• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Aktor Pangadangu Mahamu dalam Upaya Adat Kematian di Desa Ramukabupaten Sumba Timur T1 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Aktor Pangadangu Mahamu dalam Upaya Adat Kematian di Desa Ramukabupaten Sumba Timur T1 BAB II"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

10

BAB II

LANDASAN TEORITIS

2.1. Kebudayaan

Koentjaraningrat (1979) mengartikan kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar. E.B.Taylor mengartikan kebudayaan sebagai keseluruhan kompleksitas yang didalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan kemampuan yang lain, serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Sedangkan Kroeber dan Kluckhon mendefiisikan kebudayaan merupakan pola, baik eksplisit maupun implisit tentang dan untuk perilaku yang dipelajari dan diwariskan melalui simbol-simbol yang merupakan prestasi khas manusia, termasuk perwujudannya dalam benda-benda budaya (Sumarsono dan kusuma, 2007:4-6).

(2)

11

Adat istiadat merupakan bagian dari kebudayaan, adat istiadat adalah suatu komplek norma-norma yang oleh individu-individu yang menganutnya di junjung tinggi dalam kehidupan. Adat istiadat ini walaupun dianggap bersifat tetap namun akan berubah dalam suatu jangka waktu yang lama. Bahkan dalam kehidupan, manusia sering menghindari dan melanggar adat yang tidak cocok dengan kebutuhan hidup pada masa tertentu, Hal ini disebabkan karena manusia selalu bersifat dinamis. Menurut Koentjaraningrat adat sering menjadi undang-undang kehidupan manusia zaman dulu. Selain itu ada bagian-bagian yang berubah disebabkan karena keadaan masyarakat yang mengalami perkembangan. Koentjaraningrat (2002) menjelaskan bahwa suatu adat mempunyai dasar bertata tingkat, yaitu: 1) tingkat nilai budaya, 2) tingkat norma-norma, 3) tingkat hukum, 4) tingkat aturan khusus. Norma-norma dari golongan adat istiadat yang mempunyai akibat yang panjang juga merupakan hukum, walaupun mores (bersifat tetap) pada dasarnya sistem adat istiadat yang turun temurun sejak dahulu hingga saat ini. Upacara adalah serangkaian tindakan atau perbuatan yang terikat pada aturan tertentu berdasarkan adat istiadat, agama, dan kepercayaan. Jenis upacara dalam kehidupan masyarakat antara lain: upacara penguburan, upacara perkawinan, dan upacara pengukuhan kepala suku.

(3)

12

2.2 Kelembagaan

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997:789) kelembagaan adalah suatu sistem badan sosial atau organisasi yang melakukan suatu usaha untuk mencapai tujuan tertentu. Aspek kata kelembagaan memiliki inti kajian kepada prilaku dengan nilai, norma dan aturan yang mengikuti dibelakangnya. Menurut Koentjaraningrat (1979) mengartikan pranata dan lembaga adalah sistem norma atau aturan-aturan yang mengenai suatu aktivitas masyarakat yang khusus, sedangkan lembaga atau institut adalah badan atau organisasi yang melaksanakan aktivitas itu. Paul Horton dan Chester L.Hunt (1996) dalam Syahyuti (2009) mendefinisikan lembaga sosial adalah sistem norma-norma sosial dan hubungan yang menyatukan nilai-nilai dan prosedur-prosedur tertentu dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Sedangkan Soerjono Soekanto (2007) lembaga sosial adalah himpunan norma dari segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok dalam kehidupan masyarakat. Peter L. Berger, mendefenisikan lembaga sosial adalah suatu prosedur yang menyebabkan perbuatan manusia ditekan oleh pola tertentu dan dipaksa bergerak melalui jalan yang dianggap sesuai dengan keinginan masyaraka (Syahyuti, 2009).

(4)

13

sederhana. Hal ini terjadi melalui kemampuan aktor dalam mereproduksi habitus dan modal dalam ranah. Konsep kelembagaan atau organisasi ini digunakan untuk membingkai Forum Peduli Adat Pangadangu Mahamu yang juga merupakan hasil produk habitus dan modal yaitu forum terbentuk sebagai praksis penyederhanaan adat kematian.

2.3. Tindakan Aktor Pierre Bourdieu

Menurut Pierre Bourdieu (dalam Adib, 2012) praktik secara social merupakan hubungan relasional yakni struktur objektif dan representasi subjektif, agen dan pelaku, terjalin secara dialektik. Praktik sosial bourdieu menunjuk pada dua hal mendasar yakni; pertama, Bourdieu coba memperlakukan kehidupan sosial sebagai suatu interaksi struktur, kecenderungan (disposisi) dan tindakan yang saling mempengaruhi. Artinya praktik sosial tidak didikte secara langsung oleh struktur dan orientasi-oientasi budaya, tetapi lebih merupakan hasil dari proses improvisasi yang kemudian distrukturkan oleh orientasi budaya, sejarang perorangan dan kemampuan untuk berperan didalam interaksi sosial. Ringkasnya praktik sosial merupakan hasil interaksi dialektis antara struktur dan pelaku, antara struktur dan objektif dan refresentasi subjektif (habitus). Kedua, Praktik sosial berada dalam ruang dan waktu (Fashri, 2014).

Konsep Habitus berasal dari tradisi pemikiran filsafat, bukan merupakan ciptaan murni Bourdieu. Dalam bahasa Latin, habitus bisa berarti kebiasaan (habitual), penampilan diri (appearance), atau bisa pula merujuk pada tata pembawaan yang terkait dengan kondisi tipikal tubuh. Selain itu, istilah habitus juga menunjukan aspek perlengkapan bagi substansi tertentu, seperti yang di temukan dalam pemikiran Aristoteles mengenai pembagian ada being (Takwin, 2006). Ritzer (2010) yang menguraikan konsep habitus Bourdieu, bahwa habitus

(5)

14

Bourdieu menambahkan bahwa praktek merupakan integrasi antara habitus dikalikan modal dan ditambahkan ranah, yang dapat dirumuskan sebagai berikut: (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik. Secara dialektis, Habitus adalah

“produk dari internalisasi struktur” dunia sosial. Habitus diperoleh sebagai akibat dari ditempatinya posisi di dunia sosial dalam waktu yang panjang.

Menurut Bourdieu, habitus adalah struktur mental atau kognitif yang dengannya orang berhubungan dengan dunia sosial. Orang dibekali dengan serangkaian skema terinternalisasi yang mereka gunakan untuk mempersepsi, memahami, mengapresiasi, dan mengevaluasi dunia sosial. Melalui skema ini, orang menghasilkan praktik mereka, mempersepsi dan mengevaluasinya (Ritzer dan Goodman, 2010; 581).

Habitus merupakan hasil ketrampilan yang menjadi tindakan praktis (tidak harus selalu disadari) yang kemudian diterjemahkan menjadi suatu kemampuan yang kelihatan alamiah dan berkembang dalam lingkungan sosial tertentu (Bourdieu, 1994: dalam Haryatmoko, 2003). Habitus digunakan sebagai kerangka untuk memahami dan menilai realitas sekaligus penghasil praktek kehidupan yang sesuai dengan struktur-struktur objektif. Jadi habitus menjadi sumber penggerak tindakan, pemikiran dan representasi.

(6)

15

yang membentuk. Artinya bahwa aktor dapat menstrukturkan kembali sistem adat kematian melalui habitus yang dimiliki dengan kemampuan mereproduksi kembali habitusnya.

Habitus sebagai sistem disposisi juga meliputi kecenderungan-kecenderungan ajeg yang berlangsung lama, dan dapat diterapkan di berbagai ranah berbeda. Meski ajeg, habitus bersifat lentur dan dapat diubah atau fleksibel. Artinya habitus memberikan ruang adaptasi bagi individu terkait dengan posisinya dalam ranah sosial. Dari sini kita bisa melihat bahwa kadangkala seseorang dapat mengubah habitus-nya sesuai dengan ranah yang dihadapinya (Fashri, 2014).

Habitus diperoleh sebagai akibat dari ditempatinya posisi di dunia sosial dalam waktu yang panjang. Habitus tidak tetap atau permanen dan dapat berubah di bawah situasi yang tak terduga atau selama periode sejarah panjang. Kebiasaan individu tertentu diperoleh melalui pengalaman hidupnya dan mempunyai fungsi tertentu dalam sejarah dunia sosial dimana kebiasaan itu terjadi. Pengalaman hidup individu yang didapat dari hasil sejarah tersebut, kemudian terinternalisasi dalam dirinya, untuk kemudian mereka gunakan untuk merasakan, memahami, menyadari dan menilai dunia sosial. Melalui pola-pola itulah individu memproduksi tindakan mereka dan juga menilainya (habitus mengendalikan pikiran dan pilihan tindakan individu) (Ritzer dan Goodman, 2010:581).

Habitus terletak dalam fakta bahwa suatu kecenderungan membawa pola pembawaan tertentu yang secara tidak sadar menjadi sebuah kebiasaan. Habitus mendasari terjadinya kehendak merespons, merasa, berpikir, bertindak dan bersosialisasi dengan individu lain, lingkungan di luar diri maupun pelbagi perlengkapan yang menyertai diri. Habitus membimbing aktor untuk memahami, menilai, mengapresiasi tindakan mereka berdasarkan skema atau pola yang dipancarkan dunia sosial. Pernyataan ini senada dengan apa yang dikatakan Bourdieu (1992) tentang habitus, “ schemata of perception, apreciation, and action that result from the institute of the social body (or in biological individuals).” (Fashri, 2014)

(7)

16

menentukan pilihan, aktor menggunakan pertimbangan mendalam berdasarkan kesadaran. Habitus menyediakan prinsip-prinsip yang dijadikan sebagai dasar oleh aktor dalam membuat pilihan dan memilih strategi yang akan digunakan dalam kehidupan sosial, aktor bertindak menurut cara yang masuk akal (reasonable). Mereka mempunyai perasaan dalam bertindak, ada logikanya untuk apa aktor bertindak, inilah yang disebut dengan logika tindakan Bourdieu (Bourdieu, 1990:92). Senada dengan penelitian ini bahwa aktor dalam forum juga merupakan produk sejarah, produk dari struktur sosial (adat kematian) yang terbatinkan yaitu melalui pengalaman itu memberi ruang bagi reproduksi habitus baru. Reproduksi habitus tersebut adalah membentuk forum untuk penyederhanaan adat kematian.

Konsep habitus tidak dapat dipisahkan dari ranah perjuangan (champ). Dua konsep ini sangat dasariah karena saling mengandaikan hubungan dua arah. Habitus memiliki keterkaitan erat dengan posisi sosial tertentu dalam sebuah ranah. Ranah atau lingkungan adalah sejenis pasar kompetisi dimana berbagai jenis modal (ekonomi, kultur, sosial, simbolik) digunakan dan dimanfaatkan (Ritzer dan Goodman, 2010: 583). Hal ini menunjukan bahwa realitas masyarakat yang terdiferensiasi itu, lingkup hubungan-hubungan objektif mempunyai kekhasan yang tidak bisa begitu saja tereduksi pada hubungan yang mengatur bidang lain. Ranah adalah jaringan relasi antarposisi objektif di dalamnya. Keberadaan relasi-relasi ini terpisah dari kesadaran dan kehendak individu. Ranah merupakan: (1) arena kekuatan sebagai upaya perjuangan untuk memperebutkan sumber daya atau modal dan juga untuk memperoleh akses tertentu yang dekat dengan hirarki kekuasaan; (2) semacam hubungan yang terstruktur dan tanpa disadari mengatur posisi-posisi individu dan kelompok dalam tatanan masyarakat yang terbentuk secara spontan (Fashri, 2014).

(8)

17

2014:106). Ranah juga merupakan domain perjuangan demi memperebutkan posisi-posisi di dalamnya. “...fields is a field of forces, but it also a field of struggles tending to transform or conserve this field of forces” Bourdieu (1993) (dalam Fashri, 2014:107). Posisi-posisi tersebut ditentukan oleh alokasi modal atas para pelaku yang mendiami suatu ranah. Ranah dalam penelitian ini adalah adat kematian yang juga berimpilaksi pada arena lainnya.

Dalam hubungannya antara lingkungan dengan habitus, Bourdieu menyebut relasionisme metodologis, yakni adanya hubungan saling timbal balik antara lingkungan dengan habitus. Di satu pihak lingkungan mengkondisikan habitus, di pihak lain habitus menyusun lingkungan, sebagai sesuatu yang bermakna, yang mempunyai arti dan nilai. Keyakinan atau belief adalah sesuatu yang di pegang oleh aktor yang memiliki nilai atau dianggap bernilai. Keyakinanlah yang menggerakkan dan memaksa tubuh untuk mewujudkan keyakinan itu. Sehingga peran dari keyakinan adalah sebagai dasar untuk melakukan tindakan atau praktek dalam suatu ranah (Bourdieu, 1990: 67).

Menurut Bourdieu (dalam Adib 2012), dalam ranah social akan selalu terdapat, mereka yang memiliki modal dan habitus yang banyak akan lebih mampu melakukan tindakan mempertahankan atau mengubah struktur di bandingkan dengan mereka yang tidak memiliki modal. Istilah modal digunakan Bourdieu untuk memetakan hubungan-hubungan kekuasaan dalam masyarakat. Istilah modal memuat beberapa ciri penting, yaitu: 1) modal terakumulasi melalui inventasi; 2) modal bisa diberikan kepada yang lain melalui warisan; 3) modal dapat memberikan keuntungan sesuai dengan kesempatan yang dimiliki oleh pemiliknya untuk mengoperasikan penempatannya (Bourdieu, 1998; dalam Haryatmoko, 2003). Modal dalam penjelasan Bourdieu terdiri dari, modal ekonomi, modal sosial, modal budaya dan modal simbolik.

(9)

18

budaya antara lain kemampuan menampilkan diri di depan publik, pemilikan benda-benda budaya bernilai tinggi, pengetahuan dan keahlian tertentu dari hasil pendidikan, juga sertifikat (gelar keserjanaan). Modal sosial menjukkan pada jaringan sosial yang dimiliki pelaku (individu atau kelompok) dalam hubungannya dengan pihak lain yang memiliki kuasa. Sedangkan modal simbolik ini berupa akumulasi prestasi, penghargaan, harga diri, jabatan, status, kehormatan, wibawa, reputasi, termasuk gelar akademis (Fashri, 2014:109). Sedangkan menurut Bourdieu (dalam Haryatmoko, 2003), keseluruhan kepemilikan modal tersebut, dapat membentuk sebuah struktur tindakan sosial (termasuk praktek keseharian) maupun lingkup sosial individu dalam masyarakat. Dengan demikian, modal harus ada dalam sebuah ranah agar ranah tersebut memiliki daya-daya yang memberikan arti. Hubungan habitus, ranah dan modal bertaut secara langsung dan bertujuan menerangkan praktek sosial. Karakteristik modal dihubungkan dengan skema habitus sebagai pedoman tindakan dan klasifikasi dan ranah selaku tempat beroperasinya modal. Sedangkan ranah senantiasa dikitari oleh relasi kekuasaan objektif berdasarkan pada jenis-jenis modal yang digabungkan dengan habitus. Secara sederhana praktek sosial Bourdieu berarti (Habitus x Modal) + Ranah = Praktek.

2.4. Penelitian Terdahulu

Penelitian tentang “Peran aktor Pangadangu Mahamu dalam upaya

penyederhanaan adat kematian di Desa Ramuk, Kabupaten Sumba Timur” ini

(10)

19 Tabel 2.1

Penelitian Terdahulu

No. Penelitian Hasil Penelitian

1. Rambadeta Victor. 2014. berorientasi pada masa lampau yang berlebihan dan hidup boros. Hal ini dapat dilihat melalui kegiatan pesta adat yang mengakibatkan pengeluaran dana yang begitu besar tanpa mempertimbangkan kemampuan ekonomi sehingga pemerintah daerah Sumba Barat menempuh suatu kebijakan alternatif sebagai suatu terobosan yang berorientasi pada pembangunan ekonomi dengan pendekatan sosial budaya.

2. Program Gerakan Hidup Hemat yang dilakukan oleh Pemda Sumba Barat untuk membina rakyat Sumba Barat demi mensejahterakan masyarakat, mempunyai nilai interpretasi yang baik. Beberapa masyarakat cukup antusias menerima program Gerakan Hidup Hemat. Selain itu Masih terdapat sebagian masyarakat yang tetap berpendirian teguh melaksanakan ritual-ritual adat yang mengeluarkan biaya tinggi tanpa memperhitungkan kemampuan diri.

Hasil Penelitian yang di temukan :

1. Sistem sosial di Sumba Timur kurang berfungsi lagi karena kaburnya hubungan

antar unsur “individu dan tindakan” mereka

yang awalnya adanya ketergantungan antara ikatan masyarakat dengan paraingu dan hilangnya loyalitas terhadap bangsawan. 2. Adanya perbedaan fungsionalis bangsawan,

kalau dahulu hanya mereka yang memiliki hak prerogative dalam segala aspek kehidupan, social, ekonomi politik sekarang itu tidak lagi. Selain itu sistem pemerintahan yang baru memberikan peluang bagi semua individu untuk mencapai perubahan. Namun sistem yang baru ini menjadi tantangan bagi bangsawan bagaimana mempertahankan eksistensinya yang sudah dilakukan oleh leluhurnya.

(11)

20

Timur, terdiri dari dua sumber perubahan. pertama, bersumber dari dalam yakni adanya kesadaran individu atas kebutuhannya dan bagaimana memenuhi kebutuhannya. kedua, bersumber dari luar yaitu pengaruh modernisasi dimana munculnya teknologi, IPTEK, sara-prasarana dari pemerintah dan sebagainya yang memancing kesadaran individu dalam komunitas. kelas sosial, yaitu Maramba (bangsawan), Kabihu (orang merdeka) dan Ata (hamba). Pembagian masyarakat ke dalam kelas-kelas sosial ini dikenal dengan stratifikasi sosial yaitu sistem perbudakan. Dengan demikian, masyarakat dari kaum Ata (hamba) kehilangan otonomi atas diri mereka sendiri karena di dominasi dan menjadikan mereka sebagai manusia pekerja untuk sang tuan (Maramba).

2. Dalam kurun waktu + 7 tahun masyarakat desa Haikatapu mengalami perubahan baik pola pikir masyarakat maupun tindakan. Perubahan yang terjadi pada masyarakat desa Haikatapu, terjadi dengan campur tangan GKS Tanalingu, selaku lembaga agama dan lembaga sosial dalam masyarakat yang bertanggung jawab untuk menciptakan masyarakat dan jemaat yang sejahtera secara jasmani dan rohani. GKS Tanalingu berupaya untuk mentransformasikan pola pikir dan tindakan dalam hubungan kaum Maramba (bangsawan) dan kaum Ata (hamba).

(12)

21

2.5. Kerangka Pikir

Bagan 2.1.

Kerangka Pikir Penelitian

Arena

Keterangan:

Adat kematian sebagai habitus merupakan struktur mental yang dengannya orang dapat berhubungan dengan dunia sosial. Hal ini dikarenakan aktor yang berperan telah memiliki serangkaian skema atau pola berpikir yang telah diinternalisasikan untuk memahami, menyadari dan menilai dunia sosial yaitu dengan mereproduksi habitus adat kematian. Adat kematian telah membekali aktor atau masyarakat di Desa Ramuk, Kabupaten Sumba Timur dengan habitus yaitu dimana adat kematian merupakan produk sejarah (habitus). Sementara

Upacara Adat Kematian

Tindakan aktor

Kesepakatan Penyederhanaan

Adat Kematian

Habitus Habitus

Peran Aktor

(13)

22

tindakan aktor dipengaruhi oleh kesadaran habitus dengan menggunakan modal. Sehingga dengan itu mendorong aktor untuk berperan dalam merubah struktur adat kematian menjadi sederhana.

Alur kerangka pikir di atas menunjukkan Peran aktor Pangadangu Mahamu dalam upaya penyederhanaan adat kematian di Desa Ramuk, Kabupaten Sumba Timur. Berangkat dari persoalan ekonomi dan kemiskinan sehingga mendapat perhatian dari beberapa pihak yaitu aktor-aktor yang peduli terhadap masalah kemiskinan di Sumba Timur salah satunya adalah Forum Peduli Adat Pangadangu Mahamu dan Lembaga Wahana Visi Indonesia (WVI). Forum tersebut memiliki rasa kepedulian dan keprihatinan terhadap perilaku masyarakat dalam menlaksanakan upacara adat kemtian, oleh karena itu terbentuk forum yang bertujuan memberdayakan masyarakat agar adat kematian dilakukan secara sederhana. Forum ini berperan untuk memecahkan persoalan kemiskinan karena adat kematian melalui penyadaran masyarakat. Tindakan yang dilakukan aktor ini adalah memberdayakan masyarakat melalui sosialisasi penyederhanaan adat kematian dan deklarasi penyederhanaan adat kematian.

Gambar

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu

Referensi

Dokumen terkait

extraordinary jika tawuran tesebut sampai menghilangkan nyawa orang lain namun kebanyakan tindakan tawuran masih dalam batasan yangwajar, dalam kasus tawuran pelajar

•Melindunga anak didik resiko yang bisa merusak rep •Bertindak seolah olah sebag yang menedengarkan berb yang mungkin dimiliki oleh tetapi segan disampaik supervisor diatassnya!. % % 0

Abstract: This study aims to examine empirically the effect of budget participation on budgetary slack and the influence of external pressure as a moderating of the

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan penulis yakni penerapan asas praduga tak bersalah dalam proses penyidikan perkara tindak pidana terorisme

diperdagangkan biasanya diculik atau dibeli oleh individu atau kumpulan yang terlibat.

It indicates that neither big four nor non-big four can significantly detect the existence of earnings management undertaken by manager through the audit they

menjelaskan pada dasarnya peradilan yang terkait dengan segala jenis dan bentuk kejahatan ITE termasuk penyebaran berita bohong tetap berlaku hukum acara pidana

Perkara terhadap Ari Purnomo dalam tindak pidana pembunuhan berencana disertai pemerkosaan terhadap anak telah diputuskan oleh Majelis Hakim Pengadilan