• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ekspresi Biofilm Bakteri pada Penderita Rinosinusitis Kronis dengan Pewarnaan Hematoxylin Eosin Chapter III VI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Ekspresi Biofilm Bakteri pada Penderita Rinosinusitis Kronis dengan Pewarnaan Hematoxylin Eosin Chapter III VI"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis / Desain Penelitian

Penelitian ini bersifat observasional analitik dengan desain potong lintang.

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Rumah Sakit (RS) Haji Adam Malik Medan, RS Haji Mina Medan dan RS Grand Medistra Lubuk Pakam mulai bulan Januari 2016 sampai dengan sampel terpenuhi. Pemeriksaan dengan pewarnaan hematoxylin eosin dilakukan di Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

3.3 Populasi, Sampel dan Besar Sampel 3.3.1 Populasi

Populasi penelitian ini adalah penderita rinosinusitis kronis yang menjalani tindakan bedah sinus endoskopi fungsional di RS Haji Adam Malik Medan, RS Haji Mina Medan dan RS Grand Medistra Lubuk Pakam mulai bulan Januari 2016 sampai dengan sampel terpenuhi.

3.3.2 Sampel

(2)

Medan, RS Haji Mina Medan dan RS Grand Medistra Lubuk Pakam yang memenuhi kriteria inklusi pada bulan Januari 2016 sampai dengan sampel terpenuhi.

Kriteria inklusi:

a. Penderita rinosinusitis kronis dimana sinus yang terlibat minimal sinus maksila atau sinus etmoid yang menjalani tindakan bedah sinus endoskopi fungsional.

b. Pada penderita rinosinusitis kronis dupleks sampel diambil dari sisi sinus yang paling banyak terinfeksi.

c. Bersedia diikutsertakan dalam penelitian dan menandatangani formulir persetujuan mengikuti penelitian.

Kriteria eksklusi

Mukosa yang tidak adekuat untuk analisis. 3.3.3 Besar sampel

Besar sampel dihitung dengan menggunakan rumus uji hipotesis beda proporsi 1 populasi:

eterangan:

Keteragan:

n = Jumlah sampel minimal yang diperlukan Zα = Kesalahan tipe 1 = 1,96

Po = Proporsi penderita rinosinusitis kronis = 71% = 0,71 (You, et al., 2011)

Zα √po qo + Zβ √pa qa

pa - po n =

(3)

qo = 1 – 0,71 = 0,29

Zβ = Kesalahan tipe 2 = 0,84

pa – po = 20% = 0,2 pa – 0,71 = 0,2

pa = 0,91

qa = 1 – 0,91 = 0,09

n = 1,96 √0,71x0,29 + 0,84 √0,91x0,09

n = 31,87

Besar sampel minimal yang dibutuhkan adalah 32 3.3.4 Teknik pengambilan sampel

Pengambilan sampel penelitian adalah secara non probability consecutive sampling yaitu setiap pasien yang memenuhi kriteria penelitian dimasukkan ke dalam penelitian sampai kurun waktu tertentu hingga jumlah sampel yang diperlukan terpenuhi (Sastroasmoro, 1995).

3.4 Variabel Penelitian

Variabel independent: jenis kelamin, usia, gejala klinis, lama gejala, polip. Variabel dependent: biofilm.

0,2

(4)

3.5 Definisi Operasional

3.5.1 Rinosinusitis kronis adalah inflamasi pada mukosa hidung dan sinus paranasal selama lebih dari 12 minggu (Fokkens, et al., 2012).

3.5.2 Bedah sinus endoskopik fungsional adalah tehnik bedah minimal invasif dimana sel-sel udara pada sinus dan ostiumnya dibuka dengan cara tampak langsung (Slack dan Bates, 1998). 3.5.3 Usia adalah umur yang dihitung dalam tahun dan perhitungan

berdasarkan kalender masehi.

3.5.4 Jenis kelamin adalah laki-laki dan perempuan.

3.5.5 Gejala klinis adalah suatu kondisi yang dirasakan atau dikeluhkan penderita sehubungan dengan penyakitnya antara lain:

a. Hidung tersumbat b. Sekret pada hidung c. Nyeri pada wajah d. Penciuman berkurang

3.5.6 Lama gejala adalah waktu antara timbulnya gejala sampai dengan penderita datang berobat.

3.5.7 Polip adalah pembengkakan mukosa yang berbentuk seperti anggur, lembut, licin dan mobile (Schlosser dan Woodworth, 2009). 3.5.8 Biofilm adalah komunitas mikroba dalam bentuk sesil yang

ditandai dengan sel-sel yang secara ireversibel melekat pada substratum atau satu sama lainnya (Donlan dan Costerton, 2002; Foreman, at al., 2009; Hassan, et al., 2011). Ada beberapa teknik pemeriksaan biofilm, salah satu diantaranya adalah pemeriksaan dengan pewarnaan hematoxylin eosin (Mathur, et al., 2006; Taj, et al., 2012).

Pemeriksaan biofilm dengan pewarnaan hematoxylin eosin memerlukan alat-alat sebagai berikut:

(5)

b. Mikroskop cahaya Olympus Cx19 (Germany)

Pemeriksaan biofilm dengan pewarnaan hematoxylin eosin memerlukan bahan-bahan sebagai berikut:

a. Xylene

b. ethanol 70%, 80%, 95%, 96%, 100% c. hematoxylin eosin

d. air suling

e. asam hidroklorida 0,1%

3.6 Alat Ukur 3.6.1 Alat

 Lampu kepala merk Ryne dan alat THT rutin merk Renz  Alat penghisap sekret (suction) merk Thomas Medipump tipe

1132 GL

 1 set alat endoskopi

 1 set alat untuk pemeriksaan dengan pewarnaan hematoxylin eosin

 Mikroskop cahaya Olympus Cx19 (Germany)  Formulir persetujuan ikut penelitian

 Catatan medis penderita dan status penelitian penderita 3.6.2 Bahan

 Formalin 4%  Xylene

 Ethanol 70%, 80%, 95%, 96%, 100%  Hematoxylin-eosin

 Air suling

(6)

3.6.3 Cara kerja

Semua subyek penelitian yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi durante operasi mukosa sinus maksila atau sinus etmoidnya diambil menggunakan forcep lalu difiksasi dalam formalin 4% selama 48 jam. Kemudian diwarnai dengan hematoxylin-eosin dengan menggunakan prosedur patologi standar.

Pemeriksaan dengan pewarnaan hematoxylin eosin dilakukan dengan cara: potongan mukosa dideparafinisasi dalam xylene (2x5 menit) dan direhidrasi secara berturut-turut selama 1 menit dicuci dengan ethanol 100%, 96%, 80%, dan 70%. Kemudian diwarnai dengan hematoxylin selama 2 menit, dicuci dengan air suling, dicuci dengan asam hidroklorida 0,1% dalam 50% ethanol, dicuci dengan air keran selama 15 menit, diwarnai dengan eosin selama 1 menit, dan dicuci lagi dengan air suling. Slide-nya kemudian didehidrasi dengan ethanol 95% dan 100% secara berurutan diikuti dengan xylene (2x5 menit) dan ditutup dengan coverslip. Kemudian slide dianalisa dengan mikroskop cahaya Olympus Cx19 (Germany) dengan pembesaran 20x dan 40x.

Hasil pemeriksaan:

(7)

Gambar 3.1. Pewarnaan hematoxylin eosin, tampak kelompok bakteri basofilik kecil pada permukaan epitel (Hochstim, et al., 2010)

3.7 Teknik Pengumpulan Data

Data primer diambil dari lembar pemeriksaan dan hasil pemeriksaan terhadap subyek penelitian di Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher RS Haji Adam Malik Medan, RS Haji Mina Medan dan RS Grand Medistra Lubuk Pakam. Data mengenai ekspresi biofilm bakteri diperoleh dari hasil pemeriksaan dengan pewarnaan hematoxylin eosin terhadap jaringan dari sinus maksila dan atau sinus etmoid di Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

3.8 Analisis Data

(8)

variabel numerik menggnakan uji T Independent bila data berdistribusi normal, bila tidak normal digunakan uji Mann Whitney. Uji normalitas menggunakan uji Shapiro Willk. Untuk variabel yang ditemukan bermakna pada uji bivariat akan dilanjutkan ke uji analisa multivariat.

3.9 Hipotesa Statistik

H1 : terdapat perbedaan jenis kelamin, usia, gejala klinis, lama gejala dan polip terhadap ekspresi biofilm bakteri

3.10 Kerangka Kerja

Pasien rinosinusitis kronis yang menjalani tindakan bedah sinus endoskopi fungsional

Mukosa sinus maksila atau sinus etmoid diambil menggunakan forcep

Sampel dilakukan pemeriksaan biofilm dengan pewarnaan hematoxylin eosin

Biofilm (+) Biofilm (-)

(9)

3.11 Jadwal Penelitian

NO Jenis Kegiatan

I II III IV V

1. Persiapan proposal 2. Presentasi proposal 3. Pengumpulan data 4. Pengolahan data dan

pembuatan laporan 5. Laporan hasil

(10)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini diikuti oleh sebanyak 33 orang penderita rinosinusitis kronis yang menjalani tindakan bedah sinus endoskopi fungsional di RS Haji Adam Malik Medan, RS Haji Mina Medan dan RS Grand Medistra Lubuk Pakam mulai bulan Januari 2016 yang telah memenuhi kriteria inklusi. Subyek berjenis kelamin laki-laki lebih banyak dibanding perempuan sejumlah 19 orang (57,6%). Rerata usia subyek penelitian adalah 37,67 tahun. Keluhan hidung tersumbat dialami oleh sebanyak 31 orang (93,9%), sekret hidung sebanyak 25 orang (75,8%), nyeri wajah sebanyak 22 orang (66,7%) dan penciuman berkurang sebanyak 17 orang (51,5%).

Rerata lama gejala dialami subyek selama 27,91 hari dan ditemukan polip pada 12 orang pasien (36,4%).

Tabel 4.1 Karakteristik subyek penelitian

Lama Gejala (rerata) 27,91 (33,69)

(11)

Tabel 4.2 Karakteristik subyek penelitian berdasarkan hasil Lama Gejala (rerata) 25,05 (27,37) 33,64 (44,79)

Polip (%) 10 (83,3) 2 (16,7)

Tabel 4.3 Analisa usia berdasarkan hasil pemeriksaan biofilm Biofilm (+) Biofilm (-) P Value* Usia (rerata) 38,95 (16,28) 35,09 (13,98) 0,507 *T Independent

(12)

Tabel 4.4 Analisa jenis kelamin berdasarkan hasil pemeriksaan biofilm

Biofilm (+) Biofilm (-) PValue*

Laki-Laki (%) 13 (68,4) 6 (31,6) 1,000

Perempuan 9 (64,3) 5 (35,7)

*Fisher’s Exact

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 19 subyek laki-laki terdapat 13 orang (68,4%) dengan biofilm (+) sedangkan dari 14 subyek perempuan terdapat 9 orang (64,3%) dengan biofilm (+). Hasil analisis menggunakan uji Fisher’s exact menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan proporsi biofilm (+) berdasarkan jenis kelamin (p=1,000).

Tabel 4.5 Analisa gejala hidung tersumbat berdasarkan hasil pemeriksaan biofilm

Biofilm (+) Biofilm (-) PValue Hidung Tersumbat (%)

Ada 21 (67,7) 10 (32,3) 1,000*

Tidak ada 1 (50) 1 (50)

*Fisher’s Exact

(13)

Tabel 4.6 Analisa gejala sekret hidung berdasarkan hasil pemeriksaan biofilm

Biofilm (+) Biofilm (-) PValue Sekret Hidung (%)

Ada 18 (72) 7 (28) 0,391*

Tidak ada 4 (50) 4 (50)

*Fisher’s Exact

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 25 subyek dengan gejala sekret hidung terdapat 18 orang (72%) dengan biofilm (+) sedangkan dari 8 subyek yang tidak ada seket hidung terdapat 4 orang (50%) dengan biofilm (+). Hasil analisis menggunakan uji Fisher’s exact menunjukkan

bahwa tidak terdapat perbedaan proporsi biofilm (+) berdasarkan ada tidaknya sekret hidung (p=0,391).

Tabel 4.7 Analisa gejala nyeri wajah berdasarkan hasil pemeriksaan biofilm

Biofilm (+) Biofilm (-) PValue Nyeri Wajah (%)

Ada 14 (63,6) 8 (36,4) 0,709*

Tidak ada 8 (72,7) 3 (27,3) *Fisher’s Exact

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 22 subyek dengan gejala nyeri wajah terdapat 14 orang (63,6%) dengan biofilm (+) sedangkan dari 11 subyek yang tidak ada nyeri wajah terdapat 8 orang (72,7%) dengan biofilm (+). Hasil analisis menggunakan uji Fisher’s exact menunjukkan

(14)

Tabel 4.8 Analisa gejala penciuman berkurang berdasarkan hasil pemeriksaan biofilm

Biofilm (+) Biofilm (-) PValue Penciuman Berkurang (%)

Ada 10 (58,8) 7 (41,2) 0,325*

Tidak ada 12 (75) 4 (25)

*Chi Square

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 17 subyek dengan gejala penciuman berkurang terdapat 10 orang (58,8%) dengan biofilm (+) sedangkan dari 16 subyek yang tidak ada keluhan penciuman berkurang terdapat 12 orang (75%) dengan biofilm (+). Hasil analisis menggunakan uji Chi Square menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan proporsi biofilm (+) berdasarkan keluhan penciuman berkurang (p=0,325).

Tabel 4.9 Analisa lama gejala berdasarkan hasil pemeriksaan biofilm Biofilm (+) Biofilm (-) PValue Lama Gejala, rerata (SB) 25,05 (27,37) 33,64 (44,79) 0,969* *Mann Whitney

(15)

Tabel 4.10 Analisa keberadaan polip berdasarkan hasil pemeriksaan biofilm

Biofilm (+) Biofilm (-) PValue Polip (%)

Ada 10 (83,3) 2 (16,7) 0,249*

Tidak ada 12 (57,1) 9 (42,9) *Fisher’s Exact

(16)

BAB V PEMBAHASAN

Rinosinusitis kronis merupakan penyakit yang sering dijumpai pada bagian telinga hidung tenggorok kepala dan leher. Patogenesisnya belum sepenuhnya ditemukan. Teori multifaktor yang secara luas diterima diantaranya adalah infeksi (bakteri, jamur, virus), abnormalitas anatomi dari kompleks ostiomeatal, hipersensitivitas, disfungsi sistem mukosiliar. Pada beberapa tahun belakangan ini penelitian tentang bakteri pada rinosinusitis kronis melaporkan nilai positif sebanyak 32,5% sampai 96%, mengindikasikan adanya hubungan antara rinosinusitis kronis dengan bakteri (Yildirun, et al., 2004; You, et al., 2011). Beberapa peneliti mengemukakan bahwa biofilm adalah penyebab yang umum dari infeksi persisten kronis (Bendouah, et al., 2006; You, et al., 2011).

Bakteri biofilm terdiri dari polimer ekstraseluler yang disekresi oleh bakteri dan mozaik bakteri di dalamnya, bakteri biofilm ini memiliki karakteristik angka pertumbuhan yang lambat, resisten terhadap antibiotik yang kuat, kemampuan mentransfer gen secara bersamaan. Sekali biofilm terbentuk resistensi terhadap antibiotik meningkat 500 sampai 1000 kali dibandingkan dengan daerah yang bebas bakteri (Tewart dan Costerton, 2001; You, et al., 2011).

Berdasarkan publikasi oleh National Institutes of Health, lebih dari 80% dari semua infeksi melibatkan biofilm. Biofilm berhubungan dengan banyak kondisi medis termasuk diantaranya alat-alat medis yang terpasang lama, plak gigi, infeksi saluran pernapasan atas, peritonitis, dan infeksi urogenital. Baik bakteri gram positif maupun gram negatif memiliki kemampuan untuk membentuk biofilm.

(17)

Peran biofilm sebagai etiologi patologis utama pada rinosinusitis kronis dapat membantu menjelaskan manifestasi klinis dari penyakit. Pada rinosinusitis kronis perubahan mukosa mengakibatkan kondisi yang baik untuk pertumbuhan biofilm. Sekali biofilm terbentuk, dapat menyebabkan resisten terhadap pertahanan tubuh host dan terapi eksternal dikarenakan antigen yang terus-menerus ada dan perkembangan proses inflamasi kronis (Harvey dan Lund, 2007; Keir, Pedelty dan Swift, 2011).

Ada beberapa teknik pemeriksaan biofilm, saat ini baku emas untuk mengidentifikasi adanya biofilm adalah confocal scanning laser microscopy yang digunakan bersamaan dengan fluorescent in-situ hybridisation (FISH) (Keir, Pedelty dan Swift, 2011). Namun sangat disayangkan alat tersebut merupakan peralatan yang tidak murah dan tidak tersedia luas. Oleh karena terdapat peningkatan bukti bahwa biofilm berperan penting dalam banyak penyakit kronis, maka penting untuk mengidentifikasi metode yang lebih mudah dan lebih murah untuk meneliti biofilm pada sampel klinis. Ketersediaan pewarnaan hematoxylin eosin yang luas dalam laboratorium patologi klinik membuatnya menjadi metode yang sangat praktis untuk mendeteksi biofilm dalam praktek klinis (Hochstim, et al., 2010; Natili dan Leipzig, 2014).

(18)

Pada beberapa tahun belakangan ini, pendekatan anti-biofilm baru telah dikembangkan sebagai alternatif dari terapi antibiotik klasik, diantaranya antimikroba peptida, enzim yang melemahkan matriks biofilm, bakteriofag, terapi ultrasonik, quorum sensing inhibitors, agen anti adesi. Pemahaman yang mendalam mengenai mekanisme resistensi biofilm terhadap antimikroba akan sangat bermanfaat dalam mengembangkan agen anti-biofilm baru yang inovatif (Aziz dan Aeron, 2014; Chen, Yu dan Sun, 2013; Sun, et al., 2013).

Berdasarkan karakteristik subyek penelitian sebanyak 33 pasien, didapati pada pasien rinosinusitis kronis jumlah penderita dengan jenis kelamin laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan dengan rasio 1,36:1. Penelitian oleh Boase dkk yang melibatkan 38 penderita rinosinusitis kronis juga mendapati jumlah laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan dengan rasio 1,37:1. Rasio yang lebih tinggi didapati pada penelitian oleh Foreman dkk dengan jumlah sampel 50 pasien dengan rasio 1,5:1. Dan penelitian oleh You dkk dengan jumlah sampel 90 pasien mendapati rasio laki-laki dan wanita sebesar 1,78:1. Kenapa laki-laki lebih sering terkena rinosinusitis dibandingkan perempuan sampai saat ini masih sulit untuk dijelaskan. Anatomi dan fisiologi hidung laki-laki dan perempuan tidak jauh berbeda. Infeksi bakteri sebagai penyebab rinosinusitis kronis dapat menyerang baik laki-laki maupun perempuan. Alergi maupun jamur juga bukan merupakan penyakit yang khusus pada laki-laki saja tetapi juga bisa mengenai perempuan. Satu-satunya penjelasan yang mungkin adalah kebiasaan merokok yang lebih banyak dilakukan oleh laki-laki dibandingkan perempuan, yang mana diketahui bahwa merokok dapat menyebabkan perubahan mukosa dan merusak silia (Mangunkusumo dan Soetjipto, 2011).

(19)

sering dijumpai pada kelompok umur 21-40 tahun, sebanyak 65%. Studi oleh D. Shrestha dkk juga melaporkan bahwa insiden rinosinusitis kronis terbanyak didapati pada kelompok umur 21-40 tahun, sebanyak 68%.

Insiden biofilm positif pada penelitian ini dijumpai pada 22 dari 33 sampel pasien (66,7%). Hampir sama dengan yang didapati oleh Hochstim dkk dalam penelitiannya yang mendapatkan insiden biofilm positif sebanyak 62% yaitu 15 orang dari 24 sampel. Hong dkk dalam penelitiannya mendeteksi biofilm pada 28 pasien dari 55 sampel (50,9%) lebih kecil bila dibandingakan dengan penelitian ini. Berbeda dengan Hochstim dkk dan Hong dkk, beberapa penelitian berikut ini memperoleh hasil yang lebih tinggi, penelitian yang dilakukan oleh You dkk dengan jumlah sampel 90 orang menjumpai insiden biofilm positif sebesar 71,1%. Penelitian yang dilakukan oleh Foreman dkk pada 50 orang penderita rinosinusitis kronis mendapati insiden biofilm positif sebesar 72%, angka yang relatif sama dengan You dkk. Insiden biofilm yang lebih tinggi dilaporkan oleh Sanclement dkk yang melibatkan 30 orang, sebesar 80%, dan penelitian oleh Zhang dkk sebesar 83,3%. Insiden biofilm yang relatif tinggi ini dapat menjelaskan kenapa penderita rinosinusitis kronis memiliki gejala yang lebih berat dan menahun, serta resisten terhadap antibiotik ((Harvey dan Lund, 2007; Keir, Pedelty dan Swift, 2011).

(20)

juga melaporkan bahwa sekret hidung (90%) adalah keluhan terbanyak, diikuti oleh hidung tersumbat (88%).

Hidung tersumbat adalah gejala yang paling sering dilaporkan pada rinosinusitis kronis, yang terdiri dari 3 komponen utama yaitu sumbatan yang disebabkan oleh dilatasi dari vena sinusoid akibat dari inflamasi dan oedem, nasal fibrosis dan polip hidung. Gejala sekret hidung yang terjadi bisa anterior atau posterior dan komposisinya dapat sangat bervariasi. Nyeri wajah merupakan gejala yang paling bervariasi, dengan prevalensi yang dilaporkan berkisar antara 18-77,9% pada penderita rinosinusitis kronis. Umumnya pasien yang datang dengan nyeri wajah dan sakit kepala dicurigai memiliki “masalah sinus”. Rinosinusitis jarang menyebabkan nyeri wajah kecuali bila terdapat infeksi bakteri akut ketika drainase sinus tidak baik dan biasanya bersifat sangat nyeri dan unilateral. Pasien dengan rinosinusitis bakteri kronis jarang mengalami nyeri wajah kecuali jika ostium sinus tersumbat dan gejalanya sama dengan rinosinusitis akut. Gangguan penciuman juga sering dijumpai, yang dapat disebabkan oleh kondisi fisik yang menghalangi odoran mencapai celah olfaktori, dan oedem pada area tersebut. Studi epidemiologi menyatakan bahwa riwayat polip nasi merupakan faktor resiko yang sangat berperan terhadap terjadinya gangguan olfaktori (Fokkens, et al., 2012).

Nasal polip pada penelitian ini dijumpai pada 12 dari 33 orang (36,4%). Angka yang tidak jauh berbeda dengan penelitian oleh Udayasri dkk sebesar 32% dan penelitian oleh Goel dkk sebesar 32,5%.

(21)

sinus maksila akibat gigi dan yang terbentuk sekunder dari fibrosis kistik dapat meningkatkan terbentuknya polip nasi sekunder dari inflamasi jenis berbeda. Komponen infeksi dari penyakit kronis akhirnya dapat terjadi akibat mekanisme pertahanan mukosa normal yang rentan (compromise) oleh karena inflamasi yang berkepanjangan. Rinosinusitis kronis dengan polip nasi harus dipertimbangkan sebagai perjalanan penyakit yang luas dimana pada beberapa individu memiliki kecenderungan untuk berubah menjadi penyakit hiperplastik (Schlosser dan Woodworth, 2009).

Secara klinis penderita rinosinusitis kronis dengan kecenderungan biofilm positif dijumpai pada usia yang lebih tua. Keluhan yang paling banyak dijumpai adalah hidung tersumbat dan sekret hidung dengan lama gejala yang lebih singkat.

Dari analisa bivariat variabel penelitian tidak dijumpai adanya perbedaan yang bermakna antara kelompok biofilm positif dibandingkan dengan kelompok biofilm negatif berdasarkan usia, jenis kelamin, gejala klinis berupa hidung tersumbat, sekret hidung, nyeri wajah, penciuman berkurang, serta berdasarkan lama gejala dan keberadaan polip. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian oleh You dkk yang juga menemukan tidak adanya perbedaan yang bermakna dalam hal jenis kelamin, keparahan penyakit, lama gejala, serta gejala klinis diantara kelompok biofilm positif dan negatif. Dari sini bisa diambil kesimpulan bahwa sulit sekali untuk memprediksi apakah penderita rinosinusitis kronis mempunyai biofilm positif, sehingga pemeriksaan biofilm sepertinya perlu rutin dilakukan untuk dapat membantu penatalaksanaan pasien rinosinusitis kronis paska tindakan bedah sinus endoskopi fungsional.

(22)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian ekspresi biofilm pada penderita rinosinusitis kronis yang menjalani tindakan bedah sinus endoskopi fungsional di RS Haji Adam Malik Medan, RS Haji Mina Medan dan RS Grand Medistra Lubuk Pakam dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

6.1.1. Prevalensi biofilm pada penderita rinosinusitis kronis sekitar 66,7%. 6.2.2. Hasil analisis menggunakan uji T Independent menunjukkan tidak terdapat perbedaan rerata usia antara subyek dengan biofilm (+) dan biofilm (-) (p=0,507).

6.2.3. Hasil analisis menggunakan uji Fisher’s exact menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan proporsi biofilm (+) berdasarkan jenis kelamin (p=1,000).

6.2.4. Hasil analisis menggunakan uji Fisher’s exact menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan proporsi biofilm (+) berdasarkan ada tidaknya gejala hidung tersumbat (p=1,000), sekret hidung (p=0,391), nyeri wajah (p=0,709) dan hasil analisis menggunakan uji Chi Square menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan proporsi biofilm (+) berdasarkan keluhan penciuman berkurang (p=0,325).

6.2.5. Hasil analisis dengan uji Mann Whitney menunjukan tidak tedapat perbedaan rerata lama gejala berdasarkan ada tidaknya biofilm pada pasien rinosinusitis kronis (p=0,969).

(23)

6.2.6. Hasil analisis menggunakan uji Fisher’s exact menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan proporsi biofilm (+) berdasarkan ada tidaknya polip (p=0,249).

6.2 Saran

6.2.1. Pada penderita rinosinusitis kronis yang menjalani bedah sinus endoskopi fungsional perlu dilakukan pemeriksaan biofilm mengingat tidak ada faktor yang dapat meprediksi adanya biofilm. Hal ini daikarenakan biofilm berhubungan dengan adanya gejala yang menetap dan terapi yang diberikan kepada penderita rinosinusitis kronis

Gambar

Gambar 3.1. Pewarnaan hematoxylin eosin, tampak kelompok bakteri basofilik kecil pada permukaan epitel (Hochstim, et al., 2010)
Tabel 4.2
Tabel 4.4 Analisa jenis kelamin berdasarkan hasil pemeriksaan biofilm
Tabel 4.7 Analisa
+2

Referensi

Dokumen terkait

penulis dapat menyelesaikan laporan akhir ini yang berjudul “Analisis Kinerja Keuangan pada CV Anizza Citra Utama Palembang ” tepat pada waktunya.. Laporan akhir

Dari penelitian ini diharapkan akan mendapatkan hasil kuat tekan, nilai faktor air semen (fas), nilai slump, nilai kuat tekan beton karakteristik, dan kadar masing- masing bahan

Dan juga pada usia ini anak masih berpusat pada dirinya sendiri dan cenderung bertindak egois padahal di sisi lain ia harus belajar bersosialisasi juga, sehingga bahan

Pengobatan sendiri pada nyeri akut dengan obat anti nyeri dari 45 responden yang melakukan pengobatan sering yaitu sebanyak 25 orang (55.6%), dan yang melakukan pengobatang

Dalam perencanaan struktur bangunan kayu bersadarkan beberapa peraturan kayu yang ada saat ini, yaitu antara lain peraturan kayu Amerika Serikat (AWC,2011) dan

This document contains certain financial information and results of operation, and may also contain certain projections, plans, strategies, and objectives of Indosat, that are

(1) Data yang telah diperoleh di catat dalam kartu data; (2) Setelah data terkumpul dan disimpan dalam kartu data, diidentifikasi, diklasifikasi, dan

4 Jika pada penelitian lain telah dilakukan uji efektivitas ekstrak lengkuas terhadap Candida albicans, pada penelitian ini akan dilakukan analisis perbedaan pengaruh