• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS TENTANG TANTANGAN DAN PENGARUH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ANALISIS TENTANG TANTANGAN DAN PENGARUH"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS TENTANG TANTANGAN DAN PENGARUH DUNIA

KEPENULISAN TERHADAP KEHIDUPAN MASYARAKAT

Iwan Jazadi

Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris STKIP Paracendekia NW Sumbawa iwanjazadi@gmail.com

Abstrak: Tulisan ini membahas literatur dan pengalaman atau pengamatan penulis ten-tang tanten-tangan dan pengaruh dunia kepenulisan dalam tatanan sosial masyarakat Indone-sia. Tantangan dunia kepenulisan ditelaah dari tiga perspektif: kontekstual-ekstrinsik, per-sonal-intrinsik, dan teknis-kreatif. Pembahasan selanjutnya adalah tentang pengaruh dunia kepenulisan terhadap tatanan sosial yang meliputi pengaruh kognitif, psikologis, sosial dan ekonomi, serta perubahan pada individu pembaca dan masyarakat. Akhirnya, disimpulkan bahwa menulis memiliki tantangan yang kompleks, namun membawa ganjaran yang luar biasa bagi para penulis, pembaca dan masyarakat.

Kata kunci: dunia kepenulisan, tantangan, pengaruh, tatanan sosial

Abstract: This article discusses literature and experiences or observations of the writer about the challenges and impacts of writing towards Indonesian social order. Writing chal-lenges are analysed in three perspectives: contextual-extrinsic, personal-intrinsic, and tech-nical-creative. The impacts of writing discussed cover cognitive, psychological, social and economic impacts on individuals and society at large. Finally, it is concluded that writing faces complex challenges, but brings extraordinary rewards to writers, readers and general public.

Key words: writing, challenges, impacts, social order

PENDAHULUAN

Memberikan pemahaman dan melatih keterampilan menulis akademik atau ilmiah kepada siswa, mahasiswa atau peserta pelatihan bukanlah perkara yang dapat diabaikan dewasa ini (Furneaux, 1995; Leki, 2007; Irvin, 2010). Berdasarkan pengamatan di be-berapa perguruan tinggi, penulis menemukan kejanggalan-kejanggalan dalam praktek pengajaran dan pembimb-ingan kepenulisan akademik. Padahal, keterampilan menulis akademik adalah kebutuhan dasar kaum terdidik di berbagai tingkatan, yang digunakan untuk mengabstraksi berbagai fenomena alam dan sosial yang terjadi di sekitar alam dan dalam kehidupan sosial manusia

(University of Essex, 2008). Namun,

(2)

yang terasa hingga saat ini, adalah bahwa keahlian menulis akademik pada sebagian besar masyarakat terdidik Indonesia be-lum mengakar (grounded) dan masih menjadi praktek formal-administratif. Hal ini kemudian menyebabkan rendahnya penghargaan publik dan minimnya dam-pak praktis yang diberikan oleh sebuah karya akademik di negeri ini.

Dengan latar belakang dunia ke-penulisan akademik sebagaimana dikemukakan di atas, penulis tertarik un-tuk melakukan suatu kajian awal tentang kompleksitas dunia kepenulisan ilmiah. Dua pertanyaan pokok diajukan dalam tulisan ini: (1) Bagaimanakah kompleksi-tas tantangan dunia kepenulisan? (2) Bagaimana pengaruh dunia kepenulisan bagi tatanan sosial masyarakat, bangsa dan negara? Untuk menjawab kedua per-tanyaan ini, penulis melakukan analisis dan menyusun teori dengan menyandar-kan pada rujumenyandar-kan pustaka ilmiah, pustaka ilmiah populer (artikel-artikel online

blogs), dan pengamatan/pengalaman

penulis dalam dunia kepenulisan akade-mik selama lebih dari sepuluh tahun tera-khir. Dengan demikian, tulisan ini ber-tujuan untuk membangun kesadaran para calon penulis tentang berbagai kendala dan tahapan yang harus dimiliki dan di-lalui sebagai penulis, serta bernilainya sumbangan yang diberikan dalam mewujukan tatanan masyarakat yang kuat dan bernilai lintas geografis, masa dan peradaban.

TANTANGAN DUNIA KEPENULISAN

Tantangan adalah suatu kondisi di mana seseorang dihadapkan, diuji dan dipersepsikan memiliki keberanian untuk mengatasi atau menuntaskan suatu masalah tertentu. Jadi, secara psikologis, kata ‘tantangan’ mengandung muatan positif, optimisme dan orientasi futuris dari suatu masalah yang dianggap pelik.

Mcmillan Dictionary (2013)

mendefinisi-kan ‘tantangan’ sebagai something that

needs a lot of skill, energy, and determi-nation to deal with or achieve, especially something you have never done before

and will enjoy doing (‘sesuatu yang

mem-butuhkan banyak keterampilan, tenaga, dan kesungguhan untuk dihadapi atau dicapai, khususnya sesuatu yang anda tidak pernah lakukan sebelumnya dan akan suka melakukannya’).

Dunia kepenulisan adalah sebuah medan yang dipilih oleh seseorang untuk mengembangkan kiprah dengan mengubah atau mengkonversi pikiran, informasi dan data yang dimilikinya menjadi rangkaian kata-kata yang membentuk wacana dan diabadikan di atas lembaran-lembaran kertas atau dalam file-file elektronik. Bisa dikatakan bahwa setiap orang, yang sangat produktif menulis sekalipun, tidak menganggap pekerjaan menulis sebagai perkara mudah, tetapi merupakan tantangan terus-menerus atau setiap saat. Untuk itu, tantangan dunia kepenulisan perlu dibedah dan dibahas secara memadai. Dari kombinasi pengalaman dan pengamatan, penulis berpendapat bahwa tantangan dunia kepenulisan dapat dipahami dari tiga perspektif, yaitu perspektif kontekstual-ekstrinsik, perspektif personal-intrinsik, dan perspektif teknikal-kreatif.

Perspektif Kontekstual-Ekstrinsik

Perspektif kontekstual-ekstrinsik berkaitan dengan faktor-faktor di luar diri seseorang sebagai penulis, tetapi faktor-faktor ini mempengaruhi secara signifikan komitmen, kesiapan dan keterlibatan seseorang untuk berkiprah sebagai penulis. Gupta dan Woldemariam (2011: 63-64) memahami perspektif ini sebagai encouragement atau pemberian semangat dari luar diri penulis, yaitu dari orang tua, anggota keluarga, guru, dan orang-orang lain yang berpengaruh

(significant others). Lebih dari itu,

(3)

budaya, ketersediaan jaringan, dan pilihan okupasional. Suatu masyarakat memiliki kecenderungan berbudaya lisan (oral tradition) tinggi, sementara suatu masyarakat yang lain memiliki kecenderungan berbudaya tulisan atau literasi tinggi (Goucher, LeGuin, & Walton, 1998). Dengan kecenderungan budaya lisan tinggi, anggota suatu masyarakat umumnya tidak terbiasa membaca dan menulis di luar kewajiban seperti sekolah, kuliah atau tuntutan pekerjaan. Walaupun misalnya berijazah sarjana, karena bekerja pada lapangan pekerjaan yang tidak mengharuskan baca tulis – seperti pertanian tradisional – anggota suatu masyarakat berbudaya oral secara umum tidak lagi membaca dan menulis. Dalam konteks ini, peluang bagi tumbuh kembang para penulis terbilang rendah. Sulit dibantah bahwa sebagian besar masyarakat di pedesaan, kota-kota kecil kecamatan dan bahkan kota-kota kabupaten dan masyarakat Indonesia pada umumnya masih didominasi tradisi oral (Czermak, Delanghe & Weng, 2003; Jazadi, 2008: 1-6). Hal ini berdampak pada rendahnya jumlah penulis dan karya -karya kepenulisan dari masyarakat Indonesia dibandingkan dengan negara-negara Barat atau sebagian besar masyarakat negara maju lainnya yang memiliki budaya tulisan atau literasi tinggi (literacy culture). Dalam masyarakat berbudaya literasi tinggi, membaca setara dengan makanan pokok sehari-hari, sementara menulis setidak-tidaknya merupakan bagian dari keterampilan hidup yang diperlukan dalam memecahkan banyak masalah dalam interaksi mereka bermasyarakat sehari-hari.

Faktor kontekstual yang lain adalah ketersediaan jaringan, komunitas penulis dan penerbit, serta strategi penggunaan fasilitas tersebut. Bayangkanlah seorang sarjana yang tinggal di sebuah desa terpencil di atas gunung atau di pulau kecil. Ia tidak memiliki akses terhadap buku-buku dan

bacaan-bacaan baru. Ia bergaul dengan masyarakat tani atau nelayan tradisional. Ia mempunyai banyak teman penulis, dulu waktu kuliah; sekarang tidak lagi karena ia bahkan sudah lupa sebagian nama mereka. Bisa dibayangkan betapa beratnya sang sarjana mengembangkan diri sebagai penulis produktif yang sebenarnya ia dambakan sejak duduk di bangku sekolah. Mungkin saat ini, baginya menulis itu tersimpan di dalam relung jiwanya sebagai cita-cita terindah di masa lalu, dan diharapkan suatu hari anak cucunya akan mewujudkannya. Sangat berbeda, misalnya, dengan seorang sarjana yang lain – walau indeks prestasinya sebenarnya agak rendah – yang hidup di sebuah kota pelajar seperti Yogyakarta atau Solo. Di sana sini ada penerbit dan dapat dengan mudah ditemukan penulis produktif, yang karya-karyanya ditemukan di toko-toko buku di seantero negeri. Walau dengan variasi plagiat, saduran, terjemahan atau kualitas ilmiah yang masih rendah, sang sarjana tersebut dapat menjalankan pekerjaan sambilan menulis, seperti menulis buku pelajaran sekolah atau kuliah, cerita anak dan lain-lain. Bahkan dengan bantuan tim editor atau bagian dari tim, karya-karyanya bisa juga tampil kompetitif, apalagi bila penulisan tersebut adalah bagian dari proyek pengadaan, seperti buku sekolah, yang acapkali tidak menempatkan mutu isi sebagai pertimbangan nomor satu.

Paparan dalam paragraf di atas adalah bayangan dari kenyataan di negeri kita dewasa ini yang mewakili dua ekstrem. Namun, sebenarnya perkembangan mutakhir dalam bidang teknologi informatika, yaitu dengan tersedianya jaringan dan fasilitas internet yang murah dan menyebar ke berbagai pelosok negeri, di mana di seluruh jalan negara terpasang jaringan fibre optic

(4)

ekstrem yang dipaparkan di atas semakin mengalami kekaburan. Artinya, ditinjau dari ketersediaan jaringan teknologi informatika, era ini adalah era kebangkitan setiap warga negara berkemauan untuk unjuk diri termasuk dalam dunia kepenulisan karena ia jauh lebih mudah mengakses perkembangan daerah, negara dan dunia, serta dapat berkomunikasi dengan sangat murah dengan banyak pihak di daerah atau negara lain sesuai dengan kepentingannya. Namun, pertanyaan yang pantas muncul adalah sejauhmana kesanggupan kita untuk memanfaatkan fasilitas tersebut untuk kepentingan produktif. Yang masih menjadi tren sekarang ini, sayangnya, adalah sebatas pemanfaatan teknologi informatika sebagai jaringan sosial (social network) yang tidak produktif dan semata-mata berorientasi interpersonal atau penjalinan hubungan pribadi satu sama lain dan minim transaksi ilmiah atau produktif lainnya. Dengan kata lain, teknologi informatika diperlakukan setara atau tak lebih dari pos ronda di pojok kampung tempat anggota masyarakat berbudaya lisan tinggi menghabiskan sebagian besar waktu luangnya sambil bermain kartu remi, misalnya. Dalam setting berbeda tetapi dengan kecenderungan serupa, bagi para mahasiswa dan pekerja teks lainnya di Indonesia, fasilitas internet menjadi tempat untuk menemukan bahan-bahan tugas kuliah dengan mudah. Namun, sayangnya bahan-bahan tersebut digunakan untuk dijiplak atau di-copy

and paste sehingga dunia kepenulisan

mahasiswa tidak berkembang sesuai harapan. Hal ini mengisyaratkan betapa tingginya tantangan dunia kepenulisan di negeri ini, terutama di daerah-daerah.

Faktor kontekstual yang ketiga berkaitan dengan pekerjaan. Ada orang yang memilih dunia kepenulisan sebagai pekerjaan utama mekera, seperti para jurnalis, penulis naskah film, dan penulis atau peneliti sebagai pekerjaan penuh waktu dalam suatu lembaga seperti

penerbitan atau lembaga penelitian. Tentulah orang-orang dalam kelompok ini adalah kontributor utama tulisan yang dikonsumsi publik. Bagi mereka, menulis menyangkut hidup dan matinya diri dan keluarga mereka. Bagi mereka tantangan menulis harus dilalui dengan sukses, dan pengalaman sukses demi pengalaman sukses mereka menjadikan mereka yakin bahwa tantangan dunia kepenulisan itu selalu berat, tetapi senantiasa dapat dilewati dengan berhasil. Kategori pekerjaan yang lain adalah pekerjaan di mana menulis adalah sebagian dari tugas utama, seperti tugas pengajar perguruan tinggi, guru sekolah, dan mahasiswa. Bagi mereka, walau profesor atau doktor, menulis juga umumnya terasa berat, tetapi mesti ditunaikan setidak-tidaknya pada tahap-tahap tertentu, walau harus menghabiskan waktu agak lama. Di negara-negara maju, umumnya para akademisi mendapat cuti khusus

(sabbatical leave) atau mendapat izin

(5)

tembok-penyampaian makalah, percakapan sehari -hari, dialog dalam film atau sinetron, pembacaan berita, atau melihat atau membaca tulisan di koran, buku, papan nama dan lain-lain, seorang pembelajar tidak melewatkan ada kata, ungkapan, kalimat, atau lambang yang tidak dimengerti atau tanpa upaya mengetahui artinya. Ia menganalisis pesan yang tersirat atau tersurat, dan dapat mengambil kesimpulan atau membuat sintesis yang tepat daripadanya. Kemampuan untuk memahami setiap peristiwa bahasa atau komunikasi tersebut menjadi dasar terbentuknya pengetahuan, sikap dan perilaku, yang kemudian diolah dalam alam pikiran dan sewaktu-waktu dapat diproduksi sebagai tulisan atau lisan sesuai tuntutan kebutuhan secara fleksibel.

Proses meaning making tersebut dapat dielaborasi menjadi tantangan beru-pa tiga persyaratan menjadi penulis, se-bagaimana ditulis dalam sebuah blog online (Imisup, 2009). Ketiga tantangan tersebut disingkat dengan ABG, sing-katan dari “Aktif”, “Baca”, “Gaul”. Per-tama, untuk terjun dalam dunia kepe-nulisan, seseorang ditantang untuk bersi-kap “aktif”. Seorang penulis selalu mengaktifkan pikirannya, perasaannya, imajinasinya dalam berbagai keadaan. Ia harus punya kepekaan mencium masalah. Ia harus memiliki wawasan luas dan pan-dangan tajam. Untuk itu, ia harus selalu siap dan aktif membuka dirinya terhadap berbagai hal yang berlangsung dan terjadi dalam lingkungan (kehidupan). Ia aktif bertanya, memperhatikan, mengamati, merefleksi, dan seterusnya. Ia tidak melewatkan dan menganggap sepi atau tak berguna hal-hal yang bagi orang lain barangkali sepele atau tidak penting. In-spirasi atau gagasan tidak dapat diperoleh dengan sendirinya, tetapi harus dicari. Seorang penulis harus selalu menyiapkan diri mencari dan memburu untuk mem-peroleh ide dari berbagai hal.

Kedua, seseorang yang mau men-jadi penulis ditantang untuk selalu tembok penghambat menulis dapat

dirobohkan. Bagi mereka, menulis adalah hobi yang mengisi waktu-waktu luang; selalu ada waktu luang di tengah kesibukan, dan di saat itulah dicicil setahap demi setahap buah karya tulisnya. Akhirnya, mereka dapat menghasilkan tulisan, bukan hanya artikel pendek untuk koran, tetapi juga buku-buku tebal.

Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor kontekstual menghasilkan berbagai variasi tantangan bagi dunia kepenulisan. Dewasa ini peluang berkembangnya dunia kepenulisan sangat kondusif apabila faktor-faktor kontekstual ini dipahami dan dicermati, khususnya dengan pemanfaatan secara positif perkembangan teknologi informasi seperti internet dan fasilitas seluler lainnya.

Perspektif Personal-Intrinsik

(6)

“membaca”. Ia harus menjadi kutu buku, alias gemar membaca, di manapun dan kapanpun, bahkan tidak hanya membaca yang tertulis, tetapi utamanya adalah membaca kehidupan. Seorang penulis tidak dianjurkan untuk membatasi bahan bacaan. Ia dituntut tahu segala hal atau sebanyak mungkin hal. Walaupun spesialis dalam suatu bidang, seorang penulis harus berusaha memahami sebanyak mungkin tentang bidang lain. Memang semakin tinggi tingkat pendidi-kan seseorang semakin menyempit spesialisasinya. Misalnya, seorang yang latar belakang kesarjanaannya adalah Pe-ternakan, pada jenjang S2 ia fokuskan pada kajian hewan yang berkaki empat, sementara pada jenjang S3 ia khusus mempelajari ilmu tentang sapi. Namun, hal ini tidaklah berarti menyempitkan pengetahuan sang ahli. Ia harus dapat me-nyelami seluk-beluk berbagai bidang di sekelilingnya. Bahwa ia ahli dalam bi-dang sempit tersebut memang benar, na-mun bidang yang sempit sebenarnya merupakan sampel pendalaman sebagai bagian dari suatu bidang. Model-model kedalaman bidang yang sempit tadi dapat dijadikan sebagai pembanding pada bi-dang-bidang sempit lainnya, baik yang dikembangkan kemudian oleh ahli yang sama atau calon baru di bawah bimbingan ahli tersebut. Artinya, seorang yang mem-iliki keahlian mendalam dalam satu bi-dang yang sempit memiliki pisau atau perangkat analisis untuk membedah berbagai persoalan mulai dari yang di sekitarnya sampai akhirnya mencapai berbagai aspek kehidupan sesuai kesem-patan yang dimilikinya. Itulah sebabnya semua orang yang menyelesaikan studi S3 di dunia pada umumnya menyandang gelar Doctor of Philosohy, yaitu bahwa kontribusi mereka walau dari latar belakang disiplin ilmu berbeda adalah untuk membangun daya pikir (filsafat) bagi manusia.

Ketiga, seorang penulis ternyata juga ditantang untuk memiliki sikap “gaul”, suatu sikap sosial dengan

menyer-takan diri dalam kelompok-kelompok yang bertujuan untuk berbagi atau me-nyumbangkan pikiran dan pendapat kepa-da kolega kepa-dan belajar hal serupa kepa-dari mereka. Menulis memang merupaan kegiatan yang kita lakukan dalam kes-endirian. Namun, untuk mendapat gaga-san atau bahan tuligaga-san, sesekali atau secara teratur seorang penulis perlu mengikuti forum-forum ilmiah, per-temuan komunitas-komunitas kepe-nulisan, peristiwa-peristiwa yang dapat merangsang perasaan dan nalar, dan lain-lain. Para akademisi bahkan harus pergi sampai ke luar negeri kadang-kadang tid-ak untuk menyampaikan mtid-akalah, tetapi hanya untuk menjadi peserta dalam semi-nar-seminar internasional, sekaligus un-tuk melakukan refreshing of the mind. Para eksekutif yang memiliki kesibukan tinggi, perjalanan ke luar daerah dan per-temuan-pertemuan kebijakan atau pen-dalaman dengan frekuensi tinggi men-jalankan pengalaman tersebut sebagai in-spirasi-inspirasi baru untuk menghasilkan karya-karya tulis. Singkatnya, pergaulan luas yang sengaja diciptakan atau bagian dari tuntutan tugas perlu dilakukan seorang penulis untuk menambah kepe-kaan dan memperkaya inspirasi sebagai kebutuhan mewujudkan dunia kepe-nulisannya.

Perspektif Teknikal-Kreatif

(7)

merta dapat menumpahkan ide, perasaan atau data dan informasinya dengan menjadikannya a piece of writing begitu saja. Ia harus melewati tahapan-tahapan tantangan dan komitmen yang cukup berat, yang terdiri dari tiga bagian, yaitu pra-penulisan, penulisan, dan pasca-penulisan.

Pada tahap pra-penulisan, penulis terlibat dalam dua kegiatan, yaitu membaca dan menulis. Ia membaca dengan fokus mencari pokok persoalan yang ditulis, dengan menggunakan referensi-referensi yang telah dimiliki atau dibaca sebelumnya atau melalui

searching di internet atau di

perpustakaan dan toko buku. Berbeda dengan membaca sebagai faktor pengkondisian personal sebagaimana dibahas pada perspektif sebelumnya, membaca pada tahap ini merupakan bentuk pemutakhiran, penyegaran, pengayaan dan pengkondisian terakhir sebelum melahirkan tulisan. Di samping membaca dengan tujuan khusus seperti ini, tahap pra-penulisan terkadang juga mengharuskan adanya pengumpulan data lapangan, pengamatan, wawancara, dan lain-lain sehingga berbagai sisi yang akan ditulis telah tersedia. Dengan kata lain, tahap pra-penulisan setidak-tidaknya merupakan tahapan mental framing and body building of the knowledge constituting the article to be

seen on paper. Kegiatan mental seorang

penulis dibantu dengan kegiatan kinestetik yaitu menulis pikiran pokok, meringkas atau memparafrase teks, dan membuat outline tulisan, yang sebaiknya dilakukan dengan tulisan tangan langsung di kertas, tidak di komputer.

Pada tahap penulisan, seorang penulis memulai dengan membuat draf tulisan sesuai dengan outline yang telah ada atau sesuai dengan alur baru yang ditemukan sembari menulis. Dalam hal ini, menulis sendiri bukanlah semata-mata momentum untuk merealisasikan pikiran atau perasaan yang telah ada sebelumnya, tetapi sekaligus menjadi

momen penciptaan pikiran dan perasaan baru atau momen memunculkan ide-ide cemerlang yang sebelumnya tersimpan di alam bawah sadar yang untuk waktu lama tidak terangkat ke permukaan. Ada dua sub-tahap pada tahap penulisan ini, yaitu sub-tahap writerly writing dan sub-tahap readerly writing. Writerly writing

adalah tulisan untuk dibaca oleh penulis sendiri. Tulisan jenis ini membantu menumpahkan dan mengalirkan isi otak penulis ke dalam tulisan dengan tanpa hambatan. Penulis tidak penting memikirkan siapa pembaca, bagaimana aturan tulisan, atau bahwa tulisan harus rapi; tulisan dibiarkan tercecer dulu. Tetapi, ia memastikan agar ide-ide yang tersimpan di otak dapat dialirkan ke lembar-lembar kertas, semuanya (Jazadi, 2007: 8). Beberapa kutipan menjustifikasi pentingnya sub-tahap ini:

Write it and then get it right (Bill Green dalam Jazadi, 2007: 8).

Semua harus ditulis. Apa pun.... Jangan takut tidak dibaca atau diterima penerbit. Yang penting tulis, tulis dan tulis. Suatu saat pasti berguna (Pramoedya Ananta Toer, dalam Wirajaya, 2011: 2).

Menulis buruk akan membuat anda terhindar dari ketegangan yang tidak perlu, membuat anda terbebas dari beban -beban yang menyumpal di benak anda. Beban untuk meraih kesempurnaan bisa membuat anda tersendat-sendat dan tidak menulis apa-apa. Rileks saja. Menulislah seperti anda bicara. Menulislah cepat. Menulislah secara buruk, itu akan mengusir rasa takut salah dan membuat anda lebih enteng menggerakkan pena atau menekan tuts mesin tulis anda (Ibid: 4).

Sub-tahap kedua adalah readerly

writing; tulisan mulai ditulis untuk

(8)

menjelaskan bahwa umumnya para mahasiswa yang menempuh studi di negara-negara maju berbahasa Inggris seperti Australia harus mendapat bantuan teknis untuk mengidentifikasi dan memahami kriteria assignment

(umumnya berupa tugas menulis) agar dapat memperoleh nilai yang baik. Di samping itu, gaya dan struktur tulisan juga sangat penting, hampir sama dengan pentingnya ide-ide yang disampaikan. Penulis harus berusaha menggunakan bahasa yang terkesan sederhana dan mudah dipahami. Lebih baik banyak titik daripada banyak koma. Kelengkapan subjek-predikat, gaya bahasa, pilihan kata, penataan paragraf, tanda baca dan ejaan harus diperhatikan. Pada sub-tahap ini, penulis juga berusaha menulis sambil menikmati dengan mencoba bermain-main dengan teks, bereksperimen sedikit dengan gaya-gaya menulis yang berbeda. Membuat variasi dalam berargumen dan mengubah frase-frase (termasuk memulai dan mengakhiri paragraf, menggunakan kata-kata hubung, dan pilihan-pilihan kata) dapat menjadi pengalaman yang menyenangkan. Terakhir, penulis perlu berusaha berpikir melampau kata, dengan berusaha menggunakan tabel, grafik, foto dan ilustrasi lain karena hal ini dapat meringkas dan memperkuat argumen dan penyajian dalam bentuk kata-kata dan alinea (Jazadi, 2007: 10).

Tahap ketiga adalah pasca-penulisan, yaitu tahapan editing

(penyuntingan) atau revisi tambahan pertama-tama oleh penulis sendiri untuk memastikan tulisan dimengerti dan diperkirakan dapat dimengerti oleh pembaca. Tulisan tersebut perlu kemudian dibaca oleh pihak lain. Penulis dapat meminta critical friends yang diketahui akan jujur untuk membaca naskah-naskah penulis. Sekali lagi, seorang penulis tentu tidak memberikan

critical friends draf yang kira-kira masih

sulit dipahami. Kemudian penulis perlu berterima kasih ketika nantinya ada tanggapan yang diberikan sekalipun

mungkin penulis tidak menyukai tanggapan tersebut karena terlalu banyak kritik. Perlu diingat yang dikritik adalah tulisannya, bukan penulisnya; justru, seorang penulis harus berterima kasih karena diberi masukan berharga (ibid: 11).

Sekali lagi, tahapan-tahapan teknikal-kreatif merupakan sebuah tantangan tersendiri karena mengharuskan adanya pengalokasian waktu yang cukup, konsentrasi yang fokus atau tidak terbelah, dan daya tahan fisik untuk jangka waktu tertentu setidak-tidaknya beberapa jam setiap hari. Tentu pengalokasian waktu disesuaikan dengan target panjang tulisan. Jika menulis buku yang bisa mencapai lebih dari seratus halaman, tulisan harus dipilah dalam bagian-bagian dan sub-sub bagian. Satu bagian atau sub-bagian dapat diselesaikan dalam beberapa jam. Sesuai pengalaman penulis sendiri, dalam hal menulis makalah beberapa halaman, mungkin 5-15 halaman, pengalokasian waktu untuk proses teknikal-kreatif berlangsung setidak-tidaknya sekitar satu minggu, dengan fokus pada tahap penulisan sekitar 5-10 jam. Itupun terkadang di antara waktu itu ada masalah-masalah keluarga, suasana tempat menulis yang belum mendukung seperti kegaduhan, kelelahan fisik, atau tersendatnya aliran ide, sehingga ada jeda-jeda di antara akumulasi waktu tersebut. Akibatnya, penulis kadang-kadang harus menggunakan waktu sepanjang malam untuk menumpahkan isi otaknya daripada menunggu esok hari, saat tidak ada jaminan ingatan dan fokus masih sekuat dan seantuas tengah malam.

(9)

kertas karena dipikirkannya bahwa tumpahan tersebut akan berguna bagi orang banyak. Penulis sendiri pernah mengalami keadaan ini yaitu ketika menjabat sebagai anggota DPRD, pimpinan lembaga pendidikan dan narasumber di berbagai forum selama masa lima tahun. Salah satu jalan keluarnya adalah dengan mengangkat asisten sebagai mitra kerja di saat ada waktu luang. Pada tahap pra-penulisan, ia berperan sebagai teman diskusi untuk membongkar isi-isi dalam pikiran yang masih tersembunyi atau menjadi teman pencari referensi dan kemudian mendiskusikan isinya bersamanya. Pada tahan penulisan bagian pertama, ia berperan sebagai transcriber dari ucapan-ucapan yang sedemikian rupa telah diatur dalam susunan tulisan. Transkripsi yang dihasilkan setara dengan writerly writing, yang berupa muntahan isi pikiran. Kadang -kadang asisten mencoba merapikan tulisan tersebut sesuai kemampuannya. Namun, utamanya penulis sendirilah yang mampu mengkonversi writerly writing

menjadi readerly writing karena hanya ia yang benar-benar memahami maksud-maksud dari ungkapan pikiran tahap pertamanya. Tahap perubahan tulisan menjadi readerly bisa memakan waktu cukup lama karena biasanya posisi dan pilihan kata, kalimat dalam paragraf, dan lain-lain harus diubah atau disesuaikan secara menyeluruh.

Bagi seseorang yang tidak memiliki kemampuan editorial, yang hanya menghasilkan tulisan writerly, atau bagi

super-busy person yang harus mendapat

bantuan dalam penumpahan isi otaknya sehingga muncul tulisan versi writerly dan sekaligus tidak memiliki kemampuan editorial, ia benar-benar memerlukan seseorang yang memiliki kemampuan penyuntingan. Sang editor atau penyunting harus berada dalam posisi berdialog dengan pemilik ide untuk memastikan ketepatan makna pesan yang disampaikan. Tergantung kesepakatan, apakah asisten dan/atau editor tampil namanya sebagai

penulis kedua atau pendamping karena ia tidak dibayar secara khusus, atau ia dibayar secara profesional sehingga namanya hanya disebut pada bagian pengantar tulisan dengan ucapan terima kasih sesuai kontribusi yang telah diberikan. Yang jelas, sumber-sumber pesan dan yang bertanggung atas keseluruhan isi tulisan adalah nama yang disebutkan sebagai penulis dari suatu tulisan tertentu. Mahasiswa yang sedang menulis karya ilmiah di bawah bimbingan seorang dosen adalah penanggung jawab atas karya ilmiah yang dihasilkan, bukan dosennya walaupun dosen tersebut memberikan ia contoh, saran, bahan, referensi, mencoret-coret lembaran-lembarannya, dan sehari-hari melayaninya berkonsultasi. Kategori pembimbingan skripsi, tesis atau disertasi umumnya masuk dalam penulis yang membutuhkan bantuan dalam melewati tahapan teknikal-kreatifnya.

PENGARUH DUNIA KEPENULISAN DALAM TATANAN MASYARAKAT

“Pengaruh” dalam tulisan ini berkaitan dengan manfaat dan dampak yang dimunculkan oleh kegiatan dan produk dunia kepenulisan. Sementara itu, “tatanan masyarakat” dipahami dalam arti luas berkaitan dengan diri seorang penulis sebagai bagian dari tatanan masyarakat, baik yang bersifat psikologis, kognitif maupun sosial-ekonomis, dan perubahan sosial yang berkaitan dengan pembaca secara individual maupun masyarakat sebagai sebuah sistem. Bagian ini mengkombinasikan temuan-temuan tentang pengaruh menulis dari data online

searching di internet dengan kata-kata

(10)

tatanan sosial meliputi pengaruh kognitif, pengaruh psikologis, pengaruh sosial, ekonomis, perubahan sosial pada individu pembaca, dan perubahan pada tataran masyarakat sebagai suatu sistem.

Pengaruh Kognitif Menulis

Menurut Landsune (2009), menulis memberi manfaat sangat besar untuk pengembangan kemampuan kognitif seorang penulis. Pertama, dengan menulis secara teratur, seorang penulis secara bertahap akan meningkatkan kelancaran dirinya dalam bertutur. Kelancaran tersebut mencakup keterampilan mengolah kata dan keterampilan psikomotorik dalam mengetik dan menulis tangan. Kedua, menulis berpengaruh sangat positif dalam pembentukan sistematika berpikir. Tulisan yang disajikan dengan sistematis akan mudah dipahami. Lambat laun kemampuan berpikir sistematis tersebut mempengaruhi dan terterapkan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam memecahkan masalah-masalah yang bersifat pribadi, sosial mapun profesional. Terakhir, menulis dapat membangun ketajaman dan kepekaan persuasi penulis. Setiap tulisan umumnya memiliki elemen persuasi yang kuat, yaitu bagaimana memberi keyakinan dan mencoba sesuatu yang baru kepada pembaca. Di sisi lain, dalam kehidupan sehari-hari, pekerjaan mempersuasi masyarakat kepada kebaikan adalah pekerjaan sangat mulia. Kemampuan persuasi seorang penulis dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dalam upaya membangun masyarakat yang maju dan berkeadaban.

Pengaruh Psikologis Menulis

Menurut salah seorang penulis dalam rubrik kesehatan Kompas Online (10/09/2007), menulis dapat meringankan beban seseorang secara psikologis karena setiap tulisan adalah perwakilan tingkat

emosional seseorang. Suasana emosional seperti menangis, tertawa, teriak, bernyanyi, penasaran, geram dan suasana batin lainnya dapat diekspresikan melalui tulisan. Hal tersebut akan berdampak secara luar biasa kepada penulisnya, apalagi tulisan-tulisan tersebut dipublikasikan, misalnya yang mudah melalui media blog atau posting-an pada jejaring sosial. Namun, dalam hal ini, perlu dibedakan tulisan sebagai sebuah artikel (sebagai fokus tulisan ini) dengan dengan sekedar update status atau celoteh di facebook atau twitter yang terkadang hanya berisi satu dua kata atau sekedar simbol like dan lain-lain. Melalui tulisan-tulisan yang menyingkap sisi psikologis dan emosi, sembari mempelajari referensi atau bacaan terkait, penulis akan menjadi seseorang yang sangat kuat dalam

emotional quotient, yaitu kemampuan

untuk mengenal diri sendiri dan peka terhadap kepentingan orang lain.

(11)

di perkampungan sebagai kesenangan. Syukurnya, Mulligan berminat mengikuti pelatihan menulis bagi veteran yang dipimpin oleh penulis terkenal, Maxine Hong Kingston. Di awal pelatihan, Mulligan menulis pengalamannya yang mengerikan selama perang. Ia malah pernah berkali-kali berteriak histeris ketika menumpahkan pengalaman tersebut di atas kertas. Selanjutnya ia semakin yakin bahwa pengungkapan rasa takut dan cemas melalui kata-kata dapat menjernihkan pikiran dan meningkatkan semangatnya. Mulligan meninggalkan pelatihan dengan rasa senang, tanpa ketakutan yang senantiasa menghantuinya. Kemudian, ia menjadi seorang novelis yang bersemangat.

Pengaruh Sosial dan Ekonomi Menulis

Secara sosial seorang penulis yang karya-karyanya terpajang dan terjual di toko-toko buku atau dibaca di koran atau majalah secara teratur dan disukai para pembacanya akan mengalami peningkatan social leverage

atau pengaruh di tengah-tengah masyarakat, apalagi dibarengi dengan kiprah atau posisi tertentu di tengah masyarakat. Penulis mengambil contoh dari pengalaman sendiri. Pada sekitar tahun 2006-2007, tulisan-tulisan opini penulis terbit di harian Lokal Gaung NTB sekitar tiga atau empat hari dalam seminggu. Tulisan-tulisan tersebut menyorot berbagai masalah publik di Kabupaten Sumbawa, seperti masalah pendidikan (termasuk masalah minat baca, peran perpustakaan, peran bahasa Inggris, beasiswa, hak-hak pendidikan bermutu, peraturan daerah tentang pendidikan, pendidikan agama, dan pentingnya jaringan teknologi informatika), masalah kebutuhan dasar masyarakat (seperti listrik, air, dan transportasi), dan masalah kebijakan pemerintah daerah (seperti mutasi dan sistem jaringan untuk pembangunan daerah). Koran dengan cetakan ribuan

eksemplar tiap hari tersebut dibaca oleh hampir semua segmen di Kabupaten Sumbawa, dari kota sampai desa, juga di kabupaten lain di wilayah Provinsi Nusa Tenggara dan juga terbit secara online. Dengan publikasi tersebut, diimbangi dengan peran parlementer yang dimainkan penulis, sebagian besar masyarakat Sumbawa mengenal penulis tidak hanya melalui nama, tetapi pemikiran-pemikiran yang dimiliki. Hal tersebut tersebut menjadi modal sosial penulis bagi pembangunan masyarakat, daerah dan bangsa yang lebih baik di masa berikutnya (Jazadi, 2008).

Pengaruh menulis secara ekonomis juga merupakan sesuatu yang jelas. Penulis yang bukunya terbit, apalagi dapat menjadi best seller, akan mendapat royalti dari penerbit, atau jika diterbitkan sendiri akan mendapat keuntungan dari selisih harga jual dan biaya produksi. Ia juga dapat memperoleh hibah dari pemerintah atas tulisan-tulisannya, atau dibeli atau dibayar di muka oleh penerbit. Dengan tulisannya dalam satu tema yang menarik, penulis akan mendapat undangan sebagai narasumber dalam seminar-seminar atau mendapat penawaran baru untuk penelitian dan penulisan tema-tema terkait. Semua ini tentu umumnya berimplikasi terhadap peningkatan pendapatan penulis. Khusus penulis buku best seller yang bukunya terus menerus dicetak ulang, maka bukunya tersebut seolah bekerja sendiri untuk menghidupkan penulis dan keluarganya, bahkan dapat dijadikan warisan untuk anak cucunya.

Pengaruh Menulis Pada Individu Pembaca

(12)

terkemuka, Brian Tracy, yang menulis 55 buku best-seller internasional yang dibaca oleh ratusan juta orang dan diterjemahkan ke dalam puluhan bahasa di dunia, dalam wawancara yang berjudul How to Write a Book and Become a Published Author yang dapat diakses secara online pada www.briantracy.com. Dia menyampaikan bahwa beberapa bulan lalu ia dihubungi dan dikunjungi oleh seorang pembaca salah satu bukunya sekitar beberapa tahun silam. Orang tersebut pada saat membaca buku itu adalah seorang sopir truk yang bekerja pada sebuah perusahaan. Dengan inspirasi, kiat dan strategi bisnis yang dipelajarinya dari buku Brian Tracy, sopir truk bayaran tersebut telah secara perlahan merintis usaha truknya sendiri. Ia memulai dengan menabung sebagian gajinya, kemudian pada akhirnya dapat membeli truk untuk dioperasikannya sendiri dalam berusaha. Kemudian, setahap demi setahap ia menambah jumlah armada truknya dan mengangkat pegawai untuk membantunya. Saat sang sopir truk menghubungi Brian Tracy beberapa bulan lalu, ia adalah pengusaha transportasi truk terbesar di Selandia Baru dengan armada truk lebih dari 300 unit. Ia menjelaskan bahwa keberhasilan yang digapai semuanya bermula dan dipandu oleh salah buku Brian Tracy tentang pentingnya enterpreneurship. Contoh lain penulis ambil dari penelitian skripsi S1 oleh Nurmawan (2010) terhadap dua orang mahasiswa S1 Pendidikan Bahasa Inggris STKIP Hamzanwadi Selong. Dua mahasiswa tersebut memiliki latar belakang ekonomi pas-pasan dan latar belakang kemampuan dan nilai bahasa Inggris di jenjang SMA yang terbilang rendah. Pada saat mereka memulai kuliah tahun 2008, pada semester satu dan dua mereka memiliki kemampuan rata-rata seperti mahasiswa lainnya. Banyak mahasiswa lain di kelas yang berkemampuan jauh lebih baik. Namun, mahasiswa tersebut berusaha bangkit dengan mengikuti jejak

dosen-dosen mereka seperti penulis dan beberapa dosen mereka yang lain, yang nota bene datang dari latar belakang ekonomi tidak mampu sebelumnya. Lebih khusus, setelah mereka membaca buku yang berjudul Anak Kusir Jadi Doktor: Kisah Nyata Tentang Motivasi dan Strategi Belajar (Jazadi, 2009), yang memuat kompleksitas motivasi dan strategi belajar, termasuk berbagai strategi belajar di Prodi Pendidikan Bahasa Inggris, kedua mahasiswa tersebut mengalami perubahan dan peningkatan prestasi yang luar biasa. Indeks prestasi kumulatif mereka hingga semester akhir mencapai lebih dari 3,5; nilai bahasa Inggris internasional mereka (TOEFL) di atas 500; dan mereka diprediksi akan dengan mudah diterima dalam program beasiswa magister dan doktoral ke Australia atau Amerika pasca kelulusan S1 mereka.

Kedua contoh yang penulis sampaikan di atas mengisyaratkan bahwa buku bermanfaat yang dapat dipahami dan apliktif bagi pembacanya akan dapat membawa pembaca pada perubahan ke arah lebih baik secara menakjubkan. Ini benar adanya tidak hanya di dunia Barat tetapi juga di dunia Timur, seperti Indonesia, atau di daerah seperti Nusa Tenggara Barat, sebagaimana dipaparkan di atas.

Pengaruh Menulis Bagi Masyarakat Sebagai Suatu Sistem

(13)

Wakil Gubernur NTB (2008-2011), kebijakan pengentasan keaksaraan adalah program utama mereka sehingga hampir semua penduduk di bawah 50 tahun telah mengalami ketuntasan belajar. Kendalanya adalah pada penduduk yang berusia 50 tahun ke atas terutama di Lombok yang merupakan penyumbang data buta huruf yang masih besar, yang berdampak pada masih rendahnya derajat IPM masyarakat NTB secara kumulatif (Syaiful Muslim, Ketua Umum MUI NTB, 2012, Komunikasi Personal). Dengan kata lain, umumnya generasi muda dan produktif Indonesia telah mengalami perubahan menjadi masyarakat yang mampu membaca dan menulis. Dengan ketersediaan bacaan yang sesuai dengan keadaan, kebutuhan dan minat mereka, maka secara berangsur -angsur masyarakat Indonesia akan mengalami kemajuan yang signifikan. Ahira (2012) menjelaskan bahwa para penulis setiap saat menulis tentang berbagai aspek kehidupan. Tulisan tersebut kemudian dipublikasikan agar masyarakat mengetahui apa yang sedang terjadi. Jadi, mereka menulis untuk membuka tabir informasi bagi masyarakat. Jika menulis dilakukan dengan benar, maka segala hal yang terjadi dalam kehidupan dapat disampaikan kepada masyarakat secara transparan. Dengan keadaan demikian, setiap orang akan merasa enggan untuk melakukan sesuatu yang menyimpang. Dengan kata lain, dunia kepenulisan dapat berperan sebagai kontrol sosial yang diharapkan dapat mencegah kelakuan negatif dari oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, termasuk pejabat negara yang mengelola aset dan kekayaan negara atas nama rakyat. Di samping itu, tulisan-tulisan yang mencerdaskan akan menjadi pegangan bagi masyarakat dalam bersikap dan bertindak sehingga kemudian muncullah masyarakat sipil yang kuat yang dapat menjadi kebanggaan negara karena nilai tawar mereka dalam berbagai aspek

kehidupan, termasuk posisi tawar ekonomi dan kontrol sosial mereka terhadap negara dan pemerintah.

Satu hal terakhir namun paling penting adalah bahwa pengaruh atau manfaat dunia kepenulisan dirasakan oleh masyarakat tidak hanya di suatu tempat dalam suatu waktu. Sementara komunikasi lisan beroperasi dalam dunia interaksi sekitar yang bersifat here and now (‘sekarang dan di sini’), tulisan melampaui waktu dan tempat dengan sifatnya yang permanen. Kata-kata lisan terbang dibawa angin, sementara tulisan dapat bertahan ratusan, ribuan tahun bahkan hingga kiamat (Harmer, 2004: 7). Dengan demikian, tulisan memberi manfaat dan menjadi sumber pembelajaran lintas tempat, lintas waktu, lintas generasi, dan lintas peradaban (Goucher et al., 1998).

KESIMPULAN

Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa menulis memiliki kerumitan, kompleksitas atau tantangan tersendiri. Namun, setiap orang yang memiliki kemauan keras menjadi penulis diyakini akan dapat melalui seluruh rangkaian tantangan yang dihadapinya asalkan ia bermodal semangat, berusaha dan bersabar sebelum cita-citanya sebagai penulis benar-benar terwujud.

(14)

kata, kalimat, ungkapan atau lambang bahasa bahwa fenomena sosial ada di sekitarnya. Dari sisi teknikal kreatif, seseorang untuk menjadi penulis harus bersedia mengorbankan waktu berimajinasi membentuk working body

tulisan di dalam pikirannya dan tak kalah pentingnya untuk menumpahkan ide-ide tersebut di atas kertas atau monitor komputer sampai tuntas dan akhirnya siap dikonsumsi para pembaca.

Dari sisi pengaruh dunia kepenulisan, pengaruh kognitif, psikologis, sosial, ekonomis terhadap penulis dan terhadap individu pembaca dan masyarakat pada umumnya menyadarkan kita bahwa kelelahan menulis terbayar secara melampaui oleh manfaat dan pengaruh positif yang ditimbulkannya bagai pembangunan peradaban, bangsa dan negara. Semoga tulisan ini mengilhami lahirnya penulis-penulis terkemuka di negeri ini.

DAFTAR PUSTAKA

Ahira, A. (2012). “Manfaat Menulis Bagi Masyarakat”, www.anneahira.com/ masyarakat-penulisan.html, diakses 27 April 2012.

Andoni, S. (2011). “Kebaikan dalam Kebiasaan Menulis”, http:// salmunan.blogspot.com/ 2011/04/

kebaikan-dalam-kebiasaan-menulis.html, diakses 27 April 2012.

Anonim (2011), “Pengaruh Positif

Menu-lis”, http://

kesehatan.kompasiana.com/

kejiwaan

/2011/09/10/pengaruh-psikologi-dalam-menulis/, diakses 27 April 2012.

Chanock, K. (2006). How can we handle the specificity of the writing chal-lenges that face our students?

Online publiziert: 9,

www.zeitschrift-schreiben.eu, di-akses 28 November 2013.

Czermak, K., Delanghe, P. & Weng, W. (2003). Preserving intangible cul-tural heritage in Indonesia: A pilot project on oral tradition and

lan-guage preservation. A paper pre-sented at the Conference on Lan-guage Development, LanLan-guage Re-vitalization and Multilingual Edu-cation in Minority Communities in Asia, 6-8 November 2003, Bang-kok, Thailand.

Furneaux, C. (1995). The challenges of teaching academic writing, BBC

English: Teachers’ Supplement,

www.uefap.com/articles/

furneaux.pdf, diakses 29 Maret 2014.

Goucher, C., LeGuin, C. & Walton, L. (1998). In the Balance: Themes in

World History. Boston:

McGraw-Hill.

Gupta, D. & Woldemariam, G.S. (2011). The influence of motivation and attitude on writing strategy use of undergraduate EFL students: Quantitative and qualitative perspectives. Asian EFL Journal, 13(2), 34-89.

Harmer, J. (2004). How to Teach Writing. England: Pearson-Longman.

Imisup. (2009). “Kiat Efektif Menulis

Kreatif”, http://

imisup.blogspot.com/2009/11/kiat-efektif-menulis-kreatif.html, di-akses 27 April 2012.

Irvin, LL. (2010). What is academic writ-ing? In C. Lowe & P. Zemliansky (Eds.), Writing spaces: readings on

writing. http://writingspaces.org/

essays, diakses 29 March 2014. Jazadi, I. (2007). Penulisan Karya Ilmiah

Untuk Meningkatkan Kompetensi Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Makalah disampaikan dalam Sosialisasi Forum Ilmiah Guru Kabupaten

Sumbawa, 27 November.

Jazadi, I. (2008). Masyarakat Belajar dan Berdaya Saing: Analisis Kebijakan Publik di Kabupaten

Sumbawa. Sumbawa Besar:

Paracendekia NW Press.

(15)

Doktor: Kisah Nyata Tentang Motivasi dan Strategi Belajar.

Sumbawa Besar; Paracendekia NW Press.

Landsune. (2009). “Pengaruh Menulis”,

http://

landsune.blogspot.com/2009/04/ pengaruh-menulis.html, diakses 27 April 2012.

Leki, I. (2007). Material, educational and ideological challenges of teach-ing ESL writteach-ing at the turn of the century, a research paper at Univer-sity of Tennessee,

www.writing.ucsb.edu/wrconf08/ Pdf_Articles/Leki_Article.pdf, di-akses 29 Maret 2014.

Mcmillan Dictionary. (2013). Challenge – definition, http:// www.macmillandictionary.com/

dictionary/british/challenge, akses 30 November 2013.

Nurmawan (2010). An Analysis of English learning strategies by students of STKIP Hamzanwadi Selong: A Case Study, Skripsi S-1 tidak dipublikasikan, STKIP Hamzanwadi Selong.

Biro Hukum dan Organisasi Kementerian Pendidikan Nasional. (2010). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pencegahan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional. Tracy, B. (2012). “How to write a book

and become a published author”, a

Free Interview,

www.briantracy.com, diakses 27 April 2012.

Wirajaya, A.Y. (2011). Menulis Kreatif,

www.4shared.com/office/.../

menulis_kreatif.html, diakses 27 April 2012.

University of Essex. (2008). How to im-prove your academic writing?

www.essex.ac.uk/myskills/

How_to_improve_your_academic_

writing.pdf , diakses 29 Maret 2014.

Zulkarnaen. (2012). Menghindari perangkap plagiarisme dalam menghasilkan karya tulis ilmiah. Makalah disampaikan pada Pelatihan Penulisan Artikel Ilmiah Lembaga Penelitian Universitas Jambi 16 Januari. johannessimatupang.files.wordpre ss.com /2013/05/menulis-artikel... ·

Referensi

Dokumen terkait

Banyaknya mahasiswa yang mengalami kesalahan tersebut sungguh di luar dugaan mengingat sebelum tes diberikan mereka sudah mendiskusikan konsep aksi-reaksi pada hukum

Berdasarkan empat langkah penjabaran strategi-strategi di atas, dapat diambil keputusan manajemen ICT yang dianggap paling tepat sebagai berikut: 1) Kepala sekolah mengirimkan

Di TK Al Wafa Bantul dan TK Al Fatihah Umbulharjo merupakan salah satu dari beberapa lembaga pendidikan anak usia dini yang melaksanakan pendidikan karakter,

Beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian ini adalah : 1) Tingkat pendidikan petani laki-laki dan perempuan minimal tamat sekolah dasar. Sayuran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat 42% responden masih kurang memahami definisi secara lengkap mengenai produk

Abstrak:Tujuan penelitian ini: (1) Untuk mendeskripsikan bagaimana pelaksanaan terapi okupasi pada anak CP Spastik di SDLB Negeri Patrang terkait perencanaan, pelaksanaan,

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan False Alarm Probability (FAP) dan Attained False Alarm Rate (AFAR), menentukan batas-batas

Hasil deteksi dengan metode DIBA menggunakan antiserum PRSV menunjukkan tanaman mentimun terinfeksi PRSV sebanyak 81.11%, 95.86%, 91.66%, dan 92.30% berturut-turut pada sampel