resmi kepada Majelis Pengawas Notaris. Untuk menindak Notaris nakal seharusnya UU Jabatan Notaris memuat ketentuan pidana khusus bagi Notaris jika melanggar jabatan. Baik itu pidananya berupa denda, kurungan atau penjara sebab Notaris bertugas membuat akta. Dengan akta itu, Notaris bisa menyebabkan seseorang hilang hak. Kalau hak orang hilang, otomatis masyarakat akan dirugikan karena itu perilaku Notaris perlu diawasi.

(52)

Seorang Notaris tidak bisa diminta pertanggung jawaban pidana atas akta yang dibuatnya bila ia telah melakukan tugasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan tugasnya selaku notaris. Hal ini dilegitimasi dalam Pasal 266 KUHP. Seorang notaris tidak bisa dihukum pidana atas Pasal 266 KUHP ini karena ia telah menjalankan tugasnya dengan benar. Posisi seorang Notaris pada Pasal 266 KUHP adalah orang yang disuruh (manus ministra), dan dalam hukum pidana orang yang disuruh tidak bisa diminta pertanggungjawaban pidana atas perbuatannya. Sedangkan Seorang Notaris dapat diminta pertanggung jawaban pidana atas akta yang dibuatnya berdasarkan Pasal 263 dan 264 KUHP jika :

1. Notaris mengetahui bahwa pada saat orang yang menghadap kepadanya untuk membuat akta otentik, baik berupa perikatan untuk jual beli atau perikatan lainnya, orang tersebut tidak bisa memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perikatan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun Notaris tidak mengindahkan syarat-syarat sahnya perikatan tersebut dan tetap membuat akta sesuai yang diminta oleh para penghadap;

2. Notaris mengetahui bahwa pada saat orang yang menghadap kepadanya untuk membuat akta otentik, orang tersebut telah memberikan keterangan-keterangan tidak benar untuk dicantumkan di dalam akta tersebut. Notaris tidak mengindahkannya dan tetap saja membuat Akta otentik tersebut.

(53)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Perbuatan Notaris yang dapat dikelompokkan sebagai perbuatan pidana penipuan yaitu tindakan menggunakan nama palsu (valsche naam), menggunakan martabat/kedudukan palsu (valsche hoedanigheid), menggunakan tipu muslihat (listige kunstgreoen) dan rangkaian kebohongan (zamenweefsel van verdichtsels), bermaksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, menghendaki atau setidaknya mengetahui/menyadari bahwa perbuatannya sejak semula memang ditujukan untuk menggerakkan orang lain agar orang lain tersebut menyerahkan suatu benda/memberi hutang/menghapuskan piutang kepadanya (pelaku delik), mengetahui/menyadari bahwa yang ia pergunakan untuk menggerakkan orang lain sehingga menyerahkan suatu benda/memberi hutang /menghapuskan piutang kepadanya itu adalah dengan memakai nama palsu, martabat palsu atau sifat palsu, tipu muslihat atau rangkaian kebohongan.

(54)

tentunya terdakwa mempunyai kemampuan untuk bertanggungjawab atas segala perbuatan yang dilakukannya, unsur “Dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain” bahwa Majelis berpendapat dari kata-kata yang diucapkan oleh terdakwa didepan para saksi yaitu “Pak AWL alias KH tenanglah, saya yang mengurus surat-surat tanah tersebut, karena saya sebagai Notaris PPAT, pokoknya sampai tuntas, beres bos” menyiratkan maksud terdakwa untuk mewujudkan transaksi antara saksi ICHK dengan saksi AWL alias KH, dan unsur “Yang melakukan, yang menyuruh lakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan” menimbang bahwa saksi ICHK seolah-olah dalam bertindak telah mempunyai kuasa dari pemilik tanah untuk menjualkan tanah itu, namun sesuai dengan fakta yang telah terungkap di persidangan bahwa surat kuasa dari BS sebagai pemilik tanah adalah setelah saksi ICHK dan terdakwa datang dari Jakarta, maka Majelis Hakim berkeyakinan bahwa terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana secara bersama-sama melakukan penipuan.

(55)

KUHP adalah orang yang disuruh (manus ministra), dan dalam hukum pidana orang yang disuruh tidak bisa diminta pertanggungjawaban pidana atas perbuatannya. Kecuali apabila Notaris yang bersangkutan tidak mengindahkan syarat-syarat sahnya perikatan, serta Notaris mengetahui bahwa penghadap telah memberikan keterangan-keterangan tidak benar untuk dicantumkan di dalam akta tersebut, namun Notaris tidak mengindahkannya dan tetap saja membuat Akta otentik tersebut.

B. Saran

1. Notaris hendaknya menjunjung tinggi harkat dan martabat serta kode etik profesi sehingga terhindar dari pelanggaran-pelanggaran yang dapat merugikan kredibilitas Notaris itu sendiri serta Organisasi Notaris yang menaunginya, sehingga dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya seorang Notaris diharapkan untuk bertindak hati-hati, jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum.

(56)

Referensi

Dokumen terkait

Dalam Tugas Akhir ini dibangun suatu permainan yang bergenre edukasi dengan menerapkan metode pembangkit puzzle otomatis di dalam sistem permainan supaya dapat lebih

membahas suatu masalah. Beberapa hal yang perlu dipenuhi dalam cooperative learning agar lebih menjamin semua peserta didik bekerja secara kooperatif, yaitu : 1)

Penelitian ini penting untuk dilakukan karena hasil penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan stategi pemasaran yang tepat kepada Bali Easy Holiday dalam

pinggul sampai bahu dan pangkal paha paralel dengan lantai”. Dengan penjelasan kutipan tersebut, half squat jump tentunya hanya dilakukan dengan setengah

pasien kanker paru bukan sel kecil dengan kemoterapi. Untuk mengetahui perbedaan nilai faal Hemostasis darah pada pasien kanker. paru bukan sel kecil sebelum dan

Sebagaimana telah diungkapkan didepan bahwa tujuan penelitian tindakan adalah untuk meningkatkan motivasi pembelajaran IPA melalui pemanfaatan lingkungan sebagai sumber belajar,

Pengukuran protein kasar pada sampel bertujuan untuk mengetahui jumlah protein pada pakan dan sampel A (silase sorgum Samurai 2) menunjukkan bahwa protein kasar yang

Tesis Pengaturan wilayah provinsi kepulauan .... Jemmy